Anda di halaman 1dari 53

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Asuhan Keperawatan pada Tn. J Yang
Mengalami Spinal Cord Injury di Gedung IRNA Teratai Kamar 226 Lantai
6 Selatan RSUP Fatmawati”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun guna melengkapi
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program DIII Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Jakarta 1.

Dalam penulisan laporan hasil keperawatan ini penulis tidak terlepas dari
hambatan dan kesulitan yang berasal dari intrinsik maupun ekstrinsik namun atas
dukungan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah,
terutama:

1. Ibu drg. Ita Astit Karmawati, MARS selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Kemenkes Jakarta 1
2. Ibu Mumpuni S.K., M.Biomed selaku ketua jurusan keperawatan
3. Tarwoto S.Kep, Ners, M.Kep selaku pembimbing karya tulis ilmiah dan
wali kelas tingkat III tahun 2016-2019 yang saya cintai terimakasih atas
semua support dan semangatnya.
4. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar dan staff jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta 1.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Warjiono dan Ibu Partiyah yang
memberikan support materil serta do’a nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan.
6. Kakak tercinta (Tovan Bahari dan Devi Utami Larassati) yang selalu
memberikan support, doa, dan bantuan kepada penulis dalam
menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
7. Kepada sahabat dan saudara penulis (Galuh Septika Maharani) yang selalu
membantu penulis dan memberikan support selama penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini.
8. Kepada perawat ruangan di ruang teratai lantai 6 selatan RSUP Fatmawati
yang membantu penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

9. Kepada pihak keluarga Tn. J yang sangat kooperatif dan membantu penulis
selama proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar belakang masalah


Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi,
subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan tandai dengan kompresi
pada medula spinalis daerah servikal (Muttaqin, 2011). Trauma
medula spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan
kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis
(TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung
atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya,
seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan reflekx, baik komplit
ataupun inkomplet (Gondowadarja and puwarta, 2014).
Trauma medula spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang
serius di berbagai belahan dunia. Menurut Centers for Disease Control
and prevention di Amerika terdapat dari 12.000 sampai 20.000 kasus
trauma medula spinalis setiap tahunnya, dan sekarang melebihi
200.000 warga amerika yang hidup dengan trauma medula spinalis
adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, dan cedera saat berolahraga.
Untuk orang yang umumnya di bawah 65 tahun, penyebabnya adalah
kecelakaan kendaraan. Untuk orang diatas 65 tahun, trauma medula
spinalis kebanyakan karena jatuh (Wang and Pearse, 2015)
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa trauma medula spinalis
prevalensinya di USA kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000
orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan medula
spinalis. Trauma medula spinalis sering pada usia sekitar 15-30 tahun,
25% trauma medula spinalis terjadi pada anak-anak. Cedera kolumna
Vertebralis (CKV) menyebabkan cedera saraf atau medula spinalis kira
kira 15%, dan 55% dari CKV ialah cedera di servikalis.
Kolumna vertebralis atau tulang belakang dapat menahan tekanan yang
berat dan mempertahankan integritasnya tanpa mengalami kerusakan
medulla spinalis. Akan tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu
dapat merusak sistem pertahanan dan mengakibatkan kerusakan pada
kolumna vertebralis dan medula spinalis. Trauma servikal dapat
ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan
subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen servikal yang dapat
menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks (price, 2009).
Cedera pada sumsum tulang belakang mengakibatkan tekanan,
bengkok, patah atau penarikan sum sum tulang belakang. Kerusakan
pada sumsum dapat melibatkan keseluruhan ketebalan sumsum tulang
belakang (tidak sempurna). Penyebab paling umum cedera sumsum
tulang belakang adalah trauma. Hilangnya sensasi, kendali motorik,
atau reflek dapat terjadi di bawah tingkat cedera atau di dalam 1
sampai 2 saraf tulang belakang atau saraf sumsum di atas tingkat
cedera. Kerusakan pada ruas tulang belakang dapat terjadi pada waktu
yang sama ketika sumsum tulang belakang cedera (DiGlullo, 2014)
Masalah yang dihadapi pasien cedera medula spinalis misalnya:
hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperatur,
tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom, selain itu pasien juga
beresiko mengalami perubahan refleks, terjadinya spasme otot, terjadi
spinal shock yaitu gejala seperti paralisis, hilangnya sensasi, tidak
stabilnya tekanan darah, inkontinensia urin, dan retensi feses,
bradikardia, hipotensi, dan gangguan fungsi seksual.
Pasien yang mengalami cedera medulla spinalis membutuhkan
perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis sehari-hari serta
mobilisasi. Pasien beresiko mengalami komplikasi berupa syok spinal,
shock neurogenik, hipoksia, infeksi saluran kemih, kontraktur otot,
dekubitus, inkontinensia urine, serta konstipasi. Jadi peran perawat
sangat perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera medulla spinalis seperti membantu
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari (makan, minum, toileting, dsb)
karena keadaan pasien cedera medula spinalis yang mengalami
immobilisasi, peran perawat sebagai edukator yaitu memberikan
informasi kepada klien dan keluarga klien tentang apa saja hal yang
perlu dilakukan guna membantu dalam proses keperawatan. Misalnya
pada klien yang mengalami konstipasi maka peran perawat yaitu
memberikan informasi kepada klien untuk memperbanyak konsumsi
sayur serta buah-buahan) hal ini juga berkesinambungan dengan peran
perawat sebagai kolaborator yaitu peran perawat dalam bekerjasama
dengan tim kesehatan lainnya seperti dokter, ahli gizi, dan fisioterapis
yang berhubungan dengan pasien dengan cedera medulla spinalis
untuk menentukan rencana tindakan selanjutnya.

b. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum:
Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan Tn. J yang
mengalami Spinal Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
Tujuan Khusus:
1). Menggambarkan proses dan hasil:
a). Pengkajian keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal
Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
b). Penetapan diagnosis keperawatan pada Tn. J yang mengalami
Spinal Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
c). Perencanaan keperawatan untuk memecahkan masalah yang
ditemukan pada Tn. J yang mengalami Spinal Cord Injury di
RSUP Fatmawati Jakarta.
d). Implementasi keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal
Cord Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
e). Evaluasi keperawatan pada Tn. J yang mengalami Spinal Cord
Injury di RSUP Fatmawati Jakarta.
2). Membahas kesenjangan antara teori dan kasus Ny. A yang
mengalami Fraktur Colum Femur di RSUP Fatmawati Jakarta.

c. Manfaat
a. Bagi penulis, sebagai sarana berlatih menambah pengetahuan dan
mengembangkan ilmu keperawatan dengan mengumpulkan
informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, dianalisis, dan disusun
dalam satu karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat, serta
menambah kekayaan intelektual.
b. Bagi institusi pendidikan dan para akademisi, dapat menambah
ilmu pengetahuan kesehatan dibidang ilmu keperawatan,
khususnya keperawatan dewasa/keperawatan medikal bedah untuk
dapat dimanfaatkan sebagai sumber atau bahan kajian dalam
menambah ilmu pengetahuan di bidang keperawatan.
c. Bagi wahana praktik, dapat dijadikan referensi dalam
mengembangkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera medula spinalis (Cervikal) atau cedera tulang
belakang yang belum dikaji dalam penelitian ini.

d. Sistematika Penulisan
Laporan kasus ini disusun berdasarkan sumber yang diperoleh
melalui buku dan jurnal ilmiah. Referensi yang penulis ambil
berasal dari Perpustakaan serta internet. Penulis membutuhkan
waktu 1 bulan untuk menyelesaikan laporan ini dimulai tanggal 8
April 2019 sampai dengan 14 April 2019. Adapun unsur masing-
masing bagian dan penjelasannya secara detail serta pengertian
lengkap diuraikan sebagai berikut:
1. Bagian awal terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:
a. Lembar judul adalah identitas yang memberikan gambaran
tentang isi dari laporan
b. Kata pengantar berisikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun
laporan
c. Daftar isi adalah daftar yang memuat gambaran tentang isi
laporan
2. Bagian isi sistematika penulisan terdiri dari beberapa unsur
sebagai berikut:
a. Bab I pendahuluan
Latar belakang yang berisi gambaran definisi tentang
cedera medulla spinalis, prevalensi kejadian cedera medulla
spinalis, gambaran patofisiologi, masalah yang dihadapi
pasien cedera medulla spinalis, serta peran perawat dalam
menghadapi pasien dengan cedera medulla spinalis, tujuan
umum dan tujuan khusus, manfaat penulisan, serta
sistematika penulisan.
b. Bab II Tinjauan teori:
Adalah kumpulan teori yang digunakan dalam pembuatan
laporan, meliputi definisi, anatomi dan fisiologi, etiologi
dan faktor resiko, patofisiologi, tanda dan gejala,
penatalaksanaan medis, serta asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis.
c. Bab III Tinjauan kasus
Berisi gambaran kasus tentang pasien dengan cedera
medulla spinalis yang terdiri dari pengkajian, analisa,
intervensi, implementasi, sampai evaluasi.
d. Bab IV Pembahasan
Adalah penjelasan mengenai permasalahan kasus yang
diangkat oleh kelompok, permasalahan disini berupa pasien
dengan cedera medulla spinalis.
e. Bab V penutup yang terdiri dari bebrapa unsur sebagai
berikut:
a. Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan kasus.
b. Saran merupakan tindak lanjut dari kesimpulan.
3. Bagian akhir dari laporan ini terdiri dari beberapa unsur sebagai
berikut: Daftar pustaka sebagai pendokumentasian sumber
bacaan ilmiah yang digunakan untuk penulisan laporan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Cedera medula spinalis


Cedera medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada
medula spinalis tergantung dari keadaan komplit atau inkomplit (Tarwoto,
2013). Spinal Cord Injury (SCI) di definisikan sebagai lesi traumatik akut
elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sum-sum tulang
belakang dan Cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik,
atau disfungsi kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014)
Sedangkan menurut Genoveva dan kharunnisa dalam jurnal “Diagnosis
dan tatalaksana medula spinalis” (2017) Trauma medula spinalis adalah
cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Gejala-
gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan
medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-
gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana
pasien mengalami gangguan fungsi total.

B. Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis

(yustika.wordpress.com)

Sebanyak 31 pasang saraf spinal berasal dari segmen yang berbeda dari
spinal cord, yang terdiri dari 8 pasang dari servikal, 12 pasang bagian
torakal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sakral dan 1 pasang bagian kogsigeal.
Setiap nervus spinalis terbentuk dari penggabungan radiks dorsalis dan
radiks ventralis yang berhubungan pada segmen medulla spinalis. Pada
radiks ventralis pada segmen medulla spinalis. Pada radiks ventralis terdiri
atas serat-serat eferen somatik dan viseral sedangkan radiks dorsalis terdiri
atas serat-serat aferen somatik dan viseral. Inversi saraf-saraf aferen spinal
yang berasal dari satu radiks dorsalis beserta ganglionnya disebut
dermatoma. Dermatoma menggambarkan area permukaan kulit yang
dipersarafi oleh nervus tertentu. (Tarwoto 2013). Medula spinalis
merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke arah
kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal
pertama dan kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks (Brunner dan
Suddarth, 2011)

C. Patofisiologi Cedera medula spinalis


Trauma pada daerah leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur
kolumna vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan
kompresi medula spinalis pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal
dan bermanifestasi pada kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai
segmen dari tulang belakang servikal. Trauma pada servikal bisa
menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak stabil. Tarwoto (2013).
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan
mempertahankan integritasnya tanpa mengalami kerusakan pada medulla
spinalis. Akan tetapi beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak
sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan pada kolumna
vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal,
kemungkinan terjadinya medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal
dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi,
dan subluksasi). Kompresi diskus, robeknya ligamen servikal, dan
kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang
servikal (Price, 2009). Sedangkan menurut (Muttaqin, 2011) pada cedera
hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa
kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus
dapat rusak. Pada cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebra
yang paling sering ditemukan. Jika ligamen posterior robek, cedera,
bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring kedepan
diatas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan
cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan
normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih
rendah.
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran
lebih jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis,
sendi permukaan, arkus tulsng posterior, ligamen interspinosa, dan
supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian posterior badan
vertebra, bagian posterior diskus invertebra, dan ligamen longitudinal
posterior), dan koluna anterior (dua pertiga bagian anterior diskus
invertebra dan ligamen longitudinal anterior). (Muttaqin, 2011)

Etiologi

Cedera Medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang


mengenai tulang belakang dimana tulang tersebut melampaui kemampuan
tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut
Emma (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa:

- Kecelakaan lalu lintas


- Kecelakaan olahraga
- Kecelakaan Industri
- Jatuh dari pohon / bangunan
- Luka tusuk
- Luka tembak
- Kejatuhan benda keras.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Cedera medulla spinalis


1. Usia
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor
2. Jenis kelamin
Belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang diasosiasikan dengan perubahan hormonal
(Menopause).

Pathway

(Fransisca B. Batticaca, 2008)

3.Trauma
Statuspada
nu servikalis Trauma pada
Fraktur, subluksasi,
tipe ekstensi servikalis tipe fleksi
dislokasi, kompresi
diskus, robeknya
ligamentum, dan
kompresi akar syaraf.

Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil

Kompresi Risti injuri Spasme otot Fraktur Kompresi baji


korda ligamen tubuh

Aktual/Risiko: Nyeri
Tindakan pola nafas Spasme otot
dekompresi tidak efektif.
dan Curah jantung Kompresi diskus
stabilisasi menurun Hambatan
dan kompresi
akar saraf mobilitas
disisinya sisinya
Fase asuhan
F Prognosis
perioperatif
penyakit

Respons Kecemasan
Paralisis
psikologis
ekstremitas atas
4. KLASIFIKASI CEDERA MEDULA SPINALIS
Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan:
1. Komusio medula spinalis adalah suatu kedaan dimana fungsi
medula spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau
sembuh secara sempurna. Kerusakan pada komosio medula
spinalis dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-
kecil dan infark pada sekitar pembuluh darah.
2. Kompresi medula spinalis berhubungan dengan cedera
vertebra, akibat dari tekanan pada medula spinalis.
3. Kontusio, adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada
vertebra, ligamen dengan terjadinya perdarahan, edema,
perubahan neuron dan reaksi peradangan.
4. Laserasio Medula spinalis merupakan kondisi yang berat
karena terjadi kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan
karena dislokasi, luka tembak hilangnya fungsi medula spinalis
umumnya bersifat permanen. (Tarwoto, 2013).

Tanda dan Gejala:


1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala medula spinalis tergantung dari tingkat
kerusakan dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan
terjadi misalnya hilangnya gerakan volunteer, hilangnya sensasi
nyeri, temperatur, tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi
bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks
autonom.
2. Perubahan refleks
Setelah cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis
sehingga stimulus reflek juga terganggu misalnya refleks pada
bladder, aktivitas viseral, refleks ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit
transversal, dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan
pergerakan.
4. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis dibawah
garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks
spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak
stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis
kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses.
5. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cedera thorakal 6 keatas,
dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti
terjadinya bradikardia, hipertensi paroksimal, distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi
tetapi tidak dapat ejakulasi.
Batas cedera medula spinalis, tanda dan gejala
Batas Cedera Fungsi yang hilang Fungsi yang
diharapkan
Cervikal (C1-  Hilangnya  Ketergantunga
C4) fungsi
n total
motorik dan
sensorik dari
leher ke
bawah

Quadriplegia  Paralisis
 Perlu bantuan
pernafasan
ventilator
 Tidak
 Memerlukan
terkontrolnya
bantuan
bowel dan
seluruhnya.
bladder.
 Berakibat
fatal
Cervikal 5  Hilangnya
(C5) fungsi
motorik dari
atas ke
bawah.
 Hilangnya
Quadriplegia  Memerlukan
sensasi di
bantuan
bawah
seluruh
klavikula.
aktivitas
 Tidak perawatan diri.
terkontrolnya
bowel dan
bladder.
 Hilangnya
Cervikal 6 fungsi
(C6) motorik di
bawah batas
bahu dan
lengan.

 Sensasi lebih  Meningkatnya


Quadriplegia banyak pada kemampuan
lengan dan untuk aktivitas
jempol hidup sehari-
hari.

 Fungsi  Masih perlu


Cervikal 7 Motorik yang
(C7) bantuan
kurang
 Ambulasi
sempurna dengan kursi
pada bahu, roda
siku,
pergelangan
dan bagian
dari lengan

 Sensasi lebih
Quadriplegia banyak pada
lengan dan
tangan
dibandingkan
pada C6.
Yang lain
mengalami  Mampu
menggunakan
 fungsi yang kursi roda
sama dengan
C5

 mampu
Cervikal 8 mengontrol
(C8) lengan tetapi  Meningkatnya
beberapa hari kemandirian
lengan dalam
mengalami aktivitas
kelemahan hidup.

 Hilangnya
Quadriplegia sensasi di
bawah dada

 Hilangnya
kemampuan  Dapat mandiri
motorik dan dalam
sensasi di perawatan diri
bawah dada
tengah

 Kemungkina
Thorakal (T1- n beberapa  Dapat bekerja
T6) otot dengan
interkosta menggunakan
mengalami kursi roda
kerusakan

 Hilangnya
Paraplegia kontrol  Sama seperti
bowel dan pada T1-T6
bladder. tetapi ada
peningkatan
keseimbangan
duduk
 Fungsi
Thorakal (T6- pernafasan
T12) sempurna
tetapi
hilangnya
fungsi bowel
dan bladder.
Paraplegia  Hilangnya
fungsi  Kemandirian
motorik dari dengan kursi
pelvis dan roda
tungkai

 Hilangnya
Lumbal (L1- sensasi dari
L3) abdomen
bagian bawah
dan tungkai,
tidak
terkontrol
bowel dan
bladder.

 Hilangnya
Paraplegia beberapa  Ambulasi
fungsi dengan
motorik pada brankas.
pangkal
paha, lutut
dan kaki.

 Tidak
Lumbosacral terkontrol
(L4-S1) bladder dan
bowel

 Hilangnya
Paraplegia fungsi  Ambulasi
motorik normal.
ankle plantar
fleksor.

 Hilangnya
sensasi pada
Sakral (S2-S4) bagian
tungkai dan
perineum.

 Pada keadaan
awal terjadi
Paraplegia gangguan
bladder dan
bowel.

