Laporan Kasus Bronkopneumonia
Laporan Kasus Bronkopneumonia
Putri Okta Vita Marina Sinaga, Micheel Sarah Ariestha, Dionisius Iman Saputra Hia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan
Rumah Sakit Murni Teguh Memorial Hospital
Abstrak
1
PENDAHULUAN
Usia pasien juga merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada
neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar.7 Etiologi pneumonia
pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif
seperti E. Coli, Pseudomonas sp., atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.7 Secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan
dengan penumonia viral. Demikian juga dengan etiologi lainnya.
2
PRESENTASI KASUS
Seorang bayi M, perempuan, usia 4 bulan di rawat di instalasi rawat inap datang
dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak sore hari dan terlihat memberat pada
malam hari. Sesak didahului oleh keluhan batu (+), pilek (+), dan demam (+) yang
dialami pasien sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Sesak tidak disertai suara mengi
atau mengorok, tidak disertai kelopak mata bengkak dan tidak dipengaruhi oleh debu
maupun cuaca. Demam (+) dirasakan terus naik, tidak menggigil, dan tidak disertai
kejang. Batuk (+) disertai dengan dahak namun masih sulit untuk dikeluarkan. Hidung
kembang kempis terlihat muncul sejak malam hari. Muntah (+) dialami pasien sebanyak
3 kali sejak malam hari. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Riwayat
tersedak sering dialami oleh pasien namun riwayat kontak dengan penderita batuk
lama/berdarah disangkal.
Selama masa kehamilan, ibu pasien rutin kontrol ke bidan dan tidak ada
keluhan. Riwayat persalinan pasien lahir spontan pervaginam di Puskesmas ditolong
oleh bidan, usia prematur 7 bulan, dengan berat badan 2500 gram, panjang badan 40
cm. Belum dilakukan imunisasi hingga usia 4 bulan. ASI eksklusif (+) hingga usia 2
bulan, susu formula (+) hingga sekarang. Riwayat penyakit terdahulu pasien berulang
mengalami infeksi paru dengan keluhan sesak napas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, nadi 170
x/menit, pernapasan 62 x/menit, suhu 37,3˚C. Status gizi pasien terkesan buruk menurut
growth chart World Health Organization (WHO) Z score yaitu BB/U < -3 SD, PB/U < -
3 SD, LK/U < -3 SD, dan BB/PB < -3 SD. Bentuk kepala normosefali, rambut dalam
batas normal. Ubun-ubun teraba rata, tidak membonjol dan tidak cekung. Wajah terlihat
simetris, tidak terdapat pembengkakan, dan tidak dijumpai wajah dismorfik. Mata
dalam batas normal. Hidung terdapat sekret dan tampak pernapasan cuping hidung (+).
Telinga dalam batas normal. Mulut tampak celah pada palatum (+) unilateral
incomplete. Pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Dada terlihat
simetris, tampak pernapasan subcostal (+/+). Vokal fremitus teraba meningkat pada
kedua lapangan paru. Perkusi terdengar redup pada kedua paru. Suara napas terdengar
vesikuler, suara tambahan ronkhi basah halus (+) pada lapangan tengah kedua paru.
3
Jantung terdengar bunyi mur-mur (+). Abdomen dalam batas normal. Alat gerak dalam
batas normal.
Terapi yang telah diberikan selama 3 hari masa rawatan adalah IVFD 4:1 5
cc/jam, cefotaxim 200 mg/8 jam IV, paracetamol syrup 3x2ml apabila demam diatas
37,8, nebul ventolin ½ fls + NaCl 2 cc 3x/hari.
4
(ASD sekundum 2 mm) + (ASD sekundum 2 mm) + A : Bronkopneumonia
Palatoschisis bilateral Palatoschisis bilateral + PJB (ASD sekundum
inkomplit + Gagal tumbuh inkomplit + Gagal tumbuh 2 mm) + Palatoschisis
P : IVFD 4:1 5 cc/jam, P : IVFD 4:1 5 cc/jam, bilateral inkomplit +
cefotaxim 200 mg/8 jam IV, cefotaxim 200 mg/8 jam IV, Gagal tumbuh
paracetamol syrup 3x2ml paracetamol syrup 3x2ml
apabila demam diatas 37,8, apabila demam diatas 37,8, P : IVFD 4:1 5 cc/jam,
nebul ventolin ½ fls + NaCl 2 nebul ventolin ½ fls + NaCl cefotaxim 200 mg/8
cc 3x/hari. 2 cc 3x/hari. jam IV, paracetamol
syrup 3x2ml apabila
demam diatas 37,8,
nebul ventolin ½ fls +
NaCl 2 cc 3x/hari.
5
DISKUSI
Pasien di diagnosis dengan bronkopneumonia disertai dengan penyakit jantung
bawaan PDA dan ASD, gagal tumbuh, serta palatoschisis. Pasien datang dengan
keluhan sesak napas. Terdapat beberapa macam penyakit yang dapat menyebabkan
sesak napas pada anak diantaranya yakni bronkopneumonia.5 Bronkhopneumonia
merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia. Bronchopneumonia (penumonia
lobaris) adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yaitu dari parenkim
paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus dengan distribusi berbentuk bercak-bercak
(patchy distribution) yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur, dan benda asing.11
Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan bronkopneumonia adalah
virus dan bakteri. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV). Pada bayi : Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Pada anak-
anak yaitu virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV. Organisme atipikal:
Mycoplasma pneumonia. Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosi. Pada
anak besar – dewasa muda, Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C.
trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis. Pada bayi dan
orang-orang yang sistem imunnya lemah, pneumonia dapat muncul sebagai infeksi
primer.1 Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
dibawah umur 5 tahun dengan memiliki risiko kematian yang tinggi.
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis
tersebut antara lain:12-3
a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal,suprasternal
b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari
d. Demam, dispneu dan terkadang disertai muntah dan diare
6
e. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit kemudian beberapa
hari terdapat batuk yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan predominan
PMN
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan
infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia.
Pada pasien ini, keluhan sesak napas didahului oleh batuk yang disertai dengan
demam. Keluhan tidak disertai bunyi mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi
subcostal pada dinding dadanya serta auskultasi berupa ronki basah halus yang nyaring
pada kedua lapang paru tengah dan tidak ditemukan wheezing. Pneumonia pada anak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan gangguan sistem
respirasi serta gambaran radiologis yang mendukung. Pada pasien ini prediktor yang
paling kuat menunjukkan pneumonia adalah demam, sesak yang disertai dengan
pernapasan cuping hidung dan retraksi subcostal, serta batuk. Kemudian prediktor
lainnya yang ditemukan pada pasien ini adalah berdasarkan kepada pemeriksaan fisik
yang dilakukan, dimana pada pemeriksaan fisik paru selain inspeksi tampaknya retraksi
subcostal, pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang meningkat, perkusi terdengar
redup pada kedua lapangan paru pasien, serta auskultasi suara tambahan ronkhi basah
halus. Temuan pemeriksaan fisik paru ini pada umumnya disebabkan oleh konsolidasi
akibat pneumonia.13
Pada efusi pleura dan pneumotoraks ditemukan sesak napas namun biasanya
pada kedua kasus tersebut juga ditemui nyeri dada dan dapat didahului riwayat trauma
ataupun tidak, serta pada pemeriksaan fisiknya ditemukan penurunan gerakan napas di
sisi thoraks yang sakit, sehingga dapat disingkirkan dari diagnosis kerja. Kemudian,
pada bronkiolitis akut juga didapatkan sesak napas, awalnya biasanya didahului dengan
7
batuk dan disertai demam yang tidak terlalu tinggi, kemudian pasien dapat mengalami
takipnea, sianosis, dan pada pemeriksaan fisiknya biasanya ditemukan auskultasi paru
berupa bunyi mengi. Sehingga bronkiolitis juga dapat disingkirkan.15-6
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:11
1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak
sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih
sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat
yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak
usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di
atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
Diagnosis pasti untuk menegakkan bronkopneumonia adalah dengan mengidientifikasi
kuman penyebab pneumonia. Identifikasi kuman penyebab dapat dilakukan melalui:11
a. Kultur sputum/bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
c. Deteksi antigen bakteri
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai
cara, antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi dari bahan-bahan yang ada di
nasofaring dan orofaring; perluasan langsung dari tempat lain dan penyebaran secara
hematogen.12-3 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi dan terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di naso-oro-faring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk
8
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis, aksi enzimatik, dan respon immuno-humoral terutama dari
immunoglobilin A (IgA).15
Pada pasien ini ditemukan adanya kelainan kongenital pada susunan anatomis
rongga mulut yaitu palatum molle terbagi dua (palatoschisis). Hal ini yang
memungkinkan pasien mengalami infeksi yang berulang.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab dapat masuk
ke paru bagian perifer melalui saluran napas sehingga menyebabkan reaksi inflamasi
pada jaringan Bronkhopneumonia dalam perjalanan penyakitnya akan menjalani
beberapa stadium, yaitu:15
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama).
Peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal
ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler. Ini
terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Mediator tersebut
mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Hal ini menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstitial sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus,
yang meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya).
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara,
warnanya menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus
didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan
kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).
Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat kelabu hal ini
terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi.
Permukaan pleura tampak suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin
9
dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi
kongestif.
10
lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.14
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi suportif yaitu pemberian O2 1
L/menit. Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk
bernapas, dan mengurangi kerja jantung. Oksigen penting diberikan kepada anak yang
menunjukkan gejala adanya retraksi bagian bawah yang dalam, SpO2<90%, frekuensi
napas 60 x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernapas dan adanya head nodding
(anggukan kepala). Untuk kebutuhan cairan, sesuai dengan berat badan yaitu 3 Kg yaitu
100x BB/hari 300/24jam 12,5 gtt/i mikro, sehingga pasien diberikan cairan Na
0,225% D5% melalui mikrodrip infus dengan 6 tetes per menit mikro.
Mengatasi demamnya pasien diberikan antipiretik parasetamol yang diberikan
selama pasien demam. Dosis yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali pemberian.
Dapat diulang pemberiannya setiap 4-6 jam.14 Pemberian antibiotika berdasarkan
mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis. Pada kasus ini, dipilih antibiotik
cefotaxime yang merupakan antibiotik sefalopsorin generasi ketiga dengan aktivitas
yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif. Dosis cefotaxime yaitu 50mg/kgBB/8jam
IV. Salbutamol nebul 2,5mg/2,5ml/6jam.16
Penyakit jantung bawaan pada pasien diatas adalah PDA dan ASD. Penyakit
jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung yang sudah didapatkan sejak
bayi baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai
berat. Pada bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak
lahir dan memerlukan tindakan segera. Pada umumnya kelainan jantung bawaan
terbanyak adalah VSD (defek septum ventrikel).
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu penyakit
jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik. Penyakit jantung
bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri,
sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia trikuspid. Termasuk
dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit jantung bawaan
dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan di antaranya adalah
defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh darah
seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu penyakit jantung bawaan nonsianotik
11
juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis
pulmonal dan koarktasio aorta.
Penampilan klinis PDA tergantung pada besarnya lubang dan tahanan vaskuler
paru. Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar. Sering
ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising kontinyu yang
khas seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal, yaitu di parasternal sela
iga 2–3 kiri dan dibawah klavikula kiri.
Upaya untuk menutup PDA dapat dilakukan dengan pemberian indometasin bila
tidak ada kontra indikasi. Bila tidak berhasil dan gagal jantung juga tidak teratasi maka
harus dilakukan operasi ligasi (pengikatan) PDA. Pada bayi atau anak tanpa gagal
jantung dan gagal tumbuh kembang, tindakan penutupan PDA secara bedah dapat
dilakukan secara elektif pada usia diatas 3–4 bulan. Pengobatan anti gagal jantung
dengan digitalis, diuretika dan vasodilator harus diberikan pada bayi dengan PDA yang
besar disertai tanda-tanda gagal jantung kongestif. Selanjutnya bila kondisi membaik
maka operasi ligasi dapat ditunda sampai usia 12–16 minggu karena adanya
kemungkinan PDA menutup secara spontan. Tindakan penutupan PDA tidak dianjurkan
lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif vaskuler paru.
Dalam dekade terakhir ini penutupan PDA dapat dilakukan juga secara non bedah
dengan memasang coil atau alat seperti payung/jamur.
Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum
atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru yang
berlebihan juga menyebabkan beban volum pada jantung kanan. Kelainan ini sering
tidak memberikan keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan keluhan baru
timbul saat usia dewasa.
Defek Septum Atrium (ASD) dibedakan menjadi 3 bentuk anatomis, yaitu:
1. Defek sinus venosus atau defek vena cava superior
Letak defek diatas fosa ovalis, tidak mempunyai tepi atas yang jelas dan biasanya
disertai dengan vena pulmonalis yang bermuara rendah di vena cava superior.
2. Defek fosa ovalis atau ASD II atau ASD sekundum
Letak defek di fosa ovalis. Jenis ASD yang paling banyak ditemukan.
3. Defek atrioventrikular atau ASD I atau ASD primum
Biasanya disertai dengan kelainan katup atrio-ventrikular.
12
Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan
menetap tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area
pulmonal. Bila aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di
parasternal sela iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Indikasi operasi
penutupan ASD adalah bila rasio aliran darah ke paru dan sistemik lebih dari 1,5.
Operasi dilakukan secara elektif pada usia pra sekolah (3–4 tahun) kecuali bila sebelum
usia tersebut sudah timbul gejala gagal jantung kongestif yang tidak teratasi secara
medikamentosa.
Seperti pada PDA dalam dekade terakhir ini penutupan ASD juga dapat
dilakukan tanpa bedah yaitu dengan memasang alat berbentuk seperti clam (kerang) bila
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Tindakan penutupan ASD tidak dianjurkan
lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif vaskuler paru.
Pada pemeriksaan fisik jantung pasien diatas, auskultasi bunyi jantung dijumpai
mur-mur sistol. Diagnosa kelainan jantung awal pasien adalah PDA moderate dan ASD
sekundum dengan diameter 4 mm yang didapatkan dari hasil ECG pertama. Setelah
dilakukan ECG ulang satu bulan berikutnya, PDA tidak lagi didapatkan namun masih
didapatkan ASD sekundum dengan diameter yang mengecil yaitu 2 mm. Penutupan
PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi pada bayi prematur karena
otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak responsif vasokonstriksi
terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi dimana prostaglandin E2
tersebut yang mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka. Namun setelah beberapa
bulan pasca kelahiran terjadi adaptasi dan kematangan otot polos duktus dan septum
atrium sehingga PDA yang didapatkan pada ECG pertama dapat tertutup dengan
sendirinya dan diameter ASD berkurang.
13
kelainan kromosom. Faktor eksternal yang dapat menjadi faktor resiko dari keadaan ini
adalah usia kehamilan ibu, obat-obatan, nutrisi, penyakit infeksi, radiasi, stres
emosional, dan trauma. Pada pasien ini defek terjadi pada pallatum molle pada kedua
sisi (bilateral). Defek ini terjadi pada pasien di duga akibat kelainan yang terjadi saat
masa embrio, dimana berdasarkan kepada anamnesis yang dilakukan tidak di dapatkan
faktor eksternal yang dapat menjadi faktor resiko defek ini.
Masalah asupan nutrisi pada anak dengan palatoschisis dapat menjadi salah satu
penyebab gagal tumbuh pada pasien ini. Selain masalah tersebut, aspirasi juga dapat
dengan mudah terjadi. Berdasarkan kepada riwayat keperawatan pasien, pasien
merupakan pasien berulang di RS yang di rawat atas indikasi infeksi paru, hal ini
kemungkinan dapat terjadi akibat mudahnya bahan asing ataupun kuman terakumulasi
pada saluran pernapasan akibat celah palatum yang terbuka.
14
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
13. Hudoyo A. Bronkopneumoni [internet]. [Disitasi 2014 Sep 17]. Tersedia dari:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/13/a0c5c46942a77a3619e1c23c169.pd
f
14. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH,
Kosim MS, et al. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Edisi ke-I. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004. hlm. 351-4.
15. UNICEF. The challenge: pneumonia is the leading killer of children [internet].
New York: UNICEF; 2014 [disitasi 2014 Sep 17]. Tersedia dari:
http://www.childinfo.org/pneumonia.html
16. Mason RJ, Broaddus VC, Martin T, King TE, Schraugnagel D, Murray JF, et al.
Murray and Nadel’s text book of respiratology medicine volume 1. Edisi ke-1.
Netherland: Elseiver Saunders; 2005.
17