Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN NIFAS

Masa nifas (puerperium) secara tradisional didefinisikan sebagai periode 6 minggu segera setelah
lahirnya bayi dan mencerminkan periode saat fisiologi ibu, terutama sistem reproduksi, kembali
mendekati keadaan sebelum hamil. Pengertian lainnya, puerperium adalah masa sejak persalinan
selesai dan berakhir setelah 6 minggu, dimana alat-alat reproduksi berangsur-angsur kembali
seperti normal.
II. INVOLUSI DAN SUBINVOLUSI UTERUS
Masa nifas berawal segera setelah plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus. Oksitosin yang
disekresikan kelenjar hipofisis posterior menginduksi kontraksi miometrium yang intermitten dan
kuat, dank arena rongga uterus sudah kosong, maka keseluruhan uterus berkontraksi penuh ke
arah bawah dan dinding uterus kembali menyatu berhadapan satu sama lain. Sekitar 1 jam pasca
persalinan, miometrium sedikit melemas, tetapi perdarahan aktif dihambat oleh aktivasi
mekanisme pembekuan darah, yang selama kehamilan mengalami perubahan besar, untuk
menghasilkan respon pembekuan yang cepat. Involusi uterus berlangsung sedemikian cepat
sehingga 50% dari massa total jaringan lenyap dalam 1 minggu.
Ukuran sel miometrium berkurang dan uterus kembali hampir ke ukuran prahamilnya, walaupun
proporsi jaringan ikat yang ada di uterus secara progresif meningkat seiring dengan jumlah
kehamilan. Involusi berlangsung lambat pada wanita yang menjalani SC segmen bawah. Involusi
uterus yang berlangsung lambat (sub-involusi) mengindikasikan adanya retensi produk konsepsi
dan atau infeksi sekunder, yang biasanya ditandai dengan adanya lochia rubra yang terus-menerus
keluar disertai bau menusuk.
Involusi adalah perubahan-perubahan alat genetalia interna dan eksterna yang berangsur-angsur
pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.

a. Uterus/Tinggi Fundus Uteri (TFU)


