WHOLE OF GOVERNMENT
(WOG)
Oleh :
TIM WOG
A. Latar Belakang
B. Deskripsi Singkat
WoG dalam bahan ajar ini dipahami dalam konteks ruang lingkup nasional,
kelompok, komunitas, dan sektor kebijakan, juga dalam konteks
instrumen, serta bagaimana penataan institusionalnya.
C. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata Pelatihan ini, peserta diharapkan mampu
mengaktualisasikan konsep, penerapan WoG, dan Best practice penerapan
WoG dalam pemberian pelayanan yang terintegrasi.
E. Materi Pokok:
1. Kons
epWoG
2. Penerapan WoG dalam pemberian pelayanan yang
terintegrasi
3. Best practice penerapan WoG dalam pemberian pelayanan yang
3
terintegrasi
F. Waktu
Alokasi waktu: 2 sesi ( 6JP ).
4
BAB II
KONSEP WOG
A. Mengenal Whole-of-Government
1. Pengertian WoG
Definisi WoG yang dinyatakan dalam laporan APSC sebagai:
“[it] denotes public service agencies working across portfolio
boundaries to achieve a shared goal and an integrated government
response to particular issues. Approaches can be formal and
informal. They can focus on policy development, program
1
management and service delivery” (Shergold & others, 2004).
Dalam pengertian ini WoG dipandang menunjukkan atau
menjelaskan bagaimana instansi pelayanan publik bekerja lintas batas
atau lintas sektor guna mencapai tujuan bersama dan sebagai respon
terpadu pemerintah terhadap isu- isu tertentu. Untuk kasus Australia
berfokus pada tiga hal yaitu pengembangan kebijakan, manajemen
program dan pemeberian layanan.
Dari definisi ini diketahui bahwa WoG merupakan pendekatan
yang menekankan aspek kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat
sektoral yang selama ini terbangun dalam model NPM. Bentuk
pendekatannya bisa dilakukan dalam pelembagaan formal atau
pendekatan informal.
Definisi lain yang juga mempunyai kesamaan fitur dari United
States Institute of Peace (USIP) menjelaskannya sebagai berikut:
“An approach that integrates the collaborative efforts of the
departments and agencies of a government to achieve unity of effort
toward a shared goal. Also known as interagency approach. The terms
unity of effort and unity of purpose are sometimes used to describe
cooperation among all actors, government and otherwise” (“Whole-of-
government approach | Glossary of Terms for Conflict Management and
Peacebuilding,” n.d.).
Dalam pengertian USIP, WoG ditekankan pada pengintegrasian
upaya-upaya kementerian atau lembaga pemerintah dalam mencapai
tujuan-tujuan bersama. WoG juga dipandang sebagai bentuk kerjasama
antar seluruh aktor, pemerintah dan sebaliknya.
Pengertian dari USIP ini menunjukkan bahwa WoG tidak hanya
merupakan pendekatan yang mencoba mengurangi sekat-sekat sektor,
tetapi juga penekanan pada kerjasama guna mencapai tujuan-tujuan
bersama.
Dari dua pengertian di atas, dapat diketahui bahwa karakteristik
pendekatan WoG dapat dirumuskan dalam prinsip-prinsip kolaborasi,
kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama, dan mencakup keseluruhan
aktor dari seluruh sektor dalam pemerintahan.
Dalam banyak literatur lainnya, WoG juga sering disamakan
atau minimal disandingkan dengan konsep policy integration, policy
coherence, cross-cutting policy-making, joined-up government,
concerned decision making, policy coordination atau cross government.
WoG memiliki kemiripan karakteristik dengan konsep-konsep tersebut,
terutama karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan
baik secara formal maupun informal dalam satu wadah. Ciri lainnya
adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam menangani isu
tertentu. Namun demikian terdapat pula perbedaannya, dan yang paling
nampak adalah bahwa WoG menekankan adanya penyatuan
keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep
tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi
institusi, proses kebijakan dan lainnya, sehingga penyatuan yang terjadi
hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu saja yang dipandang relevan.
2.
