Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing :
dr. Matahari Harumdini, Sp.A

Disusun Oleh :
Dwi Rahma Mutiarani (2011730026)

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang


ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif lebih dari 3,5 g/hari, hipoalbuminemia
kurang dari 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Tidak semua pasien dengan
proteinuria diatas 3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala yang komplit; beberapa diantaranya
memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada pasien
SN adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang menjadi gagal ginjal yang
progresif. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang dapat berdampak pada
kesehatan individu secara umum. Beberapa episode dari SN adalah self-limited, dan sebagian
diantaranya respons terhadap terapi spesifik (misalnya steroid pada glomerulonefritis (GN) lesi
minimal), namun untuk sebagian besar pasien merupakan kondisi yang kronis. (IPD)

2
BAB II
PEMBAHASAN

SINDROM NEFROTIK

1. DEFINISI
Sindrom Nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif/berat (> 40
mg/m2/jam), hipoproteinemia (albumin serum ≤2,5 g/dl), edema, dan hiperkolesterolemia
(>250 mg/dL). Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal.1,2
Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom
nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umunya sebagian besar (± 80%)
sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan
steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.1

2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, lebih banyak pada anak yang
berumur 3-4 tahun. (UI) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Sindrom
nefrotik primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer sering
dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu (HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-B12). Usia,
ras, dan geografis juga turut mempengruhi insidens SN. 1,2

3. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada tabel 1. Glomerulonefritis lesi minimal
merupakan penyebab SN utama pada anak, meskipun tetap merupakan penyebab yang
banyak ditemukan pada semua usia. Sekitar 30% penyebab SN pada dewasa
dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti diabetes melitus, amiloidosis, atau lupus
eritematosis sistemik. Penyebab lain disebabkan oleh kelainan primer pada ginjal

3
seperti kelainan lesi minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, dan nefropati
membranosa.3
Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik3

Glomerulonefritis primer
- GN lesi minimal
- Glomerulosklerosis fokal segmental
- GN membranosa
- GN membranoproliferatif
- GN proliferatif lain

Glomerulonefritis sekunder akibat:

1. Infeksi
o HIV, hepatitis virus B dan C
o Sifilis, malaria, skistosoma
o Tuberkulosis, lepra
2. Keganasan
o Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal
3. Penyakit jaringan penghubung
o Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, mixed connective
tissue disease (MCTD)
4. Efek obat dam toksin
o Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin,
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
5. Lain-lain
o Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

- Glomerulonefritis Lesi Minimal

Glomerulonefritis lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak dengan SN usia
dibawah 10 tahun, dan lebih dari 50% pada anak yang lebih tua. Sebanyak 10-15%
4
terjadi pada SN dewasa. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu kondisi yang idiopatik,
berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), atau efek
paraneoplastik dari suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin). Pemeriksaan
dibawah mikroskop cahaya dari kelainan minimal adalah normal atau ditemukan
adanya proliferasi ringan dan se mesangial, dan pada pemeriksaan imunofluoresens
tidak menunjukkan adanya deposit kompleks imun, namun kadang dapat ditemukan
sedikit IgM pada mesangial. Temuan histologis yang khas dari lesi minimal adalah
adanya effacement difus dari foot process (FP) sel epitel pada mikroskop elektron.3

