TUGAS 1
KEMBALI KE UUD 45 yang disahkan pada 18.8.1945 Mengembalikan Kewibawaan NEGARA (Pemerintah, TNI dan
POLRI)
Pendahuluan
Biasanya mereka yang gemar menulis, setiap akhir tahun menulis refleksi atau catatan akhir tahun, untuk memberikan
penilaian dari sudut pandangnya, atau hanya sekadar menulis kronologi/kaleidoskop berbagai peristiwa yang menurut
pendapatnya penting.Juga ada yang di awal tahun menyampaikan harapan-harapannya untuk masa yang akan datang.
Menurut pandangan saya, jumlah peristiwa penting yang menonjol di tahun 2016 tidak banyak Hanya ada masalah yang
seharusnya mudah diselesaikan. Namun karena kepentingan sesaat dari penguasa dan pengusaha, suatu masalah menjadi
sangat rumit dan berlarut-larut, yang eskalasinya kemungkinan besar akan mencapai puncaknya di tahun 2017. Yaitu kasus
yang menjerat Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Seandainya mengacu pada kasus Ibu Rusgiani di Bali tahun 2012 yang hanya berlangsung 10 bulan, sejak penuntutan
sampai vonis penjara 14 bulan, maka kasus Ahok juga dapat diselesaikan dengan cepat.
Yang sangat menonjol tahun 2016 adalah membenarkan adagium, bahwa di dunia politik, baik nasional maupun
internasional, yaitu: Tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanya kepentingan sesaat … mungkin sesat.
Cepatnya loncatan-loncatan spektakuler yang menyerupai loncatan kuantum (quantum leap), dari partai – partai politik dan
para politikus besar, membuat para pendukung kesulitan untuk mengikuti dan memahami apa yang diinginkan oleh parpol
dan para politikus dengan “loncatan-loncatan quantum” mereka.
Biasanya langkah pindah-pindah partai disebut “kutu loncat”, namun karena menyangkut partai-partai politik besar dan
tokoh-tokoh besar, tak dapat disebut sebagai “kutu”. Kutu bentuknya sangat kecil dan banyak yang tidak suka dengan kutu.
Untuk menghormati, saya sebut tupai, yang jauh lebih besar dan banyak yang gemar memelihara tupai.
Tahun 2012 PDIP bersama Gerindra mengusung Jokowi dan Ahok sebagai calon gubernur dan cawagub, melawan koalisi
besar parpol-parpol lain yang mendukung Foke.
Ahok sebelumnya adalah anggota DPR RI dari Golkar. Sebelum loncat ke Golkar dia anggota partai PIB. Ahok pernah
menjadi Bupati Belitung Timur selama setahun lebih. Penduduk Belitung Timur sekitar 100.000 jiwa.
Pada Pemilhan presiden tahun 2014 PDIP dan Gerindra pecah kongsi. Masing – masing mengusung calonnya sendiri.
Parpol-parpol pendukung Foke terbelah dua. Sebagian (Nasdem, Hanura, PKPI, PKB) mendukung Jokowi dari PDIP.
Sebagian (PKS, PAN, Golkar dan PPP) mendukung Prabowo dari Gerindra dan membentuk Koalisi Merah-Putih (KMP).
PKPI, Hanura, Nasdem dan Gerindra didirikan oleh para mantan anggota Golkar.
Setelah Jokowi terpilih jadi presiden, satu-persatu parpol pendukung Prabowo loncat, mendukung Jokowi.
Ahok menjadi gubernur mengganti Jokowi, kemudian dia loncat keluar dari Gerindra ke jalur independen, karena katanya
untuk mendapat dukungan dari parpol, maharnya besar.
Walaupun katanya dia sudah dapat mengumpulkan lebih dari satu juta KTP yang cukup untuk mengusungnya melalui jalur
independen, namun kemudian ahok melakukan loncatan paling spektakuler, yaitu loncat kembali ke jalur dukungan parpol.
Tak tanggung-tanggung, ahok didukung oleh 3 parpol, termasuk Golkar yang sudah ditinggalkannya ketika ahok loncat ke
Gerindra untuk menjadi wagub DKI.
Awalnya semua parpol termasuk PDIP, di luar parpol yang sudah mendukung Ahok maju dari jalur partai, membantuk suatu
koalisi untuk mengajukan cagub dan cawagub bersama, namun usia koalisi ini tak lama, kemudian terjadi lagi loncatan-
loncatan spektakuler.