2
3. Mengapa WoG?
Kategori Hubungan
Tipe Keterangan
Koordinasi Penyertaan Pengembangan strategi dengan
mempertimbangkan dampak
Dialog Pertkaran informasi
Joint planning Perencanaan bersama, kerjasama
Integrasi Joint working sementara
Kolaborasi sementara
Joint venture Perencanaan jangka panjang, kerjasama
pada pekerjaan besar yang menjadi urusan
utama salah satu peserta kerjasama
Satelit Entitas yang terpisah, dimilihi bersama,
dibentuk sebagai mekanisme integratif
Kedekatan dan Aliansi strategis Perencanaan jangka panjang, kerjasama
pelibatan pada isu besar yang menjadi urusan utama
salah satu peserta kerjasama
Union Unifikasi resmi, identitas masing-masing
masih nampak
Merger Penggabungan ke dalam struktur baru
(Sumber: diadaptasi dari (6, 2004)
Berdasarkan kategorisai di atas, maka WoG dapat dipraktekkan dalam
kontinum koordinasi-merger, di mana pelaksanaan WoG dilakukan
mulai dari sebatas koordinasi tanpa ada dampak perubahan institusi
4
atau kelembagaan sampai dengan proses merger atau penyatuan
beberapa lembaga menjadi satu unit organisasi baru. Perbedaan
masing-masing kategori terletak dari posisi masing- masing kelembagaan
yang terlibat atau dilibatkan dalam WoG. Untuk kategori koordinasi,
maka kelembagaan yang terlibat dalam pendekatan WoG tidak
mengalami perubahan struktur organisasi. Sedangkan dalam kategori
integrasi, kelembagaan yang terlibat mulai cair, dan terdapat
penyamaan perencanaan jangka panjang serta kerjasama. Adapun
dalam kategori kedekatan dan pelibatan, kelembagaan menyatukan diri
dalam wadah yang relatif lebih permanen.
5. Diskusi
Setelah melakukan permainan di atas, ajaklah peseta untuk
mendiskusikan apa yang sudah mereka alami.
a. Tanyakan kepada peserta mengenai pemahaman mereka mengenai
kegiatan pertama (pelemparan bola biru) dengan kegiatan kedua
(pelemparan bola merah). Adakah perbedaan prinsip diantara keduanya.
b. Diskusikan poin-poin pelajaran apa saja yang bisa diambil dari
permainan tujuan bersama ini?
5
BAB III
PENERAPAN WOG DALAM PELAYANAN
YANG TERINTEGRASI
A. Pendahuluan
Box 3 PTSP
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) merupakan kecenderungan
kelembagaan pelayanan publik yang didorong dan digagas baik oleh
pemerintah pusat maupun di tingkat daerah, termasuk Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas,
dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.
Di tingkat pusat, koordinasi pelayanan penanaman modal, sebagai contoh,
yang selama ini dilakukan oleh 19 kementerian dan lembaga terkait 1249
perizinan bidang usaha dan dikelompokkan dalam 134 kelompok
perizinan disatu pintukan di BKPM. Penyatuan perizinan ini
mempermudah investor maupun pemohon izin lainnya untuk tidak lagi
berkeliling ke seluruh kementerian dan atau lembaga untuk memproses
izin yang diperlukan, melainkan cukup datang ke BKPM saja.
Di tingkat daerah, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota jga membentk
PTSP yang serupa, sesuai dengan tingkat kewenangannya di masing-
masing level. Badan PTSP DKI, misalnya, menyatukan ratusan jenis
pelayanan publik dari yang sifatnya perizinan usaha sampai pelayanan
dokumen kependudukan.
E. Diskusi
Diskusikan pola-pola pelayanan yang ada degan pendekatan WoG
yang bisa dilakukan pada pola-pola tersebut.
1. Diskusikan dengan peserta contoh penerapan WoG dalam
jenis pelayanan publik lainnya.
2. Bandingkan penerapan WoG pada masing-masing pola 1
sampai dengan 5.
Apa kelebihan dan kekurangan untuk masing-masing pola.
BAB IV
BEST PRACTICES PENERAPAN WOG
C. E-government
Di luar perbandingan best practices antar negara di atas, PBB dalam laporan
E- government survey tahun 2012 (United Nations, 2012) meyakini bahwa
kapasitas e-government sebuah negara dapat mendukung penerapan WoG.
Survey yang dilakukan menunjukkan persebaran tingkat adaptasi negara-
negara dalam menerapkan e-government, dengan kategori beberapa di
antaranya ketersediaan CIO atau Chief Information Officer di setiap negara,
interoperabilitas sektor publik, integrasi pelayanan online, dan prosentase
portal nasional yang terhubung dengan website kementerian dan lembaga,
serta bagaimana integrasi
upaya institusional terhadap lingkungan. Masing-masing indikator telah
memiliki daftar negara atau wilayah regional yang unggul, di antaranya sebgai
berikut:
1. Ketersediaan CIO di negara-negara Asia, Eropa dan Amerika relatif
berimbang, sedangkan negara-negara Afrika dan Oseania tergolong
tertinggal.
