Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/301549402

Zonasi Polen Tersier Indonesia Timur

Article · April 2007

CITATIONS READS

0 691

1 author:

Eko BUDI Lelono


Research and Development Center for Oil and Gas Technology "LEMIGAS"
12 PUBLICATIONS   20 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Off-shore East Java Palinology project View project

South Sumatra palynology project View project

All content following this page was uploaded by Eko BUDI Lelono on 21 April 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

Zonasi Polen Tersier Indonesia Timur


Oleh:
Eko Budi Lelono

SARI
Wilayah Indonesia yang tersusun dari berbagai lempeng kerak bumi ternyata berpengaruh
terhadap jenis flora yang hidup di kepulauannya sepanjang waktu geologi. Kawasan yang berasal
dari Lempeng Asia, dihuni tumbuhan khas Asia, sedangkan kawasan yang terbentuk dari Lempeng
Australia, ditumbuhi tanaman yang punya kekerabatan dengan tumbuhan Australia. Sebagai
konsekuensinya palinomorf yang dihasilkannya pun beragam sesuai asal lempeng-lempeng tersebut.
Oleh karenanya zonasi polen satu daerah dapat berbeda dengan daerah lain. Di kawasan timur
Indonesia, hal ini terbukti dengan adanya perbedaan zonasi polen Tersier antara Sulawesi dan
Papua. Zonasi polen Sulawesi mirip dengan zonasi polen Jawa yang dipublikasikan oleh Rahardjo,
dkk (1994). Hal ini disebabkan karena Sulawesi, terutama bagian baratnya merupakan bagian
dari Daratan Sunda (Sundaland), sehingga tumbuhannya adalah khas Asia. Sebaliknya Papua
yang merupakan bagian dari Lempeng Australia didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari
Australia. Zonasi polen Tersier Indonesia Timur yang pernah dipublikasikan adalah untuk Sulawesi
dan Papua (Lelono, dkk., 1996). Meskipun demikian zonasi tersebut masih harus disempurnakan
karena perconto batuan yang digunakan dalam penelitian belum mewakili batuan sedimen yang
terbentuk di kedua pulau tersebut, akibat keterbatasan waktu penelitian.
Selain zonasi polen Tersier, dibutuhkan pula zonasi polen umur pra-Tersier, bahkan jika mungkin
disusun biostratigrafi pra-Tersier untuk kawasan timur Indonesia karena belum ada yang
melakukannya, disamping umumnya sedimen pra-Tersier menjadi target utama eksplorasi migas
di kawasan timur Indonesia.
Kata kunci: Zonasi polen Indonesia Timur.
ABSTRACT
The Indonesian islands are composed of the interaction of three major plates including Asian,
Australian and Pacific plates which determine the occurrence of vegetation within these islands
through out geological history. The islands derived from the Asian plates should bear the Asian
vegetation, whilst the islands with Australian origin are dominated by Australian floras. Conse-
quently, palynomorphs appear differently throughout geological time from one area to another
depending on the origin of the area. Therefore, palynological zonation applying in one area may
be inappropriate for another area. In the case of eastern Indonesia, this is shown by the differ-
ence of the Tertiary pollen zone appearing in Sulawesi and that of Papua. Pollen zone of Sulawesi
resembles with that of Java as both islands was situated in the south end of Sundaland (Asian
plate). On the other hand, Papua provides different Tertiary pollen zone compared to that of
Java and Sulawesi as this island was a part of Australian plate as proved by the domination of
Australian palynomorphs across its pollen zone. Palynological zonations of Sulawesi and Papua
have been published by Lelono et al. in 1996. However, these zonations need to be refined
because samples used for constructing them might not be representative of eastern Indonesia.
This results in, for example, the occurrence of gaps within both palynological zonations.
In addition, pre-Tertiary palynological zonation is desperately required in order to access
pre-Tertiary sediments, especially those occurring in eastern Indonesia. Apparently, these sedi-
ments are the target of petroleum exploration.
Key words: Pollen Zone, Eastern Indonesia

