Anda di halaman 1dari 37

1.

Ciprofloxacin

A. Pendahuluan
Asam nalidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang dipasarkan
sekitar tahun 1960. Walaupun obat ini mempunyai daya antibakteri yang baik
terhadap kuman Gram-negatif, eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat
sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah. Karena itu penggunaan asam
nalidiksat praktis terbatas sebagai atiseptik saluran kemih saja. Selain itu resistensi
cepat timbul terhadap obat ini.Kuinolo lainnya yaitu asam piromidat, asam pipemidat,
sinoksasin, dan lain-lain, juga tidak mempunyai kelebihyan yang berarti. Kuinolon
lama ini praktis tidak digunakan orang lagi.
Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan kuinolon baru dengan atom
fluor pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan fluorokuinolon). Perubahan struktur
ini secara dramatis meningkatkan daya antibakterinya, memperlebar spektrum
antibakteri, memperbaiki penyerapannya dari saluran cerna, serta memperpanjang
masa kerja obat. Golongan fluorokuinolon ini dapat digunakan untuk infeksi sistemik.
Yang termasuk golongan ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin,
norfloksasin, enoksasin, dll.
Kemudian dipasarkan fluorokuinolon baru yang mempunyai daya antibakteri
yang baik terhadap kuman Gram-positif (antara lain S. penumoniae dan S. aureus)
serta kuman atipik penyebab infeksi saluran napas bagian bawah (misalnya
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella). Daya antibakterinya
terhadap kuman Gram-negatif sepadan dengan fluorokuinolon generasi terdahulu.
Yang termasuk golongan kuinolon baru ini ialah moksifloksasin, levloksasin, dan
gemifloksasin.

B. Nama Paten
Bestypro, Ciprec 500, Coroflox, Lapiflox, Qinox, Renator, Siflox, Viflox, Wiaflox.

C. Mekanisme Kerja dan Spektrum Antibakteri


Bentuk double helix DNA harus dipisahkan menjadi 2 rantai DNA pada saat
akan berlangsungnya replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu akan
mengakibatkan terjadinya puntiran berlebihan (overwinding) pada double helix DNA
sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan
enzim DNA gyrase (topoisomerase II) yang kerjanya menimbulkan negative
supercoiling. Golongan kuinolon menghambat kerja enzim DNA gyrase pada kuman
dan bersifat bakterisidal.
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok
kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (= DNA
gyrase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan
relaksasi pada DNA yang telah mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang
berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV
berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA
kuman selesai.

Spektrum Antibakteri. Fluorokuinolon lama ( siprofloksasin, ofloksasin,


norfloksasin, dll) mempunyai daya antibakteri yang kuat terhadap E. coli, Klebsiella,
Enterobacter, Proteus, H. influenzae, Providencia, Serratia, Salmonella, N.
meningitidis, N. gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitica. TErhadap
kuman Gram-positif, daya antibakterinya kurang baik.

Resistensi. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang benyak terjadi pada
antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun resistensi terhadap
kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu: (1) Mutasi gen gyr A yang
menyebabkan subunit A dari DNA gyrase kuman berubah sehingga tidak dapat
diduduki molekul obat lagi; (2) Perubahan pada permukaan sel kuman yang
mempersulit penetrasi obat ke dalam sel; dan (3) Peningkatan mekanisme pemompaan
obat keluar sel (efflux). Ini merupakan mekanisme penting yang menyebabkan
resistensi S. pneumoniae terhadapt fluorokuinolon.

D. Farmakokinetik
Penyerapa siprofloksasin dan mungkin juga fluorokuinolon lainnya terhambat bila
diberikan Bersama antasida. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.
Golongan obat ini didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin
semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat Minimal untuk
kebanyakan kuman pathogen selama minimL 12 jam. Salah satu sifat fluorokuinolon
yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi
dalam jaringan prostat. Beberapa fluorokuinolon seperti siprofloksasin dan ofloksasin
dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Sifat lin
fluorokuinolon yang menguntungkan ialah masa paruh eliminasinya Panjang sehingga
oabt cukup diberikan 2 kali sehari. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati
dan dieskresikan melalui ginjal. Hemodialisis hanya sedikit mengeluarkan
fluorokuinolon dari tubuh sehingga penambahan dosis umumnya tidak diperlukan.
Fluorokuinolon tergolong antimikroba yang bersifat concentration dependent killing.
Profil farmakokinetik siprofloksasin adalah berikut.
Dosis Cmax Bioavailabilitas Vd T½ Eliminasi
(mg) (mg/L) Oral ( %) (L/kg) (jam) (%)
500 1,5-3 60-80 2,5-5 3-5 30-50

Cmax: Kadar puncak


Vd: Volume distribusi
T ½ : masa paruh eliminasi

Absorbsi:

Cepat diabsorbsi oleh traktus GI. Bioavailabilitas 70-80% (oral). Waktu mencapai
konsentrasi puncak pada plasma: 1-2 jam (oral).

Distribusi:

Didistribusi secara luas di tubuh, penetrasi ke jaringan baik; melewati plasenta,


memasuki ASI; terdapat di CSF (kira-kira 10% dalam plasma jika terjadi meningitis).
Ikatan dengan protein plasma: 20-40%

Metabolisme:

Dapat diubah menjadi oxosiprofloksasin, sulfosiprofloksasin, dan bahan metabolit


aktif lainnya.

Ekskresi:

Untuk obat yang tidak dimetabolisme, diekskresikan melalui urin kira-kira 40-50%
(oral) dan sampai 70% (parenteral); melalui feses 20-35% (oral) dan 15% (IV).
Eliminasi waktu paruh: sekitar 3-5 jam.
E. Indikasi
Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi antara lain.
Infeksi Saluran Kemih (ISK). Fluorokuinolon efektik untuk ISK denga atau tanpa
penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P.
aeruginosa. Siprofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan
prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronis.

Infeksi Saluran Cerna. Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan
oleh Shigella, Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. Siprofloksasin mempunyai
efektivitas yang baik terhadap demam tifois. Selain itu kemungkinan atatus karier
juga dikurangi.

Infeksi Saluran Napas (ISN). Siprofloksasin efektif untuk mengatasi eksaserbasi


cystic fibrosis yang disebabkan oleh P. aeruginosa,namun penggunaan obat ini untuk
jangka Panjang mengakibatkan timbulnya resistensi. Siprofloksasin merupakan
fluorokuinolon yang dapat digunakan untuk pengobatan tuberculosis oleh kuman
yang resisten terhadap banyak obat (multidrug resistant) serta mikobakteria atipik.

Penyakit yang Ditularkan Melalui Hubungan Seksual. Siprofloksasin oral


merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan urethritis dan sevisitis oleh
gonokokus. GOlongan fluorokuinolon juga aktif terhadap H. ducreyi dan C.
trachomatis, tetapi tidak efektif terhadap T. pallidum.

Infeksi Tulang dan Sendi. Siprofloksasin oral dengan dosis 2 kali 500-750 mg/hari
yang diberikan selama 4-6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan
sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka. Angka penyembuhan klinis dapat
mencapai 75% untuk osteomyelitis yang disebabkan oleh kuman Gram-negatif.
Dengan pemberian oral ini, pasien dapat berobat jalan sehingga baiay pengobatan
banyak berkurang.

Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak. Fluorokuinolon oral mempunyai efektivitas


sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga (sefotaksim, seftazidim)
untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringa lunak.
F. Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap siprofloksasin atau obat golongan kuinolon lainnya.

