Anda di halaman 1dari 14

RESUME JURNAL

PENGGUNAAN DAN RESISTENSI ANTIBIOTIK CARBAPENEM

Tugas Remidi Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Disusun Oleh:
Muhammad Ardiansyah saputra
20151030073

MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
PENGGUNAAN ANTIBAKTERI GOLONGAN CARBAPENEM PADA PASIEN
DEWASA RAWAT INAP SEBUAH RUMAH SAKIT SWASTA
DI SURABAYA

Steven V. Halim, Rika Yulia, Eko Setiawan


Departemen Farmasi Klinis dan Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya
Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 6 No. 4, Tahun 2017

1. Latar Belakang
Penggunaan suatu antibakteri yang tidak bertanggung jawab secara luas,
berulang, dan dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan munculnya
resistensi terhadap antibakteri. Penggunaan antibakteri yang tidak bertanggung
jawab dapat dibedakan menjadi overuse dan misuse. Beberapa tindakan yang dapat
digolongkan sebagai penggunaan antibakteri yang tidak bertanggung jawab, antara
lain: (1) penggunaan carbapenem untuk kasus infeksi yang seharusnya tersedia
terapi antibakteri lain dengan spektrum sempit yang masih efektif; (2) penggunaan
carbapenem untuk mengobati bakteri yang telah resisten terhadap carbapenem; dan
(3) penggunaan carbapenem pada pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi.
Peningkatan resistensi terhadap antibiotik golongan carbapenem merupakan
salah satu fenomena yang harus diwaspadai saat ini. European Centre for Disease
Prevention and Control (ECDC) mengungkapkan, resistensi dari Acinetobacter
baumannii terhadap carbapenem merupakan masalah yang menjadi perhatian
khusus di Eropa karena terjadi peningkatan resistensi hingga mencapai di atas 25%
pada 18 negara di Eropa. Selain itu, ECDC mencatat infeksi pada darah
(bloodstream infection) yang disebabkan oleh K. pneumonia resistant carbapenems
meningkat hingga di atas 5% pada lima negara dari tahun 2009 hingga 2012.
Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection Program juga
menyebutkan bahwa resistensi meropenem pada isolat Klebsiella pneumoniae
meningkat secara signifikan dari 0,60% tahun 2004 menjadi 5,60% tahun 2008.
Masalah resistensi, terlepas dari antibiotik yang digunakan, menyebabkan
peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya pengobatan. Mengingat adanya
fenomena peningkatan risiko resistensi yang diakibatkan penggunaan antibakteri
carbapenem yang tidak bertanggung jawab dan besarnya konsekuensi, baik klinis
maupun finansial, maka perlu dilakukan suatu kajian penggunaan golongan
carbapenem di Indonesia

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pola dan kesesuaian penggunaan
antibakteri golongan carbapenem pada periode tertentu di sebuah rumah sakit
swasta di Surabaya sebagai upaya awal proses evaluasi pelayanan dan perbaikan
pemberian layanan kesehatan di kemudian hari.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengamati data rekam
medis pasien rawat inap yang menggunakan antibiotik carbapenem di bangsal
interna dewasa, intensive care unit (ICU), dan bangsal bedah. Populasi pada
penelitian ini yaitu keseluruhan data rekam medik pasien usia dewasa yang
mendapatkan terapi antibakteri golongan carbapenem saat menjalani perawatan
selama periode Januari – September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan
melihat data rekam medis pasien yang mendapatkan perawatan di bangsal interna
(35 beds), ICU (5 beds) dan bedah (17 beds).

4. Analisis Data
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik pasien dan
antibakteri, jumlah penggunaan antibakteri, dan kesesuaian dari penggunaan
antibakteri Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan
menentukan nilai rata-rata (mean, xx) disertai standar deviasi (SD) dan/atau
dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Karakteristik pasien yang dicatat adalah
jenis kelamin, diagnosis dokter, usia pasien, lama perawatan, hasil dari terapi, dan
bakteri penyebab penyakit. Klasifikasi golongan dan jenis antibakteri didasarkan
pada klasifikasi antibakteri menurut Anatomical Therapeutics Chemical (ATC)
WHO. Jumlah penggunaan antibakteri dinyatakan dalam bentuk defined daily dose
(DDD). Kesesuaian penggunaan antibakteri golongan carbapenem dinyatakan
sebagai kesesuaian jenis, dosis, dan durasi penggunaan.