2. Interoperabilitas sektor publik merupakan indikator sejaumana
terdapat kapasitas pertukaran informasi antar sektor, termasuk
penggunaan ID card yang dapat dikenali semua sistem. Beberapa
negara yang terdepan dalam indikator ini adalah Jepang, Belgia, Austria,
Denmark, Singapura, termasuk beberapa negara berkembang seperti
Kazakhstan, Ukraina, Bangladesh dan India.
3. Integrasi pelayanan online. Survey ini menunjukkan bahwa selama
kurun waktu 8 tahun terdapat peningkatan signifikan dalam integrasi
pelayanan online dari 63 negara di 2004 menjadi 135 negara di 2012.
4. Prosentase portal nasional yang terhubung dengan website
kementerian dan lembaga. Dalam hal ini Amerika Serikat memimpin
sebagai negara dengan prosentasi tertinggi portal terhubung dengan
website instansi pemerintah.
Dari agregasi skor keseluruhan indikator e-government, laporan ini
menghasilkan resume negara-negara sebagai top performer dalam WoG, di
mana dari 41 negara yang di survey, Korea Selatan dan Singapura
termasuk negara-negara yang menempati peringkat tertinggi. Indonesia
dalam hal ini tergolong negara dengan peringkat rendah, dengan peringkat
di bawah Argentina dan Slovakia, dan tepat di atas Filipina.
D. Diskusi
1. Apa best practice WoG yang dapat diidentifikasi dari Indonesia
2. Bagaimana E-government dapat mendukung WoG
BAB V
PRAKTEK MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
B. Asas
Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan :
1. kepentingan umum
Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi
dan/'atau golongan.
2. kepastian hukum
Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pelayanan.
3. kesamaan hak
Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan,
gender, dan status ekonomi.
4. keseimbangan hak dan kewajiban
Pemenuhanhak harus sebanding dengan kewajiban yang
harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
5. Keprofesionalan
Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan
bidang tugas.
6. Partisipatif
Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
7. persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif
Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
8. Keterbukaan
Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan
memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
9. Akuntabilitas
Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggung-jawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta
keadilan dalam pelayanan.
11. ketepatan waktu
Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan
standar pelayanan.
12. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
15
C. Prinsip- prinsip Pelayanan Publik
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagun Aparatur Negara Nomor 63
Tahun 2003, Prinsip-prinsip dalam pelayanan public adalah :
1. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan public tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah
dilaksanakan.
2. Kejelasan
a. Persyaratan teknis dan administrative pelayanan public;
b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab
dalam memberikan pelayanan public;
c. Rincian biaya pelayanan public dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.
4. Akurasi
Produk pelayanan public diterima dengan benar, tepat dan sah.
5. Keamanan
Proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian
hokum.
6. Tanggungjawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan public atau pejabat yang ditunjuk
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan public.
7. Kelengkapan sarana dan prosarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung
lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi an informatika (telematika).
8. Kemudahan akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, miah dijangkau
oleh masyarakat, dan dapat menfaatkan tekonologi telekomunikasi dan
informatika.
9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan,
ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun
10.Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parker, toilet tempat ibadah
dan lain-lain.
19
Dalam perjalanannya, keterkaitan implementasi kerjasama daerah sangat
dipengaruhi oleh pengaturan pada sistem administrasi pengelolaan keuangan
daerah (Permendagri Nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah beserta Permendagri No 59 Tahun 2007) yang kurang
memberikan keleluasaan dalam penyelenggaraan kerjasama antar daerah melalui
mekanisme kelembagaan permanen yang biasa dikenal dengan “Regional
Manajemen”. Meskipun telah terbit regulasi baru terkait tatacara kerjasama antar
daerah (Permendagri Nomor 22 Tahun 2009) beserta tatacara pembinaan dan
pengawasan kerjasama antar daerah (Permendagri nomor 23 Tahun 2009),
kegalauan sejumlah daerah untuk merintis kerjasama antar daerah semakin
menjadijadi dengan kurangnya acuan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman
penggerak langkah pada tingkat provincial.
Diperlukan peran dan fungsi provinsi yang lebih kuat dalam menciptakan
networking dan menggerakkan kerjasama antar daerah yang sebenarnya telah
mendapatkan best practices nya di Provinsi Jawa Tengah dengan beberapa pola
manajemen yang dikembangkan Subosukawonosraten, Barlingmascakeb, dan
Sampan. Banyak manajemen kerjasama regional terjebak pada formalism, yakni
banyak regulasi dan banyak kesepakatan dibuat, tetapi tidak ada program
bersama yang dilaksanakan.
Fenomena stagnasi kerjasama ini mewarnai pelaksanaan kerjasama regional
di berbagai tempat. Kenapa fenomena kemandekan manajemen regional ini
mendominasi kondisi kerjasama antar daerah yangberdekatan di Indonesia, dan
pola networking apa yang dapat dijadikan alternative pengembangan kerjasama
antar daerah, menjadi fokus tulisan ini.
22
merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang memberikan kemungkinan
penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama
yang jelas (mis:pengelolaan transportasi umum di Washington State). Net-working
merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari beberapa unit organisasi
yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif flexible. Dalam format
networking,beberapa jenis intergovernmental networks, sesuai urutan derajat
networks-nya dikemukakan oleh Robert Agranoff (2003), mulai dari (i).information
networks, yakni jenis jaringan kerjasama yang paling ringan derajatnya. Pada jenis
ini beberapa daerah kabupaten/ kota dapat membuat sebuah forum yang berfungsi
sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi atas masalah-
masalah bersama (ii) developmental networks, yakni kaitan antar daerah terlibat
lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan
dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi
daerah untuk mengatasi masalah di daerah masingmasing, (iii) outreach networks
adanya penyusunan program dan strategi untuk masingmasing daerah yang
diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi
partner) serta (iv) action networks:yang merupakan bentuk inter-governmental
networks yang paling solid. Dalam bentuk ini daerah-daerah yang menjadi anggota
secara bersama-sama menyusun program aksi bersama sesuai proporsi dan
kemampuan masing-masing.
Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan kerjasama antar daerah,
terjadi transisi pendekatan dalam melihat lembaga kerjasama antar daerah.
Lembaga kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk mencapai
tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi oleh paradigma klasik. Cara
pandang yang melihat lembaga kerjasama antar daerah dalam kerangka intra
organization, dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini tercermin
dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang dikemukakan oleh Martin Albrow
(2004). Ciri menonjol dari birokrasi Weberian ini adalah hirarkhial yakni pola
hubungan yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan. Penerapan prinsip-
prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas, impersonal ini cenderung
inward looking atau dengan parameter intra organization. Cara pandang terhadap
lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi kurang tepat karena sifat yang
terbentuk dari kerjasama antar daerah (intergovernmental management), adalah
relasi horisontal yang lebih mengedepankan networking/inter organization.
Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi horisontal yang berbasis
intergovernmental network pada tingkatan daerah sangat berbeda karakter dengan
organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola organisasi rasional
menekankan pola hubungan hierarkhis yang melihat organisasi kerjasama sebagai
unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas,
keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat. (Arie Ruhyanto
dalam Pratikno, 2007; 50). Kerjasama antar daerah yang berpola networking
didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan
mandiri dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola networking tidak ada
struktur kewenangan sentral. Semua tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari
semua anggota yang tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai
perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam Kickert, dan
kawankawan, 1999). Perbedaan karakter organisasi ini sering rancu dalam
pelaksanaan kerjasama antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi
sentralistis cukup lama.
Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam regionalisasi dan
23
kerjasama regional dapat dirunut dari proses regionalisasi dan model komunikasi
antar daerah. Dari runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam
pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah, antara lain, Goggin
(1990), Weicchart (2002); O 'Toole (2004);Thomson (2006); Rendell serta
Yablonsky (2006) dan Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009), (2006). Bila
Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor pendukung dan
penghambat kerjasama antar daerah yang bekerja pada beberapa level
pemerintahan, Weicchart (2002) telah secara tegas menyebut antara lain:tekanan
global, tekanan keter-batasan kemampuan dan potensi serta tekanan ego lokal.