G. Dosis dan Posologi


Dosis dan sediaan Siprofloksasin adalah berikut.
Dosis per hari
Sediaan
Oral Parenteral
Tablet 250, 500 mg 2 kali 250-500 mg 2 kali 200-400 mg IV
Infus 200 dan 400 mg Untuk gonore: 1x250 mg

H. Efek Samping
Saluran Cerna. Efek samping ini paling sering timbul akibat penggunaan golongan
kuinolon (prevalensi sekitar 3-17%) dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah,
dan rasa tidak enak di perut.
Susunan Saraf Pusat. Yang paling sering dijumpai ialahsakit kepala dan pusing.
Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang, dan delirium.
Hepatotoksisitas. Efek samping ini jarang dijumpai, namun kematian akibat
hepatotoksisitas yang berat pernah terjadi akibat penggunaan frofafloksasin. Karena
itu obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi.
Lain-lain. Efek samping kuinolon yang jarang seklai dijumpai ialah tendinitis dan
sindroma hemolysis, gagal ginjal, serta trombositopeni. Golongan kuinolon hingga
sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena
data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan obat ini dapat menimbulkan
kerusakan sendi.

I. Interaksi Obat
Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya:
Antasid dan Preparat Besi (Fe). Absorpsi kuinolon dan fluorokuinolon dapat
berkurang hingga 50% atau lebih. Karena itu pemberian antacid dan preparat besi
harus diberikan dengan selang waktu 3 jam.
Teofilin. Beberapa kuinolon misalnya siprofloksasin menghambat metabolism teofilin
dan meningkatkan kadar teofilin dalam darah sehingga dapat terjadi intoksikasi.
Karena itu pemberian kombinasi kedua golongan obat ini perlu dihindarkan.

Obat-obat yang Dapat Memperpanjang Interval QTc. Golongan kuinolon


sebaiknya tidak dikombinasikan dengan obat-obat yang dapat memperpanjang QTc
interval, antara lain obat anti aritmia kelas IA (misalnya kuinidin, prokainamid) dan
golongan III (misalnya amiodaron, sotalol), terfenadine, dan sisaprid.

J. Penggunaan, Penyimpanan, dan Perhatian


Penggunaan: Dapat diminum dengan atau tanpa makan. Dapat juga diminum
bersamaan dengan makanan untuk meminimalisir ketidaknyamanan GI. Jangan
dikonsumsi bersamaan dengan antasid, Fe atau produk susu.
Penyimpanan:
a) Oral
Tablet: Simpan pada suhu dibawah 30oC. Jauhkan dari sinar UV.
b) Intravena
IV soln: Simpan pada suhu antara 5-30oC. Jauhkan dari cahaya matahari dan suhu
yang sangat dingin (freezing).
c) Opthalmic
Opth soln dan oint: Simpan pada suhu antara 2-25oC.
d) Otic
Otic soln: Simpan pada suhu antara 15-25oC. Jauhkan dari cahaya matahari.
Peringatan dan Perhatian:
Pasien dengan riwayat epilepsy, riwayat kekacauan CNS, defisiensi G6PD,
myasthenia gravis symptomps, resipien transplantasi ginjal, hati, atau paru,
ketidaksempurnaan hati dan ginjal, kehamilan dan laktasi (menyusui).

2. Paracetamol
a. Pengertian Parasetamol
Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgesik.
Parasetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh
karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, parasetamol juga dapat digunakan
untuk meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis
standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering
terjadi. Parasetamol (asetaminofen) merupakan turunan senyawa sintesis dari p-aminofenol
yang memberikan efek analgesia dan antipretika. Senyawa ini mempunyai nama kimia N-
asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol, bobot molekul 151,16 dengan rumus kimia
C8H9NO2.

Gambar 2. 4. Struktur molekul parasetamol (asetaminofen)

Asetaminofen (parasetamol)

N-acetyl-para-aminophenol

Berat molekul 151.16

Rumus empiris C8H9NO2

(Metabolisme) Hati (Hepar)


Sifat
B (AS)
-sifat Golongan hamil (farmasi)
A (Aus)
fisik
a
parasetamol adalah:

a) Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.


b) Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1 N
c) Titik lebur : Antara 1680 sampai 1720
d) Ksp : 1.4 g/100 ml or 14 mg/mL (200C)
Dalam golongan obat analgetik, parasetamol memiliki khasiat sama seperti aspirin
atau obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin,
parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak. Sementara itu, sifat
antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen yang dikandungnya.
b. Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya akan
mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari
tubuh. Seluruh proses inilah yang disebut dengan proses farmakokinetik dan berjalan
serentak. Di dalam tubuh manusia obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai
jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan
melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler.
Pada pemberian obat secara oral, obat harus mengalami berbagai proses sebagai
berikut, antara lain :

a. Absorbsi
Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Absorbs kebanyakan obat melalui saluran cerna
pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu absorbsi mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak.

Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar
serum puncak dalam waktu 30 - 120 menit. Adanya makanan dalam lambung akan sedikit
memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat.

b. Distribusi
Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari
aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat
dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya :
jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase dua jauh lebih luas yaitu mencakup
jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada distribusi fase pertama misalnya : otot,
visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai kesetimbangan setelah waktu
yang lama.

Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Lebih
kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma.

c. Metabolisme
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme
utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang
dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim
sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek
toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini
segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui
ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-
acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.

Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi


metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis
normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal.

d. Eliminasi
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh terdiri dari dua proses yaitu metabolisme
(biotransfromasi) dan ekskresi. Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat dan
metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi
dapat terjadi tergantung pada sifat fisiokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, dan
tekanan uap).

Parasetamol diekskresikan melalui urin sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen


glukoronoid, asetaminofen sulfat, merkaptat dan bentuk yang tidak berubah.

c. Farmakodinamik
Paracetamol merupakan derivat-asetanilida, adalah metabolit dari fenasetin, khasiat
paracetamol antara lain sebagai analgetik (nyeri ringan sampai sedang) dan antipiretik tetapi
tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling
aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).
Mekanisme kerja paracetamol yaitu dengan menghambat sintesis prostaglandin terutama di
Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik,
antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung (Sartono,1993). Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat
yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna.
Parasetamol memiliki efek terapi sebagai antipiretik maupun analgesik, tetapi tidak memiliki
efek anti inflamasi (antiradang), sehingga tidak berguna untuk mengurangi peradangan atau
pembengkakan pada kulit atau sendi. Parasetamol bekerja menghambat produksi
prostaglandin dengan cara menghambat enzim Cyclooksigenase (COX). Di dalam tubuh,
terdapat 3 macam enzim COX, yaitu COX1, COX2 dan COX3. Parasetamol menghambat
prostaglandin yang lebih banyak berada di otak dan system saraf pusat, yaitu COX 3. Dengan
dihambatnya produksi Prostaglandin, thermostat hipotalamus dapat kembali bekerja normal
yang menghasilkan efek penurunan panas ke suhu tubuh normal (efek antipiretik).
Obat antipiretik menurunkan demam dengan menghambat proses
inflamasi/radang. Mekanisme kerja obat antipiretik adalah dengan
penghambatan biosintesis prostaglandin, yang akan dilepaskan bilamana sel mengalami
kerusakan dengan cara menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu.
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai
sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan
efek sentral. Efek antiinflamasinya yang sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan sebagai antireumatik. Ketidakmampuan parasetamol memberikan efek antiradang
itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa parasetamol hanya merupakan inhibitor
siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan
pada lesi radang. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah.
Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak telihat pada obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.

