Anda di halaman 1dari 8

Tugas Rekayasa Ide

“Mangalean Ulos Oleh Hula-Hula”


D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama : Indah Sari Pratiwi Marbun
Kelas : Reg D 2018
Nim : 3182122003

PENDIDIKAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019/2020
Kata pengantar
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerahnya
saya masih diberikan kesehatan sampai sekarang ini sehingga saya bisa membuat Rekaya ide
dengan baik dan teliti.
Dan kepada ibu Puspita saya sangat berterima kasih karena ibu mau membimbing saya
dalam penugasan rekayasa ide ini. Dengan arahan yang ibu berikan saya lebih mudah lagi
membuat Rekayasa ide ini dengan sangat baik.
Tidak lupa juga saya berterima kasih kepada kedua orang tua saya karena berkat motivasi
dan dukungan dari merekalah saya mampu menjabarkan kalimat-kalimat ini dengan sangat teliti
supaya pembaca lebih dapat memahaminya dan lebih senang lagi dengan susunannya.
Dan juga kepada teman sekalian saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerja
samanya, saya mampu membuat rekayasa ide ini tanpa keraguan dan hati yang bimbang.
Banyak kalimat-kalimat yang mungkin tidak sesuai dengan rekayasa saya ini, namun
saya sangat berharap kepada pembaca maupun kepada dosen yang memberikan penugasan ini
supaya mau ikut serta membantu penyempurnaan dalam pembuatan rekayasa ide ini, supaya
rekayasa ini lebih sempurna lagi dan lebih bermanfaat lagi. Sekian dan terima kasih.
Mangalean Ulos Oleh Hula-Hula
( Cerita Rakyat Daerah Bandar Khalifah kab. Serdang Bedagai)

Mangalean ulos adalah sebuah tradisi yang dilakukan orang batak toba yitu dengan
pemberian ulos dari hula-hulanya. Mangalean ulos ini dilakukan supaya kelak jika si opung
sudah tidak ada lagi dia tidak menyimpan sakit hati kepada pihak hula-hula atau ada kata yang
tidak enak sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Yang menerima ulos ini adalah adik
perempuan dari laki-laki yang sudah berkeluarga dan memiliki istri serta keturunan atau cucu,
dan yang memberikan ulos adalah pihak laki-laki yang disebut hula-hula nantinya. Ulos diterima
oleh adiknya itu dalam umur yang sudah mencapai lansia atau bisa dikatakan sudah tua, dan
pemberian ulos ini biasanya dilakukan karena keluarga sudah tahu bahwa orang tua (penerima
ulos) kita ini sedang mengalami sakit yang dikira adalah akhir hidupnya.
Ulos yang digunakan dalam acara adat nanti bukanlah ulos sembarangan atau ulos yang
biasa dibawa atau dikasih saat pernikahan atau pun melayat ketempat orang yang lagi berduka,
namun ulos ini memiliki makna tersendiri dan juga dengan harga yang mahal namun juga
permintaan warna dari yang akan menerima ulos tersebut. Seperti pada daerah Bandar khalifah
siopung meminta warna hitam dan putih.
Ulos ini memiliki warna hitam dan putih yang mana kita tahu bahwa hitam adalah
kekuatan dan putih adalah kesucian. Karena dalam batak toba biasanya ada tiga warna ulos yang
sering digunakan yaitu : merah, putih, dan hitam. Merah adalah pemberani, putih kekuatan, dan
hitam adalah kekuatan.
Pemberian ulos merupakan suatu symbol bagi batak toba dalam kehidupan
masyarakatnya, karena hal ini sangat di hargai dan sangat dipatuhi oleh leluhur kita hingga saat
ini. Pemberian ulos yang dilakukan oleh hula-hula sangatlah berdampak pada kondisi opung
tersebut, karena saat akan melakukan trdisi tersebut sang opung akan di beri spirmatondi berupa
beras kearah kepala nya agar tidak adanya kesalahan yang masih dipendam sang opung terhadap
hula-hula tersebut, dan ini berdampak juga kepada sang opung dimana sang opung diharapkan
berumur panjang dan sehat selalu.
Seperti halnya yang kita tahu bahwa ulos dalam acara adat istiadat batak itu sangat lah
berarti bagi kaum batak, sebab ulos ini dipergunakan dalam sebuah tradisi dalam acara duka cita
maupun suka cita yang dimana ulos merupakan lambing dari upacara adat batak toba.
HASIL PERADABAN
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban
masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa Ahli, ulos (baca: tekstil)
sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan
dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat
Batak belum mengenal ulos (tekstil).
Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-
moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki.

MAKNA AWAL
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan
medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/anak perempuan,
kakek/ nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil
menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa)
dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini
bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan
adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu yang tak kalah penting juga
kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga
mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos
yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga
memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga
dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang
fungsinya dianggap sama dengan ulos. Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2
meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh)
ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan
tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong
rumah.
PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-
banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh
berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan
Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat. Ulos
pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali
pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak,
penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos
sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang
dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang
dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun
mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.

NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN


Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap
bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya.
Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati.
Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh
orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja
sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan.
Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi
kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan:
kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll.

Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan
ulos – tentu saja berharga bagi kita.

Ketiga: apa yang diberikan.


Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun
tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses
pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak
bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat
rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika
orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia
menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita
mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita
terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas
tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak
trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara
gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan
atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tujuh karung?

SIAPA MEMBERI – SIAPA MENERIMA?


Yang Memberikan Ulos
Dalam adat Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada
pihak yang dianggap lebih rendah. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap
pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari
“bawah”.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur
terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula
harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah :
1.Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot).
2.Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten perempuan yang
lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan).
3.Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar
tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan
dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.

ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN


Ekstrim pertama:
Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan.
Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh
dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah
Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain:
Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu
keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya
yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.

Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos
pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan
bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma
disimpan.

Dalam acara pemebrian ulos ini adalah sangat dihormati oleh para masyarakat batak toba
sehingga semakin majunya perkembangan zaman tidak akan memungkiri untuk melakukan acara
adat seperti ini disetiap daerah-daerah tersebut.

Dalam acara seperti ini para masyarakat mungkin pernah berfikir mengapa harus
dilakukan hal pemberian ulos ?

Jawababan nya adalah “ karena untuk menghormati dan juga untuk melestarikan hal seperti ini
agar tidak adanya ketinggalan adat disuatu daerah tersebut.

Dan juga hal ini jika tidak dilakukan maka tidak adanya keharmonisan dan berkat yang
diterima oleh hula-hula dari keluarga. Hula-hula akan merasa tidak mempunyai keluarga besar
lagi di kehidupannya karena kurangnya kesejahteraan yang dilakukan hula-hula kepada sang
opung.

https://sitorusdori.wordpress.com/2009/05/14/pangantusion-tu-ulos-dan-tata-cara-penggunaannya/

Anda mungkin juga menyukai