5. Hasil Penelitian
Terdapat pasien dengan diagnosis non-infeksi yang mendapat terapi
antibakteri golongan carbapenem, yaitu sebanyak 143 pasien dengan diagnosis
masuk non-infeksi dan 68 pasien dengan diagnosis keluar non-infeksi. Tingginya
temuan tersebut disebabkan oleh adanya diagnosis masuk yang mengarah pada
infeksi berupa observasi febris yang digolongkan sebagai diagnosis non-infeksi.
Penggunaan antibakteri dengan spektrum luas, seperti carbapenem, dilakukan
untuk memberikan jaminan efektivitas pengobatan pada saat belum jelasnya
penyebab pasti demam. Pemberian antibakteri golongan carbapenem, dalam hal ini
adalah meropenem, sebagian besar dilakukan melalui IV push (IV bolus) baik di
ruang interna (94,35%), ICU (93,85%), maupun bedah (81,82%). Pemberian secara
bolus untuk antibakteri dengan aktivitas bakterisidal dipengaruhi oleh waktu (time
dependent antibiotics). Pemberian secara extended infusion merupakan metode
yang diharapkan dapat mengoptimalkan ketercapaian target farmakokinetik dan
farmakodinamik dari golongan carbapenem. Pemilihan pelarut merupakan salah
satu hal yang perlu diperhatikan pada pemberian golongan carbapenem secara
extended infusion karena akan memengaruhi stabilitas sediaan carbapenem.
Defined daily dose (DDD) meropenem lebih tinggi bila dibandingkan
imipenem dan doripenem, yaitu: 1433,75 DDD dibandingkan dengan 27,5 DDD
dan 1 DDD, secara berturut-turut. Ertapenem adalah satu-satunya antibakteri
golongan carbapenem yang tidak pernah digunakan pada pasien usia dewasa di
ICU, ruang bedah, dan ruang interna. Jarangnya peresepan ertapenem berkaitan
dengan aktivitas ertapenem yang lebih sempit bila dibandingkan dengan jenis
carbapenem lainnya karena ertapenem tidak memiliki aktivitas terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter baumannii sebagai bakteri gram
negatif yang paling sering menjadi penyebab infeksi nosokomial. Di sisi lain,
keterbatasan tersebut memunculkan sebuah wacana penggunaan ertapenem sebagai
pilihan terapi antibiotik empirik dibandingkan jenis carbapenem yang lain sebagai
salah satu strategi untuk mengendalikan resistensi dari Pseudomonas aeruginosa
dan Acinetobacter baumannii terhadap antibakteri golongan carbapenem.
Penggunaan antibakteri golongan carbapenem menunjukkan nilai sebesar
19,39 DDD/100 bed-days. Artinya, dalam sehari terdapat hampir 20% dari total
pasien rawat inap per hari mendapatkan terapi carbapenem. Jumlah tersebut masih
dapat diklasifikasikan dalam kategori rendah, namun demikian bukan berarti dapat
diabaikan. Nilai tersebut sudah menjadi isyarat perlu dilakukannya upaya
pencegahan penggunaan lebih besar sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
kasus infeksi bakteri yang resisten terhadap salah satu golongan antibiotik lini
terakhir tersebut. Harga yang mahal dapat menjadi salah satu pertimbangan dari
penggunaan carbapenem.
Penggunaan antibakteri golongan carbapenem yang tidak tepat banyak
ditemukan pada pasien dengan diagnosis tifoid (21 pasien; 18,10%). Analisis
kesesuaian carbapenem berdasarkan hasil kultur menunjukkan 25 pasien (59,52%)
menggunakan carbapenem secara tepat. Analisis berdasarkan hasil kultur tidak
dapat dilakukan pada semua pasien karena tidak semua pasien memiliki hasil
kultur. Biaya kultur yang cukup mahal dan waktu untuk mendapatkan hasil kultur
yang cukup lama (lebih kurang selama 4 hari) menjadi pertimbangan tidak semua
pasien dengan diagnosis infeksi dilakukan pemeriksaan kultur.
Dosis dan durasi penggunaan antibakteri golongan carbepenem belum
sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi pedoman terapi IDSA terutama pada 4
diagnosis terbanyak pada penelitian ini, yaitu sepsis, pneumonia, infeksi saluran
kemih, dan tifoid. Dosis rata-rata per hari yang digunakan pada keempat diagnosis
tersebut cenderung berada di bawah dosis rekomendasi dan digunakan lebih singkat
dari durasi yang direkomendasikan. Ketidaksesuaian dosis dapat disebabkan
beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah perbedaan profil farmakokinetik
antara pasien Asia dan pasien non-Asia. Ketidaksesuaian durasi penggunaan
antibakteri golongan carbapenem dapat disebabkan oleh kondisi pasien dan hasil
kultur. Kondisi pasien yang menyebabkan berhentinya penggunaan antibakteri dari
golongan carbapenem antara lain pulang paksa, pindah rumah sakit, atau
meninggal. Adanya antibakteri alternatif yang memiliki aktivitas serta memiliki
sensitivitas baik terhadap patogen penyebab infeksi.

