Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

BALITRO Bogor menjadi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

(BALITTRO), berkedudukan di Jalan Tentara Pelajar No. 3 dipimpin oleh Dr. Ir.

Agus Wahyudi, MS. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO)

Bogor, mempunyai kaitan dengan berdirinya Kebun Raya Bogor tanggal 18 Mei

1817. Balittro mempunyai tugas untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan

bibit unggul (pemulian), penelitian hama dan penyakit, agronomi dan agroekonomi

juga teknologi. Atas dasar tugas tersebut, balai mempunyai fungsi dianataranya

melakukan penelitian dan pengembangan teknik produksi teknologi, hasil budidaya,

serta usaha tani tanaman rempah dan obat, melakukan penelitian pensifatan, evolusi,

pemanfaatan, dan kelestarian sumberdaya alam, melakukan urusan informasi,

laporan, dan perpustakaan, mengkordinir dan mengelola sarana penelitian, serta

melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga balai.

Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae) merupakan salah satu hama pada

tanaman kakao. Selain pada tanaman kakao, Helopeltis juga menyerang tanaman

lainnya seperti teh, kina, kapok, kayu manis, dan jambu mete. Daerah sebaran

serangga ini meliputi Afrika, Ceylon, Malaya, Jawa,Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,


2

Papua, Sabah, Papua Nugini, dan Filipina (Sulistyowati, 2008). Pada tanaman kakao,

Helopeltis spp. menyerang bagian buah, pucuk, dan ranting muda, serangan dapat

menurunkan produksi buah kakao 50%-60% (Atmadja, 2003; Sulistyowati, 2008). Di

dalam tulisan ini dijelaskan mengenai beberapa teknik pengendalian Helopeltis spp.

pada tanaman kakao untuk mendukung pertanian terpadu ramah lingkungan.

Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae) merupakan salah satu

serangga predator penting bagi hama tanaman kedelai, padi, dan tanaman sayuran

yang hanya ditemukan di wilayah Indonesia. Sycanus bersifat polifagus, yaitu

serangga yang mempunyai kisaran mangsa yang luas dari famili yang berbeda pada

tingkat larva dan pupa. Preferensi makan Sycanus berkaitan dengan kebiasaan

makannya yang menusuk dan menghisap cairan haemolimfa mangsanya (Kalshoven,

1981). Predator ini memiliki alat mulut (rostrum) yang panjang, sehingga mampu

menusuk dan menghisap larva ulat kantung dan ulat api yang merupakan hama

defoliator di perkebunan kelapa sawit (Singh, 1992; Tiong, 1996; Zulkefli dkk., 2004;

Syari dkk., 2010; Dongoran dkk., 2011; Jamjanya dkk., 2014). Beberapa spesies

Sycanus dilaporkan mampu memangsa beberapa larva hama defoliator (pemakan

daun) pada tanaman sayuran, seperti: Crocidolomia pavonana, dan Plutella xylostella

L. (Yuliadhi dan Sudiarta, 2012). Oleh karena itu, Sycanus memiliki potensi untuk

dikembangkan sebagai musuh alami dalam Program Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) pada tanaman sayuran dan perkebunan.

Pelaksanaan Kerja Praktek di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah

Cimanggu Bogor, karena penulis sangat merespon akan adanya keresahan petani akan
3

hama tanaman yang sering menyerang tanaman terutama pada tanaman jambu mete

dan tanaman kakao (cokelat). Dengan melakukan kerja praktek di Laboratorium

Hama dan Penyakit di BALITRO penulis dapat mengetahui pencegahan hama dengan

musuh alami dari hama tanaman tersebut.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada kerja praktek ini adalah :

a. Apakah buah timun bisa menjadi pengganti pakan Helopeltis antoni

yang ada di alam ( daun jambu mete)?

b. Apakah ada alternatif untuk pemberian pakan untuk Sycanus

annulicornis?

c. Apakah laboratorium Hama dan Penyakit melakukan kegiatan

mengenai hama dan penyakit pada tanaman?

C. Tujuan Kerja Praktek

Tujuan kerja praktek ini adalah :

a. Mengetahui perilaku hidup dan siklus hidup dari serangga Sycanus

annulicornis dan Helopeltis antonii

b. Mengetahui pakan terbaik dari serangga Sycanus annulicornis dan

Helopeltis antonii pengganti pakan yang ada di alam

c. Mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan di Laboratorium Hama

dan Penyakit di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah?


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keadaan Umum Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

BALITRO Bogor menjadi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

(BALITTRO), berkedudukan di Jalan Tentara Pelajar No. 3 dipimpin oleh Dr. Ir.

Agus Wahyudi, MS. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO)

