Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

TONSILITIS KRONIS

Disusun oleh:

TOMMY AKROMA

(20174011023)

Pembimbing: dr. Yunie Wulandari, Sp.THT-KL, M. Kes

RSUD Salatiga

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA,


HIDUNG DAN TENGGOROKAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

TONSILITIS KRONIS

Disusun oleh:

TOMMY AKROMA

(20174011023)

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal: Kamis, 28 September2017

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Yunie Wulandari, Sp.THT-KL, M. Kes


BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas pasien
Nama : Nn. I
Usia : 16 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status pernikahan : Belum menikah
Alamat : Legok
No RM : 17-18-373282
Masuk Rumah Sakit : 19 September 2017
Dirawat di : Ruang Flamboyan

II. Anamnesis
1. Keluhan utama
Nyeri telan hilang timbul
2. Riwayat penyakit sekarang

An A 16 tahun datang ke poli THT dengan keluhan nyeri telan hilang timbul pada tenggorokan
dan terasa mengganjal. Pasien mengeluh sakit menelan sejak satu bulan yang lalu dan tidak
membaik. Pasien belum minum obat. Pasien mengeluh saat capek dan minum es sakit menelan
langsung kambuh kembali. Pasien juga mengeluh alergi terhadap dingin, jika dingin bronkitis
pasien akan kambuh dan akan hilang dengan sendirinya. Demam, pusing, batuk, pilek disangkal
oleh pasien. Pasien mengatakan ingin segera di operasi untuk pengambilan amandelnya.

3. Riwayat penyakit dahulu

Pasien pernah mengalami nyeri telan hilang timbul serupa namun membaik sendiri sejak usia
5 tahun. Pasien pernah dirawat karena sakit demam typoid. Pasien juga pernah didiagnosis
bronkitis, dan Alergi dingin.
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat nyeri telan serupa dalam keluarga disangkal.
5. Riwayat personal sosial
Riwayat pasien sejak kecil sering makan jajanancepat saji dan suka minum es.

III. Pemeriksaan fisik


Keadaan umum : CM, sadar
GCS : E4V5M6
Vital Sign
Nadi : 85 x/menit
Pernafasan : 15 x/menit
Suhu : 35,7 0C
Tekanan darah : 90/60 mmhg
Akral : Hangat

IV. Pemeriksaan THT

Telinga dextra sinistra


- Aurikula Normotia Normotia
- Liang telinga Lapang Lapang
- Serumen + +
- Discharge - -
- Membrane timpani Utuh Utuh
Hidung dextra sinistra
- Deformitas - -
- Cavum nasi Lapang Lapang
- Concha nasalis Eutrophy Eutrophy
- Darah - -
- Krusta - -
- Septum nasi Lurus Lurus
Tenggorok dextra sinistra
- Tonsil T3 T3
- DPP Normal Normal
- Uvula Ditengah
- Discharge -
- Darah -

V. Pemeriksaan Penunjang

HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


Leukosit 7.62 4.5-11 ribu/ul
Eritrosit 5.12 L:4.5-6.5, W: 3.8-5.8 Juta/ul
Hemoglobin 13.8 L:13-18, W: 11.5-16.5 g/dl
Hematokrit 42.1 P:40-50, W: 37-47 Vol%
Trombosit 262 150 – 450 ribu/ul
MCV 82.3 85-100 fl
MCH 27 28 – 31 pg
MCHC 327 30 – 35 gr/dl
PTT 12.9 11 – 18 detik
APTT 26.5 27 – 42 detik
Golongan darah ABO B
Eosinofil% 5.4 1-6 %
Basofil% 0.4 0.0-1.0 %
Limfosit% 34.0 20-45 %
Monosit% 2.5 2-8 %
Neutrofil% 57.7 40-75 %
Glukosa darah sewaktu 80 <140 mg/dl
HBs Ag negatif negatif
VI. Diagnosis kerja
Tonsilitis Kronis

VII. Penatalaksanaan
- Pro tonsilektomi
- Rawat inap observasi keadaan umum dan tanda vital
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi Cefotoxime 2x1g

Post tonsilektomi :

