Anda di halaman 1dari 13

kkpk 2

Materi : ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN


(PASIEN SAFETY) DAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

A. Latar Belakang dan Dasar Hukum Keselamatan pasien


UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 2 (asas dan tujuan) Rumah Sakit
“Diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan
profesional, manfaat, keadilan, persamaan hak & anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan
dan KESELAMATAN PASIEN, serta mempunyai fungsi social. Pasal 3 ayat b (tujuan)
“Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan Rumah Sakit
dan Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit.
Dalam amanah undang undang No 44/2009 tentang rumah sakit mengutamakan keselamatan
pasien merupakan titik tolak utama dalam tata kelola manajemen rumah sakit, karena
keberadaan rumah sakit karena ada pasien, oleh sebab itu rumah sakit haruslah fokus pada
keselamatan mulai dari proses pasien masuk sampai pasien pulang dari rumah sakit.
Menindaklanjuti amanah undang undang No 44 tentang Rumah sakit, Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien.
Panduan kesekamatan pasien ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di
rumah sakit. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Kementrian Kesehatan (SNAR 2018) telah
pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi
Rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap
rumah sakit.
Di dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 2 “Praktik kedokteran
dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah Serta perlindungan dan
keselamatan pasien”. Profesi dokter atau pelayanan medik pun harus tetap komit untuk
mengutamakan keselamatan pasien dalam tata kelola pelayanan medik.
B. Keselamatan pasien di Rumah Sakit
Kenapa penting keselamatan pasien di rumah sakit “ Pelayanan kesehatan modern adalah
rumah sakit yang sangat komplek biaya yang mahal, alat alat kesehatan yang canggih (padat
modal), multi profesi, sistem yang rumit dan komplek, serta resiko yang banyak dapat saja
terjadi dari mulai pasien masuk sampai pasien pulang
Pelayanan kesehatan di rumah sakit yang mengutamakan keselamatan pasien sesuatu yang
tidak boleh ditawar tawar, karena pada sejarah awalnya rumah sakit didasari untuk pelayanan
kemanusian tanpa pamrih, penuh cinta kasih demi harkat dan martabat kemanusiaan ini
merujuk pada asal mula kata rumah sakit yang berasal dari Hospitium atau Hospitalis (dari
berbagai sumber).
Keterlibatan semuat pihak dalam tata kelola rumah sakit untuk mengutamakan keselamatan
pasien haruslah menjadi budaya dalam tata kelola rumah sakit, sehingga kita berharap tidak
ada rumah sakit atau profesi kesehatan yang mengabaikan keselamatan pasien, sehingga kita
kita tidak alagi kita mendengan salah tranfusi darah, pasien jatuh dari tempat tidur, salah lokasi
operasi, salah obat, pelayanan yang berbelit belit, ruangan yang tidak standar.
Dalam realitas kita dapat saja medengar berbagai “Kejadian tidak diinginkan/KTD”, “Kejadian
Nyaris Cedera”, “Kejadian Potensial Cedera” “Sentinel Event” dan lain sebagainya. Oleh sebab
itu kesadaran manajemen rumah sakit untuk tetap fokus pada keselamatan pasien merupakan
kewajiban moral yang haus terus menerus dilaksanakan dan dievaluasi.
Hubungan antara rumah sakit dan pasien adalah hubungan yang tidak terpisahkan, hubungan
kemitraan yang sejajar dan mempunyai kedudkan hukum yang sama yang sama sama
mempunyai kewajiban dan hak dan semua ini telah diatur dalam undang undang undang rumah
sakit no 44 tahun 2009.
C.Standar​ Akreditasi Nasional Rumah Sakit 2018 “Peningkatan Mutu dan Keselama
tan Pasien.
C1.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP1)
Rumah Sakit perlu menetapkan komite/tim atau bentuk organisasi lainnya untuk mengelola
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien agar mekansisme koordinasi pelaksanaan
program dan keselamatan pasien dapat berjalan baik
C.2. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP2)
Rumah sakit mempunyai referensi terkini tentang peningkatakan mutu dan keselamatan
pasien berdasarkan atas ilmu pengetahuan dan informasi terkini serta perembangan konsep
peningkatan mutu dan keselamtan pasien.
C.3.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP3)
Rumah sakit mempunyai orogram pelatihan peningkatakan mutu dan keselamatan
pasien untuk pimpinan rumah sakit serta semua staf yang terlibat dalam pengmpulan, analisis,
dan validasi data mutu.
C.4.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP4)
Komite/Tim PMKP atau bentuk organisasi lain terlibat proses pemilihan prioritas
pengukuran pelayanan klinis yang akan dievaluasi serta melakukan koordinasi dan integrasi
kegiatan pengukuran di seluruh unit di rumah sakit.
C.5.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP5)
Rumah sakit memilih dan menetapkan prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis yang
akan dievaluasi dan indikator indikator berdasarkan ataa prioritas tersebut
C.6.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP6)
Setiap unit kerja di Rumah sakit memilih dan menetapkan indikator mutu yang
dipergunakan untuk mengukur mutu unit kerja.
C.7.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP7)
Pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan program peningkatakan mutu dan
keselamatan pasien untuk mendukung asuhan pasien serta manajmen rumah sakit lebik baik.
C.8.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP8)
Rumah sakit mempunya regulasi validasi data indikator area klinis yang baru atau
mengalami perubahan dan data yang akan dipublikasikan. Regulasi ini diterapkan
menggunakan proses internal validasi data.
C.9.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP9)
Rumah sakit Menetapkan sistem pelaporan insiden keselamatan pasien baik internal maupun
eksternal.
C.10..Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP10)
Ada pengukuran dan budaya keselamatan pasien
C.11.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP11)
Peningkatan mutu dan keselamatan pasien dicapai dan dipertahankan
C.12.Peningkatan​ Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP12)
Program manajemen resiko berkelanjutan digunakan untuk melakukan identitas dan
mengurangi cedera serta mengurangi cedara serta mengurangi resiko terhadap keselamatan
pasien
D.ASPEK​ HUKUM PERLINDUNGAN PASIEN
D.1. Dalam Undang undang No 44/2009 Tenatng Rumah sakit
Undang undang no 44 tenatng Rumah Sakit Pasal 29, Setiap Rumah Sakit mempunyai
kewajiban :