Tanda-tanda dan gejala


1. Kehilangan kontrol motorik karena kerusakan pada bagian
depan sumsum tulang belakang.
2. Kehilangan refleks karena kerusakan sumsum tulang
belakang, titik transmisi siaptik dari denyut sensori pada
respons motorik
3. Kelumpuhan ringan
4. Kurangnya kendali usus dan kandung kemih
5. Rasa yang berubah (geli-paresthesia; berkurang-
hypoesthesia; bertambah-hyperesthesia)
6. Bradycardia, hipotensi, hipotermia karena masalah dengan
sistem saraf spontan. (DiGlullo, dkk 2014).

Komplikasi:
Menurut Emma, (2011) komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan trauma servikal adalah:
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur
simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini
mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah viseral serta ekstremitas
bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks,
terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada
syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit
walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla
spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat
banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.

Penatalaksanaan medis
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang
dapat dilakukan pada pasien dengan trauma medulla
spinalis yaitu:
a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
servikalis, segera pasang collar fiksasi leher, jangan
gerakan kepala atau leher.
b. Jika ada fraktur kolumna vertebra torakalis, angkut
pasien dalam keadaan telungkup, lakukan fiksasi torakal
(pakai korset)
c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.
d. Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus
pembuluh darah menurun karena paralisis fungsi sistem
saraf ortosimpatik, akibatnya tekanan darah turun beri
infus bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau
ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan isotonik
seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
adrenalin 0,2 mg boleh diulang 1 jam kemudian. Bila
denyut nadi < 44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg
IV (intravena).
e. Gangguan pernafasan kalau perlu beri bantuan dengan
respirator atau cara lain dan jaga jalan nafas tetap
lapang.
f. Jika lesi diatas C-8; termoregulasi tidak ada, mungkin
terjadi hiperhidrosis usahakan suhu badan tetep normal.
g. Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau
dauer kateter dan jika ada gangguan defekasi berikan
laksan atau klisma.
h. Tindakan operasi dilakukan bila:
1). Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla
spinalis
2). Gambaran neurologis progresif memburuk.

Farmakoterapi

Menurut Bahrudin (2016) terapi farmakologi yang


dapat diberikan yaitu:

a. Berikan metilprenidsolon 30 mg/KgBB, IV


perlahan-lahan sampai 15 menit, 45 menit
kemudian per infuse 5 mg/Kg BB selama 24 jam.
Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan
peningkatan sekunder asam arakidonat.
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan:
1. Diazepam 3 x 5-10 mg/ hari
2. Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg per hari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan:
1. Analgetika
2. Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
3. Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf
otonom (tensi > 180/100 mmHg) pertimbangkan
pemberian obat anti hipertensi).

Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan adalah:
1. Segera dilakukan immobilisasi
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servikal, atau dengan menggunakan bantalan
pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medulla spinalis misalnya
dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi pengobatan:
 Kortikosteroid seperti deksametason untuk mengontrol
edema.
 Antihipertensi seperti diazoxide untuk mengontrol tekanan
darah akibat autonomik hyperrefleksia akut.
 Kolinergik seperti bethanechol chlorida untuk menurunkan
aktivitas bladder.
 Antidepresan seperti imipramine hydrochlorida untuk
meningkatkan tonus leher bladder.
 Antihistamin untuk menstimulus beta-reseptor dari bladder
dan uretra.
 Agen antiulcer sepeti ranitidine
 Pelunak feses seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, dilakukan dengan indikasi tertentu seperti
adanya fraktur servikal dengan fragmen yang menekan lengkung
saraf.
6. Rehabilitasi dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi
cacat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

Pemeriksaan Diagnostik:

1. X-Ray Kepala
X-Ray kepala dapat melihat keadaan tulang tengkorak, misal sinus dan
beberapa kelainan serebral karena pengkapuran. Informasi yang dapat
diperoleh dari pemeriksaan ini adalah mengidentifikasi fraktur
tengkorak, kelainan vaskuler, perubahan degeneratif. Prosedur
pemeriksaan X-Ray kepala, pasien ditempatkan pada papan/ meja
dengan posisi kepala tidak hiperekstensi atau termanipulasi. Lama
pemeriksaan ini hanya beberapa menit.
Indikasi
 Pasien dengan fraktur kepala
 Tumor otak
 Abnormal vaskuler
 Perubahan degeneratif

Kontraindikasi

Tidak ada

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Jelaskan tentang tujuan dari prosedur ini, katakan bahwa prosedur ini
tidak nyeri.

2. X-Ray spinal
X-Ray spinal dapat melihat daerah cervical, thorakal, lumbal, dan
sakral dari spinalis. X-Ray spinal memberi informasi data tentang
dislokasi, fraktur vertebra, erosi tulang, pengapuran, kollap vertebra,
spondilosis.

Indikasi

 Trauma vertebra
 Fraktur dan dislokasi
 Nyeri
 Gangguan motorik dan sensorik

Kontraindikasi
Tidak ada

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Menjelaskan tujuan prosedur dan mengatakan bahwa tindakan ini tidak


sakit. Selama pemeriksaan posisi tulang belakang dipertahankan dalam
keadaan stabil untuk mencegah kerusakan spinal cord.

3. Computed Tomografi (CT)


Computed Tomography Scanning merupakan kombinasi teknologi dari
radiologi Imaging dan komputer analisis. Pemeriksaan ini dapat
memberikan gambaran secara mendetail bagian-bagian dari otak.
Misalnya dapat menentukan bentuk, ukuran dan posisi ventrikel,
mendeteksi adanya perdarahan, tumor, kista, edema. Untuk melihat
bagian vaskuler otak dilakukan dengan menggunakan bahan kontras.
Dalam pemeriksaan ini, pasien ditempatkan pada meja X-ray dengan
posisi terlentang dan kepala ditempatkan pada area scanner.
Indikasi:
 Trauma kepala
 Kerusakan serebrovaskuler
 Identifikasi adanya tumor otak
 Abses otak
 Perdarahan intraserebral
 Hidrosephalus
 Perkembangan abnormal otak

Kontraindikasi

Reaksi anafilaktik jika menggunakan kontras

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Jelaskan pada pasien untuk tidak terlalu cemas, karena tindakan ini
tidak membahayakan dan tidak terasa nyeri. Jika akan
menggunakan kontras anjurkan pasien untuk puasa selama 4 jam
sebelum pemeriksaan. Tanyakan pada pasien apakah ada alergi
terhadap kontras. Jika kontras diberikan, maka setelah pemeriksaan
perlu diobservasi kemungkinan adanya anafilaktik seperti adanya
mual, muntah, takhikardia, meningkatnya pernafasan. Pasien
dianjurkan untuk minum yang cukup banyak karena kontras
bersifat hipertonik sehingga menimbulkan diuresisi. Monitor
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

4. Magnetik Resonance Imaging (MRI)


Magnetik Resonance Imaging disebut juga Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) imaging, merupakan teknologi tomografi yang
berbasis pada interaksi inti/nukleus hidrogen (proton). Dalam
jaringan tubuh dengan menggunakan medan magnet dan sinyal-
sinyal frekuensi radio. Perubahan – perubahan energi yang
dihasilkan pada bagian tubuh ini diukur dan digunakan komputer
MRI untuk menghasilkan gambar/bayangan. Gambar ini akan
nampak sebagai potongan-potongan dua dimensi melalui organ-
organ dan jaringan.
Teknik ini sekarang menggantikan pemeriksaan otak dengan CT
scan, karena beberapa keuntungan diantaranya:
 Pemberian kontras dianjurkan pada jaringan lunak,
sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antara
jaringan yang sehat, benigna dan malegna juga gambaran
arteri dan vena yang jelas.
 Mencegah resiko-resiko minor yang berhubungan dengan
terkena X-ray.
 Tidak ada efek yang membahayakan dari tingkat
gelombang magnet dan gelombang radio yang digunakan.
 Memberikan gambaran dan banyak bagian-bagiannya,
meliputi gambaran koronal dan digital langsung dari area
mana pada pengamatan X-ray dan CT scan, tulang-tulang
menghambat pengamatan, misalnya tulang-tulang di
daerah pelvis.
 MRI tidak invasif standar, scan MRI tidak memerlukan
kontras iodine, sehingga menghindarkan/mencegah resiko
reaksi-reaksi alergi.

Keterbatasan dari pemeriksaan ini, memerlukan waktu yang


cukup lama yaitu sekitar 1 jam sedangkan pada CT scan otak
sekitar 10 menit.

Indikasi

 Maligna sistem saraf pusat


 Kelainan sistem saraf pusat
 Trauma kepala
 Lesi dan edema serebral
 Infark serebral
 Perdarahan serebral
 Kelainan kongenital.

Kontraindikasi

 Pemasangan alat-alat logam tubuh seperti pacemakers,


pemasangan alat logam pada ortopedik.
 Pasien yang hamil.

Perawatan dan Pendidikan Kesehatan

Informasikan pada pasien bahwa pemeriksaan ini tidak nyeri dan


tidak beresiko, jelaskan tentang tujuan dan prosedur pemeriksaan.

5. Angiografi Cerebral
Angiografi cerebral adalah pengamatan melalui radiografi terhadap
arteri-arteri yang mendarahi kepala, leher, wajah setelah pemasukan
kontras radio-opaque. Pemeriksaan ini sangat penting dalam
memberikan informasi tentang kepatenan, ukuran, obstruksi obstruksi
pada pembuluh darah cerebral. Teknik pemeriksaan ini dengan
memasukan kawat penuntun dan kateter pada area arteri femoralis atau
karotis atau reguler dengan cairan garam yang mengandung heparin
untuk mencegah pembentukan bekuan darah pada ujung kateter dan
mengurangi resiko emboli dan stroke. Dilakukan injeksi kontras dan
dilakukan sejumlah pemotretan meliputi fase-fase arteri, kapiler, dan
vena.
Indikasi
 Kelainan vaskuler cerebral
 Aneurisma
 Malformasi arteriovaskuler
 Melihat arteri dan vena cerebral.

Kontraindikasi

 Alergi terhadap bahan radiopaque


 Terapi antikoagulan
 Penyakit liver, Thypoid dan ginjal.

Komplikasi

Reaksi anafilaktik, kejang, stroke, emboli paru, perdarahan dari


tempat pemasangan.

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Kaji riwayat alergi terhadap iodine dan penggunaan antikoagulan.


Pasien dipuasakan setengah malam sebelum pemeriksaan. Catat
tanda vital dan status neurologi sebelum test. Setelah tindakan
pasien diistirahatkan selama 12-24 jam. Kaji tanda vital dan status
neurologi setiap 15 menit pada satu jam pertama, kemudian setiap
30 menit pada jam kedua, selanjutnya satu jam sekali, empat jam
sekali. Pada tempat pemasukan kateter dikaji apakah ada
perdarahan, hematom atau edema. Pasien juga dianjurkan minum
yang cukup. Sebelum tindakan pasien perlu disampaikan tujuan
pemeriksaan dan apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah
tindakan.

6. Elektroencephalography (EEG)
Electroencephalography (EEG) adalah catatan grafik dari
gelombang aktivitas listrik otak. Pemeriksaan ini penting untuk
mengetahui normal atau tidaknya aktivitas listrik dalam otak.
Sedikitnya ada 17- 21 elektroda yang dipasang di kepala pasien ,
misalnya pada prefrontal, frontal, temporal, oksipital.
Indikasi
 Untuk mendiagnosa epilepsi, kematian otak
 Ensefalitis
 Keadaan demensia
 Evaluasi pengobatan intoksikasi

Kontraindikasi

Tidak ada

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Sebelum tindakan jelaskan tujuan dan prosedur tindakan, misalnya


akan dipasang elektroda dalam mata dan kepala ditutup selama
pemeriksaan. Pada malam hari sebelum dilakukan pemeriksaan
pasien dikeramas rambutnya menggunakan sampo. Anjurkan
pasien untuk tidak minum kopi, teh, dan minuman berkarbonasi 8
jam sebelum pemeriksaan. Stelah tindakan rambut pasien di
keramas kembali.

7. Elektromyografi (EMG)
Electromyography merupakan pemeriksaan untuk mengukur dan
mencatat elektrik otot skletal dan konduksi saraf. Saat pemeriksaan
pasien dimasukkan jarum besar kedalam otot.
Indikasi
 Mendiagnosa adanya kelainan otot
 Gangguan konduksi neuromuskuler.

Kontraindikasi

 Pasien tidak kooperatif


 Terapi antikoagulasi atau penyakit karena perdarahan

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Terangkan pada pasien tentang tujuan dan prosedur tindakan, jelaskan


bahwa tindakan kurang lebih 20 menit dan mungkin pasien merasa
tidak nyaman.

8. Lumbal Pungsi (LP)


Lumbal pungsi adalah prosedur memasukan alat/jarum ke dalam
rongga arachnoid melalui lumbal. Lumbal pungsi bertujuan untuk
mengambil sampel cairan serebrospinal dan mengukur tekanan likuor.
Dari hasil pemeriksaan LP dapat diketahui apakah ada darah, jernih,
keruh pada cairan serebrospinalis..
Selama prosedur pasien diposisikan lateral recumbent (miring dan
menekuk) dengan dahu menempel pada lutut. Posisi ini menyebabkan
ruang interspinosum menjadi lebih lebar, sehingga memudahkan
pungsi lumbal. Lokasi penusukan biasanya dibawah L2, atau rongga
antara L3-L4, atau L4-L5. Daerah yang akan dilakukan pungsi
dibersihkan dengan sabun, dibilas kemudian dilakukan desinfektan
alkohol 70%. Tempat pungsi ditutup dengan kain duk bolong steril.
Pasien disuntikkan anestesi lokal prokain-hidroklorida 1-2% dengan
jarum halus pada area sekitar pungsi. Jarum pungsi disuntikkan sampai
jarum halus pada area sekitar pungsi. Jarum pungsi disuntikkan sampai
ke dalam subarachnoid, jarum yang masuk kurang lebih 7 cm. setelah
cairan telah keluar secara spontan, jarum segera disambung dengan
manometer kaca untuk membaca tekanan cairan. Pada saat pengukuran
pasien tidak boleh mengedan, batuk, dan harus dalam keadaan
tenang.pada keadaan normal, tekanan permukaan cairan tidak lebih
dari 180 mm, bila tekanan lebih dari 300 mm merupakan indikasi
terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan jarum pungsi harus
dicabut (Jtjuadi dalam Harsono, 2003).
Bekas tempat pungsi ditekan dengan kasa steril, kemudian diberikan
tinktur yodium, tutup dengan kasa steril dan diplester.

Indikasi

 Pengambilan sampel cairan serebrospinalis


 Pengukuran tekanan cairan serebrospinalis
 Pemberian anestesi.

Kontraindikasi

 Peningkatan tekanan intrakranial


 Pasien tidak kooperatif
 Kelainan koagulasi

Komplikasi

 Meningitis
 Herniasi otak
 Parestesia pada ekstrimitas bawah.

Perawatan dan pendidikan kesehatan

Terangkan pada pasien tentang tujuan dan prosedur tindakan untuk


mengurangi kecemasan . sampaikan bahwa tindakan ini terasa nyeri.
Setelah tindakan posisi pasien tidur terlentang selama 4-6 jam untuk
mencegah nyeri kepala . observasi tempat penusukan apakah ada
cairan yang keluar.perdarahan atau edema. Pantau keadaan pasien
misalnya adanya nyeri kepala, perubahan neurologi, kaku kuduk dan
demam.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS

Pengkajian

1. Sistem Pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan
2. Sistem kardiovaskuler
Bradikardia, hipotensi, disritmia, orthostatik hipertensi
3. Status neurologi
Nilai GCS karena 20% pasien cedera medula spinalis disertai cedera
kepala
4. Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
5. Refleks tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya refleks di bawah garis kerusakan,
post spinal shock seperti adanya hiperefleksia (pada gangguan uper motor
neuron/UMN dan flacid pada gangguan lower motor neuron/LMN.
6. Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
7. Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoregulator.
8. Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 keatas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas, dan gangguan
penglihatan.
9. Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stres ulcer, feses keras atau inkontinensia.
10. Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia.
11. Sistem muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
12. Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang tertekan (tanda awal dekubitus)
13. Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
14. Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.

Diagnosa dan Intervensi keperawatan

1. Konstipasi berhubungan dengan perubahan tingkat aktivitas


Kriteria Hasil:
- mengungkapkan perilaku/teknik untuk program usus individual.
- Menciptakan kembali kepuasan pola eliminasi usus.

Intervensi Rasional
Mandiri:
a. Auskultasi bising usus, catat a. Bising usus mungkin tidak ada
lokasi dan karakteristiknya. selama syok spinal , hilangnya
b. Catat adanya keluhann mual, bising menandakan adanya
ingin muntah, periksa muntahan paralitik ileus.
atau sekresi gaster (Jika b. Hilangnya peristaltik (Karena
terpasang NGT) dan feses untuk gangguan saraf) melumpuhkan
bekuan darah. usus, membuat distensi ilues dan
c. Catat frekuensi, karakterisktik usus. Catatan: distensi usus
dan jumlah feses. berlebihan menyokong
d. Kenali tanda-tanda/periksa terbentuknya disrefleksia otonom
adanya sumbatan, seperti segera setelah syok spinal
tidakadanya feses yang terbentuk sembuh.
selama beberapa hari, feses semi c. Perdarahan gastrointestinal dapat
cair, kegelisahan, perasaan penuh terjadi sebagai efek samping dari
di perut/abdomen. terapi tertentu (steroid atau
e. Lakukan latihan defekasi secara antikoagulan).
teratur d. Mengidentifikasi derajat
f. Anjurkan pasien untuk makan gangguan/disfungsi dan
makanan yang sehat dan yang kemungkinan bantuan yang
termasuk makanan berserat dan diperlukan.
pemasukan cairan yang lebih e. Intervensi dini perlu untuk
banyak (minimal 2000 ml/hari, mengatasi konstipasi secara
termasuk juice/sari buah. efektif/feses yang tertahan dan
g. Observasi adanya inkontinensia mengurangi risiko terjadinya
dan bantu pasien komplikasi.
menghubungkan inkontinensia f. Program untuk seumur hidup ini
dengan perubahan diet perlu untuk secara rutin
(makanan) atau rutinitas sehari- mengeluarkan feses dan biasanya
sehari termasuk stimulasi manual,
h. Berikan perawatan kulit dengan minum jus dan/atau cairan hangat
cermat dan menggunakan pelunak
feses/supositoria pada interval
Kolaborasi tertentu. Kemampuan
i. Masukkan/pertahankan selang mengontrol pengeluaran feses
NGT dan hubungkan dengan yang penting untuk kemandirian
penghisap jika diperlukan. fisik pasien dan penerimaan
j. Konsultasikan dengan ahli sosial.
gizi/tim dari nutrisi. g. Meningkatkan konsistensi feses
k. Masukkan selang rektal jika untuk dapat melewati usus
diperlukan. dengan mudah.
l. Berikan obat sesuai indikasi: h. Hilangnya kontrol sfingter ani
Pelunak feses, laksatif, dan saraf didaerah tertentu
suppositoria, enema, beresiko tinggi untuk
m. antasida, simtidin (Tagamet), iritasi/kerusakan kulit.
ranitidin (Zantac). i. Digunakan untuk mengurangi
retensi gaster (lambung) dan
mencegah muntah (mengurangi)
risiko aspirasi).
j. Membantu merencanakan
makanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan individu dan
fungsi pencernaan/eliminasinya.
k. Mengurangi distensi usus yang
meningkatkan respons autonom.
l. Menstimulasi peristaltik dan
pengeluaran feses secara rutin.
m. Mengurangi atau menetralisir
asam lambung untuk mencegah
iritasi lambung atau resiko tinggi
terjadinya perdarahan.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma


servikal)
Kriteria Hasil:
- Melaporkan penurunan rasa nyeri/ketidaknyamanan
- Mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi nyeri
- Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan sesuai kebutuhan individu.

Intervensi Rasional
a. Kaji terhadap adanya nyeri. a. Pasien biasanya melaporkan
Bantu pasien mengidentifikasi nyeri diatas tingkat cedera. Mis.,
dan menghitung nyeri, mis., dada/punggung atau
lokasi, tipe nyeri, intensitas, kemungkinan sakit kepala dari
skala 0-10. alat stabiliser. Setlah fase syok
b. Evaluasi peningkatan iritabilitas, spinal, pasien melaporkan
tegangan otot, gelisah, spasme otot dan nyeri fantom di
perubahan tanda vital yang tak bawah tingkat cedera.
dapat dijelaskan. b. Petunjuk nonverbal dari
c. Bantu pasien dalam nyeri/ketidaknyamanan
mengidentifikasi faktor memerlukan intervensi
pencetus. c. Nyeri terbakar dan spasme otot
d. Baerikan tindakan kenyamanan, dicetuskan/diperberat oleh
mis., perubahan posisi, massase, banyak faktor, mis., ansietas,
kompres hangat/dingin, sesuai tegangan, suhu eksternal
indikasi. ekstrem, duduk lama, distensi
e. Dorong penggunaan teknik kandung kemih.
relaksasi, mis., pedoman d. Tindakan alternatif mengontrol
imajinasi, visualisasi, latihan nyeri digunakan untuk ketungan
nafas dalam, berikan aktivitas emosional, selain menurunkan
hiburan, mis., televisi, radio, kebutuhan obat nyeri/efek tak
telepon, kunjungan tak terbatas. diinginkan pada fungsi
f. Berikan obat sesuai indikasi; pernafasan.
relaksasi otot, mis., dantren e. Memfokuskan kembali perhatian,
(Dantrium); analgesik; meningkatkan rasa kontrol, dan
antiansietas, mis., diazepam dapat meningkatkan kemampuan
(valium). koping.
f. Dibutuhkan untuk
menghilangkan spasme/nyeri
otot atau untuk menghilangkan
ansietas dan meningkatkn
istirahat

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler
Kriteria Hasil:
- Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop.
- Meningkatkan kekuatan bagi tubuh yang sakit/kompensasi
- Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan
kembali aktivitas.

Intervensi Rasional
a. Kaji secara teratur fungsi a. Mengevaluasi keadaan secara
motorik (jika timbul suatu khusus (gangguan sensori-motorik
keadaan syok spinal/edema dapat bermacam-macam dan atau
yang berubah). Dengan tak jelas. Pada beberapa lokasi
menginstruksikan pasien untuk trauma mempengaruhitipe dan
melakukan gerakan seperti pemilihan intervensi.
mengangkat bahu, b. Meningkatkan sirkulasi,
meregangkan jari-jari, mempertahankan tonus otot dan
menggenggam tangan mobilitas sendi, meningkatkan
memeriksa atau melepas mobilisasi sendi dan mencegah
genggaman pemeriksa. kontraktur dan atrofi otot.
b. Bantu/lakukan latihan rom c. Mencegah kontraktur pada daerah
pada semua ekstremitas dan bahu.
sendi, pakailah gerakan d. Hilangnya tonus pembuluh darah
perlahan dan lembut. Lakukan dan gerakan otot mengakibatkan
hiperekstensi pada paha secara bendungan darah dan vena akan
teratur (periodik). menjadi statis di bagian bawah
c. Letakan tangan dalam posisi abdomen, ekstremitas bawah,
(melipat) kedalam menuju meningkatnya resiko terjadinya
pusaran 90 derajat dengan hipotensi dan pembentukan
teratur trombus.
d. Tinggikan ekstremitas bawah e. Mencegah kelelahan,
beberapa saat sewaktu duduk memberimkan kesempatan untuk
atau angkat kaki/bagian bawah berperan serta/melakukan upaya
tempat tidur jika diinginkan yang maksimal.
pada keadaan tertentu. Kaji f. Hipotensi ortostatik dapat terjadi
adanya edema pada sebagai akibat dari bendungan
kaki/pergelangan tangan. vena (sekunder akibat hilangnya
e. Buat rencana aktivitas untuk tonus otot vaskuler).
pasien sehingga pasien dapat Memiringkan/meninggikan kepala
beristirahat tanpa terganggu. dapat menyebabkan hipotensi dan
f. Ukur/pantau tekanan darah bahkan pingsan.
sebelum dan sesudah g. Mengurangi tekanan pada salah
melakukan aktivitas dalam fas satu area dan meningkatkan
akut atau sampai keadaan sirkulasi perifer.
pasien stabil. Ganti posisi h. Mengurangi ketegangan
dengan perlahan. otot/kelelahan dapat membantu
g. Gantilah posisi secara periodik mengurangi nyeri, spasme otot,
walaupun dalam keadaan spasitas/kejang.
duduk. Ajarkan pasien untuk i. Gangguan sirkulasi, hilangnya
menggunakan teknik sensasi atau kelumpuhan
memindahkan berat badan. merupakan resiko tinggi terjadinya
h. Anjurkan pasien untuk luka karena tekanan. Pertimbangan
menggunakan teknik relaksasi. untuk seumur hidup (lihat pada
i. Inspeksi kulit setiap hari. DK: Integritas kulit, kerusakan,
Observasi adanya daerah yang resiko tinggi terhadap, hal.355).
tertekaan dan lakukan j. Banyak sekali pasien dengan
perawatan kulit dengan benar. trauma saraf servikal mengalami
Ajarkan pasien untuk pembentukan trombus karena
menginspeksi keadaan gangguan sirkulasi perifer,
kulitnya dan gunakan cermin immobilisasi dan kelumpuhan
untuk melihat bagian yang flaksid.
sulit dilihat. k. Perkembangan emboli paru terjadi
j. Kaji rasa nyeri, kemerahan, perlahan karena persepsi nyeri
bengkak, ketegangan otot jari terganggu dan trombus vena
k. Amati adanya dispnea tiba- bagian dalam tidak diketahui.
tiba, sianosis dari tanda-tanda l. Membatasi bendungan darah pada
lain dari distress pernafasan. ekstremitas bawah atau abdomen,
l. Gunakan kaos kaki/stoking selanjutnya meningkatkan tonus
antiembolik, alat SCD vasomotor dan mengurangi
(sequential compression pembentukan trombus dan emboli
device) pada kaki. paru.
m. Konsultasi dengan ahli terapi m. Membantu dalam merencanakan
fisik/terapi kerja dari tim dan melaksanakan latihan secara
rehabilitasi. individual dan
n. Berikan relaksan otot sesuai mengidentifikasi/mengembangkan
kebutuhan dan diazepam alat-alat bantu untuk
(Valium), baklofen (Lioresal); mempertahankan fungsi,
Kantrolen (Dantrium). mobilisasi dan kemandirian pasien.
n. Berguna untuk membatasi untuk
membatasi dan mengurangi nyeri
yang berhubungan dengan spasitas
(kejang).

4. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas


Kriteria Hasil:
- Mengidentifikasi faktor resiko individual
- Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan
- Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kerusakan
kulit.

Intervensi Rasional
a. Inspeksi seluruh area kulit, catat a. Kulit biasanya cenderung rusak
pengisian kapiler, adanya karena perubahan sirkulasi
kemerahan, pembengkakan, perifer, ketidakmampuan untuk
berikan perhatian khusus pada merasakan tekanan, immobilisasi,
daerah belakang kepala, kulit gangguan pengaturan suhu.
didaerah kaus kaki atau pada b. Meningkatkan sirkulasi dan
lekukan dimana kulit sering melindungi permukaan kulit,
tersentuh/tertekan. mengurangi terjadinya ulserasi.
b. Lakukan massase dan lubrikasi Pasien-pasien dengan
pada kulit dengan quadriplegia dan paraparese
losion/minyak . lindungi sendi memerlukan perlindungan
dengan menggunakan bantalan seumur hidupnya terhadap
busa, wool, matras egg crate kemungkinan terjadinya
pada daerah tumit/sikut, dekubitus yang dapat
gunakan pengeras kulit khusus. menyebabkan nekrosis dan sepsis
jaringan yang terus berkembang.
c. Meningkatkan sirkulasi pada
kulit dan mengurangi tekanan
c. Lakukan perubahan posisi pada daerah tulang yang
sesering mungkin di tempat menonjol.
tidur ataupun sewaktu duduk. d. Kulit yang bersih dan kering
d. Bersihkan dan keringkan kulit cenderung tidak akan cenderung
khususnya daerah-daerah mengalami ekskorasi/kerusakan.
dengan kelembaban tinggi e. Mengurangi/mencegah adanya
seperti perineum. Rawat atau iritasi pada kulit.
hindari daerah-daerah garis f. Menstimulasi sirkulasi,
ujung brace meningkatkan nutrisi sel atau
e. Jagalah alat tenun tetap kering oksigenasi sel dan untuk
dan bebas dari lipatan-lipatan meningkatkan kesehatan
dan kotoran. jaringan.
f. Anjurkan pasien untuk terus g. Untuk meningkstksn arus balik
melakukan program latihan vena , mengurangi pembentukan
g. Tinggikan ekstremitas bawah edema
secara periodik h. Mengurangi sirkulasi dan sensasi
h. Hindari/batasi injeksi di bawah meningkatkan resiko terjadinya
lokasi trauma. absorpsi, reaksi lokal , dan
nekrosis jaringan.

5. Pola Nafas , Tak efektif, resiko tinggi terhadap (kerusakan persarafan


dari diafragma, kehilangan komplet atau campuran dari fungsi otot
interkostal, refleks spasme abdominal; distensi gastrik.

Intervensi Rasional
a. Pertahankan jalan nafas; posisi a. Pasien dengan trauma servikal
kepala dalam posisi netral, bagian atas dan gangguan
tinggikan sedikit kepala tempat muntah/batuk akan membutuhkan
tidur jika dapat ditoleransi pasien; bantuan untuk mencegah
gunakan tambahan/beri jalan nafas aspirasi/mempertahankan jalan
buatan jika ada indikasi. nafas
b. Lakukan penghisapan bila perlu. b. Jika batuk tidak efektif,
Catat jumlah, jenis, dan penghisapan dibutuhkan untuk
karakteristik sekresi mengeluarkan sekret,
c. Kaji fungsi pernafasan dengan meningkatkan distribusi udara, dan
menginstruksikan pasien untuk mengurangi resiko infeksi
melakukan nafas dalam. Catat pernafasan.
adanya/tidak ada pernafasan c. Trauma pada C1-C2 menyebabkan
spontan, contoh pernafasan hilangnya fungsi pernafasan secara
labored, menggunakan otot menyeluruh. Trauma C4-5
aksesori. mengakibatkan hilangnya fungsi
d. Auskultasi suara nafas. Catat pernafasan yang bervariasi
bagian-bagian paru yang bunyinya tergantung pada terkenanya saraf
menurun atau tidak ada atau frenikus dan fungsi diafragma
adanya suara nafas adventisius tetapi biasanya menurunkan
(ronki, mengi, krekels). kapasitas vital dan selalu
e. Catat kemampuan (kekuatan) dan/ melakukan upaya ekstra untuk
atau keefektifan dari fungsi batuk. bernafas.
f. Bantu pasien untuk batuk (jika d. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
diperlukan) dengan meletakkan menyebabkan
tangan dibawah diafragma dan akumulasi/atelektasis atau
mendorong keatas sewaktu pasien pneumonia (komplikasi yang
melakukan ekspirasi. sering terjadi).
g. Observasi warna kulit; adanya e. Letak trauma menentukan fungsi
sianosis, keabu-abuan. otot-otot interkostal, atau
h. Kaji adanya distensi abdomen dan kemampuan untuk batuk
spasme otot. spontan/mengeluarkan sekret.
i. Ubah posisi/balik secara teratur, f. “Quad coughing” dilakukan untuk
hindari/batasi posisi teluyngkup menambah volume batuk atau
jika diperlukan. untuk memfasilitasi pengenceran
j. Anjurkan pasien untuk minum sekret agar sekret tersebut mengalir
(minimal 2000ml/hari). keatas sehingga mudah dihisap.
k. Pantau/batasi pengunjung jika g. Menggambarkan akan terjadinya
diperlukan. gagal nafas yang memerlukan
l. Analisa gas darah arteri dan/atau evaluasi dan intervensi medis
nadi oksimetri. dengan segera.
m. Berikan oksigen dengan cara yang h. Perasaan penuh pada abdomen
tepat seperti dengan kanul dapat menggambarkan adanya
oksigeb, masker, intubasi, dan kelainan pada diafragma,
sebagainya. penurunan ekspansi paru, dan
n. Bantu dengan fisioterapi dada penurunan ekspansi paru lebih
(seperti perkusi dada) dan lanjut.
gunakan alat-alat bantu pernafasan i. Meningkatkan ventilasi semua
(seperti spirometri, botol tiup, dan bagian paru, mobilisasi sekret,
sebagainya). mengurangi resiko komplikasi,
contoh atelektasis dan pneumonia.
j. Membantu mengencerkans sekret,
meningkatkan mobilisasi
sekret/sebagai ekspektoran.
k. Kelemahan secara umum dan
gangguan pernafasan membuat
resiko tinggi bagi pasien
mendapatkan infeksi saluran
pernafasan atas.
l. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigenasi. Mengidentifikasi
masalah pernafasan, contoh:
hiperventilasi (PaO2
rendah/PaCO2 meningkat).
m. Metode yang akan dipilih
tergantung dari lokasi trauma,
keadaan insufisiensi pernafasan,
dan banyaknya fungsi otot
pernafasan yang sembuh setelah
fase syok spinal.
n. Mencegah sekret tertahan dan perlu
untuk memaksimalkan disfusi
udara dan mengurangi resiko
terjadinya pneumonia.

6. Eliminasi Urinarius: Perubahan Pola

Kriteria Hasil:
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi
- Mempertahankan keseimbangan masukan/haluaran dengan urine
jernih, bebas bau
- Mengungkapkan/mendemonstrasikan perilaku dan teknik untuk
mencegah retensi/infeksi urinarius.

Intervensi Rasional
a. Kaji pola berkemih, seperti a. Mengidentifikasi fungsi kandung
frekuensi dan jumlahnya. kemih (mis; pengosongan
Bandingkan haluaran urine dan kandung kemih, fungsi ginjal
masukan cairan. dan keseimbangan cairan.
b. Palpasi adanya distensi kandung b. Disfungsi kandung kemih
kemih dan observasi bervariasi, ketidakmampuan
pengeluaran urine. berhubungan dengan hilangnya
c. Anjurkan pasien untuk kontraksi kandung kemih untuk
minum/masukan cairan (2-4 merilekskan sfingter urinarius
l/hari) (retensi/refluks).
d. Mulailah latihan kandung kemih c. Membantu mempertahankan
jika diperlukan, contoh dengan fungsi ginjal, mencegah infeksi
pemberian cairan diantara dan pembentukan batu. Catatan:
beberapa jam, lakukan stimulasi cairan dibatasi hanya untuk
digital pada bagian tubuh yang beberapa saat selama fase awal
sensitif, kontraksi otot abdomen, kateterisasi intermitten.
manuver Crede. d. Waktu dan jenis latihan kandung
e. Observasi adanya urine seperti kemih tergantung pada tipe
awan atau berdarah, bau yangg trauma (UMN atau LMN).
tidak enak. Catatan: manuver crede harus
f. Bersihkan daerah perineum dan digunakan dengan hati-hati
jaga agar tetap kering, lakukan karena dapat menyebabkan
perawatan kateter jika perlu. disrefleksia autonomik.
g. Jangan biarkan kandung kemih e. Tanda-tanda infeksi saluran
penuh. Jika awalnya memakai perkemihan atau ginjal dapat
kateter mulai melakukan menyebabkan sepsis.
program kateterisasi secara f. Menurunkan resiko terjadinya
intermitten jika diperlukan. iritasi kulit/kerusakan kulit atau
(kolaborasi) infeksi keatas menuju ginjal.
h. Pantau BUN, Kreatinin, SDP g. Kateter folley digunakan selama
i. Berikan pengobatan sesuai fase akut untuk mencegah retensi
indikasi, seperti vitamin dan atau urine dan untuk memantau
antiseptik urinarius, contohnya haluaran. Kateter intermitten
methenamin mendelate digunakan untuk mengurangi
(Mandelamine) komplikasi yang biasanya
berhubungan dengan
penggunaan kateter yang lama,
kateter suprapubik dapat
digunakan untuk jangka waktu
yang lama
h. Menggambarkan fungsi ginjal,
dan mengidentifikasi komplikasi
i. Mempertahankan lingkungan
asam dan menghambat
pertumbuhan bakteri (kuman).
BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini penulis akan menguraikan pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada
Tn.J yang mengalami Spinal Cord Injury (CHF) di gedung Teratai Lantai 6
Selatan RSUP Fatmawati. Asuhan keperawatan dilakukan selama 3 hari, mulai
tanggal 9-11 april 2019, yang disusun berdasarkan tahapan proses keperawatan
meliputi: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan
keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

a. Pengkajian (Assessment)
1). Proses Asuhan Keperawatan dimulai dari pengkajian yang
dilakukan pada tanggal 8 April 2019. Ditahap pengkajian, penulis
mengumpulkan data melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang, dan dari rekam medis klien. Klien berinisial
Tn. J, laki-laki usia 52 tahun, beragama Islam, masuk RSUP
Fatmawati tanggal 6 April 2019 pukul 11.31 WIB dengan diagnosa
medis utama Spinal Cord Injury. Pada tanggal 22 maret 2019 klien
mengalami kecelakaan lalu lintas dengan menabrak angkutan umum
yang berhenti mendadak di depannya, pasien lalu dirujuk ke RS
POLRI dan di rawat selama 6 hari pasien dilakukan pemasangan neck
collar dan dilakukan pemeriksaan CT scan dan Rontgen Thorak,
seminggu kemudian pasien datang ke poli syaraf RS.Fatmawati untuk
kontrol karena pasien mengatakan obatnya sudah habis dan badannya
terasa nyeri. Namun, pihak poli syaraf merujuk Tn.J untuk
mendapatkan perawatan di ruang teratai Lantai 6 Selatan No. 226
untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Pasien mengatakan obat
yang diberikan dari RS POLRI sudah habis dan pasien tidak mengingat
nama obat-obat yang diberikan.
Keluhan utama pasien saat ini klien mengatakan nyeri disertai
kesemutan mulai dari area puting susu sampai dengan ujung jari kaki,
nyeri juga dirasakan di jari-jari tangan. Pasien terkadang merasakan
sensasi mati rasa mulai dari pinggang hingga ke ujung jari kaki. Klien
mengatakan badan terasa lemas dan panas di area punggung. Klien
mengatakan tidak ada riwayat penyakit apapun seperti Diabetes,
Hipertensi, asam urat , dll.

Keadaan umum pasien nampak lemas dengan kesadaran compos


mentis, kesadaran umum klien sedang , pasien terpasang neck collar
dan sekarang mengalami immobilisasi, pasien tidak mengalami sesak,
tidak ada retraksi pada dinding dada, dan tidak ada batuk. pasien
terpasang infus NaCl 0,9% di tangan sebelah kiri, terpasang kateter
urin produksi urin berwarna kuning, pasien mengalami penurunan
kekuatan otot, kekuatan motorik:
3333 3333
4444 4444

Pemeriksaan fisik umum klien didapatkan tanda-tanda vital yaitu: TD:


100/70 mmHg, N: 84x/mnt dengan irama reguler dan teraba lemah,
RR: 22x/mnt dengan kedalaman dangkal, S: 36,70C , konjungtiva
pasien berwarna merah muda, kornea mata yang berwarna keruh,
turgor kulit di ekstremitas bawah tidak elastis, akral teraba hangat,
tidak ada edema di kedua ekstremitas, Capillary refill time: 2 detik, di
jari tangan, tidak ada sianosis, bising usus 7x/mnt suara (menurun),
klien mengalami kesulitan dalam pergerakan karena terpasang neck
collar, abdomen teraba kembung, klien terdapat luka dekubitus grade II
di bagian punggung, tidak ada bunyi suara jantung tambahan, suara
nafas vesikuler di semua lapang paru.
Gambaran Sistem saraf pusat yaitu klien terkadang mengeluh sakit
kepala, tingkat kesadaran klien compos mentis, nilai GCS : 15, tidak
ada tanda-tanda peningkatan TIK, klien sering mengalami kesemutan
mulai dari area putting susu hingga ke ujung jari kaki, terkadang klien
merasakan sensasi mati rasa mulai dari pinggang hingga ke ujung jari
kaki. Klien merasa nyeri di jari-jari tangan dan kadang nyeri menyebar
hingga ke pergelangan tangan skala nyeri: 3 , refleks patologis yang
didapatkan yaitu: 1. Kaku kuduk : klien terpasang neck collar , 2.
Tanda laseque : (-), 3. Babinski : (-) , 4. Tanda kernig: (-). Reflek
menelan baik, klien tidak dapat buang air besar selama 3 hari, klien
tidak mengalami gangguan pada sistem penglihatan, pendengaran,
penciuman, dan pengecap, mengalami penurunan kekuatan otot di
ekstremitas atas dan bawah,

Pada sistem integemun klien, diperoleh suhu 36,70C, klien terdapat


luka dekubitus grade II yang ditandai dengan adanya luka kemerahan
dan seperti melepuh. klien terpasang IVFD di tangan sebelah kiri, tidak
ada tanda-tanda flebitis di area yang terpasang infus. Klien mendapat
terapi cairan NaCl 0,9%/12 jam. Berdasarkan skor morse klien Tn. J
beresiko tinggi jatuh dimana skor yang didapatkan berjumlah 65
(resiko tinggi). klien mengalami riwayat jatuh dalam waktu 3 bulan
sebab apapun (25),klien memiliki penyakit penyerta atau diagnosa
sekunder (0), alat bantu berjalan (0), klien terpasang infuse/pemberian
anticoagulant (heparin). Obat lain yang mempunyai efek jatuh (20),
kondisi untuk melakukan gerakan berpindah/mobilisasi: ada
keterbatasan jalan (20), kondisi status mental: menyadari
kelemahannya (0).

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 06 April 2019, dengan


hasil Hemoglobin 12,2 g/dl, Hematokrit 36 %, leukosit 14,1 ribu/ul,
Trombosit 278 ribu/ul, Eritrosit 4,22 juta/ul, VER 85,0 Fi, HER 39,0
Pg, KHER 34,1 g/dl, RDW 13,3 %, APTT 34,1 detik, PT 13,8 detik,
Kontrol PT 13,6 detik, INR 1,02, SGOT 22 u/l, SGPT 30 u/l, Albumin
3,30 g/dl. Dilakukan pemeriksaan diagnostik yaitu: CT-Scan servical
dengan kesan: spondilosis cervicalis VC5-6 , CT-Scan dengan kesan:
gambaran spondyloarthrosis dan spondylo vaco servivalis setinggi VC
4,5,6 kanan-kaki. dan pemeriksaan MRI dengan hasil: Retrolisthesis
minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, Bulging asimetris discus invertebralis
C3-4, C7-Th.1, Protusio sentral discus invertebralis C6-7.

B. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian kepada Tn. J yang dilakukan pada


tanggal 08 april 2019, penulis merumuskan 4 diagnosa
keperawatan utama dari 7 diagnosa yang ditemukan, yaitu:

Diagnosa pertama: nyeri akut berhubungan dengan agen


pencedera fisik: trauma servikalis
Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif: Klien mengatakan
merasa nyeri di daerah pinggang saat bergerak, merasa
kesemutan mulai dari area putting susu sampai ke jari-jari kaki,
dan merasa nyeri di jari-jari tangan, klien juga mengeluh sulit
tidur di malam hari. Data Objektif: Kesadaran Compos Mentis,
keadaan umum: sakit sedang tanda-tanda vital: TD: 110/70
mmHg, N: 84x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36,70C, klien tampak
mengernyitkan dahi pada saat melakukan pergerakan, frekuensi
nadi meningkat setelah melakukan aktivitas. Sebelumnya
84x/mnt menjadi 87x/mnt, skala nyeri 3, nyeri seperti terasa
ditekan, nyeri hilang timbul, biasanya 15-20 menit, Hasil CT-
scan : gambaran spondyloarthrosis dan spondylo unco cervivalis
setinggi 4,5,6 kanan-kiri, hasil CT-scan Servical didapatkan
gambaran: spondilosis cervicalis VC 5-6, klien mendapat terapi
obat: 1. Paracetamol 500 mg, Gabapentin 300 mg, Amitriptilin
25 mg.

Diagnosa kedua yaitu Gangguan mobilitas fisik berhubungan


dengan gangguan neuromuskuler. Diagnosa tersebut didukung
Data Subjektif: klien mengatakan sulit menggerakan badan, dan
nyeri pada saat melakukan pergerakan, klien mengalami kebas
dan kesemutan mulai dari area putting susu sampai ke ujung jari
kaki. Data Objektif: klien mengalami penurunan kekuatan otot
di bagian ekstremitas atas dan bawah, setelah menggerakan
tangan, klien merasa nyeri. Hasil CT-sacn didapatkan kesan:
Gambaran spondyloarthrosis dan pondylo vaco servivalis VC
4,5,6 kanan-kaki, Hasil MRI didapatkan Kesan: Retrolisthesis
minimal C4-5 dan C5-6 grade 1, bulging asimetris discus
invertebralis C3-4, C7-Th.1, protusio sentral discus invertebralis
C6-7.

Diagnosa ketiga yaitu Gangguan Integritas kulit berhubungan


dengan penurunan mobilitas
Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif: Tidak ada. Data
Objektif: klien mengalami luka dekubitus grade 2 ditandai luka
seperti melepuh dan berwarna kemerahan, klien mendapat
perawatan pergantian verban setiap 1x/2 hari, klien mengalami
kecelakaan 2 minggu lalu, terpasang neck collar, mengalami
kesemutan pada area puting susu sampai jari-jari kaki, dan
mengalami penurunan kekuatan otot di ekstremitas atas dan
bawah.
Diagnosa Keempat yaitu Konstipasi berhubungan dengan
Diagnosa tersebut didukung Data Subjektif: klien mengatakan
belum bisa BAB selama 3 hari, klien mengatakan perut terasa
penuh dan kembung, klien makan habis ½ porsi, minum dalam
sehari sebanyak 1200 ml. Data Objektif : Bising usus klien
7x/mnt (menurun), klien mengalami immobilisasi karena
mengalami kecelakaan 2 minggu lalu klien sekarang terpasang
neck collar dan mengalami penurunan kekuatan otot:
3333 3333

4444 4444

C. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan perumusan prioritas diagnosa keperawatan yang


telah dilakukan pada tanggal 9 April 2019 penulis kemudian
menyusun rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut, antara lain:

Diagnosa perama: nyeri akut berhubungan dengan agen


pencedera fisik (trauma servikalis). Tujuan setelah dilakukan
intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri yang
dialami klien dapat berkurang dengan kriteria hasil: Klien
melaporkan penurunan rasa nyeri/ketidaknyamanan,
mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi nyeri,
mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas hiburan sesuai kebutuhan individu, klien tidak
mengalami kesulitan tidur. Intervensi mandiri: .Kaji terhadap
adanya nyeri, Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung
nyeri, misalnya: lokasi, tipe nyeri, intensitas, dan skala nyeri
dari 0-10, memberikan edukasi kepada klien dan keluarga klien
tentang manajemen nyeri seperti teknik relaksasi nafas dalam
dan teknik pengalihan perhatian seperti dengan mengobrol dan
mendengarkan aktivitas. Intervensi Kolaborasi: pemberian terapi
obat paracetamol 3x500 mg, gabapentin 3x 300 mg, dan
amitriptiline 3x25 mg.

Diagnosa kedua : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan


gangguan neuromuskuler. Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan gangguan
mobilitas fisik dapat berkurang.

Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh


tidak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagia
tubuh yang sakit/kompensasi, mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali
aktivitas. Intervensi mandiri: Kaji secara teratur fungsi motorik
(jika timbul suatu keadaan syok spinal/edema yang berubah)
dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan
seperti ,meregangkan jari-jari, menggenggam tangan atau
melepaskan genggaman. Intervensi kolaborasi: tindakan
kolaboratif dengan dokter tentang pemberian farmakologi serta
tindakan kolaboratif dengan fisioterapis tentang pemberian
latihan fisik yang sesuai dengan kondisi pasien.

Diagnosa medis ketiga: gangguan integritas kulit berhubungan


dengan gangguan mobilitas. Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kerusakan integritas
kulit klien tidak bertambah luas dan parah dengan kriteria hasil:
klien dapat mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan
tindakan, Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk
mencegah kerusakan kulit, luka dekubitus tidak semakin meluas,
klien tidak mengeluh merasa panas di bagian punggung.

Diagnosa medis keempat: Diagnosa kedua :Konstipasi


berhubungan dengan immobilisasi. Tujuan: setelah dilakukan
intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah
konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil: mengungkapkan
perilaku/teknik untuk program usus individual, menciptakan
kembali kepuasan pola eliminasi usus, bising usus 8x/mnt, klien
dapat BAB 1x/hari, abdomen teraba lunak.Intervensi mandiri:
auskultasi bising usus , catat lokasi dan karakteristiknya, catat
adanya keluhan mual dan muntah, berikan edukasi tentang
asupan makanan tinggi serat untuk memperlancar pengeluaran
feses.Kolaborasi: pemberian makanan tinggi serat seperti sayur
dan buah-buahan serta pemberian obat laksatif.

D. Implementasi Keperawatan

Setelah menyusun rencana tindakan penulisan lalu


mengimplementasikannya mulai tanggal 9 sampai 11 april 2019.
Pada tanggal 9 April 2019 dinas pagi implementasi yang telah
dilakukan oleh penulis adalah:

Implementasi diagnosa pertama Nyeri akut berhubungan dengan


agen pencedera fisik (trauma servikalis), yaitu: memonitor
tanda-tanda vital (TD, HR, RR, S) skala nyeri secara berkala,
memberikan edukasi kepada klien tentang manajemen nyeri
yang baik seperti pengalihan nyeri dan teknik relaksasi nafas
dalam, memberikan terapi obat Paracetamol KAPL 3x 500 mg,
Gabapentin tab 3x300 mg, amitriptiline tab 3x25 mg, mengkaji
lokasi nyeri, frekuensi, dan karakteristik nyeri.

Pada diagnosa kedua yaitu Gangguan mobilitas fisik,


implementasi yang telah dilakukan adalah mengkaji kekuatan
otot klien, kondisi kulit di bagian ekstremitas, mengkaji adanya
atropi atau kontraktur pada otot, membantu klien melakukan
aktivitas yang sesuai dengan kondisi klien yaitu melakukan
fleksi dan ekstensi di masing- masing ekstremitas atas dan
bawah sebanyak 15 kali setiap hari selama 15 menit. Klien
mandapat terapi obat Mecobalamin 500 mg/IV.

Diagnosa Ketiga yaitu gangguan integritas kulit, implementasi


yang telah dilakukan adalah mengkaji kondisi kulit klien,
mengkaji keluhan klien, melakukan pergantian verban setiap
dua hari sekali, melatih klien untuk melakukan aktivitas miring
kanan, miring kiri, dan terlentang, memberikan massase pada
bagian punggung belakang pasien dan memberikan minyak pada
punggung belakang klien, mengganti linen klien jika terlihat
kotor dan terlipat, memberikan terapi obat mecobalamin 500
mg/IV.

Diagnosa keempat yaitu konstipasi berhubungan dengan


immobilisasi dan gangguan neuromuskuler, implementasi yang
telah dilakukan ialah mengkaji auskultasi bising usus,
melakukan palpasi abdomen, mengkaji pola makan, pola
minum,memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien
tentang diet tinggi serat bagi pasien yang mengalami sulit buang
air besar, memberikan anjuran kepada klien uuntuk banyak
mengkonsumsi air putih.
E. Evaluasi Keperawatan

Setelah mengimplementasikan rencana tindakan penulis


melakukan evaluasi, untuk evaluasi terakhir dilakukan pada
tanggal 11 april 2019, sebagai berikut:

Evaluasi akhir diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan


agen pencedera fisik (trauma servikalis). Data subjektif: klien
mengatakan nyeri masih hilang timbul, nyeri disertai kesemutan,
klien masih mengatakan sulit tidur, nyeri masih dirasakan di
jari-jari tangan, nyeri seperti ditekan, terkadang nyeri menjalar
ke pergelangan tangan, klien juga mengatakan nyeri mulai dari
area puting susu hingga ke ujung jari kaki disertai kesemutan.
Data objektif: skala nyeri klien 3, tanda tanda vital: TD: 100/70
mmHg, N: 84x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36,70C, klien terlihat
kesakitan bila diberikan instruksi untuk menggerakan jari-jari
tangan.Analisa: masalah keperawatan nyeri belum teratasi.
Planning: monitor tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri klien,
kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat, evaluasi
manajemen nyeri klien.

Evaluasi akhir diagnosa kedua yaitu gangguan mobilitas fisik


berhubungan dengan gangguan neuromuskuler. Data subjektif:
klien masih mengatakan sulit untuk melakukan pergerakan,
masih sakit jika melakukan gerakan dan terkadang masih suka
merasa nyeri dan kesemutan di area ekstremitas bawah.Data
Objektif: pergerakan klien masih terlihat lemah, jari-jari tangan
klien masih sulit untuk menggenggam maupun melepas
genggaman, turgor kulit di area ekstremitas atas juga kurang
elastis. Kekuatan otot: 3333 3333

4444 4444
Analisa: masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi,
planning: lakukan aktivitas sesuai jadwal, kolaborasi pemberian
obat, kolaborasi dengan fisioterapis tentang aktivitas yang sesuai
dengan kondisi klien, mobitor tanda-tanda vital klien.

Evaluasi akhir diagnosa ketiga yaitu Gangguan integritas kulit


berhubungan dengan gangguan mobilitas. Data subjektif: klien
mengatakan terkadang punggungnya terasa panas, dan pinggang
terasa pegal. Data objektif: klien terdapat luka dekubitus grade 1
yang ditandai dengan luka kemerahan dan seperti melepuh, klien
merupakan pasien yang mengalami imobilisasi pasca kecelakaan
2 minggu lalu. Klien terpasang neck collar. Analisa: masalah
gangguan integritas kulit belum teratasi. Planning: kaji kondisi
kulit klien, jaga linen tetap bersih dan tidak terlipat, massase
daerah punggung klien, kolaborasi pemberian obat, dan ganti
verban 1x/2 hari.

Evaluasi terakhir diagnosa keempat yaitu konstipasi


berhubungan dengan immobilisasi dan gangguan
neuromuskuler. Data Subjektif: klien mengatakan masih belum
bisa BAB, klien mengatakan makan selalu habis ½ porsi, makan
selingan selalu habis, dan minum air putih 1200 ml/hari. Data
Objektif: bising usus klien 7x/mnt (menurun), BAB klien
terlihat coklat dengan konsistensi lunak dan cair. Analisa:
masalah keperawatan belum teratasi. Planning: kaji pola makan
klien, anjurkan klien minum 2000 ml/hari, latih pola defekasi
mandiri setiap hari.

Anda mungkin juga menyukai