Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
FAKULTAS PSIKOLOGI
PENDAHULUAN
Walaupun penelitian biologi terhadap kognisi adalah penelitian yang sulit, banyak
topik penelitian tersebut yang sangat menarik. Setelah terjadi kerusakan pada korpus
kalosum, struktur yang menghubungkan kedua belahan otak, penderita kerusakan
mengalami adanya dua medan kesadaran-mungkin Anda menyebutnya dengan “pikiran
yang terpisah”. Apabila terjadi kerusakan pada area tertentu di belahan otak kiri, maka
penderita akan kehilangan kemampuan berbahasa, tetapi aspek-aspek lain tidak
mengalami gangguan, Penderita kerusakan pada belahan otak kanan akan mengabaikan
sisi kiri tubuhnya dan sisi kiri dunianya. Penyelidikan terhadap individu-individu tersebut
dapat memberikan kita petunjuk mengenai cara kerja otak dan memicu kita mengajukan
pertanyaan yang menggugah.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara kerja lateralisasi fungsi.
2. Untuk mengetahui tentang evolusi dan fisiologi bahasa.
3. Untuk mengetahui perubahan respons pada otak.
2
MODUL 14.1
LATERALISASI FUNGSI
3
Mengapa semua hewan vertebrata berevolusi sehingga tiap belahan otak
mengendalikan sisi tubuh yang kontralateral. Berikut adalah beberapa dugaan mengenai
hal tersebut; beberapa jenis bukti mengindikasikan bahwa ketika nenek moyang
vertebrata terdivergensi dari nenek moyang serangga dan hewan avertebrata lainnya, sisi
atas dan bawah tubuh nenek moyang vertebrata tersebut membalik pada sumbu
dorsoventral relatif terhadap tubuh serangga. Bukti paling sederhana ialah, serangga
memiliki jantung pada sisi atas, lalu sistem pencernaan dan rantai kelompok-kelompok
neuron (sama dengan sumsum. tulang belakang pada vertebrata) di dasar tubuhnya.
Susunan di dalam tubuh vertebrata berkebalikan.
Terlepas dari itu, belahan otak kiri dan kanan bertukar informasi melalui sekelompok
akson yang diberi nama korpus kalosum serta melalui komisura anterior, komisura
hipokampus, dan beberapa komisura kecil lainnya. Informasi yang pada awalnya masuk
ke salah satu belahan otak akan melintas ke belahan otak yang berlawanan dengan
penundaan yang singkat. Kedua belahan otak tidak hanya merupakan bayangan cermin
satu sama lain. Pada sebagian besar manusia, belahan otak kiri terspesialisasi untuk
bahasa, sedangkan fungsi belahan otak kanan sulit untuk diringkas, kita akan membahas
mengenai hal tersebut nanti. Pembagian kerja antarkedua belahan otak tersebut dikenal
dengan lateralisasi.
4
Gambar di atas mengilustrasikan hubungan mata manusia dengan otak. Cahaya dari
sisi kanan medan penglihatan-apa pun yang terlihat pada suatu waktu-menyinari sisi kiri
retina kedua mata dan cahaya dari sisi kiri medan penglihatan menyinari sisi kanan retina
kedua mata. Sisi kiri retina dari kedua mata terhubung dengan belahan otak kiri, sehingga
otak kiri melihat medan penglihatan sisi kanan. Begitu pula dengan sisi kanan retina.
Sisi kanan medan penglihatan > sisi kiri retina kedua mata > belahan otak kiri
Sisi kiri medan penglihatan > sisi kanan retina kedua mata > belahan otak
kanan
Sistem auditori tersusun dengan cara yang berbeda. Tiap telinga mengirimkan
informasi ke kedua belahan otak, karena tiap bagian otak yang berperan dalam
melokalisasi suara harus menerima input dari kedua telinga. Akan tetapi, apabila kedua
telinga menerima informasi yang berbeda, tiap belahan otak memberikan perhatian yang
lebih terhadap telinga pada sisi yang berlawanan dengannya.
5
Penghilangan fokus tidak menjadi pilihan apabila seseorang memiliki beberapa fokus
sekaligus. Oleh karena itu, muncul sebuah ide untuk memotong korpus kalosum agar
dapat mencegah serangan epilepsi melintas ke belahan otak yang berbeda. Satu
keuntungan dari hal tersebut adalah pembatasan serangan epilepsi seseorang yang hanya
terjadi pada satu sisi tubuh (aktivitas abnormal tidak dapat melintasi korpus kalosum
sehingga tertahan pada satu belahan otak saja). Penurunan jumlah serangan yang terjadi
merupakan bonus yang mengejutkan. Ternyata, aktivitas epilepsi memantul dari belahan
otak satu ke belahan otak lain sehingga memperpanjang berlangsungnya serangan. Jika
serangan tersebut tidak dapat memantul melintasi korpus kalosum, maka serangan
tersebut mungkin sama sekali tidak dapat terbentuk.