d. Indikasi
Indikasi utama parasetamol yaitu digunakan sebagai obat penurun panas (analgesik)
dan dapat digunakan sebagi obat penghilang rasa sakit dari segala jenis seperti sakit kepala,
sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri sehubungan dengan pilek, nyeri otot pasca-trauma, dan
lain-lain. Sakit kepala migrain, dismenore dan nyeri sendi juga dapat diringankan dengan
obat parasetamol ini. Pada pasien kanker, parasetamol digunakan untuk mengatasi nyeri
ringan atau dapat diberikan dalam kombinasi dengan opioid (misalnya kodein).
Parasetamol telah dibandingkan dengan banyak analgesik lain dan dianggap kurang
equipotent jika dibandingkan dengan aspirin (asam asetilsalisilat). Dengan demikian, secara
umum, parasetamol kurang mujarab ketimbang salisilat dan agen antirematik lainnya jika
digunakan sebagai obat anti-inflamasi dan antinyeri.
Parasetamol dapat digunakan pada anak-anak. Ini merupakan alternatif yang lebih
disukai ketika aspirin (asam asetilsalisilat) merupakan kontraindikasi (misalnya karena
riwayat ulkus atau infeksi virus pada anak)

e. Efek Samping
Walaupun efek samping parasetamol jarang, namun jika itu terjadi maka ditandai dengan:
a) Ruam atau pembengkakan – ini bisa menjadi tanda dari reaksi alergi.
b) Hipotensi (tekanan darah rendah) ketika diberikan di rumah sakit dengan infus.
c) Kerusakan hati dan ginjal, ketika diambil pada dosis lebih tinggi dari yang
direkomendasikan (overdosis).
Dalam kasus ekstrim kerusakan hati yang dapat disebabkan oleh overdosis parasetamol
bisa berakibat fatal. Maka carilah bantuan medis darurat jika anda memiliki salah satu dari
tanda-tanda reaksi alergi parasetamol seperti: gatal-gatal, kesulitan bernapas,
pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan. Berhenti menggunakan obat ini dan
hubungi dokter apabila mengalami efek samping parasetamol yang serius seperti:
a) Mual, sakit perut, dan kehilangan nafsu makan
b) Air seni berwarna gelap, tinja berwarna tanah liat
c) Jaundice (menguningnya kulit atau mata).
d) Diare
e) Keringat berlebihan
f) Kehilangan nafsu makan
g) Mual atau muntah
h) Kram perut atau nyeri
i) Pembengkakan, atau nyeri di perut atau perut daerah atas

f. Kontraindikasi
Obat parasetamol tidak boleh digunakan pada orang dengan kondisi sebagai berikut:

a) Alergi parasetamol atau acetaminophen


b) Gangguan fungsi hati dan penyakit hati
c) Gangguan fungsi ginjal serius
d) Shock
e) Overdosis Acetaminophen
f) Gizi buruk
g. Dosis
Dosis Parasetamol Dewasa untuk Demam dan Nyeri:
a) Pedoman umum: 325-650 mg diminum setiap 4 sampai 6 jam atau 1000 mg
setiap 6 sampai 8 jam.
b) Paling sering adalah Paracetamol 500mg tablet: 500 mg tablet oral setiap 4
sampai 6 jam.
Dosis Parasetamol Anak untuk Demam dan Nyeri:
Untuk mengukur dosis parasetamol anak dengan tepat maka kita harus
mengetahui berat badan dan umur anak, karena ini akan menjadi pertimbangan.

a) < = 1 bulan: 10-15 mg/kg BB/dosis setiap 6 sampai 8 jam sesuai kebutuhan.
b) 1 bulan – 12 tahun: 10 – 15 m /kg BB/dosis setiap 4 sampai 6 jam sesuai
kebutuhan (maksimum: 5 dosis dalam 24 jam).
Obat parasetamol tidak dianjurkan melebihi dosis yang direkomendasikan. Jumlah
maksimum untuk orang dewasa adalah 1 gram (1000 mg) per dosis dan 4 gram (4000
mg) per hari. Penggunakan parasetamol yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan hati.

Pada anak-anak, gunakanlah sediaan sirup atau suppositoria. Hati-hati dan selalu
ikuti petunjuk dosis pada label obat. Jangan memberikan paracetamol untuk anak di
bawah usia 2 tahun tanpa nasihat dari dokter.

Berhenti menggunakan paracetamol dan hubungi dokter jika:


a) Selama 3 hari penggunaan masih demam.
b) Selama 7 hari penggunaan masih terasa sakit (nyeri belum teratasi) atau 5 hari
pada anak-anak.
c) Terjadi reaksi alergi seperti ruam kulit, sakit kepala terus menerus, atau
kemerahan atau bengkak.

h. Bentuk Sediaan Obat


Parasetamol tersedia dalam berbagai bentuk sediaan seperti suspensi, sirup, tablet,
kapsul, drop (obat tetes) da suppositoria (sediaan yang dimasukkan ke lubang anus atau
rektal).
Parasetamol ini umumnya berasa pahit, sehingga pada anak sering diberikan pemanis
rasa seperti strawberry, jeruk dll. Sediaan untuk anak biasanya dalam bentuk sirup atau
drop, yang tersedia dalam berbagai rasa. Selain pemanis kadang ada beberapa bahan
tambahan lain, seperti bahan untuk memperbaiki bau, pensuspensi, dapar untuk menjaga
PH dan bahan pengawet. Pelarut obatnya ada yang mengandung alkohol untuk
meningkatkan kelarutan obatnya. Obat bentuk sediaan sirup kering sering dikemas dalam
botol coklat dengan tujuan untuk menjaga kestabilan terhadap cahaya., karena botol
coklat tidak terlalu menyerap cahaya. Sediaan sirup ada juga yang mengandung
paracetamol dengan sebutan micronized paracetamol, hal ini dimaksudkan untuk
menyebutkan ukuran parasetamol yang diperkecil dengan upaya meningkatkan
absorpsinya.
Bentuk sediaan tablet untuk orang dewasa dijual di apotek dengan berbagai nama
dagang. Bentuk tablet kunyah (chewable), dibuat agar pasien anak lebih suka karena bila
tablet dikunyah dapat memberi rasa buah. sediaan bentuk puyer kadang dibuat di apotek
dari bentuk tablet yang digerus dengan mortir dan stamper. Umumnya setiap tabletnya
digerus untuk dibagi dalam beberapa bungkus puyer, sehingga dosis yang diberikan
dapat disesuaikan dengan usia dan berat badan pasien bayi/anak. Bentuk sediaan puyer
dibuat karena sediaan sirup harganya lebih mahal atau obat yang tersedia di pasaran
dosisnya tidak sesuai dengan kondisi pasien. Di beberapa negara paracetamol ada yang
dibuat dalam bentuk tablet SR (sustained release), yaitu bentuk sediaan tablet dengan
pelepasan zat aktifnya (paracetamol) secara perlahan/terkontrol dengan tujuan untuk
memberikan efek pereda nyeri dalam jangka panjang.
Paracetamol juga tersedia dalam bentuk supositoria atau rektal tube, yaitu yang cara
pemberiannya lewat anus/rektal. Umumnya pemberian secara rektal dilakukan bila
pasien kejang, muntah, kesulitan menelan, iritasi lambung dll. Efeknya lebih cepat
karena larut dan langsung diserap pembuluh darah daerah anus.

3. Antasida
A. Pendahuluan
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk
menghilangkan nyeri tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang
dikeluarkan lambung, tetapi peningkatan pH akan menurunkan aktivitas pepsin.
Beberapa antasid, misalnya aluminium hidroksida, diduga menghambat pepsin secara
langsung. Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antacid pada dosis terapi
bervariasi, tetapi umumnya pH lambung tidak sampai di atas 4, yaitu keadaan yang
jelas menurunkan aktivitas pepsin; kecuali bila pemberiannya sering dan terus
menerus. Mula kerja antacid sangat bergantung pada kelarutan dan kecepatan
netralisasi asam; sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan
masa kerjanya.
Umumnya antacid merupakan basa lemah. Senyawa oksi-aluminium (basa
lemah) sukar untuk meninggikan pH lambung lebih dari 4, sedangkan basa yang lebih
kuat seperti magnesium hidroksida secara teoritis dapat meninggikan pH sampai 9,
tetapi kenyataannya tidak terjadi. Semua antacid meningkatkan produksi HCl
berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin.
Antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antacid sistemik dan antacid
nonsistemik. Antasid sistemik, misalnya natrium bikarbonat, diabsorpsi dalam usus
halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal,
dapat terjadi alkalosis metabolic. Penggunaan kronik natrium bikarbonat
memudahkan nefrolitiasis fosfat.
Antasid nonsistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak
menimbulkan alkalosis metabolic. Contoh antacid nonsistemik ialah sediaan
magnesium, aluminium, dan kalsium.

B. Sediaan Antasid
Antasid Sistemik: Natrium Bikarbonat
Antasid Nonsistemik: Aluminium Hidroksida, Kalsium Karbonat, Magnesium
Hidroksida, Magnesium Trisilikat.

Bentuk sediaan, efek samping, dan penggunaan beberapa antacid.


Nama Obat Bentuk Sediaan Efek Samping Keterangan
dan Dosis
Natrium Tablet 500 mg Alkalosis sistemik, Digunakan untuk mengobati asidosis
bikarbonat Dosis : 1-4 edema, perforasi sistemik. Untuk membuat urin alkali.
g/hari lambung Untuk mengatasi pruritus pada
penggunaan lokal
Aluminium Tablet suspense Ekskresi Al-fosfat Masa kerja sebagai antacid lama.
Hidroksida 4% dosis melalui tinja Mempunyai sifat astringen dan
tunggal 0,6 g meningkat, demulsen. Dapat digunakan untuk
menimbulkan sindroma mengobati nefrolitiasis fosfat
deplesi fosfat.
Menyebabkan
konstipasi, mual,
muntah dan obstruksi
usus
Aluminium Suspensi 4-5% Konstipasi
Sulfat Dosis : 15-45
mL
Al-karbonat Suspensi berisi Konstipasi Sifat farmakologi sama seperti
basa 5% Al2O3 dan aluminium hidroksida. Satu mL
2,4% CO2 suspense dapat menetralkan 1,2-1,5
Dosis: 8 mL mEq asam.
Al-natrium Tablet: 300 mg Konstipasi Kombinasi antara NaHCO3 dan
dihidroksi- Dosis: 300-600 Aluminium hidroksida
karbonat mg
Kalsium Dosis: 2-3 g/hari Fenomena acid Mula kerja cepat, masa kerja Panjang.
karbonat Tablet 0,5-0,6 g rebound; tinja menjadi
keras, konstipasi,
kerusakan ginjal,
hiperkalsemia,
alkalosis, milk alkali
syndrome.
Magnesium Dosis 0,6-2 Diare Efeknya lebih lambat daripada
karbonat g/hari kalsium karbonat. Kebutuhannya lebih
besar daripada kalsium karbonat
Magnesium Suspensi susu Diare (bersifat katartik), Kerjanya lama, efek netralisasinya
hidroksida magnesium 7- ion magnesium yang lengkap, ion magnesium yang
8% diserap akan diabsoprsi akan menyebabkan efek
Dosis 5-30 mL menyababkan kelainan sistemik. Urin menjadi alkalis
Tablet 325 mg neuromuskular
Magnesium Tablet 500 mg Diare, siliceous SiO2 yang terjadi dapat melapisi dan
trisilikat Dosis 1-4 g/hari nephroliths melindungi ulkus. Kerjanya lambat.
Sebagai adsorben pada keracunan oral.

C. Efek Samping dan Pedoman Penggunaan


Tidak ada antacid yang bebas efek samping, terutama pada penggunaan dosis
besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara lain:
a) Sindroma Susu Alkali. Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang
memakai/menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum
susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya adalah sakit kepala,
iritabel, lemah, mual, dan muntah. Sindroma ini ditandai dengan
hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi dan terbentuknya batu ginjal serta
gagal ginjal kronik. Keadaan ini diduga disebebakan protein dalam susu yang
meningkatkan absorpsi kalsium. Hiprekalsemia yang timbul mungkin
menekan sekresi hormone paratiroid yang selanjutnya meningkatkan ekskresi
kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium karena pengendapan di
saluran kemih.
b) Batu Ginjal Osteomalasia dan Osteopororsis. Aluminium hidroksida dan
fosfat dapat membentuk senyawa yang sukat larut dalam usus halus, sehingga
mengurangi absorpsi fosfat dan diikuti penurunan ekskresi fosfat urin.
Penurunan absorpsi ini berakibat resorpsi tulang yang selanjutnya
menyebabkan hiperkalsiuria dan meningkatnya absorpsi kalsium dari usus
halus. Perubahan metabolism kalsium ini dapat beralibat batu kalsium saluran
kemih, osteomalasia, dan osteoporosis.
c) Neurotoksisitas. Aluminium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat
tertimbun dalam otak, dan diduga mendasar sindroma ensefalopati yang terjadi
pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit Alzheimer.
d) Saluran Cerna. Penggunaan antacid yang mengandung magnesium dapat
menimbulkan diare dan yang mengandung aluminium akan menyebabkan
konstipasi karena hambatan waktu pengosongan lambung, terutama berbahaya
pada orangtua dengan perdarahan usus.
e) Asupan Natrium. Hampi semua antacid mengandung natrium, ehingga perlu
diperhatikan penggunaannya pada pasien yang harus diet rendah natrium,
misalnya pada penyakit kardiovaskular.
f) Interaksi dengan Obat Lain. Antasid dapat mengurangi absorpsi berbagai
obat misalnya nalidiksat, sulfonamide, fenilbutazon, digoksin, dan
klopromazin, Antasid sistemik dapat meningkatkan pH urin, sehingga
menurunkan eksresi amin misalnya kina dan amretamin serta meningkatkan
ekskresi salisilat.
Hal-hal berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk penggunaan antacid:
(1) penggunaan antacid sistemik jangka Panjang sebaiknya dihindarkan; (2) bentuk
suspense mula kerjanya lebih cepat daripada bentuk tablet; (3) urutan daya netralisasi
asam oleh antacid dari yang tinggi ke yang rendah ialah sebagai berikut: kalsium
karbonat, magnesium karbonat, magnesium oksida dan magnesium hidroksida,
dihidorksi aluminium asetat; (4) campuran dua atau lebih antacid tidak lebih baik
daripada satu macam sdiaan antacid. Untuk menghilangkan konstipasi atau diare lebih
baik diberikan dua perparat yang terpisah daripada sebagai campura; (5) jangan
menilai biaya pengobatan menurut harga satuan (unit), tetapi berdasarkan biaya sehari
untuk mempertahankan netralnya asam lambung.

4. Resep Obat
Unsur-unsur resep:

1. Identitas Dokter Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter
penulis resep serta dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam
praktek. Biasanya sudah tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep
3. Superscriptio Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah
dicetak dalam blanko. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula
resep, diperlukan penulisan R/ lagi.
4. Inscriptio Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah
obat yang diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya.
Cara penulisan (dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula
resep yang digunakan. Contoh: - m.f.l.a. pulv. d.t.d.no. X - m.f.l.a. sol - m.f.l.a.
pulv. No XX da in caps
6. Signatura Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu
meliputi frekuensi, jumlah obat dan saat diminum obat, dll. Contoh:
s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah makan)
7. Identitas pasien Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan
umur). Nama pasien dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat
badan pasien supaya kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.