· Setelah janin lahir, TFU kira-kira setinggi pusat
· Setelah plasenta lahir, TFU kira-kira 2 jari di bawah pusat
· Hari ke-5 postpartum, TFU setinggi ½ dari jarak antara simfisis os pubis (SOP) dan pusat
· Hari ke-12 postpartum, TFU tidak teraba lagi
b. Berat Uterus
· 1 minggu postpartum : 500 gram
· 2 minggu postpartum : 350 gram
· 6 minggu postpartum : 40-80 gram
c. Miometrium
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah plasenta dilahirkan, sehingga pembuluh-pembuluh
darah yang berada diantara otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini dapat menghentikan
perdarahan.
d. Cerviks uteri
· Warna menjadi merah kehitam-hitaman karena penuh dengan pembuluh darah dan
konsistensinya lunak
· Postpartum 2 jam pembukaan 2-3 jari, namun setelah 1 minggu pembukaan tinggal 1 jari
· Setelah janin lahir, tangan bisa masuk cavum uteri. Oleh karena itu pada kasus retensio plasenta
dapat dilakukan manual plasenta.
e. Endometrium
· 2-3 hari postpartum, lapisan desidua akan mengalami nekrosis kemudian terlepas dan keluar
sebagai lochia, sedangkan lapisan bawah decidua mengandung kelenjar-kelenjar endometrium
baru
· Tempat implantasi plasenta mengalami degenerasi untuk kemudian terlepas lengkap dan tidak
menimbulkan jaringan parut
f. Ligamentum dan Diafragma Pelvis
Setelah janin dilahirkan, berangsur-angsur mengerut kembali seperti semula. Kadang ligamentum
menjadi kendor sehingga sering menimbulkan keluhan kandungan turun (prolaps uteri). Oleh
karena itu dianjurkan untuk melakukan senam nifas.
g. Luka-luka jalan lahir
Luka episiotomi yang telah dijahit, luka dinding vagina, luka cervikks akan sembuh sempurna
selama tidak luas dan tidak ada infeksi primer maupun sekunder.
h. Saluran kencing
Dinding saluran kencing memperlihatkan pembengkakan (edema) dan memerah (hiperemis).
Kadang dapat menimbulkan retensi urine. kandung kencing (vesica urinaria) dalam masa nifas
kurang sensitif dan kapasitasnya bertambah, sehingga kandung kencing penuh atau sesudah
kencing masih tinggal sisa urine. Sisa urine dan trauma pada dinding kandung kencing pada saat
persalinan dapat memudahkan terjadinya infeksi. Dilatasi ureter dan pyelum ginjal akan normal
kembali dalam waktu 2 minggu.
III. TAHAPAN PERUBAHAN LOKIA MASA NIFAS
Cairan yang pertama kali keluar dari vagina disebut lokia rubra dan terdiri atas darah yang
terkumpul di dalam saluran reproduksi dan produk autolitik desidua yang nekrotik dari tempat
perlekatan plasenta. Lokia adalah cairan normal masa nifas dan memiliki bau yang khas agak amis,
kecuali jika terjadi infeksi. Pengeluaran lokia dalam jumlah besar disertai bau menyengat, demam,
dan perasaan malaise merupakan indikasi infeksi intrauterine.
Tahapan perubahan lokia masa nifas :
a. Hari ke-1 sampai dengan ke-3 post partum : lochia rubra/cruenta, yang terdiri atas darah segar,
sisa selaput plasenta, sel-sel decidua, verniks kaseosa, lanugo dan meconium
b. Hari ke-3 sampai dengan ke-7 post partum : lochia sanguinolenta, berupa darah yang bercampur
lendir, warna merah kecoklatan
c. Hari ke-7 sampai dengan ke-14 post partum : lochia serosa, berupa cairan yang tidak mengandung
darah, namun banyak mengandung leukosit, mucus, sel epitel vagina, desidua nekrotik, bakteri non
patologis, warna coklat kekuningan
d. Hari ke-14 sampai dengan 6 minggu post partum : lochia alba, berupa cairan putih yang terdiri
dari sebagian besar cairan serosa dan leukosit.
IV. PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA IBU NIFAS
a. Perubahan Sistem Pencernaan
Selama persalinan, motilitas lambung berkurang akibat nyeri dan rasa takut. Penurunan tonus
sfingter esophagus bawah, penurunan motilitas lambung, dan peningkatan keasaman lambung
menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Kondisi ini dapat menyebabkan relaksasi
abdomen, peningkatan distensi gas, dan konstipasi segera setelah melahirkan.
Defekasi pertama biasanya terjadi dalam 2-3 hari pascapersalinan. Namun hal ini dapat
dipersulit dengan adanya hemoroid, yang menyebabkan gangguan defekasi. Akibat pengaruh
progesteron pada sistem vena, aliran darah mungkin melambat karena pembuluh darah menjadi
lebih berkelok-kelok.
Masalah konstipasi diperparah oleh atonia usus, otot abdomen yang melemah, asupan
makanan yang tidak teratur, dan dehidrasi akibat persalinan. Pada hari ke-10, fungsi usus harus
sudah kembali normal. Inkontinensia feses mungkin mengisyaratkan kerusakan sfingter anus atau
perbaikan yang tidak adekuat.
b. Perubahan Sistem Perkemihan
Trauma yang dialami oleh vesica urinaria (VU) selama persalinan biasanya menyebabkan
edema dan hiperemis vesica urinaria, yang tonus ototnya berkurang selama kehamilan. Perubahan
pada vesica urinaria dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi saluran kemih (ISK) pada masa
nifas. Trauma pada sfingter VU meningkatkan frekuensi inkontinensia stres, yang ditandai oleh
kebocoran urin saat pasien batuk, tertawa, melakukan gerakan mendadak, atau berolahraga.
Nyeri yang berkaitan dengan berkemih mungkin menandakan ISK. Dilatasi ureter, peregangan
berlebihan VU, serta instrumentasi atau persalinan dengan operasi, semuanya meningkatkan risiko
infeksi. Pada hari ke-10, fungsi VU harus diamati dan dinilai, seharusnya tidak lagi ditemukan tanda
inkontinensia spontan.
c. Perubahan Sistem Musculoskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan, setelah bayi lahir,
secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tidak jarang uterus jatuh ke
belakang dan menjadi retrofleksi, karena ligamen rotundum menjadi kendor.
Stabilisasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan. Sebagai akibat
putusnya serat-serat elastik kulit dan distensi yang berlangsung lama akibat besarnya uterus pada
saat hamil, dinding abdomen masih lunak dan kendur untuk sementara waktu. Pemulihan dibantu
dengan latihan.
d. Perubahan Hormonal
Pada akhir persalinan, sebagian besar hormon steroid yang disintesis plasenta turun drastis
seiiring dengan pengeluaran plasenta. Kadar estrogen dan progesteron turun ke tingkat sebelum
hamil dalam 72 jam pasca persalinan. Kadar FSH pulih ke konsentrasi prahamil dalam 3 minggu
pasca persalinan, tetapi pemulihan sekresi LH memerlukan waktu lebih lama, bergantung pada
lama laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga bergantung pada kinerja laktasi.
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler dan Hematologis
Pengeluaran darah saat persalinan, yang secara normal diperkirakan 300-500 cc,
dikompensasi secara adekuat oleh peningkatan volume darah yang terjadi selama kehamilan.
Eritropoiesis mengalami pengaktifan sebelum dan sesudah persalinan. Diuresis juga semakin
mengurangi volume plasma pada hari-hari pertama nifas.
Pada saat hamil terdapat hubungan pendek yang disebut shunt antara sirkulasi ibu dan
plasenta. Namun setelah janin lahir, kemudian plasenta lahir, maka sirkulasi ibu dan plasenta akan
terputus dan kemudian kondisi ini menyebabkan volume darah ibu relatif akan bertambah banyak
sehingga beban jantung juga akan meningkat. Namun secara fisiologis, keadaan ini dapat diatasi
dengan mekanisme kompensasi yaitu timbulnya hemokonsentrasi (darah lebih kental) sehingga
volume darah kembali seperti semula.
Hemokonsentrasi terjadi juga akibat perbedaan jumlah darah yang keluar saat persalinan
dengan pemulihan keseimbangan normal air. Hemokonsentrasi menyebabkan hiperkoagulabilitas
akibat peningkatan konsentrasi faktor pembekuan. Kadar hemoglobin juga kembali ke kadar
normal prahamil dalam 4-6 minggu dan jumlah leukosit turun ke kadar normal dalam seminggu
pasca persalinan, namun kemudian turun secara bertahap sampai ke kadar prahamil.
Mobilisasi merupakan hal penting untuk mengoptimalkan aliran balik vena (venous return)
untuk menghindari statis di dalam jaringan vaskular sehingga risiko thrombosis vena profunda
(deep vein thrombosis, DVT) berkurang. Pada masa nifas cenderung terjadi bradikardi (penurunan
denyut jantung) menjadi 60-70 kali per menit. Peningkatan denyut jantung mengindikasikan
anemia berat, thrombosis vena, dan infeksi.
f. Perubahan Sistem Respirasi
Diafragma dapat meningkatkan jarak gerakannya setelah uterus tidak lagi menekannya
sehingga ventilasi lobus-lobus basal paru dapat berlangsung penuh. Compliance dinding dada,
volume dan kecepatan pernafasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu.

PERUBAHAN PSIKOLOGIS MASA NIFAS


a. Adaptasi Psikologis Ibu Masa Nifas
· Fase Taking In
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari hari pertama sampai kedua
setelah melahirkan. Pada saat ini, fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman
selama proses persalinan sering berulang diceritakannya. Kelelahan membuat ibu cukup istirahat
untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung. Hal ini membuat ibu cenderung
menjadi pasif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu kondisi ibu perlu dipahami dengan menjaga
komunikasi yang baik. Pada fase ini perlu diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses
pemulihannya. Disamping nafsu makan ibu memang meningkat.
· Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase taking hold, ibu merasa
khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Selain itu
perasaannya sangat sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya kurang hati-hati. Oleh
karena itu, ibu memerlukan dukungan karena saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk
menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya
diri.
· Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung 10 hari
setelah melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
b. Post Partum Blues
Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya. Keadaan ini disebut
dengan baby blues, yang disebabkan oleh perubahan perasaan yang dialami ibu saat hamil sehingga
sulit menerima kehadiran bayinya. Perubahan perasaan ini merupakan respon alami terhadap rasa
lelah yang dirasakan. Gejala-gejala baby blues antara lain menangis, mengalami perubahan
perasaan, cemas, kesepian, khawatir mengenai sang bayi, penurunan gairah sex, dan kurang
percaya diri terhadap kemampuan menjadi seorang ibu. Jika hal ini terjadi, ibu disarankan untuk
melakukan hal-hal berikut ini :
· Mintalah bantuan suami atau keluarga jika ibu membutuhkan istirahat untuk menghilangkan
kelelahan
· Beritahu suami mengenai apa yang sedang ibu rasakan. Mintalah dukungan dan pertolongannya
· Buang rasa cemas dan kekhawatiran akan kemampuan merawat bayi
· Carilah hiburan dan luangkan waktu untuk diri sendiri
c. Depresi Post Partum
Ada kalanya ibu merasakan kesedihan karena kebebasan, otonomi, interaksi sosial,
kemandiriannya berkurang. Hal ini akan mengakibatkan depresi pasca persalinan (depresi post
partum). Berikut ini gejala-gejala depresi pasca persalinan :
· Sulit tidur, bahkan ketika bayi sudah tidur
· Nafsu makan hilang
· Perasaan tidak berdaya atau kehilangan control
· Terlalu cemas atau tidak perhatian sama sekali pada bayi
· Tidak menyukai atau takut menyentuh bayi
· Pikiran yang menakutkan mengenai bayi
· Sedikit atau tidak ada perhatian terhadap penampilan pribadi
· Gejala fisik seperti banyak wanita sulit bernafas atau perasaan berdebar-debar
Penyakit ini dapat disembuhkan dengan obat-obatan dan konsultasi dengan psikiater. Jika depresi
berkepanjangan ibu perlu mendapatkan perawatan di Rumah Sakit. Seorang ibu multipara mudah
mengalami/menderita depresi masa nifas. Hal ini disebabkan oleh kesibukannya yang mengurusi
anak-anak sebelum kelahiran anaknya ini. Ibu yang tidak mengurusi dirinya sendiri, seorang ibu
cepat murung, mudah marah-marah. Hal ini menandakan ibu menderita depresi masa nifas.
Dibutuhkan juga dukungan keluarga dengan cara selalu mengunjungi dan menawarkan bantuan
dan dorongan kepada ibu.
d. Psikosis
Ibu yang berisiko tinggi mengalami psikosis adalah ibu yang sebelumnya pernah mengalami
depresi atau tekanan jiwa, ibu yang rasa percaya dirinya rendah, ibu yang tidak mendapatkan
dukungan, ibu yang bayinya meninggal ataupun mempunyai masalah. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, merasa bahwa ia tidak dapat merawat dirinya sendiri
atau bayinya, berfikir untuk mencederai dirinya sendiri atau bayinya, seolah mendengar suara-
suara atau tidak dapat berfikir jernih, perilakunya aneh, kehilangan sentuhan atau hubungan
dengan kenyataan, adanya halusinasi atau khalayan, menyangkal bahwa bayi yang dilahirkan
adalah anaknya. Penatalaksanaan : dirujuk ke seorang ahli yang mampu menangani masalah
psikologis. Ia memerlukan pengobatan khusus untuk membantu mengatasi keadaannya dan
dukungan untuk ibu sangat diperlukan.

Infeksi masa Nifas

Dengan tanda dan gejala secara umum sebagai berikut:

a) Setelah 24 jam pertama, suhu di atas 370C lebih dari 1 hari. Tetapi kenaikan suhu tubuh temporal
hingga 410C tepat seusai melahirkan (karena dehidrasi) atau demam ringan tidak lebih dari 380C pada
waktu air susu mulai keluar tidak perlu dikhawatirkan.
b) Rasa sakit atau tidak nyaman, dengan atau tanpa pembengkakan, di area abdominal bawah usai
beberapa hari melahirkan.
c) Rasa sakit yang tak kunjung reda di daerah perineal, setelah beberapa hari pertama.
d) Bengkak di tempat tertentu dan/atau kemerahan, panas, dan keluar darah di tempat insisi Caesar.
e) Rasa sakit di tempat tertentu, bengkak, kemerahan, panas, dan rasa lembek pada payudara begitu
produksi penuh air susu mulai berkurang yang bisa berarti tanda-tanda mastitis.

Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan disebut infeksi nifas. Suhu 380C atau lebih
yang terjadi antara hari ke 2- 10 postpartum dan diukur per oral sedikitnya 4 kali sehari disebut sebagai
morbiditas puerperalis. Kenaikan suhu pada masa nifas dianggap sebagai infeksi nifas apabila tidak
ditemukan sebab-sebab ekstragenital

Infeksi peurperium adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran reproduksi selama persalinan atau
puerperium (Varney, 2008). Penyebab predisposisi infeksi nifas:

a) Persalinan lama, khususnya dengan pecah ketuban


b) Pecah ketuban yang lama sebelum persalinan
c) Teknik aseptik tidak sempurna
d) Bermacam-macam pemeriksaan vagina selama persalinan, khususnya pecah ketuban
e) Tidak memperhatikan teknik mencuci tangan
f) Manipulasi intra uteri (misal: eksplorasi uteri, pengeluaran plasenta manual)
g) Trauma jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak diperbaiki
h) Hematoma
i) Hemoragi, khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 ml
j) Pelahiran operatif terutama pelahiran melalui seksio sesaria
k) Retensi sisa plasenta atau membran janin
l) Perawatan perineum tidak memadai
m) Infeksi vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak ditangani

Organisme infeksius pada infeksi puerperium berasal dari tiga sumber yaitu organisme yang normalnya
berada dalam saluran genetalia 16 bawah atau dalam usus besar, infeksi saluran genetalia bawah, dan
bakteri dalam nasofaring atau pada tangan personel yang menangani persalinan atau di udara dan debu
lingkungan. Tanda dan gejala infeksi nifas: Tanda dan gejala infeksi umumnya termasuk peningkatan
suhu tubuh, malaise umum, nyeri, dan lokhia berbau tidak sedap. Peningkatan kecepatan nadi dapat
terjadi, terutama pada infeksi berat. Interpretasi kultur laboratorium dan sensitivitas, pemeriksaan lebih
lanjut, dan penanganan memerlukan diskusi dan kolaborasi dengan dokter (Varney, 2008).

Tanda dan gejala infeksi meliputi sebagai berikut: Nyeri lokal, disuria, suhu derajat rendah jarang, di atas
38,30C, edema, sisi jahitan merah dan inflamasi, mengeluarkan pus atau eksudat berwarna abu-abu
kehijauan, pemisahan atau terlepasnya lapisan luka operasi. Pencegahan terjadinya infeksi masa nifas:
a) Sesudah partus terdapat luka-luka dibeberapa tempat di jalan lahir. Pada hari-hari pertama
postpartum harus dijaga agar luka-luka ini tidak dimasuki kuman-kuman dari luar. Oleh sebab itu, semua
alat dan kain yang berhubungan dengan daerah genital harus suci hama.

b) Pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama dibatasi sedapat mungkin. 17

c) Setiap penderita dengan tanda-tanda infeksi jangan dirawat bersama dengan wanita-wanita dalam
masa nifas yang sehat (Winkjosastro, 2007).

Pengobatan infeksi nifas secara umum:

Antibiotika mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas. Sudah barang
tentu jenis antibiotika yang paling baik adalah yang mempunyai khasiat yang nyata terhadap kuman-
kuman yang menjadi penyebab infeksi nifas. Sebelum terapi dimulai, dilakukan pembiakan getah vagina
serta serviks dan kemudian dilakukan tes-tes kepekaan untuk menentukan terhadap antibiotik mana
kuman-kuman yang bersangkutan peka. Karena pemeriksaan ini memerlukan waktu, maka pengobatan
perlu dimulai tanpa menunggu hasilnya. Dalam hal ini dapat diberikan penicilin dalam dosis tinggi atau
antibiotika dengan spektrum luas (broad spectrum antibiotics) seperti ampicillin, dan lainlain. Setelah
pembiakan serta tes-tes kepekaan diketahui, dapat dilakukan pengobatan yang paling sesuai. Di
samping pengobatan dengan antibiotika, tindakan-tindakan untuk mempertinggi daya tahan tubuh
tetap perlu dilakukan. Perawatan baik sangat penting, makanan yang mengandung zat-zat yang
diperlukan hendaknya diberikan dengan cara yang cocok dengan keadaan penderita, dan bila perlu
transfusi darah dilakukan (Winkjosastro, 2007)

Endometrtiis

Endometritis Jenis infeksi yang paling sering adalah endometritis. Kumankuman memasuki
endometrium, biasanya pada luka bekas insersio plasenta, dan dalam waktu singkat mengikutsertakan
seluruh endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak seberapa patogen, radang terbatas pada
endometrium. Jaringan desidua bersama-sama dengan bekuan darah menjadi nekrotis dan
mengeluarkan getah berbau dan terdiri atas keping-keping nekrotis serta cairan. Pada batas antara
daerah yang meradang dan daerah sehat terdapat lapisan terdiri atas leukosit-leukosit. Pada infeksi yang
lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran.

Syok

Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah kedalam jaringan sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme
(Sarwono, 2012).
Penyebab syok dalam kebidanan terbanyak adalah perdarahan, lalu neurogenik, kardiogenik,
endotoksik, anafilaktik dan penyebab syok lain seperti emboli air ketuban.
Gejala klinis pada umumnya sama yaitu tekanan darah turun, nadi cepat lemah, pucat keringat dingin,
sianosis jari, sesak, penglihatan kabur, gelisah dan oligouri.
Sifat khas syok dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, syok dibagi menjadi 3 tahapan yaitu :
a. Tahap nonprogresif (disebut juga tahap kompensasi). Pada tahap ini mekanisme kompensasi
sirkulasi yang normal pada akhirnya akan menimbulkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari
luar.
b. Tahap progresif. Pada tahap ini, tanpa terapi, syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap irreversibel. Ketika syok telah jauh berkembang sedemikan rupa sehingga semua bentuk
terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong pasien, meskipun pada saat itu, orang tersebut masih
hidup.

Syok sepsis

Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh lepasnya toksin. Penyebab
utama adalah infeksi bakteri gram negative. Sering dijumpai pada abortus septik, korioamnionitis, dan
infeksi pasca persalinan (Sarwono, 2008).

Syok septik adalah keadaan kolapsnya sirkulasi yang disertai dengan diseminasi intravaskular bakteri
atau produknya.
Syok septik dapat terjadi karena infeksi bakteri gram positif, virus, atau jamur. Kebanyakan syok septik
karena bakteri gram negative : Escherichia coli, pseudomonas aeroginos, bacterioid, klebsiella species,
dan serratia. Escherichia coli, pseudomonas aeroginos, bacterioid yang mengeluarkan endotoksin adalah
fosfo-lipo-polisakarida yang lepas dari dinding sel yang mengalami lisis. Gambaran yang sama juga
terjadi karena eksotoksin dari streptokokus beta hemolitik, anaerob, dan klostridia.
Syok septik dalam obstetric dapat disebabkan oleh hal – hal berikut :
1) Abortus septik
2) Ketuban pecah yang lama / korioamnionitis
3) Infeksi pascapersalinan : manipulasi dan instrumentasi
4) Trauma
5) Sisa plasenta
6) Sepsis puerperalis
7) Pielonefritis akuta
Pathogenesis
Mikroorganisme mengeluarkan endotoksin yang dapat mengaktifkan system komplemen
dan sitoksin, mengawali reaksi inflamasi. Kejadian ini berhubungan dengan DIC yang
ekstensif karena antiplasmin tidak dapat mengatasinya. Sepsis menyebabkan vasodilatasi,
tahanan perifer pembuluh darah menurun., dan hipotensi. Selanjutnya distribusi aliran
darah kurang / jelek sehingga perfusi darah ke organ tidka adekuat menyebabkan
kerusakan jaringan multi organ dan kematian. Mediator inflamasi meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari pembuluh darah, khusus pada parenkim
paru akan menyebabkan edema pulmonum.
Selama sepsis produksi surfaktan pneumosit akan terganggu yang menyebabkan alveolus
kolaps dan mengakibatkan hipoksemia berat yang disebut acute respiratory distreaa
syndrome (ARDS).
Endotoksin lepas karena meningkatnya permiabilitas lisosomal dan sitotoksik. Selanjutnya
dalam beberapa menit dapat terjaid stimulasi medulla adrenal dan saraf simpatis serta
kontriksi arteriol dan venul. Selanjutnya menyebabkan asidosis local yang dpaat
menyebabkan dilatasi anteriol, tetapi kontriksi venul jika berlanjut terus mengakibatkan
pembendungan darah kapiler , perdarahan karena pembendungan pada gaster, hati, ginjal
dan paru.

Factor resiko

Ketuban pecah yang lama, sisa konsepsi yang tidak keluar dan instrumentasi saluran
urogenital merupakan faktor resiko yang lain untuk terjadinya sepsis. Syok septik akan
menunjukkan gejala-gejala seperti menggigil, hipotensi, gangguan mental, takikardia,
takipnea, dan kulit merah. Bila syok tambah berat, akan terjadi kulit dingin dan basah,
bradikardia dan sianosis.
Penggunaan mifeprison intravaginal pada abortus medicinalis dapat menyebabkan syok
septik yang fulminant dan letal disebabkan infeksi clostridium sordeli pada
endometrium, suatu bakteri gram positif dan mengeluarkan toksin.
Mifeprison mempengaruhi pengeluaran dan fungsi kortisol dan sitokin dengan jalan
menduduki (blocking) reseptor progesterone dan glukokortikoid . Kegagalan
pengeluaran kortisol dan sitokin akan menghambat mekanisme pertahanan tubuh yang
dibutuhkan untuk menghambat penyebaran infeksi C sordeli dalam endometrium.
Pelepasan eksotoksin dan endotoksin dari C sordeli akan mempercepat terjadi nya syok
septik yang letal.

Gejala klinis
Syok septik (endotoksik) terjadi dalam 2 fase utama yaitu fase refersibel dan fase irrifersibel, Sedamgkan
fase refersibel terdiri atas fase panas dan fase dingin. Fase panas disertai dengan gejala-gejala
hipotensi, takikardi, pireksia dan menggigil. Kulit kelihatan merah dan panas. Pasien biasa nya
masih sadar dan leukositosis terjadi dalam beberapa jam.
Pada fase dingin dijumpai gejala dan tanda-tanda kulit dingin dan mengeriput, sianosis,
purpura,/jaundice, penurunan kesadaran yang progresis dan koma
Selanjutnya bila syok berlanjut terus pasien akan jatuh kedalam fase irrefersibel dimana terjadi hipoksia
sel yang berkepanjangan yang menyebabkan gejala asidosis metabolic, gagal ginjal akut, gagal
jantung, edeme pulmonum, gagal adrenal dan kematian.

Tatalaksana

Early goal directed treatment --> merupakan tatalaksana syok septik 6 jam pertama,
dengan pemberian terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan
kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand. Protokol tersebut mencakup pemberian
cairan kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP)
8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor
hingga >65 mmHg dan bila MAP >90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi
vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit hingga di atas 30 %.
Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun ScvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik.
Inotropik diturunkan bila MAP >65 mmHg, atau frekuensi jantung >120x/menit

Tata laksana syok sepik meliputi banyak factor yang harus dipenuhi:

Perbaikan Hemodinamik --> Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan volume
intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah.
Cairan koloid dan kristaloid diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara
antara 10-12 mmHg. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-
2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila
dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12
mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin
(dosis 5-10 μg/kg/menit sampai maksimal 20 μg/kg/menit). Dopamin diberikan bila sudah tercapai
target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5
μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit,
tetapi di kombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih
gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau
epinefrin).

Pemakaian Antibiotik --> Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu
menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana
lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil.
Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur
dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang
hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ. Pemberian
antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan indikasi :

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui

Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni

dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (pseudomonas aeruginosa,
enterococcus).'

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis.
Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombiasi lebih baik daripada
monoterapi

Terapi suportif

Oksigenasi --> Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

Terapi cairan, Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat)
maupun koloid, Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan, Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan
aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.

Vasopresor dan Inotropik --> Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat
dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit
atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine
3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone)

Bikarbonat --> Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik

Disfungsi renal --> Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3
μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara
evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu.
Nutrisi --> Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis), ambilan
dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan
hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses
katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.

Kontrol gula darah --> Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula
darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula
darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek
ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.

Gangguan koagulasi --> Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan
renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.

Kortikosteroid --> Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50
mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam
terapi sepsis.

Anda mungkin juga menyukai