Elaborasi lanjut diberikan oleh O 'Toole (2004) yang menekankan pentingnya
keselarasan antara stabilitas struktur organisasi dan manajerial. Pada periode
waktu selanjutnya secara mengejutkan Thomson memberikan pemahaman
konsep yang lebih dalam dari kerjasama antar daerah dengan mengenalkan
semangat kolaborasi beserta dimensi-dimensi yang mendukungnya. Ada 5 dimensi
kolaborasi antar daerah yakni pemerintahan, admininistrasi, otonomi, mutualisme
dan reciprocitas. Sementara itu Rendell serta Yablonsky; Bryson, Crosby dan
Stone, memberikan pengkayaan pada mekanisme kerjasama antar daerah dengan
memberikan saran tentang tahapan membangun kerjasama dan unusr-unsur yang
harus diperhatikan dalam kerjasama antar daerah.
Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di beberapa Negara dapat
ditemukan bentuk kerjasama dan pola kelembagaannya. Bentuk dan metode
kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint
service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (Henry, 1995). Jenis
kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain
untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan
sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang
kedua biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan
pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya
dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam
kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga
merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah
lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan
kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.
Pengalaman kerjasama antar daerah yang diberlakukan di:SALGA di Afrika
Selatan, Sound Transit di Washington, LAA di Korsel, LCP di Philipina dan Cor di
Uni Eropa memberikan beberapa kesimpulan antara lain:paradigma
penyelenggaraan pemerintahan nasional sangat berpengaruh pada karakter
kerjasama antar daerah. Hanya pada negara dengan praktek demokrasi yang
baik, kepentingan lokal dapat diperjuangkan pada asosiasi kerjasama antar daerah
yang bersifat regional, dan kemudian dapat dicatat juga bahwa kerjasama antar
daerah memerlukan payung hukum yang kuat mulai dari tingkat nasional sampai
ke level daerah serta kejelasan aturan kelembagaan Sangat diperlukan dalam
kesinambungan kegiatan kerjasama.
Saat ini di negara-negara maju mencanangkan kerjasama dalam konteks
kolaborasi bidang perencanaan dan manajemen emergensi, bahkan menjadi
fundasi penting dalam menangani bencana alam dan krisis lingkungan. Kolaborasi
bahkan menjadi model alternatif untuk menggantikan model birokrasi klasik yang
bersifat top down karena merupakan model yang mengandalkan jejaring yang
fleksibel dan dinamis (Waugh & Streib, 2006). Fungsi kolaborasi menjadi lebih
24
diandalkan dari pada fungsi atau upaya melakukan adaptasi dalam menghadapi
berbagai perubahan (Jenkins, 2006). Pelajaran yang diperoleh dari praktek
kerjasama antar daerah di berbagai negara tersebut adalah adanya beberapa
format lembaga kerjasama yang dapat menjadi referensi bagi pengembangan
kerjasama regional antara lain;
a. Ada dua (dua) format lembaga kerjasama, yakni:IGR dan IGM. Konsep IGR
yang memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah
kerjasama (tidak disebutkan secara spesifik di Amerika, dan di Afrika Selatan),
sedangkan IGM memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang
terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis:pengelolaan
transportasi umum di Washington State).
b. Arah pengembangan peran lembaga kerjasama berpolar dalam dua arah,
yakni:sebagai interest group dari kepentingan regional terhadap pemerintah
pusat (seperti Philipina) atau sebagai kepanjangan pemerintah pemerintah
pusat dan sebagai pengendali kepentingan pusat di level regional (seperti di
Korea Selatan).
c. Ada kecenderungan menguatnya semangat kolaborasi dalam literatur dan
praktek kerjasama antar daerah
Sebagian besar kerjasama di Indonesia terkotak-kotak dalam kerjasama
ekonomi atau pelayanan publik. Mengingat kebutuhan kerjasama sudah
merambah pada pelayanan publik dan ekonomi, ke depan sebaiknya cakupan
kerjasama tidak sebatas pada salah satu bidang seperti yang selama ini terjadi,
tetapi mencakup 2 bidang utama, yakni kerjasama ekonomi dan pelayanan publik.
Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari tigkat
nasional, provinsial sampai ke tingkat pelaksanaan kerjasama regional, dengan
skenario yang tegas.
Cara pandang klasik (intra organisasi) pada organisasi lembaga kerjasama
antar daerah tidak relevan lagi dengan karakter lembaga kerjasama yang
mengkolaborasikan daerah-daerah otonom ke dalam hubungan kerjasama antar
daerah (intergovernmental organization). Birokrasi Weberian (Albrow, 2005) yang
memiliki pola hubungan strukturalishierarkhis (kewenangan terpusat, span of
controll ketat, impersonal dan sebagainya) menjadi kurang sesuai dengan karakter
networking yang flexible dalam semangat kolaborasi (Robert Agranoff, 2003 dan
Klijn dalam Koppenjam, 1999).
Ada 4 (empat) bentuk networking dari Robert Agranoff yang dapat dipilih
ketika dua atau lebih daerah kabupaten/ kota akan mengadakan kerjasama. Ke
empat bentuk networking tersebut adalah:
1. information networks:beberapa daerah dapat membuat sebuah forum
tetapi hanya berfungsi sebagai pertukaran kebijakan, program, teknologi dan
solusi atas masalah-masalah bersama.
2. developmental networks: antar kabupaten/kota memiliki kaitan lebih
kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan dan
pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi
daerah dalam mengatasi masalah di daerah masing-masing.
3. outreach networks: kabupaten/ kota yang tergabung dalam networking
menyusun program dan strategi untuk masing-masing daerahnya yang
diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi
organisasi partner),
25
4. action networks:daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-
sama menyusun program aksi bersama, dilaksanakan bersama atau oleh
pelaksana lembaga kerjasama.
Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih oleh daerah yang
merintis kerjasama antar daerah secara umum, bagi daerah yang berdekatan
dapat juga mempertimbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaan kerjasama yang lebih
serius (diambil dari pengalaman praktek di beberapa negara), yakni:
intergovernmental relation (IGR) atau intergovernmental management (IGM) yang
dibarengi dengan pengembangan semangat kolaborasi.
26
Suplemen 1
Pada tanggal 7 Mei 2015, tim penilai UNPSA merilis pengumuman resmi yang menyatakan
bahwa “Integrated Service Unit on Poverty Relief (ISUPR, nama internasional dari UPTPK)
dari Indonesia telah meraih juara kedua Regional Asia Pasifik kategori “Promoting Whole of
Government Approaches in the Information Age” dalam kompetisi UNPSA 2015. Disebutkan
pula bahwa institusi UPTPK telah memukau para dewan juri dan mampu menunjukkan
kualitas pelayanan publik yang sangat baik.
UNPSA ( United Nation Public Service Award ) adalah sebuah penghargaan dibidang
pelayanan publik tingkat dunia. Terpilihnya Indonesia sebagai salah satu nominator UNSPA
dapat dijadikan indikator pelayanan publik dan reformasi birokrasi yang lebih baik di tanah
air. Ajang Penghargaan UNSPA sudah dilaksanakan sejak tahun 2003. Keiukut sertaan
UPTPK dalam kompetisi UNSPA 2015 adalah yang pertama kalinya dan langsung meraih
sebagai Juara Kedua.
Prestasi ini patut menjadi kebanggaan, karena baru kali ini Pemerintah Kabupaten Sragen
meraih penghargaan tingkat dunia. Berikut perjalanan dan perjuangan UPTPK Kab. Sragen
dalam usaha meraih prestasi ini. Pada Tahun 2014, UPTPK masuk dalam 33 besar nominator
pemenang Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (SINOVIK). Dari TOP 33 ini diikutsertakan
oleh KEMENPAN dalam ajang penghargaan United Nations Public Service Awards (UNPSA)
2015. Dari seleksi di tahap pertama tersebut, lolos 14 kabupaten/ kota, termasuk UPTPK
Kabupaten Sragen dan berhak ikut dalam penilaian tahap II.
Ada empatkategori yang dilombakan dalam UNPSA 2015, yaitu: (1) Improving the Delivery
of PublicServices ( PerbaikanPemberianPelayananKepadaMasyarakat). (2) Fostering
Participation in Policy Making Decisions through Innovative Mechanisms (Memperkuat
Partisipasi Dalam Pembuatan Kebijakan. (3) Promoting Whole of Government Approaches in
the Information Age (Mendorong Pemerintahan Berbasis Pendekatan Kolaboratif dalam Era
informasi). (4) Promoting Gender Responsive Delivery of Public Services ( Mendorong
27
Responsif Gender dalam Pemberian Pelayanan kepada Masyarakat).
Inovasi yang dilakukanoleh UPTPK Sragen masuk masuk dalam kelompok / kategori 3 yaitu
Promoting Whole of Government Approaches in the Information Age (Mendorong
Pemerintahan Berbasis Pendekatan Kolaboratif dalam Era informasi)
Dari 14 nominator perwakilan Indonesia di atas, padatanggal 26 Maret 2015 diseleksi lagi
hingga terpilihlah TOP 5 UNPSA 2015 yang masuk ketahap III. Kelima nominator tersebut
adalah : 1.Kabupaten Aceh Singkil, 2. Kabupaten Pinrang, 3. Kabupaten Sragen, 4.Kabupaten
Sumenep, 5.Kabupaten Kulon Progo.