- Glomerulosklerosis fokal segmental


Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) merupakan lesi tersering yang ditemukan
pada SN dewasa yang idiopatik. Di Amerika Serikat sebanyak 35% dari keseluruhan
kasus dan 50% diantaranya adalah kulit hitam. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya
GSFS ditandai dengan adanya beberapa tapi tidak semua glomeruli (sehingga disebut
sebagai lokal) dari area segmental dari mesangial yang mengalami kolaps dam
sklerosis. GSFS dapat muncul sebagai sindrom idiopatik (GSFS primer) atau berkaitan
dengan infeksi HIV, nefropati refluks, bekas injuri glomerulus sebelumnya, reaksi
idiosinkrasi akibat OAINS, atau obesitas berat.3
- Nefropati Membranosa
Nefropati Membranosa merupakan penyebab SN primer tersering pada dewasa. Insiden
tertinggi terjadi pada umur 30 dan 50 tahun serta rasio laki-perempuan adalah 2:1. Lesi
yang khas adalah adanya penebalan membran basal dengan sedikit atau tidak
ditemukannya proliferasi atau infiltrasi selular, dan adanya deposit disepanjang
membran basal glomerulus pada mikroskop elektron. Nefropati membranosa dapat juga
terjadi akibat hepatitis β antigenemia, penyakit autoimun, tiroiditis, keganasan, dan
pemakaian beberapa obat-obatan seperti preparat emas, penisilamin, kaptopril, dan
OAINS.3
- Amiloidosis
Amiloidosis terjadi pada 4-17% kasus dengan SN idiopatik, dan kejadiannya meningkat
pada populasi usia lanjut. Ada dua jenis utama amiloidosis renal: Al atau amiloid
primer, terjadi diskrasia light chain dimana fragmen dari light chain monoklonal
membentuk fibril amiloid; dan AA atau amiloidosis sekunder, dimana plasma amiloid

5
A pada reaksi fase akut membentuk fibril amiloid. AA amiloid dihubungkan dengan
penyakit inflamasi kronik seperti artritis rheumatoid atau osteomielitis.3

4. KLASIFIKASI
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:4
1. Sindrom nefrotik relaps jarang: sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam
6 bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun
2. Sindrom nefrotik relaps sering: sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam
6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun
3. Sindrom nefrotik dependen steroid: sindrom nefrotik yang mengalami relaps setelah
dosis prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dalam 14 hari, dan
terjadi 2 kali berturut-turut.
4. Relaps: timbulnya proteinuria kembali (≥ 40 mg/jam/m2 LPT) atau ≥ 2+ selama 3 hari
berturut-turut
5. Remisi : keadaan proteinuria negatif atau trace selama 3 hari berturut-turut
Berdasarkan penyebab, sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi:2
1. Sindrom nefrotik kongenital
2. Sindrom nefrotik primer (idiopatik); yang paling banyak.
3. Sindrom nefrotik sekunder

5. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan protein
pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular
disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit gomerular, meliputi retraksi dari foot
process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm. Perbedaan potensial listrik yang
dihasilkan oleh arus transglomerular akan memodulasi flux makromolekul melewati
dinding kapiler glomerulus.
Glomerulus ginjal terdiri dair vascular bed yang kompleks yang berfungsi sebagai
ultrafiltrasi selektif terhadap protein plasma. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari 3
lapisan, yaitu lapisan sel endotel, membram basal glomerulus dan lapisan sel epitel
(podosit). Podosit merupakan lapisan barier terluar dari sistem filtrasi glomerulus. Dalam
6
kondisi patologis, podosit mengalami berbagai perubahan bentuk struktural seperti FP
effacement, pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerulus
(detachment) dan apoptosis. Fot process effacement merupakan karakteristik perubahan
yang paling dominan dijumpai pada SN dan penyakit glomerular lainnya yang disertai
proteinuria. Fot process effacement dapat reversibel atau ireversibel apabila injuri sel
podosit terjadi berkelanjutan. Sindrom nefrotik terutama disebabkan oleh injuri sel podosit
dengan manifestasi proteinuria masif, pada beberapa keadaan dapat progresi menuju
penyakit ginjal kronik.
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria dipengaruhi oleh
keutuhan struktur membran basal glomerulus.
Pada SN yang disebabkan oleh GN lesi minimal ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi FP sel epitel viseral glomerulus dan
terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus (Gambar 1). Berkurangnya
kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GN lesi minimal menyebabkan muatan negatif
membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin.
Patogenesis utama yang terjadi pada GSFS adalah kerusakan dan kehilangan podosit.
Injuri pada podosit terjadi melalui empat mekanisme utama: perubahan komponen dari slit
diaphragm atau strukturnya, disregulasi sitoskleton aktin, perubahan pada membran basal
glomerulus atau interaksinya dengan podosit, atau perubahan muatan listrik negatif pada
permukaan podosit. Rusaknya podosit akan memicu terjadinya apoptosis dan terlepasnya
(detachment) podosit dari membran basal glomerulus. Akibatnya berlanjut pada kerusakan
lain yang diperantarai oleh pelepasan sitokin, stres mekanik, dan polaritas yang semakin
menurun, sehingga terbentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerulus (Gambar 2).
Pada nefropati membranosa kerusakan struktur membran basal glomerulus terjadi
akibat endapan kompleks imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada
7
nefropati membranosa akan meingkatkan permeabilitas membran basal glomerulus,
walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.3
Hipoalbuminemia
Konsetrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh protenuria
masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Dalam keadaan
normal hati memiliki kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin total sebesar 25 gram
per hari. Namun masih belum jelas mengapa hati tidak mampu meningkatkan sintesis
albumin secara adekuat untuk menormalkan kadar albumin plasma pada pasien dengan
proteinuria 4-6 gram per hari. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin total
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.3
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overvill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan
bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium mengikuti hukum Starling dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem renin-
angiotensin sehingga di tubulus distal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overvill menjelaskan bahwa ada retensi natrium adalah defek utama renal. Terjadi
defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium, hal ini dapat
disebabkan oleh aktivasi kanal natrium epitel (ENaC) oleh enzim proteolitik yang
memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi peningkatan
volume darah, penekanan renin-angiotensin dan vasopressin, dan kecenderungan untuk
terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi; ginjal juga relatif resisten terhadap efek
natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat tekanan onkotik yang rendah
memicu transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan edema. Penurunan laju filtrasi
8
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN. Faktor seperti asupan
natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi
glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan. Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat
gambar 4.3

6. DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kelopak mata, perut, tungkai,
skrotum/labia mayora, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat hematuri bewarna
kemerahan.1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, abdomen
(adanya asites), edema skrotum/labia mayora, dan efusi pleura; tekanan darah dapat normal
atau meningkat.1

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥ 2+), rasio albumin kreatinin urin >2 dan
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<2,5g/dL),
hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan
kreatinin umunya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.1

8. KOMPLIKASI
Keseimbangan Nitrogen Negatif
Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, secara
klinis biasanya diukur dengan menggunakan kadar albumin plasma. Sindrom nefrotik
adalah suatu wasting illness, namun derajat kehilangan massa otot tertutupi oleh gejala
edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot
sebesar 10-20% dari massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada
SN. Turnover albumin meningkat bukan hanya sebagai respon terhadap kehilangan protein
9
dalam urin namun juga akibat katabolisme protein terfiltrasi di tubulus. Diet tinggi protein
tidak terbukti memperbaiki metabolisme albumin karena respon hemodinamik terhadap
asupan yang meningkat adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang menyebabkan
kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah protein akan mengurangi
proteinuria namun juga menurunkan kecepatan sintesis albumin, dan dalam jangka panjang
akan meningkatkan risiko memburuknya keseimbangan nitrogen negatif.3
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi
intravaskular. Kadar berbagai protein yang terlibat dalam kaskade koagulasi teganggu pada
SN, serta agregasi platelet turut meningkat. Selain itu juga terjadi peningkatan fibrinogen
dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan oleh peningkatan
fibrinogen dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi sibebakan oleh
peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan adanya imobilisas,
koinsidensi infeksi, dan hemokonsentrasi (Gambar 5).
Insiden trombosis arteri dan vena (terutama trombosis vena dalam dan vena renalis)
meningkat sebesar 10-40% pada pasien SN. Kadar protein koagulasi tidak banyak
membantu dalam memperkirakan risiko tromboemboli, dan kadar albumin serum sering
dipakai sebagai petanda. Kejadian tromboemboli meningkat tajam jika kadar albumin
serum kurang dari 2 g/dl.
Kondisi hipoproteinemia dan disproteinemia menyebabkan peningkatan LED. Kadar
LED hingga 100 mm/jam tidak lazim ditemukan, sehingga disimpulkan bahwa LED bukan
merupakan petanda respon fase akut pada SN.
Pada SN akibat nefropati membranosa kecenderungan terjadinya trombosis vena
renalis cukup tinggi terutama pada pasien dengan ekskresi protein dalam urin melebihi 10
gram per hari, sedangkan SN pada lesi minimal dan membranoproliferatif frekuensinya
kecil. Sebagian besar pasien simtomatik, dan dicurigai terjadi trombosis vena renalis
apabila ditemukan tromboemboli paru.
Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada
SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.3
Hiperlipidemia dan Lipiduria

