Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Dan Latar Belakang Masalah

1. Rumah Sakit HKBP Balige1

Lembaga pekabaran Injil Rheinische Missions Gesselschaft (RMG) di Jerman

mengirimkan para misionaris untuk memberitakan Injil ke tanah Batak. Dalam pekabaran

Injil, para misionaris juga memberikan pelayanan kesehatan. Pada tahun 1898 RMG

mengirimkan dr. Med. Julius Schreiber ke tanah Batak. Hal ini disebabkan karena semakin

bertambahnya orang yang menyerahkan diri kepada para misionaris untuk mendapatkan

kesembuhan penyakit.2 Menurut Beate Jakob, secara umum pada awalnya para misionaris

memberikan pelayanan kesehatan sebagai upaya perlindungan kepada para misionaris dan

rekan-rekan sekerjanya. Akan tetapi, pelayanan kesehatan tersebut perlahan-lahan menjadi

semakin penting bagi masyarakat setempat.3 Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para

misionaris dapat dikatakan berhasil, sehingga orang Batak lambat laun meninggalkan

keahlian para dukun dan beralih kepada keahlian para misionaris.

1
Terletak di jalan Gereja No 17 Balige-Kabupaten Toba Samosir
2
J. R. Hutauruk (penyusun), Tuhan Menyertai UmatNya. 125 Tahun Jubileum HKBP, Sejarah HKBP,
(Tarutung: Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung, 1986), p. 166. Dr. J. Sihombing, Sejarah Ni Huria Kristen
Batak Protestan (Pearaja Tarutung: tp, 1961), p. 104. Dr. Med.Julius Schreiber merupakan anak dari misionar
Dr. Schreiber.
3
Christoper Benn, “Konsep-konsep Bagi Lembaga Pelayanan Kesehatan Yang Terkait Dengan Gereja Di Abad
XXI”, dalam Beate Jakob dkk (ed), Penyembuhan Yang Mengutuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 90.
Ada beberapa motivasi melatarbelakangi keterlibatan orang Kristen dalam pelayanan pemeliharaan kesehatan:
pertama, menganggap lembaga pemeliharaan kesehatan mampu mengenalkan banyak orang kepada Injil.
Efektifitas metode penyembuhan menunjang kredibilitas pernyataan sabda Allah. Kedua, penyembuhan orang
sakit dipandang sebagai bentuk pelayanan dan komitmen pribadi untuk menolong mereka yang membutuhkan.
Ketiga, menirukan tindakan Kristus.
1
Pada tanggal 2 Juni 1900, para misionaris mendirikan sebuah rumah sakit di Pearaja-

Tarutung.4 Oleh karena semakin banyaknya jumlah orang sakit pada saat itu, maka

didirikanlah rumah sakit penolong di Gereja Ressort (Gereja Induk) antara lain di Butar,

Balige, Sitorang, Dolok Sanggul, Barus, Pangaribuan dan lain lain dan dua belas Balai

Pengobatan. Pada tahun 1928 RMG mendirikan rumah sakit yang kedua di Balige. Demikian

juga Lutheran World Federation (LWF) mendirikan rumah sakit “Bethesda” di Saribu

Dolok-Simalungun.

Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pekabaran Injil dan para misionaris

selalu datang berkhotbah ke rumah sakit. Banyak orang sakit yang mendengarkan Injil untuk

pertama kalinya ketika mereka berobat ke rumah sakit.5 Perkembangan pelayanan kesehatan

semakin meningkat, dimana sampai tahun 1940 HKBP telah memiliki dua rumah sakit besar,

empat belas rumah sakit penolong dan dua belas poliklinik.

Perang Dunia I memberi dampak besar kepada RS HKBP. Semua fasilitas kesehatan

yang dimiliki HKBP dikuasai oleh Belanda. Kemudian pada bulan Maret 1942 RS HKBP

diambil-alih oleh bangsa Jepang dari tangan Belanda. Setelah kemerdekaan RI, RS HKBP

diambil alih pemerintah Republik Indonesia yang kemudian diserahkan kembali kepada

HKBP. Namun ketika penyerahan kembali, pemerintah hanya menyerahkan RS HKBP

Balige saja kepada HKBP karena ketidaksanggupan HKBP dalam pengelolaan.

Pada saat ini pelayanan kesehatan HKBP dikonsentrasi pada RS HKBP Balige yang

berkelas type Madya atau rumah sakit tipe C. Rumah sakit yang mempunyai motto

‘Kenyamanan dan Kepuasan Anda adalah Dambaan Kami’ mempunyai 172 tempat tidur.

Sebagai rumah sakit tipe Madya, RS HKBP melayani empat penyakit spesialis dasar seperti

bagian bedah, penyakit dalam, kebidanan dan kandungan dan bagian anak. Adapun visi RS
4
Paul Bodholdt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Perkembagan Gereja-Gereja Batak di Sumatera
Utara ,( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), p. 83.
5
Sihombing, Sejarah Ni Huria Kristen Batak Protestan, p. 105.
2
HKBP adalah: memberikan pelayanan kesehatan berlandaskan kasih Kristus agar menjadi

Rumah Sakit Pilihan. Misi RS HKBP adalah pertama, melaksanakan pelayanan holistik bagi

pasien/masyarakat secara utuh sehat jasmani dan rohani. Kedua, memberikan pelayanan

terbaik, mendidik tenaga profesional yang handal melalui teknologi kedokteran dan

keperawatan yang berdaya guna. Ketiga, mewujudkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat

melalui pelayanan kesehatan sebagai wujud dari cinta kasih, khususnya kepada masyarakat

Kristen dan masyarakat global pada umumnya.6 Sumber daya manusia yang melayani di RS

HKBP hingga saat ini meliputi 14 dokter, berupa tenaga tetap ataupun kontrak, 109 tenaga

medis, 1 orang pendeta, 5 orang diakones, dan 58 orang pegawai non medis yang bukan

tahbisan. Kunjungan pasien tahun 2002 s.d bulan Juni 2003 rata-rata 70 orang per hari dan

rawat inap saat ini 45-50 orang per hari, serta sekitar 30% Bed Occupation Rate (BOR).

Jumlah ini memang sangat rendah, oleh sebab itu target BOR ideal yang hendak dicapai saat

ini adalah 60%.

Pada awalnya RS HKBP hanya membebankan sedikit biaya pengobatan dan

perawatan kepada pasien karena adanya bantuan dari RMG, LWF dan persembahan tahunan

jemaat (mulai tahun 1951). Saat ini sumbangan dari donatur telah jauh berkurang sehingga

RS HKBP melakukan upaya kemandirian daya dan dana yang dikoordinasi oleh kantor pusat

HKBP.7 Upaya kemandirian ini dilakukan sebagai rasa tanggungjawab yang penuh dari

HKBP dalam pelayanan berkelanjutan. Namun pengamatan sementara penulis, upaya

kemandirian ini mendapat tantangan, karena pertama, besarnya tanggungan keuangan untuk

pemeliharaan RS HKBP, sementara dana sangat terbatas. Kedua, persaingan yang ketat

dengan rumah sakit lain, ditambah lagi dengan berdirinya puskesmas-puskesmas desa

sehingga mempengaruhi kuantitas pasien yang berobat ke RS HKBP. Hal ini mengakibatkan

6
Buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga RS HKBP Balige.
7
Buku Panduan Keuangan RS Balige.
3
berkurangnya pemasukan dana dari pasien. Ketiga, tuntutan kualitas pelayanan dari

masyarakat. Menurut penulis, ketiga hal ini menjadi ancaman dalam upaya kemandirian.

Demi terwujudnya pelayanan berkelanjutan, maka RS HKBP melakukan komersialisasi8 atau

bisnis rumah sakit. Penerapan komersialisasi rumah sakit menunjukkan adanya perubahan

kebijakan dalam pengelolaan RS HKBP yaitu dari pelayanan yang bersifat karitatif menjadi

komersialisasi. Perubahan sistem pengelolaan ini menimbulkan pertanyaan dari kaca mata

teologi: apakah perubahan sistem pengelolaan tersebut disertai oleh dasar teologi tertentu

atau oleh karena dorongan faktor ekonomi semata.

2. Penatalayanan HKBP Dalam Bisnis

HKBP memang belum memiliki rumusan secara tertulis tentang teologi bisnis.

Namun demikian bukan berarti HKBP tidak memiliki pandangan tentang bisnis. Oleh karena

itu penulis mencoba meneliti wacana yang berkembang tentang bisnis di HKBP.

