Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Kepada Yth.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak

BRONKOPNEUMONIA PADA ANAK


Penyaji : Jesica Dwi Riskita Sidabutar
Pembimbing : dr. Indah Nur Lestari, M.Ked(Ped), Sp.A

Pendahuluan
Pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru
dan dapat menyebabkan konsolidasi jaringan paru.[1][2] Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,
radiasi, dan lainya).[3] Paru-paru terdiri dari kantung-kantung kecil yang disebut alveoli,
yang terisi dengan udara ketika orang yang sehat bernafas. Pada penderita pneumonia,
alveoli dipenuhi dengan nanah dan cairan, yang membuat pernapasan terasa sakit dan
membatasi asupan oksigen. Pneumonia adalah penyebab kematian infeksi tunggal
terbesar pada anak-anak di seluruh dunia. Pneumonia membunuh 808.694 anak di bawah
usia 5 tahun pada tahun 2017, terhitung 15% dari semua kematian anak di bawah lima
tahun. Pneumonia mempengaruhi anak-anak dan keluarga di mana-mana, tetapi paling
umum di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.[1] Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi
pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.[4]
Bronkopneumonia adalah infeksi yang mempengaruhi saluran udara masuk ke
paru-paru, juga dikenal sebagai bronkus. Kondisi ini terutama disebabkan oleh infeksi
bakteri, tetapi juga dapat disebabkan oleh infeksi virus dan jamur. Bronkopneumonia
lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri
Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga
dari hasil isolasi. Penyakit ini sangat mengancam kehidupan pada anak-anak, orang
dewasa yang lebih tua, dan pasien dengan kekebalan kronis lainnya yang menurunkan
kondisi kesehatan.[4][5] Efek utama pneumonia yang disebabkan oleh bakteri adalah
kerusakan parenkim paru, sedangkan pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh virus
efek utamanya adalah keterlibatan interstisial. Peradangan pada paru akan menyebabkan
penebalan membran pada saluran nafas sehingga dapat terjadi obstruksi ventilasi. Tanda
dan gejala utama dari bronkopneumonia seperti demam, batuk, sesak nafas, nyeri dada
dan ditemukannya ronki halus.[6]
Bronkopneumonia merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada
berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal ini disebakan oleh munculnya organisme
nosokomial yang resisten terhadap antibiotik, adanya organisme-organisme baru dan
penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin
memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia.[4]

Definisi
Bronkopneumonia pediatri, salah satu penyakit pernapasan umum di pediatri,
mengacu pada reaksi inflamasi yang terutama disebabkan oleh virus, bakteri, atau
Mycoplasma pneumoniae dan mikroorganisme patogen lainnya yang menyerang tubuh
melalui saluran pernapasan dan kemudian secara klinis mengakibatkan batuk, demam,
dispnea, ronki paru, dan sebagainya.[7] Bronkopneumonia merupakan peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution). Umumnya, bronkopneumonia mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda asing.[3]
Dengan sistem pernapasan yang belum matang dan resistensi yang rendah, bronkial
dan jaringan paru perifer pada anak usia 2-5 tahun paling rentan diinvasi patogen.
Bronkopneumonia pediatrik memiliki karakteristik onset dan perkembangan yang cepat,
serta kekambuhan yang mudah.[7]

Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak didunia. Setiap 39
detik, 1 orang anak meninggal akibat pneumonia. Secara global, pneumonia
menyumbang 16% dari semua kematian anak di bawah usia 5 tahun. Sebanyak 920.136
anak meninggal pada tahun 2015 akibat pneumonia. Sebanyak 85% dari semua penyakit
sistem pernapasan pada anak di bawah 2 tahun disebabkan oleh bronkopneumonia.
Pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita setiap tahun, atau sekitar
2.200 setiap hari. Ini termasuk lebih dari 153.000 bayi baru lahir. Secara global, terdapat
lebih dari 1.400 kasus pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun,
dengan insiden terbesar terjadi di Asia Selatan (2.500 kasus per 100.000 anak) dan Afrika
Barat dan Tengah (1.620 kasus per 100.000 anak).[5][8]
Berdasarkan data laporan rutin Subdit ISPA Tahun 2018, didapatkan insiden (per
1000 balita) di Indonesia sebesar 20,06% hampir sama dengan data tahun sebelumnya
20,56%. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan
meningkatkan penemuan pneumonia pada balita. Perkiraan kasus pneumonia secara
nasional sebesar 3,55% namun angka perkiraan kasus pneumonia di masing-masing
provinsi menggunakan angka yang berbeda-beda sesuai angka yang telah ditetapkan.
Menurut Profil Kesehatan 2018, jumlah kasus pneumonia pada balita di Indonesia
sebanyak 505.331 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus pneumonia tertinggi dan terendah
berturut-turut yaitu Jawa Barat (131.382 kasus) dan Sulawesi Utara (427 kasus).
Sumatera Utara sendiri memiliki 6.293 kasus pneumonia yaitu sekitar 1,24% dari seluruh
kasus pneumonia pada balita di seluruh Indonesia. Case Fatality Rate (CFR) dengan
angka yang cukup tinggi yaitu 0.49% jika dibandingkan dengan CFR Nasional yaitu
0.08.[9]

Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh sejumlah agen infeksi, termasuk virus, bakteri dan
jamur. Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan
serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%
sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. Yang paling umum menyebabkan
bronkopneumonia adalah: [1][10][11]
• Streptococcus pneumoniae – penyebab paling umum pneumonia bakteri pada anak-
anak
• Haemophilus influenzae tipe b (Hib) – penyebab paling umum kedua pneumonia
bakteri
• Respiratory syncytial virus adalah virus penyebab pneumonia yang paling umum
• Pada bayi yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah salah satu penyebab
paling umum pneumonia, bertanggung jawab untuk setidaknya seperempat dari semua
kematian pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV.
• Mycoplasma pneumoniae sering terjadi pada anak-anak dengan rentang usia 5 hingga
13 tahun.

Faktor Risiko[5][12]
Faktor risiko bronkopneumonia pada anak meliputi:
• Anak-anak di bawah usia 2 tahun
• Berat lahir rendah (kurang dari 2.500 gram saat lahir)
• Kurangnya pemberian ASI eksklusif pada enam bulan pertama kehidupan
• Kondisi medis tertentu, seperti :
• Infeksi saluran pernapasan baru-baru ini, seperti pilek dan flu.
• Kondisi yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, seperti infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan gangguan autoimun tertentu.
• Malnutrisi
• Kepadatan rumah
Kemungkinan faktor risiko lain adalah orang tua yang merokok, kekurangan zink,
pengalaman ibu sebagai pengasuh, penyakit penyerta misalnya diare, penyakit jantung,
asma, pendidikan ibu, penitipan anak, kelembaban udara, udara dingin, kekurangan
vitamin A, dan polusi udara diluar rumah.

Klasifikasi[3][4][13]
Berdasarkan derajatnya bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral, anak tidak sanggup
minum/makan, kejang/letargis/tidak sadar, atau distress pernapasan berat.
2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis, anak masih sanggup
minum, pernapasan cuping hidung, foto dada menunjukkan gambaran pneumonia,
serta dijumpai nafas cepat yakni ≥60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan;
≥50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun; ≥40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun;
≥30 x/menit pada anak usia ≥5 tahun.
3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat.
4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di atas.