- Awasi Keadaan umum, keadaan vital, dan tanda tanda perdarahan


- Tidur miring
- Kompres es di leher
- Minum es syrup
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1g
- Inj. Dexamethasone 2x1ampul
- Inj. Asam tranexamat 3x500mg
- Inj. Ketolorac 3x1 ampul

Rawat jalan:

- Cefixime tablet 100 mg 2x1


- Dexamethasone tablet 2x1
- Ketolorac tablet 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang berada dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
palatine, dan tonsil tuba eustachius (gerlach’s tonsil). Berdasarkan durasi waktu tonsilitis
diklasifikasikan menjadi tonsilitis akut dan kronik (Rusmarjono, 2010).
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri tenggorok,
nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil,
eritema dan eksudat pada permukaan tonsil. Kornblut menjelaskan gejala tonsilitis akut akan
berkurang 4-6 hari. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14 hari (Kornblut, 1991).
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut
atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis, biasanya nyeri tenggorok dan nyeri
menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Tonsillitis kronis adalah
suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil
yang berulang (Hammouda, 2009).

2. Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsil lingual. Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil saja terletak didalam
fossa tonsil. Tonsil dibatasi oleh pilar anterior yang berisi m. Palatoglossus, pilar posterior
yang berisi m. Palatopharingeus dan bagian lateral dibatasi oleh m. Constrictor pharingeus
superior (Alatas, 2008).
Gambar 1. Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer

Gambar 2.

1. Pharyngeal tonsil ; 2. Palatine tonsil ; 3. Lingual tonsil ; 4. Epiglottis


Tonsila faringeal atau bisa disebut adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak
di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada
dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
(Hermani, 2004).
Tonsila palatina atau biasa disebut tonsil adalah suatu massa berbentuk oval, tipis
dengan panjang 2-5 cm, masing-masingnya mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil, terletak pada bagian samping belakang orofaring dalam fossa tonsilaris atau
sinus tonsilaris. Bagian atas fossa tonsilaris yang kosong dinamakan fossa supratonsiler yang
merupakan jaringan ikat longgar. Berat tonsil pada laki-laki berkurang dengan bertambahnya
umur, sedangkan pada wanita berat bertambah pada masa pubertas dan kemudian menyusut
kembali (Hermani, 2004).
Permukaan lateral tonsil meletak pada fascia faring yang sering juga disebut capsula
tonsil. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel squamous yang juga meliputi kriptus.
Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Kripta pada tonsil palatina lebih besar, bercabang dan berlekuk-lekuk dibandingkan
dengan sistem limfoid lainnya, sehingga tonsil palatina lebih sering terkena penyakit. Selama
peradangan akut, kripta dapat terisi dengan koagulum yang menyebabkan gambaran folikuler
yang khas pada permukaan tonsil.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini terkadang
menunjukkan penjalaran duktus triglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
terdapat massa tiroid lingual atau kista duktus triglosus (Kartosoediro S, 2007).
Gambar 3. Anatomi tonsil

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil


Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu
1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden
2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden
3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal
4) A. faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena
dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring (Brodsky, 2006).
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya
ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Brodsky, 2006).

Gambar 5. Inervasi Tonsil


Nervus trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati
ganglion sphenopaltina yaitu n. palatina. Bagian bawah tonsil dipersarafi n. glossopharingeus
(Brodsky, 2006).
3. Histologi
Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat, jaringan
interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula yang berfungsi sebagai
penyokong tonsil (Brodsky, 2006). Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim
tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan
bebas tonsil ditutupi oleh epitel statified squamous (Bluestone,2006). Jaringan germinativum
terletak dibagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid.
Jaringan interfolikel terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Pada
tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel
plasma di dalam subepitel maupun di dalam jaringan interfolikel. Hiperplasia dan
pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan
terjadinya hipertrofi tonsil (Ugras, 2008).

4. Fisiologi dan Imunologi Tonsil


Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:

1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari diferensiasi
limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama dengan


adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit
T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel
limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar
sekretori di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan
dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit
yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan
melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M
pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen
rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan
respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi
limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan immunoglobulin (Lowry,
2003). Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai
mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T
terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel
kriptaretikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya
aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan
aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum
germinativum juga berkurang (Wiatrak, 2007).

5. Klasifikasi
Macam-macam tonsillitis yaitu (Soepardi dkk, 2012).:
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae
merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang
dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsillitis akut
dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi
satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium
diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan
pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis
timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering berupa
epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak
kebiruan.
3. Tonsilis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis
akut yang tidak adekuat.

6. Epidemiologi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
THT. Data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia,prevalensi tonsilitis
kronis sebesar 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Hasil pemeriksaan pada anak-
anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada telinga hidung dan tenggorokan berjumlah
190-230 per 1.000 penduduk dan didapati 38,4% diantaranya merupakan penderita penyakit
tonsilitis kronis (Vivit, 2013). Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua
umur, namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut
adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.Tonsilitis lebih
umum pada anak-anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-30% pada
anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan
(Epocrates, 2015).

7. Etiologi
Tonsilitis dibagi menjadi tonsilitis akut, membranosa dan kronik. Tonsilitis akut terdiri
dari tonsilitis viral dengan penyebab paling sering adalah virus Epstein Barr, dan tonsillitis
bakterial disebabkan oleh kuman grup A Streptococcuss β Hemolitikus.Tonsilitis
membranosa,penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa adalah tonsillitis difteri,
tonsillitis septik, Angina Paut Vincent dan penyakit kelainan darah. Tonsilitis kronik,kuman
penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang berubahmenjadi kuman
golongan Gram negative (Rusmarjono, 2007).
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat (Soepardi dkk, 2012).

8. Patofisiologi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap lebih dari 3 bulan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Kargoshaie,2009).
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita
mengalami penurunan. Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan
inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan
satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan imun
tubuh menurun .Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil. Karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut
sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus
(akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa
eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar submandibular (Brodsky, 2006).
Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan
fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil
sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden
sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4
(Bailey,2008). Secara sistematik proses imunologis di tonsilterbagi menjadi 3 kejadian yaitu:

1) respon imun tahap I,

2) respon imun tahap II, dan

3) migrasi limfosit.

Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel
kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barrier imunologis. Sel M tidak
hanya berperan mentranspor antigen melalui barrier epitel tapi juga membentuk komparten
mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing,
limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respons imun tonsila palatina tahap II
terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel
limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil
melaui HEV dan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu
masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin,
dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.
Sitokin dan kemokin inilah yang merupakan mediator-mediator inflamasi terjadinya tonsillitis
kronik (Myers,2008).
Gambar 6. Tonsilitis Akut Gambar 7. Tonsilitis Kronis

9. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari
Tonsilitis Kronik yang mungkin tampak, yakni tampak pembesaran tonsil oleh karena
hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh
eksudat yang purulen atau seperti keju. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput,
kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang
melebar dan ditutupi eksudat yang purulent (Darake, 2010).
Gambar 8. Ukuran tonsil

Gambar 9. Grade tonsilitis


Ukuran tonsil dibagi menjadi (Brodsky,2006).

T0 : Post tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris

T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar
posterior)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

T4 : Sudah melewati garis median

10. Diagnosis
Kriteria diagnosis satu atau lebih keluhan dari anamnesis yang berulang disertai dengan
pembesaran ukuran tonsil dan atau pemeriksaan fisik lainnya. Dari anamnesis, akan didapatkan
keluhan penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus,
sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada
leher (Brodsky,2006).
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang mungkin didapatkan adalah Tampak tonsil
membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis,
tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus,
kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta
(Brodsky,2006).
Pemeriksaan penunjang pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan kultur dan uji
resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan
beberapa macam kuman dengan berbagai derajat keganasan, seperti Streptokokus beta
hemolitikus grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
Rinofaringolaringoskopi (RFL), foto polos nasofaring lateral, polisomnografi bila diperlukan.
Pasca operasi pemeriksaan histopatologi jaringan tonsil dan atau adenoid (bila dicurigai
keganasan).
11. Diagnosis Banding
a. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya membran semu yang
menutupi tonsil/ tonsilitis membranosa (Brodsky,2006).

1. Tonsilitis Difteri

2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

3. Mononukleosis Infeksiosa

b. Tonsilitis kronik oleh sebab lain :tuberkulosis,sifilis, ktinomikosis


c. Pembesaran tonsil karena kelainan darah atau keganasan, misalnya:leukemia, limfoma.

12. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien meliputi :
1. Istirahat cukup
2. Makan makanan yang lunak dan mengindari makan makanan yang mengiritasi
3. Menajaga kebersihan mulut
4. Pemberian obat topical dapat berupa obat kumur antiseptic
5. Pemberian obat oral sistemik sesuai indikasi
a. Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik pada
tonsilitis akut maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin merupakan antibiotik pilihan pada
sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah 12
tahun, golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap
streptococcus. Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih banyak
(Pulungan & Novialdi,2010).

b. Tindakan Operatif

Tonsilektomi didefinisikan sebagai prosedur bedah (dengan atau tanpa


adenoidektomi) yang menyingkirkan tonsil secara keseluruhan, termasuk kapsulnya dengan
cara diseksi ruang peritonsilar antara kapsul tonsil dan dinding maskuler (Baugh, 2011).
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi menurut Brodsky yaitu:

1. Obstruksi :

a. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.


b. Sleep apnea atau gangguan tidur.
c. Kegagalan untuk bernafas.
d. Corpulmonale.
e. Gangguan menelan.
f. Gangguan bicara.
g. Kelainan orofacial / dental yang menyebabkan jalan nafas sempit.

2. Infeksi :

a. Tonsilitis kronika / sering berulang.


b. Tonsilitis dengan :Absces peritonsilar, absces kelenjar limfe leher, obstruksi Akut jalan
nafas,penyakit gangguan klep jantung.
c. Tonsilitis yang persisten dengan : sakit tenggorok yang persisten.
d. Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.
e. Otitis Media Kronika yang berulang.

3. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck
Surgery :

1. Indikasi absolut:

a. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia menetap,
gangguan tidur atau komplikasi kardiopulmunar
b. Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
c. Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
d. Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2. Indikasi relatif :

a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun
dengan terapi yang adekuat
b. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronik tidak
responsif terhadap terapi medikamentosa
c. Tonsilitis kronik atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten
terhadap antibiotik betalaktamase
d. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah


mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan
dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya
sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena
infeksi kronik. Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolute untuk
surgery. Pada kasus yang ekstrim,obstructive sleep apnea ini menyebabkan hipoventilasi
alveolar, hipertensi pulmonal dan kardiopulmoner(Hermani, 2004).

Kontraindikasi tonsilektomi (lee, 2008).

1. Kontraindikasi relatif

a. Palatoschizis
b. Radang akut, termasuk tonsilitis
c. Poliomyelitis epidemica
d. Umur kurang dari 3 tahun

2. Kontraindikasi absolut

a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia


b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol: DM, penyakit jantung, dan sebagainya.
13. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronik dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau
secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil (Brodsky,2006). Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :

a. Komplikasi sekitar tonsil :

1. Peritonsilitis: Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan
abses.
2. Abses Peritonsilar (Quinsy): Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus
kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
3. Abses Parafaringeal: Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid,
kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
4. Abses retrofaring: Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi
pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
5. Krista Tonsil: Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa
dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih/berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
6. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil): Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat
dalam jaringan tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.

b. Komplikasi ke organ jauh

1. Demam rematik dan penyakit jantung rematik


2. Glomerulonefritis
3. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
4. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
5. Artritis dan fibrositis
Komplikasi Tonsilektomi menurut Brodsky:

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan
bedah dan anestesi.

Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi
yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual muntah, kematian
saat induksi pada pasien dengan hipovolemi, induksi intravena dengan pentotal bisa
menyebabkan hipotensi dan henti jantung, hipersensitif terhadap obat anestesi.

Komplikasi Bedah efek samping dari tonsilektomi adalah post tonsillectomy


hemorrhage (PTH). PTH primer dapat terjadi 24 jam setelah operasidisebabkan oleh tidak
adekuatnya penjahitan/ligasi arteri yang bersangkutan. Sedangkan PTH sekunder dapat terjadi
pada hari ke 5 sampai ke 10 post pembedahan. Pasien dengan usia tua (>70 tahun), laki-laki,
riwayat tonsillitis kronik dan atau tonsillitis rekuren, tonsillitis dengan histologist kriptik,
kehilangan darah massif intraoperatif dan peningkatan mean arterial pressure postoperatif dan
anemia (khususnya wanita), merupakan faktor resiko dari PTH (Skevas dkk, 2010).

a. Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat


terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi
pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

b. Nyeri

Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus
atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain

Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia,


pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.

14. Prognosis
Tonsilitis akut biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis
lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi
bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu
infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Eibling, 2003).
Prognosis tonsilitis Kronis menurut PPK PERHATI-KL:

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia Ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam


BAB III

PEMBAHASAN

1. Diagnosis Pasien

Penegakan diagnosis tonsilofaringitis akut pada pasien didapatkan berdasarkan anamnesis


dan pemeriksaan fisik.

An A 16 tahun datang ke poli THT dengan keluhan nyeri telan hilang timbul pada
tenggorokan dan terasa mengganjal. Pasien mengeluh sakit menelan sejak satu bulan yang lalu dan
tidak membaik. Pasien belum minum obat. Pasien mengeluh saat capek dan minum es sakit
menelan langsung kambuh kembali. Pasien juga mengeluh alergi terhadap dingin, jika dingin
bronkitis pasien akan kambuh dan akan hilang dengan sendirinya. Demam, pusing, batuk, pilek
disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan ingin segera di operasi untuk pengambilan amandelnya..
Pasien pernah mengalami nyeri telan hilang timbul serupa namun membaik sendiri sejak usia 5
tahun. Pasien pernah dirawat karena sakit demam typoid. Pasien juga pernah didiagnosis bronkitis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang membesar hipertofi derajat T3 yaitu tonsil
sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median, atau T3:> 50% sampai < 75%
tonsil menutupi orofaring,(batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾
jarak pilar anterioruvula).
Kriteria diagnosis satu atau lebih keluhan dari anamnesis yang berulang disertai dengan
pembesaran ukuran tonsil dan atau pemeriksaan fisik lainnya Berdasarkan data anamnesis dan
pemeriksaan fisik, didapatkan sudah mengalami keluhan nyeri telan hilang timbul serupa sejak
usia 5 tahun dan pada pemeriksaan tonsil, tonsil membesar dengan derajat T3 dan maka
diagnosis tonsillitis kronis dapat ditegakkan.

2. Penatalaksanaan Pasien

Pada pasien tonsillitis kronis dapat dilakukan penanganan istirahat yang cukup, makan
makanan yang lunak dan mengindari makan makanan yang mengiritasi,menajaga kebersihan
mulut, pemberian obat topical dapat berupa obat kumur antiseptik. Indikasi tonsilektomi dahulu
dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsillitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi akibat hipertrofi tonsil. Obtruksi
yang mengakibatkan gangguan menelan maupun gangguan nafas merupakan indikasi absolut.
Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergensi dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Pada pasien ini ditemukan gangguan menelan menurut
Brodsky merupakan indikasi untuk dilakukannya tonsilektomi, menurut The American Academy
of Otolaryngology, Head and Neck Surgery pada pasien ini juga ditemukan indikasi absolut untuk
dilakukannya tonsilektomi yaitu sumbatan jalan nafas atas dan disfagia menetap. Oleh sebab itu
maka pasien diindikasikan untuk dilakukannya tonsilektomi agar dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien.
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus ini adalah:

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Disebut tonsilitis kronis apabila keluhan telah ada lebih dari 3 bulan. Tonsilitis kronis
adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang.
Tonsilitis kronik yang memenuhi indikasi dapat diterapi dengan tonsilektomi.
Pencegahan tonsillitis dilakukan dengan menghindari faktor-faktor predisposisi seperti
faktor usia terutama pada anak-anak, daya tahan tubuh yang menurun rangsangan menahun dari
rokok atau makanan tertentu, hygiene ronga mulut yang kurang baik, dan riwayat alergi.
Pada pasien ditemukan gangguan menelan sejak usia 5 tahun, sering kambuh, danpada
pemeriksaan fisik juga ditemukan pembesaran tonsil derajat T3-T3, dari keluhan dan pemeriksaan
diatas sudah cukup untuk mengindikasikan pasien untuk dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi
dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas N, Baba F. Proliferating Active Cells, Lymphocyte Subsets and Dendritic Cells in Recurrent
Tonsillitis: Their Effect on Hypertrophy. Arch Oto HNS, May 2008; 134(5): 477-83.

Bailey BJ, and Jhonson JT, Tonsillitis, Tonsilectomy, and Adenoidectomy, in Head and Neck
Surgery-Otolaryngology, vol 1, 4th edition, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia, 2008
.p: 87-1183

Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, et al. Clinical practice guideline: tonsillectomyin children.
Otolaryngol‐Head Neck Surg {internet]. 2011; 144(1 Suppl):S1‐S30. Tersedia dari:
doi:10.1177/0194599810389949.

Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and tympanostomy tubes. In:


Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed
Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.

Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy and Adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT, et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 2006: p. 1183-98.

Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E-medicine.com.inc.


2010:1-10

Eibling, D.E., 2003. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus. In: Lee, K.J., Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edit ion. McGraw Hill Medical Publishing Division

Epocrates. Tonsillitis epidemiology. AnAthenahealth Service[internet]. 2015 [disitasi tanggal 1


mei 2016]. Tersedia dari:http://onlie.epocrates.com/diseases/59823/Tonsillitis/Epidemiology

Hammouda M, Khalek ZA, Awad S, Azis MA, Fathy M. Chronic tonsillitis bacteriology in
egyptian children including antimicrobial susceptibility. Aust. J. Basic & Appl. Sci.,
2009;3(3):1948-53.
Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N., 2004.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment (HTA) Indonesia; 1-25.

Herawati S. dan Rukmini S. Ilmu Penyakit Anak Telinga, Hidung, Tenggorok. Jkarta:EGC:2000
Kargoshaie A. A. et al. The correlation between tonsil size and academicperformance is not a direct
one, but the result of various factors. ActaOtorhinolaryngologica Italia 2009;29:258-255.

Kartosoediro, S., Rusmarjono, 2007. Nyeri Tenggorok. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N.,
Bashiruddin, J., Restudi, R.D., Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 214.

Kornblut AD. Non-neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In: Paparella MM, Shumrick
DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors Otolaryngology 3th ed. Philadelphia WB Saunders
Company 1991: p.2129-46.

Lee, K.J (eds). The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus. Essential Otolaryngology Head & Neck
Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA. 2008.

Lowry LD, Onart S. Anatomy and physiology of the oropharinx and nasopharinx. In: In: Snow JB,
Ballenger JJ editors. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton
Ontario. Bc Decker 2003:p.1009-19.

Myers Eugene N. Tonsilectomy in Operative, Otolaryngology Head and Neck Surgery, vol 1, 2nd
edition, Saunders, Philadelphia, 2008,p: 173-170

Novialdi, Al Hafiz. Pengaruh Tonsilektomi Terhadap Kadar Interferon-γ danTumor Necrosis


Factor-α pada Pasien Tonsilitis Kronis Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Unpublished. Diakses
darihttp://repository.unand.ac.id pada tanggal 25 Juni 2014.

Pengurus pusat perhati-kl.2015. PANDUAN PRAKTIK KLINIS PANDUAN PRAKTIK KLINIS


TINDAKAN CLINICAL PATHWAY. Perhimpunan Dokter SpesialisTelinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Indonesia. Jakarta.

Pracy, R. et al. Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2008.
Pulungan MR, Novialdi N. Mikrobiologi tonsilitis kronis.Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang; 2010.

Rusmarjono, Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala & leher.
Edisi ke‐6. Editor: Hendra U. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.

Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring quality of life in adult
patients with chronic tonsillitis.The Open Otorhinolaryngology Journal. 2010;(4):34-46.

Soepardi, E A; Iskandar, N; Bashiruddin, J; Restuti, R D. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

Suardi, Adi Utomo, dkk. 2010. Buku Ajar: Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI

Ugras S, Kutluhan A. Chronic tonsillitis can be diagnosed with histopathologic findings. Eur J
genmed 2008;5(2):95-103.

Vivit S.Karakteristik penderita tonsillitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi di bagian THT
Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi pada Bulan Mei-Juli 2013. Universitas Jambi
[internet]. 2013. [disitasi tanggal 16 april 2016]. Tersedia dari: http://www.e-jurnal.com/
2014/10/karakteristik-penderita-tonsilitis.html.

Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In : Cummings CW editor.
Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th ed. Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.

Anda mungkin juga menyukai