Berdasarkan wacana tersebut akan diketahui apa dan bagaimana pemahaman HKBP tentang

bisnis. Untuk lebih fokusnya, penulis akan meneliti dimensi bisnis dalam pengelolaan RS

HKBP. Namun sebelum meneliti RS HKBP, penting kiranya kita mengetahui corak awal

teologi HKBP yang dipengaruhi oleh teologi para misionaris.

Para misionaris dalam pelayanannya sangat menekankan corak kesalehan. Hal ini

terlihat dalam ‘tata ibadah Rumah Tangga”. Peraturan Jemaat ditetapkan dengan tujuan

“mengkristenkan” tatanan kehidupan orang Batak, termasuk tata susilanya seperti tentang

9
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991),
p. 757. Komersialisasi yang dimaksud disini adalah tindakan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan atau
utamanya membuat serta melakukan sesuatu untuk dijual atau menguntungkan. bnd Jean L. Mekechnie (ed),
Webster’s New Universal Unabridged Dictionanary (USA: The World Publishing Co, Willian Collins, 1972,
p. 364.
4
perkawinan, hak waris dan bagaimana mengatur hubungan dengan orang kafir.9 Pada tahun

1867, para kepala Kristen membuat undang-undang “hukum sipil untuk orang Kristen”.

Pemberlakuan hukum sipil ini menunjukkan maksud Gereja untuk memisahkan antara

“urusan agama” dan urusan duniawi”. Nommensen selaku pimpinan Gereja tidak bersedia

menjadi “raja” yang mengemban tugas yang bersifat duniawi, melainkan hanya bersedia

sebagai “guru” semata.10 Padahal budaya Batak tidak memberikan pemisahan antara yang

duniawi dan rohani. Para zendeling menganut ajaran “Dua Kerajaan” dari tradisi Lutheran,

yang membedakan lingkungan rohani dan duniawi.11 Lingkungan rohani dikelola oleh

Gereja sedangkan lingkungan duniawi diurus oleh pemerintah.

Pada perkembangan selanjutnya, suatu hal yang menggembirakan dimana menjelang

Jubileum 100 tahun HKBP, Sekretaris Jendral HKBP Ds T.S. Sihombing mempersiapkan

rencana program kerja 10 tahun HKBP (1961-1971). Program kerja tersebut merupakan

masukan dari para cendekiawan dan pengusaha-pengusaha HKBP. Menurut J. R. Hutauruk

dalam program kerja tersebut tercermin tujuan pelayanan HKBP yang ingin membangun

kehidupan anggota jemaatnya secara menyeluruh yaitu rohani dan jasmani. Kesatuan

jasmani dan rohani perlu ditekankan demi menghilangkan pemikiran lama yang

mempertentangkan rohani dan jasmani. Pada saat itu, pemikiran agar sumber pendapatan

anggota jemaat dapat dibantu oleh Gereja dianggap terlampau duniawi dan bukan tugas

Gereja. Dalam program tersebut tercermin kesatuan antara yang jasmani dan rohani dalam

pelayanan Gereja. Adapun motto program kerja tersebut adalah sebab “membangun Gereja

berarti membangun masyarakat”. Menurut J. R. Hutauruk seolah-olah rencana tersebut turut

menyakini rumusan ini: “penatalayanan tidak hanya bersangkut paut dengan

tanggungjawab untuk memberi (giving) atau menggunakan harta milik saja, melainkan
9
J. R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), p. 52-53.
10
Ibid., p. 54.
11
Ibid., p. 55.
5
berkenan juga dengan tanggungjawab untuk menghasilkan atau memperoleh harta milik itu.

Kita semata-mata tidak menerima segala sesuatu, tetapi juga mengusahakannya”.12 Artinya,

dengan rencana program kerja 10 tahun HKBP, terlihat bahwa penatalayanan Kristen tidak

lagi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan begitu saja kepada hidup orang Kristen.

Hal itu disebabkan oleh tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk memperbesar sumber

pemasukan HKBP. Penatalayanan itu merupakan bagian yang harus ada dan akan tampak

dalam kehidupan jemaat sebagai “buah kepercayaan orang Kristen”. Pemahaman baru itu

melahirkan program-program baru dalam pelayanan HKBP. Hal itu dapat dilihat ketika pada

tahun 1962, HKBP memprogramkan pendirian Bank Sentral HKBP, dimana uang HKBP

akan disimpan didalamnya dan akan dikelola sendiri. Namun usaha ini gagal dilaksanakan

karena Badan CORIA13 yang sebagai teman sekerja HKBP dalam mencari sumber dana dan

tenaga bagi HKBP tidak menyetujuinya. Belum jelas kenapa ada penolakan ini, namun

pembatalan ini menunjukkan pertama kuatnya intervensi dari luar HKBP yang tidak

menyetujui keterlibatan HKBP dalam bisnis. Kedua, identitas HKBP ditantang secara

teologis untuk menegaskan keterpanggilannya dalam penatalayanan bisnis.

Harus diakui bahwa wacana seputar bisnis sangat jarang dibicarakan oleh para tokoh

HKBP. Demikian halnya khotbah-khotbah para pendeta dan penatua Gereja sangat jarang

mengkhotbahkan tentang bisnis. Seminar-seminar tentang bisnis di HKBP belum menjadi

tema yang hangat. Walaupun demikian, pengelolaan RS HKBP sudah mengarah kepada

praktek bisnis. Berdasarkan praktek tersebut, penulis mempertanyakan bagaimanakah

praktek bisnis dapat diterapkan secara benar. Untuk mengetahui hal itu, pada bagian berikut

ini penulis akan memaparkan sekilas tentang pandangan Gereja terhadap bisnis dan

keterlibatannya.
12
Hutauruk, Tuhan Menyertai UmatNya. 125 Tahun Jubileum HKBP, Sejarah HKBP, p. 96-97.
13
CORIA (Commision Reconstruction & Interchurch Aid of HKBP) adalah lembaga yang bertugas mengelola
dana bantuan dari LWF untuk pelayanan HKBP.
6
3. Pelayanan Gereja Dalam Bisnis

Menurut Eka Darmaputera, dikalangan Protestan berkembang pemikiran bahwa kita

mesti sama-sama menaruh perhatian serta peduli baik terhadap dimensi kehidupan yang

bersifat material maupun spiritual, yang sosial maupun yang individual.14 Perkembangan

kapitalisme membuat Gereja sadar akan ketertinggalannya. Oleh karena itu diadakan

konferensi gereja-gereja pada tahun 1925 di Stockholm tentang hidup dan kerja. Gereja-

gereja ini kemudian menjadi embrio pendiri Dewan Gereja Sedunia. Secara khusus tentang

hak milik, konferensi itu menyatakan bahwa keuntungan perusahaan harus dimanfaatkan

untuk pelayanan masyarakat. Milik harus dipandang sebagai penatalayanan dan

dipertanggungjawabkan kepada Allah.15 Selanjutnya pada konferensi deklarasi tentang Iman

Kristen dan Ekonomi di Oxford pada tanggal 4-9 Januari 1990 yang dikenal dengan

Deklarasi Oxford.16 Dalam deklarasi itu dikatakan bahwa Tuhan mempercayakan bumi ini

ditata dan dipelihara manusia. Materialisme, ketidakadilan, pemerkosaan secara fundamental

bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Memang secara eksplisit dikatakan bahwa Tuhan

memberikan segala sesuatu untuk dinikmati (1 Tim 6:17). Produksi tidak hanya penting

untuk memelihara hidup tetapi membuat hasil produksi itu dapat dinikmati dan

dipertimbangkan kepada generasi berikutnya serta mendistribusikan kekayaan dan

pendapatan secara adil.17

14
Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua, Bisnis, ekonomi dan Penatalayanan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), p. 88.
15
Ibid., p. 90.
16
Deklarasi Oxford dihasilkan dari konferensi di Oxford yang dilaksanakan pada tanggal 4-9 Januari 1990 yang
diikuti oleh 100 pemimpin Gereja Injili dari berbagai benua yang memiliki ideologi yang berbeda, diikuti oleh
banker, teolog-teolog, ahli ekonomi, ahli etika, pelaku bisnis dan praktisi-praktisi lain.
17
Herbert Dchlossberg ,V. Samuel dan R. J. Sider “The Oxford Declaration on Christian Faith and Economics”
dalam Christianity and Economics in the Post-Cold War Era (Grand Rapids Michigan: William B. Eerdmans
Publishing , 1994), p. 14-15.
7
Pemikiran-pemikiran di atas menjadi pergumulan bagi keterlibatan orang Kristen

dalam bisnis. Oleh karena itu perlu landasan teologis untuk mempertimbangkan kebijakan-

kebijakan penatalayanan kesehatan. Untuk mematangkan pemikiran tentang penatalayanan

bisnis, penulis perlu memaparkan sepintas tentang permasalahan bisnis pada bagian berikut .

4. Seputar Masalah Bisnis

Masalah bisnis atau komersialisasi ternyata memiliki persoalan tersendiri. Orang

cenderung melihat bisnis sebagai usaha yang kotor, sehingga bisnis dianggap bukan sebagai

profesi yang luhur. Apakah memang demikian esensi bisnis? Sonny Keraf membagi

pandangan tentang bisnis dalam dua bagian yaitu pandangan praktis-realistis dan idealis.

Pandangan praktis-realistis melihat bisnis sebagai usaha kegiatan di antara manusia yang

menyangkut: memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh

keuntungan semata.18 Dalam usaha mencari keuntungan semata, para pengusaha cenderung

menghalalkan segala cara, mengesampingkan nilai kejujuran, keadilan dan kebersamaan.

Berdasarkan pandangan praktis-realistis, orang menjadi antipati terhadap bisnis.

Dalam praktek bisnis terkadang perusahaan atau pengusaha tidak segan-segan melakukan

kecurangan, pemalsuan, manipulasi data perusahaan, eksploitasi karyawan, pencemaran

lingkungan dan lain-lain. Itulah sebabnya, akibat praktek yang demikian membuat sebagian

orang melihat bisnis itu sebagai immoral atau melihatnya sebagai amoral artinya moral dan

bisnis merupakan dua dunia yang sangat berbeda dan keduanya tidak dapat

dicampuradukkan. Para pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas

18
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), p. 48. Dalam
pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan utama bisnis, bahkan tujuan satu-satunya adalah mencari
keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan profit-making. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan
kegiatan sosial.
8
tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi saja, begitu terjun dalam dunia bisnis mereka

akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri.

Orang yang berpandangan praktis-realistis tentu menolak jika rumah sakit Gereja

dikomersialisasikan. Tetapi orang akan setuju terhadap komersialisasi rumah sakit, jika

menganut pandangan idealis. Berdasarkan pandangan idealis, maka bisnis akan terlihat

sangat positif. Bisnis tidak dipandang sebagai mencari keuntungan semata, karena bisnis

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. Misi bisnis adalah untuk

meningkatkan standar hidup manusia, menyejahterakan masyarakat dan membuat hidup

manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka. Keuntungan adalah simbol

kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang dilakukan.19 Jadi pandangan idealis lebih

bersifat sosial dan memiliki nilai moral, karena ia memperhatikan kepentingan masyarakat.

Pandangan idealis sejajar dengan panggilan Gereja dalam pelayanannya. Pandangan ini juga

merupakan harapan dari visi dan misi RS HKBP Balige.

5. Dilema Komersialisasi Rumah Sakit

Dalam praktek bisnis, pandangan idealis ini sangat sulit diterapkan. Hal ini

disebabkan oleh pertama, adanya kepentingan yang berbeda dari setiap stakeholders (yang

berkepentingan) dan kedua, adanya keterbatasan manusia dan keterbatasan sumber untuk

pemenuhan kebutuhan dan pengelolaan. Banyak ahli yang menolak atau mengkritisi jika

rumah sakit dikomersialisasikan atau memakai strategi ‘profit-making’. K. Bertens

mengatakan jika pelayanan medis diperlakukan sebagai faktor ekonomi semata, ada banyak

orang yang dirugikan, akan terjadi ketidakadilan terutama pada mereka yang tidak bisa

19
Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, p. 50.
9
berperan dalam panggung ekonomi.20 Biaya investasi yang besar untuk peralatan medis

membuat terjadinya eksploitasi atas dasar komersial. Tendensi komersialisasi pelayanan

kesehatan terang-terangan diarahkan kepada kelompok yang berduit. Akibatnya mereka yang

kurang mampu semakin disingkirkan dari jangkauan medis.21 Tidak hanya itu, Brock dan

