Intro PDF
Intro PDF
PENDAHULUAN
mengirimkan para misionaris untuk memberitakan Injil ke tanah Batak. Dalam pekabaran
Injil, para misionaris juga memberikan pelayanan kesehatan. Pada tahun 1898 RMG
mengirimkan dr. Med. Julius Schreiber ke tanah Batak. Hal ini disebabkan karena semakin
bertambahnya orang yang menyerahkan diri kepada para misionaris untuk mendapatkan
kesembuhan penyakit.2 Menurut Beate Jakob, secara umum pada awalnya para misionaris
memberikan pelayanan kesehatan sebagai upaya perlindungan kepada para misionaris dan
semakin penting bagi masyarakat setempat.3 Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para
misionaris dapat dikatakan berhasil, sehingga orang Batak lambat laun meninggalkan
1
Terletak di jalan Gereja No 17 Balige-Kabupaten Toba Samosir
2
J. R. Hutauruk (penyusun), Tuhan Menyertai UmatNya. 125 Tahun Jubileum HKBP, Sejarah HKBP,
(Tarutung: Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung, 1986), p. 166. Dr. J. Sihombing, Sejarah Ni Huria Kristen
Batak Protestan (Pearaja Tarutung: tp, 1961), p. 104. Dr. Med.Julius Schreiber merupakan anak dari misionar
Dr. Schreiber.
3
Christoper Benn, “Konsep-konsep Bagi Lembaga Pelayanan Kesehatan Yang Terkait Dengan Gereja Di Abad
XXI”, dalam Beate Jakob dkk (ed), Penyembuhan Yang Mengutuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 90.
Ada beberapa motivasi melatarbelakangi keterlibatan orang Kristen dalam pelayanan pemeliharaan kesehatan:
pertama, menganggap lembaga pemeliharaan kesehatan mampu mengenalkan banyak orang kepada Injil.
Efektifitas metode penyembuhan menunjang kredibilitas pernyataan sabda Allah. Kedua, penyembuhan orang
sakit dipandang sebagai bentuk pelayanan dan komitmen pribadi untuk menolong mereka yang membutuhkan.
Ketiga, menirukan tindakan Kristus.
1
Pada tanggal 2 Juni 1900, para misionaris mendirikan sebuah rumah sakit di Pearaja-
Tarutung.4 Oleh karena semakin banyaknya jumlah orang sakit pada saat itu, maka
didirikanlah rumah sakit penolong di Gereja Ressort (Gereja Induk) antara lain di Butar,
Balige, Sitorang, Dolok Sanggul, Barus, Pangaribuan dan lain lain dan dua belas Balai
Pengobatan. Pada tahun 1928 RMG mendirikan rumah sakit yang kedua di Balige. Demikian
juga Lutheran World Federation (LWF) mendirikan rumah sakit “Bethesda” di Saribu
Dolok-Simalungun.
Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pekabaran Injil dan para misionaris
selalu datang berkhotbah ke rumah sakit. Banyak orang sakit yang mendengarkan Injil untuk
pertama kalinya ketika mereka berobat ke rumah sakit.5 Perkembangan pelayanan kesehatan
semakin meningkat, dimana sampai tahun 1940 HKBP telah memiliki dua rumah sakit besar,
Perang Dunia I memberi dampak besar kepada RS HKBP. Semua fasilitas kesehatan
yang dimiliki HKBP dikuasai oleh Belanda. Kemudian pada bulan Maret 1942 RS HKBP
diambil-alih oleh bangsa Jepang dari tangan Belanda. Setelah kemerdekaan RI, RS HKBP
diambil alih pemerintah Republik Indonesia yang kemudian diserahkan kembali kepada
Pada saat ini pelayanan kesehatan HKBP dikonsentrasi pada RS HKBP Balige yang
berkelas type Madya atau rumah sakit tipe C. Rumah sakit yang mempunyai motto
‘Kenyamanan dan Kepuasan Anda adalah Dambaan Kami’ mempunyai 172 tempat tidur.