a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya;
d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien
tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan
korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir,
ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun
nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam
melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
D.2. Dalam Undang undang no 36/2009 tentang Kesehatan
Keselamatan pasien juga terdapat dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Sebagai berikut :
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3.Pasal​ 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional
4.Pasal​ 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan
keselamatan nyawa pasien.
5.Pasal​ 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
E. Tuntutan Hukum mengabaikan keslamatan pasien
Melalai atau mengabaikan keselamatan yang dapat merugikan pasien baik moril dan materil
rumah sakit dapat saja dituntut ganti rugi baik perdata maupun pidana apabila terbukti bersalah
atau mengabaikan keselamatan pasien
Oleh sebab itu tata kelola pasien yang berorientasi pada keselamatan sangat mutlak
dilaksanakan agar rumah sakit tidak dituntut oleh pasien atau keluarga yang merasa dirugikan.
Dalam Undang undang nomor 36/2009 tentang kesehatan keselamatan juga telah
ditetapkan, dalam pasal 58 sebagai berikut :​ 1.Setiap​ orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
G.TATA​ KELOLA KESELAMATAN PASIEN

Rumah sakit sakit harus membuat sistem dan kebijakan keselamatan baik dalam bentuk
kebijakan, Pedoman, Panduan maupun Standar Operasioan Prosedur, Pelatihan mutu dan
keselamatan, serta sistem pelaporan keselamatan/insiden keselamatan pasien secara terus
menerus.
Budaya keselamatan pasien dalam rumah sakit merupakan suatu kewajiban.
Pimpinan wajib menyadarkan kepada semua staf pentingnya keselamatan pasien.

kkpk 2

MATERI : KEGAWATDARURATAN
“PPGD (P3K) PADA PATAH TULANG”

OLEH:
Adzanri, AMK SS MH

Padang, tahun 2017

Hanya digunakan untuk lingkungan sendiri, tidak diperjual belikan

PPGD PATAH TULANG PRA HOSPITAL

1. Latar Belakang
Trauma patah tulang (muskuloskeletal) merupakan trauma yang sering dijumpai dalam
keadaan sehari hari, di Indonseia kecelakan lau lintas merupakan penyebab utama
muskuloskeletal walaupun nampak selalu dramatis trauma muskuloskeletal jarang memberikan
ancaman lansung jiwa penderita, pada penderita dengan trauma multiple penanganan pasien
dengan pendekatan sistematis (ABCDE) sangat diperlukan untuk tidak terdeteksinya yang
mengancam nyawa. Beberapa trauma patah tulang (muskuloskeletal) dapat memberikan
ancaman yang serius terhadap jiwa maupun ekstremitas, pertolongan yang benar dalam
memiminimalkan terjadinya mortalitas dan morbifitas dalam trauma muskuloskeletal ini. Trauma
muskuloskeletal multiple dapat memberikan perdarahan yang cukup signifikan dan dapat
menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan syok, resusitasi cairan dan pemasangan bidai
merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini. (SPGDT PPGD/GELS seri
ke 3 Depkes RI 2006)
2. Cedera Ekstremitas
1. Fraktur putusnya kontunitas tulang, patah (fraktur) dapat disebabkan berbagai penyebab
namun hampir selalu dibutuhkan data yang cukup besar untuk menyebabkan Patah (fraktur),
Patah (Fraktur) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, disebabkan karena trauma
langsung tak langsung.
3. Penyebab Patah tulang
1. Trauma atau benturan, Adanya 2 trauma langsung ( dikarenakan suatu benda jatuh atau
tabrakan hantaman keras), Benturan tidak langsung ( benda mental )
2. Tekanan atau stres yang terus menerus dan berlangsung lama Tekanan kronis berulang
dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan Patah (fraktur) yang kebanyakan terjadi pada
tulang tibia, fibula atau mentatarsal pada olahragawan.
3. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang.(tumor tulang)
4. Manifestasi klinis Patah tulang
1. Nyeri, Bengkak atau oedem Edema, Memar atau ekimosis
2. Spasme otot, Penurunan sensasi, Gangguan fungsi
3. Paralysis
4. Krepitasi
5. Deformitas Abnormal
6. Shock hopovolemik
5.Klasifikasi​ Fraktur
5.1.Menurut​ Depkes RI ( 1995 ), berdasarkan luas dan garis Patah/fraktur meliputi :
1. Fraktur komplit
2. Fraktur inkomplit
5.2. Menurut Black dan Matassarin ( 1993 ) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia
luar, meliputi :
1. Fraktur tertutup
2. Fraktur terbuka.
5.3. Long ( 1996 ) mengenai fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu :
a) Greenstick
b) Tranverse
c) Longitudinal
d) Oblique
e) Spiral
6. Menentukan atau memastikan adanya patah tulang
Patah tulang umumnya mempunyai riwayat trauma yang di ikuti penggunaan kemampuan
anggota gerak yang terkena. Pemeriksaan dengan cara
6.1).Inspeksi
6.2).Palpasi
6.3).Gerakan Terdapat dua gerakan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat pergerakan
akibat patah tulang, yaitu : Gerakan aktif, Gerakan pasif
H. Petalaksanaan Kegawatan (P3K) Pada patah Tulang :
I.Prinsip​ Pembidaian
I.1.Prinsip​ pembidaian :
1. Dalam melaksanakan tindakan lakukan Prinsip Aman diri, aman lingkungan, aman
penderita (3 A)
2. Sebaiknya penolong lebih satu orang
3. Survey Primer/CEK ABC Korban, perhatian tingkat kegawatan patah tulang
4. Tenangkan penderita (bila sadar). Jelaskanlah bahwa akan memberikan pertolongan
pertama kepada penderita.
5. Lakukan pembidaian di mana anggota badan mengalami cedera (sebaiknya korban
jangan dipindahkan sebelum dibidai).
6. Lakukan juga pembidaian pada dugaan ada tanda tanda patah tulang.
1.2.Persiapan​ alat-alat bidai
1. Bidai standar yang telah disiapkan, bahan papan, plastik, collar neck
2. Bisa juga bisa dibuat sendiri bahan sederhana (bidai darurat), misalnya ranting pohon,
papan kayu, dll. Panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai.
3. Bidai yang keras sebaiknya dibungkus/dibalut terlebih dahulu dengan bahan yang lebih
lembut (kain, kassa, dll)
4. Bahan pengikat bidai sebagai pembalut/pengikat untuk pembidaian bisa berasal dari
pengingkat standar (dibuat), baju atau bahan lainnya.
5. Bahan yang digunakan untuk mengikat/membalut ini harus bisa mengikat dengan baik.
Namun tidak boleh terlalu ketat yang bisa menghambat sirkulasi
6. Panjang Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Ada bantalan

I.1.Langkah​ langkah atau dasar dasar dalam tindakan pembidaian


1. Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan distal daerahfraktur).
2. Lakukan reposisi sederhana/Luruskan posisi korban secara hati-hati dan jangan sampai
memaksakan reposisi.
3. Jika susah dalam melakukan reposisi, pembidaian dilakukan apa adanya
4. Pada trauma sekitar sendi, pembidaian harus mencakup tulang dibagian proksimal dan
distal.
5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan, dapat terbantu dengan tarikan
ringan ketika pembidaian
6. Sebaiknya guntinglah bagian pakaian di sekitar area fraktur ( Jika diperlukan, kainnya
dapat dimanfaatkan untuk proses pembidaian).
7. Jika ada luka terbuka maka tangani dulu luka dan perdarahan. Bersihkan luka dengan
cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kasa ​steril.Jika​ luka tersebut mendekati lokasi
fraktur, maka sebaiknya dianggap bahwa telah terjadi patah tulang terbuka. Balutlah luka
terbuka atau fragmen tulang yang menyembul dengan bahan yang se-steril mungkin
8. Pasang Collar Brace maupun sejenisnya yang dapat digunakan untuk menopang leher
jika dicurigai terjadi trauma servikal
9. Jika saat dilakukan tarikan terdapat tahanan yang kuat, krepitasi hebat, korban merasa
nyeri hebat, jangan dipaksa menarik/tarikan.
10. Beri bantalan untuk penopang pada anggota gerak yang dibidai terutama pada daerah
tubuh yang keras/peka (lutut,siku,ketiak,dll).
11. Bidai di ikat di atas dan bawah luka/fraktur.
12. Jangan mengikat diatas yang Patah/luka. Sebaiknya dilakukan sebanyak 4 ikatan pada
bidai, yakni pada beberapa titik yang berada pada posisi :
a.superior​ dari sendi proximal dari lokasi fraktur
b.diantara​ lokasi fraktur dan lokasi ikatan pertama
c.inferior​ dari sendi distal dari lokasi fraktur
d.diantara​ lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)
13. Pastikan bahwa bidai telah rapat.
14. Jangan terlalu ketat sehingga mengganggu sirkulasi pada ekstremitas yang dibidai.
15. Pastikan bahwa pemasangan bidai telah mampu mencegah pergerakan, mengurangi nyeri,
dan korban merasan nyaman
16. Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat
17. Harus selalu diingat bahwa bidai improvisasi harus oleh tenaga terlatih.
L. Macam-macam bidai
1. Bidai keras,
2. Bidai traksi
3. Bidai improvisasi
4. Gendongan/Belat dan bebat.
G.Indikasi​ Pembidaian
1. Adanya Patah tulang, kecurigaan terjadinya patah tulang
2. Dislokasi persendian
3. Pasien merasa tulangnya terasa nyeri, patah atau mendengar bunyi krek.
4. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau mengalami angulasi
abnormal
5. Pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang di diduga patah
G.1.Posisi​ ekstremitas yang abnormal
1. Memar, Bengkak, Perubahan bentuk
2. Nyeri gerak aktif dan pasif, Nyeri sumbu
3. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan ekstremitas yang
mengalami cedera (Krepitasi) Perdarahan bisa ada atau tidak
4. Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi cedera
5. Kram otot di sekitar lokasi cedera
G.2. Kontra indikasi Pembidaian
Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas, pernapasan dan sirkulasi
penderita sudah distabilisasi (ABC). Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan
persyarafan yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya
penderita ke rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.
G.3.Komplikasi​ Pembidaian
Jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan (standar prosedur operasional), beberapa
hal berikut bisa ditimbulkan oleh tindakan pembidaian :
1. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur oleh ujung fragmen
fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi lainnya pada bagian tubuh yang
mengalami fraktur saat memasang bidai.
2. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat.
3. Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika penderita menunggu terlalu lama
selama proses pembidaian.
K. Tujuan Pembidaian
a) Untuk mencegah gerakan fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami dislokasi.
b) Untuk meminimalisasi / mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang
patah.
c) Untuk mengurangi perdarahan & bengkak yang timbul.
d) Untuk mencegah terjadinya syok.
e) Untuk mengurangi nyeri.
f) Mencegah kecacatan.
L. Evaluasi Pembidaian
a) Periksa sirkulasi daerah ujung pembidaian.
b) Pemeriksaan denyut nadi dan raba.
c) Jika pasien mengeluh terlalu ketat,atau kesemutan, maka pembalut harus dilonggarkan
kemudian bidai di pasang kembali sesuai kebutuhan .
d) Tekan sebagian kuku hingga putih, kemudian lepaskan. Kalau 1-2 detik berubah menjadi
merah, berarti balutan bagus.
e) Kalau lebih dari 1-2 detik tidak berubah warna menjadi merah, maka longgarkan lagi
balutan, itu artinya terlalu keras
f) Meraba denyut arteri dorsalis pedis pada kaki (untuk kasus di kaki). Bila tidak teraba,
maka balutan kita buka dan longgarkan.
g) Meraba denyut arteri radialis pada tangan untuk kasus di tangan. Bila tidak teraba, maka
balutan kita buka dan longgarkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. DepartemenKesehatanRI. Penanggulangan Penderita GawatDarurat.Jakarta.Departemen
Kesehatan. 20032.
2. Stone,Keith. Current Diagnosisi & Treatment: Emergency Medicine. 6th Ed. Lange.20083.
3. Schwartz. Principle of Surgery. Mc Graw Hill. Eight edition. 20054.
4. ​Http://Www.Scribd.Com/Doc/188314275/Pembidaian.ScribdTgl17/01/2016 Jam​ 23:07
Minggu
5. Seri PPGD/Gels Depkes RI 2006
6. disarikan dari berbagi sumber kalau ada sumber yang tidak disebutkan sumber bukan
berniat untuk Plagiator
7. Materi ini hanya untuk menambah wawasan dan memsyarakat P3K dan PPGD / SPGDT
Depkes RI.

kkpk 2

Materi :
Bantuan hidup dasar resustasi jantung

www.adzanri.com​ Padang, 2016, Dengan penemuan tindakan diagnostik dan resusitasi


mutakhir, maka kematian tidak lagi dianggap sebagai saat berhenti kerja jantung. Sekarang
dikenal spektrum kedaan fisiologik yang meliputi kematian klinis, serebral dan organismik.
Tanpa pertolongan tindakan resusitasi maka henti sirkulasi akan menyebabkan disfungsi
serebral dan kemudian organismik (dengan kerusakan sel irevesible) jantung paru adalah untuk
mengadakan kembali pembagian substrat sementara, sehingga memberikan waktu pemulihan
fungsi jantung paru secara spontan. Selang waktu dari henti sirkulasi sampai nekrosis sel
terpendek pada jaringan otak sehingga pemeliharaan perfusi serebral merupakan tekanan
utama pada RJP ( Depkes RI tahun 1995 Pedoman pelayanan Gawat Darurat).

Bila henti nafas primer, jantung dapat teus memompa darah selama beberapa menit dan sias
O2 yang ada dalam pau dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan
dini pada korban henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila
terjadi hent jatung primer O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis
dalam beberapa detik henti jantung dapat disertai oleh fenomena listrik berikut : fibrilasi
ventruculer taki kardia ventricular, asistol ventrucular atau disoasiasi elektromekanis . ( Depkes
RI tahun 1995 Pedoman pelayanan Gawat Darurat).

Keterampilan Bantuan hidup dasar merupakan keterampilan yang bermanfaat bagi setiap
individu dalam kehidupan masyarakat, karena orang yang tiba tiba tertimpa musibah baik oleh
trauma maupun oleh non trauma yang mengakibatkan adanya gangguan kegawatan pada
jantung dan sistem pernafasan, apabila tidak dilakukan tindakan darurat berupa bantuan hidup
dasar (RJP) dapat mengakbatkan kefatalan bahkan meninggal. Pertolongan pertama pada
serangan jantung termasuk salah satu jenis pelatihan pada pelatihan perawatan darurat, hal ini
karena serangan jantung tergolong salah satu penyebab kematian mendadak terbesar di dunia,
jenis pelatihan ini akan ini akan akan sangat bermanfaat khususnya dalam mencegah makin
meningkatnya angka kematian akibat serangan jantung (Adi D Tilong : 2014 : 25).

Jika pada suatu keadaan ditemukan korban dengan penilaian awal terdapat gangguan
tersumbatnya jalan nafas, tidak ditemukan adanya nafas dan atau tidak ada nadi, maka
penolong harus segera melakukan tindakan yang dinamakan dengan istilah Resusitasi Jantung
Paru/Bantuan Hidup Dasar (BHD). BHD merupakan tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi
keadaan henti jantung. Bisa dilakukan oleh satu atau dua penolong. Pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan sesuai dengan panduan American Heart Association tahun 2010.

Survey WHO tahun 2004 memperkirakan bahwa 17,1 juta orang karena penyakit jantung. Pada
tahun 2030 diperkirakan terjadi 23,6 juta kematian karena penyakit jantung dan pembuluh
darah. Asia Tenggara diprediksi merupakan daerah yang mengalami peningkatan tajam angka
kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007,
prevalensi penyakit jantung 7.2 % (Kursus Bantuan Jantung Dasar, Edisi 2013 Penerbit PP
Perki).

Kematian akibat penyakit jantung paling utama disebabkan karena henti jantung mendadak,
dengan irama paling sering terdokumentasi adalah ventrikel fibrilasi. Pertolongan bantuan hidup
dasar yang berhasil dilakukan dalam 5 menit pertama RJP dan bantuan AED (Authomatic
Eksternal Defibrilator). Dengan pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar yang baik diharapkan henti
jantung dapat dicegah serta transportasi pasien dapat cepat dilaksanakan, fungsi Jantung dan
paru dapat diperbaiki dan otak dapat dipertahankan karena suplai darah terpelihara sampai
bantuan tiba.

Oleh sebab itu keterampilan bantuan hidup dasar, perlu sosialisasikan dan diajarkan kepada
semua lapisan masyarakat agar tindakan darurat dapat dilakukan dan untuk penyelamatan
penderita, sebelum datangnya petugas terlatih.

Resusitasi Jantung

Resusitasi adalah pertolongan pada keadaan gawat. Resusitasi Jantung Paru merupakan
tindakan atau upaya untuk memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati
sebagai akibat berhentinya jantung dan paru.

Henti Jantung

Henti jantung yaitu berhentinya jantung seseorang berkontraksi sehingga tidak adanya cardiac
out put/curah jantung dan menyebabkan orang tersebut kehilangan denyut nadi dan tekanan
darah. Berhentinya sirkulasi yang tiba tiba maka penderita akan kehilangan kesadaran dalam
waktu lebih kurang 15 detik serta pada umumnya akan terjadi henti nafas dan dilatasi pupil
maksimum dalam waktu 30-60 detik kemudian, Sudden Cardiac Arrest henti jantung mendadak
menunjuk pada kasus henti jantung tak terduga /mati mendadak disebabkan oleh penyakit
jantung dengan /tanpa adanya gejala dalam kurun waktu kurang dari 1 jam Henti jantung primer
menunjuk pada kasus dimana oksigen tidak beredar dan oksigen yang tersisa dalam organ vital
akan habis dalam beberapa detik.

Istilah dalam bantuan hidup dasar


Jaw thrust merupakan tata cara membuka jalan nafas,paling bagus dilakukan pada pasien
trauma yang diduga cedera tulang leher / fraktur servikal.
Head till, menengadahkan dahi dengan telapak tangan.
Chin lift adalah membuka mulut dengan topang dagu, umumnya dilakukan pada kasus
paenderita non trauma, tidak boleh dilakukan pada pasien trauma.
Nafas buatan adalah memberikan tiupan nafas melalui mulut atau hidung oleh penolong kepada
penderita agar paru paru penderita mendapatkan oksigen.
Kompresi jantung adalah penekanan dada penderita dengan mempergunakan kedua tangan
penolong agar jantung berkontraksi untuk memompakan oksigen dalam darah ke seluruh
tubuh.
Finger swap merupakan tata cara membersihkan jalan nafas kalau ada sumbatan jalan nafas,
misalnya perdarahan di mulut, ada benda asing di mulut, maupun oleh sebab lain.
Tujuan Tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Tujuan BHD adalah memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang dengan melakukan kompresi
dada dan memberikan bantuan nafas setelah terhentinya pernafasan.

Indikasi Indikasi dilakukan bantuan hidup dasar yaitu terjadinya henti napas dan henti jantung.
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari
korban/pasien. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan
terjadi henti nafas. Henti Jantung : Tidak berdenyutnya jantung yang ditandai dengan tidak
terabanya arteri carotis.

Alasan tidak melakukan bantuan hidup dasar

Dalam Sarana Kesehatan. BHD/RJP tidak dilakukan jika :


Ada permintaan dari pasien/keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangani oleh
pasien/keluarga
Henti Jantung terjadi akibat penyakit dengan stadium akhir yang mendapat pengobatan secara
optimal
Untuk neonatus/bayi yang memiliki mortalitas tinggi
Diluar Sarana Kesehatan BHD/RJP tidak dilakukan jika :
Terdapat tanda-tanda kematian yang ireversibel.
Upaya RJP yang membahayakan penolong
Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan
Keputusan Penghentian RJP :
Bila penolong sudah memberikan pertolongan secara optimal
Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun atau
mengalami over dosis obat.
Kejadian henti jantung tidak disaksikan penolong
Asistol yang menetap terekam selama 10 menit atau lebih (bila di sarana kesehatan).
Prosedur Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Prosedur Bantuan hidup dasar mengalami perubahan sesuai dengan pedoman AHA pada
Oktober 2010 yaitu :
Penderita dinyatakan mengalami henti jantung mendadak berdasarkan tidak adanya respons
dan pernafasan
Look, Feel and Listen
Kompresi dada yang kontinyu dilakukan oleh penolong yang tidak terlatih
Urutan pertolongan mendahulukan kompresi dari pada bantuan pernafasan (CAB dibandingkan
ABC) (30 Kompresi jantung luar : 2 kali bantuan nafas) dilakukan bila pasien tidak ada nadi
tidak ada nafas.
RJP dilakukan sampai terjadi sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation) (ROSC) atau
dinyatakan berhenti
Penyederhanaan algoritme dan peningkatan focus metode, ( Buku Panduan Kursus Bantuan
Jantung Dasar, Edisi 2013 Penerbit PP Perki ).
Komponen yang harus dikuasai oleh penolong dalam melakukan BHD :
Pengetahuan penilaian keadaan pasien
Pelaksanaan kompresi dada yang baik
Penilaian pergerakan dada serta pemberian nafas bantuan yang baik
Penggunaan Automated External Defibrillator yang baik (jika tersedia) Bantuan hidup dasar
merupakan gabungan pengamatan dan tindakan yang tidak terputus yang disebut “Chain of
Survival”.
Sumber Bacaan : 1. PP Perki, 2013, “ Panduan Kursus Bantuan Jantung Dasar (Basic cardiac
Life Support)”, Penerbit PP Perki Jakarta, Edisi 2013 2. Muslihat, S Kep, NS,” Keperawatan
Gawat Darurat”, Nuha Medika, 2010 3. Adi T Tilong,” Pertolongan Pertama pada Berbagai
Penyakit, “, Flasbooks 2014. 4. Pedoman Pelayanan Gawat Darurat tahun 1995.

Kkpk 2

Materi : KONSEP KEGAWATDARURATAN


“PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT UNTUK AWAM”
(P3K-FIRST AID)

A.Latar​ Belakang

WWW.Adzanri.com​, Dalam memberikan pertolongan dalam pelayanan gawat darurat,


pertolongan awal (pertolongan pertama) sangatlah penting, karena pertolongan yang tidak
cepat dan tidak tepat pada kasus gawat darurat dapat menyebabkan korban akan meninggal
atau cacat.
Memberikan pertolongan pertama pada saat terjadi kecelakaan dan juga untuk tetap
mempertahankan diri sendiri agar tetap prima selama melakukan ​perjalanan.Memberikan
pertolongan awal serta memindahkan penderita gawat darurat dengan aman / tanpa
memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan/rumah sakit yang memadai
(​Lih.Pedoman​ pelayanan gawat darurat Depkes RI 1995:9).
UU Penanggulangan Bencana NO 24 2007 Bab I Tentang ketentuan umum Pasal 1 Ayat
(10),”Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan pra sarana

B.Tujuan​ pelayanan gawat darurat adalah :


1. Mencegah terjadinya kematian
2. Mencegah terjadinya kecacatan
3. Menstabilkan korban akan tetap hidup dan bebas dari kecacatan.
8. Merujuk korban ke fasilitas pelayanan kesehatan. (SPGDT, 2006)
B.1.Golongan​ orang awam terdiri dari :

Awam biasa: Guru guru, pelajar, pengemudi kendaran bermotor, ibu ibu rumah tangga,
petugas hotel, dll.
Awam Khusus : Anggota polisi, Petugas dinas pemadam kebakaran, satpam/hansip, DLLAJR,
Petugas SAR, Anggota Pramuka dll.
Sebaiknya masyarakat diberikan pelatihan, Bantuan Hidup Dasar/RJP, P3K, First Aid, atau
PPGD Awam.
C.Pengertian​ Gawat Darurat
Pelayanan kesehatan kegawat daruratan (dalam kedaan emergency) sehari hari adalah hak
azasi manusia/hak setiap orang, dan merupakan kewajiban yang dimiliki setiap orang. (Seri
PPGD/GELS/SPGDT Dirjen Buk Depkes RI tahun 2004).
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.
Gawat Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga, atau
siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit memerlukan
pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat memerlukan pelayanan yang cepat, tepat,
bermutu dan terjangkau. (Etika dan Hukum Kesehatan, ​Prof.Dr.Soekijo​ Notoatmojo 2010)
Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu. Ayat (2) Dalam keadaan darurat Fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
C.1.Klasifikasi​ Gawat Darurat
Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan
secepatnya.
Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya
kanker stadium lanjut.
Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mêngancam nyawa dan anggota
badannya, misanya luka sayat dangkal.
Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.
Kecelakaan (Accident) Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya
mendadak, tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial)
D.Keterampilan​ yang harus dimiliki oleh Tim Kesehatan dalam PPGD (First Aid-P3K) Awam
adalah :
ü Keterampilan dalam memberikan tugas pertolongan :
Memberikan pertolongan tanpa membahayakan diri sendiri
Melindungi korban mengurangi risiko yang lebih besar
Melakukan Bidai, Balut Luka untuk menghentikan perdarahan
Melakukan penilaian penderita secara sederhana, mengenal tanda tanda syok
Melaksanakan BHD/RJP
Melakukan penatalaksanaan pra rujukan kegawatan daruratan
Melakukan penatalaksanaan dan pra rujukan luka dan perdarahan (balut luka)
Melakukan penatalaksanaan pertolongan pertama pada cidera akibat trauma pembidaian
Mengetahui tanda tanda syok pada korban.
Mengangkat – memindahkan penderita gawat darurat secara benar, tanpa alat atau pakai alat .
Membawa/merujuk korban pada sarana pelayanan kesehatan / medis terdekat

E.Langkah​ langkah P3K antara lain :


1. 3 A (Aman diri, Aman Lingkungan Aman Korban)

ü Aman diri adalah menyadari keselamatan dan kemampuan diri dalam memberikan
pertolongan dan alat pelindunng diri.
ü Aman lingkungan adalah terhindar dari bahaya dan trauma atau adanya saksi, perhatikan
lingkungan sendiri,
ü Aman korban korban diberikan pertolongan di tempat yang sudah aman .
2. Perhatikan tanda jalan nafas pasien apakah ada nafas atau tidak atau periksa nadi pasien
apakah ada nadi atau tidak
3. Menguasai tata cara buka jalan nafas korban
4. Menguasai praktek RJP
5. Mengetahui penyebab korban tidak sadar trauma atau non trauma
6. Tenang dalam melakukan pertolongan
F.ASPEK​ LEGAL PELAYANAN GAWAT DARURAT AWAM
1. Konsep/program PBB/WHO
2. UU Kesehatan Np.36/2009
3. UU Kepolisian Negara RI No. 2/2002
4. UU Penanggulangan Bencana No. 24/2007
5. Peraturan Ka. BNPB No. 3/2008
6. Perda Penanggulangan Bencana No. 5/2007
7. Charitable immunity & Medical Necessity
8. Buku Seri PPGD tahun 2006 Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai