Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENGAWASAN MUTU DAN UNDANG-UNDANG PANGAN

Standarisasi Saus Cabai

Disusun oleh :

Kelompok 2

Anisa Mawarni 240210160062


Lady Malinda 240210160065
Amani Hilmi 240210160101
Muhammad Tsabit W. 240210160109
Hafizhoh Nur Azimah 240210160114

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Standarisasi Saus Cabai” dapat selesai pada waktunya. Penyusunan makalah ini
merupakan salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan mata kuliah
Pengawasan Mutu dan Undang-undang Pangan program Strata-1 (S-1) di Program
Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas
Padjadjaran.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Hj. Een Sukarminah, MS. selaku dosen mata kuliah Pengawasan
Mutu dan Undang-undang Pangan
2. Semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung
sehingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa terkadang terjadi kesalahan dalam hal isi
maupun teknik penyusunannya, tetapi demikian penulis berharap makalah ini
akan berguna bagi pembaca pada umumnya dan bagi pihak yang membutuhkan
informasi-informasi yang terkait dengan isinya.

Sumedang, 15 Maret 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Daftar Tabel.............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Cabai Merah..............................................................................................2
2.2 Komposisi Buah Cabai..............................................................................2
2.3 Manfaat Cabai untuk Kesehatan................................................................3
2.4 Definisi Saus Cabai...................................................................................5
2.5 Bahan.........................................................................................................5
2.6 Cara Pembuatan Saus Cabai......................................................................5
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................6
3.1 Keadaan.....................................................................................................7
3.1.1 Bau.............................................................................................................7
3.1.2 Rasa...........................................................................................................7
3.2 Jumlah Padatan Terlarut............................................................................7
3.3 Mikroskopis...............................................................................................7
3.4 pH..............................................................................................................8
3.5 Bahan Tambahan Pangan..........................................................................8
3.5.1 Pewarna.....................................................................................................8
3.5.2 Pengawet...................................................................................................8
3.5.3 Pemanis Buatan.........................................................................................8
3.6 Cemaran Logam........................................................................................9
3.6.1 Timbal (Pb)..............................................................................................11
3.6.2 Tembaga (Cu)..........................................................................................12
3.6.3 Seng (Zn).................................................................................................13
3.6.4 Timah (Sn)...............................................................................................14

2
3.6.5 Raksa (Hg)...............................................................................................14
3.7 Cemaran Arsen (As)................................................................................15
3.8 Cemaran Mikroba....................................................................................17
3.8.1 Angka Lempeng Total.............................................................................17
3.8.2 Bakteri Koliform.....................................................................................17
3.8.3 Kapang.....................................................................................................17
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................18
Daftar Pustaka.........................................................................................................iv

3
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Nilai Gizi Cabai Merah Segar (per 100 gr)

Tabel 3.1. Persyaratan Mutu Saus Cabai..................................................................6

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cabai merah banyak dibudidayakan petani untuk memenuhi keperluan pasar
dalam dan luar negeri. Permintaan komoditas cabai merah cenderung terus
meningkat dan makin meluasnya permintaan industri pengolahan bahan makanan
(Deptan, 2009). Salah satu produk olahan cabai yang akhir-akhir ini banyak
digemari adalah saus cabai. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya
jenis makanan yang membutuhkan saus cabai sebagai penyedap berbagai jenis
makanan.
Banyak pelaku usaha saus cabai yang memproduksi saus cabai yang belum
memenuhi standar kualitas dan keamanan pangan terutama pada pengolahan
berskala rumah tangga dan usaha kecil. Hal ini terjadi karena pelaku usaha
berusaha untuk memenuhi permintaan pasar dengan harga yang murah dengan
mengabaikan aspek mutu (standar) dan keamanan pangan (Deptan, 2009).
Untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi, produsen terlebih dahulu
harus memahami definisi mutu. Salah satu hal yang harus diketahui perusahaan
dalam pengendalian mutu produk adalah standarisasi. Standarisasi dapat diartikan
sebagai penetapan-penetapan norma dan aturan mutu produk yang ditetapkan
bersama dengan tujuan menghasilkan produk dengan mutu yang dapat
dideskripsikan dan diukur dengan perolehan mutu yang seragam.
Dengan tercantumnya standar mutu pada produk pangan, produsen
menjamin bahwa produk tersebut berkualitas dan sudah aman untuk dikonsumsi.
Sehingga konsumen tidak lagi dirugikan karena berbahayanya produk tersebut
untuk dikonsumsi. Standar mutu yang tercantum juga dapat menarik minat
konsumen terhadap daya beli produk tersebut.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui kriteria syarat
mutu dan uji standarisasi produk saus cabai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cabai Merah


Cabai merah merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat
ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan asal-usulnya,
cabai berasal dari Peru. Cabai termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk
perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu, dan memiliki banyak cabang. Tinggi
tanaman antara 65-120 cm. Daun berwarna hijau muda sampai hijau gelap
tergantung varietasnya. Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman cabai termasuk
kelas Dicotyledoneae (berbiji belah), secara lengkap ahli-ahli botani
mengklasifikasikan tanaman cabai secara sistematik sebagai berikut:
Classis: Dicotyledonae
Ordo: Tubiflorae
Famili: Solanaceae
Genus: Capsicum
Species: Capsicum annum L. (Prajnanta, 1998).

2.2 Komposisi Buah Cabai


Adapun komposisi kimia yang terdapat di dalam buah cabai adalah:
1. Kapsaikin, merupakan unsur aktif dan pokok yang berkhasiat, terdiri dari
lima komponen kapsainoid yaitu nordihido kapsaikin, kapsaikin, dihidro
kapsaikin, homo kapsaikin, dan homo dihidro kapsaikin.
2. Kapsikidin, yaitu senyawa yang terdapat di dalam biji cabai.
3. Kapsikol
4. Zat warna kapsantin
5. Karoten
6. Kapsarubin
7. Zeasantin
8. Kriptosantin

2
Selain mengandung senyawa-senyawa di atas, cabai juga mengandung gizi
berupa protein dan vitamin yang berguna bagi tubuh, seperti yang terlihat pada
tabel di bawah ini (Wiryanta, 2008).

Tabel 2.1. Nilai Gizi Cabai Merah Segar (per 100 gr)
No. Zat Gizi Nilai Gizi
1. Kalori 31,0 kal
2. Protein 1,0 g
3. Lemak 0,3 g
4. Karbohidrat 7,3 g
5. Kalsium 29,0 mg
6. Fosfor 24,0 mg
7. Besi 0,5 mg
8. Vitamin A 470 (SI)
9. Vitamin C 18,0 mg
10. Vitamin B1 0,05 mg
11. Vitamin B2 0.03 mg
12. Niasin 0,02 mg
13. Kapsaikin 0,1-1,5%
14. Pektin 2,33%
15. Pentosan 8,57%
16. Pati 0,8-1,4%
(Sumber: Departemen Pertanian RI)

2.3 Manfaat Cabai Untuk Kesehatan


Buah cabai dapat dimanfaatkan untuk banyak keperluan, baik yang
berhubungan dengan kegiatan masak-memasak seperti pembuatan bumbu pecel,
sambal, lotek, asinan, acar maupun untuk keperluan yang lain seperti untuk bahan
ramuan obat tradisional. Konon buah cabai dapat bermanfaat untuk membantu
kerja pencernaan dalam tubuh manusia (Pitojo, 2003).
Buah cabai mengandung semacam minyak asiri, yaitu kapsikol. Senyawa
kapsikol berfungsi untuk mengurangi pegal-pegal, sakit gigi, sesak napas, dan
gatal-gatal. Seiring dengan perkembangan teknologi, cabai banyak dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan salep gosok, salep tempel dan obat pegal linu.

3
Cabai memiliki begitu banyak khasiat disebabkan oleh senyawa kapsaikin
yang terkandung dalam buah cabai. Kapsaikin merupakan unsur aktif pokok yang
terdiri dari lima komponen nordihidro kapsaikin, kapsaikin, dihidro kapsaikin,
homo kapsaikin, dan homo dihidro kapsaikin. Senyawa-senyawa tersebut bisa
dijadikan obat untuk pengobatan sirkulasi darah yang tidak lancar di kaki, tangan,
dan jantung (Wijoyo, 2009).
Bagi orang yang sudah terbiasa mengonsumsi makanan yang pedas,
biasanya nafsu makanannya akan menjadi berkurang bila tidak ada sambal atau
cabai yang menyertai makanannya. Hal ini dikarenakan kapsaikin cabai memang
bersifat stomatik, yakni dapat meningkatkan nafsu makan. Kapsaikin juga
merangsang produksi hormon endorfin sehingga bisa membangkitkan sensasi
kenikmatan, hormon endorfin berperan dalam mengurangi rasa sakit. Oleh karena
itu, sering dijumpai orang yang mengalami gejala sakit kepala akan segera
sembuh setelah mengonsumsi sesuatu yang rasanya pedas. Hal ini karena rasa
pedas yang ditimbulkan oleh kapsaikin dapat menghalangi aktivitas otak ketika
menerima sinyal rasa sakit dari pusat sistem saraf. Pada saat yang bersamaan,
kapsaikin akan mengencerkan lendir sehingga dapat melonggarkan penyumbatan
pada tenggorokan dan hidung. Hal ini pula yang membuat makanan yang bercita
rasa pedas dapat meringankan orang yang mengidap penyakit hidung dan
tenggorokan seperti pilek, batuk, bahkan sinusitis (Suyanti, 2007).
Kapsaikin bersifat antikoagulan sehingga bisa mencegah seseorang
terserang stroke dan jantung koroner. Cara kerjanya dengan menjaga darah tetap
encer dan mencegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah. Oleh karena
itu, kegemaran makan cabai bisa memperkecil kemungkinan seseorang menderita
penyumbatan pembuluh darah /aterosklerosis. Kegunaan lain dari cabai adalah
dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan parem kocok. Kapsaikin cabai
juga bersifat antiradang. Oleh karena itu, bila tubuh merasa sangat kedinginan
sehingga menyebabkan kaki mengeriput atau terasa membeku, oleskan cabai pada
kaki dan disela-sela jemari. Cara yang sama bisa digunakan untuk mengobati
bengkak atau bisul (Hariana, 2005).

4
2.4 Definisi Saus Cabai
Saus cabai adalah saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabai
(Capsium sp.) yang matang dan baik dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Dalam proses
pemanasan, dua faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Jumlah panas yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba
patogen.
2. Jumlah panas yang digunakan tidak boleh menyebabkan penurunan gizi
dan cita rasa makanan.

2.5 Bahan
Bahan yang digunakan antara lain: cabai merah 1 kg, gula pasir 1 ons,
garam, penyedap rasa secukupnya, kecap inggris 3 sendok, minyak wijen 3
sendok, bawang putih 7 siung, cuka secukupnya dan natrium benzoat 0,5 gram.

2.6 Cara Pembuatan Saus Cabai


1. Cabai dipilih yang segar dan sehat dicuci dan dikukus pada suhu 90ºC
selama 10 menit. Sesudah matang, cabai tersebut didinginkan kemudian
digiling.
2. Tambahkan bumbu-bumbu seperti bawang putih, gula pasir, garam,
penyedap rasa, kecap inggris, penyedap rasa dan cuka secukupnya.
Sebagi bahan pengawet ditambahkan natrium benzoat.
3. Setelah lumat, semua bahan tersebut dipanaskan hingga mendidih selama
5 menit. Setelah itu didinginkan selama 20 jam.
4. Bila sudah dingin dipanaskan kembali hingga mendidih 3 menit.
5. Masukkan saus ke dalam botol yang sudah disterilisasi dalam keadaan
masih panas.
6. Setelah botol ditutup rapat segera dilakukan pengukusan selama 30 menit
7. yang dihitung sejak air mendidih. Lalu didinginkan.
8. Pasang etiket yang menarik bertuliskan ”saus cabai” (Setiadi, 2004).

5
BAB III
PEMBAHASAN

Standar Nasional Indonesia (SNI) Saus Cabai merupakan acuan sehingga


saus cabai yang beredar di pasaran dapat terjamin mutu dan keamanannya.
Standar ini meliputi acuan normatif, istilah dan definisi, syarat mutu, cara
pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji, higiene, pengemasan, dan
penandaan saus cabai. Dalam bab ini akan dibahas mengenai persyaratan mutu
saus cabai yang tercantum dalam SNI 01-2976-2006 yaitu sebagai berikut.

Tabel 3.1. Persyaratan Mutu Saus Cabai

(Sumber: SNI, 2006)

6
3.1 Keadaan
3.1.1 Bau
Bau yang dipersyaratkan oleh SNI 01-2976-2006 adalah normal. Bau
normal di sini memiliki arti saus cabai tidak memiliki aroma yang menyimpang
dari bahan dasar yang digunakan dalam pembuatannya, yaitu cabai. Pada saus
cabai dapat juga ditemukan bau selain cabai yang muncul dari penggunaan
rempah-rempah dalam proses pembuatannya. Bau yang tidak normal atau
menyimpang dapat menjadi indikasi dari kerusakan bahan pangan, baik bahan
dasar yang digunakan ataupun produk akhir berupa saus cabai.
3.1.2 Rasa
Rasa yang diatur oleh SNI 01-2976-2006 mengenai saus cabai adalah
normal. Sama seperti bau, hal ini memiliki arti bahwa rasa dari saus cabai tidak
menyimpang dari rasa bahan dasar yang digunakan serta tidak mengindikasikan
kerusakan pada bahan dasar atau produk saus cabai itu sendiri.

3.2 Jumlah Padatan Terlarut


Jumlah padatan merupakan salah satu persyaratan yang diminta dari SNI
01-2976-2006. Jumlah padatan terlarut yang dipersyaratkan adalah minimal 20
o
brix. Jumlah padatan terlarut pada saus cabai dipengaruhi oleh adanya
penambahan gula.

3.3 Mikroskopis
Menurut SNI 01-2976-2006, karakteristik mikroskopis saus cabai harus
memiliki nilai positif cabai. Berdasarkan sumber yang sama, prosedur yang
dilakukan adalah mengamati preparat yang dibuat dengan membasahi cuplikan
saus di atas mikroskop. Kemudian dibandingkan dengan cabai asli. Menurut
Suyanti (2007), proses pembuatan saus cabai dilakukan dengan menghaluskan
cabai dengan menggunakan metode kukus dan blending. Perlakuan ini
meminimalisir terjadi perubahan struktur kimia pada cabai, sehingga karakteristik
mikroskopis saus cabai yang baik seharusnya sama dengan karakteristik
mikroskopis dari cabai utuh.

7
3.4 pH
Nilai pH yang dipersyaratkan untuk saus cabai maksimal 4 (SNI, 2006).
Dengan demikian, produk saus cabai digolongkan sebagai bahan pangan asam.
Produk saus cabai memiliki pH yang rendah karena telah dilakukan penambahan
asam asetat ke dalamnya. Penambahan asam asetat berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan mikroba terutama bakteri, sehingga produk akan menjadi lebih awet
(Syarifudin, 2003). Selain penambahan asam, pengawet juga ditambahkan ke
dalam saus cabai. Pengawet yang digunakan adalah natrium benzoat. Pengawet ini
memiliki pH optimum pada 2.5-4 karena pada pH tersebut pengawet masih berada
dalam kondisi yang belum terdisosiasi.

3.5 Bahan Tambahan Pangan


3.5.1 Pewarna
Pewarna pada saus cabai diatur sesuai peraturan di bidang makanan yang
berlaku. Pewarna yang ditambahkan pada bahan saus cabai digunakan untuk
menyeragamkan produk olahan saus cabai, karena warna pada saus cabai sudah
merah dari bahan baku aslinya yaitu cabai segar. Cabai segar adalah cabai yang
matang dan merah merata, masih dalam keadaan segar, tidak busuk, tidak cacat
atau rusak dan bebas hama penyakit. Syarat mutu cabai mengacu pada SNI 01-
4480-1998.
3.5.2 Pengawet
Pengawet pada saus cabai diatur sesuai peraturan di bidang makanan yang
berlaku. Bahan pengawet yang biasa digunakan untuk pengolahan saus cabai
adalah Natrium Benzoat (C7H5NaO2). Untuk 1,5 kg cabai merah yang digunakan
diperlukan sekitar, 2 gram Natrium Benzoat. Batas maksimum penggunaan
Natrium Benzoat mengacu pada SNI 01-0222-1995.
3.5.3 Pemanis Buatan
Pemanis buatan pada saus cabai diatur sesuai peraturan di bidang makanan
yang berlaku. Namun pada pengolahan saus cabai seringkali ditambahkan bahan
penguat cita rasa. Bahan penguat cita rasa yang digunakan dalam pengolahan saus
cabai antara lain bawang putih, gula, garam, dan merica. Di samping untuk
penguat cita rasa gula dan garam berfungsi sebagai pengawet sehingga saus cabai

8
mempunyai daya simpan yang panjang walaupun mengandung air yang cukup
tinggi. Demikian juga dengan asam cuka/asam asetat berfungsi sebagai pengawet
dan pengatur keasaman.

3.6 Cemaran Logam


Makanan yang aman merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Menurut undang-Undang RI No 7 tahun 1996,
keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakankesehatanmanusia. Penyakit
melalui makanan (food borne disease) dapat berasal dari berbagai sumber yaitu
organisme pathogen termasuk bakteri, kapang, parasit dan virus, dari bahan kimia
seperti racun alami, logam berat, pestisida, hormon, antibiotik, bahan tambahan
berbahaya dan bahan-bahan pertanianlainnya (Fardiaz, 1996).
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan suatu proses
yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada
awal digunakannya, belum diketahui pengaruh pencemaran pada lingkungan.
Proses oksidasi pada logam yang menyebabkan perkaratan sebetulnya merupakan
tanda-tanda adanyapencemaran. Akhir-akhir ini kasus keracunan logam berat yang
berasal dari bahan pangan semakin meningkat jumlahnya. Pencemaran lingkungan
oleh logam berat dapat terjadi jika industri yang menggunakan logam tersebut
tidak memperhatikan keselamatan lingkungan, terutama saat membuang
limbahnya. Logam-logam tertentu dalam konsentrasi tinggi akan sangat berbahaya
bila ditemukan didalam lingkungan (air, tanah, dan udara). Logam berat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mulut, yaitu makanan yang terkontaminasi oleh alat
masak atau wadah (minum/makanan kaleng), juga melalui pernapasan seperti asap
dari pabrik, proses industri, dan buangan limbah. Kontaminasi makanan juga bisa
terjadi dari tanaman pangan (bidang pertanian) yang diberi pupuk dan pestisida
yang mengandung logam (Darmono, 1995).
Logam berat terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar dan daun,
yang selanjutnya melalui siklus rantai makanan (Allow, 1990). Sumber utama
kontaminan logam berat sesungguhnya berasal dari udara dan air yang mencemari

9
tanah. Selanjutnya semua tanaman yang tumbuh di atas tanah yang telah tercemar
akan mengakumulasikan logam-logam tersebut pada bagian akar, batang, daun,
dan buah. Gayatri (1994) logam akan terakumulasi pada jaringan tubuh dan dapat
menimbulkan keracunan pada manusia, hewan, dan tumbuhan apabila melebihi
batas toleransi. Di Indonesia, kadar residu pestisida yang terkandung dalam bahan
pangan sayuran, seperti wortel, kentang, sawi, bawang merah, cabai merah, dan
kubis dari berbagai tempat budidaya sayuran di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada
tahun 1992 diketahui mengandung residu yang melampaui batas maksimum.
Logam digolongkan ke dalam dua katagori, yaitu logam berat dan logam ringan.
Logam berat ialah logam yang mempunyai berat 5 g atau lebih untuk setiap cm 3,
dengan sendirinya logam yang beratnya kurang dari 5 g setiap cm 3 termasuk
logam ringan (Darmono, 1995).
Logam berat sejatinya unsur penting yang dibutuhkan setiap makhluk
hidup. Sebagai trace element, logam berat yang esensial seperti tembaga (Cu),
selenium (Se), Besi (Fe), dan Zink (Zn) penting untuk menjaga metabolisme
tubuh manusia dalam jumlah yang tidak berlebihan, jika berlebihan akan
menimbulkan toksik pada tubuh. Logam yang termasuk elemen mikro merupakan
kelompok logam berat nonesensial yang tidak mempunyai fungsi sama sekali
dalam tubuh. Logam tersebut bahkan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
keracunan (toksik) pada manusia yaitu: timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As),
dan dancadmium (Cd).
Logam berat merupakan komponen alami yang terdapat di kulit bumi yang
tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan merupakan zat yang berbahaya
karena dapat terjadi bioakumulasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi
zat kimia dalam tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan
dengan konsentrasi zat kimia yang terdapat di alam (Arsentina Panggabean,
2008). Logam berat menjadi bahaya disebabkan oleh sistem bioakomulasi.
Masuknya logam berat dalam tubuh seperti timbal (Pb), mercuri (Hg), arsen (As),
dan kadmium (Cd) akan memberikan dampak yang sangat negatif dalam tubuh
karena tubuh akan mengalami gangguan (Darmono, 1995)
Pencemaran logam berat pada tanaman sumbernya bisa didapat dari
pupuk, pestisida, air yang dipakai untuk menyiram, atau bahkan dari udara sekitar.

10
Masih banyak pemakaian pupuk organik (sintetis) yang mengandung logam berat
cadmium (Cd), walau jumlahnya tidak banyak. Jika tanah secara rutin diberi
pupuk serupa, tentu saja kadar kadmiumnya akan terakumulasi dan diserap oleh
sayuran yang tumbuh di lahan tersebut. Sementara itu kadmium dalam ekosistem
air dapat terakumulasi dalam kupang, tiram, udang, udang laut, dan ikan.
Kepekaan terhadap kadmium dapat sangat bervariasi antara organisme air.
Organisme air asin diketahui lebih resisten terhadap keracunan kadmium daripada
organisme air tawar.

3.6.1 Timbal (Pb)


Timbal (Pb) merupakan logam yang sangat populer dan banyak dikenal
oleh masyarakat awam. Hal ini disebabkan oleh banyaknya Pb yang digunakan di
industri nonpangan dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk
hidup. Pb adalah sejenis logam yang lunak dan berwarna cokelat kehitaman serta
mudah dimurnikan dari pertambangan. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk
sulfida logam (PbS) yang sering disebut galena. Senyawa ini banyak ditemukan
dalam pertambangan di seluruh dunia dan secara alami ditemukan pada tanah.
Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan Pb ini adalah sering menyebabkan
keracunan. Timbal merupakan logam yang sangat beracun terutama terhadap
anak-anak. Timbal tidak berbau dan tidak berasa. Sumber-sumber timbal antara
lain cat usang, debu, udara, air, makanan, tanah yang terkontaminasi, dan bahan
bakar bertimbal.
Konsumsi timbal dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan
kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan mukosal. Sistem yang paling
sensitif adalah sistem sintetis jaringan darah (hematopoietik) sehingga biosintetis
haema terganggu. Semua sel-sel yang sedang aktif berkembang sensitif terhadap
timbal. Timbal juga dapat merusak syaraf. Cemaran maksimum timbal pada saus
cabai adalah 2,0 mg/kg. hal ini dimaksudkan agar konsumen tidak mendapatkan
efek negatif dari cemaran timbal ini. Cara uji timah mengacu pada SNI 01-2896-
1998.
Keracunan timbal pada anak-anak dapat mengurangi kecerdasan. Bila
dalam darah mereka ditemukan kadar timbal tiga kali batas normal (asupan

11
normal sekitar 0,3 miligram per hari) menyebabkan penurunan kecerdasan
intelektual (IQ) di bawah 80. Kelainan fungsi otak terjadi karena timbal secara
kompetitif menggantikan peranan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga,
dan besi dalam mengatur fungsi sistem syaraf pusat sehingga pada gilirannya
akan mengurangi peluang bagi anak untuk berhasil dalam sekolahnya. Dampak
lebih jauh, bila tidak ada pengendalian polusi udara di perkotaan, suatu saat nanti
anak-anak di desa akan lebih pintar daripada anak-anak yang dibesarkan di kota-
kota besar.

3.6.2 Tembaga (Cu)


Tidak seperti logam-logam Hg, Pb, dan Cd, logam tembaga (Cu)
merupakan mikroelemen esensial untuk semua tanaman dan hewan, termasuk
manusia. Logam Cu diperlukan oleh berbagai sistem enzim di dalam tubuh
manusia. Oleh karena itu, Cu harus selalu ada di dalam makanan. Yang perlu
diperhatikan adalah menjaga agar kadar Cu di dalam tubuh tidak kekurangan dan
juga tidak berlebihan.
Kebutuhan tubuh per hari akan Cu adalah 0,05 mg/kg berat badan. Pada
kadar tersebut tidak terjadi akumulasi Cu pada tubuh manusia normal. Konsumsi
Cu dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan gejala-gejala yang akut.Logam
Cu yang digunakan di pabrik biasanya berbentuk organik dan anorganik. Logam
tersebut digunakan di pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas, dan zat
warna yang biasanya bercampur dengan logam lain seperti alloi dengan Ag, Cd,
Sn, dan Zn. Garam Cu banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya
sebagai larutan “Bordeaux” yang mengandung 1-3% CuSO4 untuk membasmi
jamur pada sayur dan tumbuhan buah. Senyawa CuSO4 juga sering digunakan
untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit, cacing, dan juga mengobati
penyakit kuku pada domba (Darmono, 1995).
Tembaga masuk ke dalam tatanan lingkungan perairan dapat berasal dari
peristiwa-peristiwa alamiah dan sebagai efek samping dari aktivitas yang
dilakukan manusia. Dalam kondisi normal keberadaan Cu di perairan ditemukan
dalam bentuk senyawa ion CuCO3~ dan CuOH~. Bila dalam perairan terjadi
peningkatan kelarutan Cu sehingga melebihi ambang batas yang seharusnya,

12
maka akan terjadi peristiwa “biomagnifikasi” terhadap biota perairan. Peristiwa
biomagnifikasi dapat diidentifikasi melalui akumulasi Cu dalam tubuh biota
perairan tersebut. Akumulasi dapat terjadi sebagai akibat dari terjadinya konsumsi
Cu dalam jumlah berlebihan, sehingga tidak mampu dimetabolisme oleh tubuh.
Gejala yang timbul pada manusia yang keracunan Cu akut adalah: mual, muntah,
sakit perut, hemolisis, netrofisis, kejang, dan akhirnya mati. Pada keracunan
kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi
karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari
lapisan sel yang mengakibatkan sel menjadi pecah. Defisiensi suhu dapat
menyebabkan anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono, 1995).
Cemaran maksimum tembaga pada saus cabai adalah 5,0 mg/kg. hal ini
dimaksudkan agar konsumen tidak mendapatkan efek negatif dari cemaran
tembaga ini. Cara uji tembaga mengacu pada SNI 01-2896-1998.

3.6.3 Seng (Zn)


Zinkum dengan nomor atom 30 dan massa atom 65,38 dalam Sistem
Periodik Unsur terletak pada periode 4 dan golongan IIB. Zinkum adalah logam
yang putih kebiruan, logam yang mudah ditempa dan liat pada suhu antara
1101500 °C. Zinkum melebur pada suhu 4100 °C dan mendidih pada 9060 °C.
Logamnya yang murni,melarut lambat sekali dalam asam dan dalam alkali.
(Vogel,1979). Zinkum masuk ketatanan lingkungan perairan melalui limbah
industri, pengelasan logam, dan patri. Zinkum merupakan unsur penting dalam
banyak metaloenzim dan obat luka. (Manahan, 1994). Tubuh yang normal
membutuhkan 12-15 miligram Zinkum setiap hari. Kebanyakan orang dapat
mendapatkan zat tersebut secara alami melalui makanan atau minuman yang
dikonsumsi. Namun jika zat Zinkum yang masuk ke dalam tubuh berlebihan,
maka dapat mengakibatkan keracunan Zinkum. Usus tertekan, muntah, kram
perut, diare dan mual berkepanjangan. Gejala tersebut jika tidak segera ditangani
dapat menyebabkan sakit kuning, kejang, demam, dan tekanan darah rendah,
bahkan kematian. Sedangkan Eamens et al. (1984) dalam Darmono (1995)
menyatakan keracunan Zinkum ditandai dengan gejala-gejala: osteomalasea,

13
kalkulirenalis, dan proteinuria. Keracunan Zinkum sering dijumpai bersamaan
dengan keracunan Kadmium secara kronis.
Cemaran maksimum seng pada saus cabai adalah 40,0 mg/kg. hal ini
dimaksudkan agar konsumen tidak mendapatkan efek negatif dari cemaran eng
ini. Cara uji seng mengacu pada SNI 01-2896-1998.

3.6.4 Timah (Sn)


Timah ditemukan pada produk makanan kaleng (buah dan sayur, ikan
herring) dan pasta gigi sedangkan timah logam ditemukan pada debu atau asap
polusi industri. Timah dalam pangan diserap oleh usus halus kurang dari 5 %,
sebagian dibuang melalui urin dan keringat. Timah disebut sebagai mildly toxic
mineral. Timah menurunkan absorpsi kalsium, seng dan menurunkan aktivitas
enzim alkalin fosfatase.
Konsumsi timah dalam pangan yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi
saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala muntah, diare, kelelahan, dan
sakit kepala. Pada dosis akut dapat menyebabkan anoreksia, ataxia dan kelemahan
otot, serta pembengkakan usus halus hingga kematian. Konsentrasi timah antara
150 μg/g - 250 μg/g di dalam makanan kalengan dapat mengakibatkan perlukaan
lambung secara akut.
Cemaran maksimum timah dalam saus cabai adalah 40,0 mg/kg dan 250,0
mg/kg untuk produk yang dikemas dalam kaleng. Cara uji timah mengacu pada
SNI 01-2896-1998.

3.6.5 Raksa (Hg)


Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam yang ada secara alami,
merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam
murninya berwarna keperakan/putih keabuan-abuan, cairan tak berbau, dan
mengkilap. Bila dipanaskan sampai suhu 3570 °C, Hg akan menguap. Walaupun
Hg hanya terdapat dalam konsentrasi 0,08 mg/kg kerak bumi, logam ini banyak
tertimbun di daerah penambangan. Hg lebih banyak digunakan dalam bentuk
logam murni dan organik daripada bentuk anorganik. Logam Hg dapat berada
pada berbagai senyawa. Bila bergabung dengan klor, belerang, atau oksigen, Hg

14
akan membentuk garam yang biasanya berwujud padatan putih. Merkuri (Hg)
terdapat di udara dari deposit mineral dan dari area industri. Logam Hg yang ada
di air dan tanah terutama berasal dari deposit alam, buangan limbah, dan akitivitas
vulkanik. Logam Hg dapat pula bersenyawa dengan karbon membentuk senyawa
Hg organik. Manusia telah menggunakan merkuri oksida (HgO) dan merkuri
sulfida (HgS) sebagai zat pewarna dan bahan kosmetik (krim pemutih), diduga
juga untuk pewarna bibir dan krim antiseptik, serta digunakan secara meluas
dalam produk lampu neon, baterai, thermometer, industri pembuatan cat,
pembuatan gigi palsu, peleburan emas, pembasmi serangga (racun tikus), dan
lain-lain.
Berkaitan dengan kesehatan, merkuri merupakan logam berat berbahaya
yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut: Gangguan sistem syaraf, kerusakan fungsi otak,
kerusakan DNA dan kromosom, reaksi alergi, menghasilkan ruam kulit, kelelahan
dan sakit kepala, serta efek negatif reproduksi seperti kerusakan sperma,
kecacatan pada bayi, dan keguguran. Kerusakan fungsi otak dapat menyebabkan
penurunan kemampuan belajar, perubahan personaliti, temor/gemetaran,
gangguan penglihatan, ketulian, gangguan kordinasiotot, dan kehilangan memori.

Cemaran maksimum raksa pada saus cabai adalah 0,03 mg/kg. Hal ini
dimaksudkan agar konsumen tidak mendapatkan efek negatif dari cemaran raksa
ini. Cara uji raksa mengacu pada SNI 01-2896-1998.

3.7 Cemaran Arsen (As)


Arsen (As) atau sering disebut arsenik adalah suatu zat kimia yang
ditemukan sekitar abad ke-13. Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk
senyawa dasar yang berupa substansi inorganik. Arsen inorganik dapat larut dalam
air atau berbentuk gas dan terpapar pada manusia. Arsenik salah satu unsur paling
beracun dan dijumpai dalam tanah, udara, dan air. Secara alami arsenik dihasilkan
dari letusan gunung vukanik yang dapat melepaskan sekitar 3000 ton setiap tahun.
Meskipun demikian, aktivitas manusialah yang diduga bertanggung jawab atas
pelepasan arsenik lebih dari 80.000 ton tiap tahunnya karena pembakaran bahan
bakar dari fosil dan berbagai kegiatan industri.

15
Arsen banyak ditemukan di dalam air tanah. Hal ini disebabkan arsen
merupakan salah satu mineral yang memang terkandung dalam susunan batuan
bumi. Arsen dalam air tanah terbagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk tereduksi dan
bentuk teroksidasi. Bentuk tereduksi terbentuk dalam kondisi anaerobik dan
sering disebut arsenit. Bentuk teroksidasi terjadi pada kondisi aerobik, umum
disebut sebagai arsenat. Arsenik sudah dikenal sejak lama dan sangat beracun
banyak digunakan sebagai racun pembunuh. Arsen banyak digunakan dalam
industri metalurgi, pabrik gelas, produksi bahan warna ( pigmen), dan industri
yang memproduksi bahan kimia arsen.
Berdasarkan SNI 7387:2009, arsen merupakan salah satu elemen yang
paling toksik dan merupakan racun akumulatif. Arsen anorganik bersifat lebih
toksik dibandingkan arsen organik. Manusia terpapar arsen melalui makanan, air
dan udara. Tanaman lebih mudah menyerap arsen, sehingga memungkinkan arsen
berada dalam pangan pada konsentrasi tinggi dalam bentuk organik dan
anorganik. Konsentrasi arsen anorganik 300 µg/kg - 30.000 µg/kg dalam makanan
atau minuman menyebabkan iritasi perut dan usus disertai dengan gejala mual,
muntah, dan diare. Tertelan arsen menyebabkan penurunan produksi sel darah
merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Maksimum cemaran arsen pada
saus cabai adalah 1,0 mg/kg.
Cara uji arsen mengacu pada SNI 01-4866-1998. Ada 3 metode yang
diuraikan dalam SNI ini yaitu:
a. Metode spektrofotometri – cara I (metode biru molybdenum)
b. Metode spektrofotometri – cara II (metode perak dietiltiokarbamat).
c. Metode spektrofotometer serapan atom (AAS)
Kontiminasi arsenik diduga dapat menyebabkan berbagai pengaruh
kesehatan seperti iritasi usus dan lambung, penurunan produktivitas sel darah
putih dan darah merah, perubahan kulit, dan iritasi paru-paru. Disebut-sebut
arsenik juga memberikan kesempatan kanker berkembang lebih cepat terutama
perkembangan kanker kulit, kanker paru-paru, kanker liver, dan kanker limpa.
Lebih lanjut dikatakan kontak arsenik dengan kadar tinggi dapat menyebabkan
kemandulan dan keguguran pada wanita. Gangguan lainnya adalah gangguan
kulit, penurunan daya tahan terhadap infeksi, gangguan jantung dan kerusakan

16
otak pada laki-laki maupun perempuan. Akhirnya, arsenik pun dapat merusak
DNA.

3.8 Cemaran Mikroba


3.8.1 Angka Lempeng Total
Angka lempeng total merupakan salah satu parameter yang dipersyaratkan
dalam SNI 01-2976-2006. Parameter ini dilakukan untuk mengetahui jumlah
semua mikroba aerob (mesofil) yang terdapat pada produk. Mutu mikrobiologis
ini juga perlu diketahui sebagai indikator terjadinya kebusukan pada bahan
pangan yang berkaitan langsung dengan umur simpannya. Jumlah maksimum
angka lempeng total yang terdapat pada produk saus cabai adalah 1 x 104
koloni/gram. Jumlah ALT pada saus cabe dapat disebabkan oleh telah matinya sel-
sel vegetatif pada proses pemanasan produk. Selain itu, rendahnya pH saus cabai
dan adanya penambahan bahan pengawet juga dapat mematikan mikroba,
sehingga diharapkan produk akan menjadi lebih awet.
3.8.2 Bakteri Koliform
Bakteri koliform umumnya tidak terdapat pada bahan pangan secara alami.
Keberadaan koliform pada umumnya disebabkan oleh adanya kontaminasi dari
luar. Koliform merupakan petunjuk adanya polusi yang berasal dari kotoran
manusia atau hewan dan menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk. Syarat jumlah
koliform pada saus cabai adalah < 3 APM/gram.
3.8.3 Kapang
Kapang dapat menggunakan berbagai komponen makanan, dari yang
sederhana hingga yang kompleks sebagai media pertumbuhannya (Fardiaz, 1992).
Kapang dapat tumbuh pada pH 2 – 8,5 dan tumbuh dengan sangat baik pada pH
rendah atau asam. Produk saus cabai adalah bahan pangan yang memiliki pH yang
rendah yang berarti cocok untuk ditumbuhi oleh kapang. SNI 01-2976-2006
mensyaratkan bahwa saus cabai tidak boleh memiliki jumlah kapang melebihi 50
koloni/gram.

17
BAB IV
KESIMPULAN

Saus cabai memilik syarat mutu bau dan rasa yang normal, jumlah padatan
terlarut minimal 20% (b/b), mikroskopis cabai positif, pH maksimal 4, dan bahan
tambahan pangan yang terdiri dari pewarna, pengawet, dan pemanis buatan sesuai
peraturan yang berlaku. Saus cabai yang sesuai standar memiliki cemaran logam
maksimal yaitu pada timbal 2,0 mg/kg, seng 5,0 mg/kg, tembaga 40,0 mg/kg,
timah 40,0 mg/kg dan yang dikemas dalam kaleng 250,0 mg/kg, dan raksa 0,03
mg/kg. Cemaran arsen maksimal 1,0 mg/kg. Cemaran mikroba dengan maksimal
ALT 1x104 koloni/g, bakteri koliform < 3, dan kapang 50 koloni/g.

18
DAFTAR PUSTAKA

Allow, B.J. 1990. Heavy Metalin Soils. JhonWilleyand Sons Inc, New York.
Aqil, M., A.H. Talanca, dan Zubachtirodin. 2013. Highlight Hasil Penelitian Balai
Penelitian Tanaman Serealia Tahun 2013. Badan Litbang Pertanian,
Puslitbangtan. 51 p.
Arsentina, P. 2008. Logam Berat Pb(Timbal)Pada Jeroan Sapi, Prosiding PPI
Standardisasi
Badan Standardisasi Nasional SNI 01-2976-2006 tentang Saus Cabe. Jakarta
Badan Standardisasi Nasional SNI 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan
Makanan. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional SNI 01-4480-1998 tentang Cabe Merah Segar.
Jakarta.
Darmono,1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Fardiaz. 1996. Analis Bahaya dan Pengendalian titik Kritis (HACCP). Makalah
disampaikan pada Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan
bagi Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Gayatri dan Riza VT. 1994. Bunga Rampai Residu Pestisida dan Alternatifnya.
PAN Indonesia, Jakarta.
Hariana, Arief. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pitojo, S. 2003. Benih Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta
Prajnanta, F. 1998. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta
Setiadi. 2004. Bertanam Cabai. Penear Swadaya. Jakarta
Suyanti. 2007. Membuat Aneka Olahan Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syarifudin A. 2003. Aplikasi hazard analysis critical control point (HACCP) pada
saus cabai di PT Heinz ABC Indonesia, Karawang [skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Wijoyo, M. Padmiarso. 2009. Tak Tik Jitu Menanam Cabai di Musim Hujan. Bee-
Media Indonesia. Jakarta
Wiryanta, Bernardius W.T. 2008. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agromedia
Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai