Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

SINDROM PIRIFORMIS

Pembimbing :
dr. Maula Nuruddin, Sp.S

Disusun oleh :
Amorrita Puspita Ratu (1102013023)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S.Sukanto-Jakarta
Periode 3 Juli - 4 Agustus 2017
BAB I

PENDAHULUAN

Piriformis berasal dari 2 kata ‘pirum’ yang berarti buah pir dan ‘forma’ yang
artinya bentuk. Pertama kali didefinisikan oleh seorang ahli anatomi dan botani Belgia,
Adrian van der Spieghel (1578 - 1625). Di tahun 1928, Yeoman menyebutkan bahwa
36% kasus ischialgia akibat artritis sacroiliaca ditransmisikan melalui musculus
piriformis. Pada tahun 1936, Shordania mengenalkan istilah ‘piriformitis’ atas
pengamatannya pada 37 perempuan dengan ischialgia.1

Baru di tahun 1947 Robinson membuat terminologi ‘sindroma piriformis’;


beliau melaporkan bahwa musculus piriformis dan jaringan fascia dapat menyebabkan
ischialgia. Meskipun terjadi evolusi diagnosis dan teknik modern seperti MRI, sindrom
piriformis tetaplah merupakan diagnosis eksklusi dan kontroversial. Sebagian besar
kontroversinya berakar dari relatif jarangnya penegakan diagnosis sindrom piriformis
dibandingkan dengan pengenalan dan tatalaksana penyebab iskialgia yang berasal dari
vertebrae lumbal.2

Piriformis Syndrome adalah neuritis perifer saraf sciatic yang disebabkan oleh
kondisi abnormal otot piriformis. Gejala klinisnya hilang timbul atau terkadang salah
didiagnosis. Piriformis Syndrome dapat menyerupai disfungsi somatik lainnya yang
umum, seperti intervertebralis discitis, radiculopathy lumbal, sacral disfungsi primer,
sakroilitis, linu panggul, dan bursitis trokanterika.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom piriformis adalah penyakit neuromuskular yang terjadi akibat
tertekannya saraf ischiadicus oleh otot piriformis.1 Penyakit ini sering tidak dikenali
atau salah terdiagnosis secara klinis. Keterlambatan dalam mendiagnosis sindrom
piriformis dapat menyebabkan kondisi patologis dari saraf ischiadicus, disfungsi
somatik kronis, dan keadaan kompensasi yang mengakibatkan rasa nyeri, kesemutan,
hipersetesia, dan kelemahan otot.2

2.2 Epidemiologi
Nyeri punggung bawah dan iskialgia adalah nyeri atau hipoestesi di area pantat
dan paha bagian posterior dengan sesekali menjalar ke tungkai bawah; merupakan
keluhan umum dengan insidensi sekitar 60–90% selama hidup seseorang.3 Frekuensi
sindrom piriformis diperkirakan hampir 6% dari total kasus iskialgia dalam praktek
dokter keluarga di AS4. Berdasarkan data kunjungan pasien di Klinik P di Denpasar
tahun 2014 sedikitnya 2% - 3% pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah
mengalami sindrom piriformis.

Sindrom piriformis lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki,


mungkin disebabkan oleh lebih lebarnya sudut otot quadriceps femoris pada tulang
coxae (pelvis) wanita.2

2.4 Klasifikasi

Sindrom piriformis dibagi menjadi dua:

1. Primer

Disebabkan oleh tertekan dan terjebaknya saraf ischiadicus dikarenakan oleh


kelainan anatomi otot piriformis itu sendiri.6

2. Sekunder

Disebabkan oleh trauma tumpul (makrotrauma dan mikrotrauma) pada otot


piriformis. Paling sering disebabkan oleh makrotrauma pada bagian bokong yang
menyebabkan inflamasi jaringan dan kaku otot. Mikrotrauma dapat disebabkan oleh

3
penggunaan berlebihan dari otot piriformis, seperti berjalan atau berlari jarak jauh dan
penekanan langsung. Contoh dari penekanan langsung adalah "wallet neuritis" yang
dimaksud dengan trauma berulang karena duduk diatas permukaan keras.2,6

2.5 Patofisiologi

Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma, maka otot
tersebut dapat menekan atau menjepit saraf ischiadicus yang berada diantaranya. Hal
tersebut terjadi karena apabila otot piriformis memendek, maka saraf ischiadicus
terjebak. Akibatnya suplai darah ke saraf ischiadicus pun terhambat, sedangkan iritasi
terjadi akibat tekanan oleh otot piriformis tersebut. Penekanan pada serabut saraf
ischiadicus ini akan memberikan perangsangan, sehingga akan menimbulkan nyeri
yang bertolak dari daerah otot piriformis menjalar sampai tungkai dan nyeri ini
dirasakan hanya pada satu tungkai saja. Karena ada nyeri kemudian timbul spasme pada
otot-otot yang dilewati seperti m. gluteus, m. triscep surae, m. hamstring dan otot-
otot para vertebra lumbosakral.5

Sementara itu, Jankovic et al7 berpendapat bahwa salah satu penyebab sindrom
piriformis adalah cedera. Otot piriformis sangat rentan untuk terjadi cedera berulang
akibat gerakan (repetitive motion injury/RMI). RMI terjadi apabila otot bekerja di luar
kemampuannya, atau tidak diberi cukup waktu untuk fase recovery, akibatnya otot
menjadi memendek.