1
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

I. PENDAHULUAN Format penelitian seperti yang dilakukan pada


RUT I dapat dijadikan acuan dalam menyusun
Di awal tahun 1993 Pemerintah melalui program
biostratigrafi pra-Tersier di kawasan timur Indone-
Riset Unggulan Terpadu I menyediakan dana untuk
sia, yaitu dengan melibatkan beberapa ahli
penelitian biostratigrafi tersier dan kuarter di Indone-
biostratigrafi dari puslitbang lain dan perguruan tinggi.
sia. Proyek ini dilaksanakan selama tiga tahun, (tahun
Pendanaan kegiatan inipun sebaiknya ditanggung oleh
1993 sampai dengan 1995). Penelitian dilakukan
pihak-pihak yang terlibat, di mana LEMIGAS menjadi
dengan mengumpulkan sejumlah percontoh yang
penyandang dana utama, jika memungkinkan. Dengan
dianggap mewakili cekungan tertentu. Wilayah yang
demikian hasil penelitian ini menjadi aset nasional yang
diteliti membentang dari barat sampai timur Indone-
akan digunakan oleh para ahli biostratigrafi sebagai
sia, meliputi beberapa cekungan besar. Percontoh
pijakan dalam melakukan analisis biostratigrafi
berasal dari permukaan yang diambil dengan
sedimen pra-Tersier di kawasan timur Indonesia.
melakukan survei lapangan. Selain itu, dikumpulkan
pula percontoh bawah permukaan yang berasal dari II. KETERSEDIAAN DATA
sumur pemboran milik PERTAMINA dan perusahaan
swasta asing. Proyek penelitian ini berhasil menyusun Untuk keperluan kaji ulang biostratigrafi sedimen
biozonasi Tersier untuk Pulau Jawa yang dapat Tersier dan penelitian biostratigrafi sedimen pra-
digunakan di wilayah barat Indonesia. Disamping itu, Tersier di kawasan timur Indonesia diutamakan
riset ini telah mempublikasikan zonasi palinologi untuk percontoh sumur pemboran. Data percontoh
pulau Sulawesi dan Papua. Hanya saja mengingat permukaan yang diperoleh dengan metode
waktu penelitian yang relatif singkat, maka zonasi pengukuran lintasan (measured section) digunakan
untuk validasi hasil analisis percontoh sumuran,
biostratigrafi yang dihasilkan kurang rinci. Sejauh Ini
mengingat kemungkinan terjadi runtuhan (caving)
belum ada upaya untuk meneliti ulang zonasi palinologi
pada percontoh sumuran jenis serbuk bor (ditch cut-
Tersier untuk Sulawesi dan Papua dalam rangka
ting). Percontoh sumuran milik beberapa perusahaan
merevisi zonasi tersebut sejak pertama dipublikasikan
migas seperti PERTAMINA dan beberapa kontraktor
pada tahun 1996. Ada beberapa alasan mengapa
asing ini tersimpan dengan baik di gudang
zonasi palinologi untuk Sulawesi dan Papua kurang
penyimpanan batuan. Untuk menggunakan percontoh
mendapat perhatian sebagaimana zonasi palinologi
sumuran ini diperlukan izin tertulis dari pemiliknya.
untuk kawasan barat Indonesia. Pertama, eksplorasi
Biasanya sepanjang percontoh dipakai untuk
migas lebih terkonsentrasi di kawasan barat Indone-
kepentingan penelitian, umumnya perusahaan migas
sia, sehingga lebih diperlukan biozonasi kawasan barat
pemilik percontoh tersebut mengizinkannya. Untuk
Indonesia. Kedua, seandainyapun perusahaan migas
kepentingan pembuatan tulisan ini dikumpulkan
ada yang beroperasi di kawasan timur Indonesia,
sejumlah percontoh batuan yang berasal dari beberapa
akses untuk mendapatkan percontoh sumuran ternyata
lokasi di P. Jawa, P. Sulawesi dan P. Papua
sulit karena dianggap sebagai rahasia perusahaan.
sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Selain itu, pada umumnya percontoh dikirim ke institusi
swasta penyedia jasa analisis biostratigrafi. Khusus III. ZONASI POLEN TERSIER DI PULAU
percontoh sumuran umur pra-Tersier, LEMIGAS sulit JAWA
bersaing dengan institusi swasta karena dinilai belum Zonasi polen P. Jawa ini merupakan salah satu
memiliki pengalaman memadai. Ketiga, biaya yang hasil dari proyek Riset Unggulan Terpadu Pertama
diperlukan untuk melakukan pengumpulan percontoh (RUT-1) berjudul Biostratigrafi Sedimen Tersier dan
lapangan relatif besar, di samping kesampaian Kuarter di Indonesia. Sebenarnya zonasi polen untuk
daerahnya relatif sulit. Menimbang kondisi tersebut Indonesia sudah diusulkan oleh beberapa peneliti
di atas, studi biostratigrafi kawasan timur Indonesia terdahulu seperti Germeraad, Hopping dan Muller
perlu dilaksanakan karena bermanfaat untuk (1968) dan Morley (1978 dalam Morley, 1991). Hanya
kepentingan riset dan komersial. LEMIGAS sebagai saja zonasi pollen tersebut tidak selalu sesuai
lembaga litbang pemerintah di bidang migas diterapkan di semua tempat di Indonesia karena terjadi
mempunyai kemampuan untuk memimpin institusi variasi kisaran stratigrafi dari beberapa indeks polen.
sejenis dalam mengembangkan biostratigrafi sedimen Penelitian zonasi polen P. Jawa dilengkapi dengan
Tersier dan pra-Tersier di kawasan timur Indonesia. penelitian terhadap keberadaan fosil pembanding lain

