Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLINGUISTIK

LANDASAN NEUROLOGIS PADA


BAHASA

OLEH :

Kelompok 6
Darmayanti Faisal 1451040017
Windi Mawardani 1651040009
Widhiarto Nugroho 1651042002
Isra Fajria Arham 1651042005
Asmiyanti Kadir 1651042012
Putri 1651042022

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
A. Evolusi Otak Manusia
Salah satu pertumbuhan yang telah diselidiki oleh para ahli
palaeneurologi menunjukkan bahwa evlusi tak dari
primatAustrolopithecussampai dengan manusia saat kini telah berlangsung
sekitar 3 tahun. Hal ini tampak paling tidak pada ukuran otak yang
membesar dari 400 mg menjadi 1400 mg (Holloway 1996: 74; Rumbaugh,
dkk. 1991) pada kurun waktu antara 3-4 juta tahun lalu. Dari munculnya
Homo erectussampai dengan Homosapienspada sekitar 1,7 uta tahun yang
lalu ukuran otak telah berkembang hampir dua kali lipat, dari 800 mg ke
1500 mg. Meskipun ukuran itu sendiri bukanlah satu-satunya indikator
untuk mengukur perubahan fungsi, paling tidak ukuran itu memungkinkan
akan adanya fungsi yang bertambah.

Perkembangan otak ini dibagi menjadi empat tahap (Holloway 1996:


85). Tahap pertama adalah tahap perkembangan ukuran seperti yang
dikatakan sebelumnya. Tahap ini tampak pada Homo erectusyang
ditemukan di Jawa dan yang ditemukan di Cina. Tahap kedua adalah adanya
perubahan reorganisasi pada otak tersebut. Lembah-lembah pada otak ada
yang bergeser sehingga memperluas daerah lain seperti daerah yang
dinamakan daerah parietal. Perubahan ini terjadi pada masa
praaustrolopithecuuske Austrolopithecusafarensis. Perubahan ketiga
adalah munculnya sistem fiber yang berbeda-beda pada daerah-daerah
tertentu melalui corpuscollosum.Fiber-fiber ini dapat diibaratkan sebagai
kabel listrik yang memberikan aliran-aliran elektrik untuk menggerakkan
atau melakukan sesuatu. Perkembangan terakhir adalah munculnya dua
hemisfir yang asimitris. Dua tahap terakhir ini terjadii pada saat perubahan
Homo erectuske Homosapiens.
B. Otak Manusia VS Otak Binatang
Di samping bentuk tubuh dan ciri-ciri fiksikal lain, yang
membedakan manusia dengan binatang adalah terutama otaknya.
Dibandingkan dengan beberapa binatang lain seperti monyet dan anjing,
volume otak manusia memang lebih besar. Akan tetapi, yang memisahkan
manusia dari kelompok binatang, khsusunya dalam hal penggunaan bahasa,
bukanlah ukuran dan bobot otaknya. Kerbau dan gajah jelas mempunyai
otak yang lebih besar dari manusia, tetapi tetap saja makhluk-makhluk ini
tidak dapat beerbahasa. Sebaliknya, manusia nanocephalic(manusia kate),
yang otaknya hanya sekitar 400 gr dan kira-kira sama dengan berat otak
seekor simpanse umur tiga tahun, dapat berbicara secara normal sedangkan
simpanse tidak.
Manusia berbeda dari binatang karena struktur dan organisasi
otaknya berbeda. Perkembangan makhluk sepertidigambarkan di Bagian 1
bab ini telah “menakdirkan” kita manusia untuk berbeda dari primate lain.
Marilah kita lihat sejauh mana otak manusia itu berbeda dari tak binatang.

a. Otak Manusia
Dari segi ukurannya berat otak manusia adalah anatara 1 sampai 1.5
kilogram (Steinbergdkk 2001; 311; Dingwall 1998:60) dengan rata-rata
1330 gram (Holloway 1996: 77). Untuk ukuran orang Barat. ini
hanyalah 2% dari berat badannya ; untuk manusia Indonesia mungkin
lebih ringan dari itu. Akan tetapi, ukuran yan sekecil ini menyedot 15%
dari seluruh peredaran darah dari jantung dan memerlukan 20% dari
sumberdayametabolitik manusia. Dari data ini saja tampak bahwa otak
“memerlukan” perhatian khusus dari badan kita dan tentunya ada alasan
mengapa demikian.
Seluruh sistem saraf kita terdiri dari dua bagian utama: (a) tulang
punggung yang terdiri dar sederet tulang punggung yang bersambung-
sambungan (spinalcorl) dan (b) ota. Otak itu sendiri terdiri dari dua
bagian: (i) batang otak (brainstem)dan (ii) konteks serebral
(celebralcortex). Tulang punggung dan konteks selebral ini merupakan
sitem syaraf sentral untuk manusia. Segala ihwal yang dilakukan
manusia, baik yang berupa kegitan fisik maupun mental dikendalikan
oleh sistem saraf ini. Perhatikan Bagan 1 di halaman beikut (dari
Panfiled dan Roberts 1959:15).
Batang otak terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan medulla,
pons, otak tengah, dan cerebellum. Bagian ini terutama berkaitan
dengan fungsi fisikaltubh, termasuk pernafasan, detak jantung, gerakan,
reflex,pncernaan dan permunculan emosi (Stemberkdkk 2001:312).
Konteks selebral menangani fungsi-fungsi intelektual dan bahasa.
Konteks selebral manusia terdiri dari dua bagian:hemisfir kiri dan
hemisfir kanan. Kedua hemisfir ini dihubungkan oleh sekitar 200 juta
fiber yang dinamakan korpus kolosum.

