Anda di halaman 1dari 56

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT


AKA MEDIKA SRIBHAWONO
NO. : 006/ SK /DIR/ PEL/ RS AKA/ I / 2018
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN
PERINATOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan banyaknya pelayanan Rumah sakit yang ada sekarang ini dan berkembangnya pelayanan
kesehatan saat ini serta semakin banyaknya pelayanan kesehatan yang tersedia bagi masyarakat,
diperlukan suatu peningkatan pelayanan kesehatan agar dapat baersaing dalam memberikan pelayanan
yang bermutu. Oleh karena itu, Ruang Perinatologi merupakan salah satu bagian pelayanan kesehatan
yang harus bisa memberikan tindakan medis yang aman, efektif dengan memberdayakan Sumber Daya
Manusia yang kompeten dan profesional dalam menggunakan peralatan, obat-obatan yang

sesuai dengan standar therapy di Indonesia Pelayanan di Ruang


Perinatologi meliputi :

Perawatan BBLR , ikterus, bayi dengan masalah minum/muntah, bayi yang lahir dengan infeksi intra
uterin, bayi yang lahir dengan tindakan vakum ekstraksi, forceps ekstraksi, Sectio Caesarea dan bayi
dengan kelahiran sungsang yang bermasalah/sulit.

Dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan tersebut di atas, maka disusunlah pedoman
pelayanan Ruang Perinatologi. Pedoman ini adalah pedoman minimal dan dapat dikembangkan kapanpun
seiring dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan.

B. Tujuan
Tujuan umum dari pedoman pelayanan perinatologi adalah menjadi acuan staf rumah sakit dalam
melaksanakan pelayanan di ruang perinatologi yang bermutu serta terciptanya budaya keselamatan
pasien dan staf rumah sakit.

Tujuan khusus pedoman pelayanan rawat inap antara lain:


1. Memiliki standar ketenagaan di Ruang Perinatologi
2. Memiliki standar fasilitas di Ruang Perinatologi.
3. Memiliki tata laksana di Ruang Perinatologi
4. Memiliki standar logistik di Ruang Perinatologi.
5. Memiliki stndar keselamatan pasien di Ruang Perinatologi.
6. Memiliki standar keselamatan kerja di Ruang Peinatologi.
7. Memiliki standar pengendalian mutu di Ruang Perinatologi.

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Pelayanan dan asuhan untuk kasus perinatologi diberikan pada bayi baru lahir sampai dengan usia 28
hari.

D. Batasan Operasional

Batasan Operasional Pelayanan Neonatus yang diberikan di Ruang Perinatologi Rumah Sakit AKA
Medika didasarkan pada 2 (dua) Level, yaitu :
1. Pelayanan Keperawatan Neonatus level I Yaitu
Perawatan Neonatus sehat:
Pelayanan Neonatus Dasar dan bayi beresiko rendah yang memerlukan Asuhan Keperawatan
Dasar minimal, dimana perawatan bayi

utamanya dilakukan oleh ibu. Kriteria bayi baru


lahir normal sehat:

Persalinan normal/tindakan tanpa komplikasi Nilai Apgar 5


menit > 7

Berat lahir 2500 gram – 4000 gram

Usia kehamilan 37 minggu – 41 minggu Tanpa


kelainan congenital

Tanpa resiko penyakit

Rawat gabung/rawat bersama ibunya sampai pulang.

2. Pelayanan Keperawatan Neonatus level II

Yaitu perawatan neonates khusus/perawatan bayi sakit sedang dan diharapkan pulih secara
cepat yang memerlukan observasi dan

pengobatan yang memiliki asuhan keperawatan normal. Kriteria:

BBLR < 1000 gram tanpa komplikasi BBL > 4000


gram/makrosomia

Gangguan napas ringan sedang

Infeksi lokal/infeksi ringan sedang

Kelainan bawaan ringan sampai sedang yang bukan keadaan gawat

Penyakit komplikasi lain tanpa memerlukan perawatan intensive

Rawat di ruang Perinatologi


D. Landasan Hukum

1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
3. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Darah
5. PERMENKES RI NOMOR 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit
di Lingkungan Departemen Kesehatan.
6. PERMENKES RI NOMOR 1438/MENKES/PER/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
7. PERMENKES RI NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
8. KMK RI Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit.
9. KMK RI Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010 Tentang Standar Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Di Rumah Sakit.
10.PMK RI Nomor: 812/MENKES/PER/VII/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis Pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
11.KMK Nomor: 423/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Kebijakan Peningkatan Kualitas Dan Akses
Pelayanan Darah

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 3


BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Kualifikasi sumber daya manusia di sub bagian rawat inap meliputi tenaga dokter, perawat, dan
bidan. Kualifikasi untuk masing-masing tenaga dapat dilihat pada tabel berikut:

Kualifikasi Jumlah
Nama Formal Sertifikat Informal yang
No.
Jabatan diperluka
n
1. Dokter Dokter ACLS - Seorang muslim atau
Jaga Umum muslimah yang
Bangsal berkepribadian Islam.
- Berakhlak mulia dan
mampu menjadi teladan.
- Sehat jasmani dan rohani
2. Kepala Sarjana SIP / STR, - Seorang muslim atau 1
Sub Keperawatan PPGD, muslimah yang
Bagian Ners / D III Manajemen berkepribadian Islam.
Ruang Keperawatan Rawat inap / - Berakhlak mulia dan
Perinatol Manajemen mampu menjadi teladan.
ogi Keperawatan - Memiliki leadership
untuk mendeteksi arah
perubahan
(trendwacther).
- Bukan pribadi yang suka
menyalahkan (non
blaming person)
- Sehat jasmani dan rohani
- Pengalaman sebagai
perawat pelaksanan

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 4


minimal 2 tahun
- Memiliki kemampuan
dalam pengoperasian
komputer
3. Ketua Tim D III SIP / STR, - Seorang muslim atau 1
Perawat Keperawatan PPGD muslimah yang
berkepribadian Islam.
- Berakhlak mulia dan
mampumenjadi teladan.
- Memiliki leadership
untuk mendeteksi arah
perubahan
(trendwacther).
- Bukan pribadi yang suka
menyalahkan (non
blaming person)
- Sehat jasmani dan rohani
- Pengalaman sebagai
perawat pelaksanan
minimal 2 tahun
4. Perawat D III SIP / STR, - Seorang muslim atau 4
Pelaksana Keperawatan PPGD muslimah yang
Ruang berkepribadian Islam.
Perinatol - Berakhlak mulia dan
ogi mampu menjadi teladan.
- Sehat jasmani dan rohani
- Mampu melakukan
asuhan keperawatan
- Mempunyai loyalitas
kerja yang baik
- Mampu mengoperasikan
komputer

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 5


5. Petugas D III SIB, Sertifikat - Seorang muslim atau
Pendukun Kebidanan Komputer muslimah yang
g berkepribadian Islam.
Perawata - Berakhlak mulia dan
n di mampu menjadi teladan.
Rawat - Sehat jasmani dan rohani
Inap - Mampu mengoperasikan
komputer
- Mampu melakukan
Asuhan Kebidanan
(Bidan)

Tabel 1.kualifikasi ketenagaan Sub Bagian Ruang Perinatologi

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Penghitungan Kebutuhan Tenaga Sub Bagian Ruang Perinatologi.
1. Analisis Beban Kerja
WAKTU JML WAKTU WAKTU
JENIS FREKUENSI JUM
NO KEGIATAN PASIEN KEGIATAN KEGIATAN
KEGIATAN KEGIATAN LAH
PERPASIEN PERHARI PERHARI PERBULAN
I. KEGIATAN UMUM PERAWAT PELAKSANA
Menyiapkan
1. Obat 10 20 3 600 18,000
2. Memberikan 5 20 3 300 900,0

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 6


Obat
Mengukur
3. Vital Sign 10 20 3 600 18,000
Melakukan
Pengkajian
4. Keperawatan 5 20 3 300 900,0
Melakukan
Dokumentasi
Keperawatan

5. 10 20 3 600 18,000
Tindakan

6. Pasanginfus 20 5 1 100 2000


Tindakan
Dressing

7. Infus 5 3 1 15 450
Mengantar
Pasien ke
ruang

8. Operasi 15 4 1 60 1,800
Tindakan

9. Rawat Luka 20 2 1 40 1,200


Mengambil
Obat Ke

10. Farmasi 10 20 1 200 6000


Mengantar
Pasien

11. HeadCT Scan 60 1 1 60 1,800


Mengantar
Pasien

12. Pulang 10 7 1 70 2,100

13. Mengantar 60 1 1 60 1,800

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 7


Pasien ke RS
lain
(Rujukan)
Mengembali
kan Sisa
Obat Pasien
Ranap
(Retur) ke

14. Farmasi 10 7 1 70 2,100


Tidakan
merekam

15. EKG 10 1 2 20 600


Mengantar
pasien ke
Radiologi
(USG,

16. Rontgen) 15 3 1 45 1,350


Menjemput
pasien

17. operasi 10 4 1 40 1,200

Menyiapkan
tindakan

18 fototerapi 10 1 2 20 600

Memandikan

19. bayi 10 4 2 80 2,400


Monitoring

20. suhu 2 38 3 228 6,840

21. Tindakan 20 3 1 60 1,800

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 8


pasang NGT
Tindakan

22. pasang DC 15 3 1 45 1,200


Tindakan
scaren/menu
tup hordeng

23. pasien 2 5 1 10 300


Mengganti

24. cairan infus 3 38 3 342 10,260

25. Melepas DC 5 2 1 10 300


Melepas

26. Infus 5 7 1 35 1,050


Merekap
permintaan

27. obat farmasi 5 20 1 200 6000


Mengambil
Sampling
pemeriksaan

28. laborat 10 3 2 60 1,800


Mengantar
sampling ke

29. laborat 10 5 2 100 3,000

202,
450

30. Operan jaga 20 3 60 1,800


Pre

31. conferens 20 1 20 600

32. Orientasi 15 8 1 120 3,60

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 9


Pasien Baru 0
Mengkaji

33. pasien baru 20 8 1 160 4,800


Menyusun
Rencana

34. Keperawatan 10 20 1 200 6000


Mengevaluasi
Asuhan

35. Keperawatan 10 20 3 600 18,000


Mendampingi
Visite

36. DokteSpesialis 10 20 2 200 18,000


Membagi
Tugas

37. Perawatan 5 3 15 450


Membuat
Laporan Akhir

38. Jaga 15 3 45 1,350


Memberikan
Inform
Consent

39. Tindakan 5 3 1 15 450


Melakukan
Edukasi
/PendidikanKe
sehatan Ke

40. Pasien 10 7 1 70 2,100


Supervisi

41. ranap 20 2 40 1,200

90,30
0

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 10


Mengganti
Linen

1. (Verbeden) 5 20 1 200 6000


Membantu
Memandikan 12,60

2. Pasien 30 7 2 420 0
Membantu
Pasien BAB

3. dan BAK 10 5 3 150 4,500


Merapikan
4.
Nurse Station 10 3 30 900
Memastikan
Ketersediaan

5. BHP ranap 10 3 30 900


Merekap
Register

6. tranfusi 10 1 10 300

7. Melipat kassa 15 1 15 450


Menyiapkan
tabung
oksigen di

8. ruang pasien 10 7 2 140 420

29,70
0

360,3
TOTAL 00

Tabel 3. Analisis penghitungan beban kerja SDM Ruang Perinatologi

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 11


2. Penghitungan Tenaga Ruang Perintologi Berdasar Rumus Gillies
Salah satu formula penghitungan tenaga keperawatan yang dikembangkan Gillies (1982) adalah
sebagai berikut :
A x B x 365
Tenaga Perawat =
(365 – C) x jam kerja perhari

Keterangan :
 A = jam perawatan/24 jam (nursing time), yaitu waktu perawatan yang dibutuhkan pasien.
Komponen A, adalah jumlah waktu perawatan yang dibutuhkan oleh pasien selama 24
jam
 B = sensus harian (BOR x jumlah tempat tidur)
Komponen B, adalah hasil perkalian BOR dengan jumlah tempat tidur. Contoh jika BOR
76 % dan jumlah tempat tidur 100 maka sensus harian adalah 76.
 C = jumlah hari libur
Komponen C, adalah jumlah hari libur resmi yang ditentukan oleh pemerintah dan
jumlah hari libur karena cuti tahunan personel. Jumlah hari libur diIndonesia kira-kira 76
hari yang terdiri dari 52 hari minggu, 12 hari cuti dan 12 hari libur nasional. Disamping
itu perlu juga diperhitungkan hari libur lain yaitu secara alamiah menjadi hak biologis
wanita yaitu cuti hamil kurang lebih selama 3 bulan.
 Jam kerja perhari 7 jam perhari

Total Kebutuhan Perawat Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono Tahun 2017
Total tenaga keperawatan di ruang perinatologi target BOR 72% dari 4 incubator dan 6 box
bayi.
Tenaga yang dibutuhkan (shift 7 jam) = 2 orang
Factor koreksi = 2 orang
Tenaga non nursing servis = 3 orang
Total ruang perinatologi = 8 orang

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 12


C. Rekruitmen Dan Seleksi Tenaga Keperawatan Rawat Inap
1. Penarikan Calon Karyawan (Recruitment)

Penarikan calon adalah aktivitas atau usaha yang dilakukan untuk mengundang para pelamar
sebanyak mungkin sehingga Bagian Keperawatan memiliki kesempatan yang luas untuk
menemukan calon yang paling sesuai dengan tuntutan jabatan yang diinginkan.Penarikan calon
dilakukan karena berdasarkan analisa kebutuhan tenaga, ditemukan jumlah pasien dan kegiatan
tidak seimbang dengan jumlah tenaga yang ada. Dilihat dari sumber penarikannya, dapat dibagi
menjadi:

2. Internal Resource (dari dalam rumah sakit)

Menarik calon dari dalam Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono sendiri (Internal resources)
memiliki keuntungan lebih yaitu calon sudah dikenal dan proses dapat dilakukan dengan lebih
cepat dibanding menarik calon dari luar Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono. Calon nantinya
masuk ke Bagian Keperawatan akibat mutasi atau promosi. Untuk mendapatkan calon pelamar
dapat melalui :
 Informasi dari mulut ke mulut
 Berkas-berkas pelamar yang datang sendiri (unsolicited applicants).
 Pengiriman surat pemberitahuan ke seluruh unit kerja akan adanya kebutuhan tenaga di
Bagian Keperawatan.

3. External Resource (dari luar rumah sakit)


Proses penarikan calon dari luar Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono dapat dilakukan
dengan cara :

 Dari mulut ke mulut.


 Iklan
 Lembaga-lembaga pendidikan
 Kantor penempatan tenaga kerja (milik swasta atau negara)

D. Penyaringan / Seleksi Calon Karyawan (Selection)


Seleksi calon karyawan rawat inap dimulai dari penyaringan surat lamaran yang masuk ke bagian
SDI/Personalia rumah sakit. Petugas SDI akan menghubungi Kepala Sub Bagian Rawat Inap
apabila batas waktu yang ditetapkan untuk penarikan calon karyawan sudah terlampaui.
Petugas SDI melaporkan jumlah pelamar yang masuk, apabila kuota belum terpenuhi, maka
petugas SDI melakukan perpanjangan waktu penarikan calon karyawan sampai diperoleh jumlah
pelamar yang cukup.

Selanjutnya Kepala Sub Bagian Rawat Inap memilih berkas surat lamaran yang masuk dan
menentukan calon pelamar yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Apabila tidak
ditemukan berkas pelamar yang sesuai maka Kepala sub Bagian Rawat Inap memberitahukan
kepada petugas SDI agar dilakukan penarikan calon karyawan kembali. Berkas pelamar yang
dipilih oleh Kepala Sub Bagian Rawat Inap kemudian diserahkan kepada petugas SDI dan
selanjutnya dihubungi dan dijadwalkan untuk melakukan tes seleksi calon karyawan di rumah
sakit.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 13


Materi tes seleksi calon karyawan meliputi materi umum, keperawatan dan materi keislaman.
Peserta akan diuji dengan tes tertulis dan tes wawancara. Setiap pelamar akan diwawancara
oleh Kepala Sub Bagian Rawat Inap, Wakil Direktur Pelayanan, dan Wakil Direktur Umum.
Peserta seleksi dinyatakan diterima apabila mendapat rekomendasi dari tim penyeleksi, atau
atas dasar keputusan yang diambil melalui diskusi antara tim penyeleksi dan direksi rumah sakit.

Karyawan yang dinyatakan lulus tes wawancara akan dipanggil untuk memulai bekerja dengan
mengikuti alur kekaryawanan sebagai berikut:

Karyawan tes Lulus tes Kontrak 1


tahun

Gambar 5. Bagan alur kekaryawanan Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono


Keterangan :
Karyawan tes : Mengikuti tes karyawan RS Aka Medika Sribhawono
Karyawan Lulus tes : Penempatan ruangan untuk karyawan baru.
Karyawan Kontrak : Masa Kontrak 1 tahun.

E. Pengaturan Jaga
Pengaturan jaga dilakukan dengan sistem pembagian tiga shif dalam sehari yaitu pagi, siang dan
malam. Untuk formasi jaga di masing-masing bangsal dapat dilihat pada tabel berikut:

No Nama Jabatan Kualifikasi Shif jaga Jumlah tenaga


Formal Sertifikat
1. Dokter Jaga Dokter Umum ACLS Pagi 1
Bangsal Siang 1
Malam 1
2. Ketua Tim Perawat D III Keperawatan SIP / STR, PPGD Pagi disesuaikan
Siang
Malam
3. Perawat Pelaksana D III SIP / STR, PPGD Ruang Perina
ruang perinatologi Keperawatan/S1 Pagi 1
keperawatan ners Siang 1
Malam 1

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 14


5. Petugas D III Kebidanan SIB, Sertifikat Ruang VK
Pendukung Komputer Pagi 1
Perawatan di ruang Siang 1
perinatologi Malam 1

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG PERINATOLOGI

Ruang Perinatologi dibagi menjadi 2 ruangan yaitu,ruang untuk bayi sehat dan bayi sakit.

1. Ruang bayi sehat


Ruang bayi sehat terdiri dari 5 box bayi
Ruang bayi sakit terdiri dari 3 incubator dan 1 infarm warmer

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 15


B. PERSYARATAN TEKNIS RUANG RAWAT INAP
1. Lokasi.
a. Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan nyaman, tetapi
tetap memiliki kemudahan aksesibiltas atau pencapaian dari sarana penunjang rawat
inap.
b. Bangunan rawat inap terletak jauh dari tempat-tempat pembuangan kotoran, dan bising
dari mesin/generator.
2. Denah.
Persyaratan umum:
a. Pengelompokan ruang berdasarkan kelompok aktivitas yang sejenis hingga tiap kegiatan
tidak bercampur dan tidak membingungkan pemakai bangunan. Perletakan ruangannya
terutama secara keseluruhan perlu adanya hubungan antar ruang dengan skala prioritas
yang diharuskan dekat dan sangat berhubungan/membutuhkan.
b. Akses pencapaian ke setiap blok/ruangan harus dapat dicapai dengan mudah.
c. Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan perancangan, sehingga
blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara linier/lurus (memanjang)
d. Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah pasien yang akan
ditampung.
e. Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan.
f. Alur petugas dan pengunjung dipisah.
g. Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi persyaratan minimal seperti
ditunjukkan dalam tabel di bawah ini

Kebutuhan minimal luas ruangan pada bangunan rawat inap


NO NAMA RUANG LUAS ( + ) SATUAN
1 Ruang Perawatan Kelas III m2/tempat tidur
2 Ruang Pos Perawat m2
3 Ruang konsultasi m2
4 Ruang tindakan m2
5 Ruang administrasi m2
6 Ruang dokter m2
7 Ruang perawat m2
8 Ruang ganti / locker m2
9 Ruang kepala rawat inap m2

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 16


10 Ruang linen bersih m2
11 Ruang linen kotor m2
12 Spoelhoek m2
13 Kamar mandi / toilet m2
14 Pantri m2
15 Ruang janitor/servis m2
16 Gudang bersih m2
17 Gudang kotor m2
Sumber: Pedoman Bangunan RS: Ruang Rawat Inap Rumah Sakit, Direktorat Bina Pelayanan
Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Sub Direktorat Bina Sarana Dan Prasarana Kesehatan
Tahun 2012
Persyaratan khusus.
a. Tipe ruang rawat inap di dompet dhuafa semuanya sama yaitu, ruang perawatan kelas 3. Khusus
untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (Ruang Isolasi), seperti:
- Pasien yang menderita penyakit menular.
- Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor, ganggrein,
diabetes, dan sebagainya).
- Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan).
b. Keseluruhan ruang-ruang ini harus terlihat jelas dalam kebutuhan jumlah dan jenis pasien yang
akan dirawat.

3. Pos Perawat (Nurse Station).


Lokasi Pos perawat sebaiknya tidak jauh dari ruang rawat inap yang dilayaninya, sehingga
pengawasan terhadap pasien menjadi lebih efektif dan efisien.

4. Lantai.
a. Lantai harus kuat dan rata, tidak berongga.
b. Bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan tidak berpori, seperti vinyl yang rata atau
keramik dengan nat yang rapat sehingga debu dari kotoran-kotoran tidak mengumpul,
mudah dibersihkan, tidak mudah terbakar.
c. Pertemuan dinding dengan lantai disarankan melengkung (hospital plint), agar memudahkan
pembersihan dan tidak menjadi tempat sarang debu dan kotoran.

5. Langit-langit.
Langit-langit harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan debu atau kotoran lain.

6. Pintu.
a. Pintu masuk ke ruang rawat inap, terdiri dari pintu ganda, masing-masing dengan lebar 90 cm
dan 40 cm. Pada sisi pintu dengan lebar 90 cm, dilengkapi dengan kaca jendela pengintai
(observation glass).
b. Pintu masuk ke kamar mandi umum, minimal lebarnya 85 cm.
c. Pintu masuk ke kamar mandi pasien, untuk setiap kelas, minimal harus ada 1 kamar mandi
berukuran lebar 90 cm, diperuntukkan bagi penyandang cacat. Pintu kamar mandi pasien,
harus membuka ke luar kamar mandi.
d. Pintu toilet umum untuk penyandang cacat harus terbuka ke luar.

7. Kamar mandi.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 17


a. Kamar mandi pasien, terdiri dari kloset, shower (pancuran air) dan bak cuci tangan (wastafel).
b. Khusus untuk kamar mandi bagi penyandang cacat mengikuti pedoman atau standar teknis
yang berlaku.
c. Jumlah kamar mandi untuk penyandang cacat, 1 (satu) buah untuk setiap kelas.
d. Toilet umum, terdiri dari kloset dan bak cuci tangan (wastafel).

8. Jendela.
Disarankan menggunakan jendela kaca sorong, yang mudah pemeliharaannya, dan
cukup rapat.

C. PERSYARATAN TEKNIS PRASARANAN BANGUNAN RUANG RAWAT INAP


1. Persyaratan keselamatan bangunan.
Pelayanan pada bangunan instalasi rawat inap, termasuk “daerah pelayanan kritis”, sesuai
SNI 03 – 7011 – 2004, Keselamatan pada bangunan fasilitas kesehatan”.
a. Struktur bangunan.
1) Bangunan instalasi bedah, strukturnya harus direncanakan kuat/kokoh, dan stabil
dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan kelayanan
(serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan
mempertimbangkan fungsi bangunan instalasi rawat inap, lokasi, keawetan, dan
kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.
2) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi
sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan
struktur, baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul
akibat gempa dan angin.
3) Dalam perencanaan struktur bangunan instalasi rawat inap terhadap pengaruh
gempa, semua unsur struktur bangunan instalasi bedah, baik bagian dari sub
struktur maupun struktur bangunan, harus diperhitungkan memikul pengaruh
gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.
4) Struktur bangunan instalasi bedah harus direncanakan secara detail sehingga pada
kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjai keruntuhan,
kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan instalasi
rawat inap menyelamatankan diri.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa
dan/atau angin, dan perhitungan strukturnya mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
b. Sistem proteksi petir.
1) Bangunan instalasi rawat inap yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk,
ketinggian dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir, harus dilengkapi
dengan instalasi proteksi petir.
2) Sistem proteksi petir yang dirancang dan dipasang harus dapat mengurangi secara
nyata risiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir terhadap bangunan
instalasi rawat inap dan peralatan yang diproteksinya, serta melindungi manusia di
dalamnya.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan,
pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir mengikuti SNI 03 – 7015 – 2004, Sistem
proteksi petir pada bangunan gedung, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 18


c. Sistem proteksi Kebakaran.
1) Bangunan instalasi rawat inap, harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan
sistem proteksi pasif dan proteksi aktif.
2) Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi risiko kebakaran,
geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/ atau jumlah dan kondisi
penghuni dalam bangunan instalasi rawat inap.
3) Penerapan sistem proteksi aktif didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian,
volume bangunan, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan instalasi
rawat inap.
4) Bilamana terjadi kebakaran di ruang rawat inap, peralatan yang terbakar harus
segera disingkirkan dari sekitar sumber oksigen atau outlet pipa yang dimasukkan
ke ruang rawat inap untuk mencegah terjadinya ledakan.
5) Api harus dipadamkan di ruang rawat inap, jika dimungkinkan, dan pasien harus
segera dipindahkan dari tempat berbahaya. Peralatan pemadam kebakaran harus
dipasang diseluruh rumah sakit . Semua petugas harus tahu peraturan tentang cara-
cara proteksi kebakaran. Mereka harus tahu persis tata letak kotak alarm
kebakaran dan tahu menggunakan alat pemadam kebakaran.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
sistem proteksi kebakaran aktif mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit (
Sistem Proteksi Kebakaran Aktif, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Tahun 2012).
d. Sistem kelistrikan.
1) Sumber daya listrik.
Sumber daya listrik pada ruang perawatan pasien di ruang rawat inap termasuk
katagori “sistem kelistrikan esensial 1”, di mana sumber daya listrik normal
dilengkapi dengan sumber daya listrik diesel generator untuk menggantikannya, bila
terjadi gangguan pada sumber daya listrik normal. Tapi pada ruang tindakan pasien
termasuk katagori “sistem kelistrikan esensial 2” di mana pasokan listrik tidak boleh
terputus apabila terjadi gangguan.
2) Jaringan.
- Kabel listrik dari peralatan yang dipasang di langit-langit tetapi yang bias
digerakkan, harus dilindungi terhadap belokan yang berulang-ulang sepanjang
track, untuk mencegah terjadinya retakan-retakan dan kerusakan-kerusakan
pada kabel.
- Kolom yang bisa diperpanjang dengan ditarik, menghindari bahaya-bahaya
tersebut.
- Sambungan listrik pada kotak hubung singkat harus diperoleh dari sirkit-sirkit
yang terpisah. Ini menghindari akibat dari terputusnya arus karena bekerjanya
pengaman lebur atau suatu sirkit yang gagal yang menyebabkan terputusnya
semua arus listrik pada saat kritis.
3) Terminal.
- Kotak Kontak (stop kontak)
4) Setiap kotak kontak daya harus menyediakan sedikitnya satu kutub pembumian
terpisah yang mampu menjaga resistans yang rendah dengan kontak tusuk
pasangannya.
5) Karena gas-gas yang mudah terbakar dan uap-uap lebih berat dari udara dan akan
menyelimuti permukaan lantai bila dibuka, Kotak kontak listrik harus dipasang 5 ft (
1,5 m) di atas permukaan lantai, dan harus dari jenis tahan ledakan.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 19


6) Jumlah kotak kontak untuk setiap tempat tidur minimal 2 titik untuk melayani
peralatan kesehatan yang membutuhkan suplai listrik. Pada ruang tindakan yang -
merupakan ruang pelayanan kritis minimal harus dilengkapi 5 titik kotak kontak.
7) Sakelar.
Sakelar yang dipasang dalam sirkit pencahayaan harus memenuhi SNI 04 – 0225 –
2000, Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL 2000), atau Permenkes
2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis Prasarana Instalasi Elektrikal
RS.
8) Pembumian.
Kabel yang menyentuh lantai, dapat membahayakan petugas. Sistem harus
memastikan bahwa tidak ada bagian peralatan yang dibumikan melalui tahanan
yang lebih tinggi dari pada bagian lain peralatan yang disebut dengan system
penyamaan potensial pembumian (Equal potential grounding system). Sistem ini
memastikan bahwa hubung singkat ke bumi tidak melalui pasien.
9) Peringatan.
Semua petugas harus menyadari bahwa kesalahan dalam pemakaian listrik
membawa akibat bahaya sengatan listrik, padamnya tenaga listrik, dan bahaya
kebakaran. Kesalahan dalam instalasi listrik bisa menyebabkan arus hubung singkat,
tersengatnya pasien, atau petugas.
Bahaya ini dapat dicegah dengan :
- Memakai peralatan listrik yang dibuat khusus untuk instalasi rawat inap.
- Peralatan harus mempunyai kabel yang cukup panjang dan harus mempunyai
kapasitas yang cukup untuk menghindari beban lebih.
- Peralatan jinjing (portabel), harus segera diuji dan dilengkapi dengan system
pembumian yang benar sebelum digunakan.
- Segera menghentikan pemakaian dan melaporkan apabila ada peralatan listrik
yang tidak benar.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem kelistrikan pada bangunan instalasi rawat inap mengikuti
Permenkes 2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis Prasarana
Instalasi Elektrikal RS.
e. Sistem gas medik dan vakum medik.
1) Vakum, udara tekan medik dan oksigen disalurkan dengan pemipaan ke ruang
instalasi rawat inap. Outlet-outletnya dipasang pada bed-head pasien. Pada ruang
perawatan minimal dilengkapi 1 (satu) outlet oksigen tiap tempat tidur pasien,
sedangkan pada ruang tindakan dilengkapi minimal 1 (satu) outlet oksigen, 1 (satu)
outlet vakum dan 1 (satu) outlet udara tekan medik pada bed-head tempat tidur
tindakan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem gas medik dan vakum medik pada bangunan Ruang rawat inap
Rumah Sakit mengikuti ”Pedoman Teknis Instalasi Gas Medik dan Vakum Medik di
RS” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
Tahun 2011.
2. Persyaratan kesehatan bangunan.
a. Sistem ventilasi.
1) Untuk memenuhi persyaratan sistem ventilasi, bangunan instalasi rawat inap harus
mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/ buatan sesuai dengan

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 20


fungsinya.
2) Bangunan instalasi rawat inap harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada
pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk
kepentingan ventilasi alami.
3) Ventilasi mekanik/buatan harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat
memenuhi syarat.
4) Penerapan sistem ventilasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan
prinsipprinsip penghematan energi dalam bangunan ruang rawat inap.
5) Pada ruang perawatan pasien dan koridor di ruang rawat inap, minimal 4 (empat)
kali pertukaran udara per jam, untuk ruang perawatan isolasi infeksius, minimal 6
(enam) kali pertukaran udara per jam.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan ruang
rawat inap mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara Pada
Bangunan Rumah Sakit, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011.
b. Sistem pencahayaan.
1) Bangunan instalasi rawat inap harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
2) Bangunan instalasi rawat inap harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
3) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan instalasi
rawat inap dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan instalasi rawat inap.
4) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan instalasi rawat inap dengan
mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi, dan penempatannya tidak
menimbulkan efek silau atau pantulan.
5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat harus dipasang
pada bangunan instalasi rawat inap dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja
secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi
yang aman.
6) Pencahayaan umum disediakan dengan lampu yang dipasang di langit-langit.
7) Disarankan menggunakan lampu-lampu yang dipasang dibenamkan pada plafon
(recessed) karena tidak mengumpulkan debu.
8) Pencahayaan harus didistribusikan rata dalam ruangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan


pemeliharaan sistem pencahayaan pada bangunan instalasi rawat inap mengikuti :
1) SNI 03 – 2396 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada
bangunan gedung,
2) SNI 03 – 6575 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada
bangunan gedung,
3) SNI 03 – 6574 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan darurat, tanda
arah dan tanda peringatan, atau
4) Pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.
c. Sistem Sanitasi.
Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan instalasi rawat inap
harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 21


limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.
d. Sistem air bersih.
1) Sistem air bersih harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan
sumber air bersih dan sistem distribusinya.
2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau sumber
air lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan instalasi rawat inap harus
memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan, sistem air bersih pada bangunan instalasi rawat inap mengikuti SNI
03 – 6481 – 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman dan
standar teknis lain yang berlaku.
e. Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah.
1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah harus direncanakan dan dipasang
dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah pada bangunan
instalasi rawat inap mengikuti SNI 03 – 6481 – 2000 atau edisi terakhir, Sistem
Plambing 2000, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.
f. Sistem pembuangan kotoran dan sampah.
1) Sistem pembuangan kotoran dan sampah harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.
2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat
penampungan kotoran dan sampah pada bangunan ruang rawat inap, yang
diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan volume
kotoran dan sampah.
3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk penempatan
pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni,
masyarakat dan lingkungannya.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pengolahan fasilitas pembuangan kotoran dan sampah pada bangunan ruang rawat
inap mengikuti Persyaratan Pengolahan dan Pembuangan Limbah Rumah Sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas, baik limbah medis maupun non-medis dapat
dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004,
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
g. Sistem penyaluran air hujan.
1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan
ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota.
2) Setiap bangunan instalasi bedah dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem
penyaluran air hujan.
3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diserapkan ke dalam tanah
pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan
drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima,
maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh
instansi yang berwenang.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 22


5) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan
dan penyumbatan pada saluran.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku
4. Persyaratan kenyamanan
a. Sistem pengkondisian udara.
1) Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan ruang
rawat inap, pengelola bangunan ruang rawat inap harus mempertimbangkan
temperatur dan kelembaban udara.
2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan
dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan :
- fungsi ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan
penggunaan bahan bangunan.
- kemudahan pemeliharaan dan perawatan, dan
- prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.
3) Kelembaban relatif dipertahankan 30 - 60% .
4) Temperatur ruangan dipertahankan sekitar 680F sampai 800F (200C sampai 260C).
5) Apabila ruang rawat inap menggunakan alat pengkondisian udara, unit
pengkondisian udara tersebut bisa menjadi sumber micro-organisme yang dating
melalui filter-filternya. Filter-filter ini harus diganti pada jangka waktu yang tertentu.
Apabila menggunakan sistem pengkondisian udara sentral, maka saluran udara
(ducting) harus dibersihkan secara teratur.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada bangunan instalasi rawat inap
mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara Pada Bangunan Rumah
Sakit, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
Tahun 2011.
b. Kebisingan
1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan
instalasi rawat inap, pengelola bangunan instalasi rawat inap harus
mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising
lainnya baik yang berada pada bangunan instalasi rawat inap maupun di luar
bangunan instalasi rawat inap
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan
terhadap kebisingan pada bangunan instalasi rawat inap mengikuti pedoman dan
standar teknis yang berlaku.
c. Getaran.
1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan instalasi
rawat inap, pengelola bangunan instalasi rawat inap harus mempertimbangkan jenis
kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang berada
pada bangunan instalasi rawat inap maupun di luar bangunan instalasi rawat inap.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan
terhadap getaran pada bangunan instalasi rawat inap mengikuti pedoman dan
standar teknis yang berlaku.
5. Persyaratan kemudahan.
a. Kemudahan hubungan horizontal.
1) Setiap bangunan rumah sakit harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 23


horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk
terselenggaranya fungsi bangunan instalasi rumah sakit tersebut.
2) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan
besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang.
3) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan fungsi
ruang dan aspek keselamatan. Terkait dengan sarana keselamatan pada bangunan
rumah sakit, maka pintu ruang perawatan disarankan membuka keluar, dengan
tanpa mengganggu akses pengguna koridor.
4) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang dipertimbangkan berdasarkan
fungsi koridor, fungsi ruang dan jumlah pengguna.
b. Kemudahan hubungan vertikal.
1) Setiap bangunan rumah sakit bertingkat harus menyediakan sarana hubungan
vertikal antarlantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan rumah
sakit tersebut berupa tersedianya tangga, ram, lif, tangga berjalan/ eskalator,
dan/atau lantai berjalan/travelator.
2) Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi
bangunan rumah sakit, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta
keselamatan pengguna bangunan rumah sakit.
3) Setiap bangunan rumah sakit yang menggunakan lif, harus menyediakan lif
kebakaran.
4) Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif penumpang biasa atau lif
barang yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat
digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan lif, mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.
c. Sarana Keselamatan Jiwa.
1) Setiap bangunan rumah sakit, harus menyediakan sarana keselamatan yang
meliputi:
- Lingkungan fisik bangunan rumah sakit dirancang dan dikelola untuk memenuhi
Persyaratan Teknis Keselamatan Jiwa.
- Bangunan rumah sakit melindungi penghuni selama jangka waktu tertentu.
- Bangunan dan fitur proteksi kebakaran dirancang dan dipelihara
untukmeminimalkan pengaruh api, asap dan panas.
- Bangunan rumah sakit harus dapat menjamin bahwa jumlah eksit cukup,
daneksit memiliki konfigurasi untuk memberikan perlindungan terhadap
bahayakebakaran.
- Pintu jalan ke luar tidak boleh dikunci yang bisa menghalangi
jalurpenyelamatan.
- Sarana jalan ke luar termasuk koridor, tangga kebakaran, dan pintu-pintu
yangmemungkinkan setiap orang meninggalkan bangunan atau bergerak di
antararuang-ruang khusus dalam bangunan.
- Sarana tersebut memungkinkan setiap orang mampu menyelamatkan
dirinyaterhadap api dan asap kebakaran, dan oleh karena itu merupakan bagian
daristrategi proteksi kebakaran.
- Setiap bangunan rumah sakit menyediakan dan memelihara fitur
bangunanuntuk melindungi orang-orang terhadap bahaya api dan asap
kebakaran.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 24


- Rumah Sakit menyediakan dan memelihara sistem alarm kebakaran.
- Rumah sakit menyediakan dan memelihara sistem pemadaman kebakaran.
- Rumah sakit menyediakan dan memelihara peralatan khusus untukmemproteksi
seseorang terhadap ancaman bahaya kebakaran atau asap.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana keselamatn jiwa mengikuti ”Pedoman
Teknis Sarana Keselamatan Jiwa Pada Bangunan Rumah Sakit”, yang disusun oleh
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2012.
d. Aksesibilitas.
1) Setiap bangunan rumah sakit harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas
untukmenjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia
masukke dan ke luar dari bangunan rumah sakit serta beraktivitas dalam bangunan
rumahsakit secara mudah, aman nyaman dan mandiri.
2) Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud meliputi toilet, telepon umum,jalur
pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacatdan
lanjut usia.
3) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas danketinggian
bangunan rumah sakit.
4) Ketentuan tentang ukuran, konstruksi, jumlah fasilitas dan aksesibilitas
bagipenyandang cacat mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis
yangberlaku.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 25


BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Admisi ke Rawat Inap


Rumah sakit seyogyanya mempertimbangkan bahwa pelayanan di rumah sakit merupakan
bagian dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional dibidang
pelayanan kesehatan dan tingkat pelayanan yang akan membangun suatu kontinuitas
pelayanan. Maksud dan tujuannya adalah menyelaraskan kebutuhan pasien dibidang pelayanan
kesehatan dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan pelayanan,
kemudian merencanakan pemulangan dan tindakan selanjutnya. Hasilnya adalah meningkatkan
mutu pelayanan pasien dan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.

Pasien diterima sebagai pasien rawat inap atau didaftar untuk pelayanan rawat jalan
berdasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan mereka yang telah di identifikasi dan pada
misi serta sumber daya rumah sakit yang ada. Sebelum dinyatakan rawat inap, pasien terlebih
dahulu diskrining untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasien. Apakah perlu di rawat inap
atau perlu penanganan khusus di unit perawatan khusus atau ruang intensif.

Skrining dilaksanakan melalui kriteria triase, evaluasi visual atau pengamatan, pemeriksaan fisik
atau hasil dari pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau diagnostik imajing
sebelumnya. Skrining dapat terjadi disumber rujukan, pada saat pasien ditransportasi emergensi
atau apabila pasien tiba di rumah sakit. Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk
mengobati, mengirim atau merujuk hanya dibuat setelah ada hasil skrining dan evaluasi.

1. Pendaftaran Pasien Rawat Inap


Setiap pasien yang akan dirawat inap, harus melalui proses pendaftaran. Pada proses
pendaftaran ini, pasien di data terkait identitas nama, alamat, latar belakang keluarga, dan
lain sebagainya. Data ini kemudian di simpan sebagai arsip rumah sakit.

Setiap pasien yang sudah didaftar dibuatkan rekam medis, yang kemudian menjadi catatan
medis pasien selama mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit. Pasien yang sudah
diskrining masalah kesehatannya kemudian dipesankan tempat di ruang rawat inap
melalui petugas unit lain tempat pasien di skrining.

Petugas dari unit lain memastikan ke unit rawat inap mengenai ketersedian ruangan untuk
perawatan pasien. Hal ini dapat dilakukan melalui komunikasi langsung maupun via media
komunikasi yang digunakan di rumah sakit. Petugas mendaftarkan pasien ke unit rawat
inap jika tersedia ruangan dengan memberikan informasi nama pasien, diagnosa medis
pasien, dan umur pasien kepada petugas jaga unit rawat inap.

2. Alur Penerimaan Pasien Rawat Inap


Pasien yang di rawat inap harus sesuai indikasi yang ditetapkan. Hal ini dilakukan dengan
melihat hasil skrining awal pasien. Kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan untuk
merawat pasien di unit rawat inap diatur melalui kebijakan dan prosedur rumah sakit.
Misalnya untuk pasien yang memerlukan perawatan di PICU, maka harus segera dirujuk ke
rumah sakit lain yang memiliki fasilitas ruang PICU. Namun selama belum mendapatkan
tempat rujukan, maka untuk sementara pasien dirawat semaksimal mungkin di rumah

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 26


sakit dengan fasilitas yang ada dan disertai inform consent.

Petugas yang akan mengantarkan pasien ke unit rawat inap harus memastikan terlebih
dahulu mengenai kesiapan kamar atau ruangan yang akan ditempati pasien. Kesiapan
kamar ini meliputi kebersihan ruangan, ketersediaan sarana pendukung, dan hal – hal lain yang
diperlukan. Pasien dapat ditransfer ke rawat inap jika ruangan sudah siap dan kondisi pasien
memungkinkan untuk dilakukan transfer.

Petugas mengantarkan pasien ke ruang rawat inap, kemudian diterima oleh petugas jaga
unit rawat inap. Petugas jaga bersama dengan petugas pengantar membawa pasien
menuju ruangan yang telah disiapkan. Pasien diposisikan senyaman mungkin di tempat
tidur. Petugas jaga memastikan peralatan dan sarana di sekitar pasien berfungsi baik.

Petugas pengantar melakukan operan informasi dengan petugas jaga unit rawat inap.
Informasi ini meliputi identitas pasien, kondisi umum pasien, tindakan dan pengobatan
yang telah diberikan, rencana tindakan selanjutnya, dan informasi penting lainnya terkait
perawatan pasien. Dokumentasi dari proses operan ini dilakukan pada lembar rekam
medis catatan pemindahan pasien. Petugas pengantar pasien berkewajiban mengisi
lembar tersebut, dan petugas jaga rawat inap membubuhkan tanda tangan sebagai bukti
penerimaan pasien rawat inap.

3. Orientasi Pasien Baru


Setiap pasien baru harus diberikan orientasi oleh petugas jaga rawat inap. Orientasi ini
harus dilakukan maksimal 1 jam setelah pasien masuk unit rawat inap. Untuk pasien
dengan keterbatasan komunikasi, orientasi dilakukan kepada keluarga penunggu pasien.

Orientasi dilakukan dengan melengkapi ceklis atau daftar tilik pasien baru. Isi dari ceklis
tersebut meliputi:
a. Kewajiban dan Hak pasien
b. Nama dan nomor ruangan tempat pasien dirawat
c. Nama petugas dan dokter jaga bangsal yang bertugas
d. Pilihan dokter spesialis penanggung jawab pasien (DPJP)
e. Informasi perkiraan visite dokter spesialis
f. Informasi letak ruang perawat
g. Informasi cara penggunaan bel gawat dan fasilitas lain yang ada di ruangan pasien
h. Informasi aturan jam kunjung pasien
i. Informasi cara menyampaikan pesan dan kesan
j. Informasi lokasi kamar mandi
k. Informasi adanya siaran internal melalui speaker dan cara mengatur volume speaker
l. Konfirmasi tentang publikasi identitas pasien pada whiteboard
m. Informasi letak mushola, arah kiblat dan perlengkapan ibadah pasien
n. Hasil identifikasi keterbatasan pasien dalam melaksanakan wudu dan ibadah

Ceklis orientasi pasien baru tersebut dilengkapi dengan tanda tangan petugas
pengorientasi dan tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien telah diorientasikan.
Ceklis yang sudah diisi lengkap kemudian di dokumentasikan dalam rekam medis pasien
rawat inap.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 27


B. Asuhan Pasien Rawat Inap
1. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) adalah dokter spesialis atau sub spesialis yang
bertanggungjawab atas pengelolaan asuhan medis seorang pasien di rawat inap. Mulai dari
asessmen awal, penentuan diagnosa medis sampai pemberian asuhan untuk mengatasi
keluhan pasien hingga menyusun perencanaan pulang pasien memerlukan
penanggungjawab untuk diperoleh hasil pelayanan kesehatan yang maksimal. Oleh karena
itu setiap pasien yang berobat ke rumah sakit harus memiliki DPJP sebagai
penanggungjawab asuhan medis pasien.Penentuan DPJP di ruang rawat inap berdasarkan
atas:
a. Jadwal konsulen. Apabila dalam keadaan gawat darurat DPJP Konsulen tidak dapat
dihubungi maka dapat dilakukan pengalihan DPJP yang seuai dengan spesilalisasi
penyakitnya.
b. Surat rujukan langsung kepada salah satu dokter spesialis terkait.
Dokter spesialis yang dituju otomatis menjadi DPJP pasien yang dimaksud, kecuali bila
dokter tersebut berhalangan maka pelimpahan DPJP beralih kepada dokter spesialis
yang telah ditunjuk.
c. Atas permintaan pasien/keluarga.
Pasien dan keluarga berhak meminta salah seorang dokter sebagai DPJP selama sesuai
dengan jenis penyakit dan spesialisasi dari DPJP. Apabila tidak ditemukan kesesuaian
maka DPJP wajib memberikan penjelasan dan melimbahkan pasien tersebut kepada
DPJP lain yang sesuai dengan spesifikasi penyakit yang diderita.
d. Hasil rapat KSM pada kasus tertentu.
Pada kasus yang komplek dan jarang, penentuan DPJP dapat berdasarkan rapat KSM.

Dokter penanggungjawab pelayanan pasien mempunyai beberapa kewajiban antara lain:


a. Memperkenalkan diri kepada pasien yang akan mendapatkan asuhan medis.
b. Melakukan asesmen awal dan asesmen ulang pada pasien dengan menggunakan
metoda SOAP.
c. Membuat rencana pelayanan dalam berkas rekam medis yang memuat segala aspek
asuhan medis yang akan dilakukan termasuk pemeriksaan, konsultasi, rehabilitasi
pasien dan sebagainya.
d. Memberikan penjelasan dan pendidikan secara rinci kepada pasien dan keluarga
tentang diagnosis kerja dan atau diagnosis pasti, rencana dan hasil pelayanan,
pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kejadian yang tidak diharapkan.
e. Mengisi catatan rekam medis dengan lengkap dan benar.

DPJP mempunyai wewenang dalam beberapa tindakan terkait asuhan kesehatan terhadap
pasien. Beberapa wewenang DPJP tersebut antara lain meliputi:
a. Melakukan tindakan untuk mengatasi kegawatan kepada pasien tanpa meminta
persetujuan kepada pasien atau keluarga.
b. Melakukan konsultasi dengan disiplin terkait lain.
c. Meminta perawatan bersama dengan DPJP lain sesuai dengan kondisi pasien dengan
terlebih dahulu memberikan pendidikan ke pasien atau keluarga dan meminta
persetujuannya.
d. Merujuk pasien apabila sudah tidak mampu menangani pasien atau rumah sakit tidak
memiliki fasilitas yang memadai sesuai dengan kondisi pasien.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 28


2. Dokter Jaga Ruang Rawat Inap (Dokter Bangsal)
Dokter jaga ruang rawat inap atau biasa disebut dengan dokter bangsal adalah seorang
tenaga dokter yang diberi tanggung jawab dan wewenang memberikan pelayanan pada
pasien yang di rawat di ruang rawat inap. Pada umumnya kualifikasi dokter yang bertugas
sebagai dokter bangsal adalah dokter umum.
Tugas dokter bangsal antara lain:
a. Sebagai pemimpin dalam 1 shift jaga di bangsal
b. Melakukan pelayanan medis terhadap pasien yaitu
1) Melakukan penilaian awal saat pasien masuk ke bangsal
2) Memastikan apakah terapi yang diterima pasien telah sesuai
3) Mengikuti preconference perawat dan operan pasien khusus untuk dokter jaga pagi
4) Menginformasikan dan mengkonsultasikan pasien baru kepada dokter penanggung
jawab pasien (DPJP)
5) Melakukan follow up pasien untuk semua pasien rawat inap di bangsal dengan
mendahulukan kegawatan terlebih dahulu
6) Melakukan screening pasien pre-operasi
7) Melakukan edukasi pasien pulang
8) Menyampaikan prognosis pada kasus yang cenderung memburuk
c. Berkolaborasi dengan tenaga medis dan paramedic (perawat jaga/ dokter umum/
dokter spesialis)
d. Bekerja sama dengan tenaga paramedis dan non medis untuk menciptakan pelayanan
bangsal yang baik
e. Bekerja sama dengan tenaga paramedis dan non medis untuk menciptakan suasana
kerja yang nyaman
f. Melakukan operan jaga dengan sesama dokter bangsal
g. Sebagai dokter poliklinik umum sesuai dengan waktu yang disepakati.
Wewenang dokter bangsal adalah melakukan tata laksana umum sebagai dokter jaga
rawat inap; Memberikan terapi simptomatis secara ekstra (non rutin) saat diperlukan
dan tidak berhak mengganti terapi dokter spesialis tanpa konfirmasi dan persetujuan
dokter spesialis; serta Melakukan tindakan kegawatdaruratan saat diperlukan.

3. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan
yang diberikan secara langsung kepada klien/pasien di berbagai tatanan pelayanan
kesehatan. Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi
yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan,bersifat humanistic,dan berdasarkan pada
kebutuhan objektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien.

Adapun tujuan dalam pemberian asuhan keperawatan antara lain:


a. Membantu individu untuk mandiri
b. Mengajak individu atau masyarakat berpartisipasi dalam bidang kesehatan
c. Membantu individu mengembangkan potensi untuk memelihara kesehatan secara
optimalagar tidak tergantung pada orang lain dalam memelihara kesehatannya
d. Membantu individu memperoleh derajat kesehatan yang optimal

Fungsi dari Proses Keperawatan adalah sebagai berikut:


a. Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah bagi tenaga
keperawatan dalam memecahkan masalah klien melalui asuhan keperawatan .

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 29


b. Memberi ciri profesionalisasi asuhan keperawatan melalui pendekatan pemecahan
masalah dan pendekatan komunikasi yang efektif dan efisien.
c. Memberi kebebasan pada klien untuk mendapat pelayanan yang optimal sesuai dengan
kebutuhanya dalam kemandirianya di bidang kesehatan.

Tahap – tahap dalam proses keperawatan meliputi:


a. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji
dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang di hadapi pasien baik
fisik, mental, sosial maupun spiritual dapat ditentukan.Tahap ini mencakup tiga
kegiatan,yaitu pengumpulan data,analisis data,dan penentuan masalah kesehatan serta
keperawatan.
b. Pengumpulan data
Tujuan :
Diperoleh data dan informasi mengenai masalah kesehatan yang ada pada pasien
sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus di ambil untuk mengatasi masalah
tersebut yang menyangkut aspek fisik,mental,sosial dan spiritual serta faktor lingkungan
yang mempengaruhinya. Data tersebut harus akurat dan mudah di analisis. Jenis data
antara lain:
- Data objektif, yaitu data yang diperoleh melalui suatu pengukuran, pemeriksaan,
dan pengamatan, misalnya suhu tubuh, tekanan darah, serta warna kulit.
- Data subjektif, yaitu data yang diperoleh dari keluhan yang dirasakan pasien, atau
dari keluarga pasien/saksi lain misalnya,kepala pusing,nyeri,dan mual.

Adapun focus dalam pengumpulan data meliputi:


- Status kesehatan sebelumnya dan sekarang
- Pola koping sebelumnya dan sekarang
- Fungsi status sebelumnya dan sekarang
- Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan
- Resiko untuk masalah potensial
- Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien
c. Analisa data
Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir rasional
sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuan.
d. Perumusan masalah
Setelah analisa data dilakukan, dapat dirumuskan beberapa masalah kesehatan.
Masalah kesehatan tersebut ada yang dapat diintervensi dengan asuhan keperawatan
(masalah keperawatan) tetapi ada juga yang tidak dan lebih memerlukan tindakan
medis.

Selanjutnya disusun diagnosis keperawatan sesuai dengan prioritas. Prioritas masalah


ditentukan berdasarkan criteria penting dan segera. Penting mencakup kegawatan dan
apabila tidak diatasi akan menimbulkan komplikasi, sedangkan segera mencakup waktu
misalnya pada pasien stroke yang tidak sadar maka tindakan harus dilakukan untuk
mencegah komplikasi yang lebih parah atau kematian. Prioritas masalah juga dapat
ditentukan berdasarkan hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu : keadaan yang
mengancam kehidupan, keadaan yang mengancam kesehatan, persepsi tentang kesehatan
dan keperawatan.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 30


e. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia
(status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana
perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara
pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan
merubah (Carpenito,2000).Perumusan diagnosa keperawatan :

- Actual : menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang
ditemukan.
- Resiko: menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika tidak di lakukan
intervensi.
- Kemungkinan : menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan
masalah keperawatan kemungkinan.
- Wellness : keputusan klinik tentang keadaan individu,keluarga,atau masyarakat
dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ketingkat sejahtera yang lebih tinggi.
- Syndrom : diagnose yang terdiri dar kelompok diagnosa keperawatan actual dan
resiko tinggi yang diperkirakan muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi
tertentu.

f. Rencana keperawatan
Semua tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari status
kesehatan saat ini kestatus kesehatan yang di uraikan dalam hasil yang di harapkan
(Gordon,1994). Merupakan pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana
perawatan terorganisasi sehingga setiap perawat dapat dengan cepat mengidentifikasi
tindakan perawatan yang diberikan. Rencana asuhan keperawatan yang di rumuskan
dengan tepat memfasilitasi kontinuitas asuhan perawatan dari satu perawat ke perawat
lainnya. Sebagai hasil, semua perawat mempunyai kesempatan untuk memberikan
asuhan yang berkualitas tinggi dan konsisten. Rencana asuhan keperawatan tertulis
mengatur pertukaran informasi oleh perawat dalam laporan pertukaran dinas. Rencana
perawatan tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka panjang(potter,1997)

g. Implementasi keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien.

Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :


 Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk mengevaluasi yang
diindentifikasi pada tahap perencanaan.
 Tahap 2 : intervensi
Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan pelaksanaan
tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan : independen,dependen,dan
interdependen.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 31


 Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan
akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

h. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara
proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan
dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam
kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah
di rumuskan sebelumnya.Sasaran evaluasi adalah sebagai berikut
 Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana yang telah disusun.
 Hasil tindakan keperawatan,berdasarkan criteria keberhasilan yang telah di
rumuskan dalam rencana evaluasi.

Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :


 Tujuan tercapai,apabila pasien telah menunjukan perbaikan/kemajuan sesuai
dengan criteria yang telah di tetapkan.
 Tujuan tercapai sebagian,apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga
perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
 Tujuan tidak tercapai,apabila pasien tidak menunjukan perubahan/kemajuan sama
sekali bahkan timbul masalah baru. Dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji
secara lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan
faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.
Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses keperawatan dari
pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien,seluruh tindakannya harus di
dokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi keperawatan.

i. Dokumentasi keperawatan
Dokumentasi adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat diandalkan
sebagai catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang (potter 2005). Potter (2005)
juga menjelaskan tentang tujuan dalam pendokumentasian yaitu :
 Komunikasi
Sebagai cara bagi tim kesehatan untuk mengkomunikasikan (menjelaskan)
perawatan klien termasuk perawatan individual,edukasi klien dan penggunaan
rujukan untuk rencana pemulangan.
 Tagihan financial
Dokumentasi dapat menjelaskan sejauhmana lembaga perawatan mendapatkan
ganti rugi (reimburse) atas pelayanan yang diberikan bagi klien.
 Edukasi
Dengan catatan ini peserta didik belajar tentang pola yang harus ditemui dalam
berbagai masalah kesehatan dan menjadi mampu untuk mengantisipasi tipe
perawatan yang dibutuhkan klien.
 Pengkajian
Catatan memberikan data yang digunakan perawat untuk mengidentifikasi dan
mendukung diagnose keperawatan dan merencanakan intervensi yang sesuai.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 32


 Riset
Perawat dapat menggunakan catatan klien selama studi riset untuk mengumpulkan
informasi tentang faktor-faktor tertentu.
 Audit dan pemantauan
Tinjauan teratur tentang informasi pada catatan klienmemberi dasar untuk evaluasi
tentang kualitas dan ketepatan perawatan yang diberikan dalam suatu institusi.
 Dokumentasi legal
Pendokumentasian yang akurat adalah salah satu pertahanan diri terbaik terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan.

Dokumentasi penting untuk meningkatkan efisiensi dan perawatan klien secara


individual. Ada enam informasi penting dalam dokumentasi keperawatan yaitu :
 Dasar factual
Informasi tentang klien dan perawatannya harus berdasarkan fakta yaitu apa yang
perawat lihat,dengar dan rasakan.
 Keakuratan
Catatan klien harus akurat sehingga dokumentasi yang tepat dapat dipertahankan
klien.
 Kelengkapan
Informasi yang dimasukan dalam catatan harus lengkap,mengandung informasi
singkat tentang perawatan klien.
 Keterkinian
Memasukan data secara tepat waktu penting dalam perawatan bersama klien.
 Organisasi
Perawat mengkomunikasikan informasi dalam format atau urutan yang logis.
Contoh catatan secara teratur menggambarkan nyeri klien,pengkajian dan intervensi
perawat dan dokter.
 Kerahasiaan
Informasi yang diberikan oleh seseorang keorang lain dengan kepercayaan dan
keyakinan bahwa informasi tersebut tidak akan dibocorkan. Melalui dokumentasi
keperawatan akan dapat dilihat sejauh mana peran dan fungsi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien. Hal ini akan bermanfaat bagi
peningkatan mutu pelayanan dan bahan pertimbangan dalam kenaikan jenjang
karir/kenaikan pangkat. Selain itu dokumentasi keperawatan juga dapat
menggambarkan tentang kinerja seorang perawat.

C. ASUHAN PASIEN RISIKO TINGGI


1. Pelayanan Kasus Emergensi
Pelayanan kasus emergensi diberikan kepada pasien rawat inap yang mengalami perubahan
kondisi yang tiba – tiba memburuk sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat
untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi di rawat inap
karena banyaknya kasus yang ditangani di rawat inap. Asuhan yang harus dilakukan oleh
petugas jaga rawat inap untuk menangani kondisi ini antara lain:
a. Memeriksa kondisi umum pasien
Pemeriksaan kondisi umum dilakukan dengan menghitung GCS untuk mengetahui
tingkat kesadaran pasien. Jika kesadaran menurun, petugas memeriksa respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan, dapat berupa tepukan pada bahu pasien atau

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 33


memanggil nama pasien.
b. Memastikan tanda sirkulasi pasien
Denyut nadi merupakan tanda yang paling sering dipakai untuk memeriksa sirkulasi
pada pasien. Hal ini dilakukan dengan melakukan palpasi pada daerah leher untuk
memastikan denyut nadi pasien.
c. Meminta bantuan petugas lain
Petugas segera memanggil petugas lainnya untuk membantu menangani pasien. Hal ini
harus dilakukan karena petugas penolong kemungkinan memerlukan rekan untuk
menyiapkan alat emergensi atau membantu melakukan tindakan emergensi.
d. Melakukan resusitasi
Segera melakukan resusitasi jika dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien mengalami
henti nafas dan henti jantung. Resusitasi dilakukan dengan memberikan kompresi pada
dinding dada dan ventilasi atau bantuan nafas. Dalam satu siklus resusitasi dilakukan
dengan 30 kali kompresi dan 2 kali ventilasi. Tentu saja hal ini dilakukan sesuai indikasi
dan memperhatikan adakah kontraindikasi untuk dilakukan resusitasi.

2. Pelayanan Resusitasi
Resusitasi jantung paru adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami
henti napas atau pun henti jantung oleh karena sebab-sebab tertentu. Mempunyai tujuan
RJP untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.
Komponen penting dalam Resusitasi Jantung Paru atau dikenal dengan ABC adalah :
a. Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan erior faring adalah jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior
faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada korban tidak sadar yang
terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka.
b. Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien dapat
bernafas spontan. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan bunyi nafas dari hidung
dan mulut korban dan memperhatikan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan
spontan tidak timbul kembali, diperlukan ventilasi buatan.
c. Circulasion (Sirkulasi)
Bantuan ketiga BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tidak ada nadi yang teraba
pada arteri besar (periksalah arteri karotis sesering mungkin) merupakan tanda utama
henti jantung. Henti jantung adalah gambaran klinis berhentinya sirkulasi mendadak
yang terjadi pada seseorang yang tidak diduga mati pada waktu itu atau pengehentian
tiba – tiba kerja pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Diagnosis
henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri
besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan
sangat gawat ini.

Resusitasi harus dilakukan pada :


a. Infark jantung “kecil”, yang mengakibatkan “kematian listrik”
b. Serangan Adams – Stokes
c. Hipoksa akut
d. Keracunan dan kelebihan dosis obat –obatan
e. Sengatan listrik
f. Refleks vagal

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 34


g. Tenggelam dan kecelakaan – kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup

Resusitasi tidak dilakukan pada :


a. Kematian normal, seperti biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. Pada
keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak
hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit.
Upaya resusitasi di sini tidak bertujuan dan tidak berarti.
b. Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi
c. Bila hampir dipastikan bahwa fungsi serebal tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ - 1 jam
terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.

3. Pelayanan Darah dan Komponen Darah


Pelayanan darah dan komponen darah di rumah sakit dilakukan dengan kerjasama dengan
pihak PMI. Terutama dalam proses pengolahan dan penyimpanan darah. Di rawat inap
hanya melakukan prosedur pemberian komponen darah kepada pasien yang membutuhkan.
Prosedur pemberian komponen darah ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal,
antara lain:
a. Ketersediaan darah di PMI
Ketersediaan darah di PMI menjadi faktor penting dalam pelayanan tranfusi di rawat
inap. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan pihak rumah sakit dalam mengolah dan
menyimpan komponen darah. Sehingga memerlukan pihak kedua untuk melakukan
proses pengolahan dan penyimpanan.
b. Persetujuan tindakan trafusi
Persetujuan tindakan sifatnya wajib untuk dilakukan karena tindakan pemberian
komponen darah ini termasuk salah satu tindakan yang berisiko tinggi.
c. Memastikan tepat pasien dengan melakukan identifikasi
Setiap petugas yang akan melakukan tindakan tranfusi harus melakukan prosedur
identifikasi untuk memastikan tepat pasien. Prosedur identifikasi ini dilakukan dengan
cara menanyakan nama pasien kemudian mencocokkan dengan identitas yang tertulis
pada gelang pasien. Selain itu petugas juga harus memastikan komponen darah dengan
melihat kode yang ada pada kantong darah, tanggal kadaluarsa, jenis komponen darah,
golongan darah, dan kesesuaian identitas pasien.

d. Memantau adanya reaksi tranfusi


Petugas rawat inap, dalam hal ini adalah dokter dan perawat harus melakukan
pemantauan terhadap kemungkinan adanya reaksi tranfusi. Pemantauan ini dilakukan
selama dilakukannya tranfusi. Jika terjadi reaksi tranfusi, maka petugas rawat inap
segera menghentikan tranfusi dan mengambil tindakan sesuai dengan instruksi dokter
penanggung jawab pasien.

4. Pelayanan Bantuan Hidup Dasar Pasien Koma


Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap
terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu.
Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti
nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi.Tujuan dari Usaha bantuan
hidup dasar ini adalah dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan
alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 35


bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan "henti jantung" yang disaksikan
(witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban.
Bantuan hidup dasar pada pasien koma dilakukan dengan:
a. Memastikan respon pasien
Untuk mengetahui respon pasien dilakukan dengan memberikan rangsanyan nyeri
kepada pasien, misalnya dengan mencubit bahu korban. Kemudian memastikan denyut
nadi pasien.
b. Meminta bantuan petugas lain
Meminta pertolongan kepada petugas lain dapat dilakukan dengan cara memanggil atau
meminta tolong kepada orang disekitar untuk meminta bantuan petugas lainnya.
c. Melakukan resusitasi
Resusitasi dilakukan jika pasien mengalami henti nafas dan henti jantung. Resusitasi
dilakukan dengan memberikan kompresi pada dinding dada dan ventilasi atau bantuan
nafas. Dalam satu siklus resusitasi dilakukan dengan 30 kali kompresi dan 2 kali ventilasi.
Tentu saja hal ini dilakukan sesuai indikasi dan memperhatikan adakah kontraindikasi
untuk dilakukan resusitasi.
d. Melakukan evaluasi kondisi pasien
Perlu dilakukan evaluasi terhadap perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan
tindakan resusitasi. Evaluasi yang dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan EKG
untuk mengetahui gambaran EKG pasien.

5. Pelayanan Pasien Penyakit Menular


Secara umum asuhan pasien penyakit menular dilakukan dalam ruang isolasi. Hal ini
dilakukan untuk mencegah penularan kepada pasien lainnya di rumah sakit. Dalam
pelaksanaannya pun petugas diwajibkan menggunakan APD setiap melakukan tindakan.
Asuhan Pasien Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis).Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
a. Cara penularan
1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
b. Risiko penularan
1) Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 36


2) Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
3) ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4) Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

c. Risiko menjadi sakit TB


1) Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2) Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3) Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4) HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.

d. Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


1) 50% meninggal
2) 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3) 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

6. Pelayanan Pasien Dialisis


Dialisis adalah tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai
bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup
yang optimal yang terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis.
Ada beberapa persyaratan terkait sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pelayanan
dialisis, antara lain:
a. Ruang peralatan mesin hemodialisis untuk kapasitas 4 mesin hemodialisis;
b. Ruang pemeriksaan dokter/konsultasi;
c. Ruang tindakan;
d. Ruang perawatan, ruang sterilisasi, ruang penyimpanan obat dan ruang penunjang
medik;
e. Ruang administrasi dan ruang tunggu pasien;
f. Ruang lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Selain persyaratan sarana dan prasarana, pelayanan penyelenggara juga harus


memenuhipersyaratan peralatan, yaitu sekurang-kurangnya meliputi:
a. 4 mesin hemodialisis siap pakai;
b. Peralatan medik standar sesuai kebutuhan;
c. Peralatan reuse dialiser manual atau otomatik;
d. Peralatan sterilisasi alat medis;

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 37


e. Peralatan pengolah air untuk dialisis yang memenuhi standar; dan
f. Kelengkapan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan.

Persyaratan ketenagaan, antara lain:


a. Seorang konsultan ginjal hipertensi (KGH) sebagai supervisor unit dialisis yang bertugas
membina, mengawasi, dan bertanggung jawab dalam kualitas pelayann dialisis suatu
unit dialisis yang menjadi afiliasinya.
b. Dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi (Sp.PD KGH) yang memiliki
surat ijin praktik (SIP) dan atau dokter spesialis penyakit dalam yang terlatih bersertifikat
pelatihan hemodialisis yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai
penanggungjawab;
c. Perawat mahir hemodialisis minimal sebanyak 3 orang perawat untuk 4 mesin
hemodialisis dari organisasi profesi;
d. Teknisi elektromedik dengan pelatihan khusus mesin dialisis; dan
e. Tenaga administrasi serta tenaga lainnya sesuai kebutuhan.
f. Ijin penyelenggaraan unit hemodialisis melekat dan menjadi bagian dari ijin
penyelenggaraan rumah sakit. Penyelenggaraan unit pelayanan dialisis di rumah sakit
yang merupakan pengembangan pelayanan setelah beroperasinya rumah sakit harus
terlebih dahulu mendapat ijin dinas kesehatan kabupaten / kota. Ijin tersebut diberikan
setelah unit layanan memenuhi persyaratan.

7. Pelayanan Pasien Risiko Jatuh


Pelayanan terhadap pasien risiko jatuh dilakukan dengan cara:
a. Asessmen risiko jatuh
Asessmen risiko jatuh dilakukan pada semua pasien rawat inap, baik dewasa maupun
anak – anak. Untuk pasien dewasa asessmen risiko jatuh dilakukan dengan
menggunakan instrumen falls morse scale. Dalam skala ini pasien yang skor totalnya
dalam kategori risiko rendah dan risiko tinggi harus dilakukan intervensi untuk
mencegah pasien jatuh.
b. Intervensi pasien risiko jatuh
Intervensi pasien risiko Jatuh standar (risiko rendah)
c. Tingkatkan observasi bantuan yang sesuai saat ambulasi.
d. Keselamatan lingkungan : hindari ruangan yang kacau balau, dekatkan bel dan telepon,
gunakan penerangan yang cukup malam hari, posisi tidur rendah, terpasang penghalang
tempat tidur serta roda tempat tidur harus selalu terkunci.
e. Monitor kebutuhan pasien.Keluarga menemani pasien yang berisiko jatuh, bila tidak ada
keluarga, pasien diminta menekan bel bila membutuhkan bantuan.
f. Edukasi perilaku untuk mencegah jatuh kepada pasien dan keluarga pasien dengan
menempatkan standing akrilik edukasi jatuh di meja samping tempat tidur pasien.
g. Gunakan alat bantu jalan (walker,handrail).
h. Anjurkan pasien menggunakan kaos kaki atau sepatu yang tidak licin.
i. Lakukan penilaian ulang risiko jatuh bila ada perubahan kondisi atau pengobatan pasien.

Intervensi pasien risiko jatuh tinggi


a. Pakaikan gelang risiko jatuh berwarna kuning.
b. Lakukan intervensi jatuh standar.
c. Strategi mencegah jatuh dengan penilaian jatuh yang lebih detail seperti analisis cara
berjalan sehingga dapat ditentukan intervensi spesifik seperti menggunakan terapi fisik

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 38


atau alat bantu jalan jenis terbaru untuk membantu mobilisasi.
d. Pasien ditempatkan di ruang yang terdekat dengan nurse station untuk memudahkan
pengawasan.
e. Handrail kokoh dan mudah dijangkau pasien.
f. Siapkan alat bantu jalan.
g. Lantai kamar mandi dengan karpet antislip atau tidak licin serta anjuran menggunakan
tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi.
h. Dampingi pasien bila ke kamar mandi, jangan tinggalkan sendiri di toilet informasikan
cara menggunakan bel di toilet untuk memanggil perawat, pintu kamar mandi jangan
dikunci.
i. Lakukan penilaian ulang risiko jatuh tiap shif.

8. Pelayanan Pasien Lansia, Cacat, Anak-anak, dan Populasi Yang Berisiko Disiksa
Menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, munculnya penyakit kronik dan degeneratif, serta
kondisi psikososial yang tidak mendukung akibat berbagai kehilangan (teman hidup,
pekerjaan, kehormatan dan penghargaan, dan sebagainya) membuat orang lanjut usia
semakin terpuruk dan tidak sehat secara fisik maupun mental. Berbagai macam penyakit
kronik dan degeneratif yang sering kali menyertai mereka, memerlukan penatalaksanaan
jangka panjang, bahkan seumur hidup. Lanjut usia (lansia) adalah setiap warga negara
Indonesia pria atau wanita yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik potensial
maupun tidak potensial.

Sedangkan batasan lanjut usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi
Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia usia lebih dari 60
tahun. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik
yang spesifik. Secara alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami
berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya.

Pelayanan yang diberikan terhadap pasien lansia, cacat, anak – anak dan populasi yang
berisiko disiksa dilakukan dengan memberikan jaminan bahwa pasien akan dilayani sesuai
dengan prosedur sesuai dengan kebutuhan pasien. Upaya rumah sakit dalam memberikan
pelayanan diwjudkan dalam bentuk:
a. Penyediaan fasilitas
1) Tempat tidur dengan pengaman
2) Hand rail pada tembok kamar mandi, dan tangga
3) Kursi roda
b. Layanan kesehatan
1) Fisioterapi
2) Asuransi kesehatan (pemerintah, swasta).

D. ASUHAN PASIEN MENJELANG KEMATIAN


Keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan
lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan. Sedangkan definisi dari kematian adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu
akan mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan suatu
kehilangan.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 39


1. Masalah di Akhir Kehidupan
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang sekarat
sampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan
mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara hal-
halyang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan
perawatanyang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium
terminal sertakelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut.

Dua masalah yang pantas mendapat perhatian khusus: euthanasia dan bantuan bunuh diri.
a. Euthanasia
Adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelasdimaksudkan untuk
mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemenberikut: subjek tersebut
adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agenmengetahui
tentang kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan
niat utama mengakhiri hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih
dan tanpa tujuan pribadi.

b. Bantuan Bunuh Diri


Berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat
atau keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling
mengenai obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannnya.
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral,
walaupun antara keduanya ada perbedaan yang jauh secara praktek maupun dalam hal
yuridiksi legal. Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus
dibedakan dengan menunda atau menghentikan perawatan medis yang tidak
diinginkan, sia-sia atau tidak tepat dengan ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika
tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.

Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit atau
penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan.Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut.Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap
mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk
mati.Dokter dianggap sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka
mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk
mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa
enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan tindakan yang ilegal di
sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar kode etik kedokteran.
Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telahdinyatakan
kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:

Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera,
tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yangmemintanya.
Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan
pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalamkeadaan sakit tahap terminal.

Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak
dapatmelakukan apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 40


stadium lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat.Pada tahun-tahun terakhir telah
terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan
penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup.

Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia, dari anak-anak dengan
penyakit kanker sampai orang tua yang hampir meninggal. Satu aspek dalam
pengobatan paliatif yang memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit.Semua
dokter yang merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup
ketrampilan dalam masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan
yang sesuai dari ahli pengobatan paliatif.Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh
membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih
bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.

Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien,


wakil pasien dalam mengambil keputusan, dan juga dokter.Kemungkinan
memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur
radiologi, dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai
tindakan tersebut dan kapan menghentikannya jika tidak berhasil.

Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang
kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika
penolakan itu dapat mengancam jiwa pasien, dokter tidak boleh membiarkan pasien
sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah
tidak mungkin disembuhkan. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian;
beberapa akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli
seberapapun sakit dan menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga
menolak bahkan tindakan yang sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup
seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan setiap usaha
untuk memberitahukan kepada pasien semua informasi tentang perawatan yang ada
serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati keputusan pasien
apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.

Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten


memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan
keinginannya sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan
lebih mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus
diinterpretasikan berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan
keinginannnya dengan jelas, wakil pasien dalam mengambil keputusan harus
menggunakan kriteria-kriteria lain untuk keputusan perawatan yaitu kepentingan
terbaik pasien.

2. Tahap-tahap Menjelang Ajal


Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan/ membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying)
dalam 5 tahap, yaitu:
a. Menolak/Denial
Pada fase ini , pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan
menunjukkan reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran seperti:“Seharusnya tidak
terjadi dengan diriku, tidak salahkah keadaan ini?”.Beberapa orang bereaksi pada fase

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 41


ini dengan menunjukkan keceriaan yang palsu (biasanya orang akan sedih mengalami
keadaan menjelang ajal).

b. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada
diri klien, seperti:“Mengapa hal ini terjadi dengan diriku”, kemarahan-kemarahan
tersebut biasanya diekspresikan kepada obyek-obyek yang dekat dengan pasien,
seperti:keluarga, teman dan tenaga kesehatan yang merawatnya.

c. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.Pada pasien yang sedang
dying, keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata:“Ya Tuhan, jangan dulu
saya mati dengan segera, sebelum anak saya lulus jadi sarjana”.

d. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang
sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.

e. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian.Fase ini sangat
membantu apabila pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat, dan sebagainya.

3. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian


a. Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
1) Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
2) Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
3) Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah,
perutkembung, obstipasi, dan lainnya.
b. Penurunan kontrol spingter urinari dan rectal.
c. Gerakan tubuh yang terbatas.
d. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:
1) Kemunduran dalam sensasi.
2) Sianosis pada daerah ekstermitas.
3) Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
4) Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
5) Nadi lambat dan lemah.
6) Tekanan darah turun.
e. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
f. Gangguan Sensori
g. Penglihatan kabur.
h. Gangguan penciuman dan perabaan.\

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 42


Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadang-kadang
pasien tetap sadar sampai meninggal. Pendengaran merupakan sensori terakhir yang
berfungsi sebelum meninggal.

4. Tanda-tanda klinis saat meninggal


a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

5. Tanda-tanda meninggal secara klinis


Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan
nadi, respirasi dan tekanan darah.Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan
beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu:
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.

6. Bantuan yang dapat Diberikan


a. Bantuan Emosional
1) Pada fase Denial/Menolak
Dokter/perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
2) Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Dokter/Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih
merupakan hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang
kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang
yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan
tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam
menumbuhkan rasa aman.
3) Pada Fase Menawar
Pada fase ini dokter/perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan
mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah
dan takut yang tidak masuk akal.
4) Pada Fase Depresi
Pada fase ini dokter/perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5) Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 43


dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
b. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1) Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dan
sebagainya.
2) Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada pasien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dan lainya. Pemberian obat ini diberikan sesuai
dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan pasien. Obat-obatan lebih baik
diberikan Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena
kondisi sistem sirkulasi sudah menurun
3) Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan
pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas,
sedangkan bagi pasien yang tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang
drainase dari mulut dan pemberian oksigen
4) Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, pasien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur (miring kiri, miring kanan ) untuk
mencegah decubitus dan dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat
digunakan alat untuk menyokong tubuh pasien, karena tonus otot sudah menurun
5) Nutrisi
Pasien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan anti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan
serta pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi
tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia, dokter perlu menguji reflek
menelan klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair
atau Intra Vena/Infus.
6) Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinensia urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah
konstipasi. Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara
teratur atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau dipasang kateter. Harus
dijaga kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus
diberikan salep
7) Perubahan Sensori
Pasien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien biasanya
menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Pasien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus bicara
dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.

c. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial


Pasien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi
kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
1) Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan
pasien dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 44


anggota keluarga lain
2) Menggali perasaan-perasaan pasien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi
3) Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan
teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan pasien untuk membersihkan
diri dan merapikan diri
4) Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak
orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu
membacanya.

d. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual


1) Menanyakan kepada pasien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-
rencana pasien selanjutnya menjelang kematian
2) Menanyakan kepada pasien untuk bila ingin mendatangkan pemuka agama dalam
hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya.
3) Membantudan mendorong pasien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual
sebatas kemampuannya.

Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah sesuai dengan keyakinanya/ ritual harus
diberi dukungan.Petugas kesehatan dan keluarga harus mampu memberikan
ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritualnya. Petugas kesehatan dan
keluarga harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

E. PEMULANGAN PASIEN RAWAT INAP


Pemulangan merupakan proses perencanaan sistematik yang dipersiapkan bagi pasien untuk
meninggalkan instansi perawatan (rumah sakit) dan untuk mempertahankan kontinuitas
perawatan. Dalam pelaksanaan proses perencanaan sistematik tersebut perawat memiliki
peranan penting. (http://www.rsob-online.net/informasi/pengertian-umumPotter & perry
proses penerimaan dan pemulangan pasien,2005).
Ada beberapa kriteria pasien rawat inap dapat dipulangkan, antara lain:
1. Harus berdasarkan status kesehatan pasien dan kebutuhan akan kelanjutan pelayanan
dimana pasien dinyatakan sembuh atau membaik
2. Perkembangan keadaan pasien yang lebih baik dari pertama kali masuk yang ditentukan
dokter spesialis
3. Terselesainya atau berkurangnya masalah-masalah yang dialami pasien
4. Kemungkinan bisa dilakukan rawat jalan yang diputuskan dokter spesialis.

Pemulangan pasien harus dilakukan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan rumah sakit.
Prosedur yang dilakukan meliputi advis dokter, perencanaan pulang, penyelesaian administrasi,
hingga verifikasi syarat – syarat pasien boleh dipulangkan. Prosedur pemulangan pasien rawat
inap dilakukan dengan cara:
1. Dokter Penanggung jawab Pasien menyatakan pasien boleh pulang.
2. Dokter Penanggung jawab Pasien menuliskan surat keterangan pulang dan resep obat
pulang.
3. Dokter Penangung jawab Pasien meminta obat pulang ke farmasi dengan menggunakan
SIRS

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 45


4. Petugas jaga rawat inap memberikan surat rekomendasi pulang dari ruang rawat.
5. Petugas jaga rawat inap memeriksa kembali kejelasan penulisan jadwal control dan resep
obat pulang.
6. Petugas rawat memberikan surat keterangan pulang kepada pasien atau keluarga pasien.
7. Petugas jaga rawat inap memberikan informasi arah menuju administrasi billing dan farmasi
tempat penyelesaian administrasi pasien dan mengambil obat pulang (jika ada).
8. Petugas jaga rawat inap menyiapkan hasil laborat dan roentgen yang akan dibawakan
pulang kepada pasien.
9. Petugas jaga rawat inap melengkapi resume pasien pulang di status pasien.
10. Petugas jaga rawat inap memeriksa bukti penyelesaian administrasi pasien, dan memeriksa
kesesuaian obat yang diberikan dengan resep pada surat keterangan pulang.
11. Petugas jaga rawat inap memberikan hasil laborat dan roentgen kepada pasien atau
keluarga pasien.
12. Petugas jaga rawat inap mengantarkan pasien pulang menggunakan kursi roda atau
brankard sampai di depanIGD atau pintu keluar.
13. Petugas jaga rawat inap mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf serta
mendo’akan pasien dan keluarga agar selamat sampai tujuan.
14. Petugas jaga rawat inap memberikan informasi pasien pulang kepada bagian pendaftaran,
bagian pengolah gizi, dan petugas kebersihan.
15. Petugas jaga rawat inap memeriksa kesesuaian daftar pasien rawat inap pada whiteboard
dan menuliskan register pasien rawat inap

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 46


BAB V
LOGISTIK

Logistik modern adalah proses pengolahan barang strategis terhadap pemindahan dan
penyimpanan barang atau material, suku cadang dan barang jadi dari para pemasok di dalam
sarana atau fasilitas perusahaan sampai ke konsumen. (Lumenta 1990). Sedangkan pengertian
manajemen logistik adalah proses mengenai perencanaan dan penentuan kebutuhan,
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran, pemeliharaan, penghapusan, serta pengendalian.

Ada tiga tujuan pokok manajemen logistik, antara lain:


1. Tujuan operasional, tersedianya barang serta bahan dalam jumlah yang tepat dan mutu
memadai serta waktu yang dibutuhkan
2. Tujuan keuangan, meliputi pengertian bahwa tujuan operasionalnya dapat terlaksana
dengan biaya serendah-rendahnya dengan hasil yang optimal
3. Tujuan pengamanan, agar persediaan tidak terganggu oleh kerusakan, pemborosan,
penggunaan tanpa hak, pencurian dan penyusutan yang tidak wajar lainnya, serta nilai
persediaan yang sesungguhnya dapat tercermin dalam sistem akuntansi.

Manajemen logistik dalam lingkungan rumah sakit dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan, pendistribusian serta
pemantauan persediaan bahan serta barang (stock, material, supplies, inventory, dll) yang diperlukan
bagi produksi jasa rumah sakit. Manajemen logistik khususnya dilingkungan rumah sakit perlu dilaksanakan
secara efisien dan efektif dalam arti bahwa segala macam barang, bahan ataupun peralatan harus dapat
disediakan: tepat pada waktu yang dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup tidak kurang atau lebih, dan yang
paling penting adalah ketersediaannya dengan mutu yang memadai.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 47


BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Tujuan patient safetyadalah :


1. Terciptanya budaya keselamatan pasien rumah sakit.
2. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan di rumah sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian
tidak diharapkan.

Standar keselamatan pasien rumah sakit terdiri dari tujuh standar yaitu :
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarganya
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Untuk mencapai keselamatan pasien rumah sakit diperlukan beberapa upaya yang secara terus
menerus harus dilakukan, antara lain:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Memimpin dan mendukung staf rumah sakit
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Mengembangkan sistem pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk
menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus
dilaksanakan oleh Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah
tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak.Pilih langkah-langkah yang paling
strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit.Bila langkah-langkah ini berhasil maka
kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan.Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan
dengan baik rumah sakit dapat menambah penggunaan metoda-metoda lainnya.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 48


BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Rumah sakit merupakan salah satu tempat kerja yang wajib melaksanakan program K3RS yang
bermanfaat baik bagi SDM rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien, maupun bagi
masyarakat di lingkungan sekitar rumah sakit. Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3RS sampai saat ini dirasakan
belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah sakit yang belum menerapkan sistem
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3).

Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sarana, prasarana, dan
peralatan kerja. Bentuk keselamatan kerja yang dilakukan:
1. Pembinaan dan pengawasan kesehatan dan keselamatan sarana, prasarana dan
peralatankesehatan:
a. Lokasi rumah sakit harus memenuhi ketentuan mengenai kesehatan, keselamatan
lingkungan, dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan
penyelenggaraan rumah sakit;
b. Teknis bangunan rumah sakit sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk bagi
penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut;
c. Prasarana harus memenuhi standar pelayanan, keamanan serta keselamatan dan kesehatan
kerja penyelenggaraan rumah sakit;
d. Pengoperasian dan pemeliharaan sarana, prasarana dan peralatan rumah sakitharus
dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi dibidangnya (sertifikasi personil
petugas/operator sarana dan prasarana serta peralatan kesehatan rumah sakit);
e. Membuat program pengoperasian, perbaikan dan pemeliharaan rutin dan berkala sarana dan
prasarana serta peralatan kesehatan dan selanjutnya didokumentasikan dan dievaluasi
secara berkala dan berkesinambungan;
f. Peralatan kesehatan meliputi peralatan medis dan non medis dan harus memenuhi standar
pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai;
g. Membuat program pengujian dan kalibrasi peralatan kesehatan, peralatan kesehatan
harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh balai pengujian fasilitas kesehatan
dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang;
h. Peralatan kesehatan yang menggunakan sinar pengion harus memenuhi ketentuan
dan harus diawasi oleh lembaga yang berwenang;
i. Melengkapi perijinan dan sertifikasi sarana dan prasarana serta peralatan kesehatan.

2. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap SDM rumah sakit:
a. Melakukan identifikasi dan penilaian risiko ergonomi terhadap peralatan kerja dan SDM
rumah sakit;
b. Membuat program pelaksanaan kegiatan, mengevaluasi dan mengendalikan risiko
ergonomi.
c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja:
d. Manajemen harus menyediakan dan menyiapkan lingkungan kerja yang memenuhi
syarat fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial;
e. Pemantauan/pengukuran terhadap faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 49


secara rutin dan berkala;
f. Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan lingkungan kerja.
g. Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitasi:

3. Manajemen harus menyediakan, memelihara, mengawasi sarana dan prasarana sanitasi,


yang memenuhi syarat, meliputi:
a. Penyehatan makanan dan minuman;
b. Penyehatan air;
c. Penyehatan tempat pencucian;
d. Penanganan sampah dan limbah;
e. Pengendalian serangga dan tikus;
f. Sterilisasi dan desinfeksi;
g. Perlindungan radiasi;
h. Upaya penyuluhan kesehatan lingkungan.

4. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja:


a. Pembuatan rambu-rambu dan arah keselamatan;
b. Penyediaan peralatan keselamatan kerja dan alat pelindung diri (APD);
c. Membuat SPO peralatan keselamatan kerja dan APD;
d. Melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap kepatuhan penggunaan peralatan
keselamatan dan APD.

5. Pelatihan dan promosi/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua SDM rumah sakit:
a. Sosialisasi dan penyuluhan keselamatan kerja bagi seluruh SDM rumah sakit;
b. Melaksanakan pelatihan dan sertifikasi K3 rumah sakit kepada petugas K3 rumah sakit.

6. Memberi rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, desain/Lay Out pembuatan


tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan dan keamanan:

a. Melibatkan petugas K3 rumah sakit di dalam perencanaan, desain/Lay Out pembuatan


tempat kerja dan pemilihan serta pengadaan sarana, prasarana dan peralatan
keselamatan kerja;
b. Mengevaluasi dan mendokumentasikan kondisi sarana, prasarana dan peralatan
keselamatan kerja dan membuat rekomendasi sesuai dengan persyaratan yang berlaku
dan standar keamanan dan keselamatan.
c. Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya.
1) Membuat alur kejadian nyaris celakan dan celaka.
2) Membuat SPO pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris celaka
(near miss) dan celaka.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 50


d. Pembinaan dan pengawasan terhadap manajemen sistem pencegahan dan
penanggulangan kebakaran (MSPK).
1) Manajemen menyediakan saranan dan prasarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran;
2) Membentuk tim penanggulangan kebakaran;
3) Membuat SPO;
4) Melakukan sosialisasi dan pelatihan pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
5) Melakukan audit internal terhadap sistem pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.

e. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan kerja


yang disampaikan kepada direktur rumah sakit dan unit teknis terkait di wilayah kerja
rumah sakit.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 51


BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian mutu layanan rawat inap merupakan hal penting untuk menjaga mutu dan
keselamatan pasien. Pengendalian mutu dilakukan melalui program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien. Dalam program ini layanan di rawat inap menjadi salah satu sektor sasaran
dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

Pengendalian mutu layanan rawat inap dilakukan melalui kegiatan:


a. Pemenuhan standar pelayanan minimal rumah sakit
b. Penilaian indikator kunci area klinis dan manajerial rumah sakit
c. Penilaian indikator kunci keselamatan pasien rumah sakit

Dari berbagai kegiatan diatas dapat diperoleh gambaran pencapaian mutu layanan di unit rawat
inap. Dari gambaran tersebut kemudian dilakukan analisa untuk menentukan adakah layanan yang
masih memerlukan perbaikan. Langkah selanjutnya adalah menyusun rencana perbaikan untuk
mengatasi berbagai masalah atau kelemahan sistem yang ditemukan dari hasil analisa.

Perncanaan yang sudah dibuat kemudian dilakukan uji coba di layanan rawat inap. Hal ini untuk
mengetahui seberapa efektif rencana perubahan yang telah dilakukan. Proses uji coba ini dapat
berlangsung selama satu bulan atau lebih tergantung kebijakan yang diterapkan oleh rumah sakit.
Dari proses uji coba ini kemudian menghasilkan rekomendasi apakah rencana yang telah dibuat
dapat diterapkan atau perlu perbaikan lebih lanjut.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 52


BAB IX

PENUTUP

Pedoman pelayanan rawat inap ini merupakan acuan bagi staf rumah sakit dalam memberikan
pelayanan di unit rawat inap. Terutama dalam memberikan asuhan pasien di rawat inap. Tujuan
akhirnya adalah didapatkan angka kepuasan pasien rawat inap yang sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan di rawat inap.

Pedoman pelayanan rawat ini masih dapat dikembangkan lagi dengan membuat panduan atau
SPO yang secara spesifik memberikan gambaran bagi staf dalam melaksanakan prosedur
tertentu. Pengembangan ini perlu dilakukan karena sifat pedoman yang memiliki cakupan yang
luas.

Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono

drg. Wahyu Prabowo


Direktur Utama

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 53


DAFTAR REFERENSI

Pedoman Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit, 2007
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan, 2006
Standar Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit, 2010
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit, Dirjen Bina Pelayanan Medik DepKes RI, 2007

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 54


PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT AKA MEDIKA SRUBHAWONO
No. : 006./ SK / DIR / PEL / RS AKA / I ./ 2018
Tentang
PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI RAWAT INAP

DIREKTUR RUMAH SAKIT AKA MEDIKA SRIBHAWONO

Menimbang 1. Bahwa pelayanan Rawat Inap adalah pelayanan pasien untuk observasi,
diagnosis, pengobatan, rehabilitasi dan atau pelayanan kesehatan lainnya
dengan menginap di rumah sakit ;
2. Bahwa upaya meningkatkanmutu pelayanan Rumah Sakit, maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan Rawat Inap bermutu tinggi ;
3. Bahwa agar pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan
baik, perlu adanya kebijakan DIrektur Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Rawat Inap di rumah Sakit
Aka Medika Sribhawono.

Mengingat 1. Undang - UndangNo. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ;


2. Undang - Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ;
3. Surat Keputusan Pemerintah Daerah tentang Ijin Penyelenggaraan Rumah Sakit
Aka Medika Sribhawono ;
4. Surat Keputusan Pengurus tentang Pengesahan Struktur Organisasi Rumah
Sakit Aka Medika Sribhawono ;
5. Surat Keputusan pengurusan RS Aka Medika Sribhawono tentang Pengangkatan
Direksi Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono.

MEMUTUSKAN

Menetapkan ;
Pertama PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AKA MEDIKA SRIBHAWONO TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI RAWAT INAP.

Kedua Pedoman Pelayanan Instalasi Rawat Inap di maksud pada item pertama
sebagaimana terlampir dalam lampiran peraturan ini.

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 55


Ketiga Pedoman Pelayanan Instalasi Rawat Inap digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan kegiatanrawat inap di Rumah Sakit Aka Medika Sribhawono.

Keempat Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Sribhawono, 10 Januari 2018


Direktur Utama RS Aka Medika

drg. Wahyu Prabowo

Pedoman Pelayanan Rawat Inap Halaman 56

Anda mungkin juga menyukai