Anda di halaman 1dari 53

PERUBAHAN FISIK DAN PSIKOLOGI IBU POST PARTUM

A. Perubahan Fisik
Peruban fisik pada ibu post partum menurut Rustam Muchtar, 1998:
1. Perubahan pada Uterus
Perubahan Pada Pembuluh Darah UterusKehamilan yang sukses membutuhkan
peningkatan aliran darah uterus
yang cukup besar. Untuk menyuplainya, arteri dan vena di dalam uterus terutama di
plasenta menjadi luar biasa membesar, begitu juga pembuluh darah ke dan dari uterus,
pembentukan pembuluh – pembuluh darah baru juga akan menyebabkan peningkatan
aliran darah yang bermakna. Setelah kelahiran, kaliber pembuluh darah ekstrauterin
berkurang sampai mencapai, atau paling tidak mendekati keadaan sebelum hamil.
Di dalam uterus nifas, pembuluh darah mengalami obliterasi akibat perubahan hialin, dan
pembuluh– pembuluh yang lebih kecil menggantikannya. Resorpsi residu hialin dilakukan
melalui suatu proses yang menyerupai proses pada ovaruium setelah ovulasi dan
pembentukan korpus luteum. Namun, sisa – sisa di dalam jumlah kecil dapat bertahan
selama bertahun – tahun.
2. Perubahan Pada Serviks dan Segmen Bawah Uterus
Tepi luar serviks, yang berhubungan dengan os eksternum, biasanya mengalami laserasi
terutama di bagian lateral. Ostium serviks berkontraksi perlahan, dan beberapa hari
setelah bersalin ostium serviks hanya dapat ditembus oleh dua jari. Pada akhir minggu
pertama, ostium tersebut telah menyempit. Karena ostium menyempit, serviks menebal
dan kanal kembali terbentuk. Meskipun involusi telah selesai, os eksternum tidak dapat
sepenuhnya kembali ke penampakannya sebelum hamil. Os ini tetap agak melebar, dan
depresi bilateral pada lokasi laserasi menetap sebagai perubahan yang permanen dan
menjadi cirri khas serviks para. Harus diingat juga bahwa epitel serviks menjalani
pembentukan kembali dalam jumlah yang cukup banyak sebagai akibat kelahiran bayi.
Segmen bawah uterus yang mengalami penipisan cukup bermakna akan berkontraksi dan
tertarik kembali, tapi tidak sekuat pada korpus uteri. Dalam waktu beberapa minggu,
segmen bawah telah mengalami perubahan dari sebuah struktur yang tampak jelas dan
cukup besar untuk menampung hamper seluruh kepala janin, menjadi isthmus uteri yang

1
hampir tak terlihat dan terletak diantara korpus uteri diatasnya dan os eksternum serviks
dibawahnya.
3. Involusi korpus Uteri
Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus korpus uteri yang berkontraksi terletak kira –
kira sedikit di bawah umbilicus. Korpus uteri kini sebagian besar terdiri atas miometrium
yang dibungkus lapisan serosa dan dilapisi desidua basalis. Dinding anterior dan
posteriornya saling menempel erat, masing – masing tebalnya 4 sampai 5 cm. Karena
pembuluh darah tertekan oleh miometrium yang berkontraksi, uterus nifas pada potongan
tampak iskemik bila dibandingkan dengan uterus hamil yang hiperemesis dan berwarna
ungu kemerah – merahan. Setelah 2 hari pertama, uterus mulai menyusut, sehingga dalam
2 minggu orga ini telah turun ke rongga panggul sejati. Organ ini mencapai ukuran seperti
semula sebelum hamil dalam waktu sekitar 4 minggu. Uterus segera setelah melahirkan
mempunyai berat sekitar 1000 gram. Akibat involusi, 1 minggu kemudian beratnya sekitar
500 gram, pada akhir minggu kedua turun menjadi sekitar 300 gram, dan segera setelah itu
menjadi 100 gram atau kurang. Jumlah total sel otot tidak berkurang banyak ; namun, sel –
selnya sendiri jelas sekali berkurang ukurannya. Involusi rangka jaringan ikat terjadi sama
cepatnya. Karena pelepasan plasenta dan membran – membran terutama terjadi di
stratum spongiosum, desidua basalis tetap berada di uterus. Desidua yang tersisa
mempunyai bentuk bergerigi tak beraturan, dan terinfiltrasi oleh darah, khususnya di
tempat melekatnya plasenta.
4. Lokhia
Pada masa awal nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan keluarnya
discharge vagina dalam jumlah bervariasi yang disebut lokhia. Secara
mikroskopis, lokhia terdiri atas eritrosit, serpihan desidua, sel – sel epitel, dan bakteri.
Mikroorganisme ditemukan pada lokhia yang menumpuk di vagina dan pada sebagian
besar kasus juga ditemukan bahkan bila discharge diambil dari rongga uterus.
Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, kandungan darah dalam lokhia cukup
banyak sehingga warnanya merah – lokhia rubra. Setelah 3 atau 4 hari, lokhia menjadi
sangat memucat – lokhia serosa. Setelah sekitar 10 hari, akibat campuran leukosit dan
berkurangnya kandungan cairan, lokhia menjadi berwarna putih atau putih kekuning –
kuningan lokhia alba.

2
5. Regenerasi Endometrium
Dalam waktu 2 atau 3 hari setelah melahirkan, sisa desidua berdiferensiasi
menjadi dua lapisan. Stratum superficial menjadi nekrotik, dan terkelupas bersama lokhia.
Stratum basal yang bersebelahan dengan miometrium tetap utuh dan merupakan sumber
pembentukan endometrium baru. Endometrium terbentuk dari proliferasi sisa – sisa
kelenjar endometrium dan stroma jaringan ikat antar kelenjar tersebut.Proses regenerasi
endometrium berlangsung cepat, kecuali pada tempat melekatnya plasenta. Dalam satu
minggu atau lebih, permukaan bebas menjadi tertutup oleh epitel dan seluruh
endometrium pulih kembali dalam minggu ketiga.
6. Sub Involusi
Istilah ini menggambarkan suatu keadaan menetapnya atau terjadinya
retardasi involusi, proses yang normalnya menyebabkan uterus nifas kembali ke bentuk
semula. Proses ini disertai pemanjangan masa pengeluaran lokhia dan perdarahan uterus
yang berlebihan atau irregular dan terkadang juga disertai perdarahan hebat. Pada
pemeriksaan bimanual, uterus teraba lebih besar dan lebih lunak dibanding normal untuk
periode nifas tertentu. Penyebab subinvolusi yang telah diketahui antara lain retensi
potongan plasenta dan infeksi pamggul. Karena hampir semua kasus subinvolusi
disebabkan oleh penyebab local, keadaan ini biasanya dapat diatasi dengan diagnosis dan
penatalaksanaan dini pemberian ergonovin (ergotrate) atau metilergonovin (methergine)
0,2 mg setiap 3 atau 4 jam selama 24 sampai 48 jam direkomendasikan oleh beberapa ahli.
Namun efektivitasnya dipertanyakan. Di lain pihak, metritis berespon baik terhadap terapi
antibiotic oral.
7. Involusi Tempat Melekatnya Plasenta
Segera setelah kelahiran, tempat melekatnya plasenta kira – kira berukuran
sebesar telapak tangan, tetapi dengan cepat ukurannya mengecil. Pada akhir minggu
kedua, diameternya hanya 3 sampai 4 cm. Dalam waktu beberapa jam setelah kelahiran,
tempat melekatnya plasenta biasanya terdiri atas banyak pembuluh darah yang
mengalami thrombosis yang selanjutnya mengalami organisasi thrombus secara khusus.
8. Perubahan Pada Traktus Urinarius
Kehamilan normal biasanya disertai peningkatan cairan ekstraseluler yang cukup
bermakna, dan diuresis masa nifas merupakan kebalikan fisiologis dari proses ini. Diuresis
biasanya terjadi antara hari kedua dan kelima. Bahkan bila wanita tersebut tidak mendapat