2
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

yang sudah diketahui kisaran umurnya secara pasti Meyeripollis naharkotensis. Zona ini sebanding
di P. Jawa seperti foraminifera dan nanoplangton. dengan zona foram plangtonik P18-N2 yang sama
Dengan demikian kisaran stratigrafi polen indeks dapat dengan umur Oligosen.
ditentukan dengan tepat dengan membandingkannya
3. Zona Florschuetzia Trilobata
pada fosil indeks foraminifera dan nanoplangton.
Penelitian palinologi terhadap batuan sedimen Batas bawah zona Florschuetzia Trilobata
umur Pliosen sampai Eosen di P. Jawa menghasilkan ditentukan oleh kemunculan akhir Meyripollis
tujuh zonasi polen, sebagai berikut (dari umur tua ke Naharkotensis, sedangkan batas atasnya ditandai
muda, Gambar 2):
1. Zona Proxapertites
Operculatus
Zona polen ini ditandai
oleh kisaran polen
Proxapertites oper-
culatus. Zona Proxa-
pertites Operculatus
sebanding dengan
zona foram planktonik
P14-P17 atau umur
Eosen.
2. Zona Meyeripollis
naharkotensis
Zona Meyeripollis Gambar 1
naharkotensis ditan- Peta lokasi pengambilan percontoh batuan yang digunakan untuk
dai oleh kisaran polen penyusunan zonasi palinologi

Gambar 2
Zonasi palinologi Pulau Jawa (Rahardjo dkk., 1994)

3
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

Gambar 3
Zonasi palinologi Pulau Sulawesi (Lelono dkk, 1996 dengan modifikasi)

oleh kemunculan awal Florschuetzia levipoli. sebanding dengan zona foram planktonik N9-N16
Zona polen ini sebanding dengan zona foram atau umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir
plangtonik N3-N5 atau umur Oligosen Akhir bagian bawah.
bagian atas sampai Miosen Awal bagian bawah.
6. Zona Stenochlaenidites Papuanus
4. Zona Florschuetzia Levipoli
Bagian bawah zona Stenochlaenidites
Bagian bawah zona Florschuetzia Levipoli Papuanus dibatasi oleh kemunculan akhir polen
dibatasi oleh kemunculan awal polen Florschuetzia trilobata, sedangkan bagian
Florschuetzia levipoli, sedangkan bagian atasnya atasnya dibatasi oleh kemunculan awal Dacry-
dibatasi oleh kemunculan awal polen carpidites australiensis. Selain itu, zona ini
Florschuetzia meridionalis. Zona polen ini ditandai pula oleh kisaran spora Stenochlaenidites
sebanding dengan zona foram plangtonik N6-N8 papuanus. Zona ini sebanding dengan zona fo-
atau umur Miosen Awal bagian atas. ram plangkonik N17-N19 atau umur Miosen Akhir
5. Zona Florschuetzia Meridionalis bagian atas sampai Pliosen Akhir bagian bawah.

