Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung
bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut
atau danau (Asdak, 2004).
Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat
diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya
didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi (Asdak, 2004)

7
2.2 Analisis Hidrologi
2.2.1 Pengisian Data Kosong
Data curah hujan yang hilang disebabkan oleh beberapa hal, seperti alat
ukur rusak, pengamat berhalangan, dan data pencatatan hilang. Untuk data dari
stasiun (selain stasiun yang datanya hilang) terdapat pencatatan hujan jangka
panjang, maka dapat dicari dengan metode Normal Ratio dengan rumus sebagai
berikut (Soewarno, 2000) :

1  Ra Ra R R 
ra   r1  r2  a r3  ....  a rn  (2.1)
n  R1 R2 R3 Rn 

dengan :
ra = Data hujan yang akan dicari
Ra = Jumlah hujan tahunan normal pada stasiun yang datanya hilang
R1…Rn = Jumlah hujan tahunan pada stasiun 1 s/d n
r1…rn = Hujan pada saat yang sama dengan hujan yang akan dicari dari
stasiun 1 s/d n
n = Jumlah stasiun hujan disekitar stasiun yang akan dicari

Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah


terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh
adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas atau resistensi tanah juga
ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah,
kapasitas infiltrasi, dan kandungan organik dan kimia tanah (Asdak, 2004 : 360).
Erodibilitas tanah adalah kepekaan suatu tanah untuk mengalami peristiwa
erosi. Kepekaan suatu tanah terhadap erosi atau nilai erodibilitas suatu tanah,
ditentukan oleh (Utomo, 1994 : 47) :
a) Ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar, dan
b) Kemampuan tanah untuk menyerap air (infiltrasi dan perkolasi).

8
Wischmeier, et. al. (1971) mengembangkan persamaan matematis yang
menghubungkan karakteristik tanah dengan tingkat erodibilitas tanah seperti di
bawah ini (Asdak, 2004 : 361) :


K  2,71x10 4 12  OM .M 1,14  3,25 S  2  2,5
 P  3 
 (2.11)
 100 

dengan :
K = Erodibilitas tanah
OM = Persen unsur organik
M = Persentase ukuran partikel (% debu + pasir sangat halus) x (100 - %
liat)
S = Kode klasifikasi struktur tanah (granular, platy, massive, dll)
P = Permeabilitas tanah

Tabel 2.2. Klasifikasi Struktur Yang Menggunakan Nomograf

Kelas Keterangan
1 Granuler sangat halus
2 Granuler halus
3 Granuler sedang – kasar
4 Massif kubus, lempeng
Sumber : Utomo, W. H., 1994

Berikut adalah beberapa grafik hubungan antara SDR dengan luas DAS
(catchment area), dan rasio panjang relief (relief – lenght ratio).

Gambar 2.6 Grafik Hubungan Antara SDR Dan Luas DAS (Ouyang, Da.,1997)
2.3 Model Pendugaan Erosi

9
2.3.1 ArcView SWATX (Soil and Water Assessment Tool)
Suatu model yang berbasiskan Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan sistem yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografi, yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan,
dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.
Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat
kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu masukan,
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi
data, serta keluaran.
SWAT adalah singkatan dari Soil and Water Assessment Tool, yaitu suatu
lembah sungai (river basin), atau DAS (watershed), model skala yang
dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA Agricultural Research Service
(ARS). SWAT dikembangkan untuk memprakirakan dampak dari pengaturan tata
guna lahan terhadap limpasan air, sedimen dan bahan kimia agrikultur di DAS
yang kompleks besar dengan lahan yang bervariasi, kondisi-kondisi manajemen
dan penggunaan lahan dalam periode waktu yang lama (NEITSCH, S.L., et al,
2005).
Aplikasi SWAT dapat digunakan untuk menirukan atau mensimulasi DAS
tunggal atau suatu sistem dari berbagai hidrologi DAS. Masing-Masing DAS yang
pertama dibagi menjadi subbasins dan kemudian ke dalam Hydrologic Response
Units (HRUs) yang didasarkan pada distribusi lahan dan penggunaan lahan.
Prosedur dari aplikasi SWAT ini adalah :
a) Mengisi atau memilih AVSWATX extension
b) Menggambarkan DAS dan menggambarkan HRUs
c) (Opsional) Mengedit database SWAT
d) Menggambarkan data cuaca
e) Memasukkan input file dari user
f) (Opsional) Mengedit file masukan
g) Set up (memerlukan spesifikasi periode simulasi, metoda kalkulasi PET –
Presipitasi dan Evapotranspirasi Potensial, dll.) dan run SWAT

10
h) (Opsional) Memasukkan nilai kalibrasi
i) (Opsional) Analyze, plot dan output grafik SWAT

Di dalam sistem ini Arcview menyediakan kedua-duanya yaitu teknik


perhitungan GIS dan suatu alat penghubung pemakai Windows-Based umum.
AVSWATX terorganisir di dalam suatu urutan beberapa alat yang dihubungkan ke
dalam kelompok delapan modul berikut (Di Luzio, M.,2002) :
(1) Penggambaran DAS (Watershed Delineation) ;
(2) Definisi HRU (Hydrologic Response Unit) ;
(3) Definisi stasiun cuaca ;
(4) AVSWATX Database ;
(5) Input Parameterization, Skenario Manajemen dan Editing ;
(6) Model Pelaksanaan ;
(7) Read and Map-Chart Results ;
(8) Nilai kalibrasi.