Akhirnya padatanggal 7 Mei 2015, tim penilai UNPSA pun merilis pengumuman resmi yang
menyatakan bahwa “Integrated Service Unit on Poverty Relief (ISUPR, nama
internasionaldari UPTPK) dari Indonesia telah meraih juara kedua kategori “Promoting Whole
of Government Approaches in the Information Age” dalam kompetisi UNPSA 2015.
Disebutkan pula bahwa institusi UPTPK telah memukau para dewan juri dan mampu
menunjukkan kualitas pelayanan publik yang sangatbaik. Penerimaan penghargaan akan
dilaksanakan padatanggal 23 s/d 26 Juni 2015 di Medellin, Republik Colombia. (N.Hart –
Humas
28
Suplemen 2
Denpasar menuju Smart City atau Kota Cerdas tak terlepas dari integrasi program antar
Perangkat Daerah Pemkot Denpasar dengan melepaskan egoisme sektoral. Integrasi program
mampu meningkatkan inovasi dan kreatifitas dalam Smart Government sehingga nantinya
dapat menyelesaikan permasalahan kota. Masalah mendasar yakni pendidikan, kesehatan, dan
permasalahan sosial menjadi prioritas Pemkot Denpasar dalam inovasi program menuju
Smart City, dengan integrasi program bersama Perangkat Daerah Pemkot Denpasar.
Pendekatan Whole of Government (Seluruh Perangkat Daerah) menjadi pengungkit program
Pemkot Denpasar menjadikan Denpasar sebagai "Truly Smart City". Hal tersebut menjadi
pembahasan mendalam dalam pertemuan Semiloka Denpasar Smart City yang berlangsung
selama tiga hari dari 12-14 Agustus di Bali Handara Resort, Desa Pancasari Buleleng dengan
melibatkan pembicara Deputi Inovasi Administrasi Negara (LAN) Dr. Tri Widodo W. Utomo.
Semiloka ini dihadiri langsung Walikota Denpasar I.B Rai Dharmawijaya Mantra Ketua
DPRD Kota Denpasar I Gusti Ngurah Gede bersama anggota dan Sekda Kota Denpasar A.AN
Rai Iswara
Lebih lanjut Tri Widodo mengatakan Denpasar memiliki keunikan tersendiri dengan
pendekatan budaya yang dilakukan Pemkot Denpasar dalam pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat. Pendekatan dengan Whole of Government (WOG) melalui seluruh Aparatur
Perangkat Daerah mampu melakukan keterikatan dan integrasi program dalam merespon
semua permasalahan perkotaan. Sehingga dari integrasi program Pemkot Denpasar saat ini
yang telah melakukan respon cepat permasalahan kota dapat terus dikuatkan dengan
pragmentasi kebijakan, pragmentasi kelembagaan yang dapat terus dilakukan peningkatan
komunikasi dan koordinasi. "Jadi antar SKPD dengan komando Walikota dan Wakil Walikota
untuk saling memahami dan tidak mempertahankan egoisme sektoral masing-masing,"
ujarnya. Koordinasi menjadi hal penting dengan publik sektor yang memiliki keterikatan
hubungan satu sama lain dan dapat dilakukan dengan derajat koordinasi sebagai kebutuhan.
Dengan inovasi Denpasar yang telah berjalan baik memberikan pelayanan yang cerdas
kepada masyarakat dengan Smart City. Identifikasi permasalahan kedepan dapat terus
dilakukan Perangkat Daerah, seperti integrasi layanan kesehatan Posyandu di banjar-banjar
sebagai model WOG yang telah dilakukan Pemkot Denpasar dapat terus dikembangkan
29
dengan peningkatan pelayanan meliputi kesehatan, perpajakan, pertanian, UKM dan Ekonomi
Kreatif, dan kependudukan.
Sementara Walikota Rai Mantra mengatakan koordinasi dan komunikasi menjadi kunci
bersama dalam mempercepat penyelesaian masalah yang ada. Penyelesaian permasalahan kota
dapat dilakukan secara holistik dengan pendekatan WOG melakukan identifikasi, solusi dan
penyelesaian masalah. Smart City menjadi sebuah kemampuan bersama dalam mendalami dan
memecahkan permasalahan kota serta diharapkan dapat menghasilkan road map Smart City
dengan implementasi langsung dalam program pembangunan. Hal ini juga sebagai salah satu
sasaran yang ingin dicapai dalam rangka pelaksanaan visi dan misi yang ditetapkan dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Denpasar Semesta
Berencana.