6. Kesimpulan
Total penggunaan antibakteri golongan carbapenem yaitu sebesar 1462,25
DDD dengan proporsi penggunaan yang tidak tinggi, yaitu sebesar 19,39 DDD/100
bed-days. Antibakteri tersebut sering diberikan melalui IV push. Analisis
kesesuaian berdasarkan pedoman terapi IDSA dan hasil kultur menunjukkan secara
berturut-turut, 72,95% dan 59,52% antibakteri digunakan secara tepat. Pada
diagnosis masuk dan keluar, terdapat sebanyak 56,08% dan 26,67% pasien, secara
berturut-turut dengan diagnosis non-infeksi yang mendapatkan antibiotik.

7. Kelebihan
Hasil penelitian di jelaskan dengan sangat jelas dan sesuai

8. Kekurangan
Pada saat dilakukannya penelitian, Rumah sakit belum memiliki pedoman
terapi mengenai kebijakan penggunaan antibiotik.
DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE
DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
PERIODE JANUARI – JUNI 2015

Silvia Sutandhio, Lindawati Alimsardjono, Maria Inge Lusida


Program Pendidikan Dokter Spesialis, Mikrobiologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Jurnal Widya Medika, Vol. 3 No. 1, Tahun 2015

1. Latar Belakang
Bakteri penyebab ISK sering berasal dari saluran cerna pasien itu sendiri.
Bakteri yang diisolasi dari urin pasien rawat inap dan rawat jalan, umumnya
tergolong dalam famili Enterobacteriaceae. Spesies Enterobacteriaceae dapat
melakukan mutasi, dan menjadi organisme penghasil Extended-Spectrum Beta
Lactamase (ESBL), suatu enzim yang dapat menghidrolisis sebagian besar
antimikroba golongan beta laktam. Gen penghasil ESBL dapat diturunkan dari satu
bakteri ke keturunannya atau dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain, proses
terjadinya resistensi semacam ini disebut resistensi didapat. Spesies yang dapat
menghasilkan ESBL antara lain adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Klebsiella oxytoca, dan Proteus mirabilis. Mekanisme resistensi bakteri terhadap
antimikroba dapat juga terjadi secara intrinsik, misalnya dengan restriksi
permeabilitas dinding sel dan efluks untuk mencegah antimikroba mencapai target
kerjanya.
Meskipun jenis bakteri penyebab ISK dapat diprediksi, pola kepekaan bakteri
terhadap berbagai jenis antimikroba tidak akan sama. Meningkatnya resistensi
bakteri terhadap antimikroba menimbulkan masalah klinik yang sulit diatasi.
Idealnya, setiap pusat perawatan pasien memiliki peta bakteri dan pola kepekaan
sendiri. Peta bakteri tersebut digunakan sebagai panduan terapi empirik dan
monitor penyebaran bakteri multiresisten di rumah sakit

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi Enterobacteriaceae
di instalasi rawat inap RSUD Dr. Soetomo dan berbagai spesies yang terbanyak
diisolasi dari spesimen urin. Dari pola kepekaan Enterobacteriaceae terhadap
antimikroba.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari - Juni 2015 di semua bangsal
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Urin dari pasien ISK dikoleksi dengan metode
clean-voided midstream atau aspirasi kateter uretra. Spesimen urin dikultur pada
media isolasi primer (Blood Agar Plate dan MacConkey Agar) dan diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 35-37°C sehingga didapatkan koloni bakteri terisolasi

4. Analisis Data
Identifikasi dan uji kepekaan dilakukan dengan cara manual dan sistem semi-
otomatis, yaitu BD Phoenix dan Vitek 2, yang telah dikonfirmasi dengan Clinical
and Laboratory Standards Institute 2015. Hasil identifikasi dan uji kepekaan
didapatkan setelah inkubasi selama 16-24 jam.
5. Hasil Penelitian
Persentase Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Klebsiella oxytoca
penghasil ESBL dari spesimen urin pasien RSUD Dr. Soetomo tergolong tinggi.
Hal ini membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah kegagalan terapi. Perlu
diingat, bahwa hasil kultur ini bukan berasal dari semua penderita ISK, melainkan
pasien dengan indikasi tertentu. Enterobacter aerogenes dan Enterobacter cloacae
bukan penghasil ESBL, tetapi memiliki resistensi intrinsik yang cukup banyak.
Organisme ini dapat menimbulkan masalah dalam pemilihan terapi.
Antimikroba golongan Karbapenem (Meropenem, Imipenem, Doripenem)
adalah antimikroba spektrum luas yang sering digunakan sebagai senjata
pamungkas oleh klinisi. Indikasi antimikroba golongan Karbapenem adalah infeksi
oleh bakteri multiresisten yang masih sensitif terhadap Karbapenem. Penggunaan
obat ini hendaknya direstriksi untuk menghindari peresepan yang tidak bertanggung
jawab, karena dapat berakibat munculnya organisme resisten Karbapenem.

6. Kesimpulan
Secara umum, isolat Enterobacteriaceae yang didapatkan dari spesimen urin
pasien RSUD Dr. Soetomo resisten terhadap Ampisilin dan Sefalosporin generasi I.
Banyak isolat yang masih sensitif terhadap antimikroba golongan Karbapenem dan
Aminoglikosida. Proporsi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSUD Dr.
Soetomo harus terus dimonitor. Kecenderungan penyalahgunaan antimikroba
spektrum luas dapat memicu terjadinya resistensi lebih lanjut. Antimikroba
golongan Karbapenem, yang merupakan pilihan terakhir untuk kasus infeksi oleh
Enterobacteriaceae multiresisten, harus diresepkan dengan tanggung jawab untuk
mencegah munculnya organisme resisten Karbapenem.

7. Kekurangan
Tidak dijelaskan metode penelitian, populasi dan sampel penelitian.
SENSITIVITAS BAKTERI PENYEBAB SEPSIS NEONATORUM TERHADAP
MEROPENEM DI NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT DAN
PERINATOLOGI RSUP DR M DJAMIL PADANG
TAHUN 2012

Susan Insani Putri, Aziz Djamal, Rahmatini


Fakultas Kedokteran Universitas andalas
Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 3 No. 3, Tahun 2014

1. Latar Belakang
Angka kematian bayi 50% terjadi pada periode neonatus dan 50% terjadi
pada minggu pertama kehidupan. Salah satu penyebab kematian terbanyak pada
bayi adalah sepsis neonatorum. Insiden sepsis neonatorum di negara maju sebesar 1
sampai 4 dari 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10.3% dan di negara
berkembang sebesar 10 sampai 50 dari 1000 kelahiran hidup dengan angka
kematian 12 - 68%. Sepsis neonatorum merupakan istilah yang menggambarkan
respon sistemik terhadap infeksi berat pada bayi baru lahir dengan kultur darah
positif pada empat minggu pertama kehidupan neonates. Pola bakteri penyebab
sepsis berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Perbedaan pola bakteri ini akan mempengaruhi tata laksana sepsis dalam hal
pemilihan antibiotika, prognosis dan komplikasi yang akan terjadi. Pada penelitian
kualitas penggunaan antibiotika di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% -
80% tidak didasarkan pada indikasi. Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif
tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi
kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika.
Meropenem merupakan antibiotika ultra broad spectrum golongan
karbapenem yang diindikasikan untuk bakteri Gram positif, Gram negatif dan
anaerob. Meropenem banyak digunakan dibeberapa instalasi RSUP DR M Djamil
Padang terutama di bagian perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
untuk mengobati infeksi berat seperti sepsis. Berdasarkan survei pendahuluan, dari
50 status pasien yang didiagnosis sepsis neonatorum didapatkan 36 pasien yang
menggunakan meropenem. Meropenem seharusnya menjadi antibiotika pilihan
terakhir untuk mengobati infeksi yang sangat berat. Apabila pemakaiannya tidak
sesuai dengan indikasi maka dapat menyebabkan resistensi terhadap meropenem
dan pengobatan selanjutnya akan lebih sulit serta akan memberatkan pasien karena
harga antibiotika meropenem cukup mahal.

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui insiden sepsis neonatorum,
persentase jenis bakteri penyebab sepsis neonatorum dan persentase sensitivitas
antibiotika meropenem terhadap bakteri penyebab sepsis neonatorum.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan mengambil data
dari status rekam medik pasien sepsis neonatorum di Intalasi rekam medik dan data
pemeriksaan kultur darah di laboratorium mikrobiologi RSUP DR M. Djamil
Padang periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012. Subyek penelitian ini adalah
semua bayi sepsis dengan data rekam medis lengkap, didapatkan hasil kultur dan
uji kepekaan bakteri.

4. Analisis Data
Data diolah secara manual untuk mengetahui insiden sepsis neonatorum,
persentase jenis bakteri penyebab sepsis neonatorum dan persentase sensitivitas
antibiotika meropenem terhadap bakteri penyebab sepsis neonatorum.

5. Hasil Penelitian
Insiden sepsis neonatorum di RSUP DR M Djamil Padang periode 1 Januari
2012 – 31 Desember 2012 cukup tinggi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh
masih banyaknya sumber infeksi yang didapat oleh bayi baru lahir baik dari jalan
lahir ibu maupun didapat dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi
nosokomial).
Bakteri Gram negatif sebagai penyebab sepsis jauh lebih tinggi dibanding
Gram positif (90.6% versus 9.4%). Pola bakteri penyebab sepsis neonatorum
didominasi oleh bakteri Enterobacteriaceae yaitu Klebsiella sp (79.2%),
Pseudomonas aerogenosa (5.7%), E. Coli (3.8%) dan Proteus mirabilis (1.9%).
Sebanyak 80% dari bakteri batang Gram negatif yang disolasi di laboratorium
Mikrobiologi Klinik adalah bakteri Enterobacteriaceae dan 50% dari jumlah
tersebut adalah isolat yang berasal dari bahan klinik. Organisme dalam famili ini
mempunyai peranan penting dalam infeksi nosokomial. Sensitivitas antibiotika
meropenem terhadap bakteri penyebab sepsis neonatorum masih baik (77.4%).

