Masa nifas (puerperium) secara tradisional didefinisikan sebagai periode 6 minggu segera setelah
lahirnya bayi dan mencerminkan periode saat fisiologi ibu, terutama sistem reproduksi, kembali
mendekati keadaan sebelum hamil. Pengertian lainnya, puerperium adalah masa sejak persalinan
selesai dan berakhir setelah 6 minggu, dimana alat-alat reproduksi berangsur-angsur kembali
seperti normal.
II. INVOLUSI DAN SUBINVOLUSI UTERUS
Masa nifas berawal segera setelah plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus. Oksitosin yang
disekresikan kelenjar hipofisis posterior menginduksi kontraksi miometrium yang intermitten dan
kuat, dank arena rongga uterus sudah kosong, maka keseluruhan uterus berkontraksi penuh ke
arah bawah dan dinding uterus kembali menyatu berhadapan satu sama lain. Sekitar 1 jam pasca
persalinan, miometrium sedikit melemas, tetapi perdarahan aktif dihambat oleh aktivasi
mekanisme pembekuan darah, yang selama kehamilan mengalami perubahan besar, untuk
menghasilkan respon pembekuan yang cepat. Involusi uterus berlangsung sedemikian cepat
sehingga 50% dari massa total jaringan lenyap dalam 1 minggu.
Ukuran sel miometrium berkurang dan uterus kembali hampir ke ukuran prahamilnya, walaupun
proporsi jaringan ikat yang ada di uterus secara progresif meningkat seiring dengan jumlah
kehamilan. Involusi berlangsung lambat pada wanita yang menjalani SC segmen bawah. Involusi
uterus yang berlangsung lambat (sub-involusi) mengindikasikan adanya retensi produk konsepsi
dan atau infeksi sekunder, yang biasanya ditandai dengan adanya lochia rubra yang terus-menerus
keluar disertai bau menusuk.
Involusi adalah perubahan-perubahan alat genetalia interna dan eksterna yang berangsur-angsur
pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.
a) Setelah 24 jam pertama, suhu di atas 370C lebih dari 1 hari. Tetapi kenaikan suhu tubuh temporal
hingga 410C tepat seusai melahirkan (karena dehidrasi) atau demam ringan tidak lebih dari 380C pada
waktu air susu mulai keluar tidak perlu dikhawatirkan.
b) Rasa sakit atau tidak nyaman, dengan atau tanpa pembengkakan, di area abdominal bawah usai
beberapa hari melahirkan.
c) Rasa sakit yang tak kunjung reda di daerah perineal, setelah beberapa hari pertama.
d) Bengkak di tempat tertentu dan/atau kemerahan, panas, dan keluar darah di tempat insisi Caesar.
e) Rasa sakit di tempat tertentu, bengkak, kemerahan, panas, dan rasa lembek pada payudara begitu
produksi penuh air susu mulai berkurang yang bisa berarti tanda-tanda mastitis.
Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan disebut infeksi nifas. Suhu 380C atau lebih
yang terjadi antara hari ke 2- 10 postpartum dan diukur per oral sedikitnya 4 kali sehari disebut sebagai
morbiditas puerperalis. Kenaikan suhu pada masa nifas dianggap sebagai infeksi nifas apabila tidak
ditemukan sebab-sebab ekstragenital
Infeksi peurperium adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran reproduksi selama persalinan atau
puerperium (Varney, 2008). Penyebab predisposisi infeksi nifas:
Organisme infeksius pada infeksi puerperium berasal dari tiga sumber yaitu organisme yang normalnya
berada dalam saluran genetalia 16 bawah atau dalam usus besar, infeksi saluran genetalia bawah, dan
bakteri dalam nasofaring atau pada tangan personel yang menangani persalinan atau di udara dan debu
lingkungan. Tanda dan gejala infeksi nifas: Tanda dan gejala infeksi umumnya termasuk peningkatan
suhu tubuh, malaise umum, nyeri, dan lokhia berbau tidak sedap. Peningkatan kecepatan nadi dapat
terjadi, terutama pada infeksi berat. Interpretasi kultur laboratorium dan sensitivitas, pemeriksaan lebih
lanjut, dan penanganan memerlukan diskusi dan kolaborasi dengan dokter (Varney, 2008).
Tanda dan gejala infeksi meliputi sebagai berikut: Nyeri lokal, disuria, suhu derajat rendah jarang, di atas
38,30C, edema, sisi jahitan merah dan inflamasi, mengeluarkan pus atau eksudat berwarna abu-abu
kehijauan, pemisahan atau terlepasnya lapisan luka operasi. Pencegahan terjadinya infeksi masa nifas:
a) Sesudah partus terdapat luka-luka dibeberapa tempat di jalan lahir. Pada hari-hari pertama
postpartum harus dijaga agar luka-luka ini tidak dimasuki kuman-kuman dari luar. Oleh sebab itu, semua
alat dan kain yang berhubungan dengan daerah genital harus suci hama.
b) Pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama dibatasi sedapat mungkin. 17
c) Setiap penderita dengan tanda-tanda infeksi jangan dirawat bersama dengan wanita-wanita dalam
masa nifas yang sehat (Winkjosastro, 2007).