10
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Respon hiperlipidemik
sebagian dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta derajat hiperlipidemia
berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menuunnya tekanan onkotik. Kondisi
hiperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari SN yang terjadi baik secara
spontan maupun diinduksi dengan obat. Tekanan onkotik yang rendah secara langsung
menstimulasi trasnkripsi den apoprotein β di hepar.
Dugaan bahwa penyakit jantung koroner meningkat pada pasien SN akibat adanya
kombinasi hiperkoagulasi dan hiperlipidemia masih sulit untuk dibuktikan. Banyak pasien
yang menderita SN selama lebih dari 5-10 tahun akan memiliki risiko kardiovaskular lain
termasuk hipertensi dan uremia, sehingga sulit membedakan pengaruh dari keduanya.
Tetapi telah disadari bahwa pasien SN memiliki risiko lima kali lipat lebih tinggi untuk
terjadinya kematian akibat koroner, dengan perkecualian pada GN lesi minimal.
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai
sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low
density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu pula
ditemukan peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a,
sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein
hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil
stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak
berkorelasi dengan hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbunemia kadar kolsterol dapat
normal. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversu VLDL dan IDL
menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim
LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL
pada SN. Peningkatan sintesis lipoproteinhati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
vikositas yang menurun. Penurunan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT
(lecithin cholesterol acyltrasferase) yang berfungsi dalam katalisasi pembentukan HDL.
Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia
11
yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi
lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty
cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.3
Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia.
Vitamin D yang terikat prorein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan
penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH) D dan 1,35(OH)2D plasma juga ikut menurun
sedanakn kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Efek fisiologis perubahan
tersebut pada metabolisme vitamin D dalam homeostasis kalsium belum jelas diketahui.
Hipokalemia sering ditemukan pada SN oleh karena berkurangnya kalsium yang terkait
albumin akibat hipoalbuminemia. Namun karena fungsi ginjal pada SN umunya normal
maka osteomalasia atau hiperparatiroid yang tidak terkontrol jarang dijumpai.3
Efek Metabolik Lain dan Sindrom Nefrotik
Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding
protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebad dan
hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal
sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. Namun pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal maka dapat ditemukan kelainan fungsi ginjal maka dapat
ditemukan kelainan fungsi tioid yang lebih berat. Dan jika dicurigai adanya hipotiroid
secara klinis maka TSH serum sebaiknya diperiksa. Terapi steroid pada pasien SN bisa
menghambat sekresi TSH dan konversi T4 menjadi T3 di perifer. Akibatnya serum T3 dan
TSH basal rendah dan kadar rT3 meningkat. Pada kondisi ini maka kadar T4 bebas
merupakan pertanda fungsi tiroid yang paling akurat. Apabila kadat fT4 menurun maka
pengobatan untuk hipotiroid sebainya dimulai.
Anemia dapat terjadi pada SN dengan fungsi ginjal yang masih baik. Hal ini disebabkan
oleh defisiensi eritropoietin dan kehilangan protein dalam urin. Pada kondisi ini pemberian
eritropoietin dapat bermanfaatn.
Ikatan obat obatan dapat terganggu akibat rendahnya albumin plasma. Meski sebagian
besar obat tidak memerlukan penyesuaian dosis namun khusus untuk clofibrate dosis perlu
diturunkan karena pada pemberian yang normal pada pasien SN dapat menimbulkan
miopati yang berat. Menurutnya ikatan dengan protein juga mengurangi dosis warfarin
yang dibutuhkan untuk mencapai efek antikoagulan yang adekuat atau dosis furosemid
yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan volume yang optimal.3
12
Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN terutama
oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek
imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan
gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah
sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini
dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal. Faktor risiko lain yang dapat mempermudah terjadinya infeksi
pada pasien SN yaitu akumulasi cairan dalam jumlah besar yang merupakan tempat
pertumbuhan yang baik utnuk bakteri, kulit pasien SN yang rapuh akan mempermudah
masuknya bakteri, serta edema yang menyebabkan dilusi dari faktor imun humoral lokal.3

9. TERAPI
a. Medikamentosa
Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4 mingu,
dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal
pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8 minggu (lihat lampiran) (ISKDC 1982).

Bila terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m2/hari sampai terjadi remisi
(maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara alternating
selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksik steroid, diberikan obat
imunosupresan lain seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam
dosis tunggal di bawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan
berat badan tanpa edema (persentil ke-50 berat badan menurut tinggi badan).1

b. Suportif

Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian kortokosteroid atau
imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet protein
normal (1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam (1-2 g/hari) dan diuretik. Diuretik
furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton

13
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edema
anasarka atau edema yang mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi dapat
ditambahkan obat antihipertensi. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb
selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pmberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema
refrakter, syok, atau kadar albumin ≤ 1 gram/dL. Terapi psikologis terhadap pasien dan
orangtua diperlukan karena penyakit ini dapat berulang dan merupakan penyakit
kronik. 1
- Dosis pemberian albumin :
Kadar albumin serum 1-2 g/dL: diberikan 0,5 g/kgBB/hari; kadar albumin <1 g/dL
diberikan 1 g/kgBB/hari.
- Skema pengobatan SN inisial menurut ISKDC 1967

c. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll)

Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak
:1

- Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di
dalam keluarga
- Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artitis, serositis, atau lesi di kulit
- Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid
- Sindrom nefrotik resisten steroid
- Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
- Diperlukan biopsi ginjal

d. Pemantauan

Terapi

Dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama, maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat. Prednison
dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain dan siklofosfamid dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah
14
perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah
tepi setiap minggu. Apabila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan
imunosupresan lain, hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi
sumsum tulang (leukosit <3.000/µL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi
jika leukosit ≥5.000µL. 1

Tumbuh kembang

Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom nefrotik sendiri
atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam jangka lama. Selain itu,
penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga sangat rentan terhadap
infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu tumbuh kembang pasien. 1

10. PROGNOSIS

Angka kejadian relaps SN pada anak yang responsif terhadap steroid berkisar
antara 60-80%. Namun angka relaps tersebut semakin kecil seiring bertambahnya usia.2

15
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang


ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia,
dan lipiduria. Gejala khas untuk diagnostik SN : bengkak di kelopak mata, perut, tungkai,
skrotum/labia mayora, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Gejala
lain : hematuria. Penetapan diagnostik pasti untuk SN : Urinalisis (proteinuria masif, rasio
albumin kreatinin urin dan hematuria) dan Pemeriksaan darah (hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia dan laju endap darah meningkat. Angka kejadian relaps SN pada anak
yang responsif terhadap steroid (60-80%). Tatalaksana SN dengan suportif dan
medikamentosa.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Cetakan Pe. Pudjiadi AH,
Hegar B, Handrayastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors.
Palembang: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.

2. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 1st ed. Jakarta:
Media Aesculapius; 2016.

3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2015.

4. Prof. Dr. Sudigdo Sastroasmoro S. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu


Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: RSUP. Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai