Anda di halaman 1dari 50

REFLEKSI KASUS

STRUMA DENGAN HIPERTIROID HEART DISEASE

Disusun Oleh:

Ami Puspitasari

NIPP. 20174011033

Pembimbing:

dr. Kuadi Harta, Sp.PD FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

STRUMA DENGAN HIPERTIROID HEART DISEASE

Disusun oleh:

Nama: Ami Puspitasari

NIPP. 20174011033

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal:

Sabtu, 23 Desember 2017

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Kuadi Harta, Sp.PD FINASIM

2
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 51 tahun

Alamat : Kalijambe RT 03/02, Bringin, Kec. Bringin, Semarang

Status : Menikah

Masuk RS : 3 Desember 2017 pukul 11.30 WIB

No. CM : 06-07-57185

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Diare, pusing dan demam.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan diare 3 hari SMRS (sebelum masuk
rumah sakit) dengan frekuensi >10x. Diare konsistensi cair, darah (-), lendir (-).
Pasien mengeluh demam 3 hari SMRS. Demam terus menerus naik turun. Pasien
juga mengeluh batuk sejak 2 hari SMRS, batuk tidak disertai dahak. Pasien juga
mengeluh pusing, mual (+), muntah (-) dan punggung terasa nyeri. Pasien merasa
cemas dan berdebar-debar (+). Tangan gemetar (+), tangan berkeringat (+). Pasien
merasa sesak napas. BAK lancar. Makan dan minum sedikit sejak keluhan diare dan
mual sejak 3 hari SMRS. Terdapat benjolan di leher pasien sejak 20 tahun yang lalu,
namun dari benjolan tersebut tidak ada keluhan yang dirasakan. Pasien pun tidak
pernah periksa benjolan tersebut ke dokter. Benjolan awalnya muncul sebesar
kelereng 1x1x1cm lalu berangsur-angsur membesar sebesar telur ayam. Nyeri pada
benjolan (-), perubahan warna pada benjolan (-), keluar darah atau nanah (-),
benjolan tidak teras panas. Perubahan suara menjadi serak (-), susah menelan (-).

3
Benjolan di tempat lain tidak ada. penurunan berat badan (-), peningkatan nafsu
makan (-). Pasien mengonsumsi garam biasa. Kebiasaan mengonsumsi sayuran
seperti kubis, lobak cina, singkong (-). Pasien tidak pernah mendapat terapi radiasi
atau paparan dengan radiasi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (-), DM (-), asma (-). Riwayat suka berdebar-debar.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga.
f. Anamnesis sistem
 Kepala dan leher : tidak ada keluhan
 Respirasi : tidak ada keluhan
 Gastrointestinal : nyeri perut atas (+)
 Perkemihan : BAK tidak ada keluhan
 Ekstremitas : tidak ada keluhan
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalisata
Keadaan umum Compos mentis

Tanda Vital:
Tekanan darah 98/68 mmHg

Nadi 77 x/ menit

Suhu 37o C

Pernafasan 26 x/ menit

SpO2 sistemik 94%

Kepala Normosefali, tidak terdapat hematom

Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),

Mata conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), penglihatan


tidak kabur

Telinga Dalam batas normal (dbn)

4
Hidung Dbn

Tenggorokan Tidak ditemukan adanya deviasi trakhea

Terdapat pembesaran kelenjar tiroid sebesar telur ayam,


Leher mobile, konsistensi lunak

Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ICS 5 linea

midclavicularis sinistra

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 line

midclavicularis sinistra, Thrill (-)

Perkusi : Batas jantung kanan ICS 4 linea


Cor parasternalis dextra

Batas jantung kiri ICS 5, 2 jari lateral

dari linea midclavikularis sinistra

Batas jantung atas ICS 2 linea sternalis

sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-) murmur (-)

Inspeksi : Simetris hemithorak kanan dan kiri saat

statis dan dinamis,

Palpasi : Simetris hemithorak kanan dan kiri saat

statis dan dinamis, fremitus vokal


Pulmo
dan fremitus taktil sama kanan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : SDV (+/+), Rh -/-, Wh-/-

Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus 12 x/menit (normal)
Abdomen
Perkusi : Timpani pada semua lapang perut,
shfting dullness (-), liver span lobus dexter 11 cm, lobus
sinister 6 cm. Area traube timpani

5
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
Distensi (-), defans muskular (-)
Ginjal : Tidak teraba pembesaran
Lien tidak teraba.

Ekstremitas Edema (-), akral dingin(-)

b. Status Lokalis
Regio colli anterior
I : Tampak benjolan pada leher depan bagian tengah sebesar telur ayam, tidak
simetris (lebih besar lobus kanan daripada lobus kiri), warna kulit sama dengan
sekitar, tidak tampak ada darah atau pus keluar dari benjolan
P : Teraba sebuah massa soliter, tidak teraba panas. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut bergerak saat
menelan (+), pembesaran KGB di servikal (-), jugular (-), submandibular (-) atau
klavikular (-).
A : Bruit (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium (03/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 8.33 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 4.97 4–5 106/uL
Hemoglobin 10.8* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 33.2* 38.00 – 47.00 %
MCV 66.8* 86 – 108 fL
MCH 21.7* 28 – 31 pg
MCHC 32.5 30 – 35 g/dL
Trombosit 86** 150 – 450 103/uL
Golongan Darah ABO O

6
HITUNG JENIS

Eosinofil% 0.3* 1-6


Basofil% 0. 3 0.0-1.0
Limfosit% 6.5* 20-45
Monosit% 4.6 2-8
Neutrofil% 88.3* 40-75
KIMIA

Glukosa Darah Sewaktu 90 <140 mg/dL


mg/dL
10-50
Ureum 36 mg/dL
0.6-1. 1
Creatinin 0.9
<37
SGOT 55 U/L
SGPT 17 <42 U/L

IMUNO/SEROLOGI

HBs Ag (Rapid) Negative Negative

c. Pemeriksaan Laboratorium (04/012/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 8.59 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 5.36* 4–5 106/uL
Hemoglobin 11.6* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 36.1* 38.00 – 47.00 %
MCV 67.3* 86 – 108 fL
MCH 21.6* 28 – 31 pg
MCHC 32.2 30 – 35 g/dL
Trombosit 81* 150 – 450 103/uL

7
HITUNG JENIS

Eosinofil% 0,4* 1-6


Basofil% 0. 5 0.0-1.0
Limfosit% 8.2* 20-45
Monosit% 5.3 2-8
Neutrofil% 85.6* 40-75

d. Pemeriksaan Laboratorium (05/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 1.88* 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 5.07* 4–5 106/uL
Hemoglobin 11.1* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 34.6* 38.00 – 47.00 %
MCV 68.2* 86 – 108 fL
MCH 21.9* 28 – 31 pg
MCHC 32.1 30 – 35 g/dL
Trombosit 71* 150 – 450 103/uL

HITUNG JENIS

Eosinofil% 0.2* 1-6


Basofil% 0. 8 0.0-1.0
Limfosit% 16.8* 20-45
Monosit% 1.8* 2-8
Neutrofil% 80.4* 40-75
KIMIA
T3 1.24 0.79-1.49
T4 14.65* 4.5-12
TSH <0.05* 0.35-5.5

8
e. Pemeriksaan Laboratorium (06/12/2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI

Leukosit 1.88* 4.5 – 11 103/uL


Eritrosit 5.4* 4–5 106/uL
Hemoglobin 11.7* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 36.4* 38.00 – 47.00 %
MCV 67.4* 86 – 108 fL
MCH 21.7* 28 – 31 pg
MCHC 32.1* 30 – 35 g/dL
Trombosit 105* 150 – 450 103/uL

HITUNG JENIS

Eosinofil% 0.2* 1-6


Basofil% 0. 7 0.0-1.0
Limfosit% 24.9 20-45
Monosit% 8.4* 2-8
Neutrofil% 65.8 40-75

f. Pemeriksaan Rontgen Thorax AP (08/12/2017)


Hasil:

Cor :

 CTR >> 50%


 Atrium dan ventrikel Dx/Sn membesar
 Pinggang jantung datar
Pulmo :

 Corakan bronchovaskuler meningkat


 Tak tampak bercak-bercak kesuraman di Pulmo Dx/Sn
 Tak tampak massa pada pulmo Dx/Sn
 Tak tampak pleural line di hemi thorax Dx/Sn

9
 Tak tampak gambaran coin lessions di pulmo Dx/Sn
 Sinus costofrenikus Dx/Sn lancip, sinus cardiofrenikus Dx/Sn lancip
 Tak tampak diskontinuitas pada tulang-tulang dinding thorax

Kesan:

 Cor : cardiomegaly dengan atrium ventrikel Dx/Sn cenderung gambaran MMS.