Antibiotika mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas. Sudah barang
tentu jenis antibiotika yang paling baik adalah yang mempunyai khasiat yang nyata terhadap kuman-
kuman yang menjadi penyebab infeksi nifas. Sebelum terapi dimulai, dilakukan pembiakan getah vagina
serta serviks dan kemudian dilakukan tes-tes kepekaan untuk menentukan terhadap antibiotik mana
kuman-kuman yang bersangkutan peka. Karena pemeriksaan ini memerlukan waktu, maka pengobatan
perlu dimulai tanpa menunggu hasilnya. Dalam hal ini dapat diberikan penicilin dalam dosis tinggi atau
antibiotika dengan spektrum luas (broad spectrum antibiotics) seperti ampicillin, dan lainlain. Setelah
pembiakan serta tes-tes kepekaan diketahui, dapat dilakukan pengobatan yang paling sesuai. Di
samping pengobatan dengan antibiotika, tindakan-tindakan untuk mempertinggi daya tahan tubuh
tetap perlu dilakukan. Perawatan baik sangat penting, makanan yang mengandung zat-zat yang
diperlukan hendaknya diberikan dengan cara yang cocok dengan keadaan penderita, dan bila perlu
transfusi darah dilakukan (Winkjosastro, 2007)
Endometrtiis
Endometritis Jenis infeksi yang paling sering adalah endometritis. Kumankuman memasuki
endometrium, biasanya pada luka bekas insersio plasenta, dan dalam waktu singkat mengikutsertakan
seluruh endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak seberapa patogen, radang terbatas pada
endometrium. Jaringan desidua bersama-sama dengan bekuan darah menjadi nekrotis dan
mengeluarkan getah berbau dan terdiri atas keping-keping nekrotis serta cairan. Pada batas antara
daerah yang meradang dan daerah sehat terdapat lapisan terdiri atas leukosit-leukosit. Pada infeksi yang
lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran.
Syok
Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah kedalam jaringan sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme
(Sarwono, 2012).
Penyebab syok dalam kebidanan terbanyak adalah perdarahan, lalu neurogenik, kardiogenik,
endotoksik, anafilaktik dan penyebab syok lain seperti emboli air ketuban.
Gejala klinis pada umumnya sama yaitu tekanan darah turun, nadi cepat lemah, pucat keringat dingin,
sianosis jari, sesak, penglihatan kabur, gelisah dan oligouri.
Sifat khas syok dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, syok dibagi menjadi 3 tahapan yaitu :
a. Tahap nonprogresif (disebut juga tahap kompensasi). Pada tahap ini mekanisme kompensasi
sirkulasi yang normal pada akhirnya akan menimbulkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari
luar.
b. Tahap progresif. Pada tahap ini, tanpa terapi, syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap irreversibel. Ketika syok telah jauh berkembang sedemikan rupa sehingga semua bentuk
terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong pasien, meskipun pada saat itu, orang tersebut masih
hidup.
Syok sepsis
Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh lepasnya toksin. Penyebab
utama adalah infeksi bakteri gram negative. Sering dijumpai pada abortus septik, korioamnionitis, dan
infeksi pasca persalinan (Sarwono, 2008).
Syok septik adalah keadaan kolapsnya sirkulasi yang disertai dengan diseminasi intravaskular bakteri
atau produknya.
Syok septik dapat terjadi karena infeksi bakteri gram positif, virus, atau jamur. Kebanyakan syok septik
karena bakteri gram negative : Escherichia coli, pseudomonas aeroginos, bacterioid, klebsiella species,
dan serratia. Escherichia coli, pseudomonas aeroginos, bacterioid yang mengeluarkan endotoksin adalah
fosfo-lipo-polisakarida yang lepas dari dinding sel yang mengalami lisis. Gambaran yang sama juga
terjadi karena eksotoksin dari streptokokus beta hemolitik, anaerob, dan klostridia.
Syok septik dalam obstetric dapat disebabkan oleh hal – hal berikut :
1) Abortus septik
2) Ketuban pecah yang lama / korioamnionitis
3) Infeksi pascapersalinan : manipulasi dan instrumentasi
4) Trauma
5) Sisa plasenta
6) Sepsis puerperalis
7) Pielonefritis akuta
Pathogenesis
Mikroorganisme mengeluarkan endotoksin yang dapat mengaktifkan system komplemen
dan sitoksin, mengawali reaksi inflamasi. Kejadian ini berhubungan dengan DIC yang
ekstensif karena antiplasmin tidak dapat mengatasinya. Sepsis menyebabkan vasodilatasi,
tahanan perifer pembuluh darah menurun., dan hipotensi. Selanjutnya distribusi aliran
darah kurang / jelek sehingga perfusi darah ke organ tidka adekuat menyebabkan
kerusakan jaringan multi organ dan kematian. Mediator inflamasi meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari pembuluh darah, khusus pada parenkim
paru akan menyebabkan edema pulmonum.
Selama sepsis produksi surfaktan pneumosit akan terganggu yang menyebabkan alveolus
kolaps dan mengakibatkan hipoksemia berat yang disebut acute respiratory distreaa
syndrome (ARDS).
Endotoksin lepas karena meningkatnya permiabilitas lisosomal dan sitotoksik. Selanjutnya
dalam beberapa menit dapat terjaid stimulasi medulla adrenal dan saraf simpatis serta
kontriksi arteriol dan venul. Selanjutnya menyebabkan asidosis local yang dpaat
menyebabkan dilatasi anteriol, tetapi kontriksi venul jika berlanjut terus mengakibatkan
pembendungan darah kapiler , perdarahan karena pembendungan pada gaster, hati, ginjal
dan paru.
Factor resiko
Ketuban pecah yang lama, sisa konsepsi yang tidak keluar dan instrumentasi saluran
urogenital merupakan faktor resiko yang lain untuk terjadinya sepsis. Syok septik akan
menunjukkan gejala-gejala seperti menggigil, hipotensi, gangguan mental, takikardia,
takipnea, dan kulit merah. Bila syok tambah berat, akan terjadi kulit dingin dan basah,
bradikardia dan sianosis.
Penggunaan mifeprison intravaginal pada abortus medicinalis dapat menyebabkan syok
septik yang fulminant dan letal disebabkan infeksi clostridium sordeli pada
endometrium, suatu bakteri gram positif dan mengeluarkan toksin.
Mifeprison mempengaruhi pengeluaran dan fungsi kortisol dan sitokin dengan jalan
menduduki (blocking) reseptor progesterone dan glukokortikoid . Kegagalan
pengeluaran kortisol dan sitokin akan menghambat mekanisme pertahanan tubuh yang
dibutuhkan untuk menghambat penyebaran infeksi C sordeli dalam endometrium.
Pelepasan eksotoksin dan endotoksin dari C sordeli akan mempercepat terjadi nya syok
septik yang letal.
Gejala klinis
Syok septik (endotoksik) terjadi dalam 2 fase utama yaitu fase refersibel dan fase irrifersibel, Sedamgkan
fase refersibel terdiri atas fase panas dan fase dingin. Fase panas disertai dengan gejala-gejala
hipotensi, takikardi, pireksia dan menggigil. Kulit kelihatan merah dan panas. Pasien biasa nya
masih sadar dan leukositosis terjadi dalam beberapa jam.
Pada fase dingin dijumpai gejala dan tanda-tanda kulit dingin dan mengeriput, sianosis,
purpura,/jaundice, penurunan kesadaran yang progresis dan koma
Selanjutnya bila syok berlanjut terus pasien akan jatuh kedalam fase irrefersibel dimana terjadi hipoksia
sel yang berkepanjangan yang menyebabkan gejala asidosis metabolic, gagal ginjal akut, gagal
jantung, edeme pulmonum, gagal adrenal dan kematian.
Tatalaksana
Early goal directed treatment --> merupakan tatalaksana syok septik 6 jam pertama,
dengan pemberian terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan
kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand. Protokol tersebut mencakup pemberian
cairan kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP)
8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor
hingga >65 mmHg dan bila MAP >90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi
vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit hingga di atas 30 %.
Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun ScvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik.
Inotropik diturunkan bila MAP >65 mmHg, atau frekuensi jantung >120x/menit
Tata laksana syok sepik meliputi banyak factor yang harus dipenuhi:
Perbaikan Hemodinamik --> Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan volume
intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah.
Cairan koloid dan kristaloid diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara
antara 10-12 mmHg. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-
2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila
dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12
mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin
(dosis 5-10 μg/kg/menit sampai maksimal 20 μg/kg/menit). Dopamin diberikan bila sudah tercapai
target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5
μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit,
tetapi di kombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih
gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau
epinefrin).
Pemakaian Antibiotik --> Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu
menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana
lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil.
Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur
dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang
hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ. Pemberian
antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan indikasi :
dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (pseudomonas aeruginosa,
enterococcus).'
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis.
Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombiasi lebih baik daripada
monoterapi
Terapi suportif
Oksigenasi --> Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Terapi cairan, Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat)
maupun koloid, Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan, Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan
aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
Vasopresor dan Inotropik --> Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat
dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit
atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine
3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone)
Bikarbonat --> Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik
Disfungsi renal --> Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3
μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara
evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu.
Nutrisi --> Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis), ambilan
dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan
hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses
katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
Kontrol gula darah --> Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula
darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula
darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek
ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
Gangguan koagulasi --> Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan
renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
Kortikosteroid --> Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50
mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam
terapi sepsis.