Allen menambahkan bahwa strategi bisnis dengan profit-making akan merusak hubungan

antara dokter dan pasien, terciptanya konflik kepentingan yang akan mengurangi kualitas

perawatan dan mengurangi kepercayaan pasien kepada para tenaga medis dan kepercayaan

publik kepada profesi medis.22

Di samping itu menurut Brock, berkembangnya rumah sakit profit-making akan

memberi dampak buruk terhadap rumah sakit non-profit karena rumah sakit profit-making

bekerja di wilayah yang lebih makmur sehingga menyisakan sedikit proporsi pasien yang

mampu bayar untuk berobat di rumah sakit non-profit.23 Hal itu berakibat, sulitnya rumah

sakit non-profit untuk melakukan subsidi silang dari pasien yang mampu bayar kepada

pasien yang kurang mampu.

Edmund D. Pellegrino berpendapat bahwa rumah sakit dan para medis menghadapi

permasalahan baru ketika terjadi persaingan antar rumah sakit dan pencarian dana.

Persaingan antar rumah sakit membuat fokus tugas rumah sakit berpindah dari perawatan

kesehatan menjadi pencarian keuntungan (profit-making) dan terjadinya dominasi pasar.24

Hal ini menyebabkan semakin tidak diperhatikannya orang-orang yang kurang mampu dan

orang miskin oleh rumah sakit. Oleh karena itu Pellegrino menganjurkan agar rumah sakit

20
K. Bertens, “Pelayanan Kesehatan Dan Bisnis: Kombinasi Penuh Resiko” dalam Beate Jakob dkk (ed),
Penyembuhan Yang Mengutuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 27
21
Ibid., p. 29.
22
Dan W. Brock dan Allen E. Buchanan, “The Profit Motive In Medicine”, dalam The Journal of Medicine
and Philosophy Vol 12 (Dordrecht, Boston: D.Reidel Publishing Company: 1987), p. 3.
23
Ibid., p. 4.
24
Edmund D. Pellegrino, “Competion: New Moral Dilemas for for Physicians, Hospital”, dalam Stephen E.
Lammers (ed.), On Moral Medicine, Theological Persfectives in Medical Ethics (Grand Rapids, Michigan:
William B.Eerdmans Publishing, Co., 1987), p. 650.
10
Gereja tetap konsisten berpihak kepada orang lemah. Ia mengajak warga Katolik untuk

berbagi tanggungjawab terhadap tekanan ekonomi dan mau berkorban untuk orang lemah.

Tenaga medis dituntut untuk melakukan diagnosis yang rasional untuk pengiritan

biaya pengobatan. Tenaga medis seharusnya tidak menjadi agen keuangan. Jika seorang

dokter menjadi pengusaha maka sulit baginya untuk memisahkan kepentingan diri sendiri

dan kepentingan pasien. Tenaga medis seharusnya tidak bergumul pada pemasaran, harga

dan persaingan. Biarlah mereka berkonsentrasi pada pengobatan orang sakit.25 Singkat kata,

Pellegrino kurang menyetujui terjadinya persaingan rumah sakit karena hal ini menyebabkan

pasien menderita dan berkurangnya kualitas layanan. Oleh karena itu dalam pelayanan

kesehataan Pellegrino menganjurkan Gereja untuk meneruskan misinya dalam masyarakat

pluralis dengan memberikan pengobatan berdasarkan nilai spiritual dan moral. Jemaat harus

mencari jalan untuk memelihara partisipasi agama dalam kehidupan rumah sakit pada semua

level.26 Kekuatiran Pellegrino terhadap persaingan rumah sakit patut dipertimbangkan. Akan

tetapi pertanyaan penulis saat ini adalah: apakah persaingan rumah sakit dapat dielakkan?

Jika tidak dapat dielakkan, bagaimanakah RS Gereja menghadapi persaingan itu?

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk pengalokasian dana yaitu dengan

pertimbangan keadilan dan efektifitas biaya. Namun bagi Allen Verhey, itu semua tidak

menghilangkan tragedi atau permasalahan. Kelangkaan persediaan dana menandakan

keterbatasan kita. Menurut Verhey, tragedi dapat diatasi dengan kesalehan, tidak dengan

pengobatan dan teknologi semata.27 Untuk menang atas kematian perlu kemenangan ilahi.

Namun walaupun demikian para medis harus tetap memberikan pelayanan yang terendah

kepada pasien, karena hal itu lebih adil dan lebih mungkin dilakukan. Bagi Verhey ada

25
Edmund D. Pellegrino, “Competion: New Moral Dilemmas for Physicians, Hospital”, p. 651.
26
Ibid...p. 652.
27
Allen Verhey, “Sanctity and Scarcity: The Making of Tragedy” dalam Stephen E. Lammers (ed.), On Moral
Medicine, Theological Persfectives in Medical Ethics (Grand Rapids: Michigan William B. Eerdmans
Publishing, Co., 1987), p. 654.
11
beberapa kebajikan yang harus dipelihara oleh pelayanan pengobatan yaitu pertama,

sensitifitas terhadap ekonomi. Dalam hal ini tenaga medis harus memiliki ‘kesadaran

biaya’.28 Artinya perlu mengetahui pentingnya uang dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Kedua, menerima keberadaan yang sebenarnya bahwa kita memiliki keterbatasan.

Keterbatasan ini mencakup keterbatasan daya dan dana. Sikap ini merupakan sikap

kerendahan hati. Kerendahan hati mengakibatkan timbulnya kebajikan yang ketiga yaitu

sikap peduli. Kepedulian menunjukkan tanggungjawab. Kesemua sikap tersebut merupakan

sikap kesalehan. Dengan kesalehan, kita dapat memelihara dan menyokong keberadaan akan

keterbatasan kita dan bersyukur atas kesempatan-kesempatan di antara keterbatasan kita.

Kita harus menghormati dan peduli terhadap kekudusan manusia dan harapan pengampunan

Tuhan di tengah moral yang ambigu.29 Setiap keputusan dalam distribusi dan alokasi

menunjukkan suatu karakter, identitas dan kebajikan pelayanan kesehatan.

Verhey tampaknya sangat terbuka dan jujur terhadap situasi dan keadaan yang

terjadi. Sehingga ia mengajak perlunya nilai kesalehan dalam pelayanan kesehatan. Upaya-

upaya yang dilakukan dalam alokasi dan distribusi dana kesehatan tidaklah menyelesaikan

tragedi, tetapi tetap meninggalkan tragedi. Namun nilai kesalehan kiranya dapat mengatasi

dilema-dilema yang terjadi. Oleh karena itu semua pihak yang terkait dengan bisnis harus

mencari kesepakatan untuk mencari solusi yang baik. Secara khusus dilema ini sangat

dirasakan oleh rumah sakit Gereja. Pada satu sisi Gereja dalam pelayanan holistik kesehatan,

dituntut untuk tetap setia memberikan pelayanan kesehatan secara adil kepada semua orang,

terlebih kepada orang yang dipinggirkan. Namun pada sisi lain usaha pelayanan itu dibatasi

oleh keterbatasan dana dalam memberikan pengobatan. Disinilah dilemanya yaitu

keterbatasan dana dalam memenuhi kebutuhan kesehatan yang banyak. Oleh karena itu

28
Allen Verhey, “Sanctity and Scarcity: The Making of Tragedy”, p. 656.
29
Ibid., p. 657.
12
rumah sakit Gereja harus menentukan kebijakan-kebijakan yang dapat menjembatani antara

pelayanan sebagai keharusan dan keterbatasan dana sebagai keberadaan. Mungkinkankah

komersialisasi rumah sakit dapat mengatasi persoalan tersebut?

B. Rumusan Masalah

Rumah sakit Gereja mengalami dilema saat ini. Pada satu sisi rumah sakit Gereja

dituntut dalam tugasnya sebagai alat Tuhan untuk tetap setia melaksanakan pelayanan

kesehatannya secara adil kepada semua orang. Namun pada sisi lain rumah sakit Gereja

berhadapan dengan keterbatasan dana. Persoalan ini membuat Gereja melakukan kebijakan-

kebijakan baru dalam pengelolaan. RS HKBP saat ini telah melakukan komersialisasi.

Rumah sakit Gereja yang semula pengelolaannya bersifat karitatif, namun saat ini harus

menerapkan strategi bisnis demi mengatasi persoalan antara keterbatasan dana dan tuntutan

pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan perubahan tersebut, penulis ingin meneliti lebih

dalam tentang faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pengelolaan RS HKBP dan

mempertanyakan dasar teologis dari perubahan tersebut. Kemudian memperhadapkannya

dengan tujuan RS HKBP, apakah dasar teologis dan komersialisasi tersebut mampu

memenuhi visi dan misi RS HKBP. Untuk lebih singkatnya penulis memformulasikan

pertanyaan yang menjadi masalah dalam tesis ini:

1. Apakah dasar teologis bagi perubahan sistem pengelolaan pelayanan RS HKBP dari

sistem karitatif menjadi sistem komersialisasi?

2. Bagaimanakah perubahan pengelolaan itu dapat mengatasi persoalan antara

keterbatasan dana dan tuntutan pelayanan kesehatan RS HKBP?

13
3. Apakah dasar teologis dan sistem komersialisasi rumah sakit tersebut bisa sesuai dengan

visi dan misi rumah sakit?

C. Hipotesis

Berangkat dari pertanyaan di atas maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Sistem pengelolaan RS HKBP saat ini masih lebih bersifat pragmatis dan belum

memiliki landasan teologis yang jelas.

2. Sistem pengelolaan RS HKBP belum sesuai dengan visi dan misi rumah sakit.

D. Judul Tesis

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka judul tesis ini adalah :

Dimensi Bisnis Dalam Pelayanan Rumah Sakit HKBP Balige

E. Metode Penelitian

Untuk mengungkapkan hipotesis dari pemahaman bisnis HKBP, penulis berangkat dari

pengalaman empiris pelayanan kesehatan HKBP. Untuk pembuktian hipotesis ini, penulis

menggunakan dua tahapan metode penelitian:

Pertama

Pengumpulan data-data RS HKBP Balige dan perkembangannya hingga saat ini. Kemudian

melakukan wawancara dengan pengelola rumah sakit dan beberapa tokoh HKBP yang

memutuskan kebijakan rumah sakit. Berdasarkan data dan wawancara akan diketahui visi

14
dan misi serta sistem bisnis yang dilaksanakan oleh RS HKBP Balige serta strategi

pengelolaan yang dilaksanakan pada saat ini.

Kedua

Penelitian literatur, tafsir dan analisis penulis terhadap berbagai sumber yang ada

menyangkut etika bisnis atau teologi bisnis melalui buku-buku dan artikel. Penulis juga akan

menyorot berbagai pendapat tentang kolaborasi bisnis dan medis.

F. Sistematika Penulisan

Dalam rangka pemaparan penelitian ini, penulis mencoba membuat sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, hipotesis, tujuan

penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Rumah Sakit Gereja: Pelayanan Kesehatan dan Bisnis

Memaparkan sejarah perkembangan pelayanan pengobatan mulai zaman purba

hingga saat ini. Dalam catatan sejarah, pelayanan kesehatan yang dilakukan Gereja ikut

mempengaruhi pelayanan pengobatan. Namun pada akhirnya pelayanan Gereja dipengaruhi

oleh faktor ekonomi, politik dan budaya yang berkembang. Faktor-faktor tersebut membuat

rumah sakit melaksanakan bisnis rumah sakit. Dalam tulisan ini penulis akan mendiskusikan

wacana yang berkembang seputar permasalahan rumah sakit dalam keterbatasan dana dan

tuntutan pelayanannya.

15
Bab III : Rumah Sakit HKBP Dalam Pergulatan

Pada bagian ini akan dipaparkan fakta empiris sistem pelayanan kesehatan RS HKBP

dan bagaimana strategi pengelolaan RS HKBP dari mulanya hingga saat ini. Sekaligus akan

dilakukan analisa teologis terhadap pelayanan RS HKBP. Pendapat para tokoh HKBP

tentang permasalahan RS HKBP juga akan dipaparkan pada bagian ini.

Bab IV : Etika Perjanjian Dalam Pelayanan Rumah Sakit

Secara thematis, penulis akan mengulas teologi perjanjian untuk menyorot

pengelolaan pelayanan kesehatan. Teologi perjanjian dapat dijadikan landasan etis dalam

penerapan bisnis rumah sakit. Dalam etika perjanjian, semua pihak diajak untuk

mengutamakan kepentingan orang lain. Etika perjanjian diharapkan dapat mengatasi

keterbatasan dana dan terjadinya pelayanan berkelanjutan

Bab V : Kesimpulan

Kesimpulan akhir dari penulisan tesis.

16

Anda mungkin juga menyukai