Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Birokrasi pemerintahan merupakan instrumen penting dalam masyarakat
yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi
logis dari diterimanya hipotesis bahwa negara mempunyai misi suci yaitu
mensejahterakan rakyatnya. Untuk itu negara harus terlibat langsung dalam
memproduksi barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Birokrasi
memberikan andil yang relatif besar dalam upaya pelayanan dan mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Peran pemerintah yang strategis akan banyak ditopang oleh
bagaimana birokrasi mampu melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu
tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu
melakasanakan kegiatan secara efektif dan efisien.
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah,
kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai
dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila
orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi diidentikkan
dengan kinerja yang lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, tidak memiliki
standar pelayanan yang jelas atau pasti, tidak kreatif, struktur yang gemuk (kaya
struktur, minim fungsi) berpola patron-client, dan penuh kolusi, korupsi,
nepotisme. Sejumlah patologi tersebut menjadi hambatan luar biasa untuk
mewujudkan good governance dan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat.
Tuntutan reformasi secara menyeluruh tidak akan terwujud jika penyangga
utamanya belum terwujud. Penyangga utama itu adalah tata pemerintahan yang
baik (good governance), yang salah satu dasar utamanya ialah birokrasi yang baik.
Dengan tata pemerintahan yang baik dan didukung oleh birokrasi yang sesuai
dengan tuntutan saat ini dapat diwujudkan pemerintaahan yang berkelanjutan dalam
mengemban amanah rakyat. Dengan demikian reformasi birokrasi menjadi suatu
keharusan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di internal
birokrasi dalam perwujudan good governace.

1
Reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam
paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi
juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam
menyongsong tantangan abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik,
reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
 Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan
publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan;
 Menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy;
 Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;
 Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/ program instansi;
 Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas
organisasi;
 Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan
menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang
bergerak secara masif di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan
yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan
nasional.
Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih
(overlapping) antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan
memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Selain itu, reformasi birokrasi pun perlu
menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan
melakukan terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah
bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar kebiasaan/ rutinitas
yang ada (out of the box thinking), perubahan paradigma (a new paradigm shift),
dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi
birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan
berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan
menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

2
Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi
yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga
menjadi suatu living document. Upaya tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah
dengan menerbitkan Grand design reformasi birokrasi 2010-2025 (Perpres No. 81
tahun 2010) yang merupakan arahan kebijakan mengenai bagaimana birokrasi
mampu melakukan reformasi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Perubahan sebagaimana yang diinginkan reformasi birokrasi bukanlah
proses sederhana. Disamping itu, perubahan berpeluang memunculkan resistensi
pada individu di dalam organisasi. Transparansi proses, komunikasi dan
keterlibatan semua pihak dalam proses perubahan akan dapat mengurangi
resistensi. Mengingat besarnya cakupan kegiatan dan hasil perubahan yang
diinginkan oleh reformasi birokrasi, maka mengelola perubahan untuk mencapai
tujuan dan sasaran reformasi birokrasi menjadi sangat penting.
Perlunya manajemen perubahan (change management) oleh para manajer
perubahan atau para pemimpin agar dapat mengelola sumber daya yang ada untuk
melakukan perubahan (reformasi birokrasi) ini berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

1.2 Rumusan Masalah


Reformasi birokrasi bukanlah proses perubahan yang sederhana, diperlukan
manajemen perubahan (change management) guna menyeleraskan proses
pelaksanaan guna mencapai tujuan reformasi birokrasi yang dharapkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
“bagaimana implementasi change management dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi di Indonesia?”

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Perubahan (Change Management)
2.1.1 Pengertian Manajemen Perubahan (Change Management)
Manajemen perubahan (Change Management) adalah manajemen untuk
melakukan perubahan atau untuk menghadapi perubahan. Suatu proses yang
sistematis dengan menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang
diperlukan organisasi untuk bergeser dari kondisi sekarang menuju kondisi yang
diinginkan, yaitu menuju ke arah kinerja yang lebih baik dan untuk mengelola
individu yang akan terkena dampak dari proses perubahan tersebut. Dalam
organisasi, perubahan tersebut meliputi struktur, proses, orang, pola pikir dan
budaya kerja.
Mengutip pendapat R.L Draft (2004), Rhenald Kasali membagi perubahan
menjadi dua: a) Perubahan Strategis, perubahan radikal ini mencakup perubahan
visi, sistem kerja, sampai restrukturisasi; b) Perubahan Rasional atau Incremental
(tambahan), perubahan yang terus dilakukan untuk menjaga kseimbangan
organisasi. Peremajaan teknologi dan pembenahan bagian atau unit tertentu
termasuk perubahan jenis ini.
Manajemen perubahan (Change Management) tidak hanya berguna untuk
meraih keberhasilan di masa depan, tetapi juga diperlukan sebagai solusi atas
permasalahan yang dihadapi, baik yang disebabakan oleh faktor-faktor internal
maupun eksternal. Perubahan tidak selalu ditangkap sebagai sesuatu yang positif,
sering kali perubahan ditangkap dengan reaksi balik yang negatif. Hampir selalu
ada resistensi terhadap perubahan. Jelas bahwa resitensi ini datang dari mereka yang
tidak bersedia berubah dengan berbagai alasan atau latar belakang. Tidak terkecuali
bagi mereka yang menginginkan status quo.

2.1.2 Model Pendekatan Manajemen Perubahan (change Management)


Menurut Jeff Davidson (dalam A. Qodri Azizy, 2007), ada empat
pendekatan dalam change management:

4
a. Pendekatan Rasional-Empiris
Orang-orang yang menjadi sasaran pelaksanaan perubahan akan menerima
perubahan ketika menerima pertimbangan untuk berubah. Untuk itu, diperlukan
komunikasi yang baik dan efektif mengenai insentif atau hasil yang akan
didapatkan jika perubahan itu berhasil. Mereka akan melakukan perubahan
bukan karena terpaksa, bukan karena takut, bukan sekedar ikut-ikutan tanpa
pertimbangan dan apatis, melainkan mereka mempunyai pertimbangan rasional
untuk ikut melakukan perubahan. Untuk itu pemimpin harus mampu
meyakinkan bawahannya dengan:
1. Menjelaskan bahwa perubahan yang akan dilakukan pada hakikatnya untuk
kepentingan staf. Jika perubahan ini menjadi suatu keharusan bagi birokrasi
pemerintahan, harus ada alasan rasional bahwa jika tidak mau berubah, PNS
akan menerima sanksi yang berat, bahkan hingga pemberhentian.
2. Menyediakan media informasi bagi PNS tentang program perubahan itu.
Mereka harus well-informed. Dalam praktik, informasi sering tidak sampai
secara utuh kepada yang bersangkutan terutama pada lapisan bawah.
Akibatnya muncul salah paham.
3. Menjelaskan proses dan tahapan perubahan yang akan dilakukan secara
lengkap dan utuh.
4. Menyampaikan bahwa perubahan itu harus dilakukan sesegera mungkin.
Semakin cepat, semakin baik.
5. Jika diperlukan, menghadirkan tim atau konsultan untuk mensosialisasikan
perubahan itu sehingga PNS dapat memahaminya.
6. Mendialogkan dan mendiskusikan perubahan secara terbuka degan mereka.
Dalam proses ini, saran mereka juga harus diperhatikan.
b. Pendekatan Normatif-Reduktif
Ide dasarnya adalah memberi pendidikan ulang (reedukasi) mengenai nilai dan
norma dari perlunya perubahan. Teori ini berasal dari Kurt Lewin, menurutnya
“orang tidak akan berubah semata-mata karena mereka diminta, kecuali jika
dibutuhkan untuk berubah dijelaskan dan terdapat konsensus bahwa perubahan
yang diusulkan merupakan suatu pembalikan peristiwa secara mengagumkan”.

5
Dengan kata lain, mereka akan berubah jika mereka merasa perubahan itu
ditujukan untuk kepentingan terbaik bersama. Ada beberapa prinsip reedukasi,
yaitu:
1. Melalaui sebuah proses. Keyakinan dan perilaku orang yang menjadi target
perubahan harus diketahui dengan seksama oleh pelaku perubahan (manajer
perubahan). Setelah itu, harus ada reedukasi yang memerlukan waktu
tertentu.
2. Perlu menyentuh budaya. Reedukasi mengajak seseorang untuk mengubah
pemahamannya tentang sesuatu untuk kemudian menjadi budaya. Misalnya,
mengubah budaya malas menjadi budaya kerja keras, membutuhkan
reedukasi, tidak cukup dengan pendekatan rasional saja. Diperlukan proses
yang panjang dan menyentuh pemahaman dan keyakinan bahwa jika budaya
itu masih dilakukan, ada sejumlah kerugian yang mengikuti. Disaat yang
bersamaan, harus ditumbuhkan keyakinan bahwa budaya kerja keras sangat
mungkin memberikan hasil.
3. Keterlibatan mereka yang menjadi sasaran perubahan sejak dari
perencanaan, termasuk pemberian motivasi tentang nilai dan norma
perlunya perubahan.
4. Faktor lingkungan. Ketika lingkungan menuntutnya sebagai sebuah
keharusan, perubahan akan lebih mudah dilakukan. Dengan adanya tuntutan
tersebut, apa yang dilakukan oleh PNS juga harus mengalami perubahan.
5. Keberadaan kelompok. Ketika kelompok sudah berubah, mau tidak mau
muncul tuntutan dari dalam diri individu untuk mengikutinya. Apalagi jika
perubahan dimotori oleh pemimpin, semakin mudahlah untu menggerakkan
individu untuk berubah.
6. Salah satu bentuk reedukasi adalah pelatihan. Untuk itu, pelatihan tentu
harus diubah terlebih dahulu dan didesain secara khusus, mulai dari visi,
misi sampai metode dan pendekatan agar mind set staf dalam melakukan
perubahan sesuai dengan hal-hal yang telah digariskan.

6
c. Pendekatan Kekuasaan-Koersif
Perubahan akan mudah dilakukan jika dianjurkan atau diperintahkan oleh
pimpinan, meskipun mungkin ada faktor keterpaksaan. Para staf akan mematuhi
perintah pimpinan mereka, karena perintah itu berkaitan dengan penilaian
kepatuhan, hukuman atau imbalan tertentu. Namun disini ada resiko, tidak
sedikit di antara mereka yang melakukannya hanya ketika ada sanksi, ada
imbalan atau karena takut pada pimpinan. Di luar itu, tidak ada kejujuran dan
ketulusan untuk melakukan perubahan itu. Perubahan dengan cara ini akan
sangat efektif jika cakupannya tidak terlalu besar dan pihak yang melakukan
perubahan kuat sehingga enforcement nya tidak memberi pilihan lain kecuali
harus mengikuti.
d. Pendekatan Lingkungan-Adaptif
Model ini didasarkan atas hipotesa bahwa setiap orang mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan atau situasi
terbaru sekalipun. Jika lingkungan telah berubah, orang mau tidak mau harus
menyesuaikan diri agar tetap survive. Dengan demikian, tugas manajer
perubahan adalah menyusun semacam struktur operasi yang baru dan secara
bertahap menggeser para target perubahan dari struktur lama ke struktur yang
baru.
Keempat pendekatan tersebut dapat digunakan satu per satu sesuai dengan
kondisi dan situasi yang ada, sehingga dapat ditemukan pendekatan yang paling
tepat. Namun, keempat pendekatan tersebut dapat digunakan sekaligus berdasarkan
skala prioritasnya dan sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

2.2 Reformasi Birokrasi


2.2.1 Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi berkaitan dengan usaha pemerintah dalam
memperbaiki birokrasi. Maka terdapat berbagai definisi tentang reformasi
birokrasi, dengan pengertian yang berbeda-beda mengenai reformasi birokrasi.
Menurut Sedarmayanti (2009:72), mengatakan bahwa reformasi birokrasi
merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja melalui berbagai cara

7
dengan tujuan efektifitas, efisien, dan akuntabilitas. Dimana reformasi biokrasi itu
mencakup beberapa perubahan yaitu:
a. Perubahan cara berfikir (pola pikir, pola sikap, dan pola tindak), perubahan yang
dimaksud yaitu birokrasi harus merubah pola berfikir yang terdahulu (buruk),
birokrasi harus memliki pola pikir yang sadar bahwa mereka sebagai pelayan
masyarakat, mereka harus memiliki sikap dan pola tindak yang baik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam artian tidak menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan.
b. Perubahan penguasa menjadi pelayan, perubahan yang dimaksud yaitu birokrasi
harus merubah sikap mereka, karena dapat kita ketahui bahwa selama ini
birokrasi selalu menganggap bahwa mereka adalah penguasa karena memiliki
jabatan yang tinggi dibanding masyarakat sehingga mereka membuat mereka
beranggapan bahwa mereka adalah penguasa yang harus selalu dihormati. Oleh
karenanya hal seperti itu harus dihilangkan dari birokrasi.
c. Mendahulukan peranan dari wewenang, perubahan yang dimaksud yaitu
birokrasi harus selalu mendahulukan perananannya yaitu sebagai pelayan
masyarakat harus dapat melayani masyarakat dengan baik, dengan cara
menyampingkan wewenang mereka sebagai pejabat atau pegawai pemerintah.
d. Tidak berfikir hasil produksi tapi hasil akhir, perubahan yang dimaksud yaitu
birokrasi harus selalu mengutamakan hasil akhir dari pelayanan yang mereka
berikan kepada masyarakat seperti menciptakan kepuasan pada masyarakat.
e. Perubahan manajemen kinerja, perubahan yang dimaksud yaitu merubah
manajemen kinerja birokrasi agar dapat menjadi lebih efektif dibandingkan
sebelumnya.
Penjelasan diatas menunujukan bahwa untuk mereformasi birokrasi ada
beberapa hal yang dirubah dari birokrasi itu sendiri. Pada hakekatnya Reformasi
Birokrasi merupakan bagian dari Reformasi Administrasi, dapat dikatakan dalam
hubungannya tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam reformasi
administrasi salah satu tujuannya yaitu untuk mereformasi birokrasi.
Menurut Caiden dalam Zauhar (2007: 6), mengatakan bahwa reformasi
administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation

8
against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi
merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau
transformasi di bidang administrasi. Kemudian menurut Caiden dalam Zauhar
(2002: 8), juga mengatakan bahwa reformasi administrasi sebagai upaya untuk
menyempurnakan atau meningkatkan kinerja (performance). Sementara itu
menurut Yehezkel Dror dalam Zauhar (2007:6), reformasi administrasi adalah
perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi.
Menurut Zauhar (2007:11), mengatakan bahwa reformasi administrasi
adalah usaha sadar dan terencana untuk mengubah:
a. Struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional/
kelembagaan), perubahan yang dilakukan mencakup struktur dan prosedur yang
ada pada birokrasi dimaksudkan untuk membuat fungsi dari birokrasi tersebut
menjadi lebih efektif.
b. Sikap dan prilaku birokrat (aspek prilaku), guna meningkatkan efektifitas
organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya
tujuan pembangunan nasional, perubahan yang dimaksud untuk memperbaiki
sikap dan prilaku dari birokrasi itu sendiri, dimana menciptakan kesadaran
birokrasi akan tugasnya sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai penguasa
lagi.
Dalam hal ini, penjelasan tentang maksud dari reformasi administrasi
hampir sama dengan maksud dari reformasi birokrasi, yaitu sebagai upaya
perubahan untuk meningkatkan kualitas birokrasi. Setiap perubahan yang akan
dilakukan selalu memfokuskan birokrasi sebagai sasaran perubahan, hal ini
dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dimasyarakat. Mengingat
bahwa birokrasi lah yang selalu bersentuhan langsung dengan masyarakat oleh
karena itu birokrasi dituntut untuk dapat memaksimalkan tugas dan fungsinya nya
sebagai pelayan dalam melayani masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut maka
pemerintah sebagai pihak yang berwenang melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Dari berbagai definisi tersebut, penulis mengambil suatu generalisasi dari
konsep reformasi birokrasi yaitu suatu upaya perubahan yang dilakukan oleh

9
pemerintah pada sistem penyelenggaraan pemerintahan untuk menciptakan atau
membuat keadaan menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya dengan melibatkan
birokrasi sebagai sasaran perubahan agar birokrasi menjadi lebih berkualitas.

2.2.2 Grand Design Reformasi Birokrasi


Grand Design Reformasi Birokrasi adalah rancangan induk yang berisi arah
kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010-2025.
Sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi adalah bentuk operasionalisasi Grand
Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali
dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan
selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres No.
81 tahun 2010). Road map ditetapkan dengan peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dalam kurun waktu 5 tahun sekali, kurun
waktu tahun 2010-2014, 2015-2019 dan 2020-2024.
Hasil reformasi birokrasi yang diharapkan pada tahun 2014 diharapkan
sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut:
a. penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme;
b. kualitas pelayanan publik;
c. kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi;
d. profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmendan
promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong
mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah,
serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.
Pada tahun 2019, diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain
itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan
harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu
bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas
kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, serta mind-set

10
dan culture-set yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi. Pada
tahun 2025, diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan
birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan
masyarakat dan abdi negara.
Tabel 2.1
Area Perubahan Reformasi Birokrasi
Area Perubahan Hasil yang diharapkan
Organisasi Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran
(right sizing)
Tatalaksana Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas,
efektif efisien, terukur dan sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance
Peraturan perundang-undangan Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang
tindih dan kondusif
Sumber daya manusia aparatur SDM aparatur yang berintegitas, netral,
kompeten, capable, professional, bekinerja
tinggi dan sejahtera
Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan pemerintah-
an yang bersih dan bebas KKN
Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas
kinerja birokrasi
Pelayanan publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan
harapan masyarakat
Pola pikir (mind set) dan budaya Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang
kerja (culture set) aparatur tinggi
Sumber: Grand Design Reformasi Birokrasi (Perpres No. 81 tahun 2010)

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Eksistensi Birokrasi dan Dinamika Perubahan


Ada anggapan bahwa manajemen perubahan pada birokrasi pemerintah
relatif lebih sulit dilakukan karena pada birokrasi pemerintahan setidaknya
memiliki ciri, antara lain (1) Sangat terikat dengan regulasi/ peraturan; (2)
Merupakan konsensus politik/ kesepakatan; (3) Masa kepemimpinan pendek; dan
(4) Terlalu banyak yang dituntut oleh stakeholders. Paling tidak hal ini tergambar
dari pendapat Michel Crozier dalam Fred W. Riggs (1996) yang mengatakan bahwa
birokrasi sebagai “pemerintahan oleh sejumlah biro”, yakni pemerintahan oleh
sejumlah departemen Negara yang diisi oleh staf yang ‘ditunjuk’ dan bukan
‘dipilih’ atau diorganisasikan secara hierarkhis, dan keberadaannya bergantung
pada otoritas yang mutlak. Kekuasaan birokrasi lanjutnya dalam pengertian ini
menggambarkan tentang berkuasanya hukum dan tatanan, tetapi pada saat yang
sama pemerintahan tersebut tanpa didukung oleh peran serta mereka yang
diperintah.
Jika kita berkaca pada pandangan tersebut di atas untuk menilai praktek
birokrasi di Indonesia maka sesungguhnya banyak hal yang dapat kita paparkan.
Karena bagaimanapun, praktek birokrasi Indonesia telah berjalan selama lebih dari
setengah abad dengan segala dinamika ketatanegaraan, politik, sosial maupun
budaya yang mengiringinya.
Paparan dengan nuansa “history” dimulai ketika Indonesia resmi menjadi
Negara yang lepas dari penjajahan, maka pada saat itu kita tidak memiliki modal
yang memadai selain semangat perjuangan dan nasionalisme. Pada awal
terbentuknya Negara tersebut, pemerintah pusat dihadapkan pada gerakan-gerakan
pemberontakan di beberapa daerah, seperti DI/ TII, Republik Maluku Selatan
(RMS), PRRI Permesta. Pemberontakan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan
daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi dan
kepentingan rakyat setempat.

12
Pada masa itu birokrasi sangat jauh dari fungsi idealnya, yaitu
melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan pemerintah lebih
disibukkan dengan menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai
daerah. Fungsi utama pemerintahan adalah mempertahankan kemerdekaan dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga kendala utama dari birokrasi yang menyebabkan hal tersebut, yaitu
pertama adanya desakan untuk menjaga kemerdekaan dan kesatuan. Kedua,
rendahnya tingkat kedewasaan politik yang membentuk sistem politik yang bukan
saja pluralistik, namun juga anomik-anarkik. Ketiga, iklim internasional yang
masih mengacu pada pembentukan geo-politik daripada geo-ekonomi. Ketiga
kendala tersebut yang membuat organisasi publik gagal membuat kebijakan publik
yang adaptif terhadap perubahan jaman (Riant Nugroho Dwidjowijoto:2000)
Pada zaman Orde Baru, birokrasi benar-benar dikonsolidasikan dan
diefektifkan di bawah kekuasaan Negara dan partai penguasa. Sepanjang 32 tahun,
birokrasi memberikan kontribusi yang signifikan. Manajemen yang terpusat
senantiasa mengacu pada kebijakan prioritas kepada pengajaran ketertinggalan
secara ekonomi daripada pengembangan demokrasi. Fungsi ini diperankan oleh
birokrasi mulai dari pusat hingga ke daerah. Dampak dari proses pemanfaatan
birokrasi oleh penguasa adalah birokrasi cenderung menjadi sebuah entitas
tersendiri yang menjadi kuat daripada publiknya. Birokrasi dalam beberapa tingkat
menjelma menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan identik dengan kekuasaan itu
sendiri. Birokrasi menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat yang pada gilirannya
menjadikan mereka tidak mampu lagi merespons kepentingan publik karena adanya
kecenderungan lebih memenuhi kebutuhan dan kepentingan penguasa dan dirinya.
Pada era Orde Baru tersebut kondisi birokrasi relatif sama dengan yang
dialami oleh negara berkembang lainnya yaitu birokrasi serba lamban dan tidak
efisien. Keadaan demikian dijelaskan oleh Fred W. Riggs (1996) bahwa Fenomena
Birokrasi pemerintahan di Negara berkembang, di mana keadaan masyarakatnya
sedang dalam proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri
atau dari tradisional menuju masyarakat modern masih cenderung bersifat
paternalistik, formalistik, tumpang tindih, nepotis, dan mekanistik. Keadaan

13
tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban pegawai tidak pada apa yang baik
atau apa yang perlu dikerjakan, namun hanya mengikuti peunjuk pimpinannya
semata.
Semenjak era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde
baru pada tahun 1998, banyak terjadi perubahan manajemen pemerintahan di
Indonesia. Perubahan manajemen perubahan tersebut membawa pengaruh terhadap
terjadinya perubahan dalam menata birokrasi pemerintah. (Thoha: 2011)
Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa hadir dalam setiap
dinamika perkembangan dan perubahan ketatanegaraan, meski dalam konteks
pemerintahan di Indonesia maka eksistensi birokrasi dapat saja dipandang belum
melaksanakan fungsi idealnya khususnya berkenaan dengan hubungan
pemerintahan.

3.2 Manajemen Perubahan (Change Management) Dan Tata Kelola


Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)
Seiring dengan berlangsungnya reformasi dan dimulainya demokrasi pasca
era orde baru maka seyogianya disadari bahwa telah terjadi perubahan mendasar
yang berlangsung sangat cepat dalam struktur birokrasi. Penataan birokrasi yang
secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis
multidimensi yang melanda Indonesia. Penataan birokrasi dilakukan untuk
kepentingan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Juga
sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang
sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan semakin meningkat dan pada saat
yang sama akan menyehatkan iklim investasi.
Untuk mewujudkan tujuan itu, sepertinya dibutuhkan penataan administrasi
negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan
yang lebih efektif dan profesional. Setidaknya, label yang diberikan masyarakat
mengenai bad birocracy pada pemerintah dapat dikurangi. Menariknya dan
sekaligus menjadi tantangan karena sejalan dengan era globalisasi saat ini
mengindikasikan bahwa masyarakat pada umumnya telah memasuki tahapan the
age of high mass-consumption. Kondisi ini ditunjukkan pada adanya pergeseran

14
pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan
peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi
kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur
angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan
melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran
pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara
profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja
pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat
yang semakin banyak tuntutannya/ variatif serta memenuhi standar kualitatif
sangatlah terbatas. Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa
harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja
aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan
betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan
praktek percaloan dan pungli.
Hal itu berarti dibutuhkan upaya menekan sekecil mungkin terjadinya
kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur
pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang
telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas
pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari
pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat ide penataan
ulang birokrasi pemerintahan yang sejalan dengan pemikiran dan perkembangan
administrasi negara yang berusaha melakukan good governance. Salah satu ide
pokok dari perubahan tersebut adalah pentingnya pelayanan publik sebagai
orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada manajemen perubahan dalam
birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang
efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat
mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun

15
di daerah dapat dikurangi. Peran pemerintahan ditunjukkan melalui pelaksanaan
fungsi pemerintahan dengan melihat beberapa tuntutan masyarakat diatas dengan
kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1) Pemerintahan
dengan sistem Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap
ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando
yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa
yang akan datang yaitu melalui grand design reformasi birokrasi yang telah
disepakati. Dalam konteks itu perubahan menjadikan pemerintah siap untuk
menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat,
menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan
efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.

3.3 Impelementasi Manajemen Perubahan (Change Management) dalam


Birokrasi
Implementasi manajemen perubahan ini harus dikawal dengan
pengendalian tanpa kompromi atau toleransi. Artinya pelaksanaanya harus sesuai
dengan target dan sasaran yang diputuskan, serta diiriningi dengan jaminan dan
kendali mutu yang ketat. Oleh karenanya, juga perlu reward and punishment yang
jelas. Sekali ditetapkan, harus berjalan secara berkesinambungan, tanpa putus, dan
ketika terjadi penyimpangan, sanksi harus ditegakkan. Disini peran pimpinan
intstansi, mulai dari tingakt atas hingga tingkat bawah sangatlah penting.
Penegakkan peran pimpinan ini dapat diawali dengan keharusan eselon satu dan
eselon dua untuk memenuhi kualifikasi sebagai leader-manager. Perubahan akan
terwujud jika ada teladan dan pengawalan dari pimpinan, sesuai dengan tingkatnnya
dalam birokrasi pemerintahan. Tanpa ini, reformasi birokrasi tidak akan terlaksana
secara nyata dan semua perangkat peraturan yang telah dimiliki untuk menjalankan
reformasi ini tidak ada gunanya.
Tim Pengelola Perubahan
Refromasi birokrasi harus dikelola dengan baik oleh para leader manager,
dimana pemerintah saat ini telah membentuk tim pengelola perubahan yang
membantu kinerja tim reformasi birokrasi yang ada di setiap instansi pemerintahan:

16
Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah. Ada 3 (tiga) hal dilakukan oleh
tim pengelola perubahan, yaitu:
 Mendorong keinginan untuk berubah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan
untuk menciptakan keinginan berubah, antara lain:
o menciptakan sense of urgency dan kepedulian terhadap perubahan,
o memahami kepentingan dan ketakutan orang akan perubahan serta
menyuarakan keberhasilan perubahan.
 Mengajak lebih banyak orang. Ada dua cara yang efektif untuk mengajak lebih
banyak orang terlibat dalam proses perubahan, yaitu membangun strategi dan
melaksanakannya secara reguler dan efektif memberikan tanggungjawab pada
mereka yang terlibat, sehingga mereka merasa berkontribusi terhadap
perubahan yang terjadi.
 Memelihara momentum. Proses perubahan dalam rangka reformasi birokrasi
memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin
antusiasme dan komitmen terhadap reformasi birokrasi menyusut atau menurun
dan orang kembali pada cara kerja serta pola pikir yang lama. Untuk itulah
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah perlu terus menumbuhkan dan
memelihara momentum perubahan. Dua cara yang biasanya digunakan adalah
mengembangkan kompetensi dan ketrampilan baru yang diperlukan dalam
perubahan; memperkuat komitmen pegawai di masing-masing
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah secara berkala dan
berkelanjutan.
Tim ini terdiri pimpinan dari tingkat atas hingga bawah pada setiap Kmenterian/
Lembaga dan Pemerintah Daerah. Diperlukan kesadaran dan komitmen yang kuat
dari pimpinan untuk menjalankan perubahan ini. Komitmen disini bukan sekedar
formalitas, tetapi harus menjadi keyakinan sehingga muncul dalam brbagai bentuk
tindakan, mulai dari tindakan keseharian pimpinan sampai tindakan untuk
bawahannya dalam menjalankan roda birokrasi. Kesadaran dan komitmen harus
diikuti pula dengan contoh dari pimpinan, sesuai dngan level kepemimpinannya.
Contoh itu menurun kek kebijakan untuk kemudian menjadi budaya kerja birokrasi
di setiap instansi.

17
Tahapan perubahan
Tahapan perubahan merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka mengelola perubahan guna mencapai target dan sasaran
dari reformasi birokrasi yang telah ditetapakan. Berikut diagram gambar tahapan
perubahan:

Tahap 1
Tahap 2
Merumuskan Tahap 3
Mengelola/
rencana Mmperkuat hasil
melaksanakan
manajemen perubahan
perubahan
perubahan

 Mengintegrasikan
 Melakukan strategi
Asesmen manajemen
perubahan dan
kesiapan
strategi  Mengumpulkan
orgnisasi untuk umpan balik
berubah komunikasi
dengan program dan
 Merumuskan menganalisanya
reformasi
strategi
birokrasi lainnya  Melaksanakan
manajemen tindakan
perubahan  Mengimplementa
sikan rencana perbaikan
 Merumuskan  Memberikan
strategi manajemen
perubahan penghargaan
komunikasi atas
 Memperkuat  Membuat rencana
pelatihan dan keberhasilan
manajemen
mengimplementa  Mengukur
perubahan tingkat
sikan
 Menyusun keberhasilan
ukuran  Mengelola
keberhasilan resistensi
 Mengukur tingkat
keberhasilan

Secara komprehensif, langkah-langkah penting yang harus dilaksanakan


pada setiap tahap adalah sebagai berikut:
a. Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap-1:

18
1. Melakukan pemetaan (mapping) terhadap para pemangku kepentingan dan
melakukan asesmen atas pengaruh perubahan terhadap masing–masing
pemangku kepentingan;
2. Melakukan asesmen kesiapan perubahan, termasuk di dalamnya identifikasi
penolakan terhadap perubahan;
3. Melakukan asesmen terhadap tingkat partisipasi/ dukungan para pemangku
kepentingan dan kebutuhan akan komunikasi untuk manajemen perubahan,
termasuk mengindentifikasikan penolakan terhadap perubahan;
4. Melakukan asesmen terhadap organisasi, termasuk struktur, peran (roles)
dan tanggung jawabnya (responsibilities);
5. Melakukan asesmen terhadap kemampuan/ kapabilitas dan skills organisasi
untuk melaksanakan perubahan;
6. Mengembangkan strategi manajemen perubahan, rencana dan aktivitas
manajemen perubahan;
7. Mengembangkan strategi dan rencana komunikasi;
8. Mengembangkan strategi dan recana pelatihan, termasuk penetapan
standard dan Indikator Kinerja Utama (IKU).
Selain itu, langkah – langkah di bawah ini juga penting untuk dilakukan:
9. Merumuskan manfaat (benefit) yang diperoleh dari hasil perubahan yang
akan dilaksanakan;
10. Memperkuat tim reformasi birokrasi Kementerian/ Lembaga dan
Pemerintah Daerah untuk lebih memahami manajemen perubahan, dan
meningkatkan koordinasi dengan Program Management Office (PMO);
11. Merumuskan mekanisme internal pelaksanaan reformasi birokrasi pada
masing-masing Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah termasuk
sistem pelaksanaan, monitoring dan evaluasi reformasi birokrasi serta
pelaporan dan instrumen-instrumen yang diperlukan.
b. Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap-2:
1. Mengimplementasikan strategi, rencana dan aktivitas manajemen
perubahan, termasuk tetap melakukan asesmen secara berkelanjutan

19
terhadap pengarah perubahan pada masing–masing kelompok pemangku
kepentingan;
2. Mengimplementasikan strategi, rencana dan aktivitas komunikasi agar para
pemangku kepentingan secara aktif terlibat (engaged), merasa memiliki
proses perubahan dan mendorong perilaku dan pola pikir baru yang
diharapkan dari proses perubahan serta mengurangi penolakan terhadap
perubahan;
3. Mengimplementasikan struktur organisasi yang baru, termasuk peran dan
tanggung jawabnya yang baru untuk mendukung perubahan;
4. Mengimplementasikan strategi, rencana dan aktivitas pelatihan untuk
membekali para staf menjalani periode transisi dengan baik dan mengurangi
penolakan.
Selain itu, langkah – langkah di bawah ini juga perlu untuk dilakukan:
5. Mengintegrasikan strategi manajemen perubahan dan strategi komunikasi
dengan program dan kegiatan reformasi birokrasi sesuai roadmap reformasi
birokrasi Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah;
6. Memberikan pengetahuan dan ketrampilan melalui asistensi dan fasilitasi
yang diperlukan untuk membentuk ketrampilan, nilai-nilai, perilaku dan
pola pikir baru (termasuk budaya kerja atau budaya organisasi yang baru)
yang diharapkan dalam proses perubahan;
7. Mengimplementasikan manfaat yang telah dirumuskan agar perubahan
dapat dirasakan secara positif oleh pemangku kepentingan
8. Melakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan atas pelaksanaan
pengelolaan perubahan.
c. Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap-3:
1. Mengambil hikmah/ pelajaran (lesson learn) dari pelaksanaan keseluruhan
strategi, rencana dan aktivitas manajemen perubahan, termasuk
merumuskan dan melakukan koreksi atas perbaikan yang diperlukan, yang
diperoleh dari:
2. Pelaksanaan survey kepada para pemangku kepentingan yang terkena
perubahan dan pengukuran tingkat keberhasilan;

20
3. Kunjungan dan pengamatan ke unit-unit kerja yang melaksanakan proses
perubahan; dan
4. Umpan balik (feedback) secara langsung maupun tidak langsung yang
diperoleh dari para pemangku kepentingan;
5. Melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan strategi dan rencana
komunikasi;
6. Melakukan evaluasi terhadap strategi dan rencana pelatihan untuk
mendukung perubahan;
7. Melakukan pemutakhiran atas Strategi dan Rencana Manajemen Perubahan
berdasarkan evaluasi di atas dan hikmah/ pelajaran (lesson learn) yang
didapat;
8. Mengidentifikasi dan menyampaikan setiap keberhasilan kepada seluruh
pejabat dan pegawai, melalui website/situs intranet; email blast; surat
edaran; pidato dalam rapat; bulletin, dsb;
9. Memberikan penghargaan-penghargaan khusus kepada pegawai atau
kelompok pegawai yang telah berhasil mengimplementasikan perubahan.
Dari langkah-langkah tersebut di atas, tentunya dalam pelaksanaan tidak semudah
yang dibayangkan, eksistensi tim pengelola perubahan dalam mengawal dan
mengelola perubahan haruslah bekerja dengan sabar dan terus berbenah untuk
mengatasi berbagai rintangan yang ada.

3.4 Perubahan: Aneka Masalah Dan Cara Mengatasinya


Birokrasi pemerintahan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai
komponen. Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap
komponen yang lain. Manusia merupakan komponen yang paling sulit diprediksi
dan dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, merupakan persoalan yang
paling rumit. Orang memiliki kecenderungan menolak adanya perubahan sebab
perubahan akan membawa mereka ke dalam situasi yang tidak menentu. Pada
umumnya orang menginginkan situasi yang stabil sehingga cenderung
mempertahankan kondisi dan kedudukan yang telah mapan.

21
Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan
perubahan organisasi terdapat tiga masalah yang dihadapi, yaitu: Pertama,
Resistensi atau Penolakan Terhadap Perubahan. Resistensi terhadap perubahan
diartikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat sekelompok orang (anggota
organisasi) cenderung menolak perubahan dan berusaha mempertahankan status
dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka alami sebelumnya.
Perubahan yang terjadi bisa saja membawa kelompok resisten tersebut kepada
situasi yang tidak menentu sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai
kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam tidak lagi akan mereka
rasakan. Perubahan organisasi biasanya akan mengguncang berbagai hubungan
yang sudah terjalin sebelumnya. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki
kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan
organisasi. Dalam situasi yang baru tidak memberi kepastian dan jaminan pihak-
pihak resisten akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya
sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan
itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Sebagai respon terhadap masalah resistensi diperlukan tindakan penyadaran
bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan
organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan
positif dalam program perubahan yang dilaksanakan.
Kedua, berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang
normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab
jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi
dengan adanya perubahan, situasi akan mengalami perubahan. Organisasi yang
memasuki masa transisi diliputi ketidak pastian. Pada situasi yang tidak pasti
tersebut prilaku anggota organisasi cenderung semakin sulit terkontrol. Dampaknya
ialah semakin sulit pula mendeteksi terjadinya penyimpangan. Mekanisme
pengawasan yang biasanya tergambar jelas melalui fungsi yang dimiliki masing-
masing struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang
stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa
bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan. Terhadap masalah

22
pengawasan ini, persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga
situasi tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali menjadi suatu hal
yang tidak terelakkan. Cara lain yang mungkin dilakukan ialah menghadirkan
instrumen baru dalam suatu organisasi yang memiliki fungsi pengawasan. Paling
tidak ini yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk lembaga-lembaga
pengawas dan pada saat yang sama meningkatkan kontrol masyarakat melalui
media massa.
Ketiga, menyangkut masalah kekuasaan. Apalagi pada suatu masyarakat
yang masih memiliki ciri Prysmatic society (Fred W. Riggs (1996) dimana
masyarakatnya berada suasana yang modern namun dari aspek prilaku masih
mempertahankan pola tradisional. Pada keadaan demikian, umumnya masyarakat
demikian pula organisasi terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki
’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok itu memiliki
kemampuan mempengaruhi pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang
diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat
politis. Kelompok-kelompok ini telah memiliki posisi yang mapan dalam struktur
yang berlaku. Adanya perubahan organisasi, suasana menjadi tidak jelas sehingga
kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan antara kelompok yang
ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang
baru nanti. Situasi seperti itu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
perubahan. Menghadapi masalah ini, dapat diperbaiki melalui mekanisme politik
yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program
perubahan.

23
BAB IV
PENUTUP

Perubahan merupakan suatu konsep yang begitu mudah diucapkan bahkan


seringkali menjadi jargon politik, namun relatiF sulit dilaksanakan, apalagi jika
perubahan itu diperhadapkan dengan budaya pemerintahan yang belum terbebas
dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika
para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan
hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun
memiliki pengaruh yang integratif.
Menghadirkan pemerintah yang menjadi lokomotif perubahan dapat
dipikirkan untuk melakukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan
kepemimpinan yang secara konsisten menjaga amanah rakyat. Kemampuan
menjaga amanah berada pada tataran penjagaan etika pemerintahan. Dimana di
dalamnya Birokrasi pemerintahan tidak hanya berpegang pada hukum formal
semata namun juga melaksanakan seluruh fungsi pemerintahan pada sisi penegakan
etika pemerintahan.
Selain itu pemerintahan yang baik ialah pemerintah yang mampu menjadi
pengawal pemerintahan dan memiliki karakter kepemimpinan yang sensitif dan
responsif terhadap dinamika pemerintahan dan lingkungannya. Jika dihubungkan
dengan proses reformasi birokrasi yang saat ini digalakkan maka semangat
perubahan menjadi roh pelaksanaan reformasi birokrasi pada bidang kelembagaan,
sumber daya manusia dan prilaku birokrasi itu sendiri.
Muncul suatu harapan bahwa birokrasi pemerintahan menjadi organisasi
yang hidup dimana kehadirannya tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat
memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang terus
berkembang. Birokrasi pemerintahan dituntut mewujudkan reformasi melalui
pembenahan, penataan pada diri birokrasi tersebut. Menciptakan kembali
kepercayaan publik, dengan menghadirkan birokrasi yang professional, akuntabel
dan transparan.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Azizy, A Qodri, 2007, Change Management dalam Reformasi Birokrasi, PT.
Gramedia Pustaka Media, Jakarta.
Davidson, Jeff, 2005, Change Management, Prenada, Jakarta.
Dwiyanto, Agus, 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kasali, Rheinald. 2010, Change, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Nugroho, Riant, 2013, Change Management untuk Birokrasi, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2011, Memahami Good Governance dalam Prspektif
Sumber Daya Manusia, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025

25

Anda mungkin juga menyukai