Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN AL-IJAZ

IKPM CABANG
KAIRO

E D I S I

I I

N O V E M B E R

NADHRAH

DAFTAR ISI
NADHRAH

M E W A S P A D A I
I N F I L T R A S I
D A L A M

A S I N G

P E N A F S I R A N

A L - Q U R A N

TAHNIAH

M ENS YUKUR I
K ARUNI A AK AL

MABHATS

M E L U R U S K A N
M A K N A
I B N U

S H I R F A H

S A Y Y A R

A L - N A D D Z A M

UDHAMA
M U H A M M A D

10
M U S T H A F A

A L - M A R A G H I :
M U F A S I R
H A N D A L ,
P E M B A H A R U

A L - A Z H A R

MARJA

11

M E N O L A K
P E N G H A P U S A N
A Y A T - A Y A T
A L - Q U R A N

SALAM

12

K EMUNAF IKAN
I NTELEK TUAL

A L - Q U R A N

DZIKRA
S E B A G A I

P E D O M A N

Mewaspadai Infiltrasi Asing dalam Penafsiran al-Quran

Hilmy Mubarak

Dede Permana

ayaknya udara segar yang membuat


tubuh kita sehat, pemahaman yang
tepat terhadap al-Quran adalah
panduan utama yang akan membawa
kita kepada keyakinan yang benar. Jika
kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita
tidak terserang penyakit, maka upaya untuk
memahami al-Quran dengan benar juga harus
kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiranpemikiran asing yang membuat kita menjauh
dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian
studi al-Quran disebut sebagai al-Dakhl.
Secara etimologi, kata al-dakhl
diartikan oleh Ibnu Mandhur sebagai sesuatu yang masuk ke dalam sistem organ
manusia, sehingga menimbulkan suatu
kerusakan. Kerusakan itu bisa
mengenai otak (akal) ataupun tubuh.
Sementara secara terminologis,
Ibrahim Khalifah, seorang pakar
Tafsir di Universitas al-Azhar
mengartikannya sebagai segala
riwayat yang tidak benar dan
bertentangan dengan pokokpokok utama ajaran Islam
(syariat); atau hasil pemahaman seseorang yang
bersumber
dari
pemikiran
yang
rusak.
Dari
pengertian
ini,
dakhil kemudian
dibagi menjadi
dua,
yaitu
dakhil dalam

alam hidup ini,


suka dan duka
adalah
sebuah
keniscayaan.
DI BALIK MUSIBAH Keduanya selalu bergantian
datang,
bahkan
sesekali
bergandengan
dan
hadir
bersamaan. Saat mendapatkan
sebuah nikmat, kita sering
terlalu bahagia, sehingga lupa

HIKMAH

2 0 1 2

tataran riwayat (al-dakhl fi al-manql) dan dakhil


dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhl fi almaql).
Sejarah
Tafsir

perkembangan

dakhil

dalam

Dalam sejarahnya, masyarakat Arab


Quraisy sebelum Islam lahir adalah masyarakat
yang memiliki hubungan cukup erat dengan
bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan
berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua
kali dalam setiap tahun, yaitu perjalanan pada
musim dingin ke Yaman, pada musim panas ke
Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini
kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan
kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab
suci mereka kepada masyarakatt
Quraisy yang belum banyak mengerti
baca dan tulis.
Selanjutnya, tatkala Muhammad
SAW mendeklarasikan hadirnya
suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT,
masyarakat
Arab
menemukan ada beberapa
persamaan antara apa
yang dibawa oleh alQuran dengan apa
yang mereka dapatkan dari kitab suci
Yahudi
dan
Nasrani. Tentang
kisah-

apa yang seharusnya kita


lakukan dengan nikmat itu.
Sedangkan ketika musibah
datang, kita putus asa sehingga
melupakan rahmat Allah yang
luas membentang tak teringga.
Siksa-Ku akan Kutimpakan
kepada siapa yang Aku kehendaki,
dan rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu. Maka akan Aku tetapkan

Bersambung ke hlm 8

rahmat-Ku untuk orang-orang yang


bertakwa, yang menunaikan zakat
dan orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Kami. (QS alAraf: 156).
Dalam bukunya alHikam Ibnu Athaillah alSakandari menegaskan bahwa
nikmat yang kita dapatkan
Bersambung ke hlm 5

2 TAHNIAH

Akal dan
wahyu adalah
dua entitas
yang saling
melengkapi.
Bahkan
menurut Imam
al-Ghazali,
saling menyatu
dan tidak bisa
dipisahkan.
Menyatukan
antara
keduanya akan
membawa kita
pada
kebenaran
hakiki yang
disebut oleh
Allah SWT
sebagai cahaya
di atas
cahaya.

Mensyukuri Nikmat Akal

ungguh beruntung kita


sebagai manusia. Setelah
diciptakan dengan sebaik
-baik penciptaan (ahsan
taqwm), Allah SWT juga
memuliakan kita dengan kelebihan yang sempurna atas makhluk
-makhluk lainnya. Allah SWT
berfirman, Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam.
Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezki
dari yang baik-baik, dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan
makhluk
yang
telah
Kami
ciptakan. (QS al-Isra: 70).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir
menyatakan bahwa kelebihan
yang sempurna dalam ayat di atas
menyangkut banyak hal. Namun yang paling
utama dari semua kelebihan yang sempurna
itu adalah kemampuan manusia untuk berpikir, membedakan antara salah dan benar,
baik dan buruk, serta manfaat dan mudharat.
Semua kemampuan itu tidak lain bertumpu
pada karunia akal yang telah Allah berikan
kepada manusia.
Akal dalam Islam bukan sematamata logika. Konsep akal dalam Islam adalah
cahaya ilahi yang Allah curahkan dalam hati
manusia, yang meliputi pengetahuan yang luas
dan keimanan yang mantap. Akal dalam Islam
bukan semata kerja otak, tapi juga melibatkan
hati sebagai rasul Allah dalam diri setiap
manusia. Karena itu, dalam al-Quran Allah
menisbatkan kata tafaqquh (memahami
kepada hati (qulub). Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat
Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak
dipergunakan untuk melihat [tanda-tanda
kekuasaan Allah] dan mereka mempunyai telinga
[tetapi] tidak dipergunakan untuk mendengar [ayatayat Allah]. Mereka itu seperti binatang ternakan,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang
-orang yang lalai. (QS. Al-A'raaf: 179).
Kedudukan akal sangat penting