Sebagai rumah sakit tipe Madya, RS HKBP melayani empat penyakit spesialis dasar seperti
bagian bedah, penyakit dalam, kebidanan dan kandungan dan bagian anak. Adapun visi RS
4
Paul Bodholdt Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Perkembagan Gereja-Gereja Batak di Sumatera
Utara ,( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), p. 83.
5
Sihombing, Sejarah Ni Huria Kristen Batak Protestan, p. 105.
2
HKBP adalah: memberikan pelayanan kesehatan berlandaskan kasih Kristus agar menjadi
Rumah Sakit Pilihan. Misi RS HKBP adalah pertama, melaksanakan pelayanan holistik bagi
pasien/masyarakat secara utuh sehat jasmani dan rohani. Kedua, memberikan pelayanan
terbaik, mendidik tenaga profesional yang handal melalui teknologi kedokteran dan
keperawatan yang berdaya guna. Ketiga, mewujudkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat
melalui pelayanan kesehatan sebagai wujud dari cinta kasih, khususnya kepada masyarakat
Kristen dan masyarakat global pada umumnya.6 Sumber daya manusia yang melayani di RS
HKBP hingga saat ini meliputi 14 dokter, berupa tenaga tetap ataupun kontrak, 109 tenaga
medis, 1 orang pendeta, 5 orang diakones, dan 58 orang pegawai non medis yang bukan
tahbisan. Kunjungan pasien tahun 2002 s.d bulan Juni 2003 rata-rata 70 orang per hari dan
rawat inap saat ini 45-50 orang per hari, serta sekitar 30% Bed Occupation Rate (BOR).
Jumlah ini memang sangat rendah, oleh sebab itu target BOR ideal yang hendak dicapai saat
perawatan kepada pasien karena adanya bantuan dari RMG, LWF dan persembahan tahunan
jemaat (mulai tahun 1951). Saat ini sumbangan dari donatur telah jauh berkurang sehingga
RS HKBP melakukan upaya kemandirian daya dan dana yang dikoordinasi oleh kantor pusat
HKBP.7 Upaya kemandirian ini dilakukan sebagai rasa tanggungjawab yang penuh dari
kemandirian ini mendapat tantangan, karena pertama, besarnya tanggungan keuangan untuk
pemeliharaan RS HKBP, sementara dana sangat terbatas. Kedua, persaingan yang ketat
dengan rumah sakit lain, ditambah lagi dengan berdirinya puskesmas-puskesmas desa
sehingga mempengaruhi kuantitas pasien yang berobat ke RS HKBP. Hal ini mengakibatkan
6
Buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga RS HKBP Balige.
7
Buku Panduan Keuangan RS Balige.
3
berkurangnya pemasukan dana dari pasien. Ketiga, tuntutan kualitas pelayanan dari
masyarakat. Menurut penulis, ketiga hal ini menjadi ancaman dalam upaya kemandirian.
bisnis rumah sakit. Penerapan komersialisasi rumah sakit menunjukkan adanya perubahan
kebijakan dalam pengelolaan RS HKBP yaitu dari pelayanan yang bersifat karitatif menjadi
komersialisasi. Perubahan sistem pengelolaan ini menimbulkan pertanyaan dari kaca mata
teologi: apakah perubahan sistem pengelolaan tersebut disertai oleh dasar teologi tertentu
HKBP memang belum memiliki rumusan secara tertulis tentang teologi bisnis.
Namun demikian bukan berarti HKBP tidak memiliki pandangan tentang bisnis. Oleh karena
itu penulis mencoba meneliti wacana yang berkembang tentang bisnis di HKBP.