Bogor, mempunyai kaitan dengan berdirinya Kebun Raya Bogor tanggal 18 Mei

1817. BALITTRO mempunyai tugas untuk melaksanakan penelitian dan

pengembangan bibit unggul (pemulian), penelitian hama dan penyakit, agronomi dan

agroekonomi juga teknologi. Balittro telah memiliki laboratorium yang telah

terakreditasi A. Pengelolaan laboratorium Balittro menerapkan sistem manajemen

laboratorium yang mengacu pada ISO/IEC17025:2005 dengan nomor LP:256 tahun

2004 dan tahun 2009 untuk menjamin keakuratan hasil uji. Balittro bekerja sama

dengan Departemen Kesehatan, tanaman rempah berjumlah sekitar 30.000 tanaman

dengan berbagai jenis dan 7000 jenis tanaman sangat berkhasiat sebagai obat, tetapi

baru sebagian obat yang telah dianalisis kandungan obatnya. Balittro memiliki 600

jenis tanaman obat yang sesuai dengan iklim di Bogor. Balittro pertama kali berdiri

pada tahun 1817, pertama kali hanya memiliki satu laboratorium penelitian (Mega,

2014).
5

Balittro mempunyai tugas untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan

bibit unggul (pemulian), penelitian hama dan penyakit, agronomi dan agroekonomi

juga teknologi. Atas dasar tugas tersebut, balai mempunyai fungsi dianataranya

melakukan penelitian dan pengembangan teknik produksi teknologi, hasil budidaya,

serta usaha tani tanaman rempah dan obat, melakukan penelitian pensifatan, evolusi,

pemanfaatan, dan kelestarian sumberdaya alam, melakukan urusan informasi,

laporan, dan perpustakaan, mengkordinir dan mengelola sarana penelitian, serta

melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga balai.

Gambar 1. Gedung Balittro (Sumber: Gambar 2. Alamat dan lokasi Balittro,


Dok. Pribadi, 2019) Cimanggu Bogor.

Balai melaksanakan penelitian komoditi seluruh tanaman rempah dan obat,

tanaman jambu mente, dan tanaman industri lainnya. Balittro merupakan unit

pelaksana teknis di bidang penelitian dan pengembangan yang berada di bawah Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Republik Indonesia. Proses pelaksanakan tugasnya balai ini dipimpin oleh
6

seorang Kepala Balai dan dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi

Pelayanan Teknis dan Kepala Urusan Keuangan Kerja, disamping ketiga pejabat

eselon IVa tersebut, dalam melaksanakan tugas sehari-hari Kepala Balai dibantu oleh

dua kelompok program komoditas (Tanaman Obat dan Aromatik), Ketua Kelompok

Peneliti (Kelti) yaitu:

1. Kelti Pemuliaan, Plasma Nutfah, dan Pembenihan;

2. Kelti Entomologi dan Fitopatologi, dan

3. Kelti Fisiopatologi.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang telah dibentuk 2 unit organisasi

fungsional yang langsung berada dibawah kordinasi Kepala Balai yaitu, Unit

Komersialisasi Teknologi (UKT) dan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS). Tugas

pokok dibalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) secara terstruktur

telah terbagi sesuai dengan fungsi jabatan masing-masing dan telah mempunyai tugas

pokok yang harus dijalankan (Mega, 2014).

Fungsi Balitrro Bogor sebagai balai penelitian yang menangani tanaman rempah

dan obat, Balittro memiliki beberapa fungsi berikut:

1. Penelitian genetika, pemuliaan dan perbenihan tanaman obat dan

aromatik.

2. Penelitian eksplorasi, konservasi, karakterisasi dan pemanfaatan plasma

nutfah tanaman obat dan aromatik.

3. Penelitian agronomi, morfologi, fisiologi, ekologi, entomologi dan

fitopatologi tanaman obat dan aromatik.


7

4. Penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis tanaman obat

dan aromatik.

5. Pelayanan teknik kegiatan penelitian tanaman obat dan aromatik.

6. Penyiapan kerjasama, informasi, dokumentasi, serta penyebarluasan dan

pendayagunaan hasil penelitian tanaman obat dan aromatik.

7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.

Visi yang dimiliki Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)

Bogor adalah “Menjadi balai berkelas dunia dalam penelitian dan diseminasi inovasi

tanaman rempah dan obat”.

Misi yang dimiliki Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor

adalah sebagai berikut.

1. Melaksanakan penelitian tanaman rempah dan obat yang berkualitas.

2. Melaksanakan diseminasi inovasi tanaman rempah dan obat secara luas.

3. Mengembangkan sumberdaya dan manajemen penelitian yang

berkualitas.
Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat merupakan salah satu

penyedia plasma nutfah secara ex situ, yaitu pelestarian di luar habitat aslinya dalam bentuk

tanaman hidup di kebun koleksi. Balittro dengan lima kebun yang dimiliki mulai menata dan

menentukan lahan- lahan yang diperuntukkan untuk melestarikan koleksi-koleksi yang

termasuk koleksi kerja dan membedakan koleksi plasma nutfah yang ada dikebun dengan

visitor plot/petak pamer serta dari koleksi-koleksi yang dilestarikan di kebun- kebun koleksi,

beberapa komoditas penting yang jumlah koleksinya cukup banyak, melalui kegiatan utilisasi

dengan melakukan seleksi dari aksesi-aksesi yang telah terkarakterisasi dan terevaluasi

diperoleh aksesi-aksesi terpilih sesuai dengan target program pemuliaan untuk dijadikan

aksesi-aksesi unggulan calon varietas unggul. Kebun percobaan yang dimiliki oleh Balittro

yaitu Kebun Percobaan Manoko, Kebun Percobaan Cicurug, Kebun Percobaan Sukamulya,

Kebun Percobaan Cibinong, dan Kebun Percobaan Cibinong (Mega, 2014).

B. Morfologi Helopeltis antonii

Imago H. antonii memiliki warna kepala hitam dengan bercak kuning atau putih pada

bagian pangkal kepala .Warna pronotum menunjukkan empat variasi, yaitu hitam, cokelat

kehitaman, merah, dan oranye. Secara umum, warna pronotum yang paling banyak

ditemukan di setiap lokasi adalah H. antonii dengan pronotum berwarna hitam. Imago jantan

secara umum memiliki warna tubuh yang dominan gelap apabila dibandingkan dengan imago

betina, terutama pada bagian kepala dan pronotum. Secara ukuran imago jantan lebih kecil

daripada imago betina (Stonedahl, 1991).

Warna jarum pada H. antonii lebih cenderung oleh warna kuning-cokelat. Bentuk

jarum yang lebih terdapat pada spesies ini adalah bentuk jarum tegak lurus dengan bandul

berbentuk segitiga. Selain itu tonjolan pada toraks H. antonii mengarah lurus ke atas. Tungkai

belakang bagian femur H. antonii berwana kuning pada bagian basal, dan menjadi cokelat

disertai dengan bercak hitam ke arah distal. Bentuk lobal sclerite pada H. antonii dan H.
bradyi mempunyai kesamaan yang sangat mirip. Saluran telur pada genitalia betina H.

antonii memiliki guratan tipis dengan jumlah guratan yang lebih sedikit daripada spesies lain

(Karmawati dan Mardiningsih, 2005).

a b

d e f
Gambar 1. Morfologi pada H. antonii bagian pangkal kepala (a); warna pronotum (b) ; warna
jarum (tonjolan pada bagian skutelum) (c) ; tungkai belakang bagian femur (d) ; bentuk lobal
sclerite (e) ; dan saluran telur (f) ( Cempaka, 2015)

C. Morfologi Helopeltis theivora

Spesies H. theivora memiliki ciri seperti berikut :

a. Warna kepala kuning kehitaman sampai hitam pekat.

b. Pola warna pada pronotum menunjukkan warna kuning dan hitam di ujung

pronotum.
c. Pola warna jarum pada spesies ini adalah cokelat tua-kuningcokelat tua dari

pangkal sampai ujung jarum.

d. Bentuk jarum H. theivora berbentuk melengkung ke belakang dengan bandul

pada ujung jarum berbentuk segitiga (ciri khas).

e. Memiliki abdomen berwana hijau atau hijau kekuningan.

f. Memiliki warna femur kuning yang disertai dengan bercak-bercak berwarna

hitam.

g. Genitalia H. theivora betina memiliki saluran telur yang jelas dan lebih banyak

memiliki guratan dibandingkan H. antonii.

h. Sklerit bagian tengah terlihat lebih jelas dibandingkan H. antonii.

i. Bagian lobal sclerite dari genitalia jantan berbentuk setengah lingkaran

dengan salah satu bagian ujungnya yang lebih meruncing. Pada bagian ujung

lainnya terdapat duri-duri halus(Stonedahl, 1991).

a b
Gambar 2. Kepik Helopeltis; H. antonii ( panjang tubuh 7.0 mm) (a); H. theivora
(panjang tubuh 6.7 mm) (b) ( Cempaka 2015)
Gambar 3. Morfologi Helopeltis warna kepala (a); warna abdomen (b); jarum dorsal dari H.
cinchonae (1c) , H. antonii (2c) dan H. theivora (3c)( Stonedahl 1991)

a b c

d e f
Gambar 4. morfologi pada H. theivora; warna kepala (a); warna pronotum (b); bentuk jarum
(c); warna femur (d); lobal sclerite (e) dan genital chamber (f)(Cempaka 2015)
D. Siklus Hidup

Gambar 5. Siklus Hidup H. antonii

Nimfa terdiri atas lima instar dan stadium nimfa dengan kisaran 10-11 hari. Instar

pertama berwarna cokelat bening, yang kemudian berubah menjadi cokelat. Untuk nimfa

instar kedua, tubuh berwarna cokelat muda, antena cokelat tua, tonjolan toraks mulai terlihat.

Nimfa instar ketiga tubuhnya berwarna cokelat muda, antena cokelat tua, tonjolan pada toraks

terlihat jelas dan bakal sayap mulai terlihat. Nimfa instar keempat dan kelima ciri

morfologinya sama. Imago aktif pada pagi dan sore hari. Imago jantan dan betina kawin pada

umur dua hari dan nisbah jantan dengan betina yang cenderung menghasilkan lebih banyak

telur adalah 2:1 dan 1:2 (Siswanto 2009)

E. Kerusakan yang ditimbulkan

Gejala serangan kepik helopeltis pada pucuk daun dan buah kakao berupa bercak-

bercak hitam yang membentuk lingkaran. Daun pertama dan kedua bagian pucuk merupakan

bagian yang paling disukai oleh kepik helopeltis karena adanya akumulasi nutrisi yang tinggi

pada bagian tersebut. Selain itu, pucuk daun merupakan bagian yang lunak sehingga sesuai

untuk kepik helopeltis yang memiliki alat mulut bertipe menusuk mengisap. Pada gejala awal
serangan, bercak bekas tusukan kepik helopeltis berwarna cokelat transparan. Pada hari

berikutnya, bercak tersebut berubah warna menjadi cokelat kemudian mengering dan

menyebabkan daun mengkerut. Gejala serangan berupa bercak mengkilap berwarna hitam

juga terlihat pada permukaan buah kakao yang berukuran kecil atau besar (Mahdona 2009).