Bagan 1: Sistem Syaraf Sentral Manusia

(corpuscollosum) (Dingwall 1998:75). Lihat bagan 2 di halaman berikut.

Hemisfir kiri mengendalikan semua anggota badan yang ada di


sebelah kanan, termasuk muka bagian kanan. Sebaliknya, hemisfir kanan
mengontrol anggota badan dan wajah sebelah kiri. Jadi, dari segi
pengontrolan fisik, kedua hemisfir ini saling silang—yang kiri mengontrol
yang kanan, yang kanan mengontrol yang kiri. Korpus kolusumberugas
mengintegrasi dan mengkoordinir apa yang dilakukan oleh kedua hemisfir
tersebut.

Mata dan telinga diatur agak berbeda. Pada tiap mata dan telinga
terdapat sambungan syaraf ke hemisfir kiri maupun kanan, meskipun
jumlahnya berbeda. Jadi, dari mata kiri, misalnya, ada “sambungan kabel”
ke kedua hemisfir tersebut; hanya saja yang kehemisfir kanan lebih banyak
dari pada yang kehemisfir kiri. Hlakebalikkannya juga terjadi pada mata
kanan.

Bagan 2: HemisfirKiri dan Kanan

Karena sistem “pengkabelan” yang seperti ini, maka kalau salah satu
mata kita terganggu, atau bahkan buta, kita masug bisa melihat objek secara
utuh. Begitu juga dalam dal pendengaran.

Pada waktu manusia dilahirkan, belum ada pembagian tuga antara


kedua kemisfir ini. Akan tetapi, menjelang anak mencapai umur sekitar 12
tahun terjadilah segala pembagian fungsi yang dinamakan lateralisasi. Pada
mulanya dinyatakan bahwa hemisfir kiri “ditugasi” terutama untuk
mengelolah ihwal bahasa dan hemisfir kanan untuk hal-hal yang lain.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfir kanan pun ikut
bertanggung jawab pula akan penggunaan bahasa.

Wujud fisik dari hemisfir kiri dan kanan hampir merupakan pantulan
cermin, tetapi di sana sini ada sedikit perbedaan, misalnya, pada hemisfir
kiri ada daerah, yakni daerah Wernicke, yang lebih luas daripada bagian
yang sama di hemisfir kanan. Karena dalam kaitannya dengan bahasa yang
paling banyak berperan adalah hemisfir kiri, maka yang disajikan di Bagan
3 di bawah ini adalah hemisfir kiri (Geschwind 1981:113).

Seperti terlihat pada bagian ini, hemisfir kiri terdiri dari empat
daerah besar yang dinamakan lobe: lobe frontal (frontal lobe), lobe temporal
(temporal lobe), lobeosipital (occipitallobe), dan lobeparietal (parietallobe).
Di samping

Bagan 3: Hemisfir Kiri Otak Manusia


Fungsi kebahasan yang akan kita bagasakemudia, keempat lobe ini
mempunyai tugas sehari-hari. Lobe frontal bertugas mengurusi ihwal yang
berkaitan dengan kognisi; lobe temporal mengurusi hal-hal yang berkaitan
dengan pendengaran; lobeosipital menangani ihlwal penglihatan; dan
lobepariental mengurusi rasa somaestetik, yani, rasa yang ada pada tangan,
kaki, muka, dsb.

Pada lobe frontal terdapat suatu daerah yang kemudian dikenal


sebagai daerah Broca. Nama ini berasal dari seorang ahli bedah saraf
Prancis yang bernama Piere Paul Broca yang hidup dari tahun 1824-1880.
Suatu saat dia temukan seorang pasien, Leborgne, yang kehilangan
kemampuan untuk berbicara. Pasien ini mengalami gangguan wicara
selama 21 tahun sejak dia berumur 31. Bila diajak bicara mengenai apapun,
dia hanya akan merespondnya dengan kata tan sehingga akhirnya dia
dikenal sebagai Mr. Tan!

Menjelang tahun 1863 Broca telah menyelidiki sekitar 20 kasus


seperti yang diderita oleh Mr. Tan. Setelah melakukan berbagai operasi pos
mortem (sesudah orangnya meninggal) akhirnya dia berkesimpulan baha
“kita berbicara dengan memakai hermifir kiri.” Daerah yang berkaitan
dengan wicara ini sampai kini dikenal dengan daerah Bronca.