Patofisiologi[4][10][14]
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara, aspirasi dari bahan-bahan yang
ada di nasofaring dan orofaring, penyebaran langsung dari tempat lain, dan penyebaran
secara hematogen yang dapat menimbulkan reaksi imonologis dari tubuh. Reaksi ini
menyebabkan peradangan, dimana ketika terjadi peradangan ini tubuh menyesuaikan
diri maka timbullah gejala demam pada penderita. Reaksi peradangan ini dapat
menimbulkan sekret, semakin lama sekret semakin menumpuk di bronkus maka aliran
bronkus menjadi semakin sempit dan pasien dapat merasa sesak. Tidak hanya terkumpul
dibronkus lama-kelamaan sekret dapat sampai ke alveolus paru dan mengganggu sistem
pertukaran gas di paru. Tidak hanya menginfeksi saluran nafas, bakteri ini juga dapat
menginfeksi saluran cerna ketika ia terbawa oleh darah. Bakteri ini dapat membuat flora
normal dalam usus menjadi agen patogen sehingga timbul masalah GI. Dalam keadaan
sehat, di paru tidak dapat terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan
oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat terhirup ke paru
perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi lokal berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkopneumonia dalam perjalanan
penyakitnya akan menjalani beberapa stadium, yaitu:
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama).
Disebut hiperemia, mengacu pada peradangan awal yang berlangsung pada
daerah yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler. Hal ini terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi dari sel mast.
Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos pada vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antarkapiler dan alveolus, yang akhirnya
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida untuk
perpindahan gas, hal ini sangat berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya).
Stadium ini terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).
Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat kelabu akibat
sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Permukaan pleura
suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi
fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-12 hari).
Stadium ini terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan dan eksudat lisis. Eksudat berkurang. Dalam alveolus, makrofag bertambah
dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan
menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat di batasi dengan pemberian antibiotik
sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang tidak terkena dapat diselamatkan.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pneumonia virus dan bakteri serupa. Namun, gejala pneumonia
virus mungkin lebih banyak daripada gejala pneumonia bakteri. Pada anak di bawah usia
5 tahun, yang mengalami batuk dan/atau sulit bernapas, dengan atau tanpa demam,
pneumonia didiagnosis dengan adanya napas cepat atau tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam di mana dada mereka bergerak ke dalam atau memendek selama inhalasi
(dalam keadaan sehat, dada mengembang selama inhalasi). Mengi lebih sering terjadi
pada infeksi virus. Bayi yang sakit parah mungkin tidak dapat makan atau minum dan
mungkin juga mengalami ketidaksadaran, hipotermia, dan kejang-kejang.[1]
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita bronkopneumonia, ialah:[14]
1. Biasanya didahului infeksi traktus respiratori bagian atas
2. Demam (39o-40oC) kadang-kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
3. Anak sangat gelisah, dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk, yang
dicetuskan saat bernafas dan batuk.
4. Pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar
hidung dan mulut.
5. Kadang-kadang disertai muntah dan diare.
6. Adanya bunyi tambahan pernafasan seperti ronchi, wheezing.
7. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
8. Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mukus yang menyebabkan
atelektasis absorbsi.

Penegakan Diagnosa
Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis klinis
bronkopneumonia WHO, dimana gejala yang muncul pada pasien adalah sesak nafas
dengan nafas cuping hidung, riwayat demam batuk pilek, sianosis, dan dari auskultasi
didapatkan suara nafas tambahan berupa ronki basah halus yang nyaring di kedua
lapangan paru dan tidak ditemukan mengi.[3][4]
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinis, antara lain:[4][15]
• Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
• Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
• Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari
• Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
• Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk, beberapa
hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
• Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
• Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis (dapat mencapai 15.000-
40.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri) dengan predominan PMN
• Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat
alveolar serta gambaran bronkopneumonia.

Jika dokter mencurigai bronkopneumonia, satu atau lebih dari tes berikut mungkin
diperintahkan untuk mengkonfirmasi diagnosis, dan menentukan jenis serta tingkat
keparahan kondisi:[5]
• Rontgen dada. Tes pencitraan ini memungkinkan dokter untuk memeriksa gambar
paru-paru untuk tanda-tanda infeksi.
• Tes darah. Ini dapat membantu mendeteksi tanda-tanda infeksi, seperti jumlah sel
darah putih yang abnormal. Ini membantu menentukan tingkat keparahan infeksi dan
apakah kemungkinan penyebabnya adalah bakteri, virus, atau jamur.
• Bronkoskopi. Ini melibatkan melewatkan tabung tipis dengan cahaya dan kamera
melalui mulut seseorang, turun ke tenggorokan, dan masuk ke paru-paru. Prosedur ini
memungkinkan dokter untuk melihat ke dalam paru-paru. Tes ini kadang-kadang
digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut.
• Kultur sputum. Ini adalah tes laboratorium yang dapat mendeteksi infeksi dari lendir
yang batuk seseorang, juga dapat menentukan organisme/kuman penyebab kondisi
tersebut.
• Oksimetri nadi. Ini adalah tes yang digunakan untuk menghitung jumlah oksigen
yang mengalir melalui aliran darah.
• Gas darah arteri. Tes ini digunakan untuk mengetahui kadar oksigen oksigen dalam
darah.

Prediktor paling kuat menunjukkan pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih
dari satu gejala respiratori antara lain takipnea, batuk, napas cuping hidung, ronki, dan
suara napas melemah. Pemeriksaan fisik bayi dengan bronkopneumonia biasanya
menunjukkan tanda klinis berupa pekak perkusi, suara napas melemah, dan adanya ronki
basah halus. Pada anak yang lebih besar dengan pneumonia, akan lebih suka berbaring
pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk akibat nyeri dada. Pada efusi pleura dan
pneumotoraks ditemukan sesak napas namun biasanya pada kedua kasus tersebut juga
ditemui nyeri dada dan dapat didahului riwayat trauma ataupun tidak, serta pada
pemeriksaan fisiknya ditemukan penurunan gerakan napas di sisi thoraks yang sakit,
sehingga dapat disingkirkan dari diagnosis kerja. Kemudian, pada bronkiolitis akut juga
didapatkan sesak napas, awalnya biasanya didahului dengan batuk dan disertai demam
yang tidak terlalu tinggi, kemudian pasien dapat mengalami takipnea, sianosis, dan pada
pemeriksaan fisiknya biasanya ditemukan auskultasi paru berupa bunyi mengi.[3][15]

Tatalaksana[13][16]
Penatalaksanaan pneumonia dibagi berdasarkan keparahannya.
1. Penatalaksanaan pneumonia ringan
• Anak di rawat jalan
• Beri antibiotik: Amoksisilin (40 mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 5 hari. Di
daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, berikan amoksisilin selama 3 hari.
Jika gagal pada pengobatan lini pertana dengan amoksisilin, dapat diberikan
pengobatan lini kedua yaitu eritromisin (40 mg/kgBB/kali)
Tindak lanjut: Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau tidak
bisa minum atau menyusu.

2. Penatalaksaan pneumonia berat


• Anak dirawat di rumah sakit
• Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan pneumonia berat harus diobati dengan ampisilin
parenteral (atau penisilin) dan gentamisin sebagai pengobatan lini pertama.
Terapi Antibiotik
• Beri ampisilin/amoksisilin (50 mg/kgBB/kali) atau penisilin benzil (50.000
unit/kgBB/kali) IV atau IM setiap 6 jam, yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72
jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari.
Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
• Gentamisin: 7,5 mg/kg IM/IV sekali sehari selama minimal lima hari
• Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
• Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
• Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
• Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam)
atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
• Pengobatan kotrimoksazol empiris untuk dugaan Pneumocystis jirovecii pneumonia
(PCP) direkomendasikan sebagai pengobatan tambahan untuk bayi yang terinfeksi
HIV dan terpajan berusia dari 2 bulan sampai 1 tahun dengan retraksi dinding dada
atau pneumonia berat. Tidak direkomendasikan untuk anak-anak yang terpajan di atas
usia 1 tahun dengan tarikan dinding dada ke dalam atau pneumonia berat.

Terapi Oksigen
• Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
• Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan
pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Hentikan
pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%.
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal
prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda.
• Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

Terapi Suportif
• Bila anak disertai demam (>390C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri
parasetamol.
• Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkodilator kerja cepat
• Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak,
hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan.
• Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati-
hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
* Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
* Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan
menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
• Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri makanan
sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.
Pencegahan [1][5]
Vaksinasi dapat mencegah beberapa bentuk bronkopneumonia. Ada dua jenis vaksin
yang diberikan untuk mencegah penyakit pneumokokus pada anak:
• Vaksin konjugasi pneumokokus (PCV13)
Vaksinasi ini direkomendasikan untuk semua anak di bawah usia 2 tahun. Ini
termasuk sebagai bagian dari imunisasi rutin bayi.
• Vaksin polisakarida pneumokokus (PPSV23)
Vaksin ini direkomendasikan untuk anak di atas usia 2 tahun yang berisiko terkena
penyakit pneumokokus serius.