2.6 Diagnosis
Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di area hamstring,
nyeri ischialgia di kaki tanpa nyeri punggung, dan gangguan sensorik maupun motorik
sesuai distribusi saraf ischiadicus. Keluhan pasien dapat pula berupa nyeri yang
semakin menjadi saat membungkuk, berlama-lama duduk, bangun dari duduk, atau saat
merotasi internal paha, kesulitan berjalan, juga nyeri saat defekasi dan
dispareunia pada wanita.2

Pemeriksaan Fisik

Tidak ada pemeriksaan "gold standard" dalam mendiagnosis sindrom


piriformis. Beberapa pemeriksaan fisik akan berguna dalam mendiagnosis penyakit ini,
walaupun tidak ada satupun pemeriksaan yang spesifik.2,7

4
 Piriformis Sign

Positif jika pada posisi telentang, tungkai ipsilateral pasien berotasi eksternal
dan terasa nyeri bila pasien memaksa untuk meluruskan kakinya ke tengah.2

 Laseque's Sign

Positif jika terasa nyeri sepanjang otot piriformis saat sendi panggul difleksikan
dengan cara mengangkat kaki pasien ke atas, terutama pada sudut 90 derajat.7

 Freiberg's Sign

Positif jika terasa nyeri pada saat tungkai bawah dirotasikan internal, panggul
ekstensi dan lutut fleksi 90 derajat.7

 FAIR Test

Positif jika terasa nyeri saat saat posisi FAIR (Flexion, Adduction, and Internal
Rotation). Fishman et al8 menemukan bahwa FAIR test memiliki sensitivitas
dan spesifisitas sebesar 0.881 dan 0.832, sehingga pemeriksaan ini akan cukup
membantu dalam menegakkan diagnosis.

 Beatty's Maneuver

Pasien tidur miring dengan tungkai diangkat beberapa menit, maka di sisi
tungkai yang mengalami sindrom piriformis akan terasa nyeri pada bokong
bagian dalam.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan diagnostik definitif untuk sindrom piriformis.1 CT-Scan


dapat berguna untuk menyingkirkan diagnosis seperti hematoma dan tumor pelvis,
namun pemeriksaan ini tidak dilakukan secara umum untuk mendiagnosis sindrom
piriformis. Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah digunakan dalam beberapa
penelitian untuk mendiagnosis sindrom piriformis, walaupun jumlahnya masih
terbatas.6 Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan otot piriformis yang atrofi atau
tergantikan dengan jaringan fibrosa. Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa
bone scans menunjukkan peningkatan penyerapan dari bahan radioaktif pada otot

5
piriformis yang sakit.9 Jankovic et al7 menyatakan bahwa foto polos pelvis dapat
mengidentifikasi adanya kalsifikasi pada otot piriformis dalam beberapa kasus.

Teknik neuroradiologi terbaru yaitu Magnetic Resonance Neurography (MRN)


dikatakan berguna dalam mendiagnosis neuropati perifer dengan secara langsung
memperlihatkan anatomi saraf dan mendeteksi perubahan sinyal saraf. Pada sindrom
piriformis, didapatkan perubahan sinyal saraf ischiadicus yang terletak dibawah otot
piriformis yang hipertrofi.10

2.7 Tatalaksana

Sindrom piriformis biasanya berespon baik terhadap terapi konservatif, seperti


fisioterapi, modifikasi gaya hidup, dan obat-obatan (NSAIDS, relaksan otot, dan obat-
obat nyeri neuropati). Jika pasien gagal merespon terapi konservatif, maka
terai intervensi harus dipertimbangkan.7

Fisioterapi

Tujuan utama dari fisioterapi adalah menghilangkan gejala dengan


meningkatan range of motion (ROM) pada otot dan sendi, juga untuk menguatkan otot-
otot sekitarnya.2 Menurut Tonley et al12, fisioterapi yang paling sering dilakukan terdiri
dari ultrasound, mobilisasi jaringan lunak, peregangan otot piriformis, dan kompres
panas atau spray dingin.

Physical therapy protocol for patients diagnosed with piriformis syndrome

Place the patient in contralateral decubitus and flexed, adducted, and internally rotated (FAIR) position.
2
(1) Ultrasound, 2.0–2.5 W/cm , applied in broad strokes longitudinally along the piriformis muscle,
from the conjoint tendon to the lateral edge of the greater sciatic foramen, for 10–14 mins.

(2) Wipe off ultrasound gel.

(3) Apply hot packs or cold spray at the same location for 10 mins.


(4) Stretch the piriformis muscle for 10–14 minutes by applying manual pressure to the muscle’s
inferior border, being careful not to press downward, but rather directing pressure tangentially, toward
the ipsilateral shoulder.11

6
Selain itu, Tonley et al12 menyebutkan latihan alternatif untuk sindrom
piriformis (Therapy Exercises for the Hip), yang berujuan untuk memperkuat ekstensor
panggul, abduktor dan rotator external, juga koreksi terhadap gerakan tubuh yang salah.

Terapi Farmakologi

Terapi konservatif yang paling efektif untuk mengurangi gejalanya adalah obat
golongan NSAIDs dan relaksan otot.2

Obat golongan NSAIDs dan acetaminophen adalah obat yang


direkomendasikan untuk beberapa kondisi seperti low back pain, termasuk sindrom
piriformis. Pasien yang menggunakan NSAIDs, dibandingkan dengan yang
menggunakan plasebo, dilaporkan adanya perbaikan gejala setelah 1 minggu terapi.2

Relaksan otot juga dipergunakan untuk pengobatan pasien sindrom


piriformis. Pasien menggunakan relaksan otot menunjukkan perbaikan lima
kali lebih baik setelah 14 hari terapi, dibandingkan dengan plasebo. 2

Injeksi Otot Piriformis

Injeksi otot piriformis adalah salah satu dari terapi multimodalitas pada
penyakit sindrom piriformis, dan tindakannya dilakukan dengan panduan ultrasound
untuk akurasi injeksi. Respon dari injeksi lidokain dan steroid dilaporkan cepat
namun hanya untuk durasi yang singkat. Beberapa penelitian menunjukkan efikasi
yang lebih baik dengan injeksi Botulinum Toxin Type A (BTX-A) dibandingkan
plasebo dan kortikosteroid (metilprednisolone) ditambah lidokain. BTX-A dilaporkan
dapat memperbaiki kondisi kelemahan otot, atrofi dan kompresi dari saraf sciatica.10
Pada penelitian terbaru oleh Fishman et al11, ditemukan bahwa injeksi 12.500 unit
Botulinum Toxin Type B (BTX-B) dapat menghilangkan nyeri lebih cepat dan efektif
dibandingkan kortikosteroi ditambah lidokain ataupun BTX-A.

Terapi Bedah

Intervensi bedah bisa dipertimbangkan hanya bila terapi non-bedah gagal dalam
mengurangi gejala. Indikasi untuk bedah adalah abses, neoplasma, hematoma, dan
kompresi saraf yang disebabkan gluteal varicosities. Namun, intervensi bedah
sangatlah jarang dilakukan pada pasien dengan sindrom piriformis, karena adanya

7
terapi-terapi lainnya seperti injeksi botulinum.7

2.9 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan sindrom piriformis memiliki progress baik
setelah dilakukan injeksi lokal. Kekambuhan jarang terjadi setelah 6 minggu terapi.
Setelah bedah, pasien dengan piriformis sindrom dapat kembali lagi beraktivitas rata-
rata dalam 2-3 bulan.13

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Parlak A, et al. Piriformis Syndrome: A Case with Non-Discogenic Sciatalgia. Turkish


Neurosurgery 2014, Vol: 24, No: 1, 117-119.
2. Boyajian-O'Neill, et al. Diagnosis and Management of Piriformis Syndrome: An
Osteopathic Approach. JAOA, Vol 108 no 11. 2008.
3. Frymoyer JW. Back pain and sciatica. N Engl J Med 1988; 318(5):291–300.
4. Bernard TN Jr, Kirkaldy-Willis WH. Recognizing specific characteristics of nonspecific

low back pain. Clin Orthop 1987; 217:266–280.


5. Durrani Z, Winnie AP. Piriformis muscle syndrome: an underdiagnosed cause of


sciatica. J Pain Symptom Manage 1991; 6(6):374–379.
6. Boyajian-O'Neill, et al. Diagnosis and Management of Piriformis Syndrome: An
Osteopathic Approach. JAOA, Vol 108 no 11. 2008.
7. Jankovic D, et al. Brief review: Piriformis syndrome: etiology, diagnosis, and
management. Canadian Anesthesiologists' Society. 2013.
8. Fishman et al. Piriformis Syndrome: Diagnosis, Treatment, and Outcome— a 10-Year
Study. Arch Phys Med Rehabil Vol 83, March 2002.
9. Barton P. Piriformis syndrome: a rational approach to management. Departmen of
Physical Medicine and Rehabilitation, 1991.
10. Yang Hea, et al. Usefulness of Magnetic Resonance Neurography for Diagnosis of
Piriformis Muscle Syndrome and Verification of the Effect After Botulinum Toxin Type
A Injection. Vol 95, No 38, September 2015.
11. Fishman et al. Botulinum Neurotoxin Type B and Physical Therapy in the Treatment of
Piriformis Syndrome: A Dose-Finding Study. Am J Phys Med Rehabil 2004;83:42-50.
12. Tonley JC, Yun SM, et al. Treatment of an individual with piriformis syndrome focusing
on hip muscle strengthening and movement reeducation: a case report. J Orthop Sports
Phys Ther 2010;40(2):103-111.
13. Meknas K, Christensen A, Johansen O. The internal obturator muscle may cause sciatic
pain. Pain. 2003;104:375-380.

Anda mungkin juga menyukai