Input peta dasar yang diperlukan untuk AVSWATX meliputi elevasi


digital, peta lahan, tata guna lahan, hidrografi, dan iklim. Sebagai tambahan, alat
penghubung memerlukan tata guna lahan/land use, cuaca, groundwater,
penggunaan air, manajemen, ilmu kimia tanah, genangan, dan data kualitas aliran
air, seperti halnya periode simulasi, untuk memastikan suatu simulasi sukses.
Hydrologic Response Units (HRUs) adalah area daratan di dalam subbasin yang
terdiri atas permukaan lahan kritis, tanah, dan kombinasi manajemen.

11
Gambar 2.11 Proses dan Display ArcView SWATX (Di Luzio, M., 2002)

2.4 Verifikasi Dan Kalibrasi Model


Proses verifikasi model ArcView SWATX menggunakan data volume
sedimen yang terendapkan di dasar waduk. Kondisi tata guna lahan diasumsikan
tidak berubah sampai dengan tahun 2009/2010, karena dalam penelitian ini tata
guna lahan yang digunakan adalah data tahun 2009/2010.
Sedangkan dalam proses kalibrasi sendiri menggunakan kriteria evaluasi
model antara lain dapat dilihat dari nilai parameter-parameter berikut :
a. Root Mean Squared Error (RMSE) :

 y 
n 2
i  yi
(2.62)
RMSE  i 1

b. Normalised Root Mean Squared Error (NRMSE) :

12
RMSE
NRMSE  (2.63)
Standart Deviation of Observed Data

c. Coefficient of Efficiency (COE) :

 
 
COE  1  
 RMSE  2
 (2.64)
1 n
 
   yi  yi  
2 

 n  i 1 

dengan :
yi = Data target
yi = Data prediksi
n = Jumlah node

Pada dasarnya sebuah model yang baik adalah model yang mampu
”menirukan” perilaku DAS sedekat mungkin. Ukuran kedekatan ini berbeda untuk
setiap tujuan pembuatan model, yang dapat diukur dalam besaran volume,
variabilitas waktu, bentuk hidrograf atau besaran yang lain. Model dapat disusun
dengan memanfaatkan rumus-rumus (teori-teori) yang ada atau dengan
mengembangkan sendiri rumus yang digunakan dalam satu atau lebih komponen
proses. Dalam setiap pengembangan model, akan dijumpai parameter-parameter
yang tidak diketahui secara pasti sifatnya atau ada besaran tertentu yang tidak
dapat ditemukan datanya. Oleh sebab itu untuk dapat menyakinkan bahwa model
yang disusun dapat memberikan hasil yang baik, maka harus dilakukan proses
kalibrasi.
Kalibrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik cara manual (trial
and error), otomatik (automatic calibration) atau gabungan antara keduanya.
Kalibrasi manual dilakukan dengan mencoba besaran parameter dalam model agar
dicapai hasil yang baik. Apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan
dikalibrasi, diperlukan ketelitian dalam penentuan parameter yang peka dan besar
pengaruhnya terhadap hasil akhir model. Kalibrasi otomatis sebenarnya sama,

13
hanya perubahan parameternya dilakukan secara otomatis oleh komputer (sesudah
diberikan besaran awalnya) dan kepekaan parameter dilakukan dengan mencari
kombinasi dari semua kemungkinan yang memberikan hasil terbaik. Kalibrasi
gabungan dilakukan dengan menggabungkan kedua cara sebelumnya, misalnya
memberikan besaran-besaran tertentu pada parameter tertentu dan selebihnya
kalibrasi dilakukan secara otomatis.
Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi ini adalah berupa data
debit banjir yang diperoleh dari AWLR (Automatic Water Level Recorder). Yang
akan dicek dengan nilai debit banjir yang dihasilkan oleh perhitungan AVSWATX.
Semakin kecil nilai sebarannya, maka semakin baik kualitas permodelan yang
telah dilakukan.
Penggunaan parameter hasil kalibrasi, merupakan parameter yang layak
dan dapat digunakan sebagai masukan model pada kejadian hujan yang lain,
sehingga akan menghasilkan aliran permukaan (run off).
Untuk mengetahui nilai dari kalibrasi koefisien determinan menggunakan
persamaan Kriteria NASH (KN) yang dirumuskan sebagai berikut :

 2
   Q pi  Qmi  
n

KN  1  i n1  x100% (2.65)



 
Qpi  Qp  
2 

i 1 

dengan :
KN = Koefisien Deterministik Nash
Qpi = Debit Observasi ke i (m3/dt)
Qmi = Debit Model ke i (m3/dt)
Qp = Debit Observasi rata-rata (m3/dt)

Keterangan :

14
o Jika modelnya sempurna, maka nilai (Qpi – Qmi)2 mendekati nol, maka nilai
R2 mendekati 1.
o Jika R2 < 0, model menghasilkan simulasi yang jelek dan jauh berbeda dari
nilai rata-rata Qp.

Apabila dalam tahap ini model menunjukkan hasil yang baik, maka dapat
diharapkan model dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut.

2.5 Penelitian Terdahulu

15
(Halaman Sengaja Dikosongkan)

16

Anda mungkin juga menyukai