Tata Cara Penulisan Resep

Untuk Indonesia, resep yang lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III,
pasal 10) memuat:

1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)


2. Tanggal penulisan resep
3. Nama setiap obat/komponen obat
4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
5. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum.

Jenis-Jenis Golongan Antibiotik

Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme khususnya


dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat
perkembangan bakteri dan organisme lain (Utami, 2011). Klasifikasi Antibiotik adalah
sebagai berikut:

a. Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:

1. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri.

1.1 Antibiotik Beta-Laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai


struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem,
dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat
bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif.
Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat
langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan
stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011).

a. Penisilin

Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja,


farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan sefalosforin, monobaktam,
karbapenem, dan penghambat beta-laktamase. Semua obat tersebut merupakan
senyawa beta laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam
beranggota empat yangunik (Katzung, 2012).

Penisilin mempunyai mekanisme kerja dengan cara mempengaruhi langkah


akhir sintesis dinding sel bakteri (transpepetidase atau ikatan silang), sehingga
membran kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin
disebut bakterisida. Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum
aktivitas antibiotiknya, antara lain penislin G dan penislin V, penislin yang resisten
terhadap beta-laktamase, aminopenislin, karboksipenislin, ureidopenislin.

Penisilin G (Benzil Penisilin) merupakan klasifikasi dari antibiotik golongan


penisilin yang diindikasikan pada pasien dengan penyakit pneumonia, infeksi
tenggorokan, otitis media, penyakit Lyme, endokarditis streptokokus, infeksi
meningokokus, enterokolitis nekrotika, fasciitis nekrotika, leptospirosis, antraks,
aktinomikosis, abses otak, gas gangren, selulitis, osteomielitis. Golongan antibiotik
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif.

Golongan Benzatin Penisilin diindikasikan pada pasien dengan faringitis yang


disebabkan oleh Streptokokus, carrier difteri, sifilis dan infeksi treponema lain
(ulkus tropikum), profilaksis demam rematik. Ampisilin diindikasikan pada pasien
dengan penyakit mastoiditis, infeksi ginekologik, septikemia, peritonitis,
endokarditis, meningitis, kolesistitis, osteomielitis yang disebabkan oleh kuman
yang sensitif. Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif
terhadap golongan penisilin. Golongan amoksisilin diindikasikan pada pasien
dengan penyakit infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas bagian atas, bronkitis,
pneumonia, otitis media, abses gigi, osteomielitis, penyakit Lyme pada anak,
profilaksis endokarditis, profilaksis paska-splenektomi, infeksi ginekologik, gonore,
eradikasi Helicobacter pylori.
b. Sefalosporin

Sefalosporin dan analog 7-metoksinya, sefamisin seperti cefoxitin (se FOX i


tin), cefotetan (se foe TEE tan), dan cefmetazole (sef MET a zol) adalah antibiotik
beta-laktam yang berkaitan erat dengan penislin secara struktur dan fungsional.
Kebanyakan sefalosporin dihasilkan secara semisintetik dengan pengikatan kimia
pada rantai samping asam 7-aminosefalosporanat. Sefalosporin dan sefamisin
mempunyai mekanisme kerja sama dengan penislin dan dipengarungi oleh
mekanisme resistensi yang sama, tetapi obat−obat tersebut lebih cenderung menjadi
lebih resisten dibandingkan penislin terhadap beta-laktam (Mycek et al,2001).
Golongan sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasi, yang terdiri dari
generasi I, generasi II, generasi III dan golongan IV.

c. Monobaktam (beta-laktam monosiklik)

Yang termasuk kedalam golongan adalah aztreonam. Aktivitas resisten


terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri Gram- negatif. Aktif terutama
terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik terhadap
Enterobacteriacease, P. aeruginosa, H. influenzae dan gonokokus. Pemberian secara
parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal.

Sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin (Kemenkes, 2011).

d. Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas


antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam lainnya. Spektrum
dengan aktivitas menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram negatif, dan
anaerob (Kemenkes, 2011).

e. Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase. Golongan antibiotik ini adalah asam klavulanat,
sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide inhibitor yang
mengikat beta-laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara
ireversibel. Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan parenteral,
dan kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram positif, termasuk S. aureus penghasil
beta-laktamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri
anaerob. Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk penggunaan parenteral.
Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi dan ekskresinya melalui ginjal
(Kemenkes, 2011).

1.2 Basitrarin

Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama
adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae,
dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk
salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin
dan/atau polimiksin.Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik
(Kemenkes, 2011).

1.3 Vankomisin

Vankomisin (van koe MYE sin) adalah suatu glikopeptida trisiklik yang penting
karena efektivitasnya terhadap organisme resisten multi-obat seperti stafilokokus
resisten metilisin. Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif
terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh S. Aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil
Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin. Indikasi pemberian
vankomisin adalah infeksi S. aureus resisten methicillin atau stafilokokus resisten
beta-laktam koagulase negatif; infeksi serius atau mengancam jiwa (endokarditis,
meningitis, osteomielitis) yang disebabkan stafilokokus atau streptokokus pada pasien
dengan alergi terhadap penisilin
2. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein

2.1 Aminoglikosida

Aminoglikosisda dihasilkan oleh jenis−jenis fungi Streptomyces dan


Micromanospora semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau
tiga gula amino di dalam molekulnya yang saling terikat secara glukosidis. Dengan
adanya gugusan-amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang
digunakan dalam terapi mudah larut dalam air (Tjay & Rahardja, 2010). Spektrum
aktivitas obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram negatif.

a. Gentamisin

Gentamisin termasuk golongan Aminoglikosida. Gentamisin bersifat bakterisid


yang aktif terutama terhadap gram negatif termasuk Pseudomonas aerogenosa,
Proteus serratia. Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan pneumonia,
kolesistisis, peritonitis, septikemia, pyelo nefritis, infeksi kulit, inflamasi pada
tulang panggul, endokarditis, meningitis, listeriosis, brucellosis, pes, pencegahan
infeksi setelah pembedahan.

2.2 Tetrasiklin

Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat


berbagai bakteri Gram-positif, Gram negatif, baik yang bersifat aerob maupun
anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan
beberapa spesies mikobakteria. Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin

2,3 Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-


positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.
Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S.
Efek samping yang ditimbulkan adalah supresi sumsum tulang, grey baby syndrome,
neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam
(Kemenkes, 2011). Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan demam tifoid,
infeksi berat lain terutama yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae, abses
serebral, mastoiditis, ganggren, septikemia, pengobatan empiris pada meningitis.
2.4 Makrolid

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat


beberapa Enterococcus dan basil Gram ositif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela.

a. Eritromisin

Efektif terhadap organisme yang sama seperti penisilin, karena itu obat ini
digunakan pada penderita yang alergi terhadap penisilin. Diindikasikan untuk pasien
hipersensitif terhadap penisilin, enteritis campylobacter, difteri. .

b. Azitromisin

Azotromisin merupakan suatu senyawa cincin makrolid lakton 15-atom.


Azitromisin efektif terhadap Mavium kompleks dan T gondii. Azitromisin sedikit
kurang aktif dari pada eritromisin dan klaritomisin terhadap stafilokokus dan
streptokokus serta sedikit lebih aktif terhadap H influenzae.

c. Klaritromisin

Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan. Obat
ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit, dan jaringan lunak. Sekitar
30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses (Kemenkes, 2011).

d. Roksitromisin

Roksitromisin mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun


lebih efektif melawan bakteri gram negatif tertentu sepertiLegionella pneumophila.
Antibiotik ini dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin
dan jaringan lunak.

2.5 Klindamisin

Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram positif dan sebagian besar
bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti
Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia (Kemenkes, 2011). Klindamisin terutama
diberikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob, seperti
bakteri Bakteriodes fragilis yang sering kali menimbulkan infeksi abdomen yang
diakibatkan trauma (Katzung, 2012).

3. Obat Antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat

3.1 Sulfonamida dan Trimetropim

Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat


sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P.aeruginosa dan Neisseria sp.
Kombinasi ini menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase negatif,
Streptococcus hemoliticus, H. influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram negatif aerob (E.
coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P. Carinii (Tjay
& Rahardja, 2010).

4. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat

4.1 Kuinolon

a. Asam nalidiksat

Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.


Fluorokuinolon. Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,
ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon
bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E. coli,
Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P.
Aeruginosa (Kemenkes, 2011).

Penggolongan Jenis Obat

1. Penggolongan Obat Berdasarkan Jenis


Penggolongan obat berdasarkan jenis tertuang dalam Permenkes RI Nomor
917/Menkes/X/1993 yang kini telah diperbaharui oleh Permenkes RI Nomor 949/
Menkes/Per/VI/2000. Penggolongan obat bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta keamanan distribusi. Penggolongan obat ini terdiri atas:

a. Obat bebas, yaitu obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter.
Obat ini ter golong obat yang paling aman, dapat dibeli tanpa resep di apotik dan bahkan
juga dijual di warung-warung. Obat bebas biasanya digunakan untuk mengobati dan
meringankan gejala penyakit. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran
berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: rivanol, tablet paracetamol,
bedak salicyl, multivitamin, dan lain-lain.
b. Obat bebas terbatas, adalah segolongan obat yang dalam jumlah tertentu aman dikonsumsi
namun jika terlalu banyak akan menimbulkan efek yang berbahaya. Obat ini dulunya
digolongkan kedalam daftar obat W. Tidak diperlukan resep dokter untuk membeli obat
bebas terbatas. Disimbolkan dengan lingkaran biru tepi hitam. Contoh: obat antimabuk
seperti antimo, obat anti flu seperti noza, decolgen, dan lainlain.

c. Obat wajib apotek, adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker pengelola
apotek tanpa resep dokter. Obat wajib apotek dibuat bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya pengobatan
sendiri yang tepat, aman, dan rasional.

d. Obat keras, adalah obat yang berbahaya sehingga pemakaiannya harus di bawah
pengawasan dokter dan obat hanya dapat diperoleh dari apotek, puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan menggunakan resep
dokter. Obat ini memiliki efek yang keras sehingga jika digunakan sembarangan dapat
memperparah penyakit hingga menyebabkan kematian. Obat keras dulunya disebut sebagai
obat daftar G. Obat keras ditandai dengan lingkaran merah tepi hitam yang ditengahnya
terdapat huruf “K” berwarna hitam. Contoh: antibiotik seperti amoxicylin, obat jantung,
obat hipertensi dan lain-lain.

e. Psikotropika dan narkotika. Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara alamiah
ataupun buatan yang berkhasiat untuk memberikan pengaruh secara selektif pada sistem
syaraf pusat dan menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Obat
golongan psikotropika masih digolongkan obat keras sehingga disimbolkan dengan
lingkaran merah bertuliskan huruf “K” ditengahnya. Sedangkan narkotika merupakan obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang
dapat menyebabkan perubahan kesadaran dari mulai penurunan sampai hilangnya
kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran merah yang ditengahnya terdapat
simbol palang (+).
2. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat.

a. Obat yang bekerja pada penyebab penyakit, misalnya penyakit akibat bakteri atau mikroba.
Contoh: antibiotik.
b. Obat yang bekerja untuk mencegah kondisi patologis dari penyakit. Contoh: vaksin, dan
serum.

c. Obat yang menghilangkan simtomatik/gejala, seperti meredakan nyeri. Contoh: analgesik.

d. Obat yang bekerja menambah atau mengganti fungsi-fungsi zat yang kurang. Contoh:
vitamin dan hormon. E

e. Pemberian placebo adalah pemberian obat yang tidak mengandung zat aktif, khususnya
pada pasien normal yang menganggap dirinya dalam keadaan sakit. Contoh: aqua pro
injeksi dan tablet placebo.

3. Penggolongan obat berdasarkan lokasi pemakaian.


a. Obat dalam yaitu obat-obatan yang dikonsumsi peroral (melalui mulut). Contoh: tablet
antibiotik, parasetamol.
b. Obat luar yaitu obat-obatan yang dipakai secara topikal/tubuh bagian luar. Contoh: sulfur
salep, caladine, dan lain-lain.

4. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan


a. Sistemik: obat atau zat aktif yang masuk ke dalam peredaran darah.
b. Lokal: obat atau zat aktif yang hanya berefek/menyebar/mempengaruhi bagian tertentu
tempat obat tersebut berada, seperti pada hidung, mata, kulit, dan lainlain.

5. Penggolongan obat berdasarkan asal obat.


a. Alamiah: obat obat yang berasal dari alam (tumbuhan, hewan dan mineral) seperti, jamur
(antibiotik), kina (kinin), digitalis (glikosida jantung). Dari hewan: plasenta, otak
menghasilkan serum rabies, kolagen.
b. Sintetik: merupakan cara pembuatan obat dengan melakukan reaksi-reaksi kimia,
contohnya minyak gandapura dihasilkan dengan mereaksikan metanol dan asam salisilat.

Klasifikasi jenis obat adalah sebagi berikut:

a. Obat Generik (unbranded drugs).

Obat generik adalah obat dengan nama generik sesuai dengan penamaan zat aktif
sediaan yang ditetapkan oleh farmakope indonesia dan INN (International non-propietary
Names) dari WHO, tidak memakai nama dagang maupun logo produsen. Contoh
amoksisilin, metformin dan lain-lain.

b. Obat Generik berlogo.

Obat generik berlogo adalah Obat generik yang mencantumkan logo produsen (tapi
tidak memakai nama dagang), misalkan sediaang obat generik dengan nama amoksisilin
(ada logo produsen Kimia Farma).

c. Obat Nama dagang (branded drugs).

Obat nama dagang adalah obat dengan nama sediaan yang ditetapkan pabrik pembuat
dan terdaftar di departemen kesehatan negara yang bersangkutan, obat nama dagang
disebut juga obat merek terdaftar. Contoh: amoksan, diafac, pehamoxil, dan lain-lain.

d. Obat Paten.

Obat paten dalah hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat baru
yang ditemukannya berdasarkan riset Industri farmasi tersebut diberi hak paten untuk
memproduksi dan memasarkannya, setelah melalui berbagai tahapan uji klinis sesuai
aturan yang telah ditetapkan secara internasional.

e. Obat Tradisional.
Obat tradisional adalah obat jadi yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral atau
sediaan galenik, obat berdasarkan pengalaman empiris turun temurun.

f. Obat Mitu/Obat me-too.

Obat mitu atau obat me-too adalah obat yang telah habis masa patennya yang
diproduksi dan dijual pabrik lain dengan nama dagang yang ditetapkan pabrik lain tersebut,
di beberapa negara barat disebut branded generic atau tetap dijual dengan nama generik.

g. Obat Jadi.

Obat jadi adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk serbuk,
emulsi, suspensi, salep, krim, tablet, supositoria, klisma, injeksi dll yang mana bentuk obat
tersebut tercantum dalam farmakope Indonesia.

h. Obat Baru.

Obat baru adalah obat yang terdiri dari satu atau lebih zat, baik yang berkhasiat
maupun tidak berkhasiat misalnya lapisan, pengisi, pelarut, bahan pembantu, atau
komponen lainnya yang belum dikenal, hingga tidak diketahui khasiat dan keamanannya

i. Obat Esensial.

Obat esensial adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk pelaksanaan
pelayanan kesehatan masyarakat banyak, meliputi diagnosa, profilaksi terapi dan
rehabilitasi, misalkan di Indonesia : obat TBC, antibiotik, vaksin, obat generik dan lain-
lain.

j. Obat Wajib Apotek. Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diperoleh di apotek
tanpa resep dokter, diserahkan oleh apoteker.

5. Demam Tifoid
a) Etiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi.Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu.Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi
fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi
indol, fenilalanin deaminase, urease dan DNase.
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella
dan bersifat spesifik spesies.Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada
di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel.Antigen ini menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses
fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas
vaksin.Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar
dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan
lipid A.Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin di dalam
tubuh.Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan
bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan
yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari
protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting
dalam mekanisme respon imun host.OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan
masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor
untuk bakteriofag dan bakteriosin.
a) Patogenesis Typhoid

Menurut Buku Mikrobiologi Kedokteran, Salmonella typhi, Salmonella


cholerasuis, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella paratyphi B
menginfeksi manusia dan infeksinya menunjukkan dari mana sumber infeksi tersebut
berasal. Sebagian besar Salmonellabersifat patogen bagi hewan yang merupakan
hospes reservoir infeksi pada manusia seperti unggas, babi, hewan pengerat, hewan
peliharaan, dan sebagainya.

Mikroorganisme ini selalu masuk ke dalam tubuh melalui oral, terutama pada
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis infektif rata-rata yang dibutuhkan
untuk infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105 – 108Salmonella
(mungkin untuk Salmonella typhi hanya 103). Faktor pejamu dalam penting untuk
melakukan infeksi antara lain: asam lambung, flora normal usus, dan imunitas lokal
pada usus. Salmonella seringkali merupakan penyebab dari 3 penyakit utama, tetapi
rata – rata muncul dalam bentuk campuran.

b) Patofisiologi Typhoid
Semua spesies Salmonella patogen, ketika hadir dalam usus ditelan oleh sel-
sel fagositik, yang kemudian melewati mereka melalui mukosa dan menyajikannya ke
makrofag di lamina propria. Salmonellae nontyphoidal fagosit di seluruh ileum distal
dan kolon. Dengan reseptor toll-like receptor (TLR) –5 dan TLR-4 / MD2 / CD-14,
makrofag mengenali pola molekuler terkait patogen (PAMP) seperti flagella dan
lipopolisakarida. Makrofag dan sel epitel usus kemudian menarik sel T dan neutrofil
dengan interleukin 8 (IL-8), menyebabkan peradangan dan menekan infeksi.
Berbeda dengan salmonella nontyphoidal, S. typhi dan S. paratyphi memasuki
sistem host terutama melalui ileum distal. Mereka memiliki fimbriae khusus yang
melekat pada epitel di atas jaringan limfoid di ileum (patch Peyer), titik estafet utama
untuk makrofag yang berpindah dari usus ke sistem limfatik. Bakteri kemudian
menginduksi makrofag induk mereka untuk menarik lebih banyak makrofag.
S. typhi memiliki antigen kapsuler Vi yang menyamarkan PAMP, menghindari
peradangan berbasis neutrofil, sedangkan paratyphi serovar yang paling umum,
paratyphi A, tidak. Ini mungkin menjelaskan infektivitas yang lebih besar dari typhi
dibandingkan dengan sebagian besar sepupunya.
Typhoidal salmonella mengkooptasi mesin seluler makrofag untuk reproduksi
mereka sendiri ketika mereka dibawa melalui kelenjar getah bening mesenterika ke
duktus toraks dan limfatik dan kemudian melalui ke jaringan retikuloendotelial hati,
limpa , sumsum tulang, dan kelenjar getah bening. Sesampai di sana, mereka berhenti
dan terus berkembang biak sampai beberapa kepadatan kritis tercapai. Setelah itu,
bakteri menginduksi apoptosis makrofag, keluar ke aliran darah untuk menyerang
bagian tubuh lainnya.
Bakteri kemudian menginfeksi kandung empedu melalui bakteremia atau
perpanjangan langsung dari empedu yang terinfeksi. Hasilnya adalah bahwa
organisme masuk kembali ke saluran pencernaan di empedu dan menginfeksi kembali
patch Peyer. Bakteri yang tidak menginfeksi host biasanya ditumpahkan di tinja dan
kemudian tersedia untuk menginfeksi host lain.

6. Interaksi antara Obat dan Makanan


A. Ciprofloxacin dan Antacida

Jenis interaksi : interaksi farmakokinetika pada fase absorpsi


Pada demam tifoid, pemberian antasida yang merupakan obat yang menekan
asam lambung, digunakan untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, salah
satunya nyeri epigastrik, yang dapat disebabkan peningkatan asam lambung(Menkes
RI, 2006; Sweetman, 2009). Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan
asam hidroklorida lambung untuk membentuk garam dan air (Katzung, 2002).
Antasida digunakan untuk mengatasi penyakit saluran pencernaan yang diasosiasikan
dengan peningkatan sekresi asam lambung (Sweetman, 2009). Antasida dapat
mempengaruhi absorpsi beberapa obat lain dengan berikatan dengan obat tersebut,
sehingga menyebabkan penurunan absorpsi obat yang diberikan bersamaan dengan
antasida (Katzung, 2002).
Antasida yang mengandung kation divalen atau trivalen seperti Ca2+, Mg2+,
atau Al3+, dapat mengurangi absorpsi antibiotika fluorokuinolon yang diberikan
secara oral karena dapat membentuk khelat (Pembentukan senyawa kompleks tak
larut ) dengan antibiotika fluorokuinolon. Kation multivalen pada antasida akan
membentuk kompleks dengan gugus 3-ketone dan4-carboxylic acid pada molekul
Sparfloksasin atau gugus fungsi 3-carbonyl dan 4-oxo pada molekul siprofloksasin.
Kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang tidak larut dan tidak dapat diabsorbsi
(Hussainet al., 2006; Sultana et al., 2005). Penurunan absorpsi fluorokuinolon akan
Mempengaruhi konsentrasi maksimum(Cmax) dan persentase bioavailabilitas,
sehingga dapat menurunkan efektivitas terapi antibiotika (Lacy, et al., 2005; Sultana
et al., 2004). Antasida dilaporkan dapat mengurangi bioavailabilitas siprofloksasin
sebesar 13% dan levofloksasin sebesar 55% (Lacy et al., 2005). Pemberian antasida
bersamaan dengan sparfloksasin, menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin sebesar
50% Sultana et al., 2004). Pemberian antasida 5-10 menit, 2 jam, dan 4 jam setelah
pemberian siprofloksasin menurunkan Cmax siprofloksasin masing-masing 80%,
74%, dan 13%; serta mempengaruhi Area Under Curve (AUC) siprofloksasin masing-
masing sebesar 85%,77%, dan 30% (Bolhuis et al., 2011). Interaksi ini dapat
diminimalkan dengan pemberian fluorokuinolon oral setidaknya 2 jam sebelum
pemberian antasida, atau 6 jam setelah pemberian antasida. Selain itu, dapat
dipertimbangkan pemberian non-interacting acid reducers, seperti H2-receptor
blockers atau Proton Pump Inhibitor karena tidak memiliki interaksi dengan
fluorokuinolon.

Antasid dengan susu:


sindroma susu alkali dapat timbul pada pasien yang memakai antasid sistemik dalam
jumlah besar untuk jangka lama. Gejala antara lain sakit kepala, iritabel, lemah, mual,
dan muntah. Sindroma ini ditandai dengan hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi
dan terbentuknya batu gunjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini diduga disebabkan
protein dalam susu yang meningkatkan absorpsi kalsium. Hiperkalsemia yang timbul
mungkin menekan sekresi hormon paratiroid yang selanjutnya meningkatkan ekskresi
kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium karena pengendapan di saluran
kemih.

B. Interaksi antara Ciprofloxacin, Susu, dan Telur

a) Sifat Obat/ sifat senyawa yang menyebabkan interaksi

Ciprofloxacin merupakan fluorokuinolon golongan kedua yang memiliki aktivitas


yang sangat baik terhadap bakteri gram negatif dan beraktivitas
sedang hingga baik terhadap bakteri gram positif. Ciprofloksasin mempunyai waktu
paruh 3-5 jam, bioavailabilitas oral 70 %, kadar puncak dalam serum 2,4
Ug/ml, dosis oral 500 mg, dan jalur eksresi utamanya adalah ginjal (Katzung)

b) Mekanisme aksi terjadinya interaksi


Susu dan produk susu lainnya dapat mengganggu penyerapan pencernaan
fluorokuinolon yang membentuk hemat kelat larut dengan ion logam di- dan trivalen.
pH lingkungan lambung juga bisa menjadi faktor penting dari besarnya interaksi,
karena ionisasi karboksilat
kelompok molekul kuinolon yang memungkinkan terbentuknya khelat dengan kation
lebih efektif.
c) Penggolongan kerugian/ manfaat interaksi
Interaksi susu dan ciprofloxacin termasuk dalam interaksi farmakokinetik
pada fase absorpsi karena susu memiliki kandungan kalsium yang akan bereaksi
dengan antibiotik seperti misalnya tetrasiklin, ciprofloxacin, dan levofloxacin
membentuk senyawa khelat sehingga tidak bisa diserap oleh tubuh. kalsium yang
terdapat pada susu akan membentuk senyawa kompleks molekul besar dengan
golongan obat fluorokuinolon, sehingga sama sekali tidak bisa diabsorpsi dan tidak
akan menimbulkan efek. Interaksi ini juga dapat menurunkan bioavailabilitas
ciprofloksasin. Kadar obat dalam darah yang tidak terpenuhi dari penggunaan
antibiotik dapat mengakibatkan beberapa kerugian bagi pasien seperti meningkatkan
resiko terjadinya bakteri resisten, efek terapi yang tidak terpenuhi dan pada akhirnya
kondisi penyakit semakin parah.sejumlah kalsium berinteraksi dengan
Fluorokuinolones karena kandungan tinggi kalsium.

7. Terapi Rasional
Dalam penggunaan obat sendiri kita juga dibatasi dengan tata cara penggunaanya.
Tata cara pengunaan obat yang baik seringkali disebut dengan obat rasional.

WHO menejaskan definisi dari penggunaan obat rasonal yaitu:

Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang
sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat.

Pengobatan yang pada umumnya ialah untuk mencapai suatu pengobatan yang efektif,
tentu saja mendorong penggunaan obat rasional digalakkan dimana-mana.

Penggunaan obar sendiri juga dilandasi oleh beberapa indikator lainnya. Indikator tersebut
berupa :

1. Tepat diagnosis
Tepat diagnosis ialah penggunaan obat yang didasarkan pada tata cara penggunaan obat
yang benar. Ini akan menjadi sebuah langkah awal penyembuhan. misalnya saja pasien
yang terserang penyakit diare tentu saja ia akan menggunakan obat semacam
metronidazol sebagai pengobatan yang efisien.
Pada kasus seorang anak laki-laki berusia 10 tahun (BB : 30Kg; TB : 140 cm)
didaiagnosis demam tifoid disertai keluhan mual dan BAB lunak.
2. Tepat Pemilihan Obat
“Efek klinik apa yang diharapkan”
Tepat obat dalah ketepatan pemilihan obat apabila dalam proses pemilihan obat
mempertimbangkan :
a. Ketepatan kelas terapi dan jenis obat (Efek terapi yang diperlukan)
b. Kemanfaatan dan keamanan sudah terbukti (resiko efek sampinng maupun adanya
kondisi kontraindikasi)
c. Jenis obat yang paling mudah didapat
d. Sedikit mungkin jumlah obat
3. Tepat Indikasi
“Tidak semua pasien memerlukan intervensi obat”
Ketepatan indikasi penggunaan obat apabila ada indikasi yang benar (sesuai dengan
diagnose dokter) untuk penggunaan obat tersebut dan telah terbukti manfaat
terapetiknya.
4. Tepat Pasien
“Diagnosis yang tepat menentukan pengobatan yang tepat”
“Setiap pasien mempunyai respon yang berbeda terhadap obat”
Tepat pasien adalah ketepatan dalam menilai kondisi pasien dengan mempertimbangkan:
a. Kelainan ginjal
b. Kelainan hati
c. Kondisi khusu : Ibu hamil, laktsi, lansia, balita
d. Pasien dengan riwayat alergi
e. Pasien dengan riwayat gangguan psikis.
Oleh karena itu, dokter harus melihat kemungkinan adanya perbedaan respon terhadap
obat tertentu ke pasien tertentu .
5. Tepat Dosis, cara dan lama pemberian
“Efek obat yang maksimal diperlukan penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang
tepat.”
a. Besar dosis, cara dan frekuensi pemberian umumnya didasarkan pada sifat
farmakokinetika dan farmakodinamik obat serta kondisi pasien
b. Sedang berapa lama pemberian berdasarkan pada sifat penyakit: (akut atau kronis,
kambuh berulang dsb)
- Tepat dosis : Jumlah obat yang berada dalam range terapi
- Tepat cara pemberian : pemilihan yang tepat pemberian obat sesuai dengan kondisi
pasien. Mis : per oral, per rectal, inravena, dll
- Tepat frekuensi/ interval : pemilihan yang tepat frekuensi/interval pemberian obat
- Tepat lama pemberian : penetapan lama pemberian obat
- Tepat saat pemberian : pemilihan saat yang tepat pemberian obat disesuaikan dengan
kondisi pasien.
-
6. Tepat harga
Apabila biaya (harga dan biaya pengobatan hendaknya dipili yang paling terjangkau oleh
kondisi keuangan pasien)
7. Tepat Informasi
Apabila informasi yang diberikan jelas (tidak bias) tentang obat yang digunakan oleh
pasien dan informasi lain yang menunjang perbaikan pengobatan.
8. Waspada terhadap Efek Samping Obat.

Kerangka Konsep

Andi, 10 tahun (BB : 30 Kg, TB :


140 cm)

Demam Tifoid

Diminum Pemberian Pemberian antasida Pemberian


bersama susu ciprofloxacin paracetamol
bersama makanan

Menurunkan Menurunkan
absorbsi Menurunkan
absorbsi absorbsi
ciprofloxacin ciprofloxacin

Kerja ciprofloxacin Kerja ciprofloxacin Menurunkan kerja obat


mengambat mengambat menghambat COX 3
topoisomerase II topoisomerase II dalam pembuatan PGE2
replikasi bakteri replikasi bakteri
menurun menurun

Kegagalan Terapi
Kesimpulan
Andi, 10 tahun mengalami kegagalan terapi akibat interaksi antara obat dan makanan, serta
pemberian obat yang tidak rasional.

Anda mungkin juga menyukai