Seorang ahli lain dari Jerman, CarlWernicke. yang hidup dari tahun
1848-1904, memounyai pasien yang kena gangguan wicara yang sifatnya
lain. Pasien ini dapat bicara dengan lancara, tetapi maknanya tidak karuan.
Begitu juga kopeherensinya—sangat terganggu. Setelah diteliti lebih lanjut
dan dibandingkan dengan pasien-pasien lain maka disimpulkan bahwa di
lobe temporal dan agak menjorok ke daerah pariental ada daerah yang
berkaitan dengan komprehensi. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama
daeragWernickke.

Pada semua lobe terdapat apa yang dinamakan girus (gyrus) dan
suklus (sulcus). Girus adalah semacam gunduk atau bukit dengan lereng-
lerengnya sedangkan suklus adalah seperti lembah, bagian yang masuk ke
dalam. Salah satu girus tersebut adalah girysangular (angulargyrus). Girus
ini mempunyai fungsi untuk menghubungkan apa yang kita lihat dengan apa
yang kita pahami di saerahWernicke.

Untuk menghbungkan apa yang kita dengar atau lihat dengan apa
yang kita ujarkan ada kelompok fiber yang dinamakan fasikulusarkuat
(arcuatefasciuulus). Tugas fiber-fiber ini adalah untuk mengkoordinir
pendengaran, penglihatan, dan pemahaman yang diproses dari daerah
Wernicke dengan proses pengujaran yang dilakukan didaerah Broca.

Di dekat daerah Broca, agak kebelakang, ada jalur yang dinamakan


korteks motor (motor cortex). Konterks ini bertugas untuk mengendalikan
alat-alat ujar seperti lidah, rahang, bibir, gigi, dan pita suara.

Pada lobe temporal terdapat korteks pendengaran primer


(primaryauditorycortex) yang berfungsi untuk menanggapi bunyi yan
didengar. Pada lobeosipital juga terdapat korteks yang serupa, korteks
visual, tetai tugasnya adalah untuk menanggapi apa yang dilihat.

b. Otak Binatang
Pada makhluk seperti ikan, tikus. dan burung, misalnya, korteks
serebral boleh dikatakan tidak tampak, padahal korteks inilah yang sangat
berkembang pada manusia. Pada makhluk lain seperti simpanse dangorila
juga tidak terdapat daerah-daerah yang dipakai untuk memproses bahasa.
Sementara orang memakai sebagian besar otaknya untuk proses mental,
termasuk proses kebahasaan, binatang seperti lebih banyak memakai
otaknya untuk kebutuhan-kebutuhan fisik.
Dari perbandingan antara otak manusia dengan otak binatang yang
paling baik struktur atau organisasinya sangat berbeda. Perbedaan
neurologis seperti inilah yang membuat manusia dapat berbahasa sedangkan
binatang tidak.
C. KAITAN OTAK DENGAN BAHASA
Orang sudah lama sekali berbicara tentang otak dan bahasa.
Aristoteles pada tahun 384-322 Sebelum Masehi telah berbicara soal hati
yang melakukan hal-hal yang kini kita ketahui dilakukan oleh otak. Begitu
pula pelukis terkenal Leonardo daVinci pada tahun 1500-an (Dingwall
1998: 53). Namun titiktolak yang umum dipakai adalah setelah penemuan-
penemuan yang dilakukan oleh Broca dan Wernicke pada tahun 1860-an.
Dari struktur serta organisasi otak manusia seperti digambarkan di
Bagian 2 tampak bahwa otak memegang peran yang sangat penting dalam
bahasa. Bagaimana persisnya kaitan ini dapat dilihat pada Bagan 4 berikut
(Geschwind 1981).
Apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi-
bunyi itu ditanggapi di lobetemporal, khususnya oleh korteks primer
pendengaran. Di siniinputtadi diolah secara rinci sekali, misalnya, apakah
bunyi sebelum bunyi /o/ yang didengar itu memiliki VOT +60 milidetik,
+20 milidetik, atau diantara kedua angka ini.

Bagan 4: Proses Mental untuk Masukan Lisan

Angka indekVOT ini penting karena kalau VOT-nya adalah +0


milidetik, maka bunyi itu pastilah vois seperti /b/ atau /g/: kalau lebih dari
+30 milidetik, pastilah itu bunyi tak vois seperti /p/ atau /k/, dst. Konteks ini
juga meneliti apakah urutan bunyinya adalah, misalnya, /p/, /o/,/s/ (pos) atau
/s/,/o/,/p/ (sop).

Setelah diterima, dicerna, dan diolah seperti ini maka bunyi-bunyi


bahasa tadi “dikirim” ke daerah Wernieke untuk diinterpretasikan. Di
daerah ini bunyi-bunyi itu dipilah-pilah menjadi sukukata, kata, frasa,
klausa, dan akhirnya kalimat. Setelah diberi makna dan dipahami isinya,
maka ada dua jalur kemungkinan. Bila masukan tadi hanya sekadar
informasi yang tidak perlu ditanggapi, maka masukan tadi cukup disimpan
saja dalam memori. Suatu saat nanti mungkin informasi itu diperlukan. Bila
masukan tadi itu perlu ditanggapi secara verbal, maka interpretasi itu
dikirim daerah Broca melalui fasikulusarkuat.

Didaerah Broca proses penanggapandimulai. Setelah diputuskan


tanggapan verbal itu bunyinya seperti apa maka daerah Broca
“memerintahkan” motor korteks untuk melaksanakannya. Proses
pelaksanaan di korteks motor juga tidak sederhana. Untuk satu ujaran ada
minimal 100 otot dan 140.000 rentetan neuromuskuler yang terlibat. Motor
korteks juga harus mampu mempertimbangkan tidak hanya urutan kata dan
urutan bunyi, tetapi juga urutan dari fitur-fitur pada tiap bunyi yang harus
diujarkan.

Ambillah perkataan dia pada kalimat

1). Dia belum pulang.


Karena bunyi /d/ mempunyai fitur [+vois], di samping fitur-fitur lain
seperti [+konsonatal], [+anterior], [-bilabial], [+alveolar], [-nasal], maka
korteks motor harus memerintahkan pita suara untuk bergetar 30 milidetik
lebih awal daripada perintah-perintah yang lain. Hal ini disebabkan karena
pita suara letaknya paling jauh dibandingkan dengan alat-alat penyuara yang
lain. Sebaliknya, untuk bunyi /p/ pada kata pulang di kalimat (1) di atas, pita
suara harus diperintahkan untuk bergetar paling awal 25 milidetik setelah
bunyi /p/ itu diucapkan. Ini untuk menjamin bahwa bunyi bilabial yang
keluar itu benar-benar /p/ dan bukan /b/.
Perpindahan dari bunyi /d/ ke /i/ dan kemudian ke /a/ untuk kata dia
juga memerlukan koordinasi yang sangat akurat. Ujung lidah yang
menempel pada daerah alveolar di mulut untuk bunyi /d/ yang kemudian
harus dengan tepat berubah bentuk menjadi lengkung dan tinggi-depan
untuk /i/, misalnya, harus dikoordinasi dengan rapi sekali sehingga hasilnya
benar-benar mencerminkan bunyi yang natif. Tanpa ketepatan ini maka
pembicara akan kedengaran seperti orang asing. Bilainputyangmasuk bukan
dalam bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan , maka jalur pemrosesannya
agak berbeda.

Masukan tidak ditanggapi oleh korteks primer pendengaran, tetapi


oleh korteks visual di lobeosipital. Masukan ini tidak langsung di kirim ke
daerah Warnicke, tetapi harus melewati girus anguler yang
mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah
tahap ini, prosesnya sama yakni, inputtadi dipahami oleh daerah Wernicke,
kemudian dikirim ke daerah Broca bila perlu tanggapan verbal. Bila
tanggapannya juga visual, maka informasi itu dikirim ke daerah parietal
untuk diproses visualisasinya.
D. PERAN HEMISFIR KIRI DAN HEMISFIR KANAN
Dari gambaran di atas jelas tampak bahwa hemisfir kiri merupakan
hemisfir yang “bertanggung” jawab tentang ihwal kebahasaan. Akan tetapi,
apakah hemisfir kanan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
kebahasaan?
Pandangan lama memang mengatakan bahwa ihwal kebahasaan itu
ditangani oleh hemisfir kir dan sampai sekarang pandangan itu masih juga
banyak dianut orang dan banyak pula benarnya. Penelitian Wada (1949)
yang memasukkan, cairan kedua hemisfir menunjukkan bahwa bila hemisfir
kiri yang “ditidurkan” maka terjadilah gangguan wicara. Tes yang
dinamakan dichoticlisteningtestyang dilakukan oleh Kimura (1961) juga
menunjukkan hasil yang sama. Kimura memberikan input, katakanlah kata
dapada telinga kiri, dan ba pada telinga kanan secara simultan. Hasil
eksperimen ini menunjukkan bahwa input yang masuk lewat telinga kanan
jauh lebih akurat daripada yang lewat telinga kiri.
Dari hasil operasi yang dinamakan hemispherectomy- operasi di
mana satu hemisfir diambil dalam rangka mencegah epilepsi – terbukti juga
bahwa bila hemisfir kiri yang diambil maka kemampuan berbahasa orang
itu menurun dengan drastic. Sebaliknya, bila yang diambil hemisfir kanan,
orang tersebut masih dapat berbahasa, meskipun tidak sempurna.
Meskipun kasus-kasus di atas mendukung peran hemisfir kiri
sebagai hemisfir bahasa, dari penelitian-penelitian mutahir didapati bahwa
pandangan ini tidak seluruhnya benar. Hemisfir kanan pun ikut berperan.
Seperti dikatakan sebelumnya, pada saat manusia dilahirkan, pada
kedua hemisfir itu belum ada lateralisasi, yakni belum ada pembagian tugas.
Hal ini terbukti dengan adanya kasus-kasus di mana sebelum umur belasan
bawah (11,12,13 tahun), anak yang cendera hemisfir kirinya dapat
memperoleh bahasa seperti anak yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa
hemisfir kanan pun mampu untuk melakukan fungso kebahasaan.
Di samping itu, ada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang
ternyata ditangani oleh hemisfir kanan. Dari orang-orang yang hemisfir
kanannya terganggu didapati bahwa kemampuan mereka dalam
mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi menjadi kacau. Mereka
tidak mampu lagi untuk menyatakan apa yang terjadi pertama, kedua, ketiga
dst.
Orang-orang ini juga mendapatkan kesukaran dalam menarik
inferensi. Kalau orang mendengar atau membaca sebuah cerita tentang
seorang pria yang sering menelpon, menemui, dan mengajak pergi seorang
wanita, maka dia akan kesukaran untuk menarik kesimpulan bahwa pria
tersebut menyukai wanita itu.
Orang yang terganggu hemisfir kanannya juga tidak dapat
mendeteksi kalimat ambigu; dia juga kesukaran memahami metafora
maupun sarkasme. Intonasi kalimat interogatif juga tidak dibedakan dari
intonasi kalimat deklaratif sehingga kalimat Dia belum datang? Dikiranya
sebagai kalimat deklaratif Dia belum datang.
Dari gambaran ini tampak bahwa hemisfir kanan juga mempunyai
peran bahasa, tetapi memang tidak seintensif seperti hemisfir kiri. Namun
demikian, tetap saja hemisfir kanan memegang peran yang cukup penting.

E. GANGGUAN WICARA
`Seperti dikatakan sebelumnya, meskipun ukuran otak hanya
maksimal 2% dari seluruh badan manusia, ia menyedot banyak sekali energi
-15% dari seluruh aliran darah dan 20% dari sumberdaya metabolik tubuh.
Apabila aliran darah pada otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh
darah atau gangguan lain yang menyebabkan jumlah oksigen yang
diperlukan berkurang, maka akan terjadi kerusakan pada otak. Penyakit
yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah atau kurangnya oksigen
pada otak dinamakan stroke.
Stroke mempunyai berbagai akibat. Karena adanya kontrosilang dari
hemisfir kiri dan hemisfir kanan maka stroke yang terdapat pada hemisfir
kiri (kalau menyebabkan gangguan fisik akan menyebabkan gangguan pada
bekahan badan sebelah kanan. Sebaliknya, kalau stroke itu terjadi pada
hemisfir kanan, maka bagian kiri tubuhlah yang akan terganggu.
Akibat penyakit stroke juga ditentukan oleh letak kerusakan pada
hemisfir yang bersangkutan. Pada umumnya, kerusakan pada hemisfir kiri
mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan macam apa yang
timbul ditentukan oleh persisnya di mana kerusakan itu terjadi. Gangguan
wicara yang disebabkan oleh stroke dinamakan afasia (aphasia).