6. Kesimpulan
Insiden sepsis neonatorum masih tinggi di RSUP DR M. Djamil Padang,
Klebsiella sp. merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada sepsis
neonatorum dan sensitivitas bakteri penyebab sepsis neonatorum terhadap
meropenem masih baik.

7. Kekurangan
Tidak dijelaskan teknik analasis data yang digunakan dalam penelitian.
RESISTENSI KLEBSIELLA SP. TERHADAP MEROPENEM DI RSUD PROF.
DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Afifah Afifah, Tunggul Adi Purwongroho, I Dewa Sang Aju Putu Peramiarti
Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Jurnal Scripta Biologica, Vol. 4 No. 2, Tahun 2017

1. Latar Belakang
Klebsiella sp. merupakan patogen utama di rumah sakit terkait dengan
meningkatnya insidensi bakteri penghasil extended spectrum β-lactamase (ESBL)
dan dapat menginfeksi pasien yang menjalani rawat inap dalam waktu lama.
Bakteri penghasil ESBL berperan penting pada tingginya kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit. Resistensi Klebsiella sp. telah menjadi masalah serius
di rumah sakit sebagai akibat dari penyebaran infeksi nosokomial melalui
kateterisasi urin.
Penggunaan kateter urin yang tidak steril dapat meningkatkan risiko bakteri
uria sebesar 5–10% per hari. Hal ini berbahaya karena dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi saluran kemih, pyelonephritis dan sepsis sehingga akan
meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Meningkatnya mortalitas berkaitan
dengan terapi antibiotik yang tidak tepat terhadap bakteri penghasil ESBL.
Carbapenem merupakan antibiotik yang sangat efektif untuk infeksi bakteri
Klebsiella sp. sehingga banyak digunakan secara luas. Salah satu antibiotik
berspektrum luas yang termasuk dalam golongan carbapenem adalah meropenem.
Resistensi Klebsiella sp. terhadap carbapenem disebabkan adanya carbapenemase,
metallo-β-laktamase, dan hilangnya porin.

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui resistensi Klebsiella sp.
penghasil ESBL terhadap meropenem sebagai penyebab infeksi nosokomial di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian dilakukan secara observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional. Sampel berasal dari 40 pasien bangsal bedah dan ruang perawatan
intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang menggunakan kateter
urin (Folley). Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Klebsiella sp. diisolasi dari urin
kateter pasien yang telah dirawat minimal dua hari di bangsal bedah dan ruang
perawatan intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, kemudian
ditumbuhkan pada medium McConkey agar. Isolat yang diperoleh kemudian diuji
menggunakan Initial Screen Test dan Phenotypic Confirmatory Test dengan metode
Disk Diffusion Test pada medium Mueller Hinton Agar.

4. Analisis Data
Uji sensitivitas Klebsiella sp. terhadap meropenem dilakukan dengan
menggunakan metode Disk Difusion Test pada medium Mueller Hinton Agar.
Kertas cakram berdiameter 6 mm ditetesi meropenem dengan dosis 10 μg
kemudian diletakkan pada sebaran biakan Klebsiella sp. Biakan diinkubasi pada
suhu 37°C selama 16–18 jam dan zona hambat yang terbentuk diamati. Tingkat
sensitivitas Klebsiella sp. terhadap meropenem dapat dibedakan menjadi tiga
kategori, yaitu; sensitif, intermediet, dan resisten.