PDIP yang sebenarnya berdasarkan jumlah kursi yang dimiliki di DPRD DKI cukup untuk mengusung sendiri cagub dan
cawagub, ternyata tidak percaya diri dan loncat ke gerbong parpol yang sudah terlebih dahulu mendukung Ahok. Kemudian
beberapa politikus yang pro dan anti ahok (saat ini) juga loncat-loncat pindah parpol atau loncat keluar dari parpol.
Dalam kesempatan ini saya khusus menulis, yang menurut pendapat saya harus segera dilakukan untuk mengembalikan
kewibawaan NEGARA (Pemerintah RI, TNI dan POLRI), adalah KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, YANG DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945.
Setelah berkuasa selama sekitar 32 tahun, rezim Orde Baru dipaksa melepaskan kekuasaannya oleh kekuatan rakyat pada 21
Mei 1998.
Sebagai hasil pemilihan umum tahun 1999, dimulailah pembahasan perubahan Undang – Undang Dasar RI yang disahkan
pada 18 Agustus 1945. Perubahan (amandemen) dilakukan sebanyak 4 kali dan disahkan tanggal 10 Agustus 2002.
Sejak disosialisasikan UUD RI hasil perubahan tahun 2002, mulai bermunculan pandangan kritis dan protes terhadap UUD
RI hasil amandemen.
1. Sebagai suatu produk hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang mendasar, yaitu selain proses pengesahannya
dinilai tidak sesuai dengan prosedur sehingga cacat hukum.
2. Adanya BAB yang kosong, yaitu BAB IV, mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus. Namun sebagai
BAB tetap tercantum. Hal ini mengesankan suatu penipuan publik, yaitu seolah-olah Batang Tubuh UUD ‘45 tetap
terdiri dari XVI BAB, padahal faktanya hanya XV BAB. Berbeda dengan UUD yang disahkan pada 18.8.1945, di
UUD 2002 tidak ada Risalah Sidang dan penjelasan serta alasan mengenai ayat-ayat yang dihapus dan yang
ditambahkan.
3. Dengan jumlah BAB yang berkurang dan ayat baru hasil amandemen sebanyak 89%, menjadi pertanyaan besar,
apakah UUD hasil amandemen tahun 2002 masih dapat dikatakan sebagai UUD 1945.
4. Banyak ayat-ayat baru yang sehubungan dengan perekonomian negara, dinilai sebagai bentuk neo-liberal, yang
membuka pintu bagi asing untuk lebih menguasai SDA dan perekonomian RI.
5. Adanya ayat yang sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45, yaitu Pasal 28 G ayat 2.
Pembukaan UUD ’45 harus menjadi sumber hukum di RI, sehingga apabila ada ayat yang bertentangan dengan Pembukaan
UUD ’45, maka ayat tersebut HARUS DIHAPUS.
Saya termasuk yang berpendapat, bahwa semakin menguatnya dominasi asing di sektor perekonomian dan pengurasan
kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia, disebabkan oleh penambahan ayat-ayat yang oleh banyak kalangan dinilai
sebagai pembuka pintu untuk masuknya pemodal raksasa asing dan membuat perekonomian Indonesia menjadi ekonomi
neo-liberal.
Masuknya jaringan super dan hyper market asing ke Indonesia serta makin menjamurnya jaringan mini market milik
pemodal besar, menghancurkan pasar-pasar tradisional milik Bumiputra, yang tidak sanggup bersaing karena kekurangan
modal dan belum memiliki kemampuan berkompetisi dalam ekonomi pasar bebas melawan pemodal raksasa YANG
MEMILIKI JARINGAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Akibatnya, para Bumiputra hanya menadi karyawan atau pelayan dari mini, super dan hyper market milik asing dan
pemodal besar.
Ini hanya contoh kecil, yang mempunya dampak besar, yaitu menghancurkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Belum kita bicarakan mengenai berbagai UU yang memuluskan jalan untuk pemodal besar asing untuk menguasai sektor
pertambangan dan berbagai bidang usaha lain.
Jelas, para penikmat perubahan UUD ’45 menjadi UUD 2002 akan melakukan segala cara dan mengerahkan semua kekuatan
untuk mempertahankan UUD 2002.
Para pemodal raksasa asing tentu harus menggunakan kaki-tangan atau antek-antek mereka di Indonesia. Dengan demikian,
untuk kesekian-kalinya sesama anak-bangsa akan dibenturkan untuk kepentingan asing.
Melihat hal ini, maka demi menjaga kesatuan dan persatuan Bangsa serta menjaga KEDAULATAN NKRI, kita HARUS
KEMBALI KE UUD 1945.
Hampir seluruh rakyat Indonesia kini melihat, bahwa pada saat ini ancaman disintegrasi bangsa sudah sangat besar.
Ancaman ini terutama dilakukan oleh kekuatan asing melalui antek-anteknya di dalam negeri Indonesia.
Mengenai siapa-siapa saja di Indonesia yang patut diduga sebagai kaki-tangan asing, telah saya paparkan di Catatan Akhir
Tahun 2015, yang saya ke weblog saya tanggal 31 Desember 2015 dengan judul “MEREKA YANG TIDAK PERNAH
MEMILIKI NASIONALISME.”
Di sini saya khusus menyorot Pasal 28 G ayat 2 yang menurut pendapat saya, sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD
1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Penambahan ayat 28 G dilakukan pada perubahan ke 2. konon berdasarkan
pertimbangan Hak Asasi Manusia.
Makna kalimat: “…negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …” adalah imperativ, yaitu PERINTAH,
dan pelaksanaannya adalah tugas PEMERINTAH, TNI dan POLRI.
Pada perubahan kedua UUD tahun 2002, terdapat penambahan ayat di Pasal 28, yaitu Pasal 28 G, (2) UUD RI, di mana
disebutkan:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
BERHAK MEMPEROLEH SUAKA POLITIK DARI NEGARA LAIN”
Kalimat:
“… berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, menunjukkan bahwa NEGARA,dalam hal ini, pelaksana tugasnya
adalah Pemerintah, TNI dan POLRI, gagal melindungi bangsanya. Oleh karena itu mereka yang “…mendapat penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia…” dipersilakan “…meminta suaka politik dari Negara
lain…”
Dengan kata lain, Pasal 28 G, Ayat 2, MEMPERMALUKAN NEGARA RI (Pemerintah, TNI dan POLRI), yang terindikasi
sebagai NEGARA GAGAL.
Penambahan ayat ini tentu sangat aneh, seolah-olah telah memprediksi, bahwa Pemerintah, TNI dan POLRI akan gagal
melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pada 25 Agustus 2016 bertempat di FIB UI Depok, diselenggarakan peluncuran dan bedah buku dari Marsekal Muda TNI
(Purn.) Teddy Rusdy, dengan judul: “Jati Diri, Doktrin dan Strategi TNI.”
Dalam bukunya, sehubungan dengan Jati Diri TNI, Teddy Rusdy menuliskan (hlm. 43):
“…Sejarah perjuangan TNI merupakan bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang
lahir sebagai bagian yang utuh dari Bangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945.
Dan keberadaannya ditegaskan pada tanggal 18 Agustus 1945 ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam suatu tekad
dan pernyataan ‘… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …’ Untuk itu dibentuklah Badan Keamanan Rakyat yang pada 5
Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat dan kemudian menjelma menjadi Tentara Nasional Indonesia …”
“… Dengan membodohi Rakyat pula dan menipu TNI/ABRI yang masih Tentara Rakyat ‘berjiwa Pejuang’ dengan
mengatakan Undang-Undang Dasar dengan empat kali Amandemen, sebagai UUD 1945.
Katakan dengan jujur dan berani bahwa UUD 1945 yang telah empat kali Amandemen, kreasi para Reformasi adalah UUD
2002 …”
Pembicara Utama di acara Bedah Buku tersebut adalah mantan Wapres Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno. Dalam uraiannya
yang panjang dan rinci, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno membenarkan dan menggaris-bawahi, bahwa UUD NRI
sekarang adalah UUD 2002.
Tulisan Marsekal Muda TNI (Purn.) Teddy Rusdy dan pernyataan Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno sebagai sesepuh TNI,
mempunyai dampak yang sangat besar terhadap sikap yang harus diambil oleh Tentara Nasional Indonesia, sehubungan
dengan UUD NKRI.
Semua penyelenggara Negara, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, para menteri kabinet, anggota DPR RI, DPD RI, TNI,
POLRI, Gubernur, Bupati dsb.harus mengucapkan sumpah atau janji akan setia kepada Pancasila dan Undang – Undang
Dasar (UUD) 1945.