Individu yang telah mengalami pembedahan pada korpus kalosum disebut dengan
individu split-brain (belahan otak kanan dan kiri berfungsi secara asimetris),
mempertahankan intelektual dan motivasi normal mereka, serta masih dapat berjalan
tanpa kesulitan. Individu split-brain dapat menggunakan kedua tangannya sekaligus tapa
saling memengaruhi dan individu normal tidak dapat melakukannya.
Ternyata, sulit untuk merencanakan dua tindakan secara bersamaan, kecuali terdapat
target yang jelas untuk mengarahkan pergerakan yang kita lakukan. Individu split-brain
tidak mengalami kesulitan untuk merencanakan dua kegiatan bersamaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Roger Sperry dan siswa-siswanya (Nebes, 1974),
mengungkapkan adanya pengaruh perilaku terpendam ketika stimulus hanya diberikan
pada salah satu sisi tubuh.
Informasi yang masuk ke salah satu belahan otak tidak dapat melintas ke belahan
yang lain karena korpus kalosum rusak. Informasi ditampilkan pada layar dalam waktu
yang cukup lama agar dapat dilihat, sekaligus menghalangi partisipan menggerakkan
mata untuk melihat menggunakan mata yang lain. Partisipan tersebut dapat menunjuk
dengan menggunakan tangan kiri barang apa yang kata-katanya telah ia lihat pada
belahan otak kanan dan menunjukkan dengan tangan kanan barang apa yang kata-katanya
telah ia lihat pada belahan otak kiri. Seolah-olah tiap belahan otak hanya memiliki
setengah dari jawaban yang seharusnya. Kedua belahan otak mengandung informasi yang
berbeda dan keduanya tidak dapat saling berkomunikasi.
Individu split-brain dapat menyebutkan nama sebuah objek setelah memandang
obejek tersebut melalui medan penglihatan kanannya dan melihat dengan mata kirinya,
tetapi orang yang sama ketika memandang objek tersebut melalu medan penglihatan
6
kirinya (belahan otak kanan) biasanya tidak dapat menyebutkan nama menggambarkan
objek tersebut.
MODUL 14.1
Beberapa metode tersedia untuk menguji belahan otak yang dominan dalam
kemampuan bicara. Salah satunya adalah tes Wada, dinamakan berdasarkan nama
penemunya. Seorang dokter menyuntik sodium amital, sebuah obat bius barbitura ke
dalam arteri karotid salah satu sisi kepala. Obat tersebut menidurkan sisi otak yang
disuntik sehingga peneliti dapat menguji kemampuan belahan otak yang lain. Sebagai
contoh, individu yang memiliki dominansi kemampuan bicara pada otak kiri dapat terus
berbicara setelah belahan otak kanannya disuntik sodium amital, tetapi tidak dapat
berbicara ketika sodium amital disuntikkan ke belahan otak kirinya. Tes Wada
memberikan informasi dengan keakuratan tinggi tentang lateralisasi, namun prosedurnya
berisiko dan terkadang dapat berakibat fatal.
Metode lain yang kurang akurat, tetapi lebih mudah dan aman, bernama metode
dichotic listening. Pada metode tersebut, individu diminta untuk menggunakan earphone
di kedua telinga. Kemudian, diperdengarkan dua kata secara bersamaan dan individu
tersebut mencoba untuk menyebutkan salah satu atau kedua kata tersebut. Individu yang
memiliki dominansi belahan otak kiri untuk bahasa dapat mengidentifikasi sebagian besar
kata-kata yang diperdengarkan pada telinga kanan. Individu yang memiliki dominansi
belahan otak kanan untuk bahasa dapat mengidentifikasi sebagian besar kata-kata yang
diperdengarkan pada telinga kiri.
Metode ketiga adalah uji latensi penamaan objek. Uji tersebut mengukur kecepatan
seseorang dalam menyebutkan nama objek yang diperlihatkan pada medan penglihatan
kiri atau kanan (McKeecer, Seitz, Krutsch, & Van Eys, 1995). Individu yang memiliki
dominansi belahan otak kiri untuk bahasa dapat menyebutkan nama objek yang
diperlihatkan pada medan penglihatan kanan. Individu yang memiliki dominansi belahan
otak kanan untuk bahasa dapat menyebutkan nama objek yang diperlihatkan pada medan
penglihatan kiri.
Metode keempat adalah mengukur aktivitas otak ketika seseorang sedang bicara atau
menyimak orang berbicara dengan menggunakan pemindai PET, fMRI, atau respons-
7
respons yang dibangkitkan oleh listrik ataupun magnet. Metode tersebut berbiaya tinggi,
tetapi dapat menghasilkan informasi mendetail tentang area otak yang menjadi aktif
ketika berlangsung kegiatan yang melibatkan bahasa.
8
besar (dalam hal ini huruf H), maka aktivitas belahan otak kanan menjadi lebih besar
(Fink dkk., 1996).
9
2. Pendewasaan Korpus Kalosum
Korpus kalosum mengalami pendewasaan secara bertahap selama 5-10 tahun
awal kehidupan manusia (Trevarthem, 1974). Proses perkembangan bukan terkait
dengan pertumbuhan akson-akson yang baru, tetapi menyeleksi akson akson tertentu
dan menyingkirkan sisanya. Pada tahap awal perkembangan, otak memiliki jumlah
akson yang lebih banyak pada korpus kalosum dibanding ketika korpus kalosum telah
mengalami pendewasaan. Hal tersebut terjadi karena dua neuron yang dihubungkan
oleh korpus kalosum harus memiliki fungsi yang berkaitan. Sebagai contoh, sebuah
neuron pada belahan otak kiri yang memberikan respons terhadap sinar di bagian
tengah fovea, seharusnya terhubung dengan neuron pada belahan otak kanan yang
memberikan respons terhadap sinar di bagian yang sama. Selama masa awal
perkembangan embrio, gen tidak dapat menentukan secara tepat lokasi kedua neuron
tersebut. Oleh karena itu, banyak hubungan yang dibentuk pada korpus kalosum,
tetapi yang bertahan adalah akson-akson yang menghubungkan sel-sel yang sangat
mirip (pada kedua belahan otak).
10
Lebih dari 95 % belahan otak kiri orang kina memperlihatkan adanya
dominansi yang kuat untuk kemampuan bahasa (McKeever dkk, 1985) Individu kidal
lebih bervariasi dominansing Sebagian besar individu kidal dominansi bahasany ada
di belahan otak kiri, sebagian lagi berada di belahan otak kanan, atau campuran dari
dominan yang ada di belahan otak kiri dan kanan (Basso Rusconi, 1998). Hal yang
sama juga berlaku bag individu yang pada masa kanak kanaknya kida tetapi dipaksa
untuk menulis dengan tangan kana (Siebner dkk, 2002). Banyak individu kidal yan
belahan otak kanannya memperlihatkan kendal parsial terhadap kemampuan bicara,
juga memilik kendali parsial terhadap persepsi spasial, belaha otak kirinya
memperlihatkan kontribusi terhada persepsi parsial lebih dari normal. Hanya beberap
individu kidal yang memiliki dominansi otak kana untuk bahasa dan persepsi spasial.
Salah satu contoh, pada sebuah percobaan, partisipan diminta untuk menggunakan
sebuah alat yang dipasang pada ikat pinggang, alat tersebut dapat mengukur jumlah
belokan kanan atau kiri yang dilakukan oleh partisipan selama 3 hari. Individu kinan
secara rata-rata lebih banyak belok ke kiri dan individu kidal lebih banyak belok ke
kanan. Studi terhadap hewan mengindikasikan bahwa hewan akan berputar
berlawanan arah dengan belahan otak yang memiliki lebih banyak dopamin.
11
satu belahan otak. Akhirnya, dokter bedah melakukan pembedahan untuk
meghilangkan atau memutus hubungan belahan otak yang mengalami
kerusakan, karena belahan otak tersebut menimbulkan serangan epilepsi tanpa
memberikan manfaat yang seharusnya. Setelah dilakukan pembedahan, terkadang
bahasa pulih dengan sangat lambat secara mengagumkan, bahkan untuk anak-anak
yang dioperasi pada saat berumur 10 tahun.
Faktor lain yang memengaruhi pemulihan bahasa setelah terjadinya kerusakan
otak adalah bagaimana bicara dilateralisas pada individu. Metode penelitian modern
telah memungkinkan peneliti untuk mendukung hipotens tersebut. Kemudian mereka
menggunakan stimulasi magnet transkranial pada salah satu belahan otak (Knecht
dkk, 2002).
12
yang sama terjadi secara umum. Sebagian besar kegiatan membutuhkan kerja sama kedua
belah otak.
13
MODUL 14.2
14
2. Bonobo
Penelitian seperti yang sudah disebutkan sebelumnya membuat peneliti skeptis
akan bahasa pada simpanse. Kemudian, muncul hasil yang mengejutkan dari studi
yang dilakukan terhadap spesies yang terancam punah, yaltu Pan paniscus, dikenal
dengan sebutan bonobo atau simpanse kerdil (nama yang membingungkan, karena
ukuran tubuh mereka sama dengan simpanse biasa). Hierarki sosial bonobo mirip
dengan hierarki sosial manusia dalam beberapa hal. Hewan jantan dan betian
membentuk ikatan pribadi yang kuat, terkadang berlangsung seumur hidup. Bonobo
sering kali melakukan kopulasi berhadapan. Hewan betina responsif secara seksual
hampir sepanjang hari dan tidak terbatas pada masa suburnya saja. Hewan jantan
memberikan kontribusi signifikan terhadap pemeliharaan anak. Hewan dewasa sering
kali berbagi makanan dengan hewan lain. Bonobo dapat berdiri dengan nyaman
menggunakan kaki belakangnya. Singkatnya, bonobo lebih menyerupai manusia
daripada primata lainnya.
Pada pertengahan tahun 1980-an, Sue Savage-Rumbaugh, Duane
Rumbaugh, dan rekan-rekan mereka telah mencoba untuk mengajarkan bonobo betina
bernaina Matata untuk menekan simbol yang akan menyala ketika ditekan, setiap
simbol merepresentasikan sebuah kata. Walaupun hanya sedikit kemajuan yang
dicapai Matata, bayi jantannya yang bernama Kanzi belajar hanya dengan melibat
Matata melakukan hal tersebut. Ketika Kanzi diberikan kesempatan untuk
menggunakan papan simbol, dengan cepat bayi bonobo tersebut menguasainya. Sejak
saat itu, Kanzi dan saudara betinanya yang lebih muda telah mendemonstrasikan
pemahaman bahasa yang sebanding dengan anak kecil berumur 2-2 1/4 tahun (Savage-
Rumbaugh dkk., 1993).
1. Mereka memahami bahasa lebih banyak daripada yang mereka dapat katakan.
2. Mereka menggunakan simbol untuk memberi nama dan menggambarkan objek,
walaupun mereka tidak meminta objek tersebut.
3. Mereka meminta objek yang tidak mereka lihat, seperti “gelembung” (saya ingin
bermain dengan peniup gelembung) atau “mobil trailer” (bawa saya ke dalam
mobil menuju trailer).
4. Mereka terkadang menggunakan simbol untuk menggambarkan peristiwa yang
sudah terjadi. Kanzi pernah menekan simbol “Matata gigit”. Untuk menjelaskan
luka yang dialami tangannya sejam sebelumnya.
15
5. Mereka sering membuat permintaan kreatif yang sepenuhnya baru, seperti
meminta seseorang mengejar orang lain sementara mereka menontonnya.
Mengapa Kanzi dan Mulika mengembangkan keterampilan yang sangat hebat seperti
itu, sementara simpanse lain gagal melakukannya? mungkin, bonobo memiliki potensi
bahasa yang lebih besar daripada simpanse biasa. Penjelasan yang kedua adalah
bahwa Kanzi dan Mulika memulai pelatihan bahasa ketika masih kecil, berbeda
dengan simpanse yang ada pada penelitian-penelitian lain. Alasan ketiga adalah
mungkin pembelajaran melalui pengamatan dan peniruan memicu pemahaman yang
lebih baik daripada metode pelatihan formal pada studi-studi sebelumnya (Savage-
Rumbaugh dkk., 1992).
3. Bukan primata
Bagaimana dengan spesies-spesies bukan primata? gajah belajar untuk meniru suara
yang mereka dengar, termasuk vokalisasi gajah lain. lumba-lumba dapat belajar untuk
memberikan respons terhadap bahasa tubuh dan suara. Dan hasil yang sangat
spektakular telah dilaporkan atas nama Alex, seekor kakaktua abu-abu Afrika.
Tentunya, kakaktua telah terkenal sebagai peniru suara. Irene Pepperberg adalah
orang pertama yang berargumentasi bahwa kakaktua dapat menggunakan suara yang
bermakna. Pepperberg memelihara Alex dalam sebuah lingkungan yang menstimulasi
dan melatihnya untuk menyebut kata-kata yang sesual dengan objek-obejek tertentu.
Awalnya, Pepperberg dan pelatih lainnya akan menyebut sebuah kata berulang-ulang,
kemudian mereka akan menawarkan imbalan kepada Alex jika ia dapat meniru bunyi
kata tersebut.
16
1. Bahasa sebagai Produk Kecerdasan secara keseluruhan
Manusia memiliki otak yang besar sehingga dapat mengembangkan
kecerdasan yang tinggi dan bahasa merupakan produk sampingan dari peningkatan
kecerdasan yang tidak disengaja.Hipotesis yang disajikan dalam bentuk paling
sederhana ini menghadapi banyak problem.
Problem Pertama: Manusia dengan Ukuran Otak Normal dan Gangguan
Bahasa
Jika bahasa merupakan produk dari ukuran otak secara keseluruhan, maka
individu yang memiliki ukuran otak dan keceerdasan normal seharusnya memiliki
(kemampuan) bahasa normal. Akan tetapi, tidak semua manusia seperti itu. Pada
sebuah keluarga yang terdiri dari tiga generasi, 16 dari 30 orang anggota keluarga
memperlihatkan defisiensi bahasa yang parah, meskipun dalam aspek lain memiliki
kecerdasan normal. Hal tersebut disebabkan adanya gen dominan yang telah berhasil
diidentifikasi.
Problem Kedua: Sindrom Williams
Bagaimana dengan keadaan sebaliknya? Dapatkah seseorang yang mentalnya
terbelakang memiliki bahasa yang baik? Psikolog telah sejak lama berasumsi bahwa
pola seperti itu tidak mungkin ada.
Kemudian, psikolog menemukan sebuah kondisi yang sangat jarang. Kondisi
tersebut memengaruhi 1 dari 25.000 orang dan disebut dengan sindrom Williams.
Sindrom Williams ditandai dengan adanya keterbelakangan mental di sebagian besar
aspek hidup penderita, tetapi pada banyak kasus, penderita memiliki keterampilan
bahasa yang baik. Meskipun demikian, dalam beberapa aspek lain, mereka mendekati
manusia normal. Salah satunya adalah musik, seperti kemampuan untuk bertepuk
tangan sesuai dengan ritme dan menghafalkan lagu (Levitin & Bellugi, 1998). Aspek
lain adalah keramahan dan kemampuan untuk menginterpretasi ekspresi wajah,
misalnya tenang atau khawatir, serius atau bercanda, menggoda atau tidak tertarik.
17
(1980) dan Steven Pinker (1994) sebagai suatu alat perolehan bahasa (language
acquisition device). sebuah mekanisme yang terintegrasi untuk perolehan bahasa.
Bukti utama untuk pandangan ini adalah, betapa mudahnya anak-anak
mengembangkan bahasa (Trout, 2001). Sebagai contoh, anak-anak yang tuli belajar
bahasa isyarat dengan cepat, dan apabila tidak ada orang yang mengajarkan mereka
bahasa isyarat, maka mereka akan membuatnya sendiri serta mengajarkannya kepada
orang lain.
Akan tetapi, tidak ada pembeda yang jelas untuk pembelajaran bahasa kedua;
pembelajaran yang lain pada umur 2 tahun akan lebih baik daripada umur 4 tahun.
18
Pembelajaran umur 4 tahun lebih baik daripada 6 tahun dan umur 13 tahun lebih baik
daripada 16 tahun (Hakuta, Bialystok, & Wiley. 2003; Harley & Wang, 1997; Weber-
Fox & Neville, 1996). Cara lain untuk menguji adanya periode kritis adalah dengan
menguji individu-individu yang tidak terpapar sama sekali terhadap bahasa selama
masa bayi. Terdapat beberapa kasus tentang anak-anak yang hidup di alam bebas,
dibesarkan serigala atau hewan apa pun. Anak tersebut kemudian ditemukan dan
dikembalikan ke lingkungan manusia. Walaupun mereka memiliki keterbatasan dalam
pembelajaran bahasa, hasil pengujian sulit diinterpretasi karena berbagai alasan.
Hasil yang lebih pasti diperoleh dari studi terhadap anak-anak tuli yang tidak
dapat belajar bahasa lisan dan ketika mereka masih kecil tidak diberikan kesempatan
untuk belajar bahasa isyarat. Hasil yang diperoleh sangat jelas. Semakin awal
pemberian kesempatan kepada seorang anak untuk mempelajari bahasa isyarat, maka
semakin terampil pula anak tersebut nantinya (Harley & Wang, 1997). Seorang anak
yang belajar bahasa Inggris di usia muda dapat mempelajari bahasa isyarat di masa
selanjutnya dan seorang anak tuli yang belajar bahasa isyarat di usia muda dapat
mempelajari bahasa Inggris di masa selanjutnya (dengan pengucapan yang buruk).
Akan tetapi, seseorang yang tidak belajar bahasa sama sekali ketika masih kecil, tidak
akan mengembangkan banyak keterampilan berbahasa apa pun dan kapan pun
(Mayberry, Lock, & Kazmi, 2002) Pengamatan tersebut sangat mendukung ide bahwa
terdapat periode kritis pada masa awal perkembangan untuk pembelajaran bahasa,
walaupun tidak terdapat batasan umur yang tepat.
Hampir setiap anak yang sehat dapat mengembangkan bahasa sehingga kita
berkesimpulan bahwa otak manusia terspesialisasi untuk pembelajaran bahasa. Sebagian
besar pengetahuan kita mengenai mekanisme otak untuk bahasa berasal dari studi
terhadap penderita kerusakan otak.
Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Prancis bernama Paul Broca mengobati
gangren, seorang pasien yang telah menjadi bisu selama 30 tahun. Ketika pasien
tersebut meninggal dunia lima hari kemudian, Broca melakukan autopsi dan
menemukan adanya balur pada korteks frontal pasien tersebut. Beberapa tahun
19
kemudian, Broca memeriksa otak pasien-pasien lain penderita afasia (gangguan
bahasa parah). Pada hampir semua kasus, Broca menemukan adanya kerusakan pada
area yang sama, yaitu bagian dari lobus frontal pada korteks serebrum sebelah kiri di
dekat korteks motor, yang dikenal dengan nama area Broca (gambar 14.15). Penyebab
kerusakan yang umum adalah serangan stroke (gangguan alir darah ke bagian otak
tertentu). Broca menerbitkan hasil penelitiannya pada tahun 1865, sedikit let lambat
daripada hasil penelitian yang diterbitkan oleh dua dokter Prancis bernama Marc dan
Gusta Dax. Kedua dokter tersebut juga menekankan bah belahan otak kiri
bertanggung jawab terhad kemampuan bahasa (Finger & Roe, 1996).