Berdasarkan wacana tersebut akan diketahui apa dan bagaimana pemahaman HKBP tentang
bisnis. Untuk lebih fokusnya, penulis akan meneliti dimensi bisnis dalam pengelolaan RS
HKBP. Namun sebelum meneliti RS HKBP, penting kiranya kita mengetahui corak awal
Para misionaris dalam pelayanannya sangat menekankan corak kesalehan. Hal ini
terlihat dalam ‘tata ibadah Rumah Tangga”. Peraturan Jemaat ditetapkan dengan tujuan
“mengkristenkan” tatanan kehidupan orang Batak, termasuk tata susilanya seperti tentang
9
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991),
p. 757. Komersialisasi yang dimaksud disini adalah tindakan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan atau
utamanya membuat serta melakukan sesuatu untuk dijual atau menguntungkan. bnd Jean L. Mekechnie (ed),
Webster’s New Universal Unabridged Dictionanary (USA: The World Publishing Co, Willian Collins, 1972,
p. 364.
4
perkawinan, hak waris dan bagaimana mengatur hubungan dengan orang kafir.9 Pada tahun
1867, para kepala Kristen membuat undang-undang “hukum sipil untuk orang Kristen”.
Pemberlakuan hukum sipil ini menunjukkan maksud Gereja untuk memisahkan antara
“urusan agama” dan urusan duniawi”. Nommensen selaku pimpinan Gereja tidak bersedia
menjadi “raja” yang mengemban tugas yang bersifat duniawi, melainkan hanya bersedia
sebagai “guru” semata.10 Padahal budaya Batak tidak memberikan pemisahan antara yang
duniawi dan rohani. Para zendeling menganut ajaran “Dua Kerajaan” dari tradisi Lutheran,
yang membedakan lingkungan rohani dan duniawi.11 Lingkungan rohani dikelola oleh
Jubileum 100 tahun HKBP, Sekretaris Jendral HKBP Ds T.S. Sihombing mempersiapkan
rencana program kerja 10 tahun HKBP (1961-1971). Program kerja tersebut merupakan
dalam program kerja tersebut tercermin tujuan pelayanan HKBP yang ingin membangun
kehidupan anggota jemaatnya secara menyeluruh yaitu rohani dan jasmani. Kesatuan
jasmani dan rohani perlu ditekankan demi menghilangkan pemikiran lama yang
mempertentangkan rohani dan jasmani. Pada saat itu, pemikiran agar sumber pendapatan
anggota jemaat dapat dibantu oleh Gereja dianggap terlampau duniawi dan bukan tugas
Gereja. Dalam program tersebut tercermin kesatuan antara yang jasmani dan rohani dalam
pelayanan Gereja. Adapun motto program kerja tersebut adalah sebab “membangun Gereja
tanggungjawab untuk memberi (giving) atau menggunakan harta milik saja, melainkan
9
J. R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), p. 52-53.
10
Ibid., p. 54.
11
Ibid., p. 55.
5
berkenan juga dengan tanggungjawab untuk menghasilkan atau memperoleh harta milik itu.
Kita semata-mata tidak menerima segala sesuatu, tetapi juga mengusahakannya”.12 Artinya,
dengan rencana program kerja 10 tahun HKBP, terlihat bahwa penatalayanan Kristen tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan begitu saja kepada hidup orang Kristen.
Hal itu disebabkan oleh tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk memperbesar sumber
pemasukan HKBP. Penatalayanan itu merupakan bagian yang harus ada dan akan tampak
dalam kehidupan jemaat sebagai “buah kepercayaan orang Kristen”. Pemahaman baru itu
melahirkan program-program baru dalam pelayanan HKBP. Hal itu dapat dilihat ketika pada
tahun 1962, HKBP memprogramkan pendirian Bank Sentral HKBP, dimana uang HKBP
akan disimpan didalamnya dan akan dikelola sendiri. Namun usaha ini gagal dilaksanakan
karena Badan CORIA13 yang sebagai teman sekerja HKBP dalam mencari sumber dana dan
tenaga bagi HKBP tidak menyetujuinya. Belum jelas kenapa ada penolakan ini, namun
pembatalan ini menunjukkan pertama kuatnya intervensi dari luar HKBP yang tidak
menyetujui keterlibatan HKBP dalam bisnis. Kedua, identitas HKBP ditantang secara
Harus diakui bahwa wacana seputar bisnis sangat jarang dibicarakan oleh para tokoh
HKBP. Demikian halnya khotbah-khotbah para pendeta dan penatua Gereja sangat jarang
tema yang hangat. Walaupun demikian, pengelolaan RS HKBP sudah mengarah kepada
praktek bisnis dapat diterapkan secara benar. Untuk mengetahui hal itu, pada bagian berikut
ini penulis akan memaparkan sekilas tentang pandangan Gereja terhadap bisnis dan
keterlibatannya.