Pada hari Senin, tanggal 20 Oktober 2014, Ir. Joko Widodo membacakan sumpah jabatan sebagai presiden RI 2014-2019 di
Gedung MPR RI:
“Bismillahirrahmanirohim. Demi Allah saya akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUD 1945, menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada bangsa dan negara,”
Jusuf Kalla yang kemudian membacakan sumpahnya sebagai wakil presiden 2014-2019.
“Bismillahirrahmanirohim. Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai wakil presiden Republik
Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Butir pertama Sumpah Prajurit adalah: Demi Allah saya bersumpah / berjanji: Bahwa saya akan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 23.
Sebelum diangkat menjadi anggota kepolisian NRI, seseorang harus bersumpah/ berjanji:
bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;
Untuk Pemerintah RI, TNI dan POLRI, terlepas dari perdebatan apakah UUD NRI hasil amandemen tahun 2002 masih dapat
dikatakan sebagai UUD 1945 atau tidak, keberadaan Pasal 28 G Ayat 2 sebenarnya sangat memalukan, seolah-olah telah
diprediksi, bahwa Pemerintah, TNI dan POLRI akan gagal menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945,
yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia…”
Kegagalan Pemerintah RI, TNI dan POLRI melondungi segenap bangsa Indonesia merupakan KEGAGALAN NKRI, dan
membuat NKRI menjadi NEGARA GAGAL.
Mantan Wakil Presiden RI yang juga sesepuh TNI, Jenderal TNI (Purn.) Try Soetrisno dan Marsekal Muda TNI (Purn.)
Teddy Rusdy, telah dengan tegas menyatakan bahwa UUD hasil amandemen tahun 2002 tidak dapat disebut sebagai UUD
1945. Bahkan Teddy Rusdy menyatakan dengan keras, bahwa UUD 2002 “… membodohi Rakyat pula dan menipu
TNI/ABRI…”
Selain kedua Beliau tersebut, sangat banyak purnawirawan perwira tinggi yang sependapat, bahwa UUD hasil amandemen
tahun 2002 bukan UUD 1945.
Hal ini tentu menjadi sangat dilematis untuk mereka yang tetap berpegang teguh pada UUD 1945 dan berpendapat, bahwa
secara faktual, UUD yang dipakai sekarang adalah UUD 2002.
Menjadi pertanyaan: Apakah harus merubah Sumpah Setia kepada UUD 1945 menjadi Sumpah Setia kepada UUD 2002?
Setelah Pemilu Legislatif tahun 1955 dibentuk Konstituante yang ditugaskan untk menyusun UUD RI, menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, yang disusun di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat
(RIS). UUDS ditandatangani oleh Sukarno tanggal 15 Agustus 1950, masih sebagai Presiden RIS.
Sejak penunjukan Sutan Sjahrir secara inkonstitusional sebagai Perdana Menteri RI bulan Noember 1945, sampai tanggal 5
Juli 1959 Indonesia menganut sistem parlementer. Presiden Sukarno melepaskan kekuasaannya sebagai Kepala
Pemerintahan kepada Sutan Sjahrir.
Sejak kembali ke Negara Kesatuan RI dengan sistem parlementer pada 17 Agustus 1950 tercatat ada tujug Perdana Menteri.
Artinya ada kabinet yang dapat bertahan hanya beberapa bulan. Tidak ada yang mencapai 3 tahun.
Dewan Konstituante juga kerjanya bertele – tele, bahkan sampai hampir 4 tahun tidak juga menghasilkan UUD baru yang
menggantikan UUDS, yang masih ikut disusun oleh para anggota DPR RIS. RIS terdiri dari 16 Negara Bagian. 15 Negara
Bagian adalah bentukan Belanda.
Perdana Menteri Juanda sendiri setuju untuk kembali ke UUD 1945, namun usulan di Konstituante agar kembali ke UUD
1945, tidak pernah mencapai Kuorum. Berbagai kalangan, baik politisi maupun militer menilai, bahwa kondisi negara sudah
sangat mengkhawatirkan.
Dari catatan sejarah, adalah Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi penentu, yaitu
memberi dukungan penuh kepada Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Pada 5 Juli 1950, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit yang isinya pertama, membubarkan Konstituante, kedua,
menyatakan berlakukan kembali UUD 1945. Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Dari sudut konstitusi yang berlaku pada masanya, penunjukkan Sutan Sjahrir bulan November 1945menjadi Perdana Menteri
adalah inkonstitusional, karena sejak 17 Agustus 1945, telah berlaku UUD 1945, yaitu kabinet presidensial.
Langkah Presiden RIS Sukarno membubarkan RIS juga inkonstitusional. Namun langkah ini mendapat dukungan dari 3
Negara Bagian yang tersisa. Sebelumnya, beberapa Negara Bagian RIS dibubarkan paksa oleh rakyatnya, karena “negara-
negara” tersebut bentukan Belanda.
Terakhir, Dekrit 5 Juli 1959 juga inkonstitusional. Namun sejarah mencatat, bahwa apabila sanggup bertahan atau mendapat
dukungan dari mayoritas rakyat, maka yang semula inkonstitusional menjadi konstitusional.
Telah dibentuk Tim yang akan membahas amandemen ke 5. Apakah ada jaminan bahwa Tim ini bekerja cepat, dan
memenuhi tuntutan seluruh komponen anak-bangsa Indonesia dan menampung seluruh aspirasi, baik rakyat kecil, TNI,
POLRI, dsb?
Melihat eskalasi yang makin meruncing saat ini sehubungan dengan tuntutan untuk KEMBALI KE UUD ’45 yang disahkan
tanggal 18 Agustus 1945, mungkin jalan terbaik, setelah berkonsultasi dengan DPR RI, DPD, TNI, POLRI dan para
pemangku kepentingan, adalah dikeluarkan Dekrit Presiden.
Kemudian semua perubahan yang ada di amandemen 1 – 4 dikaji ulang. Seluruh perubahan tidak lagi dalam bentuk
AMADEMEN, melainkan sebagai ADENDUM, di mana syarat perubahannya tidak serumit untuk merubah UUD.
Selain itu, juga sangat penting untuk membuat Risalah Sidang, seperti yang dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI, di mana
tertera jelas, siapa yang mengusulkan, apa dasar pertimbangannya dsb. Tehnologi saat ini sangat mempermudah untuk
merekam semua pembicaraan. Di DPR/MPR RI kelengkapan tehnisnya sudah sangat hebat, baik merupakan siaran langsung
dengan tehnologi Live Stream, maupun mencantumkan di situs-situs resmi pemerintah dan Dewan.
TUGAS 2
2. pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, silakan sdr mencari dalam artikel atau jurnal dan
lansung dikembangkan
1. Pokok pikiran pertama:
Negara begitu bunyinya ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan
atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ dalam pengertian ini diterima pengertian
negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya.
Jadi negaa mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ini
menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh
dilupakan. Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran ‘persatuan’ dengan pengertian yang lazim, negara, penyelenggara
negara dan setiap warganegara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun
perseorangan.
negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, ini merupakan pokok pikiran ‘keadilan sosial’ yang
didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
sosial dalam kehidupan masyarakat.
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem negara yang termasuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan
kedaulatan rakat dan berdasar asas pemusyawaratan perwakilan. Aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia, pokok
pikiran ‘kedaulatan rakyat’ yang menyatakan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Namun hasil amandemen UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 6A ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat’. Hal ini membuktikan bahwa ada perubahan kedaulatan rakyat yang tadinya
dilakukan sepenuhnya oleh MPR, khusus untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat
Indonesia.
yang terkandung dalam “Pembukaan “ negara berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusia yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara
yang lain untuk memlihara budi pekerti kemanusia yang luhur. Hal ini menegaskan pokok pikiran “Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, ini membuktikan bahwa pokok pikiran ini merupakan dasar
falsafat negara Pancasila.
TUGAS 3
3. amandemen terhadap UUD 1945 mengakibat kan terjadinya pergeseran terhadap struktur ketatanegaraan, berikan
analisis terhadap permasalahan tersebut.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945”
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima
penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya
managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum
akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang
dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan
juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam
penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan
kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 –
1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan
berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa
perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara
warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar
(konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan
konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen
masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang
melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting
dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan
kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia
yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Dengan melihat
kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang
dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan
kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab
dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
B. Pembatasan Masalah
Dalam sistem kenegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal yang sangat penting bagi jalannya
sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan berjalannya sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti
dilaksanakan dalam perundang – undangan negara. Masalah kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi
perbincangan, merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah ini
C. Identifikasi Masalah
Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun mengidentifikasi beberapa masalah
pokok sebagai berikut :
1. Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD 1945 sampai saat kini.
2. Permasalahan yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga timbulnya pra-kontra terhadap perumusan
amandemen UUD 1945.
3. Beberapa pendapat terhadap amandemen UUD 1945.
D. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan pengetahuan tentang negara dan konstitusi negara Republik Indonesia
2. Lebih mengenal kembali Undang-undang dasar negara Republik Indonesia
3. Mengikuti proses perkembangan perundangan Republik Indonesia
A. Sejarah Ketatanegeraan
Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada sidang PPKI 18
Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat sementara atau istilah Bung Karno “undang-undang dasar kilat”.
Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat
UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan struktural telah
menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus 1945-sampai keluar
Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan kita menerapkan UUD 1945 yang “asli” yang kekuasaan
sepenuhnya di tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari
Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi diganti
dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru
tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang
definitif.
Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan
disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam
semua buku pelajaran sejarah versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung
Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di
bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi
Pancasila.
Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sebelum Pemilu 2004,
kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-
interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem
pemerintahan.
kondisi dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa kalangan militer
dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya “Demokrasi Terpimpin”. Dulu mereka berhasil menjegal Majelis
Konstituante dengan memakai “pedang” Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya
“Demokrasi Pancasila” yang dengan landasan UUD 1945 yang “murni dan konsekuen” berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter
yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa “kehilangan” atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik
dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
Amandemen kedua dilakukan terhadap 9 persoalan. Kesembilan persoalan tersebut meliputi pengaturan mengenai:
1. Wilayah Negara
2. Hak hak asasi manusia
3. DPR
4. Pemerintahan Daerah
5. Pertahan dan keamanan
6. Lambang Negara
7. Lagu kebangsaan
A. Kesimpulan
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD 1945 yang
multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak
dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil
amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain
ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan.
Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi
otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta,
sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
B. Saran
1. Kita bangsa Indonesia dalam era reformasi ini harus berhati-hati dalam menyikapi perubahan. Karena perubahan
tanpa arah/tidak menentu Contohnya perubahan UUD 1945 menjadi amandemen UUD 1945.
2. Saat era reformasi ini terkesan banyak perbedaan-perbedaan yang menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia
3. Adanya amandemen UUD 1945 merupakan kemunduran bangsa Indonesia,karena adanya idiologi bangsa
Indosesia Pancasila diganti dengan idiologi Budi pekerti luhur dan akhlak mulia.itu sifatnya relatif /tidak
menentu/banyak pengertian/banyak penafsiran.
4. Selamat berjuang generasi penerus dan semua bangsa Indonesia untuk negara dan bangsa Indonesia.
TUGAS 4
4. buatlah tiga contoh dengan argumennya terkait pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menghomati,
memajukan, melindungi dan memenuhi HAM
Jelaskan secara singkat kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap HAM
Pembahasaan :
Indonesia, merupakan negara kepulauan berbasis hukum, dimana segala sesuatu bidang kehidupan diatur dalam
badan hukum. Dalam hal HAM, negara memiliki peran sebagai tokoh utama dalam penegakan Hukum, maksudnya negara
memiliki tanggung jawab guna menegakan,
Secara singkat, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terhadap HAM ada 3, yaitu :
1. Menghormati, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati Hak Asasi Manusia masyarakatnya
dengan cara tidak ikut campur atau ikut mengatur warga negaranya dalam hal melaksanakan hak – haknya, bisa juga
dikatakan bahwa Negara wajib secara mutlak untuk tidak menghambat kebutuhan Hak Asasi warganya.
2. Melindungi, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan kepastian hak asasi
setiap warganya. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk badan pertahanan dan keamanan seperti TNI Polri guna
melindungi dari pelanggaran hak asasi
3. Memenuhi, Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi serta mencukupi kebutuhan hak asasi
warganya. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk lembaga – lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudikatif agar pemenuhan
kebutuhan hak asasi warganya dapat terealisasikan dengan langkah yang nyata.
Adapula kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap HAM, hal ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945
Alinea ke – 4, yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Nehara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan
sosial ...” dimana dari pembukaan UUD 1945 alinea ke – 4 ini, Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap
HAM diantaranya