3
infuse cairan intravena yang berlebihan selama persalinan dan kelahiran. Rangsang untuk
retensi cairan akibat hiperestrogenisme terinduksi kehamilan dan peningkatan tekanan
vena pada setengah bagian bawah tubuh akan berkurang setelah kelahiran, dan
hipervolemi residual akan menghilang. Pada preeclampsia, baik retensi cairan antepartum
maupun diuresis postpartum dapat sangat meningkat.
Kandung kemih masa nifas mempunyai kapasitas yang bertambah besar dan relative tidak
sensitive terhadap tekanan cairan intravesika. Overdistensi pengosongan yang tidak
sempurna dan urine residual yang berlebihan sering dijumpai. Pengaruh anestesi terutama
anestesi regional yang melumpuhkan, dan gangguan tenporer fungsi saraf kandung kemih,
tidak diragukan perannya. Urine residual dan bakteriuria pada kandung kemih yang
mengalami cedera, ditambah dilatasi pelvis renalis dan ureter, membentuk kondisi yang
optimal untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami
dilatasi akan kembali ke keadaan sebelum hamil mulai dari minggu ke 2 sampai ke 8
setelah kelahiran.
9. Relaksasi Muara Vagina dan Prolapsus Uteri
Pada awal masa nifas, vagina dan muara vagina membentuk suatu lorong luas berdinding
licin yang berangsur – angsur mengecil ukurannya tapi jarang kembali ke bentuk nulipara.
Rugae mulai tampak pada minggu ketiga. Himen muncul kembali sebagai kepingan –
kepingan kecil jaringan, yang setelah mengalami sikatrisasi akan berubah menjadi
carunculae mirtiformis.Laserasi luas perineum saat kelahiran akan diikut relaksasi introitus.
Bahkan bila tak tampak laserasi eksterna, peregangan berlebih akan menyebabkan
relaksasi nyata. Lebih lanjut, perubahan pada jaringan penyangga panggul selama
persalinan merupakan predisposisi prolaps uteri dan inkontenensia uri stress. Pada
umumnya, operasi korektif ditunda hingga seluruh proses persalinan selesai, kecuali tentu
saja terdapat kecacatan serius, terutama inkontinensia uri akibat stress, yang
menimbulkan gejala – gejala yang membutuhkan intervensi.
10. Peritonium dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan rotundum jauh lebih kendur disbanding kondisi saat tidak hamil,
dan ligament – ligament ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih dari
peregangan dan pengenduran yang berlangsung selama kehamilan. Sebagai akibat
putusnya serat – serat elastis kulit dan distensi yang berkepanjangan yang disebabkan
uterus hamil, dinding abdomen masih lunak dan kendur untuk sementara waktu.

4
Kembalinya struktur ini ke keadaan normal memerlukan waktu beberapa minggu, tapi
pemulihan dapat dibantu dengan olahraga. Selain timbulnya striae yang berwarna keperak
– perakan, dinding abdomen biasanya kembali ke keadaan sebelum hamil. Namun, jika
otot – ototnya tetap atonik, dinding abdomen akan tetap kendur.
11. Kelenjar Mamae
a) Payudara
Puting susu, areola, duktus & lobus membesar, vaskularisasi meningkat (Breast
Engorgement).
b) Laktasi
Masing – masing buah dada terdiri dari 15 – 24 lobi yang terletak terpisah satu
sama lain oleh jaringan lemak. Tiap lobus terdiri dari lobuli yang terdiri pula dari
acini yang menghasilkan air susu. Tiap lobules mempunyai saluran halus untuk
mengalirkan air susu. Saluran – saluran yang halus ini bersatu menjadi satu saluran
untuk tiap lobus. Saluran ini disebut ductus lactiferosus yang memusat menuju ke
putting susu di mana masing – masing bermuara.
Keadaan buah dada pada 2 hari pertama nifas sama dengan keadaan dalam
kehamilan. Pada waktu ini buah dada belum mengandung susu, melainkan
colostrum yang dapat dikeluarkan dengan memijat areola mamae. Colostrum
adalah cairan kuning yang disekresi oleh payudara pada awal masa nifas.
Progesteron dan estrogen yang dihasilkan plasenta merangsang pertumbuhan
kelenjar – kelenjar susu, sedangkan progesterone merangsang pertumbuhan
saluran kelenjar. Kedua hormone ini mengerem LTH (prolactin). Setelah plasenta
lahir, maka LTH dengan bebas dapat merangsang laktasi.
Pada kira – kira hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri.
Ini menandai permulaan sekresi air susu dan kalau areola mamae dipijat, keluarlah
cairan putih dari puting susu.

Selama menjalani masa nifas, ibu mengalami perubahan yang bersifat fisiologis yang meliputi
perubahan fisik (Bobak) :

1. Involusi

5
Involusi adalah perubahan yang merupakan proses kembalinya alat kandungan atau
uterus dan jalan lahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti sebelum
hamil. Proses involusi terjadi karena adanya:
a) Autolysis yaitu penghancuran jaringan otot-otot uterus yang tumbuh karena
adanya hiperplasi, dan jaringan otot yang membesar menjadi lebih panjang
sepuluh kali dan menjadi lima kali lebih tebal dari sewaktu masa hamil akan susut
kembali mencapai keadaan semula. Penghancuran jaringan tersebut akan diserap
oleh darah kemudian dikeluarkan oleh ginjal yang menyebabkan ibu mengalami
beser kencing setelah melahirkan.
b) Aktifitas otot-otot yaitu adanya kontrasi dan retraksi dari otot-otot setelah anak
lahir yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya
pelepasan plasenta dan berguna untuk mengeluarkan isi uterus yang tidak
berguna. Karena kontraksi dan retraksi menyebabkan terganggunya peredaran
darah uterus yang mengakibatkan jaringan otot kurang zat yang diperlukan
sehingga ukuran jaringan otot menjadi lebih kecil.
c) Ischemia yaitu kekurangan darah pada uterus yang menyebabkan atropi pada
jaringan otot uterus. Involusi pada alat kandungan meliputi:
 Uterus
Setelah plasenta lahir uterus merupakan alat yang keras, karena kontraksi
dan retraksi otot-ototnya. Perubahan uterus setelah melahirkan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

Diameter Bekas
Melekat
Involusi TFU Berat Uterus Keadaan Cervix
Plasenta

Setelah plasenta Sepusat Pertengahan 1000 gr 500 12,5 Lembik


lahir gr
pusat symphisis
1 minggu
Tak teraba 7,5 cm Dapat dilalui 2
jari
Sebesar hamil 2

6
2 minggu minggu 350 gr

6 minggu Normal 50 gr 5 cm

2,5 cm Dapat dimasuki


1 jari
8 minggu 30 gr

 Involusi tempat plasenta


Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh
darah besar yang tersumbat oleh trombus. Luka bekas implantasi
plasenta tidak meninggalkan parut karena dilepaskan dari dasarnya
dengan pertumbuhan endometrium baru dibawah permukaan luka.
Endometrium ini tumbuh dari pinggir luka dan juga sisa-sisa kelenjar
pada dasar luka. (Sulaiman S, 1983l: 121 )
2. Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh darah yang besar, tetapi karena
setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah yang banyak maka arteri harus
mengecil lagi dalam masa nifas.
3. Perubahan pada cervix dan vagina
Beberapa hari setelah persalinan ostium eksternum dapat dilalui oleh 2 jari, pada akhir
minggu pertama dapat dilalui oleh 1 jari saja. Karena hiperplasi ini dan karena karena
retraksi dari cervix, robekan cervix jadi sembuh. Vagina yang sangat diregang waktu
persalinan, lambat laun mencapai ukuran yang normal. Pada minggu ke 3 post partum
ruggae mulai nampak kembali. Rasa sakit yang disebut after pains ( meriang atau
mules-mules) disebabkan koktraksi rahim biasanya berlangsung 3 – 4 hari pasca
persalinan. Perlu diberikan pengertian pada ibu mengenai hal ini dan bila terlalu
mengganggu analgesik.( Cunningham, 430)

4. Lochia

7
Lochia adalah cairan yang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam masa nifas.
Lochia bersifat alkalis, jumlahnya lebih banyak dari darah menstruasi. Lochia ini berbau
anyir dalam keadaan normal, tetapi tidak busuk. Pengeluaran lochia dapat dibagi
berdasarkan jumlah dan warnanya yaitu lokia rubra berwarna merah dan hitam terdiri
dari sel desidua, verniks kaseosa, rambut lanugo, sisa mekonium, sisa darah dan keluar
mulai hari pertama sampai hari ketiga. Lochia sanginolenta berwarna putih bercampur
merah , mulai hari ketiga sampai hari ketujuh. Lochia serosa berwarna kekuningan dari
hari ketujuh sampai hari keempat belas. Lochia alba berwarna putih setelah hari
keempat belas ( Manuaba, 1998: 193)
5. Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, biasanya akan
pulih dalam 6 minggu. Ligamen fascia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu
partus setelah bayi lahir berangsur angsur mengecil dan pulih kembali.Tidak jarang
uterus jatuh ke belakang menjadi retrofleksi karena ligamentum rotundum jadi kendor.
Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan latihan-latihan pasca persalinan ( Rustam
M, 1998: 130)

Tambahan Peruban fisik sesuai dengan sistem tubuh menurut Ambarwati, 2008 :

1. Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke
kondisi sebelum hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
a) Iskemia Miometrium – Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus
menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi
relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
b) Atrofi jaringan – Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon esterogen
saat pelepasan plasenta.
c) Autolysis – Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot
uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur
hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum
hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon
estrogen dan progesteron.
d) Efek Oksitosin – Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus
sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai

8
darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi
plasenta serta mengurangi perdarahan.

Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum hamil. Perubahan-perubahan normal
pada uterus selama postpartum adalah sebagai berikut:

Involusi Uteri Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus Diameter Uterus


Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm
7 hari (minggu 1) Pertengahan pusat dan simpisis 500 gram 7,5 cm
14 hari (minggu 2) Tidak teraba 350 gram 5 cm
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm

Gambar. Tinggi fundus uteri pada masa nifas

2. Involusi Tempat Plasenta

Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam
kavum uteri. Segera setelah plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya
sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka bekas plasenta khas sekali. Pada
permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh
thrombus. Luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti
pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat
implantasi plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini berlangsung di
dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat
implantasi plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada pembuangan lokia.

9
3. Perubahan Ligamen

Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan
saat melahirkan, kembali seperti sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan
antara lain: ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi
retrofleksi, ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.

4. Perubahan pada Serviks

Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor, terkulai dan berbentuk seperti
corong. Hal ini disebabkan korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga
perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman
karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat
dimasukan 2–3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. Oleh karena hiperpalpasi
dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum
tidak sama waktu sebelum hamil. Pada umumnya ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak-retak
dan robekan-robekan pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya.

5. Lokia

Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi
nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan
desidua inilah yang dinamakan lokia. Lokia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan
mempunyai reaksi basa/alkalis yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi
asam yang ada pada vagina normal. Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu
menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokia mengalami perubahan karena
proses involusi. Pengeluaran lokia dapat dibagi menjadi lokia rubra, sanguilenta, serosa dan alba.
Perbedaan masing-masing lokia dapat dilihat sebagai berikut:

Lokia Waktu Warna Ciri-ciri

10
Rubra 1-3 hari Merah kehitaman Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa,
rambut lanugo, sisa mekoneum dan sisa
darah
Sanguilenta 3-7 hari Putih bercampur Sisa darah bercampur lendir
merah
Serosa 7-14 hari Kekuningan/ Lebih sedikit darah dan lebih banyak serum,
kecoklatan juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi
plasenta
Alba >14 hari Putih Mengandung leukosit, selaput lendir serviks
dan serabut jaringan yang mati.

Umumnya jumlah lochia lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada
berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi
berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata-rata pengeluaran lokia
sekitar 240 hingga 270 ml.

6. Perubahan Pada Vulva, Vagina dan Perineum

Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan, setelah
beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada
minggu ke tiga. Himen tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi
karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran vagina akan selalu lebih besar
dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama. Perubahan pada perineum pasca melahirkan
terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan
ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum
dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini
dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.

Perubahan fisik pada ibu post partum menurut system tubuh :

11
1. Sistem Perkemihan

Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan meningkatkan
fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan
penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita
melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam sesudah
melahirkan. Hal yang berkaitan dengan fungsi sistem perkemihan, antara lain:

1. Hemostatis internal

Tubuh terdiri dari air dan unsur-unsur yang larut di dalamnya, dan 70% dari cairan tubuh
terletak di dalam sel-sel, yang disebut dengan cairan intraselular. Cairan ekstraselular terbagi
dalam plasma darah, dan langsung diberikan untuk sel-sel yang disebut cairan interstisial.
Beberapa hal yang berkaitan dengan cairan tubuh antara lain edema dan dehidrasi. Edema
adalah tertimbunnya cairan dalam jaringan akibat gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh.
Dehidrasi adalah kekurangan cairan atau volume air yang terjadi pada tubuh karena
pengeluaran berlebihan dan tidak diganti.

2. Keseimbangan asam basa tubuh

Keasaman dalam tubuh disebut PH. Batas normal PH cairan tubuh adalah 7,35-7,40. Bila PH >7,4
disebut alkalosis dan jika PH < 7,35 disebut asidosis.

3. Pengeluaran sisa metabolisme.

Pengeluaran sisa metabolisme, racun dan zat toksin ginjal


Zat toksin ginjal mengekskresi hasil akhir dari metabolisme protein yang mengandung nitrogen
terutama urea, asam urat dan kreatinin. Ibu post partum dianjurkan segera buang air kecil, agar
tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Namun demikian, pasca
melahirkan ibu merasa sulit buang air kecil. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil
pada ibu post partum, antara lain:

12
1. Adanya odema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi urin.
2. Diaforesis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi dalam tubuh, terjadi
selama 2 hari setelah melahirkan.
3. Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekanan kepala janin dan spasme oleh iritasi
muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.

Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya peningkatan tekanan
vena pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan
mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum.
Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu. Kehilangan cairan melalui keringat
dan peningkatan jumlah urin menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg selama masa pasca
partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbun selama hamil kadang-kadang disebut kebalikan
metabolisme air pada masa hamil (reversal of the water metabolisme of pregnancy). Rortveit dkk (2003)
menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70%
lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan Sectio Caesar. Sepuluh persen pasien
pasca persalinan menderita inkontinensia (biasanya stres inkontinensia) yang kadang-kadang menetap
sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat
dilakukan latihan pada otot dasar panggul. Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam
waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter
selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan
bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap
terpasang dan dibuka 4 jam kemudian, bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien
diharapkan dapat berkemih seperti biasa.

2. Sistem gastrointestinal

Selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya tingginya kadar progesteron yang
dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan
kontraksi otot-otot polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian,
faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal.

Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan, antara lain:

1. Nafsu makan

13
Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi
makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami
penurunan selama satu atau dua hari.

2. Motilitas

Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang
singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anastesia bisa memperlambat pengembalian
tonus dan motilitas ke keadaan normal.

3. Pengosongan usus

Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus otot usus menurun
selama proses persalinan dan awal masa pascapartum, diare sebelum persalinan, enema
sebelum melahirkan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir. Sistem
pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal.

Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain:

a) Pemberian diet / makanan yang mengandung serat.


b) Pemberian cairan yang cukup.
c) Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan.
d) Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir.
e) Bila usaha di atas tidak berhasil dapat dilakukan pemberian huknah atau obat yang lain.
3. Sistem muskuluskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur kehamilan semakin bertambah. Adaptasi
muskuloskelatal ini mencakup: peningkatan berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim,
relaksasi dan mobilitas. Namun demikian, pada saat post partum sistem muskuloskeletal akan
berangsur-angsur pulih kembali. Ambulasi dini dilakukan segera setelah melahirkan, untuk membantu
mencegah komplikasi dan mempercepat involusi uteri.

14
Adaptasi sistem muskuloskeletal pada masa nifas, meliputi:

1. Dinding perut dan peritoneum

Dinding perut dan peritoneum Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini akan
pulih kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari otot-otot rectus
abdominis, sehingga sebagian dari dinding perut di garis tengah hanya terdiri dari peritoneum,
fasia tipis dan kulit.

2. Kulit abdomen

Kulit abdomen Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar dan
mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen dapat kembali normal
kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan latihan post natal.

3. Striae

Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada dinding abdomen. Striae pada
dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan membentuk garis lurus yang
samar. Tingkat diastasis muskulus rektus abdominis pada ibu post partum dapat dikaji melalui
keadaan umum, aktivitas, paritas dan jarak kehamilan, sehingga dapat membantu menentukan
lama pengembalian tonus otot menjadi normal.

4. Perubahan ligament

Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang meregang sewaktu
kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang
ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.

5. Simpisis pubis

15
Pemisahan simpisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal ini dapat menyebabkan
morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis pubis antara lain: nyeri tekan pada pubis
disertai peningkatan nyeri saat bergerak di tempat tidur ataupun waktu berjalan. Pemisahan
simpisis dapat dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau bulan pasca
melahirkan, bahkan ada yang menetap.

Beberapa gejala sistem muskuloskeletal yang timbul pada masa pasca partum antara lain:

1. Nyeri punggung bawah

Nyeri punggung merupakan gejala pasca partum jangka panjang yang sering terjadi. Hal ini
disebabkan adanya ketegangan postural pada sistem muskuloskeletal akibat posisi saat
persalinan.
Penanganan: Selama kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung sebaiknya dirujuk pada
fisioterapi untuk mendapatkan perawatan. Anjuran perawatan punggung, posisi istirahat, dan
aktifitas hidup sehari-hari penting diberikan. Pereda nyeri elektroterapeutik dikontraindikasikan
selama kehamilan, namun mandi dengan air hangat dapat menberikan rasa nyaman pada
pasien.

2. Sakit kepala dan nyeri leher

Pada minggu pertama dan tiga bulan setelah melahirkan, sakit kepala dan migrain bisa terjadi.
Gejala ini dapat mempengaruhi aktifitas dan ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit
kepala dan nyeri leher yang jangka panjang dapat timbul akibat setelah pemberian anestasi
umum.

