Anda di halaman 1dari 3

Bersikap Kritis dalam Gereja

Gereja yang berada didunia tentu menghadapi berbagai tantangan dan


perkembangan. Perkembangan itu dapat menjadi pendorong positif bagi
perkembangan gereja. Misalnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
yang cukup pesat telah turut menyumbangkan banyak hal positif bagi pelayanan
gereja. Ambil contoh pengajaran gereja dapat menjangkau seluruh pelosok tempat
karena disampaikan melalui radio dan TV, bahkan banyak situs-situs internet yang
dapat diakses dalam rangka mempelajari ajaran Gereja. Tetapi kemajuan yang
sama juga dapat menjadi tantangan bagi gereja, misalnya menjamurnya situs porno
grafi melalui internet. Hal itu turut mempengaruhi nilai-nilai moral dikalangan
generasi muda. Belum termasuk globalisasi yang mempengaruhi gaya hidup, politik
dan ekonomi telah menghasilkan perubahan sikap, dan karakter. Perubahan
tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi gereja, termasuk nilai-nilai yang paling
hakiki di dalamnya, yaitu nilai-nilai iman.

Menyikapi berbagai perkembangan yang ada dalam masyarakat, Gereja


masa kini di tuntut untuk senantiasa membarui diri guna memenuhi kebutuhan
anggotanya dan sebagai jawabannya atas tugas dan panggilannya. Gereja dapat
membenahi diri sehingga sungguh-sungguh menjadi persekutuan yang dipanggil
untuk melayani Allah melalui pelayanan terhadap dirinya, masyarakat dan dunia ini.

Selain tantangan besar yang dari luar gereja, tantangan yang tidak kalah
besarnya adalah yang datang dari dalam gereja itu sendiri.

A. Tantangan Internal

Tantangan internal yang di maksud disini adalah tantangan yang berasal ditubuh
gereja itu sendiri. Kenyataan gereja sebagai lembaga dan sebagai persekutuan
melahirkan sejumlah konsekuensi terutama menyangkut fungsi gereja. Sejak dulu
terjadi tarik-menari antara kedua fungsi ini. Namun, sering terjadi gereja hanya
menekankan aspek kelembagaan dan mengabaikan persekutuan. Gereja sibuk
dengan pembenahan gedung dan urusan organisasi.

Di samping itu, sekelompok orang didalam gereja sering kali terjebak untuk
menganggap dirinya lebih baik dan benar dari kelompok lain. Mereka tidak mau
menerima kritik orang lain. Ini yang kita lihat dalam kasus Reformasi gereja pada
abad ke-16. Banyak orang yang melihat gereja tidak lagi menjalankaan tugasnya
yang semestinya. Bukannya memberitakan ajakan pertobatan yang sejati, menegur
orang agar meninggalkan kehidupannya yang menyimpang, gereja malah terlibat
dalam penjualan “surat pengampunan dosa”. Martin Luther menentang hal ini dan
menegaskan bahwa keselamatan tidak bisa diperjualbelikan. Keselamatan hanya
diperoleh karena anugerah Allah sendiri yang kita imani seperti yang dijelaskan oleh
kitab suci.
Kritik Martin Luther dianggap sebagai pemberontakan. Paus Alexander VI, paus
yang berkuasa saat itu, mengucilkan Luther dan menyatakannya sebagai penyesat.
Gerakan yang dipimpin Luther pun dianggap sesat. Gereja berpegang pada ajaran
extra ecclesiam nulla salus, yang berarti “di luar (katolik) tidak ada keselamatan”.

Sikap sok benar ini membuat kita terkadang memandang gereja sama saja
dengan perkumpulan-perkumpulan sosial. Dalam sebuah organisasi sosial, orang-
orang yang membentuk oraganisasi tersebut berhak untuk membubarkannya.
Mereka berhak memilih perkumpulan lain yang dipandang bermanfaat baginya
apabila organisasi itu tidak lagi sesuai dengan tujuan bersama atau
mengganggapnya sudah menyimpang dari kebenaran.

Hal ini tidak boleh terjadi pada gereja. Bila orang tidak puas dengan gerejanya, ia
tidak perlu serta-merta meninggalkannya. Seharusnya orang itu mencari
penyelesaian atas masalah yang ada dalam gereja sesuai dengan firman Allah.
Martin Luther dan Yohanes Calvin menasihatkan, bahwa untuk menyelesaikan
segala masalah yang timbul didalam gereja hendaklah masing-masing yang terlibat
dalam masalah tersebut “duduk di sekitar firman (Alkitab)”. Untuk itulah sikap kritis
diperlukan.
Jadi, sikap kritis harus dilakukan untuk memberikan masukan dalam rangka
pembaruan peran gereja ditengah dunia.

B. Tantangan eksternal
Dewasa ini perubahan yang terjadi di dalam masyarakat berlangsung sangat
cepat. Perubahan-perubahan itu tidak saja terjadi pada pola hidup, tetapi juga
merasuk ke dalam sikap, karakter manusia. Tidak dipungkiri kalau gereja merupakan
bagian dari masyarakat dan oleh karenanya tidak terlepas dari perubahan yang
terjadi. Perubahan inilah yang dimengerti sebagai tantangan eksternal yang
mengharuskan kita bersikap kritis. Berikut akan dikemukakan tiga pokok utama yang
menjadi tantangan bagi kehidupan bergereja.

1. Tantangan Materialisme
Dewasa ini pola hidup materialistis telah mempengaruhi berbagai lapisan
masyarakat sehingga terciptalah mentalitas yang mengagung-agungkan materi
atau benda. Tak terkecuali dalam kehidupan gereja sendiri. Gereja memandang
bahwa yang paling penting adalah urusan fisik gereja (sarana dan prasarana).

2. Tantangan pola hidup serba cepat


Perkembangan dunia teknologi mengalami kemajuan yang amat pesat. Manusia
tak henti-hentinya berusaha menciptakan cara agar hidup dapat menjadi lebih
mudah. Contoh pola hidup macam ini ada disekitar kita, misalnya kita banyak
menemukan restoran siap saji, mi instan, cetak foto instan, dan sebagainya.
Manusia cenderung ingin meraih segala sesuatu dengan cepat dan mudah.
Manusia tidak lagi berfikir bagaimana caranya, tetapi bagaimana mendapatkan
sesuatu dengan cepat tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya. Mentalitas
semacam ini, baik disadari maupun tidak, telah merasuk dalam kehidupan
gereja.

3. Tantangan menculnya berbagai aliran dalam kekristenan


Kita tidak dapat memungkiri kalau belakangan ini bermunculan berbagai aliran
gereja. Masing-masing muncul dengan gaya dan ajaran yang berbeda.
Fenomena semacam ini menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap aliran gereja
yang bermunculan tersebut. Kita tidak boleh menerima begitu saja atau malah
menutup diri terhadap fenoma tersebut. Sebaiknya, kita membandingkan ajaran-
ajaran itu dengan yang diajarkan oleh Alkitab dan ajaran yang yang diyakini oleh
gereja kita.

Anda mungkin juga menyukai