1. Macam-macam Afasia
Ada berbagai macam afasia, bergantung pada daerah mana di
hemisfir kita yang kena stroke. Berikut adalah beberapa macam yang
umum ditemukan (Kaplan 1994:1035).
 Afasia Broca: kerusakan (yang umumnya disebut lesion) terjadi
pada daerah Broca. Karena daerah ini berdekatan dengan jalur
korteks motor maka yang sering terjadi adalah bahwa alat-alat
ujaran, termasuk bentuk mulut menjadi terganggu; kadang-kadang
mulut bisa moncong. Afasia Broca menyebabkan gangguan pada
perencanaan dan pengungkapan ujaran. Kalimat-kalimat yang
diproduksi terpatah-patah. Karena alat penyuara kata dari kategori
sintaksis utama nomina, verba, dan adjektiva tidak terganggu, tetapi
pasien kesukaran dengan kata-kata fungsi. Pasien bisa mengingat
dan mengucapkan nomina bee atau nomina witch, tetapi dia
kesukaran mengingat dan mengatakan be atau which. Kalimat-
kalimat dia juga banyak yang tanpa infleksi atau afiks. Berikut
adalah contoh bahasa yang diucapkan oleh penderita afasia Broca
(Dingwall 1998;56).
Ya… ah… senin… nan….ti.. ayah dan Peter … haaa… dan ayah…
err..ke…rumahsakit….Dan…ehhh…kamis…pada…jam…Sembila
n. Ahh dokter…dua…dan dokter…dan…err…gigi…yaa. (pasien
ingin mengatakan bahwa dia datang ke rumahsakit untuk operasi
gigi)
 Afasia Wernicke: letak kerusakan adalah pada daerah Wernicke,
yakni bagian agak kebelakang dari lobe temporal. Korteks-korteks
lain yang berdekatan juga bisa ikut kena. Penderita afasia ini lancar
berbicara dan bentuk sintaksisnya juga cukup baik. Hanya saja,
kalimat-kalimatnya suka dimengerti karena banyak kata yang tidak
cocok maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya.
Hal ini disebabkan karena penderita afasia ini sering keliru dalam
memilih kata-kata hutan bisa digantikan dengan utang, uang dan
sebagainya. Penderita ini juga mengalami gangguan dalam
komprehensi lisan. Dia tidak mudah dapat memahami apa yang kita
katakan.
 Afasia Anomik: kerusakan orak terjadi pada bagian depan dari
lobeparietal atau pada batas antara lobeparietal dengan lobe
temporal. Gangguan wicaranya tampak pada ketidak-mampuan
penderita untuk mengaitkan konsep bunyi atau kata yang
mewakilinya. Jadi, kalau kepada pasien ini diminta untuk
mengambil benda yang bernama gunting, dia akan bisa
melakukannya. Akan tetapi, kalau kepadanya ditunjukkan gunting,
dia tidak akan dapat mengatakan nama benda itu.
 Afasia Global: pada afasia ini kerusakan terjadi tidak pada satu atau
dua daerah saja tetapi di beberapa daerah yang lain; kerusakan bisa
menyebar dari daerah Broca, melewati korteks motor, menuju ke
lobeparietal dan sampai ke daerah Wernicke. Luka yang sangat luas
ini tentunya mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat
besar. Dari segi fisik, penderita bisa lumpuh di sebelah kanan, mulut
bisa moncong dan lidah bisa menjadi tidak cukup fleksibel. Dari segi
verbal, dia bisa kesukaran memahami ujaran orang. Dia tidak mudah
dimengerti orang, dan kata-kata dia tidakdiucapkan dengan cukup
jelas.
 Afasia Konduksi (conductionAphasia): bagian otak yang rusak pada
afasia macam ini adalah fiber-fiber yang ada pada fasikulusarkurat
yang menghubungkan lobe frontal dengan lobe temporal. Karena
hubungan daerah Broca di lobe frontal yang menangani produksi
dengan daerah Wirnicke di lobe temporal yang menangani
komprehensi terputus maka pasien afasia konduksi tidak dapat
mengulang kata yang baru saja diberikan kepadanya. Dia dapat
memahami apa yang dikatakan orang. Misalnya, dia akan dapat
mengambil pena yang terletak di meja, jika disuruh demikian.

Disamping keempat macam afasia diatas, ada pula bentuk-bentuk


gangguan wicara yang lain. Disartria(dysarthria) ada pula gangguan
yang berupa lafal yang tidak jelas, tetapi ujarannya utuh. Gangguan
seperti ini terjadi karena bagian yang rusak pada otak hanyalah korteks
motor saja sehingga mungkin hanya lidah, bibir atau rahangnya saja
yang berubah. Agnosia atau demensia (demencia) adalah gangguan
pada pembuatan ide. Penderita tidak dapat memformulasikan ide yang
akan dikatakan dengan baik sehingga isi ujaran bisa loncat-loncat
kesana kemari.

2. Akibat Lain dari Stroke


Pengaruh stroke tidak terbatas hanya pada gangguan wicara saja.
Ada gangguan-gangguan lain yang tidak langsung berkaitan dengan
bahasa. penderita apraksia (apraxia) misalnya tidak dapat melakukan
gerakan-gerakan tertentu (seperti memindahkan mainan balok dari
tempat A ke B), meskipun dia tidak menderita cacat lumpuh tangan.
Penderita ataksia (ataxia) kehilangan kemampuan untuk melakukan
gerakan-gerakan muskuler yang volunter.
Orang yang kena stroke juga dapat kehilangan ingatannya. Penderita
anterograde amnesia mengalami kerusakan pada bagian otak yang
dinamakan hippocampus. Kerusakan ini menyebabkan dia tidak mampu
untuk menyimpan informasi. Informasi yang baru hanya dapat disimpan
untuk jangka waktu beberapa menit saja; sesudah itu, dia tidak ingat
lagi. Kerusakan pada hippocampus juga menyebabkan
retrogradeamnesia, yakni penyakit yang membuat dia tidak ingat masa
lalu; dia tidak ingat di mana dia tinggal, dia tidak ingat di mana barang
yang dia simpan beberapa menit yang lalu, dsb. Stroke juga dapat
menyebabkan penyajitprosopagnosia, yakni ketidakmampuan untuk
mengenal wajah. Penderita ini tidak kenal istri, anak atau siapapun.
Dari gambaran diatas dapat dipahami mengapa pada orang yang
kena stroke muncul bermacam-macam penyakit yang berbeda satu dari
yang lain. Ini semua tergantung pada persisnya daerah yang terserang.
Dalam hal merespon, misalnya orang kena afasia Broca tidak bisa
menjawab secara lisan, tetapi kalau daerah untuk tulisannya masih utuh,
dia bisa menjawab dengan cara menulis. Orang yang korteks
pendengarannya terserang, tetapi korteks visualnya masih utuh dapat
menerima input lewat tulisan.

6. HIPOTESE UMUR KRITIS


Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12 tahunan, anak
mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan
padanya secara natif. Hal ini tampak terutama pada aksennya. Gejalah ini
dinyatakan dalam hipotese yang bernama Hipotese Umur Kritis (Critical Age
Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967). Pada esensinya hipotese ini
mengatakan bahwa antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat
memperoleh bahasa mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Jadi,
seandainya ada keluarga Amerika yang tinggal di Jakarta dan kemudian mereka
melahirkan anak, dan anak itu bergaul dengan orang-orang Indonesia sampai
dengan, katakannlah umur 5-7 tahun, dia pasti akan dapat berbahasa Indonesia
Jakarta seperti anak Jakarta yang lain. Begitu juga sebaliknya: anak Indonesia
yang lahir dan besar di New York dab bergaul dengan orang-orang New York
akan berbicara bahasa Inggris New York seperti orang New York yang lain.
Hal seperti ini terjadi karena sebelum umur 12 tahun pada anak belum
terjadi lateralisasi, yakni, hemisfir kiri dan hemisfir kanan belum “dipisah” untuk
diberi tugas sendiri-sendiri. Kedua-duanya masih lentur dan masih dapat
menerima tugas apapun. Itu pulalah sebabnya mengapa orang yang kena stroke
pada umur dibawah sekitar 12 tahun akan dapat pulih 100% dalam memperoleh
bahasa sedangkan orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk sembuh
total.
Setelah masa puber mulai, yakni, umur 12 tahun, lateralisasi terjadi. Otak
suda tidak seflekdibel seperti sebelumnya. Kemampuan untuk berbahasa seperti
penutur asli sudah berkurang. VOT untuk bunyi vois juga tidak akan akurat lagi.
Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan mengapa orang dewasa yang belajar
bahasa asing akan hampir selalu kedengaran seperti orang asing, meskipun orang
ini kemudian lama tinggal dinegara di mana bahasa itu dipakai sehari-hari. Dia
mungkin sekali akan dapat menguasai tatabahasanya dengan sempurna, tetapi
aksen dia tetap akan kentara sebagai aksen asing.
Hipotese Umur Kritis banyak diperbincangkan orang dan dianut banyak
orang. Namun demikian, adapula yang menyanggahnya. Krashen (1972),
misalnya, beranggapan bahwa lateralisasi itu sudah terjadi jauh lebih awa,
sekitar umur 4-5 tahun.
Mengenai perah hemisfir dalam pemerolehan bahasa pertama maupun
bahasa keduan terdapat perbedaan pendapat. Dari penelitian ada yang
menemukan bahwa hemisfir kiri lebih banyak terlibat pada orang yang bilingual
sejak kecil daripada yang bilingual setelah dewasa (Genese dkk, 1978 dalam
Steinberg dkk, 2011 : 329). Penelitian Vaid (1987 dalam Steinberg dkk, 2001 :
328) menunjukkan hal yang sebaliknya. Dia dapati bahwa bilingual Perancis-
Inggris yang mulai sejak umur 10-14 tahun malah banyak memakai hemisfir kiri
dibandingkan dengan bilingual yang mulai sebelum umur 4 tahun.
7. KEKIDALAN DAN KEKINANAN
Manusia ada yang kidal (left-handed) dan ada yang (istilah barunya) kinan
(right-handed). Sementara itu, adapula orang yang mampu menggunakan tangan
kiri atau kanannya secara imbang. Orang semacam ini dinamakan ambidekstrus
(ambidextrous). Menurut penelitian yang telah dilakukan orang (Klar, 1999),
jumlah penduduk dunia yang kidal hanyalah 9%. Dari jumlah ini, hanya 30%
yang didominasi oleh hemisfir kanan. Hal ini berarti bahwa meskipun seseorang
itu kidal, tetap saja hemisfir yang lebih dominan untuk kebahasaan adalah
henisfir kiri.
Untuk kebanyakan orang, bahasa ada pada hemisfir kiri: sekitar 99% dari
orang kinan memakai hemisfir kiri untuk berbahasa. Demikian juga orang kidal:
75% dari mereka juga memakai hemisfir kiri, meskipun kadar dominasi hemisfir
ini tidak sekuat seperti pada orang kinan. Di Amerika pemakaian hemisfir kanan
untuk bahasa kurang dari 5%. (Damasio dan Damasio, 1992).
Apakah ada korelasi antara kekidalan dan kekinanan dalam pemakaian
bahasa atau pun kemampuan intelektual lainnya? Jawaban untuk pertanyaan ini
masih kontroversial: ada yang mengatakan bahwa kadar dominasi hemisfir kiri
pada orang kidal yang tidak sekuat seperti pada orang kinan membuat orang
kidal mempunyai masalah dalam hal baca dan tulis (Lamn dan Epstein, 1999).
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa orang kidal cenderung mati muda
(Halper dan Coren, 1991) sementara peneliti lain berpandangan lain pula (Salive
dkk, 1993).
Dilihat dari karir para orang kidal, ada yang sangat menonjol. Presiden
Amerika Truman, Reagan, Bush Sr., dan Clinton semuanya adalah orang kidal.
Orang yang ambidekstrus juga ada yang menonjol seperti Benjamin Franklin,
Michael Angelo, dan Leonardo da Vinci.
Pada masyarakat tertentu seperti masyarakat Indonesia kekidalan dianggap
oleh sebagian besar orang sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini mungkin sekali
berkaitan dengan budaya kita yang menganggap tidak sopan, misalnya, kalau
memberikan sesuatu dengan tangan kiri. Di kelas kalau murid-murid mau
bertanya kepada gurunya juga tidak dianggap baik kalau tangan yang diangkat
adalah tangan kiri. Dalam bahasa tertentu seperti bahasa jawa bahkan ada
ungkapan-ungkapan yang maknanya negatif yang dinyatakan dengan kata kiwo
(kiri). Orang yang selingkuh, misalnya, dikatakan ngiwo; dan tempat buang air
dinamakan pekiwan (dari pe-kiwon-an).
Dalam masyarakat yang berbudaya seperti orang umumnya menghalangi
anak utnuk menjadi kidal padahal masalah kekidalan dan kekinanan adalah
sebenarnya masalah genetik. Dampak apa yang terjadi dengan pemaksaan
memakai tangan kanan belum dapat dipastikan.
8. OTAK PRIA DAN OTAK WANITA
Kalau kita perhatikan kelas yang jurusannya adalah bahasa maka akan kita
dapati bahwa mayoritas (maha)siswanya adalah wanita. Dalam beberapa kelas
jumlah ini bahkan bisa mencapai lebih dari 80%. Bila kelas itu di tingkat SLTP
atau SLTA, gurunya bisa 50-50% pria-wanita; begitu juga ditingkat sarjana.
Akan tetapi, kalau kita lihat di tingkat magister atau doktor, banyak dosen yang
pria daripada yang wanita. Pertanyaan yang menarik adalah apakah ada kaitan
antara otak di satu pihak dengan jenis kelamin dipihak lain.
Ada yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara otak pria dengan otak
wanita dalam hal bentuknya, yakni, hemisfir kiri pada wanita lebih tebal
daripada hemisfir kanan (Steinberg dkk, 2001:319). Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan kelas bahasa umumnya didominasi oleh wanita. Akan tetapi,
temuan dari Philip dkk (1987 dalam Steinberg 2001:319) menunjukkan bahwa
meskipun ada perbedaan dalam pemrosesan bahasa antara pria dan wanita,
perbedaan ini hanya mengarah pada pengaruh budaya daripada pengaruh
genetik.
Mengenai otak pria dan wanita ini, ada kecenderungan yang lebih besar bagi
wanita untuk dapat sembuh dari penyakit afasia daripada pria. Begitu juga afasia
akan lebih sering muncul pada pria daripada pada wanita saat mereka terkena
stroke.
9. BAHASA SINYAL
Orang yang tidak dapat berkomunikasi secara lisan dapat menggunakan
piranti lain, yakni, bahasa sinyal (sign language). Bahasa ini mempergunakan
tangan dan jari-jari utnuk membentuk kata dan kalimat. Orang yang tuna rungu
dapat mempergunakan bahasa sinyal untuk berkomunikasi. Bahasa sinyal itu
sendiri ada beberapa macam, yang terkenal diantaranya adalah Bahasa Sinyal
Amerika dan Bahasa Sinyal Inggris.
Karena hemisfir kanan lebih unggul untuk menangani tugas-tugas yang
berkaitan dengan desain dan pola-pola visual maka kita mengharapkan hemisfir
inilah yang juga mengurusi bahasa sinyal. Akan tetapi, dari penelitian yang telah
dilakukan orang hal ini tampaknya tidak benar. Orang tuna rungu yang hemisfir
kirinya terkena stroke ternyata juga mengalami gangguan bahasa seperti yang
dialami oleh penderita afasia Bronca atau Wrnicke yang normal.
Mereka yang menderita afasia Bronca kesukaran dalam mensinyalkan apa
yang ingin dinyatakan. Mereka mungkin bisa mensinyalkan kata, tetapi infleksi
untuk lkata itu, atau fungsi gramatikalnya kacau. Dari gejalah-gejalah seperti
inidapat ditarik kesimpulan bahwa masalahnya bukan terletak pada disfungsi
motoris tetapi pada ketidak-mampuan mereka untuk mengakses tatabahasa
dengan benar.
Begitu juga dengan orang tuna rungu yang daerah Wernickenya terserang.
Mereka dapat memberikan sinyal dengan lancar tetapi maknanya tidak karuan.
Konfigurasi, lokasi, dan gerakan tangan atau jarinya menghasilkan kata-kata
yang tidak cocok maknanya sehingga kalimat tadi menjadi tidak berarti.
Bukti lain bahwa pengguna bahasa sinyal memakai terutama hemisfir kiri
utnuk bersinyal adalah bahwa kalau yang rusak adalah hemisfir kanan, pada
umumnya tidak terjadi gangguan dalam bersinyal. Tatabahasanya masih utuh
dan tidak terbata-bata.

Anda mungkin juga menyukai