3. Nyeri pelvis posterior

Nyeri pelvis posterior ditunjukan untuk rasa nyeri dan disfungsi area sendi sakroiliaka. Gejala ini
timbul sebelum nyeri punggung bawah dan disfungsi simfisis pubis yang ditandai nyeri di atas
sendi sakroiliaka pada bagian otot penumpu berat badan serta timbul pada saat membalikan
tubuh di tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke bokong dan paha posterior.
Penanganan: pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat membantu untuk

16
mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman saat istirahat maupun bekerja, serta
mengurangi aktifitas dan posisi yang dapat memacu rasa nyeri.

4. Disfungsi simpisis pubis

Disfungsi simfisis pubis Merupakan istilah yang menggambarkan gangguan fungsi sendi simfisis
pubis dan nyeri yang dirasakan di sekitar area sendi. Fungsi sendi simfisis pubis adalah
menyempurnakan cincin tulang pelvis dan memindahkan berat badan melalui pada posisis
tegak. Bila sendi ini tidak menjalankan fungsi semestinya, akan terdapat fungsi/stabilitas pelvis
yang abnormal, diperburuk dengan terjadinya perubahan mekanis, yang dapat mrmpengaruhi
gaya berjalan suatu gerakan lembut pada sendi simfisis pubis untuk menumpu berat badan dan
disertai rasa nyeri yang hebat. Penanganan: tirah baring selama mungkin; pemberian pereda
nyeri; perawatan ibu dan bayi yang lengkap; rujuk ke ahli fisioterapi untuk latihan abdomen
yang tepat; latihan meningkatkan sirkulasi; mobilisasi secara bertahap; pemberian bantuan yang
sesuai.

5. Diastasis rekti

Diastasis rekti adalah pemisahan otot rektus abdominis lebih dari 2,5 cm pada tepat setinggi
umbilikus (Noble, 1995) sebagai akibat pengaruh hormon terhadap linea alba serta akibat
perenggangan mekanis dinding abdomen. Kasus ini sering terjadi pada multi paritas, bayi besar,
poli hidramnion, kelemahan otot abdomen dan postur yang salah. Selain itu, juga disebabkan
gangguan kolagen yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami diastasis.
Penanganan: melakukan pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah antara otot rektus;
memasang penyangga tubigrip (berlapis dua jika perlu), dari area xifoid sternum sampai di
bawah panggul; latihan transversus dan pelvis dasar sesering mungkin, pada semua posisi,
kecuali posisi telungkup-lutut; memastikan tidak melakukan latihan sit-up atau curl-up;
mengatur ulang kegiatan sehari–hari, menindaklanjuti pengkajian oleh ahli fisioterapi selama
diperlukan.

6. Osteoporosis akibat kehamilan

Osteoporosis akibat kehamilan Osteoporosis timbul pada trimester ketiga atau pasca natal.
Gejala ini ditandai dengan nyeri, fraktur tulang belakang dan panggul, serta adanya hendaya

17
(tidak dapat berjalan), ketidakmampuan mengangkat atau menyusui bayi pasca natal,
berkurangnya tinggi badan, postur tubuh yang buruk. .

7. Disfungsi rongga panggul

Disfungsi dasar panggul, meliputi :

1. Inkontinensia urin

Inkontinensia urin adalah keluhan rembesan urin yang tidak disadari. Masalah berkemih yang
paling umum dalam kehamilan dan pasca partum adalah inkontinensia stres . Terapi : selama
masa antenatal, ibu harus diberi pendidikan mengenai dan dianjurkan untuk mempraktikan
latihan otot dasar panggul dan transversus sesering mungkin, memfiksasi otot ini serta otot
transversus selam melakukan aktivitas yang berat. Selama masa pasca natal, ibu harus
dianjurkan untuk mempraktikan latihan dasar panggul dan transversus segera setelah
persalinan. Bagi ibu yang tetap menderita gejala ini disarankan untuk dirujuk ke ahli fisioterapi
yang akan mengkaji keefektifan otot dasar panggul dan memberi saran tentang program
retraining yang meliputi biofeedback dan stimulasi.

2. Inkontinensia alvi

Inkontinensia alvi disebabkan oleh robeknya atau merenggangnya sfingter anal atau kerusakan
yang nyata pada suplai saraf dasar panggul selama persalinan (Snooks et al, 1985). Penanganan :
rujuk ke ahli fisioterapi untuk mendapatkan perawatan khusus.

3. Prolaps

Prolaps genetalia dikaitkan dengan persalinan per vagina yang dapat menyebabkan peregangan
dan kerusakan pada fasia dan persarafan pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus.

18
Sistokel adalah prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah prolaps rektum
kedalam vagina (Thakar & Stanton, 2002). Gejala yang dirasakan wanita yang menderita prolaps
uterus antara lain: merasakan ada sesuatu yang turun ke bawah (saat berdiri), nyeri punggung
dan sensasi tarikan yang kuat. Penanganan: prolaps ringan dapat diatasi dengan latihan dasar
panggul

4. Haematom

Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor
pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit
menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor
pembekuan darah. Leukositosis adalah meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sebanyak 15.000
selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap tinggi selama beberapa hari pertama masa post partum.
Jumlah sel darah putih akan tetap bisa naik lagi sampai 25.000 hingga 30.000 tanpa adanya kondisi
patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.

Pada awal post partum, jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan volume darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Tingkatan ini
dipengaruhi oleh status gizi dan hidarasi dari wanita tersebut. Jika hematokrit pada hari pertama atau
kedua lebih rendah dari titik 2 persen atau lebih tinggi daripada saat memasuki persalinan awal, maka
pasien dianggap telah kehilangan darah yang cukup banyak. Titik 2 persen kurang lebih sama dengan
kehilangan darah 500 ml darah. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan
diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 post partum dan akan
normal dalam 4-5 minggu post partum.
Jumlah kehilangan darah selama masa persalinan kurang lebih 200-500 ml, minggu pertama post
partum berkisar 500-800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml.

5. Sistem Kardiovasculer

Selama kehamilan secara normal volume darah untuk mengakomodasi penambahan aliran darah
yang diperlukan oleh placenta dan pembuluh darah uterus. Penurunan dari estrogen mengakibatkan
diuresis yang menyebabkan volume plasma menurun secara cepat pada kondisi normal. Keadaan ini
terjadi pada 24 sampai 48 jam pertama setelah kelahiran. Selama ini klien mengalami sering kencing.
Penurunan progesteron membantu mengurangi retensi cairan sehubungan dengan penambahan

19
vaskularisasi jaringan selama kehamilan. ( V Ruth B, 1996: 230). Volume darah normal yang diperlukan
plasenta dan pembuluh darah uterin, meningkat selama kehamilan. Diuresis terjadi akibat adanya
penurunan hormon estrogen, yang dengan cepat mengurangi volume plasma menjadi normal kembali.
Meskipun kadar estrogen menurun selama nifas, namun kadarnya masih tetap tinggi daripada normal.
Plasma darah tidak banyak mengandung cairan sehingga daya koagulasi meningkat. Aliran ini terjadi
dalam 2-4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak sekali jumlah
urin. Hilangnya progesteron membantu mengurangi retensi cairan yang melekat dengan meningkatnya
vaskuler pada jaringan tersebut selama kehamilan bersama-sama dengan trauma selama persalinan.

Kehilangan darah pada persalinan per vaginam sekitar 300-400 cc, sedangkan kehilangan darah
dengan persalinan seksio sesarea menjadi dua kali lipat. Perubahan yang terjadi terdiri dari volume
darah dan hemokonsentrasi. Pada persalinan per vaginam, hemokonsentrasi akan naik dan pada
persalinan seksio sesarea, hemokonsentrasi cenderung stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu.
Pasca melahirkan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah ibu relatif akan bertambah.
Keadaan ini akan menimbulkan dekompensasi kordis pada penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi
dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi sehingga volume darah kembali
seperti sediakala. Pada umumnya, hal ini terjadi pada hari ketiga sampai kelima post patum.

6. Ginjal

Aktifitas ginjal bertambah pada masa nifas karena reduksi dari volume darah dan ekskresi produk
sampah dari autolysis. Puncak dari aktifitas ini terjadi pada hari pertama post partum ( V Ruth B, 1996:
230)

7. Sistim Hormonal

Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem endokrin. Hormon-
hormon yang berperan pada proses tersebut, antara lain:

1. Hormon plasenta

Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan hormon yang diproduksi oleh plasenta. Hormon
plasenta menurun dengan cepat pasca persalinan. Penurunan hormon plasenta (human
placental lactogen) menyebabkan kadar gula darah menurun pada masa nifas. Human Chorionic

20
Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari
ke-7 post partum dan sebagai onset pemenuhan mamae pada hari ke-3 post partum.

2. Hormon pituitary

Hormon pituitary antara lain: hormon prolaktin, FSH dan LH. Hormon prolaktin darah meningkat
dengan cepat, pada wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. Hormon prolaktin
berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu. FSH dan LH meningkat
pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke-3, dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi.