Kerusakan yang terjadi hanya pada area Broca hanya akan menimbulkan
ganggu bahasa yang ringan atau singkat, gangguan bahaya yang lebih serius
dihasilkan oleh kerusakan ya parah dan meluas ke area otak yang lain. Gejala yang
timbul akibat kerusakan sangat bervariasi d tidak dapat diperkirakan berdasarkan area
ya mengalami kerusakan (Dick dkk., 2001). sebagai contoh, sebagian pasien sebagian
besar han mengalami gangguan dengan kata kerja (Hill Wityk, Barker, & Caramazza,
2003). Apabila individu yang mengalami kerusakan otak menderita gangguan
pembentukan bahaya yang parah, kita menyebutnya dengan afasia Bro atau afasia
tidak lancar, terlepas dari lokasi tempat terjadinya kerusakan. Penderita afasia Broca
juga mengalami kekurangan pemahaman terhad sebuah kalimat, apabila makna
kalimat tersebut tergantung pada preposisi, akhiran kalimat, urutan kalimat yang tidak
umum. Singkatnya mereka kesulitan memahami apabila struktur kalimat menjadi
rumit.
Penderita afasia Broca berbicara pelan dengan artikulasi buruk dan mereka
juga kesulitan menu serta menghasilkan bahasa isyarat. Folds, Zarif, & Gardner,
1979). Korteks frontal kiri juga berperan penting untuk bahasa isyarat arang tuli
(Neville dkk., 1998; Petitto dkk., 2000), dan orang tuli penderita afasia Broca
kesulitan membentuk bahasa isyarat (Hickok, Bellugi, & Kima, 1996). Oleh sebab itu,
masalahnya berkaitan dengan bahasa, bukan saja otot-otot bicara.
20
numeralia (quantifier), serta akhiran kata dan angka. Mereka melakukan kesalahan
tersebut dalam bahasa Inggris, dan mereka menggunakan lebih banyak akhiran
kalimat pada bahasa, seperti bahasa Jerman atau Italia di mana akhiran kalimat lebih
penting artinya & Bates, 1995). Preposisi, konjungtor, predikat pembantu (auxillary
verb), dan sebagainya dikenal sebagai closed class pada bentuk tata bahasa karena
sebuah bahasa jarang menambah preposisisi baru, konjungtor baru, dan sebagainya.
Sebaliknya, bahasa sering kali mengalami penambahan kata benda dan predikat baru
(open class). Penderita afasia Broca kesulitan mengulang sebuah frasa; seperti "No
ifs, ands, or buts", walaupun mereka dengan baik dapat mengulang frasa; seperti" The
general commands the army". Selain itu, pasien tidak dapat membaca dengan lantang
kalimat. "To be or not to be", namun dapat membaca dengan lantang kalimat; "Two
bee oar knot two bee" (H. Gardner & Zurif, 1975). Dengan demikian,
permasalahannya terletak pada makna kalimat, bukan saja pengucapan
Penderita Broca kesulitan memahami kata kata yang sama dengan kata-kata
yang tidak mereka ikut sertakan ketika berbicara, seperti preposisi dan konjungtor.
Mereka sering kali salah memahami kalimat dengan tata bahasa yang kompleks,
misalnya: "The girl that the boy is chasing is tall" (Zurif, 1980). Akan tetapi, sebagian
besar kalimat dalam bahasa. Inggris mengikuti urutan subjek-predikat-objek dan
makna kalimat tersebut sudah jelas walaupun tanpa preposisi atau konjungtor. Anda
dapat mendemonstrasikan hal tersebut kepada diri sendiri dengan cara menghilangkan
preposisi, konjungtor, kata sandang, predikat pembantu, pronomina, dan akhiran kata
pada sebuah kalimat, untuk melihat bagaimana kalimat tersebut terlihat oleh
seseorang yang menderita afasia Broca.
21
4. Afasia Wernicke (Afasia Lancar)
Pada tahun 1874, Carl Wernicke yang berumur 26 tahun adalah seorang
asisten muda di sebuah rumah sakit di Jerman. Wernicke mengungkapkan bahwa
kerusakan pada bagian korteks tempor. Belahan otak kiri menyebabkan gangguan
bahas yang berbeda (dari afasia Broca). Walaupun pasien dapat bicara atau menulis,
pemahaman bahas mereka buruk. Kerusakan pada dan di sekitar are Wernicke (lihat
gambar 14.15) yang terletak di deka bagian auditori korteks serebrum menyebabkan
afasia Wernicke, yang ditandai dengan adany gangguan pada kemampuan untuk
mengingat objek dan pemahaman bahasa. Afasia Wernick dikenal juga dengan afasia
lancar karena penderita masih dapat berbicara dengan lancar.
D. Disleksia
Disleksia adalah gangguan spesifik terhadap kemampuan membaca seseorang,
walaupun ia memiliki penglihatan yang mencukupi dan keterampilan akademis yang
mencukupi di bidang lain. Disleksia lebih banyak terjadi pada anak laki-laki walaupun
tidak ada gen yang berkaitan dengan semua kasus disleksia. Sejumlah individu tertentu
pada suatu negara mengalami kesulitan membaca, tetapi masalah tersebut terjadi lebih
parah pada bahasa-bahasa yang memiliki pengejaan aneh seperti halnya bahasa Inggris.
Banyak penderita disleksia yang menderita abnormalitas ringan pada struktur
sejumlah area otak, termasuk detail mikroskopik. Penderita disleksia lebih mungkin
memiliki korteks serebrum yang bilateral simetris, sementara orang normal lainnya
memiliki planum temporal berukuran lebih besar pada belahan otak kiri. Pada sebagian
penderita disleksia beberapa area terkait bahasa pada belahan otak kanan berukuran lebih
besar. Adanya hubungan yang lemah di antara area-area otak sehingga aktivitas pada
salah satu bagian otak kiri tidak berhubungan dengan aktivitas pada area lain pada
belahan yang sama.
Setiap individu memiliki masalah yang berbeda dalam membaca dan tidak ada satu
penjelasan yang mampu menjawab semua permasalahan. Beberapa peneliti membedakan
antara disleksia disfonetik(disphonetic dyslexics) dan disleksia disidetik(dyseidetic
dyslexic). Penderita disleksia disponetik mengalami kesulitan menyuarakan kata-kata dan
ketika mereka tidak mengenali suatu kata, mereka menebaknya berdasarkan konteks
kalimat. Penderita disleksia disintetik dapat membaca cukup baik tetapi mereka tidak
22
dapat mengenali keseluruhan kata. mereka membaca dengan pelan dan mengalami
kesulitan, khususnya pada kata-kata yang dieja tidak teratur.
Kasus disleksia disidetik yang paling parah ditimbulkan oleh kerusakan otak yang
membatasi Medan penglihatan. Individu yang dalam satu waktu hanya dapat melihat satu
huruf, banyak memiliki keterbatasan pergerakan mata, membaca dengan sangat lambat,
dan sangat kesulitan membaca kata-kata yang Panjang.
Beragam peneliti telah mengajukan beragam hipotesis untuk menjelaskan fenomena
disleksia. Contohnya, adanya kaitan antara disleksia dan gangguan pendengaran, hasil
pindai otak telah memperlihatkan bahwa respon otot penderita disleksia terhadap bicara
ada di bawah normal, khususnya terhadap konsonan. Mengajarkan penderita disleksia
untuk lebih memperhatikan suara, terkadang mengurangi disleksia. Akan tetapi
kemunculan diseleksi yang mungkin juga tidak disertai dengan gangguan pendengaran.
Banyak penderita disleksia secara khusus memiliki kesulitan dalam mengenali
susunan temporal suara, mereka juga sangat kesulitan dalam melakukan spoonerism
(menukar dua konsumen pertama dari dua kata), hal tersebut tentunya membutuhkan
seseorang untuk memperhatikan suara dan susunannya.
Mungkin penderita disleksia mengalami kesulitan untuk mendengar perbedaan antara
kata-kata yang serupa, sehingga membingungkan mereka ketika mencoba membacanya.
Seseorang yang tidak dapat mendengar perbedaan antar kata mungkin tidak dapat
menyebutkan kata tersebut dengan benar, tetapi sebagian besar penderita disleksia
berbicara dengan jelas. Oleh karena itu kaitan antara disleksia dan gangguan pengolahan
susunan temporal masih belum jelas.
Hipotesis lain menyebutkan bahwa permasalahan dalam disleksia adalah gangguan
terbentuknya hubungan antara penglihatan dan suara. Hipotesis ini didukung dengan
adanya hasil pindai otak yang memperlihatkan bahwa pada sebagian besar individu,
membaca akan mengaktivasi area pada korteks temporal dan parietal, tetapi pada
penderita disleksia, area-area tersebut hanya teraktivasi dengan lemah. Area-area tersebut
diyakini penting untuk menghubungkan antara informasi visual dan auditori.
23
MODUL 14.3
PERHATIAN
24
B. Pengabaian
Kebalikan dari perhatian adalah pengabaian. Penderita kerusakan belahan otak kanan
memperlihatkan adanya pengabaian spasial yang lebih meluas, yaitu kecenderungan
untuk mengabaikan sisi kiri tubuh dan sekitarnya atau sisi kiri sebuah objek. Secara
umum mereka juga mengacuhka apa yang mereka raba pada tangan kiri, terutama jika
mereka secara bersamaan merabaa sesuatu pada tangan kanan.
Lokasi kerusakan pada belahan otak kanan bervariasi untuk tiap individu,begitu pula
dengan detail hal yang diabaikan tiap individu. Penderita kerusakan pada sisi inferior
korteks parietal kanan cenderung mengabaikan apa pun yang berada di sisi kiri tubuh
mereka. Penderita kerusakan pada sisi superior korteks temporal (kanan) cenderung
mengabaikan sisi kiri objek, terlepas dari lokasi objek tersebut.
Masalah individu – individu tersebut terletak pada perhatian mereka, bukan pada
sensasi. Kepada seseorang pasien diperlihatkan sebuah huruf E yang tersusun atas huruf
H yang kecil, Wanita tersebut mengenali huruf tersebut sebagai huruf E yang tersusun
atas huruf H yang kecil, hal yang mengindikasikan bahwa dia melihat keseluruhan
gambar. Akan tetapi, ketika diminta untuk menyilang semua huruf H yang ada, la hanya
menyilang huruf H pada sisi kanan saja. Sekali lagi ia dapat melihat gambar tersebut
secara keseluruhan, tetapi ketika diminta untuk menyilang semua huruf penyusun yang
ada, la hanya menyilang huruf-huruf kecil yang ada di sisi kanan. Peneliti berkesimputan
bahwa wanita tersebut dapat melihat hutan, tetapi hanya setengah pohon di hutan yang
dapar dilihatnya.
Contoh pasien penderita pengabaian melaporkan tidak merasakan apa pun dengan
tangan kiri, terutama ketika secara bersamaan tangan kanan memegang sesuatu. Akan
tetapi, jtka orang tersebut menyilangkan tangan. Selain itu, individu yang awalnya
kesulitan menunjuk apa pun yang berada di medan penelihatan kiri, memperlihatkan
adanya sedikit keberhasilan apabila tangannya digerakkan sejauh mungkin ke kiri,
sehingga harus menggerakkan tangannya ke kanan untuk menunjuk objek. kesimpulan
yang dapat ditarik adalah bahwa pengabaian tidak disebabkan hilangnya sensasi,
melainkan kesulitan mengalihkan ke sisi kiri.
Banyak pasien dengan pengabaian yang juga mengalami kekurangan memori kerja
spasial dan mereka mengalihkan Perhatian, bahkan ketika lokasi pengalihan tersebut tidak
relevan.
25
C. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
Uji penundaan pilihan (choice delay task). Mana yang Anda pilih; mendapat $5
saat ini atau $5,25 besok? Mendapat satu kue saat ini atau kue yang lebih besar 15
menit kemudian? Detail pilihan bervariasi, namun pilihan yang harus diambil
adalah antara sebuah imbalan saat ini atau Imbalan yang sedikit lebih baik nanti.
Dalam berbagai macam kondisi, penderita ADHD lebih mungkin memilih
imbalan yang lebih kecil dan lebih cepat dibancing orang normal. Kecenderungan
tersebut menandakan adanya karakter impulsif.
Uji sinyal berhenti (stop signal task). Sekelompok individu diminta untuk
mengamati layar atau menyimak suara. Apabila mereka mendengar suara (atau
melihat sesuatu), secepataya mereka harus menekan tombol.
Uji kedip perhatian (attertional blink last). Sekelompok individu diminta untuk
mengamati serangkaian huruf berwarna
hitam yang diperlihatkan pada layar, sebuah kata yang baru akan diperlihatkan
tiap 90 millisekon. Pada tiap kata yang diperlihatkan, salah satu hutrufnya
berwarna hijau. Huruf lain yang ditujukan sebagal huruf "penyelidik" mungkin
muncul atau tidak muncul setelah huruf berwarna hijau tersebut. Tugas pertama
partisipan adalah untuk menyebutkan nama huruf yang berwarna hijau dan
kemudian menyebutkan apakah huruf penyelidik muncul alau tidak
26
2. Kemungkinan Penyebab ADHD dan Perbedaan Otak
ADHD mungkin dipengaruhi oleh lebih dari satu gen dan juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, termasuk lingkungan pranatal. Terdapat peningkatan
probabilitas munculnya ADHD pada anak-anak yang ibunya tetap merokok semasa
mengandung mereka.
Secara rata-rata, penderita ADHD memiliki volume otak 95% dari normal dan
ukuran korteks prafrontal mereka lebih kecil dari normal. Ukuran sebelum juga
cenderung lebih kecil dari normal dan disfungsi sebelum telah dikenal berkaitan
dengan kesulitan pengalihan perhatian. Akan tetapi, semua perbedaan tersebut masih
dalam tingkat yang rendah dan tidak konsisten untuk tiap individu.
3. Pengobatan
Banyak teknik perilaku yang tersedia sebagai suplemen atau pengganti obat-
obatan stimulan. Banyak dari saran tersebut yang tidak mengejutkan
27
Belajarlah untuk rileks. Ketegangan dan stres dapat melipatgandakan kurangnya
perhatian.
28
BAB III
PENUTUP
1. Sebagian besar manusia adalah individu kinan. Berdasarkan satu hipotesis, sebuah
gen dominan menimbulkan karekteristik kinan dan gen resesif menimbulkan
penentuan handedness acak.
2. Korpus kalosum adalah sekelompok akson yang menghubungkan kedua belahan otak.
3. Simpanse dapat belajar untuk berkomunikasi melalui bahasa tubuh dan simbol-simbol
tidak nonvokal, walaupun output-nya menyerupai bahasa manusia. Bonobo
memperlihatkan adanya kemajuan yang lebih besar daripada simpanse biasa karena
perbedaan spesies, pelatihan yang dimulai sejak dini, dan perbedaan metode
pelatihan.
4. Perhatian terhadap sebuah stimulus hampir bersinonim dengan sadar akan stimulus
tersebut. Perhatian atau kesadaran berkaitan dengan peningkatan aktivitas otak pada
area yang responsif terhadap stimulus tersebut.
29
DAFTAR PUSTAKA
Kalat, James W. (2012). Biological Psychology 9th ed. Jakarta: Salemba Humanika.
30