Batas bawah zona Florschuetzia meridionalis 7. Zona Dacrycarpidites Australiensis


ditandai oleh kemunculan awal Florschuetzia Batas bawah zona polen ini ditentukan oleh
Meridionalis, sedangkan batas atasnya kemunculan awal polen Dacrycarpidites
ditentukan oleh kemunculan akhir polen Australiensis, sedangkan batas atasnya ditandai
Florschuetzia Trilobata. Zona polen ini oleh kemunculan akhir spora Stenochlaenidites

4
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

Papuanus. Zona Dacrycarpidites australiensis atau umur Miosen Awal bagian atas-Miosen
sebanding dengan zona foram plangtonik N20-N21 Tengah bagian bawah.
atau umur Pliosen Akhir. 4. Zona Florschuetzia Meridionalis
Kisaran palinomorf indeks yang digunakan dalam
Batas bawah zona Florschuetzia Meridionalis
pembuatan zonasi palinologi P. Jawa ditunjukkan pada
ditandai oleh kemunculan awal Florschuetzia
Gambar 2.
Meridionalis, sedangkan batas atasnya belum
IV. ZONASI POLEN TERSIER PULAU dapat ditentukan karena keterbatasan percontoh
SULAWESI batuan untuk umur yang lebih muda.
Kemungkinan batas atas zona ini dijumpai pada
Penelitian kandungan palinomorf pada sedimen
umur Miosen Atas, jika mengacu pada zonasi
umur Tersier di Pulau Sulawesi menunjukkan
polen Jawa (Rahardjo dkk., 1994). Zona polen ini
kecenderungan sama dengan kandungan palinomorf
sebanding dengan zona foram plangtonik N11-
yang umum ditemukan di kawasan barat Indonesia.
N18? atau umur Miosen Tengah sampai Miosen
Zonasi polen Sulawesi yang dipublikasikan oleh
Akhir.
Lelono dkk. (1996) menunjukkan kemiripan dengan
zonasi polen Jawa (Rahardjo dkk., 1994) dan Zonasi Penelitian yang dilakukan Lelono (2003) terhadap
Morley (1991). Meskipun demikian, zonasi Sulawesi Formasi Toraja yang tersingkap di Desa Kalumpang,
ini masih perlu disempurnakan dan dilengkapi karena Sulawesi Selatan berhasil mengungkap secara rinci
baru mencakup sedimen umur Miosen-Oligosen kandungan palinomorf umur Eosen. Dibandingkan
(Gambar 3). Sedangkan untuk sedimen lebih muda dengan kandungan polen yang terdapat pada Formasi
dari Miosen dan lebih tua dari Oligosen belum Nanggulan umur Eosen di Yogyakarta (Lelono, 2000),
diketahui zonasinya, terutama karena keterbatasan kandungan polen Formasi Toraja jauh lebih sedikit,
percontoh sedimen umur tersebut serta dana dan baik keragaman maupun kelimpahannya. Di samping
waktu penelitian. Zonasi polen yang berhasil disusun itu, beberapa fosil kunci penciri umur Eosen Tengah
terdiri dari 4 zona sebagai berikut (dari umur tua ke yang dijumpai pada Formasi Nanggulan tidak terdapat
muda, Gambar 3): pada Formasi Toraja. Diperkirakan bahwa sedimen
dari Formasi Toraja yang menjadi obyek penelitian
1. Zona Meyeripollis Naharkotensis
terbentuk lebih muda dari sedimen Formasi
Zona Meyeripollis Naharkotensis dicirikan oleh Nanggulan. Disimpulkan bahwa sedimen Formasi
kisaran stratigrafi polen Meyeripollis Toraja adalah Eosen Akhir. Kesimpulan ini diperkuat
Naharkotensis. Zona ini sebanding dengan zona dengan hasil analisis foraminifera dan nanoplangton
foram plangtonik P16-P22 yang sama dengan yang menunjukkan umur Eosen Akhir (Lelono, 2003).
umur Eosen Akhir-Oligosen. Berdasarkan kemunculan polen Proxapertites
2. Zona Florschuetzia Trilobata operculatus secara konsisten, maka disimpulkan
bahwa zonasi polen yang muncul pada sedimen
Batas bawah zona Florschuetzia Trilobata
Formasi Toraja umur Eosen Akhir adalah zona
ditentukan oleh kemunculan akhir M.
Proxapertites Operculatus.
Naharkotensis, sedangkan batas atasnya ditandai
oleh kemunculan awal Florschuetzia Levipoli. Untuk melengkapi zonasi polen Sulawesi yang
Zona polen ini sebanding dengan zona foram dipublikasikan Lelono dkk. pada tahun 1996, maka
plangtonik N4-N6 atau umur Miosen Awal bagian berdasarkan hasil penelitian batuan sedimen Formasi
bawah. Toraja, diperkirakan bahwa zona polen Sulawesi
untuk umur Eosen Atas adalah zona Proxapertites
3. Zona Florschuetzia Levipoli Operculatus (Gambar 3). Meskipun demikian, masih
Bagian bawah zona Florschuetzia Levipoli diperlukan penelitian tambahan mengingat masih
dibatasi oleh kemunculan awal polen banyak kisaran umur stratigrafi yang belum ditentukan
Florschuetzia levipoli, sedangkan bagian atasnya zona polennya seperti Kuarter-Pliosen dan Eosen
dibatasi oleh kemunculan awal polen Tengah-Paleosen. Usaha untuk melengkapi zonasi
Florschuetzia meridionalis. Zona polen ini polen Sulawesi perlu dilakukan untuk lebih mengetahui
sebanding dengan zona foram plangtonik N7-N10 palinologi pulau Sulawesi, yang nantinya berkontribusi

5
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

pada pemahaman stratigrafi Tersier pulau ini. stratigrafi dari Eosen sampai Kuarter (Lelono, dkk.,
1996). Adapun kedelapan zona polen tersebut adalah
V. ZONASI POLEN TERSIER PULAU sebagai berikut (dari umur tua ke muda);
PAPUA
1. Zona Spinizonocolpites Baculatus
Palinomorf yang dijumpai pada percontoh
Zona polen ini dicirikan oleh keberadaan polen
sedimen yang dianalisis memperlihatkan percampuran
Spinizonocolpites baculatus. Zona Spinizono-
antara spesies asal Australia, Asia dan beberapa dari
colpites Baculatus sebanding dengan zona fo-
Filipina. Zonasi polen yang berhasil disusun berbeda
ram plangtonik P1-P9 atau umur Paleosen-Eosen
dengan zonasi polen untuk Sulawesi karena tumbuhan
Awal.
yang hidup selama Tersier berasal dari berbagai
kontinen, yaitu Australia, Asia dan Filipina. Seperti 2. Zona Metroxyllon Salamonense
halnya zonasi polen Sulawesi, zonasi polen Papua pun Zona ini ditandai oleh puncak kelimpahan polen
belum lengkap terutama pada kisaran stratigrafi umur rotan Metroxyllon Salamonense yang berasal
Eosen Tengah-Miosen Awal (Gambar 4). Oleh dari Australia (zona puncak). Zona ini ditandai pula
karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut untuk oleh kemunculan Nothofagicidites emarcida.
melengkapi zonasi polen tersebut, di samping untuk Zona ini sebanding dengan zona foram plangtonik
melihat kemungkinan membagi zona yang telah lebih tua dari N12-N12 yang sama dengan umur
disusun menjadi zona yang lebih rinci. Zonasi polen lebih tua dari Miosen Tengah-Miosen Tengah
Papua dibagi menjadi 8 zona dengan kisaran bagian tengah.

Gambar 4
Zonasi palinologi Papuai (Lelono dkk., 1996)

6
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

3. Zona Foveosporites spp 6. Zona Malvacipollis Diversus


Sama seperti zona sebelumnya, zona ini pun adalah Bagian bawah zona Malvacipollis diversus dibatasi
zona puncak yang ditandai oleh puncak kelimpahan oleh kemunculan awal Malvacipollis Diversus,
spora Foveosporites spp. Ciri lainya adalah sedangkan bagian atasnya dibatasi oleh
kehadiran Metroxyllon salamonense dan kemunculan awal “Garcinia Cuspidata type”.
Nothofagicidites emarcida. Zona polen ini Zona ini sebanding dengan zona nanoplangton
sebanding dengan zona foram plangtonik N12-N14 NN16 atau umur Pliosen Akhir.
atau umur Miosen Tengah bagian atas. 7. Zona “Garcinia Cuspidata type”
4. Zona Nothofagidites Emarcida Batas bawah zona polen ini ditentukan oleh ke-
Zona polen ini adalah zona puncak yang dicirikan munculan awal “Garcinia Cuspidata type”,
oleh kelimpahan maksimum Nothofagidites sedangkan batas atasnya ditandai oleh kemunculan
Emarcida yang bermigrasi dari Australia. Zona awal Proteacidites spp. Zona “Garcinia Cuspi-
polen ini sebanding dengan zona foram plangtonik data type” sebanding dengan zona foram plangto-
N15-N18 atau umur Miosen Akhir. Zona nik N20/ N21 atau umur Pliosen Akhir bagian atas.
Nothofagidites emarcida dapat dibagi menjadi
8. Zona Proteacidites spp.
tiga sub-zona sebagai berikut (dari umur tua ke
muda): Batas bawah zona polen ini ditandai oleh
a. Sub-zona Nothofagidites Emarcida kemunculan awal Proteacidites spp. yang
menerus sampai umur Holosen. Zona
Batas bawah sub-zona ini ditentukan oleh awal
Proteacidites spp. sebanding dengan zona foram
kelimpahan maksimum spesies Nothofagidites
plangtonik N22-N23 atau umur Plistosen.
emarcida, sedangkan batas atasnya ditandai oleh
kemunculan awal Myrtaceidites spp. dan Meskipun masih diperlukan penelitian lanjut untuk
Podocarpus imbricatus. Sub-zona ini sebanding menyempurnakan zonasi palinologi yang diusulkan
dengan zona foram plangtonik N15 bagian bawah. Lelono, dkk. (1996) ini, tetapi sampai saat ini zonasi
b. Sub-zona Myrtaceidites spp. tersebut belum mengalami perubahan. Kendala yang
Batas bawah sub-zona ini adalah kemunculan dihadapi selain pendanaan, adalah akses untuk
awal Myrtaceidites spp. dan Podocarpus mendapatkan percontoh batuan yang mewakili
Imbricatus, sedangkan batas atasnya berupa cekungan-cekungan yang ada di Papua. Mengingat
kemunculan awal Stenochlaenidites Papuanus daerahnya yang relatif luas, setidaknya dibutuhkan
type C. Sub-zona polen ini sebanding dengan zona dua sampai tiga kali waktu penelitian yang diperlukan
foram plangtonik N15 bagian atas-N18 bagian untuk menyusun zonasi palinologi Jawa. Target inipun
bawah. dapat dicapai dengan catatan bahwa akses untuk
memperoleh percontoh permukaan semudah di Jawa.
c. Sub-zona Stenochlaenidites Papuanus type C
Penyempurnaan zonasi polen Papua mempunyai nilai
Batas bawah sub-zona ini adalah kemunculan
strategis karena memungkinkan untuk melakukan
awal Stenochlaenidites Papuanus type C,
kajian stratigrafi daerah ini, selain sebagai acuan untuk
sedangkan batas atasnya adalah akhir kelimpahan
memahami palinologi pra-Tersier di Papua.
maksimum Nothofagidites Emarcida. Sub-zona
Penyempurnaan zonasi polen Papua juga bermanfaat
ini sebanding dengan zona foram N18 bagian atas.
bagi kegiatan pelayanan jasa teknologi, karena
5. Zona Interval LEMIGAS menjadi satu-satunya institusi yang
Disebut zona interval karena tidak ditemukan taksa berhasil menyusun zonasi polen Papua secara
diagnostik yang dapat dipakai sebagai nama zona. lengkap.
Batas bawah zona ini ditandai oleh akhir
kelimpahan maksimum Nothofagidites VI. ZONASI POLEN PRA-TERSIER
Emarcida, sedangkan batas atasnya ditentukan INDONESIA TIMUR
oleh kemunculan awal Malvacipollis Diversus. Penelitian biostratigrafi umumnya terpusat pada
Zona polen ini sebanding dengan zona foram batuan sedimen umur Tersier, sedangkan untuk batuan
plangtonik N19 atau umur Pliosen awal. sedimen umur pra-Tersier terutama yang terdapat di

7
ZONASI POLEN TERSIER INDONESIA TIMUR LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
EKO BUDI LELONO VOL. 41. NO. 1, APRIL 2007: 1 - 8

Indonesia Timur belum menjadi prioritas penelitian Papua perlu segera disempurnakan mengingat zonasi
sehingga biostratigrafi sedimen pra-Tersier belum umur Miosen Awal-Eosen Tengah belum berhasil
benar-benar dimengerti. Sesungguhnya sedimen pra- disusun. Pekerjaan besar berikutnya adalah menyusun
Tersier di Indonesia Timur merupakan salah satu tar- zonasi polen untuk sedimen umur pra-Tersier,
get pencarian hidrokarbon. Oleh karena itu terutama yang terbentuk di kawasan timur Indone-
keberadaan biostratigrafi pra-Tersier sangat sia. Penyusunan zonasi ini mempunyai arti penting
dibutuhkan untuk memahami stratigrafi daerah ini. karena belum pernah diusulkan sebelumnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah ahli Diharapkan dengan keberadaan zonasi ini dapat
biostratigrafi LEMIGAS agar memberikan perhatian membantu memahami stratigrafi batuan umur pra-
pada sedimen umur pra-Tersier terutama yang ada Tersier, sehingga potensi hidrokarbon yang di
di Indonesia Timur. Keuntungan lain yang mungkin dalamnya dapat dimanfaatkan dengan baik.
diperoleh dari keberadaan biostratigrafi pra-Tersier
adalah peningkatan jasa teknologi yang berasal dari KEPUSTAKAAN
perusahaan migas yang beroperasi di wilayah timur 1. Germeraad, J. H., Hopping, C. A. and Muller, J.,
Indonesia yang selama ini memanfaatkan jasa yang 1968. Palynology of Tertiary Sediments from Tropi-
diberikan oleh kompetitor LEMIGAS. Sebagai cal Areas. Rev. Palaeobot. Palynol. 6, p. 189-
lembaga riset milik pemerintah, LEMIGAS 348.
mempunyai kesempatan besar dalam memanfaatkan 2. Hall, R., 2002. Cenozoic geological and plate tec-
statusnya untuk mendapatkan akses mengumpulkan tonic evolution of SE Asia and the SW Pacific:
percontoh bawah permukaan dari sumur-sumur yang computer-based reconstructions and animations.
dianggap mewakili kawasan timur Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, 20, pp. 353-
431.
VII. KESIMPULAN
Sebagai bagian terakhir dari tulisan ini, dibuat 3. Lelono, E. B., L. Nugrahaningsih, Tri Bambang
kesimpulan sebagai berikut. Analisis palinologi S. R., Sugeng Wijono, Rahardjo, A. T. and
menunjukkan bahwa secara umum kumpulan Polhaupessy, A. A., 1996. Usulan Zonasi Polen
palinomorf yang dijumpai di P. Jawa mirip dengan Kawasan Timur Indonesia. Studi Kasus: Sulawesi
yang ada di P. Sulawesi, terutama bagian barat- dan Irian Jaya. Dalam Kumpulan Makalah
selatan. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya Seminar Nasional, Peran Sumber Daya
merupakan bagian dari Dataran Sunda (Sundaland). Geologi Dalam PJP II.
Hanya saja, dibandingkan dengan zonasi polen P. 4. Lelono, E. B., 2000. Palynological Study of the
Jawa, zona polen P. Sulawesi kurang lengkap terutama Eocene Nanggulan Formation, Central Java,
untuk zonasi berumur muda (Neogen). Oleh karena Indonesia. Unpublished PhD Thesis. University
itu perlu dilakukan penelitian lanjutan agar zonasi polen Of London.
P. Sulawesi dapat dibuat lebih rinci. Sementara ini,
5. Lelono, E. B., 2003. Tropical Eocene Palynomrphs
satu zonasi polen berhasil disusun untuk umur Eosen
from the Toraja Formation, Kalumpang, South
yaitu zona Proxapertites operculatus.
Sulawesi. Lemigas Scientific Contributions, No.
Kumpulan polen yang jauh berbeda dijumpai di 1/ 2003, pp. 8-23.
Papua yang menghasilkan zonasi polen berbeda
dibandingkan dengan yang ada di P. Sulawesi dan P. 6. Morley, R. J., 1991. Tertiary Stratigraphic Palynol-
Jawa. Perbedaan kumpulan palinomorf ini ogy in Southeast Asia: Current Status and New
menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut berasal dari Directions. Geol. Soc. Malaysia, Bulletin 28, pp.
lempeng yang berbeda. P. Sulawesi merupakan bagian 1-36.
dari lempeng Asia sehingga memiliki palinomorf mirip 7. Rahardjo, A. T., Polhaupessy, A. A., Wiyono, S.,
dengan palinomorf Asia, sedangkan Papua yang Nugrahaningsih, L. and Lelono, E. B., 1994. Zonasi
berasal dari lempeng Australia menunjukkan Polen Tersier Pulau Jawa. Proc. IAGI, 23rd An-
palinomorf yang sama dengan Australia. Zonasi polen nual Convention. •

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai