Ada tujuh langkah menuju keselamatan pasien, yaitu: 1. Membangun kesadaran akan nilai ke selamatan pasien. Ciptakan budaya adil dan terbuka. 2. Memimpin dan mendukung staf. Tegakkan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. 3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Bangun sistem dan proses untuk mengelola risiko dan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kesalahan. 4. Mengembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf mudah untuk melaporkan insiden secara internal atau lokal dan eksternal atau nasional. 5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara cara berkomunikasi secara terbuka dan mendengarkan pasien. 6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Untuk menggunakan analisa Akar masalah guna pembelajaran tentang bagaimana dan mengapa terjadi insiden. 7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Pembelajaran lewat perubahan-perubahan di dalam praktik, proses atau sistem. Untuk sistem yang sangat kompleks seperti fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencapai hal-hal diatas dibutuhkan perubahan budaya dan komitmen tinggi bagi seluruh staf dalam waktu yang cukup lama.
B. Kriteria Monitoring & Evaluasi Patient Safety
Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) 2008 disebutkan bahwa kriteria monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh: 1. Rumah sakit a. Program rumah sakit secara berkala melakukan monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilaksanakan oleh Unit KerjaKeselamatan pasien Rumah Sakit. b. Unit Kerja Keselamatan Pasien Rumah Sakit secara berkala (paling lama 2 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan prosedur keselamatan pasien yang dipergunakan di rumah sakit. c. Unit Kerja Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan kagiatan setiaptriwulan dan membuat tindak lanjutnya. 2. KARS KARS melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program keselamatan pasien dengan menggunakan instrument akreditasi rumah sakit. 3. KKPRS-PERSI a. KKPRS melakukan monitoring dan evaluasi pedoman-pedoman yang telah disusun paling lama setiap 2 tahun sekali. b. KKPRS melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan yang telah dilakukan oleh rumah sakit C. Komunikasi Antar Anggota Team Kesehatan Inter professional calaboration (IPC) adalah kerjasama antara profesi kesehatan dengan latar pendidikan berbeda menjadi satu tim berkolaborasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang efektif (WHO, 2010). IPC menurut Institute of Medicine (IOM) bekerjasama efektif dalam tim memegani peranan utama dalam perbaikan sistem organisasi pemberian pelayanan berfokus pada pasien (Patient Cantared Care), karna lebih aman, efektif dan efisien (Anthoineet al., 2014; Gree et al., 2015; Rousseau etal., 2017; Stephens et al., 2016). IPC merupakan strategi dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Strategi IPC bertujuan untuk patient safety, kekurangan SDM, dan mengubah sistem perawatan kesehatan yang lebih efektif (National Research Council 2000). IPC yang tidak baik akan memberikan dampak yang tidak baik bagi pihak Rumah Sakit, staf dan pasien sebagai penerima pelayanan. Adapun dampak yang ditimbukan adalah semakin meningkatnya ketidak puasan hingga maraknya tuntutan pasien atau keluarga pasien (Tang et al., 2018). Dengan demikian IPC merupakan hal yang penting dalam pelayanan rumah sakit. Di Indonesia berdasarkan KKPRS dari tahun 2010 – tahun 2011 sebanyak 137 insiden. Dari 137 insiden tersebut Kejadian Nyaris Cidera (KNC) sebesar 40,15%, sedangkan KTD sebesar 55,47% dan 4,38% lainnya (Syam, 2017). Sedangkan insiden yang mengakibatkan kematian 8,76%. Data KTD belum mewakili kejadian sebenarnya di Indonesia. Data KTD masih langka untuk ditemukan, tetapi masalah malpraktik mulai banyak terungkap di media informasi. Hal ini terjadi karena pelayanan bermutu dan aman bagi pasien di Indonesia masih belum komprehensif. Kolaborasi yang baik akan menghasilkan outcom yang baik terutama pada PCC. Outcome yang dihasilkan pada IPC terhadap PCC akan baik jika PPA (perawat, dokter, apoteker dan ahli gizi) melaksanakan proses IPC secara efektif (Bosch & Mansell, 2015; Bursiek, April A, 2017; Goldman, Joanne, 2016). Dimana menurut Orchard et al., (2018), bahwa praktek IPC dibagi 4 dimensi dalam Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) meliputi partnerships, Cooperation, Coordination, Shared Decision Making. Partnerships merupakan jenis hubungan kerja yang dilandasi hukum antara dua atau lebih orang, Cooperation adalah usaha yang dilakukan bersama antara individu atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan persama dalam organisasi. Coordination merupakan sinkronisasi upaya anggota kelompok dalam memberikan kesatuan pendapat dan tindakan dalam pencapaian tujuan organisasi, dan Shared Decision Making atau dalam pengambilan keputusan secara bersama merupakan sebuah proses dalam semua pihak yang bekerja sama dalam mengeksplorasi pendapat yang relevan. Dimensi IPC ini sangat perlu diperhatikan dan dijalankan oleh rumah sakit. D. Kebijakan Yang Mendukung Keselamatan Pasien Kebijakan-kebijakan yang mendukung “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut: 1. UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit a. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum 1) Pasal 53 (3) UU No.36/2009; “Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.” 2) Pasal 32n UU No.44/2009; “Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit. 3) Pasal 58 UU No.36/2009 a) “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau.kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.” b) “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.” 2. Tanggung jawab Hukum Rumah sakit a. Pasal 29b UU No.44/2009; ”Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.” b. Pasal 46 UU No.44/2009; “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.” c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009; “Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.” 3. Bukan tanggung jawab Rumah Sakit a. Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit; “Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “ 4. Hak Pasien a. Pasal 32d UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional” b. Pasal 32e UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi” c. Pasal 32j UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan” d. Pasal 32q UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana” 5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien a. Pasal 43 UU No.44/2009 1) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien 2) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. 3) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri 4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien
E. Monitoring Dan Evaluasi "patient safety"
Mengukur keselamatan bagaimanapun bukan semata-mata mengukur bahaya. Menilai keselamatan dengan apa yang telah terjadi di masa lalu, meski informatif, tidak dengan sendirinya memberitahu betapa bahagianya saat ini atau akan berada di masa depan. Keselamatan berkaitan dengan berbagai cara dimana sistem dapat gagal berfungsi, yang tentunya jauh lebih banyak daripada mode fungsi yang dapat diterima. Beberapa kegagalan ini mungkin sudah tidak asing lagi, bahkan bisa diprediksi, namun sistem ini mungkin juga tidak berfungsi dengan cara yang tidak terduga. Keselamatan sebagian dicapai dengan waspada terhadap gangguan, merespon dengan cepat untuk menjaga agar tetap berjalan lancar. Dokter perawat dan manajer keperawatan melakukan sepanjang waktu dalam perawatan kesehatan, mungkin lebih besar daripada industri lainnya. 1. Dimensi Pengukuran dan Pemantauan Keselamatan Vincent, Burnett, & Cartney (2013) mengelompokkan menjadi 5 dimensi : a. Kerusakan masa lalu: mencakup tindakan psikologis dan fisik b. Keandalan: mencakup ukuran perilaku dan sistem c. Sensitifitas terhadap operasi: informasi dan kapasitas untuk memantau keselamatan setiap jam atau setiap hari d. Antisipasi dan kesiapan: kemampuan mengantisipasi, dan bersiap menghadapi masalah e. Integrasi dan pembelajaran: kemampuan untuk merespon dan memperbaiki, informasi keselamatan 2. Sistem Pelaporan Sistem pelaporan dalam perawatan kesehatan pada awalnya ditujukan untuk menyediakan sarana pengukuran dan pembelajaran baik dari kejadian buruk maupun masalah keselamatan lainnya. Hasil penelitian Vincent, Burnett & Cartney (2013) menunjukkan bahwa sistem pelaporan rutin yang diterapkan di rumah sakit melewatkan sebagian besar insiden keselamatan pasien yang diidentifikasi berdasarkan catatan kasus dan hanya mendeteksi 5% insiden yang mengakibatkan kerusakan pada pasien. 3. Pelaporan Kejadian yang Ditargetkan Beberapa organisasi menggunakan laporan kejadian prospektif atau tertarget, seringkali untuk jangka waktu tertentu, untuk mengatasi masalah keamanan yang diketahui. Misalnya, dalam beberapa praktik keperawatan primer ada minggu- minggu tertentu ketika Setiap kejadian buruk dicatat. Dari sini, tak mungkin diminta untuk melaporkan masalah spesifik seperti kehilangan hasil tes berdasarkan target untuk bulan berikutnya (Australian Commission on Safety and Quality in Helathcare, 2010). 4. Pelaporan Wajib ‘Tidak Pernah Kejadian’ Beberapa kejadian keselamatan jarang terjadi namun memiliki konsekuensi tragis misalnya kematian karena menyuntikkan obat intravena ke sumsum tulang belakang. Adalah peristiwa keselamatan yang paling menonjol dan paling mengganggu yang sesuai dengan kecelakaan dominan lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut dituangkan dalam daftar 28 ‘tidak pernah kejadian’ yang disusun oleh forum mutu nasional Inggris pada tahun 2004 dan sejak diadopsi oleh banyak organisasi sebagai target keselamatan. Identifikasi kejadian langka namun mengerikan ini selalu bergantung pada pelaporan, setidaknya sampai cara yang dapat diandalkan untuk mencari rekam medis elektronik muncul. 4. Monitoring dan Evaluasi Dilakukan Oleh Komite Mutu dan Keselamatan Pasien a. Monitoring 6 sasaran keselamatan pasien menggunakan indikator mutu, yang mana pengambilan data dilakukan oleh petugas pengambil data mutu unit, yang kemudian dimasukkan dalam sismadak. b. Monitoring tujuh langkah menuju keselamatan pasien dan 12 dimensi keselamatan pasien dengan menggunakan survei pada seluruh ruang lingkup penerapan budaya keselamatan pasien. c. Petugas penyiapan kebutuhan Survei adalah komite mutu dan keselamatan pasien. d. Petugas monitoring atau Survei adalah penanggung jawab pengambil data di setiap unit. e. Petugas analisa data adalah komite mutu dan keselamatan pasien. f. Petugas pembuat laporan pelaksanaan kegiatan komite mutu dan keselamatan pasien. g. Survey budaya keselamatan pasien menggunakan kuesioner dari HSOPC (Hospital Survey on Patient Safety Culture) yang dikembangkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) 2016 dan disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. 6. Waktu Pelaksanaan a. Analisa 6 sasaran keselamatan pasien dilakukan setiap 3 bulan b. Analisa 12 dimensi budaya keselamatan pasien dilakukan, setiap dimensi budaya keselamatan pasien c. Analisa dibuat menggunakan grafik d. Analisa mencakup analisa pencapaian dan permasalahan e. Hasil pengumpulan data dan analisa dilaporkan pada pimpinan atau direktur rumah sakit 7. Melakukan Tindak Lanjut Perbaikan Data yang telah dianalisa, apabila sudah baik dipertahankan atau ditingkatkan, Namun apabila masih kurang dilakukan perbaikan.