Anda di halaman 1dari 10

Artikel Pengetahuan Bahan

DAGING KELINCI

Disusun oleh :

Megawati 17051050100
Ananda Ladya Sabilla 1705105010058
Farah Dzikrillah 1705105010070

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2018
B. Karakteristik Daging Kelinci
Daging kelinci memiliki tekstur yang sangat lembut. Warna dagingnya yaitu
putih kemerahan hampir menyerupai daging ayam. Karakteristik daging kelinci
mempunyai serat yang halus, serta mempunyai kandungan lemak yang rendah dan
kandungan glikogen yang tinggi dibandingkan dengan daging merah. Kandungan
protein pada daging kelinci terbilang tinggi. Maka dari itu, daging kelinci
direkomendasikan dunia kedokteran sebagai daging yang baik dan sehat untuk
dikonsumsi oleh masayarakat. Terlebih lagi tekstur dagingnya yang lembut dengan
serat yang halus, dapat memudahkan dalam mengunyah ataupun proses penggilingan
(Priyatna, 2011).

D. Sifat Fisikokimiawi
Hasil uji sifat fisik menunjukkan bahwa beberapa aspek yang memberikan
gambaran keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama,
mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah tidaknya
daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah
residu tertinggal setelah dikunyah. Perbedaan keempukan pada jenis rumpun
disebabkan dari tipe jenis kelinci. Kelinci Rex merupakan tipe kelinci medium
sedangkan kelinci lokal adalah tipe kelinci kecil. Tipe kelinci medium memiliki
serabut otot yang lebih besar dibandingkan kelinci tipe kecil. Hal ini menyebabkan
perbedaan keempukan pada kedua jenis rumpun ini.
Susut masak merupakan perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah
dimasak yang dinyatakan dalam persentase. Daging dengan susut masak yang lebih
rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut
masak yang lebih besar. Kualitas daging ini berkaitan dengan banyaknya nutrisi yang
hilang selama pemasakan. Secara umum daging dengan susut masak yang rendah
memiliki nutrisi yang baik, karena sedikit mengalami pengurangan nutrisi saat
pemasakan. Rumpun yang mempunyai kandungan lemak daging yang tinggi akan
mempunyai susut masak yang tinggi pula . Lemak tersebut akan ikut keluar saat
pemasakan. Kelinci Rex dan kelinci lokal tidak mempunyai kandungan lemak yang
jauh berbeda, sehingga nilai susut masaknya tidak berbeda nyata.
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water
binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya
atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat
air daging dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air
di antara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi,
temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan,
perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Brahmantiyo, dkk., 2014).
Sifat kimia pada daging kelinci meliputi ketersediaan air sangat
mempengaruhi ketahanan daging sebagai bahan pangan khususnya dalam konteks
kerusakan mikrobiologis. Air yang terukur dengan metode pemanasan langsung
merupakan air yang menguap karena titik didihnya terlampaui dan air yang hilang
selama pemanasan dengan oven (±105oC) meliputi air permukaan maupun air pada
bagian dalam daging (Lawri ) yang menyatakan bahwa kisaran air daging pada
umumnya adalah 65– 80%. Variasi kadar air pada kelinci Rex dan kelinci lokal
disebabkan kelinci Rex mempunyai tingkat dehidrasi yang lebih tinggi dibandingkan
kelinci lokal, sehingga kadar air daging pada kelinci Rex sedikit lebih kecil di
bandingkan dengan kelinci lokal. Kadar air daging segar lebih dipengaruhi tingkat
dehidrasi ternak sebelum pemotongan.
Kadar abu dalam suatu bahan yang diuji dapat menggambarkan jumlah
mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Nilai kadar abu yang semakin tinggi
maka kandungan mineral akan semakin tinggi pula. Mineral tersebut dapat
merupakan garam organik maupun anorganik. Kadar abu daging kelinci pada
penelitian ini tidak dipengaruhi oleh jenis rumpun, jenis kelamin dan interaksi antar
keduanya. Rataan nilai kadar abu untuk semua kelinci pada penelitian ini (1,06–
1,19%).
Kadar protein kasar yang terukur secara proksimat sebenarnya bukan hanya
fraksi protein tetapi juga semua senyawa yang mengandung nitrogen. Kadar protein
merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam suatu bahan pangan.
Bahan pangan yang berkualitas mempunyai kadar protein yang tinggi. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa rataan kadar protein daging kelinci mempunyai
nilai yang tidak berbeda, yaitu 18%. Hal ini berarti jenis rumpun dan jenis kelamin
serta interaksi kedua faktor ini tidak berpengaruh terhadap kadar protein daging.
Ngadiono (1992) menyatakan bahwa kadar protein dan abu dalam daging relatif
konstan. Begitupun dengan kadar lemak pada daging kelinci juga relatif konstan
(Brahmantiyo, dkk., 2014).

E. Perubahan yang Terjadi selama Penanganan dan Penyimpanan


Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak.
Perubahan pH ini tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan.
Bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang
berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup akan menghasilkan
daging yang kurang berkualitas buruk. Penurunan nilai pH setelah hewan mati
ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan berpengaruh terhadap produksi asam
laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.
Besar dan kecilnya penurunan pH pascamati mempengaruhi nilai DMA,
semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA. Daya mengikat air
menurun dari pH tinggi yaitu sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-
protein daging antara 5,0-5,1. Nilai pH pada protein daging ini tidak bermuatan
(jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya
minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging,
sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang
mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk
molekul air.
Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60oC, 70oC, 80oC) akan
mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan
menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60oC, 70oC, 80oC) secara akurat
dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu
yang rendah (perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat
untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan,
jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan.
Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin
tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang
sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging
Selama pemasakan protein terdenaturasi dan sruktur seluler terpecah, hal ini
menyebabkan efek yang besar karena daging akan kehilangan cairan yang dihasilkan.
Untuk memprediksi susut masak tidak cukup hanya dengan mengukur pH.Perebusan
daging pada suhu tinggi (60-90oC) akan menyebabkan kerusakan jaringan epimisium,
permisium, dan endomesium sehingga jaringan daging akan menyusut sekitar 30%
akibat keluarnya cairan daging atau cooking loss (Puspita, 2010).

F. Olahan Daging Kelinci


Daging kelinci dapat dijual dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan,
namun pasar domestik saat ini belum terbuka, hanya terbatas kepada beberapa
penjual di daerah tertentu saja. Keterbatasan pemasaran ini disebabkan oleh
keengganan masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci. Oleh karena itu
pengolahan daging kelinci diharapkan untuk dapat meningkatkan minat masyarakat
untuk mengonsumsi daging kelinci yang pada akhirnya dapat mengurangi
permasalahan tersebut diatas. Salah satu upaya agar daging kelinci bias untuk
dikonsumsi seperti halnya daging ternak lain, yaitu dengan cara dilakukan
diversifikasi produk olahan yang berbasis daging kelinci. Salah satu upaya untuk
meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci adalah dengan
cara melakukan diversifikasi olahan berbahan baku daging kelinci. Daging kelinci
dapat dikembangkan pada jenis olahan yang berbahan baku daging, contohnya seperti
bakso, dan nugget. Salah satu upaya untuk pengolahan daging kelinci adalah dengan
pembuatan bakso. Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang bergizi
tinggi dan disukai oleh semua lapisan masyarakat dari semua usia, mulai dari anak-
anak hingga orang tua. Daging yang umumnya digunakan adalah sapi, ayam dan ikan
dengan penambahan tepung tapioka sebagai bahan pengisi. Bakso daging kelinci
memiliki warna agak putih, aroma agak menyengat daging kelinci, rasa khas bakso,
tekstur agak halus, dan tingkat kekenyalan yang baik. Nugget tidak hanya dibuat dari
daging ayam tetapi juga bisa dengan menggunakan daging ikan, daging sapi dan lain-
lain. Salah satu alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai bahan utama pembuat
nugget adalah daging kelinci. Manfaat dari pembuatan bakso dan nugget dari daging
kelinci ini yaitu selain karena kandungan lemak yang rendah dan protein yang tinggi,
daging kelinci ini juga mengandung sedikit kalori dibandingkan dengan daging
lainnya bisa terbilang daging kelinci hampir bebas dari kolesterol, karena itu daging
kelinci sangat baik dikonsumsi untuk kesehatan. Karena masyarakat Indonesia masih
belum terbiasa memakan daging kelinci maka dari itu dibuatlah berbagai olahan
daging yang biasa dimakan oleh masyarakat yaitu contohnya seperti bakso dan
nugget.
1. Bakso Daging Kelinci
Pertama buang lemak dan jaringan ikat (urat) yang menempel pada daging
kelinci, kemudian tambahkan garam dan es yang sudah dihaluskan selama satu menit.
Lalu masukkan tepung tapioka, merica ke dalam adonan daging, kemudian putar
selama satu menit. Adonan yang telah lengket didiamkan selama 30 menit sampai 1
jam (kalau bisa simpan di lemari es). Rebus air dalam panci sampai mendidih setelah
itu kecilkan api atau matikan. Disiapkan adonan dan dibentuk menjadi bulatan sesuai
selera, kemudian masukkan ke dalam panci yang berisi air panas (jangan terlalu
panas, karena bentuk bakso tidak akan bulat maksimal kalau terlalu panas airnya).
Bulatan bakso akan mengembang dan berubah warna menjadi coklat keabuan,
kemudian rebus lagi selama 10-15 menit. Tiriskan dan bakso siap untuk dimakan
atau diolah menjadi berbagai jenis menu makanan atau disimpan.

Karkas
daging
kelinci

Dibuang lemak dan jaringan ikat


(urat)

Garam
Ditambahkan dan es

Tapioka
dan
merica
Dimasukkan

Didiamkan selama 30 menit-1 jam

Direbus air dalam panci sampai


mendidih

Disiapkan adonan

Dibentuk menjadi bulatan

Dimasukkan kedalam panci yang


berisi air panas

Direbus lagi 10-15 menit

Ditiriskan

Hasil

2. Nugget daging kelinci


Pertama, dihaluskan daging kelinci terlebih dahulu dengan cara digiling.
Setelah itu dicampurkan adonan daging dengan tepung maizena, susu krim, es batu,
lada, MSG dan bawang putih. Setelah itu diaduk hingga semua tercampur merata.
Lalu, adonan tersebut dicetak di dalam lembaran dari plastik. Dinginkan di dalam
lemari es kurang lebih selama 30 menit. Setelah padat, adonan tadi diambil dan
dipotong sesuai selera. Potongan adonan yang telah mengeras tadi dilumuri dengan
tepung roti hingga merata. Selanjutnya digoreng setengah matang. Diangkat dan
dikemas. Sebaiknya nugget dikemas dengan vakum dan disimpan di dalam lemari es.

Karkas
daging
kelinci

Dihaluskan dengan cara digiling


Maizena, susu
Dicampurkan krim, es batu,
lada, MSG dan
bawang putih
Diaduk hingga merata

Dicetak didalam lembaran dari


kertas

Didinginkan selama 30 menit

Diambil dan dipotong

Dilumuri dengan tepung roti

Digoreng setengah matang

Diangkat dan dikemas


Disimpan didalam lemari es

Hasil

Referensi

Brahmantiyo, B, Setiawan dan M. Yamin. Sifat Fisik dan Kimia Daging Kelinci Rex
dan Lokal (Oryctolagus cuniculus) Physical and Chemical Properties
of Rex and Local Rabbit’s (Oryctolagus cuniculus) Meat. Jurnal
Peternakan Indonesia. Vol. 16, No.1, Hal : 1-7.
Priyatna, N. 2011. Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. PT AgroMedia Pustaka,
Jakarta Selatan.
Puspita, N. 2010. Sifat Fisik Daging Kelinci Pada Lama Postmortem Yang Berbeda.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai