Anda di halaman 1dari 4

Editorial

Aspek Medikolegal
Pelayanan Gawat Darurat

Herkutanto

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Pendahuluan menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit


Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun dilakukan.
di luar rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik.
Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan dengan Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat
pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan
maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat
penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat pula karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus
unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan
Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum
digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harus
diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat
Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat
kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah
yang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering terjebak Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa
dalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan tolok ukur masalah utama yaitu: 3
etika dan hukum.1,2 - Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus - Perubahan klinis yang mendadak
karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. - Mobilitas petugas yang tinggi
Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa
keadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 37


Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter
dalam menghadapi kematian.3 Situasi emosional dari pihak wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikema-
pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan nusiaan.10 Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992
yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat
pasien dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan. darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan
pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang
Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas
sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang
– pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, terlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini menyang-
yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang kut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan
akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk
timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari
terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas volun- pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta
tarisme dari keduabelah pihak juga tidak terpenuhi. Untuk uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.9
itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azas pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.
voluntarisme. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/
keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah
dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan
atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.9
pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/ spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai
menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
pertolongan lain (loss of chance).5 Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang
spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit.
Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai
kesehatan.
adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Selain dokter
jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan
Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan
spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk
Gawat Darurat
memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi
pasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga
harus siap dan bersedia menerima rujukan dari IGD. Jika kesehatan yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam
dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya maka penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga
tanggungjawab terletak pada dokter itu dan juga rumah sakit kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992
karena tidak mampu mendisiplinkan dokternya. tentang Kesehatan sebagai berikut:6 “tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan
Pelayanan Gawat Darurat melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa
pelayanan gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentang
profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan
Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri
mengandung risiko yang tidak kecil.
Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32
Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga

38 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007


Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan tinues until a determination has been made by a health
untuk itu”. 6 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk care professional that the patient’s life or well-being is not
melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak threatened.
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam
pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian.
merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false
dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang me- emergency dengan true emergency yang pengertiannya
ngandung risiko. adalah: 3
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam A true emergency is any condition clinically deter-
melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/ mined to require immediate medical care. Such conditions
1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga range from those requiring extensive immediate care and
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan admission to the hospital to those that are diagnostic prob-
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau lems and may or may not require admission after work-up
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. 6 and observation.”
Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah
pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter kesehatan yang dihadapi pasien diselenggarakanlah triage.4
memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah
medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat
darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusun
tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus mene- rumah sakit.
rapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus
saat itu.6,10 gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga
awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada
medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga
melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewe-
seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat nangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang
melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan
baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat
kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang menentukan survivabilitas pasien.
kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan
bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh
tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam
tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara
kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan
dilakukan dengan membandingkan keterampilan gawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarang
tindakannya dengan tenaga yang serupa.2 menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good
Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Samaritan yang harus dipenuhi adalah: 3,5
Darurat 1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila
gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya,
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung maka doktrin tersebut tidak berlaku.
menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka 2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat
perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang
American Hospital Association (AHA) pengertian gawat bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
darurat adalah:3 An emergency is any condition that in the trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah kete-
opinion of the patient, his family, or whoever assumes the rampilan penolong.
responsibility of bringing the patient to the hospital-re- Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak
quires immediate medical attention. This condition con- pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 39


Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi repertum.


maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat
kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat keterangan kematian adalah:
(proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dila- - meninggal pada saat dibawa ke IGD
kukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertim- - meninggal akibat berbagai kekerasan
bangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut - meninggal akibat keracunan
terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan - meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkua- Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan
lifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karena
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.
dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai
hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat
53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan
tentang Persetujuan Tindakan Medis.6,7 Dalam keadaan
tenaga kesehatan sewajarnyalah diberikan kontra-prestasi,
gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis
paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong
pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
tersebut umumnya berlaku pada fase pelayanan gawat darurat
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi
tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar
dapat juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik
persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam
pemerintah maupun swasta. Di sini nampak bahwa jasa
medis.8
pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods
Kematian pada Instalasi Gawat Darurat sehingga masyarakat (pihak swasta) dapat diharapkan ikut
membiayainya.
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat
saat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dilaporkan darurat fase pra-rumah sakit yang juga berupa jasa, namun
kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan lebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkan
sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak dengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus
terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak swasta
harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat
Examiner.3 Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut prasarana umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat
apakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih pada fase pra-rumah sakit sewajarnyalah dibiayai dari pajak
lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melalui
kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau pengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk
Medical Examiner.3 Pihak rumah sakit harus menjaga pelayanan yang bersifat public goods tersebut. Bentuk
keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh peraturan perundang-undangan tersebut dapat berupa
jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih peraturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No.23/
lanjut. 1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I).
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga
fungsi semacam coroner diserahkan pada pejabat kepolisian Daftar Pustaka
di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang 1. Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung:
akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Alumni; 1979.
Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat 2. Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta:
keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya CV Remadja Karya; 1987.
3. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland:
pada POLRI. Aspen Publication; 1981.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan 4. Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat pra-
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 rumah sakit dan di rumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992.
tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan 5. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
6. Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan
Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di 7. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Tindakan Medis
Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa 8. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam
kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa Medis
9. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada 10. Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim
ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et SS

40 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007

Anda mungkin juga menyukai