12
Hutauruk, Tuhan Menyertai UmatNya. 125 Tahun Jubileum HKBP, Sejarah HKBP, p. 96-97.
13
CORIA (Commision Reconstruction & Interchurch Aid of HKBP) adalah lembaga yang bertugas mengelola
dana bantuan dari LWF untuk pelayanan HKBP.
6
3. Pelayanan Gereja Dalam Bisnis
mesti sama-sama menaruh perhatian serta peduli baik terhadap dimensi kehidupan yang
bersifat material maupun spiritual, yang sosial maupun yang individual.14 Perkembangan
kapitalisme membuat Gereja sadar akan ketertinggalannya. Oleh karena itu diadakan
konferensi gereja-gereja pada tahun 1925 di Stockholm tentang hidup dan kerja. Gereja-
gereja ini kemudian menjadi embrio pendiri Dewan Gereja Sedunia. Secara khusus tentang
hak milik, konferensi itu menyatakan bahwa keuntungan perusahaan harus dimanfaatkan
Kristen dan Ekonomi di Oxford pada tanggal 4-9 Januari 1990 yang dikenal dengan
Deklarasi Oxford.16 Dalam deklarasi itu dikatakan bahwa Tuhan mempercayakan bumi ini
bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Memang secara eksplisit dikatakan bahwa Tuhan
memberikan segala sesuatu untuk dinikmati (1 Tim 6:17). Produksi tidak hanya penting
untuk memelihara hidup tetapi membuat hasil produksi itu dapat dinikmati dan
14
Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua, Bisnis, ekonomi dan Penatalayanan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), p. 88.
15
Ibid., p. 90.
16
Deklarasi Oxford dihasilkan dari konferensi di Oxford yang dilaksanakan pada tanggal 4-9 Januari 1990 yang
diikuti oleh 100 pemimpin Gereja Injili dari berbagai benua yang memiliki ideologi yang berbeda, diikuti oleh
banker, teolog-teolog, ahli ekonomi, ahli etika, pelaku bisnis dan praktisi-praktisi lain.
17
Herbert Dchlossberg ,V. Samuel dan R. J. Sider “The Oxford Declaration on Christian Faith and Economics”
dalam Christianity and Economics in the Post-Cold War Era (Grand Rapids Michigan: William B. Eerdmans
Publishing , 1994), p. 14-15.
7
Pemikiran-pemikiran di atas menjadi pergumulan bagi keterlibatan orang Kristen
dalam bisnis. Oleh karena itu perlu landasan teologis untuk mempertimbangkan kebijakan-
bisnis, penulis perlu memaparkan sepintas tentang permasalahan bisnis pada bagian berikut .
cenderung melihat bisnis sebagai usaha yang kotor, sehingga bisnis dianggap bukan sebagai
profesi yang luhur. Apakah memang demikian esensi bisnis? Sonny Keraf membagi
pandangan tentang bisnis dalam dua bagian yaitu pandangan praktis-realistis dan idealis.
Pandangan praktis-realistis melihat bisnis sebagai usaha kegiatan di antara manusia yang
menyangkut: memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh
keuntungan semata.18 Dalam usaha mencari keuntungan semata, para pengusaha cenderung
Dalam praktek bisnis terkadang perusahaan atau pengusaha tidak segan-segan melakukan
lingkungan dan lain-lain. Itulah sebabnya, akibat praktek yang demikian membuat sebagian
orang melihat bisnis itu sebagai immoral atau melihatnya sebagai amoral artinya moral dan
bisnis merupakan dua dunia yang sangat berbeda dan keduanya tidak dapat
dicampuradukkan. Para pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas
18
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), p. 48. Dalam
pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan utama bisnis, bahkan tujuan satu-satunya adalah mencari
keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan profit-making. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan
kegiatan sosial.
8
tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi saja, begitu terjun dalam dunia bisnis mereka
Orang yang berpandangan praktis-realistis tentu menolak jika rumah sakit Gereja
dikomersialisasikan. Tetapi orang akan setuju terhadap komersialisasi rumah sakit, jika
menganut pandangan idealis. Berdasarkan pandangan idealis, maka bisnis akan terlihat
sangat positif. Bisnis tidak dipandang sebagai mencari keuntungan semata, karena bisnis
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. Misi bisnis adalah untuk
manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka. Keuntungan adalah simbol
kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang dilakukan.19 Jadi pandangan idealis lebih
bersifat sosial dan memiliki nilai moral, karena ia memperhatikan kepentingan masyarakat.
Pandangan idealis sejajar dengan panggilan Gereja dalam pelayanannya. Pandangan ini juga
Dalam praktek bisnis, pandangan idealis ini sangat sulit diterapkan. Hal ini
disebabkan oleh pertama, adanya kepentingan yang berbeda dari setiap stakeholders (yang
berkepentingan) dan kedua, adanya keterbatasan manusia dan keterbatasan sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dan pengelolaan. Banyak ahli yang menolak atau mengkritisi jika
mengatakan jika pelayanan medis diperlakukan sebagai faktor ekonomi semata, ada banyak
orang yang dirugikan, akan terjadi ketidakadilan terutama pada mereka yang tidak bisa
19
Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, p. 50.
9
berperan dalam panggung ekonomi.20 Biaya investasi yang besar untuk peralatan medis
kesehatan terang-terangan diarahkan kepada kelompok yang berduit. Akibatnya mereka yang
kurang mampu semakin disingkirkan dari jangkauan medis.21 Tidak hanya itu, Brock dan
Allen menambahkan bahwa strategi bisnis dengan profit-making akan merusak hubungan
antara dokter dan pasien, terciptanya konflik kepentingan yang akan mengurangi kualitas
perawatan dan mengurangi kepercayaan pasien kepada para tenaga medis dan kepercayaan
memberi dampak buruk terhadap rumah sakit non-profit karena rumah sakit profit-making
bekerja di wilayah yang lebih makmur sehingga menyisakan sedikit proporsi pasien yang
mampu bayar untuk berobat di rumah sakit non-profit.23 Hal itu berakibat, sulitnya rumah
sakit non-profit untuk melakukan subsidi silang dari pasien yang mampu bayar kepada
Edmund D. Pellegrino berpendapat bahwa rumah sakit dan para medis menghadapi
permasalahan baru ketika terjadi persaingan antar rumah sakit dan pencarian dana.
Persaingan antar rumah sakit membuat fokus tugas rumah sakit berpindah dari perawatan
Hal ini menyebabkan semakin tidak diperhatikannya orang-orang yang kurang mampu dan
orang miskin oleh rumah sakit. Oleh karena itu Pellegrino menganjurkan agar rumah sakit
20
K. Bertens, “Pelayanan Kesehatan Dan Bisnis: Kombinasi Penuh Resiko” dalam Beate Jakob dkk (ed),
Penyembuhan Yang Mengutuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 27
21
Ibid., p. 29.
22
Dan W. Brock dan Allen E. Buchanan, “The Profit Motive In Medicine”, dalam The Journal of Medicine
and Philosophy Vol 12 (Dordrecht, Boston: D.Reidel Publishing Company: 1987), p. 3.
23
Ibid., p. 4.
24
Edmund D. Pellegrino, “Competion: New Moral Dilemas for for Physicians, Hospital”, dalam Stephen E.
Lammers (ed.), On Moral Medicine, Theological Persfectives in Medical Ethics (Grand Rapids, Michigan:
William B.Eerdmans Publishing, Co., 1987), p. 650.
10
Gereja tetap konsisten berpihak kepada orang lemah. Ia mengajak warga Katolik untuk
berbagi tanggungjawab terhadap tekanan ekonomi dan mau berkorban untuk orang lemah.
Tenaga medis dituntut untuk melakukan diagnosis yang rasional untuk pengiritan
biaya pengobatan. Tenaga medis seharusnya tidak menjadi agen keuangan. Jika seorang
dokter menjadi pengusaha maka sulit baginya untuk memisahkan kepentingan diri sendiri
dan kepentingan pasien. Tenaga medis seharusnya tidak bergumul pada pemasaran, harga
dan persaingan. Biarlah mereka berkonsentrasi pada pengobatan orang sakit.25 Singkat kata,
Pellegrino kurang menyetujui terjadinya persaingan rumah sakit karena hal ini menyebabkan
pasien menderita dan berkurangnya kualitas layanan. Oleh karena itu dalam pelayanan
pluralis dengan memberikan pengobatan berdasarkan nilai spiritual dan moral. Jemaat harus
mencari jalan untuk memelihara partisipasi agama dalam kehidupan rumah sakit pada semua
level.26 Kekuatiran Pellegrino terhadap persaingan rumah sakit patut dipertimbangkan. Akan
tetapi pertanyaan penulis saat ini adalah: apakah persaingan rumah sakit dapat dielakkan?
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk pengalokasian dana yaitu dengan
pertimbangan keadilan dan efektifitas biaya. Namun bagi Allen Verhey, itu semua tidak
keterbatasan kita. Menurut Verhey, tragedi dapat diatasi dengan kesalehan, tidak dengan
pengobatan dan teknologi semata.27 Untuk menang atas kematian perlu kemenangan ilahi.
Namun walaupun demikian para medis harus tetap memberikan pelayanan yang terendah
kepada pasien, karena hal itu lebih adil dan lebih mungkin dilakukan. Bagi Verhey ada
25
Edmund D. Pellegrino, “Competion: New Moral Dilemmas for Physicians, Hospital”, p. 651.
26
Ibid...p. 652.
27
Allen Verhey, “Sanctity and Scarcity: The Making of Tragedy” dalam Stephen E. Lammers (ed.), On Moral
Medicine, Theological Persfectives in Medical Ethics (Grand Rapids: Michigan William B. Eerdmans
Publishing, Co., 1987), p. 654.
11
beberapa kebajikan yang harus dipelihara oleh pelayanan pengobatan yaitu pertama,
sensitifitas terhadap ekonomi. Dalam hal ini tenaga medis harus memiliki ‘kesadaran
biaya’.28 Artinya perlu mengetahui pentingnya uang dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Keterbatasan ini mencakup keterbatasan daya dan dana. Sikap ini merupakan sikap
kerendahan hati. Kerendahan hati mengakibatkan timbulnya kebajikan yang ketiga yaitu
sikap kesalehan. Dengan kesalehan, kita dapat memelihara dan menyokong keberadaan akan
Kita harus menghormati dan peduli terhadap kekudusan manusia dan harapan pengampunan
Tuhan di tengah moral yang ambigu.29 Setiap keputusan dalam distribusi dan alokasi
Verhey tampaknya sangat terbuka dan jujur terhadap situasi dan keadaan yang
terjadi. Sehingga ia mengajak perlunya nilai kesalehan dalam pelayanan kesehatan. Upaya-
upaya yang dilakukan dalam alokasi dan distribusi dana kesehatan tidaklah menyelesaikan
tragedi, tetapi tetap meninggalkan tragedi. Namun nilai kesalehan kiranya dapat mengatasi
dilema-dilema yang terjadi. Oleh karena itu semua pihak yang terkait dengan bisnis harus
mencari kesepakatan untuk mencari solusi yang baik. Secara khusus dilema ini sangat
dirasakan oleh rumah sakit Gereja. Pada satu sisi Gereja dalam pelayanan holistik kesehatan,
dituntut untuk tetap setia memberikan pelayanan kesehatan secara adil kepada semua orang,
terlebih kepada orang yang dipinggirkan. Namun pada sisi lain usaha pelayanan itu dibatasi
keterbatasan dana dalam memenuhi kebutuhan kesehatan yang banyak. Oleh karena itu
28
Allen Verhey, “Sanctity and Scarcity: The Making of Tragedy”, p. 656.
29
Ibid., p. 657.
12
rumah sakit Gereja harus menentukan kebijakan-kebijakan yang dapat menjembatani antara
B. Rumusan Masalah
Rumah sakit Gereja mengalami dilema saat ini. Pada satu sisi rumah sakit Gereja
dituntut dalam tugasnya sebagai alat Tuhan untuk tetap setia melaksanakan pelayanan
kesehatannya secara adil kepada semua orang. Namun pada sisi lain rumah sakit Gereja
berhadapan dengan keterbatasan dana. Persoalan ini membuat Gereja melakukan kebijakan-
kebijakan baru dalam pengelolaan. RS HKBP saat ini telah melakukan komersialisasi.
Rumah sakit Gereja yang semula pengelolaannya bersifat karitatif, namun saat ini harus
menerapkan strategi bisnis demi mengatasi persoalan antara keterbatasan dana dan tuntutan
pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan perubahan tersebut, penulis ingin meneliti lebih
dalam tentang faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pengelolaan RS HKBP dan
dengan tujuan RS HKBP, apakah dasar teologis dan komersialisasi tersebut mampu
memenuhi visi dan misi RS HKBP. Untuk lebih singkatnya penulis memformulasikan
1. Apakah dasar teologis bagi perubahan sistem pengelolaan pelayanan RS HKBP dari
13
3. Apakah dasar teologis dan sistem komersialisasi rumah sakit tersebut bisa sesuai dengan
C. Hipotesis
Berangkat dari pertanyaan di atas maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Sistem pengelolaan RS HKBP saat ini masih lebih bersifat pragmatis dan belum
2. Sistem pengelolaan RS HKBP belum sesuai dengan visi dan misi rumah sakit.
D. Judul Tesis
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka judul tesis ini adalah :
E. Metode Penelitian
Untuk mengungkapkan hipotesis dari pemahaman bisnis HKBP, penulis berangkat dari
pengalaman empiris pelayanan kesehatan HKBP. Untuk pembuktian hipotesis ini, penulis
Pertama
Pengumpulan data-data RS HKBP Balige dan perkembangannya hingga saat ini. Kemudian
melakukan wawancara dengan pengelola rumah sakit dan beberapa tokoh HKBP yang
memutuskan kebijakan rumah sakit. Berdasarkan data dan wawancara akan diketahui visi
14
dan misi serta sistem bisnis yang dilaksanakan oleh RS HKBP Balige serta strategi
Kedua
Penelitian literatur, tafsir dan analisis penulis terhadap berbagai sumber yang ada
menyangkut etika bisnis atau teologi bisnis melalui buku-buku dan artikel. Penulis juga akan
F. Sistematika Penulisan
Dalam rangka pemaparan penelitian ini, penulis mencoba membuat sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, hipotesis, tujuan
hingga saat ini. Dalam catatan sejarah, pelayanan kesehatan yang dilakukan Gereja ikut
oleh faktor ekonomi, politik dan budaya yang berkembang. Faktor-faktor tersebut membuat
rumah sakit melaksanakan bisnis rumah sakit. Dalam tulisan ini penulis akan mendiskusikan
wacana yang berkembang seputar permasalahan rumah sakit dalam keterbatasan dana dan
tuntutan pelayanannya.
15
Bab III : Rumah Sakit HKBP Dalam Pergulatan
Pada bagian ini akan dipaparkan fakta empiris sistem pelayanan kesehatan RS HKBP
dan bagaimana strategi pengelolaan RS HKBP dari mulanya hingga saat ini. Sekaligus akan
dilakukan analisa teologis terhadap pelayanan RS HKBP. Pendapat para tokoh HKBP
pengelolaan pelayanan kesehatan. Teologi perjanjian dapat dijadikan landasan etis dalam
penerapan bisnis rumah sakit. Dalam etika perjanjian, semua pihak diajak untuk
Bab V : Kesimpulan
16