Selain vaksinasi terhadap pneumonia, langkah-langkah berikut juga direkomendasikan:


• Mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan pneumonia,
seperti flu, campak, cacar air, vaksin Haemophilus influenza tipe B (Hib), atau
pertusis.
• Nutrisi yang cukup untuk meningkatkan pertahanan alami anak, dimulai dengan
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan. Selain efektif dalam
mencegah radang paru-paru, juga membantu mengurangi lama sakit jika anak jatuh
sakit.
• Mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan (dengan
menyediakan kompor dalam ruangan bersih yang terjangkau, misalnya) dan
mendorong kebersihan yang baik di rumah yang padat juga mengurangi jumlah anak
yang jatuh sakit dengan pneumonia.
• Pada anak yang terinfeksi HIV, antibiotik kotrimoksazol diberikan setiap hari untuk
mengurangi risiko tertular pneumonia.

Komplikasi[7][11][17]
Jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi, seperti
edema serebral, empiema, efusi pleura, abses paru, necrotizing pneumonia, sepsis, gagal
napas, dan gagal jantung, yang secara serius memengaruhi kesehatan anak-anak. Hasil
sebuah penelitian memperlihatkan komplikasi yang sering muncul pada pasien anak
dengan pneumonia yaitu gangguan asam basa, diantaranya yaitu asidosis metabolik
34,8% dan alkalosis respiratorik 11,8%, diikuti dengan syok septik 3,4% dan septis
2,8%.
Tabel 1. Kompilkasi Bronkopneumonia pada anak

Prognosis[11][15][18]
Bagi kebanyakan anak, prognosisnya baik. Pneumonia virus cenderung sembuh
tanpa pengobatan. Meskipun pneumonia virus sering terjadi pada anak-anak usia sekolah
dan remaja dan biasanya ringan dan sembuh sendiri, pneumonia ini kadang-kadang parah
dan dapat dengan cepat berkembang menjadi gagal napas. Perubahan fungsi paru jangka
panjang jarang terjadi, bahkan pada anak dengan pneumonia yang telah memiliki
komplikasi empiema atau abses paru.
Bronkopneumonia terjadi pada 0,8-2% dari semua kasus pertusis dan 16-20% dari
kasus rawat inap. Tingkat kelangsungan hidup pasien ini jauh lebih rendah daripada kasus
pneumonia yang dikaitkan dengan penyebab lain. Anak-anak dengan tuberkulosis
mempunyai risiko tinggi untuk perkembangan penyakit jika kondisi ini tidak diobati
Anak-anak dengan kelainan sistem imun memiliki prognosis terburuk.
The United Nations Children's Fund (UNICEF) memperkirakan bahwa 3 juta
anak meninggal di seluruh dunia karena pneumonia setiap tahun; kematian ini hampir
secara eksklusif terjadi pada anak-anak dengan kondisi yang mendasarinya, seperti
penyakit paru-paru kronis prematuritas, penyakit jantung bawaan, dan imunosupresi.
Meskipun sebagian besar kematian terjadi di negara berkembang, pneumonia tetap
menjadi penyebab morbiditas yang signifikan di negara-negara industri. Dengan
pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang
dari 1%. Bila pasien disertai malnutrisi energi protein (MEP) dan pasien yang datang
terlambat, angka mortalitasnya masih tinggi.
Kesimpulan

Bronkopnemonia merupakan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh virus,


bakteri, atau mycoplasma pneumoniae dan mikroorganisme patogen lainnya yang
menyerang tubuh melalui saluran pernapasan dan kemudian secara klinis
mengakibatkan batuk, demam, dispnea, ronki paru, dan sebagainya, serta adanya
bercak-bercak infiltrat di paru-paru. Penyakit bronkopneumonia menjadi penyebab
utama kematian pada anak di dunia dan dalam perjalanan penyakitnya akan melewati
beberapa stadium. Diagnosa bronkopneumonia dapat ditegakkan berdasarkan pedoman
diagnosis klinis WHO melalui hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa foto toraks. Oleh karena bronkopneumonia memiliki bermacam-
macam penyebab, sehingga perlu mencermati gejala, tanda, dan temuan laboratorium
untuk mengetahui derajat keparahan penyakit dan prognosis perjalanan penyakit. Terapi
utama untuk bronkopneumonia adalah terapi suportif serta penanganan agen penyebab.
Daftar Pustaka

1. World Health Organization. 2019, ‘Pneumonia’ WHO [Online], 16 September


2021, accessed Available at: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/pneumonia

2. Kudagammana, S. T., Karunaratne, R. R., Munasinghe, T. S., & Kudagammana,


H. D. W. S. 2020, Community acquired paediatric pneumonia; experience from
a pneumococcal vaccine- naive population. Pneumonia, 12(1).
https://doi.org/10.1186/s41479-020-00071-6

3. Adityo, R., & Aditya, M. 2020, Diagnosis dan Tatalaksana Bronkopneumonia


pada Bayi Laki-laki Usia 8 Bulan. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
2(2), 67–71.

4. Samuel, A. 2014, Bronkopneumonia on pediatric patient. J Agromed Unila, 1(2),


185–189.

5. Bronchopneumonia in children. 2019, Council for Medical Schemes, 4.

6. Liu, H., Wang, W., & Gao, X. 2020, Comparison of the efficacy of ambroxol
hydrochloride and N-acetylcysteine in the treatment of children with
bronchopneumonia and their influence on prognosis. Experimental and
Therapeutic Medicine, 20(6), 1–1. https://doi.org/10.3892/etm.2020.9260

7. Duan, X., Wang, H., Wu, J., Zhou, W., Wang, K., & Liu, X. 2020, Comparative
efficacy of Chinese herbal injections for the treatment of Herpangina: A
bayesian network meta-analysis of randomized controlled trials. Frontiers in
Pharmacology, 11. https://doi.org/10.3389/fphar.2020.00693

8. World Health Organization. 2021, Pneumonia. [Online] accessed 16 September


2021 Available at: https://data.unicef.org/topic/child-health/pneumonia/

9. Kemenkes RI. 2019, Profil Kesehatan Indonesia 2018.


http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf

10. Putu Suartawan. 2019, Bronkopneumonia Pada Anak Usia 20 Bulan. Jurnal
Kedokteran, 05(01), 198–206.

11. Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric Pneumonia. [Updated 2021 Aug 12]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/

12. Sinaga F T Y. 2019, ‘Faktor Risiko Bronkopneumonia pada Usia di BawahLima


Tahun yang di Rawat Inap di RSUD Dr.H.Abdoel Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2015’. JK Unila. Volume 3 Nomor 1

13. World Health Organization Indonesia. 2009, ‘Pelayanan Kesehatan Anak di


Rumah Sakit 1st edn’, Jakarta.

14. Chairunisa, Y. 2018, Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Anak Dengan
Bronkopneumonia Di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra. Jurnal Kesehatan,
01–84.

15. Rose, A. M. 2018, Asuhan Keperawatan Bronkopneumonia Pada An. S dan An.
S Dengan Masalah Keperawatan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif di Ruang
Bougenville RSUD dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018. Laporan Tugas Akhir.
Fakultas Keperawatan. Universitas Jember.

16. World Health Organization. 2014, Revised WHO Classification and Treatment
of Childhood Pneumonia at Health Facilities: Evidence Summaries. In Who.

17. Monita, O., Yani, F. F., & Lestari, Y. 2015, Profil Pasien Pneumonia Komunitas
di Bagian Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(1), 218–226. https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.225

18. Waseem, M., et al. 2020, Pediatric Pneumonia, [Online], Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#a6 [Accessed at 19
September 2021].

Anda mungkin juga menyukai