 Pulmo : gambaran bronchitis

g. Pemeriksaan EKG (03/12/2017)

10
Interpretasi EKG :
 Irama : aritmia (sinus takikardi)
 Frekuensi : 96-110 x/menit
 Regularitas : regular
 Aksis : deviasi ke kanan
 Gelombang P : tidak ada
 Interval PR : tidak ada
 Interval QRS : normal (0,06-0,1 detik)
 Terdapat VES (Ventrikular Ekstrasistol) di V2, V3

V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:

 Struma nodusa toksik


 Hyperthyroid heart disease
 Gantroenteritis akut
 Febris

VI. PENATALAKSANAAN DAN PLAN


1. IGD (03/12/2017)
 O2 2 lpm
 Paracetamol 1 g infus
 Ceftriaxone 2x1 g injeksi
 Ranitidine 2x50 injeksi
 Ondansetron 4 mg/ 2 ml
 Asering 500 ml 20 tpm
 Ventolin
 Pulmicort 0,2
 Nebulizer mask
2. 04/12/2017

 Propanolol 10 mg tab

 Dexamethasone injeksi

 New antides 600 mg tab

11
 Ringer lactate

3. 05/12/2017

 Ambroxol 15 mg/ 5 ml syrup

 Dexamethasone injeksi

 Ringer lactate

4. 06/12/2017

 KSR 600 mg tab

 Furosemide 40 mg tab

 Digoxin 0,25 mg tab

 Ringer lactate

5. 07/12/2017

 Thyrozol 5 mg tab

 Dexamethasone injeksi

 Ranitidine injeksi

 Ringer lactate

6. 11/12/2017

 Cefixime 200 mg kaps

 Codein 10 mg tab

 Acetylsystein 200 mg kaps

 Bisoprolol 5 mg tab

 Thyrozol 5 mg tab
PLAN
- Pemeriksaan FT3, FT4
- USG regio Colli anterior
- Pemeriksaan antibody, seperti TSA (Thyroid Stimulating Hormone Antibodi), antibody
tiroglobulin
- Biopsi aspirasi jarum halus / FNAB

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Struma

A. Definisi

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-folikel
terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar
dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma nodosa toksik adalah
pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid.
Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila
tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit
Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease ( De Jong, 2004).

B. Struktur Anatomi dan Histologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis melekat
pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat
kelenjar pada tiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid. Arteri karotis
komunis, a. jugularis interna dan n. vagus terletak bersama di dalam sarung tertutup di
laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Perdarahan
kelenjar tiroid yang kaya berasal dari empat sumber yaitu kedua a. karutis eksterna (a. tiroidea
superior) dan kedua a. brakhialis (a. tiroidea inferior) ( De Jong, 2004).

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid

13
Kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang
dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat. Folikel-folikel tiroid dibatasi
oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh koloid. Kelenjar tiroid mengandung 2 tipe sel
utama yaitu thyroid follicular cells dan C cells (parafollicular cells). Sel folikular
menggunakan iodine dari darah untuk membuat hormone, yang membantu meregulasi
metabolisme tubuh. Sel parafolikular membuat calcitonin, suatu hormone yang membantu
meregulasikan bagaimana tubuh menggunakan kalsium ( De Jong, 2004).

C. Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4), bentuk aktifnya
triyodotironin (T3). Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid
(TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Ada 4 macam kontrol terhadap
faal kelenjar tiroid :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi


TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid terangsang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsI

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasiakan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R)
danterjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan
TSH.

14
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid.

Gambar 2. Hypotalamic-Pituitary-Thyroid Axis

Secara fisiologis kelenjar tiroid ini berfungsi menghasilkan hormon tiroid yaitu
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), dimana kelenjar tiroid ini awalnya mendapatkan sinyal
dari Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dari hipofisis, dimana hipofisis mendapatkan sinyal
dari hipotalamus melalui Thyroid Releasing Hormon (TRH) (Lee, 2013).

Gambar 3. Fisiologis kelenjar tiroid

15
Selanjutnya TSH ini disalurkan ke kelenjar tiroid melalui pembuluh darah, dan kelenjar
tiroid ini akan merespon sinyal dari TSH yang diterima dengan mengambil yodium yang
berasal dari makanan yang telah diserap oleh tubuh dan beredar di dalam darah. T3 dan T4
yang disekresi dari kelenjar tiroid ini akan beredar didalam darah yang terikat dengan protein
Tiroksin Binding Globulin (TBG), dimana T3 ini lebih aktif daripada T4 di tingkat sel,
sedangkan T4 akan diaktifkan menjadi T3 melalui proses pengeluaran di hati dan ginjal. T3
dan T4 yang beredar di dalam darah tersebut akan memberikan efek terhadap tubuh antara lain
: Meningkatkan Cardiac Output (CO) jantung, meningkatkan inotropik dan kronotropik
jantung sehingga meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik serta meningkatkan
kontraksi otot jantung, membantu pertumbuhan normal dan perkembangan tulang,
mempercepat regenerasi tulang, membantu perkembangan sel saraf, meningkatkan metabolism
dan konsumsi oksigen (O2) jaringan kecuali otak orang dewasa, testis, limpa, uterus, kelenjar
limfe, hipofisis anterior, meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan gerak peristaltik usus ;
lambung, meningkatkan penerimaan sel terhadap hormon katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin), meningkatkan eritropoeisis serta produksi eritropoetin, meningkatkan Turn-over
pada neuromuscular sehingga terjadi hiperrefleksi dan miopati serta metabolisme hormon dan
farmakologik (Lee, 2013).

Tiroid memodulasi banyak efek pada jaringan, seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh fisiologis hormon tiroid (Lee, 2013)

16
D. Klasifikasi

Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi :


1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
1. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
2. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala
ditegakkan.

 Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka
bisa dibagi menjadi:
1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita ini
tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi

 Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:


1. Berdasarkan jumlah nodul;
a. bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa)
b. bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk nodul tiroid
yaitu :
a. nodul dingin
b. nodul hangat
c. nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya
a. nodul lunak
b. nodul kistik
c. nodul keras
d. nodul sangat keras.
17
E. Patofisiologi

Aktivitas utama kelenjar tiroid adalah untuk mengkonversi yodium darah untuk membuat
hormone tiroid. Kelenjar tersebut tidak dapat membuat hormone tiroid dalam jumlah cukup
jika tidak memiliki cukup yodium. Akibatnya tingkat hormon tiroid terlalu rendah, sehingga
tiroid akan mengirim sinyal ke hipotalamus dan hipofisis. Sinyal ini akan direspon hipofisis
dengan meningkatkan produksi Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Hormon ini merangsang
tiroid untuk menghasilkan hormone tiroid sedangkan bahan baku yang tidak tersedia
menyebabkan kelenjar tiroid tumbuh dalam ukuran yang besar. Pertumbuhan abnormal ini
disebabkan peningkatan cellularity dan hiperplasi kelejar tiroid dalam upaya untuk
menormalkan kembali kadar hormone tiroid. Jika proses ini berkelanjutan maka akan
mengakibatkan gondok (American Thyroid Association, 2014).

Pada penyakit graves tubuh secara patologis membentuk anti TSH reseptor yang akan
berikatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid, dan merangsang kerja kelenjar tiroid secara
berlebihan dalam memproduksi hormone tiroid. Sehingga akan terjadi keadaan tirotoksikosis
dan pembesaran dari kelenjar tiroid (Lee, 2013).

Pemasukan iodium yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh, hiposekresi TSH,
glukosil goitrogenik (bahan yang dapat menekan sekresi hormone tiroid), gangguan pada
kelenjar tiroid sendiri serta faktor pengikat dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya
sekresi hormone tiroid. Bila kadar-kadar hormone tiroid kurang maka akan terjadi mekanisme
umpan balik terhadap kelenjar tiroid sehingga aktifitas kelenjar meningkat dan terjadi
pembesaran.

Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ lain disekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Goiter dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehngga terjadi kesulian bernapas dan disfagia yang akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan elektrolit. Penekanan
pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau (American Thyroid
Association, 2014).

18
F. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di leher
yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien
mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi
dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih
jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher ( De Jong, 2004).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak (Lee, 2013).

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan,
sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar
getah bening leher.

Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

 Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus


 Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
 Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
 Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
 Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
 Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoideus
 Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik (Lee, 2013).:

19
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan
kemudian menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun


nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia adenomatosa yang
sudah berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,


walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis
dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan
sekitar.

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas, tetapi
nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido mastoidea
karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)

Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum:

1. Sangat mencurigakan
 riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
 cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
 nodul padat atau keras
 sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
 paralisis pita suara
 metastasis jauh
2. Kecurigaan sedang
 umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
 pria
 riwayat radiasi pada leher dan kepala
 nodul >4cm atau sebagian kistik

20
 keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
3. Nodul jinak
 riwayat keluarga: nodul jinak
 struma difusa atau multinodosa
 besarnya tetap
 FNAB: jinak
 kista simpleks
 nodul hangat atau panas
 mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.

Terdapat Index Wayne dan New Castle untuk mengetahui pasien mengalami eutiroid,
hipotiroid atau hipertiroid. Selain itu, terdapat klasifikasi NO SPECS untuk pemantauan
diagnosis hipertiroid.

21
Tabel 2. Index Wayne dan New Castle

22
Tabel 3. Klasifikasi NO SPECS

Pemeriksaan Penunjang

Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid terbagi atas
(Mulinda, 2015) :

1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid


Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay
(RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada
orang dewasa 60-150 nmol/L atau 5-12 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme,
kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L.
Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun.
a. antibodi tiroglobulin
b. antibodi mikrosomal

23
c. antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
d. antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
e. thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga,
foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral] diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik
tersebut sampai memelukan CT-scan leher.
USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 Dapat menentukan jumlah nodul
 Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
 Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
 Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran tiroid.
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
4. Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan memanfaatkan metabolisme
iodium yang erat hubungannya dengan kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar
tiroid maupun bentuk lesinya. Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena
adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang menangkap iodida dan anion lain.
5. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisapcairan secukupnya,
sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).Dilakukan khusus pada keadaan yang
mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak
menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang
benar,pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasioleh
ahli sitologi.

24
6. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)serum. Kadar Tg
serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml, dan pada
keganasan rata-rata 424 ng/ml.

G. Tatalaksana

1. Medika Mentosa

Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid


Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH
serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid
(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol
(Mulinda, 2015).

2. Non Medika Mentosa

1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan
dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau
mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid.
Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis
parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi
hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan
makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4
sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid (Mulinda, 2015).

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan


tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian
diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi
hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma
dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Indikasi operasi pada struma adalah:

25
 struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
 struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
 struma dengan gangguan tekanan
 kosmetik.
Kontra indikasi operasi pada struma:

 struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya


 struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum
terkontrol
 struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
 struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase
luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila
dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak
radikal.
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid
sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian
yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik.
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di
rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian
obat tiroksin (Lee, 2013).

2. Hipertiroid Heart Disease

A. Definisi

Thyroid Heart Disease atau Penyakit Jantung Tiroid adalah suatu kelainan pada jantung
akibat pengaruh kelenjar tiroid. Pasien dengan kelainan jantung endokrin terjadi pada usia
muda, pertengahan, dan usia tua, dimana gejala nampak pada usia muda. Dan biasanya

26
penderita kebanyakan wanita, dengan rasio 6:1, dimana riwayat keluarga terjadi pada 45%
kasus dengan faktor kehamilan, infeksi, dan shock emosional (Ganong, 2005).

B. Epidemiologi

Penyakit tiroid lebih sering menyerang wanita dibanding pria karena pengaruh
hormonal pada wanita baik itu hipertiroid maupun hipotiroid. Namun keparahan yang diderita
pria lebih parah dibanding wanita. Penyakit tiroid sering terjadi pada saat masa kehamilan.
Hormon seks pada perempuan lebih rentan terhadap disfungsi kelenjar tiroid. Terdapat
predisposisi familial (genetik) kuat pada sekitar 15% pasien graves yang mempunyai keluarga
dekat dengan kelainan sama dan kira-kira 50% keluarga pasien dengan penyakit graves
mempunyai autoantibodi tiroid yang beredar di darah. Penyakit ini dapat terjadi pada segala
umur, dengan insiden puncak pada kelompok umur 20-40 tahun (Sherwood, 2001).

C. ETIOLOGI

Penyebab yang paling sering adalah Grave’s disesase, struma multinoduler, struma
nodosa soiter, tumor trofoblastik akibat produksi Human Chorionik Gonadotropin (HCG) yang
berlebihan, juga metastase karsinoma tiroid folikular. Secara garis besar etiologi hipertiroid
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Sherwood, 2001).:

a. TSH normal atau rendah Kadar TSH normal atau rendah teradapat pada penyakit Grave,
nodul tiroid toksik (single/ multiple), tiroiditis subakut, penyakit Hashimoto, silent
thyroiditis, excess thyroid hormon ingestion.
b. TSH meningkat. Kadar TSH yang meningkat dapat dijumpai pada choriocarcinoma, kanker
testis, struma ovarii, dan tumor pituitari yang memproduksi TSH.

D. PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIS

Diagnosa Penyakit Hipertiroid


Manifestasi klinis
Penyakit hipertiroid dapat memberikan manifestasi klinis bermacam-macam yang tergantung
dari etiologi hipertiroid, yang mempengaruhi dari fungsi kerja jantung, tekanan darah,
metabolisme tubuh, ekskresi melalui ginjal, sistem gastrointestinal serta otot dan lemak, sistem
hematopoetik (Noer, 2006) :

27
 Jantung dan vaskular
Manifestasi klinis yang terjadi akibat penyakit hipertiroid ini lebih banyak mempengaruhi
fungsi kerja jantung, dimana jantung dipacu untuk bekerja lebih cepat sehingga mengakibatkan
otot jantung berkontraksi lebih cepat karena efek ionotropik yang langsung dari hormon tiroid
yang keluar secara berlebihan sehingga meningkatkan rasio ekspesi rantai panjang α : β, dengan
otot jantung berkontraksi lebih cepat juga mengakibatkan cardiac output yang dihasilkan
menurun dan meningkatkan tekanan darah, iktus kordis terlihat jelas, kardiomegali, bising
sitolik serta denyut nadi. Pada hipertiroid dapat mennyebabkan kelainan jantung seperti prolaps
katup mitral yang sering terjadi pada penyakit Graves or Hashimoto, dibandingkan populasi
normal. Aritmia jantung hampir tanpa terkecuali supraventricular, khusunya pada penderita
muda. Antara 2 % dan 20% penderita dengan hipertiroid dengan atrial fibrilasi, dan 15 %
penderita dengan atrial fibrilasi tidak terjelaskan. Atrial fibrilasi menurunkan effisiensi respon
jantung untuk meningkatkan kebutuhan sirkulasi dan dapat menyebabkan gagal jantung.
 Ginjal.
Hipertiroid tidak menimbulkan symptom yang dapat dijadikan acuan terhadap traktus urinaria
kecuali polyuria sedang. Meskipun aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, dan reabsorbsi
tubulus serta sekretori maxima meningkat. Total pertukaran potassium menurun karena
penurunan massa tubuh.
 Metabolisme tubuh
Penyakit hipertiroid ini meningkatkan metabolisme jaringan, yang menyebabkan peningkatan
venous return akibat meningkatnya metabolisme jaringan yang kemudian mempengaruhi
vasodilatasi perifer dan arteriovenous shunt. Dengan terjadinya peningkatan vasodilatasi
perifer dan arteriovenous shunt maka darah yang terkumpul semakin bertambah sehingga
venous return ke jantung akan meningkat, disamping itu vasodilatasi perifer yang terjadi juga
meningkatkan penguapan sehingga pengeluaran keringat bertambah.
 Sistem gastrointestinal
Hipertiroid juga meningkatkan absorbsi karbohidrat tetapi hal ini tidak sebanding dengan
penyimpanan karbohidrat karena metabolisme pada hipertiroid meningkat sehingga simpanan
karbohidrat berkurang dan lebih banyak dipakai dan juga meningkatkan motilitas usus, yang
kemudian mengakibatkan pasien hipertiroid mengalami hiperfagi dan hiperdefekasi.
 Otot dan lemak
Pada pasien hipertiroid secara fisik mengalami penurunan berat badan dan tampak kurus karena
hal ini disebabkan peningkatan metabolisme jaringan dimana simpanan glukosa beserta