3. Hipotalamik pituitary ovarium

Hipotalamik pituitary ovarium akan mempengaruhi lamanya mendapatkan menstruasi pada


wanita yang menyusui maupun yang tidak menyusui. Pada wanita manyusui mendapatkan
menstruasi pada 6 minggu pasca melahirkan berkisar 16% dan 45% setelah 12 minggu pasca
melahirkan. Sedangkan pada wanita yang tidak menyusui, akan mendapatkan menstruasi
berkisar 40% setelah 6 minggu pasca melahirkan dan 90% setelah 24 minggu.

4. Hormon oksitosin

Hormon oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang, bekerja terhadap otot uterus
dan jaringan payudara. Selama tahap ketiga persalinan, hormon oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah perdarahan. Isapan
bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin, sehingga dapat membantu involusi
uteri. Oxytoxin disekresi oleh kelenjar hipofise posterior dan bereaksi pada otot uterus dan
jaringan payudara. Selama kala tiga persalinan aksi oxytoxin menyebabkan pelepasan plasenta.
Setelah itu oxytoxin beraksi untuk kestabilan kontraksi uterus, memperkecil bekas tempat
perlekatan plasenta dan mencegah perdarahan. Pada wanita yang memilih untuk menyusui
bayinya, isapan bayi menstimulasi ekskresi oxytoxin diamna keadaan ini membantu kelanjutan
involusi uterus dan pengeluaran susu. Setelah placenta lahir, sirkulasi HCG, estrogen,
progesteron dan hormon laktogen placenta menurun cepat, keadaan ini menyebabkan
perubahan fisiologis pada ibu nifas

5. Hormon estrogen dan progesterone

21
Volume darah normal selama kehamilan, akan meningkat. Hormon estrogen yang tinggi
memperbesar hormon anti diuretik yang dapat meningkatkan volume darah. Sedangkan
hormon progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena,
dasar panggul, perineum dan vulva serta vagina. Penurunan estrogen menyebabkan prolaktin
yang disekresi oleh glandula hipofise anterior bereaksi pada alveolus payudara dan
merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui kadar prolaktin terus tinggi dan
pengeluaran FSH di ovarium ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui kadar prolaktin turun
pada hari ke 14 sampai 21 post partum dan penurunan ini mengakibatkan FSH disekresi kelenjar
hipofise anterior untuk bereaksi pada ovarium yang menyebabkan pengeluaran estrogen dan
progesteron dalam kadar normal, perkembangan normal folikel de graaf, ovulasi dan
menstruasi.( V Ruth B, 1996: 231).

6. Laktasi
Laktasi dapat diartikan dengan pembentukan dan pengeluaran air susu ibu. Air susu ibu ini
merupakan makanan pokok , makanan yang terbaik dan bersifat alamiah bagi bayi yang disediakan
oleh ibu yamg baru saja melahirkan bayi akan tersedia makanan bagi bayinya dan ibunya sendiri.
Selama kehamilan hormon estrogen dan progestron merangsang pertumbuhan kelenjar susu
sedangkan progesteron merangsang pertumbuhan saluran kelenjar , kedua hormon ini mengerem
LTH. Setelah plasenta lahir maka LTH dengan bebas dapat merangsang laktasi. Lobus prosterior
hypofise mengeluarkan oxtoxin yang merangsang pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah
reflek yang ditimbulkan oleh rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi. Rangsang ini menuju
ke hypofise dan menghasilkan oxtocin yang menyebabkan buah dada mengeluarkan air susunya.
Pada hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri. Ini menandai permulaan
sekresi air susu, dan kalau areola mammae dipijat, keluarlah cairan puting dari puting susu. Air susu
ibu kurang lebih mengandung Protein 1-2 %, lemak 3-5 %, gula 6,5-8 %, garam 0,1 – 0,2 %. Hal yang
mempengaruhi susunan air susu adalah diit, gerak badan. Benyaknya air susu sangat tergantung
pada banyaknya cairan serta makanan yang dikonsumsi ibu.( Obstetri Fisiologi UNPAD, 1983: 318 )

22
Tanda-tanda vital

Perubahan tanda-tanda vital pada massa nifas meliputi:

Parameter Penemuan normal Penemuan abnormal


Tanda-tanda vital Tekanan darah < 140 / 90 mmHg, Tekanan darah > 140 / 90 mmHg
mungkin bisa naik dari tingkat
disaat persalinan 1 – 3 hari post
partum.

Suhu tubuh < 38 0 C


Suhu > 380 C

Denyut nadi: 60-100 X / menit


Denyut nadi: > 100 X / menit

Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 derajat Celcius. Pasca melahirkan, suhu tubuh
dapat naik kurang lebih 0,5 derajat Celcius dari keadaan normal. Kenaikan suhu badan ini akibat dari
kerja keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan maupun kelelahan. Kurang lebih pada hari ke-4 post
partum, suhu badan akan naik lagi. Hal ini diakibatkan ada pembentukan ASI, kemungkinan payudara
membengkak, maupun kemungkinan infeksi pada endometrium, mastitis, traktus genetalis ataupun
sistem lain. Apabila kenaikan suhu di atas 38 derajat celcius, waspada terhadap infeksi post partum.

Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali per menit. Pasca melahirkan, denyut nadi
dapat menjadi bradikardi maupun lebih cepat. Denyut nadi yang melebihi 100 kali per menit, harus
waspada kemungkinan infeksi atau perdarahan post partum.
Tekanan darah adalah tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri ketika darah dipompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah normal manusia adalah sistolik antara 90-
120 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg. Pasca melahirkan pada kasus normal, tekanan darah biasanya
tidak berubah. Perubahan tekanan darah menjadi lebih rendah pasca melahirkan dapat diakibatkan oleh

23
perdarahan. Sedangkan tekanan darah tinggi pada post partum merupakan tanda terjadinya pre
eklamsia post partum. Namun demikian, hal tersebut sangat jarang terjadi.

Frekuensi pernafasan normal pada orang dewasa adalah 16-24 kali per menit. Pada ibu post
partum umumnya pernafasan lambat atau normal. Hal ini dikarenakan ibu dalam keadaan pemulihan
atau dalam kondisi istirahat. Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut
nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan juga akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan
khusus pada saluran nafas. Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih cepat, kemungkinan
ada tanda-tanda syok.

B. Perubahan Psikologi

Menjadi orang tua adalah merupakan krisis dari melewati masa transisi. Masa transisi pada
postpartum yang harus diperhatikan adalah :

a) Phase Honeymoon
Phase Honeymoon ialah Phase anak lahir dimana terjadi intimasi dan kontak yang lama antara
ibu – ayah – anak. Hal ini dapat dikatakan sebagai “ Psikis Honeymoon” yang tidak memerlukan
hal-hal yang romantik. Masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan
hubungan yang baru.
b) Ikatan kasih ( Bonding dan Attachment )
Terjadi pada kala IV, dimana diadakan kontak antara ibu-ayah-anak, dan tetap dalam ikatan
kasih, penting bagi perawat untuk memikirkan bagaimana agar hal tersebut dapat terlaksana
partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk proses ikatan
kasih tersebut.
c) Phase Pada Masa Nifas
Phase “ Taking in “Perhatian ibu terutama terhadap kebutuhan dirinya, mungkin pasif dan
tergantung berlangsung 1 – 2 hari. Ibu tidak menginginkan kontak dengan bayinya tetapi bukan
berarti tidak memperhatikan. Dalam Phase yang diperlukan ibu adalah informasi tentang
bayinya, bukan cara merawat bayi.Phase “ Taking hold “ Phase kedua masa nifas adalah phase
taking hold ibu berusaha mandiri dan berinisiatif. Perhatian terhadap kemampuan mengatasi
fungsi tubuhnya misalnya kelancaran buang air besar hormon dan peran transisi. Hal-hal yang
berkontribusi dengan post partal blues adalah rasa tidak nyaman, kelelahan, kehabisan tenaga.
Dengan menangis sering dapat menurunkan tekanan. Bila orang tua kurang mengerti hal ini

24
maka akan timbul rasa bersalah yang dapat mengakibatkan depresi. Untuk itu perlu diadakan
penyuluhan sebelumnya, untuk mengetahui bahwa itu adalah normal.
d) Bounding Attachment
Bounding merupakan satu langkah awal untuk mengungkapkan perasaan afeksi ( kasih sayang )
Atachmen merupakan interaksi antara ibu dan bayi secara spesifik sepanjang waktu. Bounding
Atachmen adalah kontak awal antara ibu dan bayi setelah kelahiran, untuk memberikan kasih
sayang yang merupakan dasar interaksi antara keduanya secara terus menerus. Dengan kasih
sayang yang diberikan terhadap bayinya maka akan terbentuk ikatan antara orang tua dan
bayinya.
e) Respon Antara Ibu dan Bayinya Sejak Kontak Awal Hingga Tahap Perkembangannya.
Touch ( sentuhan ). Ibu memulai dengan ujung jarinya untuk memeriksa bagian kepala dan
ekstremitas bayinya. Dalam waktu singkat secara terbuka perubahan diberikan untuk membelai
tubuh. Dan mungkin bayi akan dipeluk dilengan ibu. Gerakan dilanjutkan sebagai gerakan
lembut untuk menenangkan bayi. Bayi akan merapat pada payudara ibu. Menggenggam satu jari
atau seuntai rambut dan terjadilah ikatan antara keduanya. Eye To Eye Contact ( Kontak Mata )
Kesadaran untuk membuat kontak mata dilakukan kemudian dengan segera. Kontak mata
mempunyai efek yang erat terhadap perkembangan dimulainya hubungan dan rasa percaya
sebagai factor yang penting sebagai hubungan manusia pada umumnya. Bayi baru lahir dapat
memusatkan perhatian pada suatu obyek, satu jam setelah kelahiran pada jarak sekitar 20-25
cm, dan dapat memusatkan pandangan sebaik orang dewasa pada usia kira-kira 4 bulan, perlu
perhatian terhadap factor-faktor yang menghambat proses tersebut
Mis ; Pemberian salep mata dapat ditunda beberapa waktu sehingga tidak mengganggu adanya
kontak mata ibu dan bayi. Odor ( Bau Badan ).
Indra penciuman bayi sudah berkembang dengan baik dan masih memainkan peranan dalam
nalurinya untuk mempertahankan hidup.
Penelitian menunjukan bahwa kegiatan seorang bayi, detak jantung dan pola bernapasnya
berubah setiap kali hadir bau yang baru, tetapi bersamaan makin dikenalnya bau itu sibayipun
berhenti bereaksi. Pada akhir minggu I seorang bayi dapat mengenali ibunya dari bau badan dan
air susu ibunya.
Indra Penciuman bayi akan sangat kuat, jika seorang ibu dapat memberikan bayinya ASI pada
waktu tertentu. Body Warm ( Kehangatan Tubuh )
Jika tidak ada komplikasi yang serius seorang ibu akan dapat langsung meletakan bayinya diatas

25
perut ibu, baik setalah tahap kedua dari proses melahirkan atau sebelum tali pusat dipotong.
Kontak yang segera ini memberikan banyak manfaat baik bagi ibu maupun sibayi kontak kulit
agar bayi tetap hangat. Voice ( Suara )
Respon antara ibu dan bayi berupa suara masing-masing orang tua akan menantikan tangisan
pertama bayinya. Dari tangisan tersebut ibu merasa tenang karena merasa bayinya baik ( hidup
).
Bayi dapat mendengar sejak dalam rahim, jadi tidak mengherankan bila ia dapat mendengar
suara-suara dan membedakan nada dan kekuatan sejak lahir, meskipun suara-suara itu
terhalang selama beberapa hari terhalang cairan amniotic dari rahim yang melekat pada telinga.
Banyak Penelitian memperhatikan bahwa bayi-bayi baru lahir bukan hanya mendengar secara
pasif melainkan mendengarkan dengan sengaja dan mereka nampaknya lebih dapat
menyesuaikan diri dengan suara-suara tertentu daripada yang lain. Entrainment ( gaya bahasa )
BBL menemukan perubahan struktur pembicaraan dari orang dewasa artinya perkembangan
bayi dalam bahasa dipengaruhi diatur, jauh sebelum ia menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi ( komunikasi yang positip ). Biorhytmicity ( Irama Kehidupan )
Janin dalam rahim dapat dikatakan menyesuaikan dengan irama alamiah ibunya seperti halnya
denyut jantung. Salah satu tugas bayi setelah adalah menyesuaikan irama dirinya sendiri. Orang
tua dapat membantu proses ini dengan memberikan perawatan penuh kasih yang secara
konsisten dan dengan menggunakan tanda bahaya untuk mengembangkan respon bayi dan
interaksi social serta kesempatan untuk belajar.

Perubahan psikologi masa nifas menurut Reva- Rubin terbagi menjadi dalam 3 tahap yaitu:

a) Periode Taking In

Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan.Dalam masa ini terjadi interaksi dan kontak yang
lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini dapat dikatakan sebagai psikis honey moon yang tidak
memerlukan hal-hal yang romantis, masing-masing saling memperhatikan bayinya dan menciptakan
hubungan yang baru.

b) Periode Taking Hold

26
Berlangsung pada hari ke – 3 sampai ke- 4 post partum. Ibu berusaha bertanggung jawab terhadap
bayinya dengan berusaha untuk menguasai ketrampilan perawatan bayi. Pada periode ini ibu
berkosentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya, misalnya buang air kecil atau buang air besar.

c) Periode Letting Go

Terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada masa ini ibu mengambil tanggung jawab terhadap bayi (
Persis Mary H, 1995: )

Sedangkan stres emosional pada ibu nifas kadang-kadang dikarenakan kekecewaan yang berkaitan
dengan mudah tersinggung dan terluka sehingga nafsu makan dan pola tidur terganggu. Manifestasi ini
disebut dengan post partum blues dimana terjadi pada hari ke 3-5 post partum ( Ibrahim C S, 1993: 50) .
Kadangkala ibu merasakan kesedihan karena kebe-basan, otonomi, interaksi sosial, kemandiriannya
berkurang. Hal ini akan mengakibatkan depresi pasca-persalinan (depresi postpartum). Berikut ini
gejala-gejala depresi pasca-persalinan:

 Sulit tidur, bahkan ketika bayi sudah tidur


 Nafsu makan hilang
 Perasaan tidak berdaya atau kehilangan control
 Terlalu cemas atau tidak pcrhatian sama sekali pada bayi
 Tidak menyukai atau takut menyentuh bayi
 Pikiran yang menakutkan mengenai bayi
 Sedikit atau tidak ada perhatian terhadap penampilan pribadi
 Gejala fisik seperti banyak wanita sulit bernafas atau perasaan berdebar-debar.

Jika ibu mengalami gejala-gejala tersebut sebaiknnya ibu meberitahu suami, bidan, atau dokter.
Penyakit ini dapat disembuhkan dengan obat-obatan dan konsultasi dengan psikiater. Jika depresi
berkepanjangan ibu perlu mendapatkan petawatan di rumah Sakit.

Kemurungan masa nifas normal saja dan disebabkan perubahan dalam tubuh seorang wanita
selama kehamilan serta perubahan dalam irama/cara kehidupannya sedah bayi lahir. Seorang ibu lebih
beresiko mengalami kemurungan pasca salin, karena ia masili muda mempunyai masalah dalam
menyusui bayinya. Kemurungan pada masa nifas merupakan hal yang umum, dan bahwa perasaan-
perasaan demikian biasanya hilang sendiri dalam dua minggu sesudah melahirkan.

27
Ada tiga fase penyesuaian Ibu terhadap perannya sebagai orang tua yaitu :
i. Fase Dependen
Selama satu atau dua hari pertama setelah melahirkan, ketergantungan ibu menonjol. Pada
waktu ini ibu mengharapkan segala kebutuhannya dapat dipenuhi orang lain. Rubin (1961)
menetapkan periode ini sebagai fase menerima (taking-in phase), suatu waktu dimana ibu
memerlukan perlindungan dan perawatan (Bobak dkk., 2004).
ii. Fase Dependen-Mandiri
Apabila ibu telah menerima asuhan yang cukup selama beberapa jam atau beberapa hari
pertama setelah persalinan, maka pada hari kedua atau ketiga keinginan untuk mandiri timbul
dengan sendirinya. Secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat perawatan dan
penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri.
Keadaan ini disebut juga fase taking-hold yang berlangsung kira-kira sepuluh hari (Bobak dkk.,
2004).
iii. Fase Interdependen
Pada fase ini perilaku interdependen muncul, ibu dan para anggota keluarga saling berinteraksi.
Hubungan antar pasangan kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase yang disebut juga
letting-go ini merupakan fase yang penuh stres bagi orangtua. Suami dan Istri harus
menyesuaikan efek dan perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah
dan membina karier (Bobak dkk., 2004).

PENYAKIT PADA IBU POST PARTUM

a. Perdarahan post partum

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir
pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan
menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan
perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil,
hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL 2.

28
Perdarahan post partum dibagi menjadi :

 Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum hemorrhage) :
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala
III.
 Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage)
: Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium)
tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.

Etiologi

Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:

 Atonia uteri
 Luka jalan lahir
 Retensio plasenta
 Gangguan pembekuan darah

Insidensi

Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh
persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian
berkisar antara 5% sampai 15%5. Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:

 Atonia uteri 50 – 60 %
 Sisa plasenta 23 – 24 %
 Retensio plasenta 16 – 17 %
 Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
 Kelainan darah 0,5 – 0,8 %

Penilaian Klinik

Tabel . Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok

29
Volume Kehilangan Tekanan Darah
Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah (sistolik)
500-1.000 mL
Palpitasi,
Normal Terkompensasi
takikardia, pusing
(10-15%)
1000-1500 mL (15- Penurunan ringan (80- Lemah, takikardia,
Ringan
25%) 100 mm Hg) berkeringat
1500-2000 mL (25- Penurunan sedang Gelisah, pucat,
Sedang
35%) (70-80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL (35- Penurunan tajam (50- Pingsan, hipoksia,
Berat
50%) 70 mm Hg) anuria

Tabel. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek.
Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir
Lemah
Uterus berkontraksi dan keras
Menggigil
Plasenta lengkap

Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan

Perdarahan segera Inversio uteri akibat

30
Uterus berkontraksi dan keras tarikan

Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak
berkurang
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri

Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung

Tampak tali pusat (bila plasenta


belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
fragmen plasenta
Nyeri tekan perut bawah dan Demam
(terinfeksi atau tidak)
pada uterus

Perdarahan sekunder

Kriteria Diagnosis

Pemeriksaan fisik: Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat,
kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus

Pemeriksaan obstetri: Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila
kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir

Pemeriksaan ginekologi: Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi
uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta

Faktor Resiko

 Penggunaan obat-obatan (anestesi umum, magnesium sulfat)


 Partus presipitatus

31
 Solutio plasenta
 Persalinan traumatis
 Uterus yang terlalu teregang (gemelli, hidramnion)
 Adanya cacat parut, tumor, anomali uterus
 Partus lama
 Grandemultipara
 Plasenta previa
 Persalinan dengan pacuan
 Riwayat perdarahan pasca persalinan

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah
10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk. Pemeriksaan golongan darah dan tes
antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal. Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi
seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
b. Pemeriksaan radiologi
Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang
tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan.
Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendalan
darah dan retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi
pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

Penatalaksanaan

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi
dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan
penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.

Resusitasi cairan

32
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk
menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan
akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan
resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat
tinggi. Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl)
atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi
darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan
pengunaan cairan Ringer Laktat. Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran
pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian
4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi
pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan
mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil
yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani.
Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah. Cairan
koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada
hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta
resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.

Transfusi Darah

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan
melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan
resusitasi cepat. PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para
klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah
yang tersedia dalam keadaan gawat. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat
sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan
menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk
tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan3.

33
Tabel. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol


Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1L IM atau IV (lambat): Oral atau rektal 400
pemberian awal larutan garam 0,2 mg mg
fisiologis dengan
tetesan cepat IM: 10
U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal

fisiologis dengan Bila masih


diperlukan, beri
40 tetes/menit
IM/IV setiap 2-4 jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg (5 dosis) Total 1200 mg atau 3
per hari larutan fisiologis dosis
Kontraindikasi Pemberian IV secara Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi
atau hati-hati cepat atau bolus kordis, hipertensi
Asma

Pencegahan

Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat
menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan
kombinasi dari hal-hal berikut:

a) Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.


b) Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
c) Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan
baik

34
Penanganan Perdarahan Post Partum Berdasarkan Penyabab

A. ATONIA UTERI

I. Definisi

Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan
memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi
segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan
hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik.

II. Etiologi

Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri.
Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan
plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir

35
.Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai
akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi,
nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis,
septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia
akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor
resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum.

III. Penatalaksanaan

a) Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri


b) Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan
berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
c) Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon
uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
d) Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah
telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan
berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila
belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
e) Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina
untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan
berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap
terjadi , coba kompresi aorta abdominalis
f) Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut,genggam tangan
kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga
mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat
mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan
yang terjadi

36
g) Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin
F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu
pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
h) Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam.
Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang
belum punya anak atau muda sekali)
i) Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

Penilaian Klinik Atonia Uteri

RETENSIO PLASENTA

I. Definisi

Retensio plasenta adalah


tertahannya atau belum
lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan
pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

II. Klasifikasi

37
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain

a) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan
miometrium
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan
miometrium
d) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
e) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri

I. Penatalaksanaan

Retensio plasenta dengan separasi parsial

a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil
b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi,
coba traksi terkontrol tali pusat.
c) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu,
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin
karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum
uteri)
d) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati
dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
e) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
f) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral)
g) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik

Plasenta inkarserata

a) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan

38
b) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks dan
melahirkan plasenta
c) Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam
500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang
diakibatkan bahan anestesi tersebut
d) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan manuver
sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV
atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah

Plasenta akreta

a) Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila
tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang
dalam
b) Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis,
stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan
operatif

Bagan II.3.
Penilaian
Klinik Plasenta
Akreta

39
Sisa Plasenta

a) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan


plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut,
sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah
beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
b) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih
adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g
supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral
c) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan.
Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi
dan kuretase
d) Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan sulfas ferosus 600
mg/hari selama 10 hari

LASERASI JALAN LAHIR

1. Ruptura perineum dan robekan dinding vagina


Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam :
 Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum
 Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan
melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
 Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter
ani eksternus terputus di depan
 Robekan serviks

40
II. Faktor Resiko

 Makrosomia
 Malpresentasi
 Partus presipitatus
 Distosia bahu

III. Penatalaksanaan

Ruptura perineum dan robekan dinding vagina

a) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan


b) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
c) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
d) Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator Khusus pada ruptura
perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan busi pada rektum, sbb: Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada
rektum hingga ujung robekan. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit
kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0. Lanjutkan penjahitan ke
lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara
jelujur. Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler. Berikan
antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika
hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat
tanda-tanda infeksi yang jelas

Robekan serviks

a) Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
b) Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyakmaka segera
lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
c) Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera
dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan.

41
Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat
dijahit
d) Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan
pasca tindakan
e) Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f) Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan transfusi darah

Bagan II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika2

42
KELAINAN DARAH

I. Etiologi

Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah
perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran
penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat
menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama
trauma. Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia
dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio
plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar

43
merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis. Abnormalitas sistem pembekuan
yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi
abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan
dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen
meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang
tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC. DIC juga
dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan
dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).

II. Penatalaksanaan

Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan post
partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti
solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.

Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan
penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat esensial. Perlu saran dari
ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan koagulopati. Konsentrat trombosit yang diturunkan dari
darah donor digunakan pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran
trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 –
10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas
atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung
trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau
diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa
paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.

Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan
fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi
antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum
terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.

44
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam
penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini
tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis4.

INFEKSI NIFAS

PRINSIP DASAR

Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan disebut infeksi nifas. Suhu 38°C atau
lebih yang terjadi antara hari ke 2 – 10 postpartum dan diukur per oral sedikitnya 4 kali sehari disebut
sebagai morbiding puerperalis. Kenaikan suhu tubuh yang terjadi di dalam masa nifas, dianggap sebagai
infeksi nifas jika tidak ditemukan sebab-sebab ekstragenital.

Beberapa faktor predisposisi:

 kurang gizi atau malnutrisi


 anemia
 hygiene
 kelelahan
 proses persalinan bermasalah: partus lama/macet, korioamnionitis, persalinan traumatik,
kurang baiknya proses pencegahan infeksi, periksa dalam yang berlebihan.

PENILAIAN KLINIK
Gejala dan tanda yang selalu Gejala lain yang mungkin
Kemungkinan diagnosis
didapat didapat

Nyeri perut bagian bawah Perdarahan pervaginam Metritis


Lokhia purulen dan berbau
Syok (Endometritis /
Uterus tegang dan Endomiometritis)
Peningkatan sel darah putih,

45
subinvolusi terutama polimorfonuklear

Nyeri perut bagian bawah Dengan antibiotik tidak Abses pelvik


membaik
Pembesaran perut bawah
Pembengkakan pada
Demam terus menerus
adneksa atau kavum Douglas

Nyeri perut bagian bawah Perut yang tegang (rebound Peritonitis


tenderness)
Bising usus tidak ada
Anoreksia/muntah

Nyeri payudara dan tegang Payudara yang mengeras dan Bendungan pada payudara
membesar (pada kedua
payudara)

Biasanya terjadinya antara


hari 3-5 pascapersalinan

Nyeri payudara dan Ada inflamasi yang didahului Mastitis


tegang/bengkak bendungan

kemerahan yang batasnya


jelas pada payudara

Biasanya hanya satu


payudara

Biasanya terjadi antara 3 – 4


minggu pascapersalinan

Payudara yang tegang dan Pembengkakan dengan Abses payudara


padat kemerahan adanya fluktuasi

Mengalir nanah

46
Nyeri pada luka / irisan dan Luka/irisan pada perut dan Selulitis pada luka (perineal /
tegang/indurasi perineal yang
Abdominal)
mengeras/indurasi

Keluar pus

Kemerahan

Luka yang mengeras disertai pengeluaran Abses atau hematoma pada luka insisi
cairan serous atau kemerahan dari luka;
tidak ada / sedikit erithema dekat luka insisi

Disuria Nyeri dan tegang pada Infeksi pada traktus urinarius


daerah pinggang

Nyeri suprapublik

Uterus tidak mengeras

Menggigil

Demam yang tinggi walau Ketegangan pada otot kaki Thrombosis vena dalam
mendapat antibiotika (deep vein thrombosis) (a)
Komplikasi pada paru, ginjal,
menggigil persendian, mata dan Thromboflebitis:
jaringan subkutan

- pelviotrombo-flebitis

- Femoralis

METRITIS
Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab terbesar
kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses pelviks, peritonitis,

47
syok septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvik yang menahun, dispareunia,
penyumbatan tuba dan infertilitas.

a) Berikan transfusi bila dibutuhkan (Packed Red Cell).


b) Berikan antibiotika spektrum luas dalam dosis yang tinggi.
Ampisilin 2 g IV, kemudian 1 g setiap 6 jam ditambah Gentamisin 5 mg/kg berat badan IV dosis
tunggal/hari dan Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak
panas selama 24 jam.
c) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis.
d) Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan kuret tumpul
besar).
e) Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi Fowler.
f) Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis generalisata
lakukan laparotomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septik lakukan
histerektomi subtotal.

BENDUNGAN PAYUDARA
Bendungan payudara adalah peningkatan aliran vena dan limfe pada payudara dalam rangka
mempersiapkan diri untuk laktasi. Hal ini bukan disebabkan overdistensi dari saluran sistem laktasi.
Bila ibu menyusui bayinya:
a) Susukan sesering mungkin
b) Kedua payudara disusukan.
c) Kompres hangat payudara sebelum disusukan.
d) Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui.
e) Sangga payudara.
f) Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui.
g) Bila demam tinggi berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
h) Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengetahui hasilnya.

48
Bila ibu tidak menyusui:

a) Sangga payudara.
b) Kompres dingin payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit.
c) Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
d) Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.
e) Pompa dan kosongkan payudara.

INFEKSI PAYUDARA

Mastitis
Payudara tegang / indurasi dan kemerahan
a) Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum terbentuk abses
biasanya keluhannya akan berkurang.
b) Sangga payudara.
c) Kompres dingin.
d) Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
e) Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada pus.
f) Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.

Abses Payudara
Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang kemerahan.
a) Diperlukan anestesi umum (ketamin).
b) Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak memotong saluran ASI.
c) Pecahkan kantung pus dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.
d) Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
e) Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
f) Sangga payudara.
g) Kompres dingin.
h) Berikan Parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
i) Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
j) Lakukan follow up setelah pemberian pengobatan selama 3 hari.

49
ABSES PELVIS
a) Bila pelviks abses ada tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac, lakukan kolpotomi atau
dengan laparotomi. Ibu posisi Fowler.
b) Berikan antibiotika spektrum luas dalam dosis yang tinggi
Ampisilin 2 g IV kemudian 1 g setiap 6 jam, ditambah Gentamisin 5 mg/kg berat badan IV dosis
tunggal/hari dan Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak
panas selama 24 jam.

PERITONITIS
a) Lakukan pemasangan selang nasogastrik bila perut kembung akibat ileus.
b) Berikan infus (NaCL atau Ringer laktat) sebanyak 3000 ml.
c) Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam: Ampisilin 2 g IV, kemudian 1 g setiap 6
jam, ditambah Gentamisin 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan Metronidazol 500 mg
IV setiap 8 jam.
d) Laparotomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritoneal lavage) bila terdapat kantong
abses.

INFEKSI LUKA PERINEAL DAN LUKA ABDOMINAL


Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik.

a) Bedakan antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan wound cellulitis.
Wound abcess, wound seroma dan wound hematoma suatu pengerasan yang tidak biasa dengan
mengeluarkan cairan serous atau kemerahan dan tidak ada/sedikit erithema sekitar luka insisi.
Wound cellulitis didapatkan erithema dan edema meluas mulai dari tempat insisi.
b) Bila didapat pus dan cairan pada luka, buka jahitan dan lakukan pengeluaran serta kompres
antiseptik.
c) Daerah jahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridemen.
d) Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika.
e) Bila infeksi relatif superfisial, berikan Ampisilin 500 mg per oral selama 6 jam dan Metronidazol
500 mg per oral 3 kali/hari selama 5 hari.

50
f) Bila infeksi dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis, beri Penisilin G 2 juta U IV
setiap 4 jam (atau Ampisilin inj 1 g 4 x/hari) ditambah dengan Gentamisin 5 mg/kg berat badan
per hari IV sekali ditambah dengan Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam, sampai bebas panas
selama 24 jam. Bila ada jaringan nekrotik harus dibuang. Lakukan jahitan sekunder 2 – 4 minggu
setelah infeksi membaik.
g) Berikan nasehat kebersihan dan pemakaian pembalut yang bersih dan sering ganti.

TROMBOFLEBITIS
Perluasan infeksi nifas yang paling sering ialah perluasan atau invasi mikroorganisme patogen yang
mengikuti aliran darah di sepanjang vena dan cabang-cabangnya sehingga terjadi tromboflebitis.
Klasifikasi :

Pelviotromboflebitis

Pelviotromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum latum, yaitu vena ovarika,
vena uterina dan vena hipogastrika. Vena yang paling sering terkena ialah vena ovarika dekstra
karena infeksi pada tempat implantasi plasenta terletak di bagian atas uterus; proses biasanya
unilateral. Perluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ialah ke vena renalis, sedangkan perluasan
inveksi dari vena ovarika dekstra ialah ke vena kava inferior. Peritoneum, yang menutupi vena
ovarika dekstra, mengalami inflamasi dan akan menyebabkan perisalpingo-ooforitis dan
periapendisitis. Perluasan infeksi dari vena utruna ialah ke vena iliaka komunis. Nyeri, yang terdapat
pada perut bagian bawah dan/atau perut bagian samping, timbul pada hari ke 2 – 3 masa nifas
dengan atau tanpa panas. Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik sebagai
berikut:

a) menggigil berulang kali. Menggigil inisial terjadi sangat berat (30 – 40 menit) dengan interval
hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari. Pada waktu menggigil penderita hampir
tidak panas.
b) Suhu badan naik turun secara tajam (36°C menjadi 40°C), yang diikuti dengan penurunan suhu
dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis).
c) Penyakit dapat berlangsung selama 1 – 3 bulan.
d) Cenderung berbentuk pus, yang menjalar ke mana-mana, terutama ke paru-paru.

51
e) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi, dapat segera terjadi
leukopenia).
f) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat yang tepat sebelum mulainya menggigil.
Meskipun bakteri ditemukan di dalam darah selama menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat
karena bakterinya adalah anaerob.
g) Pada periksa dalam hampir tidak diketemukan apa-apa karena yang paling banyak terkena ialah
vena ovarika yang sukar dicapai pada pemeriksaan.

Komplikasi

 Komplikasi pada paru-paru: infark, abses, pneumonia,


 Komplikasi pada ginjal sinistra, nyeri mendadak, yang diikuti dengan proteinuria dan hematuria
 Komplikasi pada persendian, mara dan jaringan subkutan.

Penanganan
Rawat inap

Penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakit dan mencegah terjadinya emboli pulmonum.
Terapi medik

Pemberian antibiotika (lihat antibiotika kombinasi dan alternatif, seperti yang tercantum dalam
penatalaksanaan metritis) dan heparin jika terdapat tanda-tanda atau dugaan adanya emboli
pulmonum.

Terapi operatif

Pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika emboli septik terus berlangsung sampai mencapai
paru-paru, meskipun sedang dilakukan heparinisasi.

Tromboflebitis femoralis

Trombofelbitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena femoralis, vena poplitea dan
vena safvena.

Penilaian klinik

52
a) Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7 – 10 hari, kemudian suhu mendadak
naik kira-kira pada hari ke 10 – 20, yang disertai dengan menggigil dan nyeri sekali.
b) Pada salah satu kaki yang terkena biasanya kaki kiri, akan memberikan tanda-tanda sebagai
berikut Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi ke luar serta sukar bergerak, lebih panas
dibanding dengan kaki lainnya. Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan
keras pada paha bagian atas.
c) Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha.
d) Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi bengkak, tegang, putih, nyeri dan
dingin, pulsasi menurun.
e) Edema kadang-kadang terjadi sebelum atau setelah nyeri dan pada umumnya terdapat pada
paha bagian atas, tetapi lebih sering dimulai dari jari-jari kaki dan pergelangan kaki, kemudian
meluas dari bawah ke atas.
f) Nyeri pada betis, yang akan terjadi spontan atau dengan memijit betis atau dengan
meregangkan tendo akhiles (tanda Homan).

Penanganan

Perawatan

Kaki ditinggikan untuk mengurangi edema, lakukan kompres pada kaki. Setelah mobilisasi kaki
hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos kaki panjang yang elastik selama mungkin.

a) Mengingat kondisi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.


b) Terapi medik: pemberian antibiotika dan analgetika.

53

Anda mungkin juga menyukai