30
Indikator Pengukuran UN EGovernment Survey 2017
United Nations E-Government Survey 2017 segera melakukan aktivitas penilaian terhadap
192 negara anggota PBB. Tema kali ini adalah : "E-Government For Sustainable
Development" atau "E-Government untuk Pembangunan yang Berkesinambungan". Sejak
tahun 2001 survei yang diselenggarakan setiap dua tahun ini selalu mengacu kepada penilaian
kuantitatif indeks gabungan yang terdiri dari; (i) e-information dan e-services, (ii) infrastruktur
telekomunikasi, dan (iii) ketersediaan modal sumber daya manusia, dan dengan tambahan
pengukuran pada kapabilitas dan kapasitas pemerintah dalam mendorong partisipasi publik
atau e-participation untuk proses pembuatan kebijakan publik. Apakah survei 2017 masih
menggunakan indikator yang sama?
.
5 Semakin meningkatnya penekanan pada penggunaan layanan dan kepuasan masyarakat.
Bahkan dengan menggunakan layanan online yang terhebat sekalipun, ketersebaran adopsi
dan penggunaan e-Government tak dapat dijamin. UN e-Government Survey 2017 oleh karena
itu akan berfokus lebih lekat pada bagaimana pemerintah berbagi informasi pada layanan
penggunaan dan umpan balik yang diberikan oleh masyarakat terkait layanan-layanan online
dan berbahai inisiatif e-participation, demikian juga dengan bagaimana kesadaran masyarakat
terhadap keberadaan e-services yang disediakan oleh pemerintah semakin meningkat.
.
6 Penyelenggaraan layanan publik multi kanal. Dalam bidang pembangunan sosio
ekonomiberkesinambungan, UN e-Government Surveys 2012 akan menilai berbagai
pendekatan e-Government dan pembangunan melalui penggunaan saluran pelayanan publik
multi kanal, terutama keteraksesan layanan-layanan mobile; ketersediaan konektivitas gratis
melalui kios-kios publik dan berbagai fasilitas lainnya; dan bagaimana pendekatan-pendekatan
ini akan membantu kemajuan efisiensi ekonomi dan efektifitas dalam pemberian layanan
pemerintah, termasuk layanan-layanan jaringan sosial. yang terutama, sebuah fokus khusus
akan menegaskan meningkatnya kebutuhan ketersediaan layanan-layanan berbasis teks dan
web mobile, seiring dengan semakin meningkatnya penetrasi perangkat-perangkat mobile di
negera-negara berkembang. (Division for Public Administration &Development
Management / United Nations Department of Economic and Social Affairs Tel: 1-212-963-
33
2764 or Email: unpan@un.org)
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Pratikno (Ed). 2007. Kerjasama Antar Daerah:Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan. Yogyakarta:Jogja Global Media.
Rendell, E.G. & Yablonsky D. 2006. Intergovernmental Cooperation, Handbook.
Harisburg, Pensylvania:Department of Community and Economic
Development.
Shergold, P., & others. (2004). Connecting government: Whole of government
responses to Australia’s priority challenges.[Launching speech made on
20 April 2004.]. Canberra Bulletin of Public Administration, (112), 11.
Thomson, Ann Marie. & James L. Perry. 2006. “Collabotration Processes:Inside the
Black Box”, paper presented on Public Administration Review; Dec 2006; 66,
Academic Research Library pg.20.
United Nations. (2012). United Nations E-government Survey 2012: E-government
for the People. UN.
Waugh Jr, W.L. & G.Streib. 2006. “Collaboration and Leadership for Effective
Emergency Management”. Public Administration Review, 66 (December), pp.
131-140
Weichhart P. 2002. Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die
Regionen. In:H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur
Politik 2001. Salzburg (Schritenreihe des landspresseburos, Glenview, Illionis
London, England Sunderplublikationen, Nr. 180)
Whole-of-government approach | Glossary of Terms for Conflict Management and
Peacebuilding. (n.d.). Retrieved November 3, 2016, from
http://glossary.usip.org/resource/whole-government-approach
Wood, Donna. & Barbara Gray. 1991. “Toward a Comprehensive Theory of
Collaboration”. Journal of Applied Behavioral Science 27 (2):139-62
36