Anda di halaman 1dari 4

TADZKIRATUS SAMI’

WAL MUTAKALLIM FII ‘ADABIL ALIM WAL MUTAKALLIM


eps. 17
Ayat 1 : “Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".(Al Mulk
ayat 10)
Penjelasan : Jangan sampai ketika datang ke pengajian kita justru sibuk mengobrol, sibuk
sendiri, tidak focus. Apalagi orang yang tidak ikut pengajian karena abai dan merasa gengsi ikut
pengajian kemudian meninggal dalam keadaan jahil ilmu agama, sudah jelas orang tersebut
akan mengucapkan kalimat penghuni neraka di atas. Na’udzubillah.
Matan :
Ibnul Jamaah berkata, “Firman Allah Al Ankabut 49 ‘Sebenarnya, Huwa(Al Quran) itu adalah
ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.’ Huwa disini bisa berarti Nabi,
berdasarkan tafsir Thabari. Dada disini bisa berarti dada Nabi menurut tafsir Ibnu ‘Asyur.

Penjelasan : Ayat ini adalah menunjukkan keutamaan ilmu dan ahli ilmu. Sebabnya adalah Allah
memasukkan Al Quran ke dada-dada para ahli ilmu. Betapa utamanya seorang ahli ilmu.
Perumpamaannya adalah orang-orang besar seperti direktur, CEO, jenderal tidak berbicara
kepada orang sembarang di luar sana. Jelas yang bisa berbicara langsung hanyalah orang-orang
yang sudah mendapat izin atau mendapat ACC saja. Begitupun ilmu Al Quran ini hanya Allah
masukkan kepada dada ahli ilmu saja tidak kepada dada setiap orang.
Syekh As Sa’di menjelaskan “Jika dada dan hati ahli ilmu yang Allah masukkan kepadanya ilmu-
ilmu Al Quran, ahli ilmu lah hujjah untuk orang awam” Maksudnya adalah kita sebagai orang
awam harusnya kembali kepada mereka. Tanyakan, dengar, dan datangi mereka. Jangan
sampai kita buat manuver sendiri, membuat ibadah sendiri, menginterpretasi sendiri, beramal
dengan feeling sendiri. Berhentilah bila ulama berhenti, jalan bila ulama nyatakan jalan. Oleh
karena itu, ahli ilmu hendaknya dijadikan imam, referensi, marja’, tempat bertanya masyarakat
karena ilmu yang ada dalam dada mereka
Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat Al Quran ini Allah masukkan kepada dada-dada ahli ilmu. Ini
adalah keutamaan tersendiri bagi ahli ilmu. Mereka dapat membedakan firman Allah, ucapan
manusia, dan ucapan syaiton.” Mereka (ahli ilmu) bisa membuat mapping sehingga tidak bisa
disetir dan didikte oleh sembarang pihak.
Contoh talbis iblis : Suatu hari, A membawa mobil. Tiba-tiba kita melihat akhwat berjalan
sendirian. Pikiran A berkecamuk antara ingin menolong seorang muslim dan berkhalwat. Orang
yang berilmu akan terus tancap gas karena mengerti kalau menolong seorang muslimah namun
berkhalwat adalah talbis iblis (tipuan iblis)
Contoh 2 talbis iblis : Ketika hendak sakaratul maut, Imam Ahmad sempat ada yang berbisik
kepadanya,”Anda sudah selamat wahai Ahmad”. Dengan tegasnya Imam Ahmad
mengatakan,”Belum sampai saya meninggal”. Jelas ini adalah tindakan yang tepat dari seorang
ahli ilmu.
Faidah ayat : Allah menjelaskan bahwa tempatnya ilmu adalah hati. Selaras dengan ayat Asy
Syu’ara 192-194 “Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” Jelas ilmu
itu tidak hanya di otak. Tidak hanya mengandalkan kecerdasan semata. Namun hati berperan
besar dalam menuntut ilmu.
Ibnu Qudamah dalam Mukhtasar Minhajul Qashidin : Inti dari ilmu adalah ibadah hati.
Orang yang mempersiapkan hatinya insya allah bisa mendapatkan ilmu dan manfaat dari Allah
dengan baik serta dapat beramal dengan baik.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya.” (Q.S. Qaf ayat 37)
Ibnu Abbas : Al Quran bermanfaat untuk orang yang berfikir dengan hati nuraninya.
Resep Ibnu Abbas agar bisa mahir tafsir Al Quran dan fikih adalah orang yang hobi bertanya
untuk kebenaran dan adab. Kemudian senantiasa berfikir dengan hati yang kritis, ikhlas, ingin
berubah, khusyuk, bertauhid, tawadhu, wala’, cinta kepada Allah (diresapi, ditadaburi bukan
hanya sekedar mengandalkan ketekunan dan kecerdasan).
Bila kita mendengar kajian sembari masak, ngobrol, main game bisa dipastikan ilmu tidak akan
optimal masuk ke dalam diri kita. Begitupun bila kita ikut kajian hanya mengandalkan
kecerdasan, network, hafalan yang tinggi bisa dipastika gagal dalam menuntut ilmu.
Hadits Khawarij :
“Akan keluar pada akhir zaman suatu kaum, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka
mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca Al-Qur’an tidak melebihi kerongkongannya.
Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya”.(Muttafaq ‘Alaih)
Penjelasan hadits : Nampak sekali bahwa orang khawarij adalah penuntut ilmu yang hanya
mengandalkan kecerdasan saja, bukan hati nuraninya. Ibnu Rajab menjelaskan dalam
Waratsatul Anbiya bahwasannya mereka ilmunya orang-orang Khawarij hanya di kepala dan
kerongkongan mereka saja, tidak sampai hati.
Kita perlu menjaga agar hati kita tetap tawadhu’. Kalau tidak akan seperti khawarij. Mereka
bahkan merasa lebih tinggi daripada Ali bin Abi Thalib. Bahkan menuduh Nabi tidak berbuat
adil. Na’udzubillah.
Hasan Al Basri mengatakan,”Ilmu itu ada 2. Ilmu di lisan (retorika menawan, kata-kata indah,
artikulasi bahasa menakjubkan” adalah hujjah boomerang di hari qiyamat. Kemudian yang
kedua adalah ilmu yang ada di hati. Itulah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang diminta oleh Nabi
tiap pagi. Allahumma inni as’aluka ‘ilman naaffi’an warizqan thayyiban…”
Imam Adz Dzahabi mengatakan “Bisyr al Muktamir adalah orang cerdas dan jenius. Namun
Allah tidak memberikan hidayah dan taufiq kepadanya(sesat)”
Al Jubba’I, Al Qadhi Abdul Jabbar, Al Jahidz pun serupa dengan Bisyr al Muktamir. Alasannya
semua sama. Na’udzubillah. Cerdas situ tidak cukup.
Ibnu Rawandi merupakan seorang yang murtad. Padahal cerdas luar biasa. Imam Dzahabi
berkomentar, “Semoga Allah melaknat kecerdasan tanpa keimanan. Semoga Allah meridhai
kebodohan diiringi ketaqwaan” Dalam suatu riwayat, beliau sering hadir di dalam forum ateis.
Walaupun sudah diingatkan, beliau tetap saja mengatakan, “Saya hanya ingin mencari tahu
pendapat-pendapat mereka. Saya bisa memilih mana yang baik dan buruk”. Akhirnya beliau
murtad.
Dalam riwayat lain, beliau pernah dibayar untuk menulis buku yang menyerang Islam. Setelah
dia mendapatkan uangnya, beliau menulis bantahan untuk bukunya sendiri. Kemudian beliau
tawarkan lagi buku barunya ini dengan ancaman,”bila anda tidak menyewa saya kembali, saya
akan sebarkan buku ini kepada masyarakat!” Akhirnya dibayar lagi oleh sang penyewa kedua
kalinya. Na’udzubillah, sangat cinta dengan uang.
Ilmu tanpa keimanan tetap saja tidak ada nilainya di sisi Allah. Sama halnya dengan yang
menimpa Stephen Hawking, beserta ilmuwan-ilmuwan ateis lainnya.
Kisah lain yang terkenal adalah Washil bin Atha’ yang amat cerdas. Guru beliau adalah Hasan Al
Bashri. Dalam suatu riwayat, ada suatu acara perkumpulan yang dihadiri oleh para pembicara
handal, pakar bahasa yang handal, khatib di Iraq. Disana hadir Washil bin Atha’. Beliau terkenal
cadel (tidak bisa mengucapkan huruf ‘R’). Di acara tersebut, sebagian dari para pembicara
sudah menyampaikan narasinya. Tibalah giliran Washil bin Atha’. Dalam riwayat lain, Washil bin
Atha’ disuruh bicara secara spontanitas. Mereka yang hadir disana sangat ingin menjadikan
Washil sebagai bahan lelucon dengan sebab cadelnya beliau. Namun, luar biasanya beliau
berbicara dari awal hingga akhir tidak ada huruf “R” satupun. Beliau pandai menggunakan kata
ganti dari kata yang menggunakan huruf “R” tersebut. Padahal huruf “R” adalah huruf yang
sangat dipakai oleh bangsa arab. Hebatnya lagi, sehari-hari beliau tidak menggunakan huruf
“R”. Sayangnya Washil ini berakidah Mu’tazilah.
Ibnu Taimiyyah berkomentar, “Washil bin Atha’ diberi kecerdasan tetapi tidak dengan
kebeningan hati”
“KITA TIDAK AKAN BISA BERUBAH SAMPAI ILMU KITA KITA MASUKKAN KE HATI KITA. YANG
BISA MERUBAH DIRI BUKANLAH KECERDASAN, MELAINKAN HATI”
HADITS NABI : “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik
pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati
(jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Kita perlu menjaga kebeningan hati dan penuh dengan tauhid. Mata akan baik, tangan akan
baik, dan anggota badan yang lain akan baik. Bila hati kotor, anggota badan akan menjadi
buruk. Walaupun kita ngaji sudah tahunan, lisan tetap menggibah, telinga hobi dengar gossip,
mata tetap liar. Rasul tidak mengatakan seluruh anggota tubuh baik bila IQnya tinggi,
melainkan Rasul memperhatikan hati. Jangan berharap berubah bila ilmu dimasukkan ke otak
kita saja. Bila ilmu kita hanya sampai kepala, tidak ada bedanya dengan khawarij, mu’tazilah.
Mari perhatikan para ulama terdahulu bisa berubah. Umar bin Khattab bisa berubah karena
mereka menuntut ilmu dimasukkan ke hati nurani mereka.
“KECERDASAN + HATI NURANI”
Imam Malik pernah ditanya, “Mengapa engkau menulis Muwattha, padahal banyak orang
menulis Muwattha?”
Beliau menjawab, “Siapa yang menulis dan dipersembahkan kepada Allah, dialah yang kekal”
Terbukti, Muwattha Malik lah yang terkenal.

Anda mungkin juga menyukai