28
glukosa yang baru diabsorbsi digunakan untuk menghasilkan energi yang akibatnya terjadi
pengurangan massa otot. Hal ini juga terjadi pada jaringan adiposa/lemak yang juga mengalami
lipolisis dimana simpanan lemak juga akan dimetabolisme untuk menghasilkan energi. Dan
bila simpanan glukosa dan lemak ini berkurang maka tubuh akan memetabolisme protein yang
tersimpan di dalam otot sehingga massa otot akan semakin berkurang. Sehingga pada otot akan
terjadi kelemahan dan kelelahan yang tidak dapat dihubungkan dengan bukti penyakit secara
objektif.
 Hemopoetik
Pada hipertiroid menyebabkan peningkatan eritropoiesis dan eritropoetin karena kebutuhan
akan oksigen meningkat. Hal ini disebabkan karena peningkatan metabolisme tubuh pada
hipertiroid.
 Sistem Respirasi
Dyspnea biasanya terjadi pada hipertiroid berat dan faktor pemberat juga ikut dalam kondisi
ini. Kapasitas vital biasanya tereduksi kareana kelemahan otot respirasi. Selama aktivitas,
ventilasi meningkat untuk memenuhi pemenuhan oksigen yang meningkat, tapi kapasitas difus
paru normal.

Pengaruh Hormon Tiroid terhadap Sistem Kardiovaskular

A) Pengaruh Langsung Hormon Tiroid terhadap Sistem Kardiovaskular

Pengaruh langsung Pengaruh tak langsung

Regulasi gen-gen spesifik jantung Aktivitas adrenergic meningkat

Regulasi ekspresi reseptor hormon tiroid Meningkatkan kerja jantung

Kontraktilitas otot jantung meningkat Hipertrofi jantung

Penurunan resistensi pembuluh darah perifer Curah jantung meningkat

Tabel 4. Efek hormon tiroid terhadap sistem kardiovaskular.

Sumber: Thyroid Hormon and Cardiovascular Disease, URL address:


http://www.medscape.com/mosby/amheartj/1999/vl35 nO2/ahil352.02.gomb.html

29
PENGARUH LANGSUNG HORMON TIROID TERHADAP SISTEM
KARDIOVASKULAR

Pengaruh langsung hormon tiroid pada umumnya akibat pengaruh T3 yang berikatan
dengan reseptor pada inti sel yang mengatur ekspresi dari gen-gen yang responsive terhadap
hormon tiroid, dengan kata lain bahwa perubahan fungsi jantung dimediasi oleh regulasi T3 gen
spesifik jantung. Terdapat dua jenis gen reseptor T3, yaitu alfa dan beta, dengan paling sedikit
dua mRNA untuk tiap gen, yaitu alfa-1 dan alfa-2, serta beta-1 dan beta-2. T3 juga bekerja pada
ekstranuklear melalui peningkatan sintesis protein. Berikut ini penjelasan mengenai pengaruh
langsung hormon tiroid terhadap system kardiovaskular (Noer, 2006) :.

1. T3 mengatur ge-gen spesifik jantung


Pemberian T3 pada hewan meningkatkan kontraktilitas otot jantung melalui stimulasi
sintesis fast myosin heavy chain dan menghambat penampakan slow beta isoform. Pada
ventrikel jantung manusia, sebagain besar terdiri dari myosin heavy chain, sehingga T3
tidak mempengaruhi perubahan pada myosin. Peningkatan kontraktilitas pada manusia
sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan ekspresi retikulum sarkoplasma
Ca2+ATPase, meskipun sebagian besar juga oleh beta isoform.

2. T3 mengatur ekspresi reseptor yang peka hormon tiroid (pada hewan percobaan)
T3 menyebabkan peningkatan retikulum sarkoplasma Ca2+ATPase dan penurunan kerja
Ca2+ATPase regulatory protein. T3 juga mengatur Na-K ATPasejantung, enzim malat,
faktor natriuretik atrial, Ca channels, dan reseptor beta-adrenergik.

3. Hormon tiroid meningkatkan kontraktilitas otot jantung


Hormon tiroid akan menstimulasi kerja jantung dengan mempengaruhi fungsi ventrikel,
melalui peningkatan sintesis protein kontraktil jantung atau peningkatan fingsi dari
reticulum sarkoplasma Ca-ATPase sehingga pada pasien hipertiroid akan didapati
jantung yang hipertrofi.8

4. Hormon tiroid menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer


T3 mungkin mempengaruhi aliran natrium dan kalium pada sel otot polos sehingga
menyebabkan penurunan kontraktilitas otot polos dan tonus pembuluh darah arteriole.6

30
PENGARUH TIDAK LANGSUNG HORMON TIROID TERHADAP SISTEM
KARDIOVASKULAR

Keadaan hipermetabolisme dan peningkatan produksi panas tubuh akibat pengaruh


hormon tiroid secara tidak langsung akan mempengaruhi system kardiovaskuler dengan adanya
suatu kompensasi, antara lain (Noer, 2006) ::

1. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas sistem simpatoadrenal


Pasien hipertiroid memiliki gejala klinik yang mirip dengan keadaan hiperadrenergik,
sebaliknya hipotiroid menggambarkan keadaan berupa penurunan tonus simpatis. Pada
hipertiroid terjadi peningkatan kadar atau afinitas beta-reseptor, inotropik respon isoprotrenol
dan norepinefrin. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa hormon tiroid berinteraksi dengan
katekolamin dimana pada pasien-pasien hipertiroid terdapat peningkatan sensitivitas terhadap
kerja katekolamin dan pada pasien yang hipotiroid terjadi penurunan sensitivitas terhadap
katekolamin. Hal ini terbukti dari kadar katekolamin pada pasien-pasien hipertiroid justru
menurun atau normal sedangkan pada pasien hipotiroid cenderung meningkat. Hormon tiroid
dapat meningkatkan jumlah reseptor beta adrenergik dan sensitivitasnya. Hormon tiroid juga
meningkatkan jumlah subunit stimulasi pada guanosin triphospate-binding protein sehingga
terjadi peningkatan respon adrenergic. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien
hipotiroid, reseptor beta-adrenergik berkurang jumlah dan aktifitasnya, terlihat dari respon
yang melambat dari plasma cAMP terhadap epinefrin. Respon cAMP terhadap glukagon dan
hormon paratiroid juga menurun, dengan demikian tampak penurunan aktivitas adrenergic pada
pasien hipotiroid. Pada rat atria yang berasal dari hipotiroid binatang terjadi peningkatan
reseptor alfa dan penurunran reseptor beta. Tetapi sebenarnya pada manusia, peningkatan
respon simpatis akibat hormon tiroid masih sulit dibuktikan (Noer, 2006).

2. Kerja jantung meningkat


Peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung meningkatkan curah jantung.

3. Hipertrofi otot jantung akibat kerja jantung yang meningkat.


Pada model eksperimen pada hewan-hewan dengan hipertiroid dalam satu minggu pemberian
T4 terlihat pembesaran jantung pada ukuran ventrikel kiri lebih kurang 135% disbanding
control. Hal ini mungkin karena hormon tiroid meningkatkan protein sintesis. Untuk
membuktikan hal ini, Klein memberikan propanolol dengan T4 pada hewan percobaan, dimana
propanolol berperan mencegah peningkatan denyut jantung dan respon hipertrofi. Dari hasil
penelitian Klein dan Hong terlihat bahwa hewan percobaan tanpa peningkatan hemodinamik,

31
tidak didapat hipertrofi jantung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hormon tiroid
tidak secara langsung menyebabkan penyatuan asam amino dan tidak ada efek yang dapt diukur
pada sintesis protein kontraktil otot jantung. Jadi, yang menyebabkan hipertrofi adalah
peningkatan kerja jantung itu sendiri (Ingbar, 2008).

4. Penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan peningkatan volume darah.


Hormon tiroid menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Beberapa peneliti
mengatakan bahwa hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsumsi oksigen
sehingga menyebabkan rendahnya resistensi vascular sistemik sehingga menurunkan tekanan
diastolic darah yang mengakibatkan peningkatan curah jantung.

Manifestasi Kardiovaskuler yang Khas pada Penyakit Jantung Hipertiroid

Pada penyakit jntung hipertiroid dapat ditemukan fibrilasi atrium, hipertrofi jantung,
hipertensi sistolik, angina pektoris, superimposed hyperthyroid cardiomyopathy, dan gagal
jantung. Sedangkan paroksismal supraventrikular, takikardi, dan flutter jarang terjadi. Berikut
penjelasan dari menifestasi klinis pada penyakit jantung hipertiroid (Ingbar, 2008).

1. Fibrilasi atrium sering dihubungkan dengan respon ventrikel yang cepat. Denyut ventrikel
biasanya lebih cepat dibanding fibrilasi atrium pada penderita eutiroid. Bila fibrilasi atrium
menetap sampai empat bulan setelah eutiroid dicapai, perlu dipertimbangkan kardioversi.
Biasanya indikasi untuk pemberian antikoagulan untuk menurunkan insiden emboli
sistemik. Takikardi yang hampir selalu ada dan menetap selama tidur akibat efek
kronotropik hormon tiroid, terutama sinus takikardi atau takiaritmia supraventrikuler. Pada
tirotoksikosis kadang dijumpai berbagai derajat gangguan hantaran bahkan blok AV derajat
II sampai blok AV komplet, interval PR memanjang, dan pada persentase kecil dapat WPW.
Hal ini akibat pengaruh T4 yang menyebabkan peradangan nodus AV. Regurgitasi katup
mitral maupun tricuspid (flow murmur) yang dapat hilang setelah pengobatan dengan obat
antitiroid.
2. Hipertrofi jantung
Peningkatan sintesis protein kontraktil jantung sebagai akibat tidak langsung dari hormon
tiroid serta akibat peningkatan kerja jantung menyebabkan terjadi hipertrofi jantung.

32
3. Hipertensi sistolik
Hipertensi sistolik mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan pembuluh darah
mengakomodasi peningkatan cardiac output dan stroke volume. Sebagaian besar penderita
hipertiroid akan mengalami hipertensi.

4. Angina pektoris
Beberapa mekanisme yang mungkin berperan terhadap terjadinya angina pektoris, antara
lain adanya penyakit obstruksi arteri koroner yang menetap, peningkatan kebutuhan
oksigen, dan iskemik. Emboli pada sirkulasi koroner dapat terjadi bila ada fibrilasi atrium,
trombosis, dan spasme arteri koroner. Angina pektoris pada penderita hipertiroid biasanya
muncul pada saat istirahat, berkembang dengan cepat dan membaik bila hipertiroid teratasi
dengan terapi hipertiroid (Ingbar, 2008).

5. Superimposed hyperthyroid cardiomyopathy


Pada hipertiroid akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri saat isttirahat (LVEF),
tetapi akan menurun secara bermakna pada latihan. Abnormalitas fungsi ventrikel kiri (LV)
selama latihan menunjukkan suatu kardiomiopati dilatasi reversibel dan merupakan akibat
langsungdari kelebihan hormon tiroid serta tidak tergantung dari aktivitas alfa
adrenoreseptor. Hal ini terbukti dengan pemberian propanolol yang akan menurunkan
LVEF istirahat baik pada hiper maupun eutiroid, tetapi tidak berpengaruh pada LVEF
hipertiroid pada saat latihan.

6. Gagal jantung dapat terjadi pada hipertiroid yang tidak terkontrol sebagai penanganan
fibrilasi atrium yang tidak terkontrol. Tetapi dapat juga berhubungan dengan superimposed
dilatation cardiomyopathy terutama saat latihan. Penderita mungkin juga memiliki gejala
gagal jantung high output sehubungan dengan peningkatan volume darah dan total natrium
tubuh dengan disfungsi ventrikel kiri.

33
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hormon tiroid:

Hipotalamus Hipofisis Anterior Tiroid

Fungsi sintesis dan sintesis dan sintesis dan


pelepasan TRH pelepasan TSH pelepasan hormon
(menstimulasi tiroid
prolaktin, FSH, LH)
Perangsang penurunan T3 serum, TRH, penurunan T3 TSH
paparan terhadap dan T4 serum,
dingin (bayi baru hormon estrogen
lahir), katekolamin (meningkatkan
adrenergik alfa, tempat pengikatan
vasopressin arginin TRH)
Penghambat peningkatan T3 peningkatan T3 dan antibodi penghambat
serum, penghambat T4 serum, TSH, terapi litium
adrenergik alfa, somatostatin,
tumor hipotalamus dopamin,
glukokortikoid,
tumor hipofisis

Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi hormone tiroid

E. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit jantung tiroid ditegakkan berdasarkan (Ingbar, 2008).:

1. Gambaran klinis hipertiroid, baik manifestasi kardiovaskuler dan perifer


2. Pemeriksaan laboratorium didapati peninggian kadar serum T4.
3. Pemeriksaan penunjang berupa:
a. Radiologi torak umumnya normal, kadang dijumpai pembesaran aorta asenden atau
desenden, penonjolan segmen pulmonal, dan pada kasus yang berat dijmpai
pembesaran jantung.
b. Pada elektrokardiografi didapati takikardi dengan berbagai gangguan irama, adanya
tanda-tanda pembesaran ventrikel kiri, dan kadang-kadang terdapat gelombang T

34
prominen, peninggian voltase, perubahan gelombang ST-T, dan pemendekan
interval QT.
c. Bila perlu lakukan uji diagnostic untuk hipertiroidisme yaitu pengujian secara
langsung besarnya konsentrasi tiroksin bebas dalam plasma dengan menggunakan
prosedur pengukuran radioimunologik yang sesuai. Uji lain berupa uji kecepatan
metabolisme basal yang meningkat +30 atau pada hipertiroid berat dapat sampai +60,
serta uji perangsangan TRH. Indikasi rawat pada pasien ini bila didapati tanda-tanda
gagalo jantung (Price, 2005).

F. PENATALAKSANAAN

PENYAKIT JANTUNG HIPERTIROID

Prinsip penatalaksanaan hipertiroidisme didasarkan pertama kali pada penyebabnya,


dengan tujuan secepatnya menurunkan keadaan hipermetabolisme dan kadar hormon tiroid
dalam sirkulasi. juga berdasarkan umur, jenis kelamin, status sistem kardiovaskuler,
tingkatan hipertiroid, dan riwayat perjalanan penyakit. Toxic tiroid nodul merupakan
indikasi terapi dan operasi. Sedangkan subakut tiroiditis dan limfositik tiroiditis merupakan
self-limiting disease yang akan sembuh dengan sendirinya. Excess thyroid hormone
ingestion diterapi dengan pengurangan dosis sampai batas terapi jika diindikasikan
pemberian hormon tiroid. Hashimoto’s disease dan Grave’s disease juga dianggap sebagai
self limiting disease, namun pada Grave’s disease lamanya bervariasi dari 6 sampai 20
tahun lebih (Ingbar, 2008).

Tujuan penatalaksanaan hipertiroidisme yaitu pertama secara fungsional untuk


meningkatkan fungsional akibat gangguan kardiovaskuler yang ada, dan secara
anatomi/etiologi untuk mengatasi penyebab keadaan hipertiroidnya.

1. Meningkatkan kemampuan fungsional


Penderita penyakit jantung hipertiroid bisa didapati gangguan fungsional sesuai dengan
klasifikasi New York Heart Association (NYHA) I sampai IV. Gangguan fungsional yang
timbul atau gagal jantung disebabkan ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan
hipermetabolik tubuh, ditambah dengan kerja hormon tiroid yang langsung memacu terus-
menerus sehingga bisa menimbulkan aritmia. Sering tmbul keluhan seperti palpitasi, badan
lemah, sesak nafas, yang mengarah pada tanda-tanda gagal jantung kiri.

35
Pengobatan yang dilakukan meliputi medikamentosa dan non medikamentosa.

a. Secara non medikamentosa berupa: istirahat tirah baring (bed rest), diet jantung
dengan tujuan untuk mengurangi beban jantung dengan diet yang lunak, rendah
garam dan kalori, serta mengurangai segala bentuk stress baik fisik maupun psikis
yang dapat memperberati kerja jantungnya.
b. Secara medikamentosa berupa:
1. Golongan beta blocker, ditujukan untuk mengurangi kerja jantung serta melawan
kerja hormon tiroid yang bersifat inotropik dan kronotropik negatif. Golongan
beta blocker akan mengistirahatkan jantung dan memberi waktu pengisian
diastolik yang lebih lama sehingga akan mengatsi gagal jantungnya. Propanolol
juga penting untuk mengatasi efek perifer dari hormon tiroid yang bersifat
stimulator beta-adrenergik reseptor. Beta blocker juga bersifat menekan terhadap
sistem saraf sehingga dapat mengurangi palpitasi, rasa cemas, dan hiperkinesis.
Beta blocker tidak mempengaruhi peningkatan konsumsi oksigen. Dosis 40-160
mg/ hari bila belum ada dekompensasio kordis (Nelson, 2001).
2. Diuretik, dapat diberikan untuk mengurangi beban volume jantung dan
mengatasi bendungan paru.
3. Pemberian digitalis masih controversial, karena sifatnya yang kronotropik
negatif tapi inotropik positif. Diharapkan kerja kronotropik negatifnya untuk
mengatasi takikardi yang ada, tapi kerja inotropik positifnya dapat menambah
kerja jantung mengingat pada penyakit jantung hipertiroid, hormon tiroid justru
bersifat kronotropik positif juga. Dosis lebih dari normal perlu control Hr selama
atrial aritmia (Ingbar, 2008).
4. Antikoagulan, direkomendasikan untuk AF, khususnya jika 3 hari atau lebih,
dilanjutkan untuk 4 minggu setelah kembali ke sinus rhythm dan kondisi eutiroid.

2. Mengatasi keadaan hipertiroidisme.


Terapi utama pada hipertiroidisme ini yaitu secara langsung untuk menurunkan jmlah
hormone tiroid yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dengan obat-obat antitiroid, selain itu
dapat didukung dengan terapi radioaktif iodine dan operasi subtotal tiroidektomi (Ingbar,
2008)..

36
a. Obat Antitiroid Obat antitiroid yang sering digunakan adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimazol, serta golongan beta-blocker yaitu propanolol. Namun kadang-kadang
iodine stabil dapat digunakan, terutama untuk persiapan pembedahan. Baik PTU
maupun metimazol memiliki efek yang hampir sama, hanya PTU memiliki kerja
menghambat perubahan T4 menjadi T3 di perifer, sehingga PTU lebih cepat
menunjukkan kemajuan terapi secara simtomatis, kebanyakan pasien dapat dikontrol
hipertiroidnya dengan PTU 100-150 mg tiap 6-8 jam. Namun dari kepustakaan lain,
dosis yang sesuai untuk pasien dengan penyakit jantung hipertiroid yaitu PTU 250 mg
dan propanolol 20 mg tiga kali sehari. Atau dosis propanolol 40-160 mg/hari dan dosis
propiltiourasil 400-600 mg/ hari serta dosis metimazol 60-80 mg/hari. Dosis tiga kali
sehari dari PTU dikurangi menjadi 200 mg setelah sekitar 2 minggu (tapering off),
kemudian secara bertahap dikurangi menjadi 100 mg setelah sekitar 8 minggu.
Selanjutnya dosis pemeliharaan dapat diberikan 50 mg tiga kali sehari atau kurang lebih
selama 1-1,5 tahun (Nelson, 2001).
Dalam pemberian PTU, dosisnya harus dimonitor dengan kadar T4 dan T3
plasma sejak pasien menunjukkan respon berbeda. Waktu yang dibutuhkan T4 dan T3
plasma untuk kembali normal bervariasi sekitar 6-10 minggu. Pemberian propanolol
dapat dihentikan jika terapi dengan PTU telah menunjukkan hasil yang baik. Efek
kronotropik dan inotropik negatifnya cepat memberikan hasil dibandingkan PTU. Cara
kerja propiltiourasil yaitu dengan mengurangi sintesa T4 dan T3 secara reversibel
sehingga dapat terjadi kekambuhan, kecuali terjadi remisi spontan, misalnya pada
Grave disease untuk sementara waktu yang harus dipantau dengan kadar T4 dan T3
plasma.
Pada hipertiroid berat atau krisis tiroid, baik PTU maupun metimazol tidak
begitu banyak berguna karena kerjanya yang lambat, namun penggunaannya masih
disarankan untuk menekan konversi T4 menjadi T3 di perifer. Propanolol diberikan
dalam dosis besar, misalnya 40 mg tiap 4 jam. Iodine juga dapat diberikan sebagai
larutan pekat dari potassium iodide, 5 tetes tiap 4 jam. Diperkirakan iodide bekerja
dengan mengurangi pelepasan dari bentuk awal hormon tiroid dari kelenjar, namun
untuk menghindari efek samping iodide yaitu efek iod basedow (walaupun sangat
jarang tapi sangat berbahaya), maka pada pemberiannya harus diberikan pula PTU atau
metimazol. Efek samping PTU biasanya tidak ada atau sedikit, berupa skin rash.
Sedangkan efek hipotiroid dapt dikontrol dengan memonitor kadar T4 dan T3 plasma
(Nelson, 2001).

37
G. Diagnosis Banding

1. Gagal Jantung
Ciri utama dari gagal jantung adalah sesak nafas yang memberat. Gagal jantung terjadi
karena kelainan stuktural maupun fungsi jantung dimana jantung gagal untuk memompa
darah secara adekuat sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan. Gagal jantung bisa
merupakan diagnosa banding dari penyakit jantung tiroid karena kemiripin gejala utama
yaitu sesak nafas. Namun sesak nafas pada gagal jantung lebih berat lagi. Gagal jantung
juga merupakan komplikasi klinik akibat dari penyakit jantung tiroid ini (Ingbar, 2008).
2. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Ciri utama dari PPOK adalah sesak nafas. Namun sesak nafas nya bisa bermacam-macam.
Misalnya penyakit asma, sesak nafas pada orang penderita asma pasti ada pemicunya. Sesak
nafas pada asma merupakan reaksi sensitivitas.
3. Kanker tiroid
Pembesaran yang terjadi pada leher merupakan dasar diagnosa banding apakah memang
hanya pembesaran tiroid atau pembesaran yang menuju keganasan yaitu kanker tiroid.

H. Komplikasi

Penyakit tiroid ini ini bisa menimbulkan krisis tirotoksikosis atau tiroid strom, yaitu
eksaserbasi akut semua gejala tirotoksikosis, sering terjadi sebagai suatu sindroma yang
demikian berat sehingga dapat menyebabkan kematian. Kadang-kadang krisis tiroid dapat
ringan dan nampak hanya sebagai reaksi febris yang tidak bisa dijelaskan setelah operasi tiroid
pada pasien yang persiapannya tidak adekuat. Lebih sering, terjadi dalam bentuk yang lebih
berat, setelah operasi, terapi iodin radioaktif atau partus pada pasien dengan tirotoksikosis yang
tidak terkontrol adekuat atau selama penyakit atau kelainan stres yang berat, seperti diabetes
yang tidak terkontrol, trauma, infeksi akut, reaksi obat yang berat, atau infark miokard.
Manifestasi klinis krisis tiroid adalah
1. Hipermetabolisme yang menonjol dan respons adrenergik berlebihan. Febris dari 38-41°C dan
dihubungkan dengan muka kemerahan dan keringat banyak.
2. Terdapat takikardia berat sering dengan fibrilasi atrium, tekanan nadi tinggi, dan kadang-
kadang gagal jantung.
3. Gejala susunan saraf pusat termasuk gelisah, delirium, dan koma.
4. Gejala gastrointestinal termasuk nausea, muntah, diare.

38
5. Akibat fatal ada hubungannya dengan gagal jantung dan syok.
Pernah diduga bahwa krisis tiroid adalah akibat bahwa pelepasan mendadak cadangan tiroksin
dan triiodotironin dari kelenjar tirotoksis. Pemeriksaan lebih teliti telah mengungkapkan bahwa
kadar T4 dan T3 serum pada pasien dengan krisis tiroid tidaklah lebih tinggi daripada pasien
tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Tidak ada bukti bahwa krisis tiroid disebabkan oleh produksi
triiodotironin berlebihan. Ada bukti bahwa pada tirotoksikosis terdapat peningkatan jumlah
tempat pengikatan untuk katekolamin, sehingga jantung dan jaringan saraf mempunyai
kepekaan yang meningkat terhadap katekolamin dalam sirkulasi. Teori saat ini bahwa dalam
keadaan seperti ini, dengan tempat pengikatan yang bertambah yang tersedia untuk
katekolamin, infeksi atau stres bedah memacu pengeluaran katekolamin, yang bersama-sama
kadar T4 dan T3 bebas yang tinggi, menimbulkan problem akut ini. Gambaran diagnostik klinis
yang paling menonjol dari krisis tirotoksikosis adalah hiperpireksia yang jauh lebih berat dari
tanda-tanda lain (Ganong, 2005).

I. Prognosis

Secara umum, perjalanan penyakit hipertiroid ini ditandai oleh remisi dan eksaserbasi untuk
jangka waktu yang lama kecuali kalau kelenjar dirusak dengan pembedahan atau iodin
radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu lama setelah
terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan hipotiroidisme. Sehingga, follow-up seumur hidup
merupakan indikasi untuk semua pasien dengan penyakit hipertiroid.

J. Pencegahan

1. Atur asupan yodium secara seimbang

2. Olahraga teratur

3. Gastroenteritis Akut
A. Definisi

Gastroenteritis adalah inflamasi membrane mukosa lambung dan usus halus.


Gastroenteritis akut ditandai dengan diare, dan pada beberapa kasus, muntah-muntah yang

39
berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangan elektrolit. (Lynn Betz,2009)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari
biasanya (normal 100-200 cc/jam tinja). Dengan tinja berbentuk cair /setengan padat, dapat
disertai frekuensi yang meningkat. Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer
lebih dari 3 x sehari. Diare terbagi 2 berdasarkan mula dan lamanya , yaitu diare akut dan kronis
(Mansjoer,A.1999,501).

B. Etiologi

 Faktor infeksi : Bakteri ( Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera), Virus (Enterovirus),


parasit (cacing), Kandida (Candida Albicans).
 Faktor parentral : Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak).
 Faktor malabsorbsi : Karbohidrat, lemak, protein.
 Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak
kutang matang.
 Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas

C. Patofisiologi

Ada 2 prinsip meaknisme terjadinya diare cair, yaitu sekeretorik dan osmotik. Meskipun
dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi
saluran cerna. begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu anak.

 Diare osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan
ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus
bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat
perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang
bersifat permeable, air akan mengalir kea rah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul air
dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan
terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini
akan dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan
yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa, sucrose, lactose, maltose di segmen ileum dan

40
melebihi kemampuan absorbs kolon, sehinga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat
dan jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlabihan akan memberikan
dampak yang sama (Lynn Betz,2009).

 Diare Sekretorik
Diare sekterik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi
akibat gangguan absorbs natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap
berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh
sebagai tinja cair.
Osmolaritas tinja diare sekretorik isoosmolar terhadap plasma. beda osmotik dapat
dihitung dengan mengukur kadar elektrolit tinja. Karena Natrium ( Na+) dan kalium (K+)
merupakan kation utama dalam tinja, osmolalitas diperkirakan dengan mengalikan jumlah
kadar Na + dan K+ dalam tinja dengan angka 2. Jika diasumsikan osmolalitas tinja konstan 290
mOsm/L pada tinja diare, maka perbedaan osmotic 290-2 (Na++K+). Pada diare osmotik, tinja
mempunyai kadar Na+ rendah (<50 mEq/L)dan beda osmotiknya bertambah besar (>160
mOsm/L). Pada diare sekretorik tinja diare mempunyai kadar Na tinggi (>90 mEq/L), dan
perbedaan osmotiknua kuran dari 20 mOsm/L.

Tabel 6. Perbedaan diare osmotic dan sekretorik

D. Manifestasi klinik

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya bila
terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologic. Gejala gastrointestinal bias
berupa diare, kram perut, dan munth. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung
pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah
ion natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada
muntah dan kehilangan air juga akan meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolic, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling
41
berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskular dan kematian bila
tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisistas plasma dapat berupa
dehidrasi isotonic, dehidrasi hipertonik ( hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut
derajat dehidrasinya bias tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat.
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi.
Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih
hebat dan tenesmus terjadi pada perut bagian bawah serta rectum menunjukan terkenanya usus
besar. Mual dan muntah adalah symptom yang nonspesifik akan tetapi muntah mungkin
disebabkan oleh karena mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas
seprti:enteric virus, bakteri yang memproduksi enteroroksin, giardia, dan cryptosporidium.
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atu
hanya subfebris, nyeri perutperiumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukan bahwa saluran
makan bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan
perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit (Soenarto et all,
2009).

E. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut : lama diare, frekuensi,
volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah volume
dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6-8jam terakhir.
Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakahh panas atau penyakit lain yang
menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama
anak diare: member oralit, memabwa berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit dan obat-
obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya (Soenarto et all, 2009).

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda tambahan
lainya:ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air
mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernpasan yang cepat dan dalam
indikasi adanya asiodosis metabolic. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat
hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat

42
menentukan derjat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat
ditentukan dengan cara: objektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan
sesudah diare.

Tabel 7. Penentuan derajat dehidrasi

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperkukan,
hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui
atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh:
pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut:
 darah : darah lengkap, serum elketrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika
 urine: urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika
 tinja
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan. Pemeriksaan makroskopik mencakup
warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja, adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja
tidak terlalu banyak berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan
adnya warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada

43
keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau obat yang
dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair,
lembek, padat. Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja kaibat fermentasi bakteri.
Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan adanya lemak dalam tinja. Lendir
dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon , khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang
sangatberbau menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon. Pemeriksaan
pH tinja menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam dalam
tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena
fermentasi laktosa yang tidak diserap di usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak
mengandung bakteri komensial. Bila pH tinja<6 dapat dainggap sebagai malabsorbsi laktosa
(Subagyo, 2010).

F. Penatalaksanaan

 Penggantian Cairan dan elektrolit

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat
dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral,
dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang
terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat,
1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara
komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air.
Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan
gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium..
Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama
kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal
atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia
darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke
cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara (Subagyo, 2010).:
BD plasma, dengan memakai rumus :

44
Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB

 Anti biotik

Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi,
karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel
2), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman

Tabel 8. Antibiotik empiris untuk diare infeksi bakteri

 Obat anti diare

Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari,
loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara

45
yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%.
Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan
(Sudaryat, 2007).
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-
toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-
zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya
(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan
dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari
dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet (Sudaryat, 2007).

 Probiotik

Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau


Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna.
Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan
dalam jumlah yang adekuat.

G. Komplikasi

 Gangguan elektrolit
o Hipernatremia
o Hiponatremia
o Hiperkalemia
o Hipokalemia
 Demam
 Edema/overhidrasi
 Asidosis metabolik
 Ileus paralitik

46
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Hasil anamnesis pada kasus pasien datang ke IGD dengan keluhan diare 3 hari SMRS
(sebelum masuk rumah sakit) dengan frekuensi >10x. Diare konsistensi cair, darah (-), lendir
(-). Pasien mengeluh demam 3 hari SMRS. Demam terus menerus naik turun. Pasien juga
mengeluh batuk sejak 2 hari SMRS, batuk tidak disertai dahak. Pasien juga mengeluh pusing,
mual (+), muntah (-) dan punggung terasa nyeri. Pasien merasa cemas dan berdebar-debar (+).
Pasien merasa sesak napas. BAK lancar. Makan dan minum sedikit sejak keluhan diare dan
mual sejak 3 hari SMRS. Terdapat benjolan di leher pasien sejak 20 tahun yang lalu, namun
dari benjolan tersebut tidak ada keluhan yang dirasakan. Pasien pun tidak pernah periksa
benjolan tersebut ke dokter. Benjolan awalnya muncul sebesar kelereng 1x1x1cm lalu
berangsur-angsur membesar sebesar telur ayam. Nyeri pada benjolan (-), perubahan warna pada
benjolan (-), keluar darah atau nanah (-), benjolan tidak teras panas. Perubahan suara menjadi
serak (-), susah menelan (-). Benjolan di tempat lain tidak ada. Tangan gemetar (+), tangan
berkeringat (+), penurunan berat badan (-), peningkatan nafsu makan (-). Pasien mengonsumsi
garam biasa. Kebiasaan mengonsumsi sayuran seperti kubis, lobak cina, singkong (-). Pasien
tidak pernah mendapat terapi radiasi atau paparan dengan radiasi.

Pada pemeriksaan fisik regio colli anterior, tampak benjolan pada leher depan bagian tengah
sebesar telur ayam, tidak simetris (lebih besar lobus kanan daripada lobus kiri), warna kulit
sama dengan sekitar, tidak tampak ada darah atau pus keluar dari benjolan. Teraba sebuah
massa soliter, tidak teraba panas. Konsistensi kenyal, permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan
(-), mobile, massa ikut bergerak saat menelan (+), pembesaran KGB di servikal (-), jugular (-),
submandibular (-) atau klavikular (-), bruit (-).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien , yaitu pemeriksaan laboratorium, rontgen


thorax AP, pemeriksaan EKG. Untuk pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar T3 normal,
T4 tinggi dan TSH rendah, sehingga membantu untuk menegakkan diagnosis hipertiroid. Dari
hasil pemeriksaan rontgen thorax, didapatkan kesan cardiomegaly, dan untuk hasil pemeriksaan
EKG didapakan aksis deviasi ke kanan yang dapat disebabkan oleh adanya hipertrofi ventrikel
kanan, dan didapatkan adanya VES (Ventrikular Ekstrasistol) di lead V2, V3. Gambaran VES
ini dapat disebabkan oleh adanya kadar elektrolit dalam darah yang tidak seimbang, efek

47
samping obat, konsumsi kafein dan merokok, diabetes, hipertensi dan gangguan kelenjar tiroid
(hipertiroid/hipotiroid).

Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pasien dapat
didiagnosis struma nodular toksik dengan hipertiroid heart disease disertai dengan GEA.

Pada penatalaksanaan, pasien diberikan Ventolin dan pulmicort nebulizer untuk mengatasi
sesak napas. Ventolin yang termasuk obat golongan agonis adrenoreseptor beta-2 selektif kerja
pendek (short acting beta-adrenergic receptor agonist). Obat ini bekerja dengan cara
merangsang secara selektif reseptor beta-2 adrenergik terutama pada otot bronkus (saluran
pernafasan). Hal ini menyebabkan terjadinya bronkodilatasi (pelebaran) karena otot bronkus
(saluran pernafasan) mengalami relaksasi (pengenduran syaraf). Karena efeknya yang selektif
terhadap bronkus (saluran pernafasan), dan efeknya yang minimal pada sistem kardiovaskular
(penyakit jantung akibat tekanan darah tinggi). Begitu juga Pulmicort nebulizer untuk
vasodilatasi pernapasan. Kemudian diberikan ranitidine dan ondansetron untuk mengatasi mual
muntah. Kemudian diberikan new antides yang merupakan golongan Attapulgite, yaitu obat
yang digunakan untuk mengatasi diare. Obat ini bekerja dengan memperlambat aktivitas usus
besar sehingga usus akan menyerap lebih banyak air dan tinja akan menjadi lebih padat. Juga
diberikan Ceftriaxone, yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi bakteri.
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri dalam
tubuh. Dan diberikan paracetamol untuk mengurangi nyeri kepala dan demam. Kemudian
untuk batuk diberikan ambroxol, yaitu salah satu obat yang masuk ke dalam golongan
mukolitik, yaitu obat yang berfungsi untuk mengencerkan dahak. Juga diberikan Codeine
adalah obat golongan analgesik opioid yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri ringan
hingga berat. Obat ini bekerja secara langsung pada sistem saraf pusat untuk mengurangi rasa
sakit yang dialami. Dalam kasus ini, codeine juga dapat digunakan untuk meringankan gejala
batuk dan mengobati kondisi diare akut.

Kemudian diberikan obat golongan B Blocker, yaitu Propranolol. Obat ini memiliki efek
pada pembuluh darah dan jantung. Propranolol dapat menurunkan aktivitas otot jantung
sehingga detak dan tekanan jantung akan menjadi lebih rendah. Selain itu, obat ini juga dapat
meredakan gejala menggigil dan detak jantung cepat pada penderita gangguan tiroid dan
gangguan kecemasan. Setelah itu diberikan dexamethasone, obat ini adalah hormon
kortikosteroid (glukokortikoid). Obat ini mengurangi respon defensif alami tubuh dan
mengurangi gejala seperti pembengkakan dan reaksi alergi. Kemudian diberikan KSR, yaitu

48
Kalium klorida adalah obat suplemen mineral dengan fungsi untuk mengobati atau mencegah
jumlah kalium yang rendah dalam darah. Tingkat normal kalium dalam darah sangat penting.
Kalium atau juga dikenal sebagai potassium membantu sel, ginjal, jantung, otot, dan saraf
berfungsi dengan baik.

Diberikan Furosemide, yaitu obat golongan diuretik yang digunakan untuk membuang
cairan atau garam berlebih di dalam tubuh melalui urine dan meredakan pembengkakan yang
disebabkan oleh gagal jantung, penyakit hati, penyakit ginjal atau kondisi terkait. Juga
diberikan digoxin adalah salah satu obat yang digunakan dalam penanganan masalah ritme
jantung dan gagal jantung kongestif. Digoxin mengendalikan detak jantung dan meningkatkan
kekuatan serta efisiensi jantung sehingga sirkulasi darah menjadi lebih baik.

Kemudian untuk obat anti tiroid nya diberikan golongan Thimazol yaitu thyrozol digunakan
sebagai Obat untuk membantu mencegah produksi berlebihan kelenjar tiroid. Kelebihan
produksi kelenjar tiroid dapat menyebabkan hipertiroid. gejala hipertiroid adalah pembentukan
benjolan pada bagian leher, mudah lelah, penurunan berat badan drastis dan perubahan
metabolisme tubuh. Kemudian diberikan Acetylcysteine, yaitu obat yang berfungsi untuk
mengencerkan dahak yang menghalangi saluran pernapasan. Karena itu, obat ini tidak cocok
diberikan untuk pengidap batuk kering.

B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien didiagnosis degan struma dengan hipertiroid heart disease yang
disertai dengan gastroenteritis akut. Pemberian terapi utama berupa anti tiroid, antibiotic, beta
blocker, diuretic, antipiretik, analgesic dan anti mual muntah.

49
DAFTAR PUSTAKA

American Thyroid Association. 2014. Goiter. www.thyroid.org

De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta.

Ganong. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2005.

Guyton dan Hall. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2007.

Ingbar SH, Woeber KA. Disease of the thyroid in : Harrison's Principles of Internal
Medicine.9th edition. Tokyo: McGraw Hill Hogakusha Ltd; 2008. p. 1694

Lee, Stephanie L., 2013., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,


http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

Lewindski. A, 2002. The problem of goiter with particular consideration f goiter resulting
from iodine deficiency (I): Classification, diagnostic and treatment. Neuroendocrinology
Letters; 23:351-355.

Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;
1999. hal 594-600.

Mulinda, James R., 2015., Goiter., eMedicine.,


http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

Nelson Piercey. Thyroid disease in : Handbook of Obstetric Medicine. 2nd edition. London:
Martin Dunitz; 2001.

Noer HMS. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI; 2006. h. 725.

Price AS, Wilson ML. Patofisiologi proses-proses penyakit. Edisi 4. Alih Bahasa; Anugerah
P. Jakarta: EGC; 2005. h. 1049-80.

Sherwood. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 21. Jakarta: EGC; 2001.

Soenarto et al. Burden of Severe Rotavirus Diarrhea In Indonesia. The Journal of Infectious
disease 200: S188-94, 2009.

Subagyo B dan Santoso NB. Diare akut dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid
1, Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. 2010:87-110

Suraatmaja, S. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto.
2007:1-24

50

Anda mungkin juga menyukai