dalam Islam karena akal adalah pintu utama


masuknya kewajiban melaksanakan perintah
agama (taklf). Karena itu, al-Quran memuat
banyak sekali ajakan kepada manusia untuk
berpikir dan menggunakan akal mereka. Bahkan
al-Quran sebagai mukjizat terbesar yang pernah
Allah berikan kepada para nabi disebut sebagai
mukjizat akal. Artinya, seperti dikatakan oleh
Muhammad Imarah, untuk memahami keagungan makna al-Quran, kita harus mempergunakan
akal kita. Akal yang benar-benar digunakan
untuk berpikir akan membawa pemiliknya pada
keyakinan bahwa al-Quran tidak mungkin lahir
dari manusia, melainkan dari Pencipta manusia.
Lalu bagaimana caranya kita mensyukuri karunia akal tersebut? Tak lain adalah dengan
menggunakannya untuk memahami keagungan
ayat-ayat Allah, baik berupa ayat qauliyah (alQuran) maupun ayat kauniyah (alam semesta).
Dengan memperhatikan, merenungi, dan
memikirkan
pesan-pesan
al-Quran
dan
fenomena-fenomena alam, kita akan sampai
pada kesimpulan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah SWT. Dengan
mengaktifkan peran akal kita juga mampu memahami syariat-syariat agama sehingga tidak
terjebak dalam taklid yang dilarang oleh Allah
SWT. Allah SWT berfirman, Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan,
dan
hati
akan
dimintai
pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra: 36).
Meski demikian, kita tidak boleh sembarangan mengunakan akal. Akal harus
diselaraskan dengan wahyu. Akal dalam Islam
ibarat mata, sedangkan wahyu adalah cahaya.
Mata tak akan mampu melihat tanpa adanya
cahaya, begitu juga cahaya tanpa mata tidak ada
gunanya. Wahyu tak akan bisa dipahami tanpa
peran akal, dan akal akan tersesat tanpa tuntunan wahyu. Akal dan wahyu adalah dua entitas
yang saling melengkapi. Bahkan menurut Imam
al-Ghazali, saling menyatu dan tidak bisa
dipisahkan. Menyatukan antara keduanya akan
membawa kita pada kebenaran hakiki yang
disebut oleh Allah SWT sebagai cahaya di atas
cahaya (nrun ala nr). Wallahu alam bisshawab.

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo


Dewan Penasehat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Pemimpin Umum: Rusydiana Tsani;
Pemimpin Redaksi: Saeful Luthfy; Editor: Jauhar Ridloni Marzuq, Novan Hariansyah; Layouter: Risky Maratul; Kru: Dede Permana, Faiq
Aziz, Hilmy Mubarak, Alfina Wildah, Umar Muhammad, Jauharotun Naqiyah, Maulidatul Hifdhiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati.
Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I , N O V E M B E R

2 0 1 2

FIKRAH

Tadabur al-Quran
Saeful Luthfy

l-Quran adalah kitab suci yang berbicara tentang seluruh dimensi kehidupan manusia. Ayatayatnya banyak menyimpan hikmah yang harus
ditadaburkan dan dihayati oleh kita sebagai
manusia yang berpedoman kepada al-Quran.
Dalam firmanNya, Allah SWT telah menjelaskan
bahwa al-Quran diturunkan tidak lain supaya manusia
menadaburkan maknanya. Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran. (QS. Shaad: 29). Maka apakah
mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka
terkunci? (QS. Muhammad: 24). Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisa: 82).
Ketiga ayat di atas merupakan perintah Allah
SWT kepada manusia untuk selalu menadaburkan kandungan ayat-ayat al-Quran. Hanya dengan menadaburkannya kita dapat memahami isi dan makna al-Quran yang
sebenarnya. Ketika kita menadaburkan al-Quran, kita akan
semakin yakin bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah
yang mempunyai keindahan bahasa, keagungan hikmah dan
keluasan ilmu pengetahuan yang mencakup alam fisika
maupun metafisika.
Rasulullah SAW dan generasi terbaik setelah
beliau (Sahabat) telah memberi contoh pentingnya menadaburkan al-Quran. Dalam mempelajari al-Quran, mereka
tidak pernah melewatkan atau berpindah ke ayat lain kecuali mereka benar-benar memahami dan melaksanakan isi
kandungan ayat yang sedang dibaca. Ibnu Masud berkata,
Ketika kami belajar al-Quran, maka kami tidak akan melewati
sepuluh ayat kecuali setelah menguasinya, mengerti dan mengamalkan isinya. Diriwatkan juga dari para Tabiin seperti Said
bin Jubair dan Rabi bin Khutsaim, sebagian mereka berkata, Setiap ayat yang tidak saya pahami, dan hati saya merasa
tidak menghayatinya (menadaburkan), maka saya merasa tidak
mendapatkan pahala.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin
menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum menadaburkan al-Quran. Pertama, memahami
keagungan dan kemuliaan al-Quran. Menurut Imam alGhazali, al-Quran merupakan kalam Allah yang tidak ada
satu makhluk hidup pun yang bisa membuat semisalnya. Al
-Quran juga merupakan satu-satunya alat interaksi antara
manusia dan Penciptanya. Kedua, mengagungkan Allah
SWT. Di kala kita membaca al-Quran, seyogyanya kita
bersifat khudhu (merendah) karena yang sedang kita baca
(al-Quran) adalah perkataan Allah SWT. Ketiga, menghayatinya dengan seksama. Penghayatan terhadap al-Quran

merupakan salah satu kunci ketenangan jiwa dan hati


ketika membacanya; selain juga mampu menjauhkan
pikiran dari selain al-Quran. Keempat, tadabur al-Quran.
Tadabbur di sini, adalah tingkatan paling tinggi dalam
memahami dan menghayati dan merenungi kandungan alQuran.
Selain menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan
seseorang agar sebelum menadaburkan al-Quran, Imam al
-Ghazali juga menjelaskan empat hal yang menghalangi
manusia dari tadabur al-Quran. Pertama, adanya keraguan
dalam tentang keaslian al-Quran. Faktor inilah yang selalu
diperbuat oleh syaitan agar manusia jauh dari memahami
makna al-Quran. Kedua, terlalu fanatik terhadap suatu
mazhab tanpa ia tahu asal usulnya. Ketiga, banyak berbuat
maksiat dan lebih mengedepankan hawa nafsu. Keempat,
memaknai al-Quran secara dhahir maknanya saja, tanpa
mau memahaminya lebih dalam lagi.
Di zaman yang penuh dengan nilai-nilai hedonisme seperti sekarang ini, umat Islam semakin banyak yang
melupakan al-Quran. Sebagian dari mereka mungkin
masih membacanya, namun tidak pernah berusaha untuk
menadaburkannya. Lebih dari itu, bahkan banyak di antara
mereka yang menjadikan al-Quran hanya sebatas hiasan
dan pajangan rumah. Mereka lupa bahwa al-Quran diturunkan bukan untuk itu, melainkan sebagai pedoman
mereka dalam menjalani kehiupan di dunia. Sikap ini tidak
jauh berbeda dengan sikap orang-orang kafir yang selalu
berpaling dari al-Quran. Mereka (kaum Kafir) tidak dapat
memahami ayat-ayat al-Quran yang mereka dengar, dan
tidak dapat pula mengambil pelajaran dari tanda-tanda
kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri. Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. al
-Baqarah: 7).
Di sinilah, kita diwajibkan untuk menadaburkan
al-Quran agar membedakan antara kita dengan orangorang kafir yang disebutkan dalam surat al-Baqarah di atas.
Dengan sering-sering menadaburkan al-Quran, hati kita
akan selalu bersih dan terhindar dari segala perbuatan
tercela dan merugikan. Dengan al-Quran, hidup kita akan
terasa tentram dan penuh kedamaian. Sesungguhnya orangorang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. al Anfaal : 2). Semoga
kita termasuk bagian dari orang yang disebutkan Allah
dalam ayat ini. Amin.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

4 QADHAYA

Membangun Peradaban Ilmu


Novan Hariansyah

Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya
orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. al-Zumar:9)

ayoritas ulama sepakat bahwa ayat al-Quran


yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq 15. Turunnya ayat yang diawali dengan perintah
membaca ini, menurut Raghib al-Sirjani dalam
al-Ilmu wa Bin al-Umam sangat aneh. Setidaknya, ada tiga
alasan yang mendasari pandangan ini. Pertama, dari sekian ribu
tema yang bisa diangkat, al-Quran ternyata memilih tema
tentang baca-tulis. Padahal, Nabi Muhammad sebagai orang
pertama yang menerima ayat itu adalah seorang buta huruf.
Kedua, al-Quran mengajak bangsa Arab -yang mayoritas
masyarakatnya buta huruf- untuk memperhatikan suatu masalah yang sama sekali jarang mereka perhatikan. Seperti tertulis
dalam banyak buku sejarah, bangsa Arab ketika al-Quran

diturunkan adalah masyarakat primitif yang hidupnya


dipenuhi oleh urusan takhayul, khurafat dan kebodohan.
Karena itu, turunnya al-Quran dengan perintah membaca
adalah suatu keanehan. Sedangkan ketiga, untuk menjadi
media transformasi ilmu, al-Quran memilih media yang
sangat berat bagi masyarakat Arab saat itu, yaitu membaca.
Dengan tiga alasan tersebut, maka Raghib alSirjani kemudian berkesimpulan bahwa fenomena ini tentu
memiliki rahasia yang perlu diungkap dan diketahui. Sebagai kitab petunjuk, Allah tidak mungkin memilih tema
sembarangan untuk menjadi permulaan penurunan kalamNya. Salah satu alasannya, menurut al-Sirjani, adalah sebagai bukti paling jelas bahwa Islam adalah sebuah agama
yang bersandar kepada ilmu pengetahuan dan menolak
kebodohan. Permulaan ayat ini juga menjelaskan bahwa
membaca adalah kunci untuk memahami agama baru ini,
sekaligus menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh
manusia untuk mendapatkan kebahagian dunia dan
akhirat.
Ilmu sebagai sifat utama kenabian
Sebagai seorang pemimpin, nabi adalah aktor
utama pembangun peradaban dalam Islam. Jika Islam
secara substansif telah ada sejak Nabi Adam, maka nabi
yang harus diyakini oleh umat Islam adalah Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad SAW. Keseluruhan jumlah nabi
memang tidak dijelaskan oleh al-Quran. Namun dalam
beberapa cerita yang disebutkan al-Quran, Allah selalu
mengaitkan mereka dengan ilmu. Dalam surat al-Baqarah,
Nabi Adam digambarkan sebagai orang diajarkan (diberi
ilmu) oleh Allah nama-nama segala sesuatu (QS al-Baqarah
21); Nabi Luth diberi hikmah (kenabian) dan ilmu (QS alAnbiya: 74); Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman
juga diberi hikmah dan ilmu (QS Qashash: 14, QS Yusuf:
22 dan QS al-Anbiya: 79); Nabi Yaqub diajari banyak ilmu
(QS Yusuf 68); Nabi Isa diajari al-Kitab, hikmah, Taurat
dan Injil (QS al-Maidah: 110); dan Nabi Muhammad diajari oleh Allah apa-apa yang tidak beliau ketahui (al-Nisa
113).
Di sini dapat disimpulkan bahwa salah satu sifat
utama kenabian adalah berilmu, karena tanpa ilmu seorang
nabi tidak akan pernah bisa mengajarkan sesuatu. Sebuah
pepatah mengatakan, Orang yang tidak memiliki tidak
akan bisa memberi.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, al-Quran

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

QADHAYA
kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak
manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga
dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan
kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak
riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sahabat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang
Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran bacatulis sebagai media tebusan para tawanan perang.
Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai
kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat
Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperadaban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran.
Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke
generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup.
Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan peradaban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000
tahun lamanya.
Ilmu sebagai syarat utama menguasai dunia
Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia
adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan
kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka
bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah
menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh
manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu
yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya keberatan
dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena
mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak
mereka miliki.

Fenomena seperti ini berlaku juga pada kisah


penunjukan Thalut sebagai raja (QS al-Baqarah: 247),
seorang hamba shalih sebagai pemenang sayembara pengalihan singgasana Bilqis (QS al-Naml: 39), Sulaiman
sebagai penguasa (QS al-Naml: 42), dan Khidhir sebagai
guru Nabi Musa (QS al-Kahfi: 65).
Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana alQuran sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, peradaban Islam
sebenarnya dimulai dari komunitas kecil yang bergiat
mempelajari al-Quran dan Sunnah. Komunitas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup al-Quran itu kemudian
berstambah besar dengan membentuk kekuatan militer
yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universalitas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras
dilebur bersama bangsa-bangsa lain di bawah naungan
Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah
pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta
bahasa Arab.
Dengan demikian, maka dapat diambil benang
merah bahwa untuk membangun kembali peradaban
Islam harus diawali dengan membangun peradaban ilmu.
Karena asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan
yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, maka peranan
ilmu pengetahuan yang sangat sentral dalam keseluruhan
struktur konsep peradaban Islam, seperti pendapat Hamid
Fahmy, perlu dikembalikan sebagaimana aslinya. Dalam
hal ini, al-Quran adalah landasan utama yang kita jadikan
sebagai acuan, bukan filsafat-filsafat asing yang lebih
banyak merusak daripada membangun. Wallahu alam.

Berkah di Balik Musibah.. Sambungan dari hlm. 1


seharusnya tidak kita masukkan ke dalam hati. Dalam
artian, kita tidak diperbolehkan terlalu berbangga sehingga
lupa diri. Jika kita memasukkannya ke dalam hati, maka kita
akan merasa bersedih, menyesal, bahkan marah kepada
Allah saat nikmat itu diambil kembali. Menurut Ibnu
Athaillah, yang harus kita lakukan adalah tidak
menyalahgunakan nikmat tersebut untuk hal-hal maksiat,
karena itu adalah salah satu bentuk kesyukuran kita atas
nikmat yang Allah SWT yang tidak pernah terhitung
jumlahnya. Allah berfirman: Dan jika kamu menghitunghitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya (QS an-Nahl: 18).
Meski ayat ini begitu gamblang menjelaskan
betapa besar kasih sayang Allah kepada kita, tapi sebagai
manusia yang imannya naik-turun terkadang kita lupa
bersyukur ketika suatu keburukan menimpa kita. Dengan
kata lain, kita hanya menginginkan yang enak-enak saja
menurut pandangan kita. Padahal, justru dalam nikmat
itulah letak musibah yang sebenarnya. Seorang ulama
pernah berpendapat, Ujian dengan nikmat itu lebih besar
daripada ujian dengan kehilangan nikmat tersebut. Baik atau
buruk suatu hal yang menimpa kita hanya Allah Taala yang
tahu, sehingga satu-satu cara yang bisa kita lakukan ketika
mendapatkan nikmat adalah mensyukuri dan melakukan
apa yang dituliskan untuk kita. Semua yang menimpa kita,

baik ataupun buruk, tidak lain adalah atas kehendak Allah


SWT. Jika kita meyakini bahwa Allah tidak akan pernah
menganiaya hamba-Nya, maka kita harus yakin bahwa
semua itu diberikan oleh Allah untuk kebaikan kita,
meskipun kita sering tidak menyadarinya. Dalam al-Quran
Allah berfirman, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216).
Contoh paling anyar terkait adanya berkah di balik
musibah adalah munculnya film Innocence of Muslim
yang dengan sangat tidak beradab merendahkan Rasulullah
SAW. Meski secara sepintas film itu sangat buruk karena
dengan sangat jelas merendahkan martabat Nabi
Muhammad SAW, tetapi disadari atau tidak, film tersebut
juga membawa sebuah berkah tersendiri. Tanpa kita
prediksi, film ini justru membuka mata dunia untuk lebih
dalam mengkaji sosok Muhammad SAW. Ketika mereka
menemukan bahwa Muhammad bukanlah seperti yang
digambarkan dalam film tersebut (bahkan sebaliknya),
mereka pun berbondong-bondong masuk Islam. Bukankah
ini hikmah yang besar di balik mushibah yang menimpa
kita? Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS.
QS:Al-Baqarah: 216).

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

Meluruskan Makna Shirfah

6 MABHATS

Ibnu Sayyar al-Naddzam


Maulidatul Hifdhiyah Malik

Terlepas dari
berbagai opini
yang dilontarkan
oleh para ulama
tentang shirfah
yang mereka
nisbatkan kepada
al-Naddzam,
penulis
menyimpulkan
bahwa apa yang
diinginkan oleh alNaddzam sangat
bertolak belakang
dengan apa yang
dipahami oleh
para ulama
setelahnya.

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

l-Quran adalah kalam


Tuhan yang sangat
istimewa. Selain berperan sebagai mukjizat
utama Rasulullah SAW, al-Quran
juga menjadi pedoman bagi seluruh
umat Islam. Sebagai mukjizat yang
kekal atau non-temporal, al-Quran
memiliki berbagai kelebihan yang
tidak dimiliki oleh mukjizatmukjizat lainnya yang bersifat
temporal. Salah satunya, al-Quran
menjadikan
poin
inti
kemukjizatannya ada pada sisi
kebahasaan, yang mana masalah ini
menjadi tema perdebatan yang
sampai saat ini belum tuntas dikaji.
Nilai-nilai sastra yang dibawa
oleh al-Quran begitu indah. Kandungan
maknanya yang diinginkan pun tepat
dan mendalam. Karena itu, masyarakat
Arab yang terkenal jumawa dalam masalah sastra merasa tertantang untuk
menghasilkan karya sepadan dengan alQuran. Meski berbagai usaha mereka
lakukan, mereka ternyata tidak pernah
mampu menandingi kehebatan alQuran. Bahkan untuk mendekati atau
yang hampir serupa pun tidak bisa.
Ketidakmampuan ini, oleh sebagian
ulama dianggap sebagai salah satu nilai
kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Dari
pandangan inilah kemudian muncul
paham shirfah.
Shirfah secara etimologi berasal dari kata sharafa-yashrifu yang
artinya memalingkan. Sedangkan secara
terminologi, sebagaian besar ulama
memahaminya sebagai sebuah paham
yang mengatakan bahwa ketidakmampuan masyarakat Arab dalam menandingi kehebatan al-Quran adalah karena
Allah memalingkan potensi yang ada
pada diri mereka. Konsep shirfah
dengan pengertian seperti inilah yang
menjadi perdebatan di kalangan ulama
pengkaji al-Quran sejak dulu hingga
sekarang. Munculnya paham ini,
menurut sebagian pihak, berimplikasi
pada pendapat turunan yang mengatakan bahwa nilai kemukjizatan alQuran bukanlah dari al-Quran itu
I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

sendiri, melainkan dari unsur lain di luar alQuran. Dengan demikian, maka bisa dipahami bahwa pada dasarnya al-Quran bisa
dtandingi, tapi Allah menghilangkan kemampuan manusia sehingga mereka tidak lagi
bisa menandinginya.
Berbicara tentang konsep shirfah,
pikiran kita akan dibawa pada salah satu
tokoh Muktazilah bernama Ibrahim bin
Sayyar al-Naddzam (w. 231 H).
AlNaddzam adalah salah satu pentolan Muktazilah yang lahir pada tahun 185 H dan dan
dikenal sebagai pembesar ahli fikih, pemikir,
sastrawan dan cendekiawan handal. Terkait
penisbatan paham ini kepada al-Naddzam,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa al-Naddzam mengutip
paham shirfah ini dari Isa bin Shabih alMazdar yang dijuluki sebagai rahib Muktazilah. Pendapat ini selanjutnya lebih
dikenal sebagai pendapat al-Naddzam karena al-Naddzam sering menyebutkannya.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa
teori ini dipopulerkan oleh al-Jahidz, salah
satu murid terdekat al-Naddzam. Dalam
salah satu karyanya, al-Jahidz menyebutkan
bahwa
gurunya
mengaggap
poin
kemukjizatan al-Quran ada pada konsep
shirfah.
Terlepas dari mana teori ini
berkembang, mayoritas ulama sepakat membantah konsep shirfah yang dikemukakan alNaddzam ini. Mereka memahami konsep
shirfah dengan artian bahwa Allah memalingkan semua ilmu, kemampuan, dan
faktor-faktor lain yang masyarakat Arab
butuhkan untuk menciptakan karya sekelas
al-Quran. Berangkat dari pemahaman inilah,
mereka mengatakan bahwa al-Naddzam
mengingkari kemukjizatan al-Quran. Padahal, dengan adanya unsur tahaddiy, alQuran telah berhasil menjadikan masyarakat
Arab saat itu takluk dan kemudian memeluk
Islam.
Tidak hanya itu, beberapa kalangan,
seperti Abu Hudzail, al-Jubbaiy, al-Iskafiy,
Abu Hasan al-Asyariy, al-Qalansiy serta Abu
Bakar al-Baqilaniy bahkan mengafirkan alNaddzam akibat pemahaman tersebut.
Selanjutnya, mereka juga menulis berbagai
judul buku dalam rangka menyudutkan alNaddzam dan menolak paham shirfah yang

MABHATS
dicetuskannya.
Meski demikian, ada beberapa ulama yang
menerima konsep shifrah yang digaungkan oleh alNaddzam. Sebut saja di antaranya adalah Syarif alMurtadha dan Ibnu Sinan al-Khafajiy dari golongan Syiah;
Abu Ishaq al-Isfarainiy dan Ibnu Hazm al-Dhahiriy dari
Asyariyah. Mereka juga sepakat bahwa shirfah merupakan
salah satu nilai kemukjizatan yang dimiliki al-Quran.
Melihat pertentangan di antara ulama tersebut,
Ibnu Hamzah al-Alawiy dalam kitabnya al-Thurrz
mengatakan bahwa shirfah yang menjadi bahan perdebatan para ulama tersebut memiliki tiga penafsiran. Pertama, shirfah bermakna bahwa Allah menghilangkan unsur
-unsur yang diperlukan masyarakat Arab untuk menentang
tantangan al-Quran, padahal adanya unsur tersebut sangat
mereka perlukan untuk menciptakan karya selevel alQuran. Kedua, Allah mengambil ilmu-ilmu yang mereka
butuhkan untuk menciptakan tandingan al-Quran.
Penafsiran ini, menurut mayoritas ulama, adalah shirfah
yang dikemukakan oleh Ibnu Sinan al-Khafajiy. Sedangkan
ketiga, Allah menghalangi upaya masyarakat Arab untuk
menentang al-Quran, padahal mereka mampu
melakukannya jika halangan itu dihilangkan. Untuk hal

Muhammad Rajab al-Bayyumi

tidak mungkin apabila ulama sekelas al-Naddzam, al-Jahidz, al-Khafajiy, Murtadha serta Ibnu Hazm menilai kemukjizatan al-Quran serendah itu. Pendapat ini
didasarkan pada biografi mereka yang merupakan ulama-ulama brilian yang
berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan Hadis. Apalagi, dalam salah satu
riwayat, al-Naddzam pernah menyatakan bahwa aspek kemukjizatan al-Quran
terletak pada sisi kebahasaan dan pemberitaan hal-hal ghaib, baik yang masa lalu
maupun masa depan. Maka, bagaimana mungkin al-Naddzam mengemukakan
paham shirfah dengan maksud demikian?
Berdasarkan fakta-fakta di atas, al-Bayyumi berkesimpulan bahwa
shirfah yang dimaksud al-Naddzam adalah masyarakat Arab memalingkan diri
mereka sendiri (bukan Allah yang memalingkan) dari upaya untuk menentang al
-Quran. Mereka merasa minder untuk menentang al-Quran setelah mengetahui
ketinggian dan keindahan bahasa al-Quran yang jauh di atas kemampuan mereka. Mereka juga urung menentang al-Quran sebab mereka tahu bahwa sekeras
apapun upaya yang mereka lakukan untuk menandingi al-Quran, mereka tidak
akan pernah berhasil. Lebih lanjut, Ali al-Umariy dalam bukunya Haula Ijaz alQuran mengatakan bahwa paham shirfah yang sebenarnya diinginkan oleh al-Naddzam tidak sesuai dengan apa
yang dipahami para ulama. Bila ulama memahami shirfah
dengan makna yang telah disebutkan di atas, maka shirfah
yang dimaksud al-Naddzam sebenarnya adalah Allah SWT
memalingkan masyarakat Arab dari segala bentuk perlawanan mereka, agar kisah tersebut tidak membingungkan
bagi masyarakat Arab Badui atau kaum-kaum lain yang
semisal dengan mereka.
Terlepas dari berbagai opini ulama tentang shirfah
yang mereka nisbatkan kepada al-Naddzam, penulis menyimpulkan bahwa apa yang diinginkan oleh al-Naddzam
sangat bertolak belakang dengan apa yang dipahami oleh
para ulama setelahnya. Ini artinya, pembahasan shirfah
yang selalu meruncing dan tidak pernah menemui titik

ini, Allah kemudian mengambil kekuatan dan segala daya


mereka untuk menentang al-Quran. Penafsiran yang terakhir ini, menurut Ibnu Hamzah al-Alawiy adalah
penafsiran yang paling masyhur dan dipahami oleh
mayoritas ulama sebagai shirfah yang mereka nisbatkan
kepada al-Naddzam.
Sementara itu, Muhammad Rajab al-Bayyumi,
salah satu guru besar sastra Arab di al-Azhar, dalam kitabnya yang berjudul al-Mausah al-Qurniyyah alMutakhasshishah justru melontarkan penafsiran lain
tentang shirfah yang dinisbatkan kepada al-Naddzam ini.
Menurut al-Bayyumi, sangat tidak masuk akal apabila
seorang seperti al-Naddzam memahami konsep shirfah
seperti yang diartikan oleh para ulama di atas. Salah satu
alasan al-Bayyumi melontarkan pendapat demikian
disebabkan tidak ditemukannya satu pun perkataan shirfah
dalam seluruh karya al-Naddzam yang sekarang bisa dirujuk. Al-Naddzam juga, dalam pandangan al-Bayyumi, tidak
pernah menuturkan paham shirfah, kecuali dari apa yang
diceritakan oleh al-Jahidz. Keterangan yang diperoleh dari
Jahidz pun tidak menyinggung secara jelas arti shirfah
yang dimaksud oleh al-Naddzam.
Lebih lanjut, al-Bayyumi juga menyatakan sangat

temu tersebut, sudah tidak layak lagi untuk dibahas atau


bahkan diperdebatkan. Apalagi sampai harus mengafirkan
seorang al-Naddzam yang terkenal brilian dan berpegang
teguh pada nilai-nilai al-Quran dan Sunnah. Dari pembahasan singkat ini, kita menemukan bahwa para ulama yang
menyalahkan konsep shirfah terbukti hanya mengikuti
praduga dan pandangan mayoritas, tanpa pernah
menemukan bukti nyata tentang apa yang diinginkan oleh
seorang al-Naddzam. Menurut penulis, energi mereka akan
lebih berguna untuk dicurahkan untuk membahas masalahmasalah lain yang lebih urgen, melihat masih banyaknya
syubhat-syubhat yang terus berkembang dewasa ini. Terutama, syubhat-syubhat yang berkaitan dengan tema
kemukjizatan al-Quran. Wallahu alam bi al-shawab.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

8 NADHRAH

Dampak
yang
ditimbulkan dari
infiltrasi
asing
inipun sangat fatal.
Dengan
adanya
sumber-sumber
penafsiran
dari
israiliyyt, Islam
digambarkan oleh
pemeluk
agama
lain sebagai agama
yang sangat tidak
rasional dan penuh
dengan takhayul
serta khurafat.

B U L E T I N

I Q R A ,

Sambungan Mewaspadai Infiltrasi Asing..


kisah para Nabi, misalnya, banyak kisahkisah yang serupa atau bahkan sama
dengan apa yang tertulis di Taurat dan
Injil. Bedanya, metode yang digunakan
oleh al-Quran dalam mencertikan kisahkisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauidhah dan itibar yang
diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua
kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan
hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi
Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang
menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian
dari sapi betina mana yang dipakai untuk
menghidupkan orang yang telah terbunuh
pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan alQuran yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih,
bertanya kepada para Ahli Kitab tentang
penjelasan detail dari apa yang diceritakan
oleh al-Quran secara global.
Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam,
ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang
mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Ustman bin Affan tahun 41 H, di mana kaum
Ahli Kitab yang masuk Islam secara
munafik mulai berani memasukkan ajaranajaran baru yang merusak kemurnian
ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada
masa ini dan setelahnya, riwayat-riwayat
israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai
tersebar dengan mudah. Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan
antara Hadis yang benar-benar bersumber
dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu
yang diselundupkan oleh
golongan munafikin dan
para pembenci Islam. Inilah
yang menjadi faktor utama
lahirnya dakhil dalam tataran
riwayat (al-dakhl fi al-manql).
Sementara faktor yang menjadi penggerak utama lahirnya dakhil dalam tataran
pemikiran (al-dakhl fi almaql) dimulai ketika kaum
Muslimin terpecah menjadi
banyak sekte dan golongan,
akibat kekacauan politik
yang saat itu terjadi. Untuk
menguatkan paham yang
mereka usung, masingmasing
dari
mereka
menafsirkan al-Quran sesuai
E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam


praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang
mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang
yang jauh dari makna yang dikandung oleh alQuran yang sebenarnya.
Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak
yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang israiliyyt dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun
semakin mudah membaur dengan ajaran Islam.
Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun
tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham
yang menyimpang mulai merasuk dalam halakahhalakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi
Tabiin, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk
ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak
peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang
menceritakan sebuah kisah secara global. Di antara
para penafsir yang banyak memasukkan ad-Dakhl
adalah tafsir mereka adalah Muhammad bin as Saib
al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraih,
dan juga Muqatil bin Sulaiman.
Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi
asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumbersumber penafsiran dari israiliyyt, Islam digambarkan sebagai agama yang sangat tidak rasional
dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum
lagi, cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika
menciptakan alam juga akan mengakibatkan keyakinan kita terhadap keesaan Allah luntur. Ditambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud
yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi
Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan
meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian
(ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltrasi dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar
dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran
dijadikan sebagai tunggungan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam
salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya,
menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah
berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang
berbicara kepada Allah.
Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran
Seperti disinggung pada pembahasan
sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi
lairnya infiltrasi asing dalam tataran pemikiran
adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan
paham mereka untuk dijadikan landasan memahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu,
menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh
faktor lain yang melaatarbelakangi lahirnya infiltrasi
pemikiran dalam tafsir. Pertama, pemahaman salah
yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi
syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan pen-

NADHRAH

alaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna dhahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan.
Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran
akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim
dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran,
sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung
secara dhahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang terasa dipaksakan
terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang
banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang
sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk
untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat alQuran.
Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran
Sebagai antonim dari kata al-dakhl, dalam ranah
keilmuan tafsir ada istilah al-ashl, yaitu sumber-sumber
otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena dakhil terdiri dari riwyah dan diryah
(pemikiran atau ijtihad), maka ashil pun terbagi menjadi
dua, yaitu ashil riwayah dan ashil dirayah.
Secara riwayah, setidaknya ada empat sumber
yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran.
Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua,
menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran
al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat,
menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski
sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini,
namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat
dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin
hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka
banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu,
masa Tabiin merupakan salah satu generasi unggul yang
ditahbiskan oleh Rasulullah ketika bersbda, Sebaik-baik
masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya
(masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi
(masa Tabiin).
Tidak terbatas pada metode riwyah, Islam juga
mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat alQuran. Al-Quran membuka peluang bagi akal untuk
dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayatayatnya. Namun, untuk diperbolehkan menafsirkan ayatayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk
memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah yang
benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Ushul Fiqh), dan
menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran. Jika penggunaan
akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syaratsyarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhl fi al-tafsr).
Waspada!
Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metod-

ologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam


Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti
INSITS yang consern di bidang studi al-Quran, konsep
wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode
penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar
wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehatihatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai
dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah
SWT.
Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak
berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari
riwyah, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak
membidik tataran diryah. Metode-metode penafsiran liar
sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi
Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap mahasiswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran
klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mereka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan
zaman.
Memang, kita tidak sepatutunya menolak mentah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun
sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim
scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiranpemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata
untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini
telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan alQuran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada
kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita
sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode
hasil karya sendiri yang lebih otoritatif dan terbukti
telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu
alam.

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

1 0 UDHAMA

Muhammad Musthafa al-Maraghi:

Mufasir Handal, Pembaharu al-Azhar


Jauhar Ridloni Marzuq

Selain sebagai
pembaharu, alMaraghi juga
dikenal sebagai
seorang mufasir
handal.
Terpengaruh
dengan ide-ide
gurunya,
Muhammad
Abduh, al-Maraghi
mencoba untuk
mengkaji al-Quran
dengan pendekatan
baru agar
memudahkan
pembaca untuk
mencapai maksud
yang diinginkan
oleh al-Quran.

B U L E T I N

I Q R A ,

lkisah, pada tahun 1945, Raja


Faruk yang saat itu berkuasa di
Mesir menceraikan istrinya,
Ratu Faridah. Usai menceraikannya, Raja Faruk ingin melarang
Ratu Faridah untuk menikah lagi dengan
orang lain. Untuk mencari legalitas dari
Islam, dia pun mencari seorang ulama
agar mengeluarkan fatwa pengharaman
nikah lagi bagi Ratu Faridah. Dikrimkanlah segerombolan petugas istana untuk
menemui seorang syekh yang ketika itu
sedang terbaring di Rumah Sakit Iskandariyah. Perwakilan istana itu meminta
kepada sang syekh untuk mengeluarkan
fatwa yang diinginkan oleh Raja Faruk.
Dengan tegas, sang syekh menolak. Dia tidak mau
mengeluarkan fatwa apapun tentang masalah ini
karena melarang bekas istri untuk menikah lagi
adalah perbuatan haram. Akhirnya Raja Faruk pun
datang sendiri untuk menemui sang syekh. Dengan
berbacai cara, dia mendesak sang syekh untuk
mengeluarkan fatwa yang dia inginkan. Namun lagilagi, sang Syekh menolak. Dengan lantang dia berkata, Kalau masalah Anda menceraikan istri Anda,
saya setuju. Tapi untuk melarang dia menikah
dengan orang lain, saya tidak bisa. Sungguh, alMaraghi tidak akan mau mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh Allah!
Sang syekh itu adalah Syekh Muhammad
Mustafa al-Maraghi. Al-Maraghi lahir pada tahun
1881 di Maraghah, salah satu kawasan di Provinsi
Suhag, Mesir. Al-Maraghi lahir dari keluarga yang
sangat mencintai ilmu. Bapaknya adalah seorang
tokoh terpandang di kampungnya. Sejak kecil, alMaraghi telah dididik dengan ilmu-ilmu agama dan
ilmu pengetahuan umum lainnya. Melihat kecerdasan sang anak, dan kemampuannya dalam memahami pelajaran yang di atas rata-rata, sang ayah
pun mengutusnya untuk belajar di al-Azhar. Di alAzhar, al-Maraghi menerima banyak ilmu
dari para sesepuh dan ulama-ulama alAzhar, termasuk dari Imam Muhammad
Abduh. Dari
Muhammad Abduh, alMaraghi banyak belajar tentang Tafsir,
Akidah, Sastra Arab, dan ide-ide pembaharuan keislaman.
Pada tahun 1322, yang bertepatan dengan
26 Mei 1904, di tengah kondisi tubuh yang
kurang sehat, al-Maraghi berhasil meraih
gelar sarjana (gelar sarjana saat itu setara
dengan gelar doktoral saat ini). Saat meraih
gelar itu, usia al-Maraghi baru menginjak 24
tahun; usia yang sangat muda bagi seorang
azhari untuk mendapat gelar tersebut.
Usai berhasil melangsungkan ujian, ditunjuk oleh Muhammad Abduh untuk
menjadi hakim di Sudan yang saat itu masih
masuk bagian Mesir. Selama bertugas di
E D I S I

P E R D A N A ,

O K T O B E R

2 0 1 2

Sudan, hubungan al-Maraghi dengan Muhammad


Abduh masih berjalan sangat erat. Beberapa kali
mereka bertukar surat membicarakan problematika-problematika kontemporer yang saat itu
sedang berkembang di dunia Islam. Tak lama
bertugas di Sudan, al-Maraghi mengundurkan diri
karena berselisih dengan pimpinan militer Inggris
yang bertugas di sana.
Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 1346
H/Mei 1928 M al-Maraghi ditunjuk sebagai
syeikh al-Azhar. Saat menerima posisi prestisius
ini, al-Margahi berniat untuk melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, terutama dalam masalah sistem pendidikan yang saat itu terbilang
ketinggalan zaman. Titik bidik utama al-Maraghi
adalah jenjang sarjana yang kemudian ia bagi
menjadi tiga kelompok, yaitu Fakultas Syariah
Islamiyah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas
Bahasa Arab. Di tengah perjuangannya
melakukan pembaharuan di al-Azhar, al-Maraghi
menerima tantangan yang sangat berat dari
berbagai pihak. Karena merasa kebebasannya
untuk mengatur al-Azhar terkekang, al-Maraghi
akhirnya mengajukan pengunduran diri pada
Oktober 1929.
Namun tak lama setalah mengundurkan
diri, masyarakat Mesir melakukan demontrasi ke
pemerintah. Karena desakan masyarakat yang
begitu kuat, pemerintah akhirnya kembali
menujuk al-Maraghi sebagai syekh al-Azhar lima
tahun setelah pengunduran dirinya, yaitu pada
tahun 1935. Saat menerima posisi syekh al-Azhar
untuk yang kedua kalinya ini, Syekh al-Maraghi
lebih leluasa melalukan pembaharuan dan gerakan
-gerakan peningkatan mutu pendidikan al-Azhar.
Selain sebagai pembaharu, al-Maraghi
juga dikenal sebagai seorang mufasir handal.
Terpengaruh dengan ide-ide gurunya, Muhammad Abduh, al-Maraghi mencoba untuk mengkaji
al-Quran dengan pendekatan baru agar memudahkan pembaca untuk mencapai maksud yang
diingnkan oleh al-Quran. Di antara metode yang
digunakan al-Maraghi dalam tafsirnya adalah
menjauhi istilah-istilah yang membingungkan,
sekaligus memperbaharui gaya bahasa ulamaulama klasik yang susah dipahami oleh masyarakat kontemporer. Tafsir yang ditulis oleh alMaraghi ini berjumlah 30 jilid, dengan setiap juz
dia jadikan sebagai satu jilid.
Pada tahun 1945, kesehatan al-Maraghi
menurun drastis setelah mendapatkan tekanan
keras dari berbagai pihak, terutama dari pihak
istana yang memintanya untuk mengeluarkan
fatwa larangan menikah bagi Ratu Faridah. AlMaraghi akhirnya meninggal dunia dengan membawa nama harum sebagai seorang mufasir handal dan penggagas pembaharuan di al-Azhar.

MARJA

MENOLAK PENGHAPUSAN AYAT-AYAT AL-QURAN

J
an.

11

ARI KURNIAWATI
ika al-Quran dalam doktrin utama umat Islam adalah kitab segala zaman (kitb al-zamn
kullihi), maka sejatinya nilai-nilai al-Quran disetting agar selalu relevan untuk diterapkan
dalam segala tempat dan zaman. Nilai-nilai yang dibawa oleh al-Quran tetap bisa diterapkan untuk masa sekarang, seperti halnya ia telah berhasil diaplikasikan pada masa kenabi-

Dalam kajian Ulumul Quran, ada satu tema yang sampai saat ini masih mengalami
perbedabatan sengit antar ulama, yaitu tema Naskh dan Mansukh. Saking sengitnya perdebatan
masalah ini, menurut suatu penelitian ilmiah ditemukan bahwa para ulama tidak pernah
mengeluarkan kata sepakat (ijma) dalam masalah ini. Perdebatan itu terus terwariskan hingga
saat ini, dan bahkan semakin memanas. Di sinilah, Muhammad Imarah mencoba untuk ikut
bermain dalam percaturan ini dengan bukunya Haqiq wa al-Syubuht haula Mana al-Naskh
fi al-Quran al-Karm.
Dalam kancah pemikiran Islam internasional, nama Muhammad Imarah sudah cukup
dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam. Karya cendekiawan kelahiran Kafr al-Syaikh
1931 M ini telah mencapai lebih dari 200 judul, yang sebagian besarnya berbicara tentang
pemikiran Islam kontemporer dan biografi tokoh-tokoh pembaharu.
Secara garis besar, dalam buku ini Muhammad Imarah ingin menegaskan bahwa tidak
ada satupun ayat al-Quran yang terhapus, baik secara lafal, makna, atau lafal dan makna
sekaligus. Istilah naskh yang banyak disebutkan dalam buku-buku ulama klasik tidaklah seperti

apa yang banyak dipahami oleh para ulama


kontemporer. Jika naskh saat ini diistilahkan
sebagai penghapusan hukum syari dengan
hukum syari lainnya yang datang belakangan,
para ulama klasik tidak memaksudkan istilah
naskh dengan arti demikian. Dengan mengutip
banyak pendapat ulama, baik dari para mufassirun maupun ushuliyyun, Muhammad Imarah
menegaskan bahwa naskh bukanlah penghapusan hukum yang dikandung oleh ayat-ayat al
-Quran, karena hukum itu tetap berlaku sampai kapanpun, melainkan penghapusan hukum
ayat itu dari keterkaitannya dengan seorang
mukallaf (rafu taalluq al-hukmi bil al-mukallaf).
Dalam memberikan pandangan ini,
Muhammad Imarah mencoba meneliti makna
naskh dari sisi etimologi dan terminologi,
kemudian dikuatkan dengan argumen-argumen
teologis baik dari al-Quran maupun Sunnah.
Menurut Imarah, arti naskh secara etimologi
sejatinya bermakna menetapkan, bukan
menghapuskan. Pendapat ini diambil dari
beberapa ulama seperti Abu Muslim alAsfahani dan Abu Baqa. Sementara secara
terminologi, Muhammad Imarah menguraikan
banyak sekali pendapat para ulama, baik dari
ahli Tafsir maupun ahli Ushul Fikih, yang
menegaskan bahwa maksud dari terminologi
naskh bukanlah menghapuskan makna atau
hukum ayat, melainkan menghilangkan ikatan
hukum tersebut dari seorang mukallaf dengan
sebab yang datang dari mukallaf itu sendiri.
Dengan demikian, hukum yang ada dalam alQuran masih tetap berlaku, selama syarat-

syarat taklf masih melekat pada diri seorang


Data Buku:
mukallaf.
Sementara itu terkait surat alBaqarah 106 yang menjadi argumen para Judul buku:
pendukung naskh dijawab oleh Muhammad Haqiq
wa alImarah dengan mengatakan bahwa kata Syuhubuht haula
yah bukan dimaksudkan untuk ayat-ayat
al-Quran, melainkan ayat dalam artian muk- Mana al-Naskh fi
jizat kenabian. Pendapat didasarkan pada al-Qurn
penelitian banyak ulama bahwa semua kata Penulis:
yah yang disebutkan dalam al-Quran DR. Imarah
berarti mukjizat, bukan ayat. Selain itu, Penerbit:
konteks keterkaitan antara ayat ini dengan
ayat sebelum dan sesudahnya juga menegas- Darussalam
kan bahwa yang dimaksud dengan kata Tahun:
ayah adalah berbicara tentang mukjizat 2010 M
kenabian. Argumen ini dikuatkan pula Tebal:
dengan penelitian banyak ulama bahwa
semua ayat yang dianggap terhapus pada 224 halaman
hakikatnya tidak terhapus, melainkan redaksi
umum yang dikhususkan dengan ayat
lainnya, global yang dirincikan, mutlaq yang dibatasi dengan ayat lain,
dan lain sebagainya. Apa yang menjadi jawaban Muhammad Imarah
untuk QS al-Baqarah 106 juga menjadi jawaban terhadap argumen para
pendukung naskh dalam QS al-Nahl 101.
Pada statemen akhir dalam buku ini, Muhammad Abduh
menegaskan bahwa naskh dalam arti penghapusan tidaklah pernah ada
dalam al-Quran. Selain dikuatkan dengan argumen linguistik, pendapat
ini juga didasarkan pada argumen logis dan teologis berdasarkan ayatayat al-Quran itu sendiri. Dengan demikian, menurut Imarah, pandangan ini adalah sebuah terobosan yang harus diapresiasi, karena ia
menjadi bukti penjagaan Allah terhadap al-Quran, sekaligus upaya
untuk membentengi al-Quran dari serangan-serangan mufasir awam
dan para pembenci Islam.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

1 2 SALAM

Kemunafikan Intelektual
Jauhar Ridloni Marzuq

amanya Akhnas bin Syarik al-Tsaqafi. Dia dikenal


sebagai sosok yang selalu berpenampilan menarik dan
murah senyum. Akhnas pandai sekali beretorika dan
menyusun kata-kata dengan gaya bahasa yang mengagumkan, penuh humor, tapi sangat menusuk perasaan. Gayanya
yang santai, sesekali diselingi humor-humor kecil dan senyuman
yang renyah membuat orang terpikat dan tak ada alasan untuk
mencurigainya.
Ketika pasukan Islam terdesak dalam suatu pertempuran,
Akhnas dan seorang temannya memanfaatkan momen ini untuk
menampakkan kebusukan yang selama ini dia pendam. Kepada
kaum Muslimin yang saat itu sedang dalam kondisi terpukul akibat
kalah berperang, Akhnas berkata: Celakalah mereka yang terpedaya dan terbujuk mengikuti ajaran Muhammad, sehingga mereka
terbunuh dan akhirnya mereka tidak bisa hidup tenteram lagi
bersama keluarga dan sanak saudaranya.
Tak lama setelah perkataan itu keluar, Allah pun
menurunkan ayat al-Quran yang artinya: Dan di antara manusia ada
orang-orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia
adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan
merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai
kebinasaan. (QS al-Baqarah: 205).
Setelah ayat itu turun, kaum Muslimin pun tahu siapa
sebenarnya Akhnas al-Tsaqafi. Tokoh yang satu ini ternyata seorang
munafik yang sangat gigih menentang penyebaran ajaran Islam
dengan cara mengadu domba sesama kaum Muslimin. Dia sengaja
masuk Islam untuk meruntuhkan Islam dari dalam.
Menggunting dalam lipatan
Dalam sejarahnya, musuh yang paling berbahaya bagi
Islam adalah kemunafikan. Sejak zaman Rasulullah, telah ada
segolongan orang yang hidupnya mencla-mencle tidak punya
pendirian. Selain Akhnas al-Tsaqafi, tokoh munafik lain yang sangat
berbahaya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Tokoh munafik satu
ini sangat getol menghancurkan Islam dengan cara menggunting
dalam lipatan. Berkali-kali dia menyebarkan fitnah bohong yang
membuat kaum Muslimin terpecah. Tak tanggung-tanggung, istri
Rasulullah SAW, Aisyah RA pun dia fitnah dengan menuduhnya
berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal usai Perang Bani
Musthaliq. Kejadian itu benar-benar membuat kekacauan di Madinah, sehingga Allah menurunkan al-Quran untuk menjawabnya.
Pada masa Khulafa Rasyidin, tipu daya kaum Munafik
semakin kentara. Karena ulah mereka Islam terpecah menjadi sekte
-sekte kecil yang saling mengafirkan sesama. Golongan-golongan
itu diadu domba, dipanas-panasi, dan dipertentangkan sehingga
terjadilah fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Lebih jauh setelah itu, keruntuhan kekhalifahan Utsmani
yang merupakan akhir kehalifahan dalam Islam juga tak lain akibat
tipu daya kaum hipokrit ini. Adalah Mustafa Kamal yang menjadi
biang kerok di balik bencana paling besar yang diderita oleh kaum
Muslimin pada abad ke-20 ini. Dengan masih mengaku Muslim,
Mustafa Kemal justru memberangus Islam dari daratan Euro-Asia
tersebut. Syiar-syiar Islam dilarang, masjid-masjid dikosongkan, dan
adzan diganti dengan bahasa Turki.
Akhnas baru dalam ranah keilmuan
Dalam konteks dunia keilmuan Islam kontemporer,
Akhnas-Aknas baru ternyata banyak sekali ditemukan. Dengan kata
-kata manis bersulam sutra, seorang yang mengaku Muslim dengan
lantang mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada. Menurut
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I I ,

N O V E M B E R

2 0 1 2

mereka, hukum-hukum yang dianggap sebagai hukum Tuhan pada


hakikatnya adalah hukum manusia yang dituhankan. Mereka
dengan mudah memutarbalikkan ayat-ayat al-Quran untuk menyerang
al-Quran itu sendiri. Ya, mereka mengaku Muslim, tapi mereka justru
bersekongkol dengan pembenci Islam untuk menghancurkan Islam.
Mereka duduk di kursi-kursi penting pemerintahan dan pos
-pos tinggi dalam dunia pendidikan. Ada yang berpangkat rektor
universitas Islam; ada yang berlabel profesor Tafsir dan Ulumul
Quran; ada yang bergelar guru besar Syariah Islamiyah; dan lain
sebagainya. Meski membawa nama Islam dan keilmuan Islam, mereka
justru menggerogoti nilai-nilai Islam.
Mereka mengaku wanita Muslimah, namun melarang
penggunaan kerudung dan membolehkan lesbian. Kata mereka,
menutup kepala adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah, sedangkan
lesbian adalah gaya hidup masyarakat modern. Mereka mengaku
sebagai cendekiawan Muslim, namun menolak penegakan syariat
karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Mereka mengaku sebagai
guru besar dan pemerhati Studi al-Quran, namun mereka beranggapan bahwa al-Quran adalah hasil rekayasa tim kodifikasi pada masa
Utsman, bukan sebagai kalam Tuhan.
Di sinilah, umat Islam dibuat bingung, sementara pembenci
Islam dibuat girang tak kepalang. Bagaimana tidak girang, jika mereka
(para pembenci Islam) tak perlu repot-repot menyerang, karena
mereka mempunyai prajurit dari barisan Islam sendiri. Cukup dengan
memberi amplop berisi dolar, mereka bisa duduk manis menonton
dari jauh kurusuhan yang ditimbulkan oleh prajurit-prajurit mereka
itu.
Karena sedemikian besar bahaya kaum munafik, maka tak
salah jika al-Quran memuat banyak sekali ayat yang membongkar
kebusukan hati mererka. Setidaknya, ada empat tipu daya kaum
munafik yang diceritakan oleh al-Quran.
Pertama, mereka menggunakan kata-kata indah saat berbicara, sehingga orang yang mendengarnya terpesona dan terpengaruh. Melalui pengaruh kata-kata dan permainan logika, kaum
Muslimin awan akan dengan mudah terpedaya. Dan apabila kamu
melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika
mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah
seakan-akan kayu yang tersandar. (QS al-Munafiqun: 4).
Kedua, kaum munafik sangat mudah bersumpah. Untuk
meyakinkan orang lain, mereka tak segan-segan menyebarkan fitnah
dengan mengatasnamakan Allah. Dengan cara itu, mereka merasa
memperdayai Allah dan kaum Muslimin, tanpa sadar bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang terpedaya. Sesungguhnya orang-orang munafik
memperdayakan Allah, padahal Allah memperdayakan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan bermalas-malasan. Mereka
riya (ingin dilihat) oleh manusia, dan mereka tidaklah mengingat Allah melainkan sedikit. (QS. an-Nisaa: 142).
Ketiga, mereka seolah-olah menjadi para pembaharu yang
menginginkan kebaikan, padahal sejatinya mereka adalah perusak dan
aktor di balik timbulnya banyak kerusakan, terutama kerusakan moral
dan intelektual. Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, mereka berkata: `Sesungguhnya kami
sedang membangun'. Ingatlah, bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang merusak, akan tetapi mereka tidak sadar. (al-Baqarah: 1112).
Keempat, mereka suka mengeluarkan kata-kata keji untuk
menghina orang Muslim yang taat dengan agamanya. Orang yang
ingin mencegah kemungkaran mereka anggap radikal, orang yang
mengajak untuk berjihad mereka bilang teroris, orang yang mengajak
untuk menegakkan syariat Islam mereka anggap bodoh, berpikiran
sempit, jumud, fundamentalis, dan kata-kata serampangan lainnya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, Berimanlah seperti orang-orang lain
beriman mereka berkata, Apakah kami harus beriman seperti orang-orang
bodoh itu beriman? Seseungguhnya mereka itulah orang-orang bodoh tetapi
mereka tidak mengetahui. (QS al-Baqarah: 17).

Anda mungkin juga menyukai