IKPM CABANG
KAIRO
E D I S I
I I
N O V E M B E R
NADHRAH
DAFTAR ISI
NADHRAH
M E W A S P A D A I
I N F I L T R A S I
D A L A M
A S I N G
P E N A F S I R A N
A L - Q U R A N
TAHNIAH
M ENS YUKUR I
K ARUNI A AK AL
MABHATS
M E L U R U S K A N
M A K N A
I B N U
S H I R F A H
S A Y Y A R
A L - N A D D Z A M
UDHAMA
M U H A M M A D
10
M U S T H A F A
A L - M A R A G H I :
M U F A S I R
H A N D A L ,
P E M B A H A R U
A L - A Z H A R
MARJA
11
M E N O L A K
P E N G H A P U S A N
A Y A T - A Y A T
A L - Q U R A N
SALAM
12
K EMUNAF IKAN
I NTELEK TUAL
A L - Q U R A N
DZIKRA
S E B A G A I
P E D O M A N
Hilmy Mubarak
Dede Permana
HIKMAH
2 0 1 2
perkembangan
dakhil
dalam
Bersambung ke hlm 8
2 TAHNIAH
Akal dan
wahyu adalah
dua entitas
yang saling
melengkapi.
Bahkan
menurut Imam
al-Ghazali,
saling menyatu
dan tidak bisa
dipisahkan.
Menyatukan
antara
keduanya akan
membawa kita
pada
kebenaran
hakiki yang
disebut oleh
Allah SWT
sebagai cahaya
di atas
cahaya.
I Q R A ,
E D I S I
I I , N O V E M B E R
2 0 1 2
FIKRAH
Tadabur al-Quran
Saeful Luthfy
l-Quran adalah kitab suci yang berbicara tentang seluruh dimensi kehidupan manusia. Ayatayatnya banyak menyimpan hikmah yang harus
ditadaburkan dan dihayati oleh kita sebagai
manusia yang berpedoman kepada al-Quran.
Dalam firmanNya, Allah SWT telah menjelaskan
bahwa al-Quran diturunkan tidak lain supaya manusia
menadaburkan maknanya. Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran. (QS. Shaad: 29). Maka apakah
mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka
terkunci? (QS. Muhammad: 24). Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisa: 82).
Ketiga ayat di atas merupakan perintah Allah
SWT kepada manusia untuk selalu menadaburkan kandungan ayat-ayat al-Quran. Hanya dengan menadaburkannya kita dapat memahami isi dan makna al-Quran yang
sebenarnya. Ketika kita menadaburkan al-Quran, kita akan
semakin yakin bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah
yang mempunyai keindahan bahasa, keagungan hikmah dan
keluasan ilmu pengetahuan yang mencakup alam fisika
maupun metafisika.
Rasulullah SAW dan generasi terbaik setelah
beliau (Sahabat) telah memberi contoh pentingnya menadaburkan al-Quran. Dalam mempelajari al-Quran, mereka
tidak pernah melewatkan atau berpindah ke ayat lain kecuali mereka benar-benar memahami dan melaksanakan isi
kandungan ayat yang sedang dibaca. Ibnu Masud berkata,
Ketika kami belajar al-Quran, maka kami tidak akan melewati
sepuluh ayat kecuali setelah menguasinya, mengerti dan mengamalkan isinya. Diriwatkan juga dari para Tabiin seperti Said
bin Jubair dan Rabi bin Khutsaim, sebagian mereka berkata, Setiap ayat yang tidak saya pahami, dan hati saya merasa
tidak menghayatinya (menadaburkan), maka saya merasa tidak
mendapatkan pahala.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin
menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum menadaburkan al-Quran. Pertama, memahami
keagungan dan kemuliaan al-Quran. Menurut Imam alGhazali, al-Quran merupakan kalam Allah yang tidak ada
satu makhluk hidup pun yang bisa membuat semisalnya. Al
-Quran juga merupakan satu-satunya alat interaksi antara
manusia dan Penciptanya. Kedua, mengagungkan Allah
SWT. Di kala kita membaca al-Quran, seyogyanya kita
bersifat khudhu (merendah) karena yang sedang kita baca
(al-Quran) adalah perkataan Allah SWT. Ketiga, menghayatinya dengan seksama. Penghayatan terhadap al-Quran
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
4 QADHAYA
Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya
orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. al-Zumar:9)
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
QADHAYA
kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak
manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga
dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan
kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak
riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sahabat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang
Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran bacatulis sebagai media tebusan para tawanan perang.
Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai
kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat
Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperadaban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran.
Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke
generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup.
Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan peradaban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000
tahun lamanya.
Ilmu sebagai syarat utama menguasai dunia
Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia
adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan
kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka
bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah
menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh
manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu
yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya keberatan
dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena
mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak
mereka miliki.
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
6 MABHATS
Terlepas dari
berbagai opini
yang dilontarkan
oleh para ulama
tentang shirfah
yang mereka
nisbatkan kepada
al-Naddzam,
penulis
menyimpulkan
bahwa apa yang
diinginkan oleh alNaddzam sangat
bertolak belakang
dengan apa yang
dipahami oleh
para ulama
setelahnya.
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
N O V E M B E R
2 0 1 2
sendiri, melainkan dari unsur lain di luar alQuran. Dengan demikian, maka bisa dipahami bahwa pada dasarnya al-Quran bisa
dtandingi, tapi Allah menghilangkan kemampuan manusia sehingga mereka tidak lagi
bisa menandinginya.
Berbicara tentang konsep shirfah,
pikiran kita akan dibawa pada salah satu
tokoh Muktazilah bernama Ibrahim bin
Sayyar al-Naddzam (w. 231 H).
AlNaddzam adalah salah satu pentolan Muktazilah yang lahir pada tahun 185 H dan dan
dikenal sebagai pembesar ahli fikih, pemikir,
sastrawan dan cendekiawan handal. Terkait
penisbatan paham ini kepada al-Naddzam,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa al-Naddzam mengutip
paham shirfah ini dari Isa bin Shabih alMazdar yang dijuluki sebagai rahib Muktazilah. Pendapat ini selanjutnya lebih
dikenal sebagai pendapat al-Naddzam karena al-Naddzam sering menyebutkannya.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa
teori ini dipopulerkan oleh al-Jahidz, salah
satu murid terdekat al-Naddzam. Dalam
salah satu karyanya, al-Jahidz menyebutkan
bahwa
gurunya
mengaggap
poin
kemukjizatan al-Quran ada pada konsep
shirfah.
Terlepas dari mana teori ini
berkembang, mayoritas ulama sepakat membantah konsep shirfah yang dikemukakan alNaddzam ini. Mereka memahami konsep
shirfah dengan artian bahwa Allah memalingkan semua ilmu, kemampuan, dan
faktor-faktor lain yang masyarakat Arab
butuhkan untuk menciptakan karya sekelas
al-Quran. Berangkat dari pemahaman inilah,
mereka mengatakan bahwa al-Naddzam
mengingkari kemukjizatan al-Quran. Padahal, dengan adanya unsur tahaddiy, alQuran telah berhasil menjadikan masyarakat
Arab saat itu takluk dan kemudian memeluk
Islam.
Tidak hanya itu, beberapa kalangan,
seperti Abu Hudzail, al-Jubbaiy, al-Iskafiy,
Abu Hasan al-Asyariy, al-Qalansiy serta Abu
Bakar al-Baqilaniy bahkan mengafirkan alNaddzam akibat pemahaman tersebut.
Selanjutnya, mereka juga menulis berbagai
judul buku dalam rangka menyudutkan alNaddzam dan menolak paham shirfah yang
MABHATS
dicetuskannya.
Meski demikian, ada beberapa ulama yang
menerima konsep shifrah yang digaungkan oleh alNaddzam. Sebut saja di antaranya adalah Syarif alMurtadha dan Ibnu Sinan al-Khafajiy dari golongan Syiah;
Abu Ishaq al-Isfarainiy dan Ibnu Hazm al-Dhahiriy dari
Asyariyah. Mereka juga sepakat bahwa shirfah merupakan
salah satu nilai kemukjizatan yang dimiliki al-Quran.
Melihat pertentangan di antara ulama tersebut,
Ibnu Hamzah al-Alawiy dalam kitabnya al-Thurrz
mengatakan bahwa shirfah yang menjadi bahan perdebatan para ulama tersebut memiliki tiga penafsiran. Pertama, shirfah bermakna bahwa Allah menghilangkan unsur
-unsur yang diperlukan masyarakat Arab untuk menentang
tantangan al-Quran, padahal adanya unsur tersebut sangat
mereka perlukan untuk menciptakan karya selevel alQuran. Kedua, Allah mengambil ilmu-ilmu yang mereka
butuhkan untuk menciptakan tandingan al-Quran.
Penafsiran ini, menurut mayoritas ulama, adalah shirfah
yang dikemukakan oleh Ibnu Sinan al-Khafajiy. Sedangkan
ketiga, Allah menghalangi upaya masyarakat Arab untuk
menentang al-Quran, padahal mereka mampu
melakukannya jika halangan itu dihilangkan. Untuk hal
tidak mungkin apabila ulama sekelas al-Naddzam, al-Jahidz, al-Khafajiy, Murtadha serta Ibnu Hazm menilai kemukjizatan al-Quran serendah itu. Pendapat ini
didasarkan pada biografi mereka yang merupakan ulama-ulama brilian yang
berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan Hadis. Apalagi, dalam salah satu
riwayat, al-Naddzam pernah menyatakan bahwa aspek kemukjizatan al-Quran
terletak pada sisi kebahasaan dan pemberitaan hal-hal ghaib, baik yang masa lalu
maupun masa depan. Maka, bagaimana mungkin al-Naddzam mengemukakan
paham shirfah dengan maksud demikian?
Berdasarkan fakta-fakta di atas, al-Bayyumi berkesimpulan bahwa
shirfah yang dimaksud al-Naddzam adalah masyarakat Arab memalingkan diri
mereka sendiri (bukan Allah yang memalingkan) dari upaya untuk menentang al
-Quran. Mereka merasa minder untuk menentang al-Quran setelah mengetahui
ketinggian dan keindahan bahasa al-Quran yang jauh di atas kemampuan mereka. Mereka juga urung menentang al-Quran sebab mereka tahu bahwa sekeras
apapun upaya yang mereka lakukan untuk menandingi al-Quran, mereka tidak
akan pernah berhasil. Lebih lanjut, Ali al-Umariy dalam bukunya Haula Ijaz alQuran mengatakan bahwa paham shirfah yang sebenarnya diinginkan oleh al-Naddzam tidak sesuai dengan apa
yang dipahami para ulama. Bila ulama memahami shirfah
dengan makna yang telah disebutkan di atas, maka shirfah
yang dimaksud al-Naddzam sebenarnya adalah Allah SWT
memalingkan masyarakat Arab dari segala bentuk perlawanan mereka, agar kisah tersebut tidak membingungkan
bagi masyarakat Arab Badui atau kaum-kaum lain yang
semisal dengan mereka.
Terlepas dari berbagai opini ulama tentang shirfah
yang mereka nisbatkan kepada al-Naddzam, penulis menyimpulkan bahwa apa yang diinginkan oleh al-Naddzam
sangat bertolak belakang dengan apa yang dipahami oleh
para ulama setelahnya. Ini artinya, pembahasan shirfah
yang selalu meruncing dan tidak pernah menemui titik
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
8 NADHRAH
Dampak
yang
ditimbulkan dari
infiltrasi
asing
inipun sangat fatal.
Dengan
adanya
sumber-sumber
penafsiran
dari
israiliyyt, Islam
digambarkan oleh
pemeluk
agama
lain sebagai agama
yang sangat tidak
rasional dan penuh
dengan takhayul
serta khurafat.
B U L E T I N
I Q R A ,
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
NADHRAH
alaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna dhahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan.
Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran
akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim
dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran,
sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung
secara dhahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang terasa dipaksakan
terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang
banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang
sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk
untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat alQuran.
Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran
Sebagai antonim dari kata al-dakhl, dalam ranah
keilmuan tafsir ada istilah al-ashl, yaitu sumber-sumber
otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena dakhil terdiri dari riwyah dan diryah
(pemikiran atau ijtihad), maka ashil pun terbagi menjadi
dua, yaitu ashil riwayah dan ashil dirayah.
Secara riwayah, setidaknya ada empat sumber
yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran.
Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua,
menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran
al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat,
menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski
sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini,
namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat
dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin
hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka
banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu,
masa Tabiin merupakan salah satu generasi unggul yang
ditahbiskan oleh Rasulullah ketika bersbda, Sebaik-baik
masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya
(masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi
(masa Tabiin).
Tidak terbatas pada metode riwyah, Islam juga
mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat alQuran. Al-Quran membuka peluang bagi akal untuk
dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayatayatnya. Namun, untuk diperbolehkan menafsirkan ayatayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk
memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah yang
benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Ushul Fiqh), dan
menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran. Jika penggunaan
akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syaratsyarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhl fi al-tafsr).
Waspada!
Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metod-
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
1 0 UDHAMA
Selain sebagai
pembaharu, alMaraghi juga
dikenal sebagai
seorang mufasir
handal.
Terpengaruh
dengan ide-ide
gurunya,
Muhammad
Abduh, al-Maraghi
mencoba untuk
mengkaji al-Quran
dengan pendekatan
baru agar
memudahkan
pembaca untuk
mencapai maksud
yang diinginkan
oleh al-Quran.
B U L E T I N
I Q R A ,
P E R D A N A ,
O K T O B E R
2 0 1 2
MARJA
J
an.
11
ARI KURNIAWATI
ika al-Quran dalam doktrin utama umat Islam adalah kitab segala zaman (kitb al-zamn
kullihi), maka sejatinya nilai-nilai al-Quran disetting agar selalu relevan untuk diterapkan
dalam segala tempat dan zaman. Nilai-nilai yang dibawa oleh al-Quran tetap bisa diterapkan untuk masa sekarang, seperti halnya ia telah berhasil diaplikasikan pada masa kenabi-
Dalam kajian Ulumul Quran, ada satu tema yang sampai saat ini masih mengalami
perbedabatan sengit antar ulama, yaitu tema Naskh dan Mansukh. Saking sengitnya perdebatan
masalah ini, menurut suatu penelitian ilmiah ditemukan bahwa para ulama tidak pernah
mengeluarkan kata sepakat (ijma) dalam masalah ini. Perdebatan itu terus terwariskan hingga
saat ini, dan bahkan semakin memanas. Di sinilah, Muhammad Imarah mencoba untuk ikut
bermain dalam percaturan ini dengan bukunya Haqiq wa al-Syubuht haula Mana al-Naskh
fi al-Quran al-Karm.
Dalam kancah pemikiran Islam internasional, nama Muhammad Imarah sudah cukup
dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam. Karya cendekiawan kelahiran Kafr al-Syaikh
1931 M ini telah mencapai lebih dari 200 judul, yang sebagian besarnya berbicara tentang
pemikiran Islam kontemporer dan biografi tokoh-tokoh pembaharu.
Secara garis besar, dalam buku ini Muhammad Imarah ingin menegaskan bahwa tidak
ada satupun ayat al-Quran yang terhapus, baik secara lafal, makna, atau lafal dan makna
sekaligus. Istilah naskh yang banyak disebutkan dalam buku-buku ulama klasik tidaklah seperti
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2
1 2 SALAM
Kemunafikan Intelektual
Jauhar Ridloni Marzuq
I Q R A ,
E D I S I
I I ,
N O V E M B E R
2 0 1 2