Gejala yang sama pun dialami pada daun tanaman jambu mete. Daun muda pada

tanaman ini sangat disukai oleh kepik helopeltis. Daun jambu mete ini akan mengalami

bercak-bercak hitam yang kemudian daun tersebut mengering dan mengerut.

a b

Gambar 6. Gejala yang disebabkan H. antonii pada; daun jambu mete (a) dan buah kakao (b)

F. Morfologi Sycanus annulicornis

Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae) merupakan salah satu serangga

predator penting bagi hama tanaman kedelai, padi, dan tanaman sayuran. Serangga ini

bersifat polifagus, yaitu serangga yang mempunyai kisaran mangsa yang luas dari famili yang

berbeda pada tingkat larva dan pupa. Predator ini memiliki alat mulut (rostrum) yang

panjang, sehingga mampu menusuk dan menghisap larva ulat kantung dan ulat api yang

merupakan hama defoliator di perkebunan kelapa sawit (Singh, 1992). Serangga ini

memangsa serangga (mangsa) dengan menusukkan stiletnya ke bagian yang lunak dari

bagian tubuh serangga (menghisap cairan haemolimfa). Setelah itu mangsa yang sudah

tertangkap akan mati akibat toksin yang dikeluarkan melalui stilet. Sycanus sp menjadi vektor
virus yang bersifat toksin terhadap serangga karena terdapat virus yaitu Nuclear Polyhedrosis

Virus (NPV)(Cahyadi, 2004).

G. Siklus Hidup Sycanus annulicornis

1. Telur

S. annulicornis meletakkan telurnya yang berwarna coklat secara berkelompok

yang direkatkan satu sama lain secara vertikal hingga ke lapisan bawah. Imago betina S.

annulicornis dapat meletakkan 1–4 kelompok telur dalam sekali siklus hidupnya. Satu

kelompok telur terdiri dari 81 ± 40 telur. Telur-telur yang fertil berubah warna menjadi coklat

gelap dan diselimuti oleh selaput yang berwarna putih kekuningan. Periode inkubasi

kelompok telur, yaitu 15–19 hari. Persentase telur yang menetas dari setiap kelompok telur

adalah 74,74 ± 18,77 % (Sahid 2016).

Gambar 1. Kelompok telur dari Sycanus annulicornis(Sahid, 2016)

2. Nimfa

Nimfa mengalami lima instar. Nimfa yang baru menetas masih lemah dan

berwarna jingga polos. Nimfa yang baru menetas biasanya berkumpul di sekitar kelompok

telur dan memakan sisa-sisa telur yang belum menetas. Setelah 2 hari, nimfa akan menyebar

dan bergerak dengan cepat untuk menemukan mangsanya. Rata-rata jumlah nimfa instar 1
yang menetas dari 1 kelompok telur (fertilitas) adalah sebanyak 75 ± 18,4 ekor. Nimfa instar

ke–2, ke–3, dan ke–4 berwarna orange dengan abdomen berwarna coklat kehitaman. Nimfa

instar ke–4 yang baru ganti kulit berubah menjadi nimfa instar ke–5 yang berwarna kuning

orange, dan setelah 3 jam kemudian warnanya berubah menjadi orange kecoklatan dengan

abdomen berwarna hitam(Sahid 2016).

Lamanya proses pergantian kulit ini berlangsung sekitar 15–25 menit. Pada waktu

pergantian kulit, nimfa tidak aktif bergerak dan sangat lemah. Selama proses ini, nimfa

kadang-kadang dapat menjadi mangsa bagi nimfa lainnya ketika mangsanya tidak tersedia.

Namun beberapa saat setelah proses tersebut, nimfa dapat bergerak dengan cepat(Sahid

2016).

Gambar 2. Nimfa Sycanus annulicornis (Sahid, 2016)

Gambar 3. Proses pergantian kulit dari nimfa instar 3 ke instar 4 (Sahid, 2016)

3. Imago

Nimfa instar ke–5 yang baru ganti kulit menjadi imago berwarna kuning jingga pada

bagian toraks dan abdomen, dengan sayap transparan dan tungkai berwarna putih. Setelah 3
jam kemudian, warnanya berubah menjadi hitam pada bagian toraks, abdomen dan tungkai,

sedangkan sayapnya berwarna jingga kecoklatan. Lama hidup imago betina yang diamati

mulai dari proses ganti kulit nimfa instar ke–5 menjadi imago hingga kematiannya adalah 48

± 6 hari, sedangkan imago jantan adalah 39 ± 5 hari. Imago betina dapat dibedakan dari

imago jantan dengan melihat ujung abdomen imago. Ujung abdomen imago jantan terlihat

mendatar, sedangkan ujung abdomen imago betina meruncing. Rasio jenis kelamin jantan :

betina adalah 3 : 4. Imago betina memiliki ukuran dan berat tubuh yang lebih besar daripada

jantan. Siklus hidup imago S. annulicornis betina dan jantan, berturut-turut adalah 141 ± 7

dan 127 ± 8 hari (Sahid, 2016).

Gambar 4. Sycanus annulicornis dewasa setelah 3 jam berganti kulit

a b

Gambar 6. Kelamin imago jantan (a) ; kelamin imago betina (b)(Sahid, 2016)
H. Perilaku Kawin dan Kopulasi

Setelah 6-10 hari ganti kulit terakhir, imago jantan dan betina digabung agar

berkopulasi untuk bereproduksi dan menghasilakan generasi berikutnya. Urutan perilaku

kawin yang diamati pada S. annulicornis, yaitu:

a. munculnya gairah (arousal) dan pendekatan (approach); waktu yang

diperlukan untuk memunculkan gairah hingga proses mendekati adalah 5,2 ±

3,4 menit

b. posisi jantan di atas betina (riding over); waktu yang diperlukan untuk

perilaku ini sangat singkat, yaitu hanya 5,8 ± 2,7 detik.

c. Kopulasi; lama berlangsungnya kopulasi adalah 14,8 ± 3,2 menit. Akhir

kopulasi dicirikan oleh terkulainya antena jantan dan betina ke bawah, yang

diikuti oleh pemisahan pasangan kawin. Keberhasilan kopulasi dibuktikan

dengan ejeksi kapsul spermatofor setelah akhir kopulasi.

d. pasca kopulasi; pasca kopulasi, betina mulai berjalan dengan posisi jantan

masih di atas tubuh betina. Perilaku ini berlangsung cukup lama, yaitu: 149,6

± 188,3 menit. Pasca kopulasi tidak ada perilaku kanibalisme yang terjadi

(Sahid, 2016).

a b

Gambar 7. Posisi jantan naik ke tubuh betina (riding over)(a); kopulasi (b)

I. Perilaku Kanibalisme
Terdapat tiga jenis perilaku kanibalisme yang teramati, yaitu: (1) nimfa instar 5

memangsa nimfa yang baru berganti kulit menjadi imago; (2) nimfa instar 3 memangsa

nimfa instar 2 yang sedang melakukan proses pergantian kulit menuju instar 3; (3) nimfa

instar 3 memangsa nimfa lain ketika asupan pakan habis (Sahid,2017).

a b c

Gambar 8. Kanibalisme saat nimfa baru berganti kulit (a dan b); kanibalisme terjadi saat

pakan yang diberikan habis(Sahid, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa perilaku kanibalisme

terjadi dalam pemeliharaan secara berkelompok jika: (a) wadah tempat pemeliharaan terlalu

sempit sehingga nimfa yang sedang melakukan proses pergantian kulit mudah ditemukan dan

dimangsa, (b) suplai pakan yang kurang atau pakan yang diberikan tidak cocok, dan (c)

rentang waktu pergantian kulit antar individu lebih dari 1 hari. Oleh karena itu untuk

keberhasilan pemeliharaan serangga secara berkelompok, hal-hal yang dapat memicu

terjadinya perilaku kanibalisme perlu diminimalkan(Sahid,2017).


BAB III

METODOLOGI KERJA PRAKTIK

A. Waktu dan Tempat Kerja Praktik

Waktu kerja praktik berlangsung pada pukul 08.00 sampai dengan 12.00 WIB dan

tempat pelaksanaannya di Laboratorium Hama dan Penyakit dan Hutan Balai Penelitian Obat

dan Rempah Cimanggu-Bogor.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada kerja praktik adalah kain saring berlubang kecil, kuas,

toples plastik berukuran 12 cm x 16,9 cm , karet gelang, cawan kecil, penjepit, container box

130 liter, spons, rak piring plastik, sepatu boots

Bahan yang digunakan pada kerja praktik adalah buah timun segar, silica gel, mama

lemon, aquades, kapas, dan serangga Helopeltis antonii, daun buah jambu biji

C. Cara Kerja

Adapun cara kerja pada saat kerja praktik di Laboratorium Hama dan Penyakit adalah

sebagai berikut :

1. Persiapan Makanan Untuk Serangga Helopeltis antonii

a. Timun dibeli di penjual sayur kira-kira 10 kg untuk pakan serangga untuk

4 hari kedepan

b. Timun dipilih pada kondisi yang masih segar, mempunyai guratan garis di

permukaan daging buah, dan daging buah tidak terlalu keras maupun

lembek.
c. Kemudian timun di masukkan pada container yang sudah terisi air

sebanyak 100 liter air dan mama lemon sebanyak 2 cangkir. Didiamkan

selama 20 menit.

d. Setelah timun direndam, timun di gosok secara perlahan menggunakan

spons agar pestisida yang ada pada timun hilang. Kemudian dibilas dengan

air yang mengalir.

e. Setelah itu, timun ditata pada rak piring plastik dan dikering anginkan pada

suhu AC 25°c agar air yang masih menempel hilang.

f. Disiapkan toples plastik yang sudah diberi kain berlubang dan kemudian

diberi karet gelang

Proses Pencarian Serangga Helopeltis antonii

a. Setelah itu, mahasiswa akan pergi ke hutan Balai Penenlitian Obat dan

Rempah untuk mencari serangga Helopeltis antonii

b. Setelah sampai lokasi hutan, mahasiswa mencari serangga Helopeltis

antonii di area tanaman jambu biji. Biasanya serangga ini senang

menempel dibawah daun jambu biji yang masih muda.

c. Serangga yang didapatkan , dimasukkan pada toples yang sudah disiapkan

pada saat dilab.

d. Jika dirasa jumlah serangga sudah cukup, mahasiswa kembali ke

laboratorium

2. Proses rearing serangga Helopeltis antonii

a. Toples yang sudah diberi karet gelang, berisi timun yang segar tadi dan

diberi silica gel disiapkan


b. Serangga Helopeltis antonii dipilih dan dipasangkan antara betina dan

jantan. Satu toples biasanya berisikan 10 pasang serangga Helopeltis

antonii.

c. Proses peneluran serangga Helopeltis antonii pada timun hanya

membutuhkan waktu 1-2 hari

d. Setelah itu, timun yang sudah terdapat telur dari Helopeltis antonii

dipindahkan pada toples yang sudah di beri karet gelang.

e. Proses serangga Helopeltis antonii menjadi nimfa instar I membutuhkan

waktu 2-3 hari. Pada saat menjadi nimfa instar II serangga ini tidak

dipindahkan terlebih dahulu karena masih rentan mati.

f. Jika serangga Helopeltis antonii sudah menjadi nimfa instar III, IV , dan

V, serangga harus dipindahkan ke toples yang baru dan setiap harinya

dilakukan pengecekan buah timun. Jika ada timun yang sudah lembek,

perlu diganti.

g. Serangga Helopeltis antonii yang sudah menjadi imago dapat dilakukan

perkawinan kembali hingga mendapat keturunan yang lebih banyak.

3. Pemeliharaan Sycanus annulicornis

a. Sycanus annulicornis dicari di sekitar sawah dengan tanaman padi

b. Sycanus annulicornis dimasukkan ke dalam toples untuk dilakukan

rearing di laboratorium

c. Antara betina dan jantan serangga Sycanus annulicornis dijadikan satu

dalam satu toples untuk melakukan perkawinan. Di dalam toples diisi ulat

hongkong dan kapas yang sudah berisi air

d. Pada toples diberikan kain kassa agar Sycanus annulicornis bisa menaruh

telurnya pada kain tersebut


e. Setelah menunggu beberapa hari, telur akan menjadi nimfa dan diberi ulat

hongkong yang berukuran kecil (sesuai ukuran nimfa yang kecil)

f. Pada instar I sampai dengan V tetap dijadikan satu dan dilakukan

pergantian makanan dan ditetesi air pada kapas

g. Jika di dalam toples sudah terdapat imago, maka dilakukan pemindahan

agar Sycanus annulicornis tidak memakan sejenisnya


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang didapat dari kerja praktek di laboratorium hama dan serangga Balai

Penelitian Obat dan Rempah Cimanggu-Bogor adalah Populasi serangga Helopeltis antonii

pada daerah Cimanggu-Bogor sangat melimpah. Terlihat setiap harinya 30-60 serangga

Helopeltis antonii dapat di tangkap di hutan Balai Penelitian Obat dan Rempah dengan pakan

alaminya dari pucuk daun jambu mete.

Pada saat peneluran di laboratorium, sepasang serangga Helopeltis antonii jantan dan

betina yang dipelihara dalam waktu sebulan dan setiap hari diberi buah ketimun yang segar

dapat menghasilkan rataan jumlah telur sebanyak 65 butir. Periode telur berlangsung selama

6-7 hari. Hasil penelitian Kilin (2000), menyatakan bahwa jumlah telur yang diletakkan

betina H. antonii umur lima hari pada pucuk daun jambu mete selama 24 jam sangat

beragam. Rataan jumlah telur pada pucuk dalam gelas plastik 25 butir sedang pada pucuk

bibit 54 butir. Dari 25 butir telur yang diperoleh dari pucuk dalam gelas plastik hanya muncul

tiga ekor nimfa atau 12%. Untuk peneluran, buah ketimun yang digunakan harus yang

berkualitas agar tidak terganggu pada proses peneluran. Menurut TAN (1974), seekor betina

serangga pada buah kakao selama hidupnya menghasilkan telur 50-63 butir. Pada buah

ketimun lama hidup serangga betina rata-rata 7-26 hari sedangkan serangga jantan antara 8-

52 hari( Wardoyo, 1983).

Rendahnya penetasan telur karena pucuk menjadi kering sehingga telur yang berada

dalam jaringan pucuk perkembangannya terganggu. Kalaupun ada telur yang menetas, nimfa

yang muncul akan mati karena pakannya kering. Hal ini menunjukkan perlunya penambahan
pucuk jambu mete yang segar sebelum telur menetas. Nimfa yang muncul dari telur dalam

pucuk bibit jambu mete jauh lebih banyak. Dari 54 butir telur, muncul 48 ekor nimfa atau

88,89%.

Hal ini karena pucuk bibit jambu mete tidak kering seperti pucuk yang dipotong

kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik. Periode telur pada pucuk jambu mete adalah

6-7 hari. Periode nimfa instar I sampai IV sekitar 21 hari sedangkan instar V 3-4 hari. Baik

periode telur maupun nimfa H. antonii pada pucuk jambu mete tidak jauh beda dibanding

pada perkembangan serangga dengan pakan buah ketimun di laboratorium. Hal ini

menunjukkan bahwa buah ketimun merupakan pahan yang cocok bagi serangga H. antonii .

Hasil rearing pada serangga Sycanus annulicornis pada laboratorium hama dan

serangga dengan pakan berupa ulat hongkong dengan penggantian makan setiap harinya.

predator S. annulicornis berhasil diperbanyak dengan menggunakan mangsa alternatif larva

T. molitor. Jumlah kelompok telur yang diletakkan dalam sekali siklus hidupnya dan jumlah

telur dalam setiap kelompok telur hampir sama dengan S. dichotomus (Zulkefli dkk., 2004;

Ibrahim dan Othman, 2011; Syari dkk., 2011). Dibandingkan dengan S. aurantiacus, jumlah

kelompok telur yang diletakkan oleh betina S. annulicornis lebih sedikit, yaitu hanya 1–4

kelompok telur, sedangkan S. aurantiacus mampu meletakkan 5–11 kelompok telur dalam

sekali siklus hidupnya (Yuliadhi dkk., 2015). Meskipun demikian, jumlah telur dalam satu

kelompok telur pada S. annulicornis lebih banyak (81± 40 telur) dibandingkan dengan

S.aurantiacus (35–73 telur) (Yuliadhi dkk., 2015), sehingga jumlah telur yang dihasilkan

tidak berbeda signifikan. Periode inkubasi telur S. annulicornis hampir sama dengan S.

collaris dan S. dichotomus yang diberi pakan larva T. molitor, yaitu berkisar antara 15–19

hari (Ibrahim dan Othman, 2011; Syari dkk., 2011; Jamjanya dkk., 2014). Namun S.

dichotomus yang dipelihara dengan pakan larva Corcyra cephalonica dan Plutella xylostella
memiliki rentang periode inkubasi telur yang lebih luas, yaitu 11–39 hari (Zulkefli dkk.,

2004).

Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata persentase kemampuan telur menetas dalam

setiap kelompok telur cukup tinggi, yaitu mencapai 94,44%, dengan rata-rata sebesar 74,74 ±

18,77 %. Hal ini menunjukkan bahwa sekali bertelur, S. annulicornis yang dipelihara dengan

pakan larva T. molitor dapat menghasilkan keturunan dalam jumlah banyak. Perbedaan jenis

pakan dapat mempengaruhi lama hidup serangga yang dipelihara. Syari dkk. (2011)

melaporkan bahwa S. dichotomus yang dipelihara dengan pakan larva T. Molitor memiliki

persentase keberhasilan yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi imago dibandingkan

dengan yang diberi pakan larva C. cephalonica, yaitu 81% untuk pakan T. molitor dan 76%

untuk pakan C. cephalonica. Pada S. annulicornis, lama hidup imago yang diamati mulai dari

proses ganti kulit nimfa instar ke–5 menjadi imago hingga kematiannya sangat singkat, yaitu

hanya 48 ± 6 hari untuk betina dan 39 ± 5 hari untuk jantan. Beberapa spesies Sycanus yang

lain memiliki lama hidup imago yang lebih lama, yaitu 82 ± 11,7 hari untuk S. aurantiacus

yang diberi pakan larva T. molitor (Yuliadhi dkk., 2015), 62,96 ± 2,07 hari untuk S.

dichotomus yang diberi pakan larva C. cephalonica (Zulkefli dkk., 2004), 85,65 ± 2,71 hari

untuk S. dichotomus yang diberi pakan larva P. xylostella (Zulkefli dkk., 2004), dan 79,60 ±

4,50 hari untuk S. dichotomus yang diberi pakan larva T. molitor (Syari dkk., 2011). Hal ini

diduga disebabkan oleh perbedaan spesies dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi lama

hidup Sycanus.

Lamanya waktu yang diperlukan oleh S. annulicornis dari telur hingga menjadi imago

adalah 89 ± 8 hari untuk jantan, dan 93 ± 3 hari untuk betina. Siklus hidup keseluruhan S.

annulicornis dari telur hingga kematiannya adalah 141 ± 7 hari untuk betina dan 127 ± 8 hari

untuk jantan. Persentase nimfa S. annulicornis yang berhasil menjadi imago adalah 60–68%,

dengan mortalitas nimfa tertinggi terjadi pada instar ke–1, yaitu sebesar 35,2 ± 6,5 %.
Sebagian besar nimfa instar 1 yang mati berada dalam kondisi sedang menusuk tubuh

mangsa, sehingga diduga kuat bahwa nimfa instar 1 masih sangat lemah dan tidak mampu

menahan pergerakan mangsa yang berukuran jauh lebih besar.

Kegiatan pada Laboratorium Hama dan Penyakit di BALITRO adalah melakukan uji

coba pada hama serangga yang sering merusak tanaman seperti pada daun Jambu Mete. Uji

dilakukan dengan membasmi hama serangga dengan predator alami pemakan hama tersebut

yang masih banyak di alam. Uji selanjutnya dengan menggunakan pestisida alami

menggunakan tumbuhan yang kandungannya hampir sama dengan pestisida buatan manusia

namun sebisa mungkin tidak membunuh dari predator alami dari serangga tersebut.
Bab V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapat dari Bioekologi dan Perbanyakan Helopeltis antonii

dan Sycanus annulicornis maka diperoleh kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan jumlah telur yang dihasilkan, pembatasan telur, periode nimfa serta

keberhasilan nimfa menjadi imago ternyata bahwa buah ketimun merupakan

media peneluran dan pakan yang memadai untuk perbanyakan serangga

Helopeltis antonii. buah ketimun yang digunakan juga harus diperhatikan yang

berkualitas baik agar tidak cepat membusuk.

2. Dari pengamatan kerja praktek ini menunjukkan bahwa S. annulicornis berpotensi

untuk diperbanyak secara masal dengan menggunakan pakan mangsa alternatif

larva T. molitor yang murah, mudah diperoleh dan diperbanyak, sehingga

dianggap menjadi salah satu metode perbanyakan yang ekonomis. Hasil penelitian

juga membuktikan bahwa kandungan nutrisi larva T. molitor sesuai untuk

pertumbuhan dan perkembangan S. annulicornis karena S. annulicornis mampu

bertelur dan menghasilkan individu. Untuk perbanyakan skala masal,

pemeliharaan serangga predator secara indivdu dalam wadah terpisah sulit

dilakukan karena kurang ekonomis dan tidak efisien waktu. Oleh karena itu,

pemilihan penggunaan larva alternatif sebagai sumber pakan dalam perbanyakan

serangga predator dapat difokuskan pada kemudahan untuk pemeliharaan harian

dengan memelihara sekelompok kecil predator.


3. Kegiatan yang dilakukan pada laboratorium Hama dan Penyakit adalah

melakukan uji yang berhubungan dengan serangga yang bersifat hama dan

mecegahnya dengan pembuatan pestisida alami maupun menggunaka predator

alami

B. Saran

1. Perlu dikaji lagi mengenai macam hama serangga dan sebab yang

ditimbulkan dari hama serangga pada tanaman.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pestisida alami yang bahannya mudah

dicari , murah dan dapat digunakan oleh petani tanpa merusak tanaman.

3. Perlu dilakukan persiapan dalam hal administrasi untuk mempermudah

mahasiswa yang akan melakukan kegiatan Kerja Praktik pada Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Rempah


DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, W.R. (2003). Status Helopeltis antonii sebagai hama pada beberapa tanaman

perkebunan dan pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 57-63.

Cahyadi, AT. 2004. Biologi Sycanus annulicornis (Hemiptera : Reduviidae) Pada

Tiga Jenis Mangsa. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas

Pertanian.

Cempaka,Gita. 2015. Identifikasi Jenis dan Inang Kepik Helopeltis (Hemiptera:

Miridae) di Wilayah Bogor dan Cianjur.[skripsi]. Bogor. Insitut Pernian

Bogor, Fakultas Pertanian

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised by P.A. Van der

Laan. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. pp. 701

Karmawati E, Mardiningsih TL. 2005. Hama Helopeltis spp. pada Jambu Mete

dan Pengendaliannya. Jurnal Ilmiah Indonesia. 17(1):1-6.

Kilin Diatnika, Warsi Rachmat Atmaja. 2000. Perbanyakan Serangga Helopeltis

antonii SIGN. Pada Buah Ketimun dan Pucuk Jambu Mete. Jurnal Littri Vol 5

No 4

Mahdona, N. (2009). Tingkat serangan hama kepik pengisap buah (Helopeltis spp.)

(Hemiptera: Miridae) pada tanaman kakao (Theobroma cacao L.) di dataran

rendah dan dataran tinggi Sumatera Barat (Skripsi, Universitas Andalas,

Padang).

Mega. 2014. “Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat”.

http://dokumen.tips/documents/balai-penelitian-tanaman-rempah-dan-obat

html#. Diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pada pukul 20.06 WIB.
Sahid Abdul, Wahyu DN, Hersanti, Sudarjat, Entun Santosa. 2016. Biologi dan

Perilaku Kawin Sycanus annulicornis Dohrn.(Hemiptera: Reduvidae) yang

diberi Pakan Larva Tenebrio molitor L. (Coleoptera: Tenebrionidae).

Proceeding Biology Education Conference. Bandung : Universitas Padjajaran,

Fakultas Pertanian. Vol 13(1): 587-592.

Sahid Abdul , Wahyu DN, Hersanti, Sudarjat. 2017. Pengaruh Kerapatan

Pemeliharaan Nimfa terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Kepik Buas

Sycanus annulicornis Dohrn.(Hemiptera: Reduviidae) Proceeding Biology

Education Conference. Bandung : Universitas Padjajaran, Fakultas Pertanian.

Vol 14(1): 58-62.

Singh, G. 1992. Management of oil palm pests and disease in Malaysia in 2000.

dalam. Pest Management and the environment in 2000, disunting oleh Aziz,

A., Kadar, S.A & Barlon, H.S. CAB International Wallingford, Oxon, U.K.

Siswanto, Muhammad, R., Omar, D., & Karmawati, E. 2009. The effect of mating on

the eggs fertilitiy and fecundity of Helopeltis antonii ( Heteroptera: Miridae).

Tropical Life Sciences Research, 20(1), 89-97.

Stonedahl GM. 1991. The oriental species of Helopeltis (Heteroptera: Miridae): a

review of economic literature and guide to identification. Bulletin of

Entomological Research. 81(4):465-490.

Sulistyowati, E. (2008). Pengendalian hama. In Wahyudi, T., T.R. Pangabean, &

Pujiyanto (Eds.) Panduan Lengkap Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu

hingga Hilir (pp. 138-153). Jakarta: Penebar Swadaya.


Tan, Gim seng. 1974. Helopeltis theivora theobromae on cocoa in Malaysia, 1,

Biology and population fluctuation, Malays.Agric.Res., 3 : 127-132.

Yuliadhi, K.A., Supartha, I.W., Wijaya, I.N., Pudjianto. 2015. Characteristic

Morphology and Biology of Sycanus aurantiacus Ishikawa et Okajima sp.nov.

(Hemiptera: Reduviidae) on the Larvae of Tenebrio molitor L. (Coleoptera:

Tenebrionidae). Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 5 (10).

Yuliadhi, K.A., P. Sudiarta. 2012. Struktur Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis

dan Investigasi Musuh Alaminya. J. Agrotrop 2(2): 191-196.

Zulkefli, M., Norman, K., Basri, M.W. 2004. Life Cycle of Sycanus dichotomus

(Hemiptera: Pentatomidae) a Common Predator of Bagworm in Oil Palm. J. of

Oil Palm Research, 14(2): 50-56.

Anda mungkin juga menyukai