5. Hasil Penelitian
Hasil identifikasi biokimiawi melalui uji IMViC menunjukkan bahwa
Klebsiella sp. yang diperoleh memiliki karakter Indol (-), Cimmons (-), Voges
Proskauer (-), Methyl Red (+) dan uji fermentasi glukosa (+).Sebanyak 3 pasien
menunjukkan hasil isolasi positif Klebsiella sp. (7,5%) dari total 40 sampel pasien.
Klebsiella sp. menempati urutan pertama bakteri yang teridentifikasi dari sampel
kateter urin pasien di ICU dan bangsal bedah dibandingkan bakteri lain. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Klebsiella sp. berperan penting pada terjadinya
infeksi nosokomial akibat pemasangan kateter di rumah sakit.
Initial screen test terhadap Klebsiella sp. dari 3 sampel (7,5%) menunjukkan
2 sampel (5%) di antaranya adalah penghasil ESBL dan semua resisten terhadap
meropenem. ESBL merupakan enzim yang bekerja dengan menghambat antibiotik
beta laktam. Berdasar pada aspek klinis dan epidemiologis, patogen penghasil
ESBL berkaitan dengan penggunaan antibiotic spektrum luas seperti carbapenem.
Hal tersebut mengakibatkan pasien menjalani rawat inap dan terapi antibiotik lebih
lama. Resistensi bakteri yang berasal dari sampel pada pasien rawat inap di rumah
sakit dapat disebabkan karena terapi antibiotik dan pemberian resep yang tidak
tepat karena tanpa berdasar pada hasil kultur dan uji sensitivitas bakteri, serta
adanya infeksi silang.
Uji sensitivitas Klebsiella sp. penghasil ESBL terhadap meropenem
menunjukkan kedua sampel (5%) berada pada kategori resisten. Meropenem
termasuk dalam antibiotik carbapenem yang merupakan obat lini pertama infeksi
bakteri penghasil ESBL. Namun demikian, sudah mulai ditemukan adanya
resistensi bakteri terhadap meropenem. Porin OmpK35 dan OmpK36 berperan
penting pada penetrasi antibiotik ke dalam sel, sehingga hilangnya porin OmpK35
dan OmpK36 dapat menyebabkan resistensi bakteri terhadap carbapenem (Doumith
et al., 2009; Goldfarb et al., 2009; Kontopoulou et al., 2010).

6. Kesimpulan
Ditemukan sampel yang teridentifikasi mengandung Klebsiella sp. yang
memproduksi ESBL dalam sampel urin. Uji sensitivitas Klebsiella sp. penghasil
ESBL terhadap meropenem menunjukkan kedua sampel (5%) tersebut masuk
dalam kategori resisten.

7. Kekurangan
Metode initial screen test yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
kekurangan, yaitu kurang sensitif untuk mendeteksi adanya ESBL.
POLA BAKTERI DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK DARI
SPESIMEN PUS DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2012

MICROBIAL PATTERNS AND ANTIBIOTIC RESISTANCE OF ISOLATES


COLLECTED FROM SPECIMEN PUS IN Dr. MOEWARDI HOSPITAL
PERIOD 2012

Busyron Choudlori, M Kuswandi, Peni Indrayudha


Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada
Jurnal Farmasi Indonesia (PHARMACON), Vol. 13 No. 2, Tahun 2012

1. Latar Belakang
Sekitar 30% kejadian infeksi di Amerika Serikat berasa dari rumah sakit
(infeksi nosokomial). Bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan infeksi
adalah Pseudomonas Aeruginosa, Acintobacter Baumanni, Enterobacteria
penghasil ESBL (Extebded Spectrum Beta Laktamase) atau Karbapenemase dan
Escherichia Coli. Di Indoensia, bakteri Gram negatif yang sering menjadi penyebab
infeksi nosokomial cenderung resisten terhadap antibiotik yang digunakan. Bakteri
patogen lain yang sering menyebabkan tingginya kejadian infeksi nosokomial
adalah S.Aureus yang bertanggung jawab atas 80% penyakit supuratif pada
permukaan kulit yang berakibat kematian dapat sembuh dan meperlama
kelangsungan hidup manusia.
Sebagian besar penggunaan antibiotik terjadi di rumah sakit, namun tidak
semua mempunyai suatu program untuk mengontrol infeksi dan pengawasan
terhadap bakteri resisten. Masa kejayaan antibiotik mulai hilang setelah dilaporkan
bahwa antibiotika tidak mampu mengatasi beberapa bakteri patogen kerena mulai
resisten terhadap antibiotika. Hal tersebut menjadi masalah yang serius menginat
besarnya resiko resistensi dilihat daru segi finansial. Dari 21 pasien di rumah sakit
islam Kustsati Surakarta 19 diantaranya terdapat bakteri S.Aureus dan 52,6%
multiresisten antibiotik. Diperlukan suatu usaha untuk mencegah resistensi bakteri
dengan pengawasan penggunaan antibiotika seiring pola resistensi bakteri yang
selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu.

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola bakteri dan resistensinya
terhadap antibiotik dari spesimen pus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2012.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian dilakukan menggunakan kapas lidi steril, incubator (Memmert),
mikroskop (Olympus CX21), alat-alat gelas (Pyrex), autoklaf (All American),
penangas air, mikropipet (Socorex) dan mesin vitex (vitex 2 compact). Pus
didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi sebanyak
10 sampel dan data skunder medical record pasien yang mempunyai hasil uji
bakteri dan kepekaan, media agar menggunakan darah.
Spesimen Pus diisolasi, diidentifikasi dan dilakukan pemurnian sehingga
bakteri yang diteliti adalah koloni tunggal dan sampel di uji menggunakan Vitex.
Proses identifikasi meliputi mikroskopis dan pewarnaan Gram. Uji mannitol dengan
Manitol Salt Agar (MSA) untuk membedakan S.Aureus dengan bakteri
Staphlococcus yang lain. Koloni diambil dengan ose steril yang disuspensikan ke
dalam NaCl dibandingkan kekeruhan stadar Mc Farland kemudian digoreskan
diatas media penyubur MH dan disk antibiotika dari delapan golongan yang
berbeda diletakkan di permukaan media. Setelah diinkubasi selama 1 malam
selanjutnya diukur diameter zona hambatnya. Dari data yang diperoleh dibuat
persentase perbandingan hasil uji kepekaan dengan total isolate dikalikan serratus
persen.

4. Analisis Data
Bakteri kaloni tunggal dibiakkan dengan media Nutrient Agar miring untuk
selanjutnya di uji kepekaannya dengan difusi cakram dan interpretasi hasil mengacu
pada CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute) dan interpretasi di RSUD
Dr. Moewardi. Hasil uji kepekaan yang diperoleh meliputi bakteri sensitive,
intermediet dan resisten terhadap antibitika.

5. Hasil Penelitian
Pola resistensi bakteri Gram positif yaitu terdapat beberapa antibiotika yang
memiliki tingkat kepekaan diatas 50% yaitu vankomisin (68,75%), siprofloksasin
(75%) dan diikuti eritromisin, imipenem dan sefatoksim (50%). Tinggi rendahnya
angka resistensi tergantung pada kuantitas penggunaan antibiotik untuk pengobatan
di rumah sakit. Bakteri S. Aureus resisten terhadap imipenem dengan zona diameter
(47mm) dan dengan zona hambar sebesar (52mm).
Pada pengujian total isolate Gram negative imipenem paling poten untuk
menghambat pertumbuhan Gram negatif dengan potensi kepekaan (77,14%) dan
sangat bertolak belakang dengan antibitik lainnya yang hanya memiliki nilai
kepekaan dibawah 50%. Bakteri Gram negatif yang paling sering muncul adalah A.
baumanni, E. coli dan K. pneumonia.
Sebgaian besar perhatian timbulnya resistensi antibiotika difokuskan pada
organisme Gram positif dan antibiotika yang baru untuknya telah tersedia.
Sebaliknya, hanya sedikit sekali perhatian pada munculnya organisme Gram negatif
yang sudah banyak resisten. Beberapa studi di Amerika juga membuktikan pola
resistensi yang besar terhadap golongan kuinolon, sedangkan resistensi golongan
karbapenem lebih rendah jika dibandingkan dengan sefalosporin dan kuinolon.
Golongan karbapenenm sebaiknya dijadikan antimikroba lini terahir Gram negatif
karena kecenderungan resistensinya bukan pada golongan karbapenem saja tetapi
determinasi resistensinya juga pada golongan aminoglikosida dan kuinlon.

6. Kesimpulan
Pola kuman yang diisolasi dari spesimen pus yaitu S. aureus dan telah
resisten terhadap beberapa antibiotika, khusunya pada Amoxicilin. Kuman Gram
negatif paling banyak yaitu A. baumanni, E. coli dan K. pneumonia.

7. Kelebihan
Jalannya penelitian dijelaskan dengan sangat rinci

8. Kekurangan
Metode penelitian dalam tidak disebutkan dan dijelaskan.
RESISTENSI DAN SENSITIVITAS BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK
DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK TAHUN 2011-2013

Nurmala, IGN Virgiandhy, Andriani, Delima F. Liana


Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
eJournal Kedokteran Indonesia, Vol. 3 No. 1, Tahun 2015

1. Latar Belakang
Salah satu respons tubuh terhadap infeksi adalah terbentuknya pus. Pus
merupakan cairan kaya protein hasil proses inflamasi yang terbentuk dari sel
(leukosit), cairan jaringan dan debris selular. Pus yang berlangsung lama
menandakan adanya bakteri yang terus menerus berkembang di daerah cedera
sehingga perlu dilakukan kultur dan uji resistensi untuk mengetahui jenis bakteri
lalu diberikan terapi yang sesuai. Obat untuk mengatasi infeksi bakteri adalah
antibiotik. Dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan pada praktik perawatan
kesehatan.
Penderita yang dirawat di rumah sakit dalam jangka panjang semakin banyak
sehingga pajanan terhadap antibiotik semakin bertambah dan meningkatkan
resistensi terhadap antibiotik. Sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak
tepat untuk penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian
di berbagai rumah sakit ditemukan sebanyak 30%- 80% penggunaan antibiotik
tidak berdasarkan indikasi. Untuk mengurangi resistensi, pemilihan antibiotik harus
berdasarkan informasi spectrum bakteri penyebab infeksi dan pola kepekaan
terhadap antibiotik. Pemeriksaan kultur dan uji resistensi di RSU Dr. Soedarso
hanya dilakukan di Unit Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipelajari pola bakteri dan resistensi serta
sensitivitasnya terhadap antibiotik di RSU Dr. Soedarso.

2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pola bakteri dan resistensi
serta sensitivitasnya terhadap antibiotik di RSU Dr. Soedarso.

3. Metode dan Prosedur Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Penelitian
dilakukan di Bagian Mikrobiologi Unit Labolatorium Kesehatan (ULK) Provinsi
Kalimantan Barat. Data yang diperoleh merupakan data sekunder yang didapatkan
dari catatan rekam teknis ULK. Sampel adalah hasil pemeriksaan kultur bakteri dan
uji resistensi serta sensitivitasnya pada spesimen pus pasien RSU Dr. Sudarso
Pontianak yang diperiksa di Unit Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan
Barat tahun 2011-2013.

4. Analisis Data
Data diolah secara deskriptif dan di presentasikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan grafik.
5. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan 21 jenis bakteri dari seluruh sampel yang
diperiksa. Bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Citrobacter freundii (18%)
dan P. aeruginosa (17,1%). C. freundii paling banyak ditemukan. Bakteri tersebut
sensitif terhadap piperasilin/tozobaktam (94,7%), meropenem (81,3%) dan
amikasin (78,9%). P. aeruginosa sensitif terhadap piperasilin/tozobaktam (81,8%),
imipenem (62,5%) dan meropenem (66,7%). S. epidermidis sensitif terhadap
imepenem (92,3%), piperasilin/tozobaktam (90,9%) dan meropenem (88,9%).
sensitivitas tertinggi bakteri terhadap antibiotik adalah piperasilin/tozobaktam
(89,7%), meropenem (82,9%), imepenem (78,1%), amikasin (76,3%),
fosfomisin/trometamol (59,5%) dan levofloksasin (56,1%).
Pola Sensitivitas bakteri terhadap antibiotik masih sensitif terhadap amikasin,
imipenem, meropenem, piperasilin/tozobaktam, fosfomisin dan levofloksasin.
Imipenem dan meropenem termasuk golongan karbapenem dan merupakan
golongan betalaktam yang struktur kimianya berbeda dengan penisilin dan
sefalosforin. Obat tersebut memiliki spektrum antimikroba yang lebih luas.
Imipenem merupakan antibiotik berspektrum sangat luas, meliputi bakteri
grampositif, gram-negatif, baik yang aerobik maupun anaerobik dan bersifat
bakterisida. Obat tersebut resisten terhadap berbagai jenis beta-laktamase baik yang
di perantarai plasmid maupun kromosom. Imipenem in vitro sangat aktif terhadap
kokus gram-positif, termasuk stafilokokus, streptokokus, pneumokokus dan E.
faecalis serta bakteri penghasil beta-laktamase lainnya. Obat tersebut tidak aktif
terhadap stafilokokus yang resisten metisilin atau galur yang uji koagulasenya
negatif. Imipenem aktif terhadap sebagian besar Enterobactericeae, potensinya
sebanding dengan aztreonam dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu
spektrumnya meluas mencakup bakteri yang resisten terhadap penisilin,
aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Imipenem digunakan untuk
pengobatan infeksi berat oleh kuman yang sensitif, termasuk infeksi nosokomial
yang resisten terhadap antibiotik lain.
Meropenem adalah derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dan tienamisin. Obat
tersebut tidak dirusak enzim dipeptidase di tubuli ginjal sehingga tidak perlu
dikombinasi dengan silastatin. Spektum aktivitas in vitro dan efek kliniknya
sebanding dengan imipenem. Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja
dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel bakteri. Transport obat ke
dalam dinding sel melalui sistem transpor gliserofosfat atau glukosa 6-fosfatase.
Fosmosin aktif terhadap bakteri grampositif dan gram-negatif. Secara in vitro,
kombinasi fosfomisin dengan antibiotik beta-laktam, aminoglikosida atau
florokuinolon memberikan efek sinergi.

6. Kesimpulan
Terdapat 21 jenis bakteri pada spesimen pus. Bakteri gram-negatif lebih
banyak ditemukan dari pada bakteri gram-positif. Sensitivitas tertinggi keseluruhan
bakteri adalah terhadap piperasilin/tozobaktam, meropenem, imepenem, amikasin,
fosfomisin/trometamol, dan levofloksasin. Resistensi tertinggi keseluruhan bakteri
adalah terhadap metronidazol, sefaleksin, sefuroksim, oksasilin dan sefadroksil.

7. Kekurangan
Jalannya dan alat-alat yang digunakan dalam penelitian tidak dijelaskan.

Anda mungkin juga menyukai