Anda di halaman 1dari 76

Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan masalah


kesehatan utama yang terjadi diseluruh dunia. Sifat dan berat perdarahan
bervariasi dari perdarahan samar (occult bleeding) yang menyebabkan anemia,
sampai perdarahan nyata (gross bleeding) yang masif dan mengancam jiwa
penderita. Perdarahan nyata/akut SCBA akan memberikan gejala utama adalah
hematemesis (muntah darah), melena (berak darah hitam), atau hematoschezia
(berak darah merah segar). Perdarahan akut SCBA sangat bervariasi, dapat ringan,
sedang, atau berat. Sifat dan kelangsungan perdarahan sulit diramalkan, dapat
sebentar berhenti sendiri, berlangsung perlahan atau cepat, atau makin berat dan
fatal. Berat ringannya perdarahan dan mudah tidaknya dihentikan tergantung pada
penyebab perdarahan, penyakit dasar penderita dan fasilitas pengobatan yang
tersedia. Di negara maju dengan kesadaran kesehatan tinggi, fasilitas dan
pelayanan yang lebih baik, kematian akibat perdarahan nyata SCBA masih cukup
tinggi, yaitu 8-10%. Di Indonesia, sebagian besar penderita perdarahan SCBA di
rumah sakit disebabkan sirosis hepatis, yaitu sebesar 25-82% kasus, dengan angka
kematian masih tinggi, yaitu sekitar 20-50%. Dengan demikian sangatlah penting
untuk menilai kegawatan perdarahan akut SCBA pada penderita, serta
pengelolaan kegawatan secara cepat dan tepat, sehingga dapat menyelamatkan
penderita dari fase kritisnya. Untuk selanjutnya penderita dapat diberikan terapi
definitif sesuai dengan penyakit masing-masing 1,2).

Pada masa kini di Indonesia telah banyak kemajuan dalam pengelolaan


perdarahan SCBA. Kemajuan dalam pengobatan adalah tersedianya obat
vasokonstriktor yang sangat efektif dan segera dapat menghentikan perdarahan
akut (stop-gap treatment) dan kemajuan pesat dibidang terapi endoskopi.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 1
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Diharapkan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam


pengelolaan perdarahan SCBA, khusunya dalam pengelolaan kegawatan, maka
akan lebih banyak penderita yang dapat disembuhkan, menurunkan angka
kematian dan memperbaiki kualitas hidup penderita 1).

Beberapa tahun silam, apabila kita mendapat kasus dengan perdarahan


saluran cerna bagian atas, maka pemeriksaan diagnostik radiologis dan lain-lain
baru akan dikerjakan kalau pemeriksaan benzidine pada tinja sudah negatif. Hal
ini ditakutkan akan menimbulkan perdarahan kembali. Akibatnya sering kali
penyebab perdarahan tersebut tidak ditemukan lagi atau kita melakukan operasi
tanpa mengetahui diagnosanya terlebih dahulu 3).

Seperti kita ketahui penyebab perdarahan itu dapat hilang dalam beberapa
hari saja, dari hal itu pemeriksaan sedini mungkin harus dilakukan untuk mencari
penyebab dan lokalisasi sumber perdarahan, dan seandainya pemeriksaan ini
terlambat, kemungkinan besar penyebabnya tidak dapat ditemukan dan kalau kita
temui suatu kelainan, belum tentu kelainan tersebut yang menjadi penyebab
perdarahan 3).

Pemeriksaan segera ini sangat penting, mengingat perdarahan saluran cerna


bagian atas merupakan suatu keadaan gawat darurat dan harus ditanggulangi
dengan seksama. Walaupun darah yang keluar pada permulaan hanya sedikit,
karena kita tidak mengetahui berapa banyak darah yang terdapat dan terkumpul
dalam lambung dan usus (seringkali penderita jatuh kedalam syok bila darah yang
dikeluarkan cukup banyak yaitu 1-1,5 liter) 4).

Dengan bertambah majunya pengetahuan, tindakan-tindakan diagnostik


dapat dilakukan segera sesudah keadaan penderita mengizinkan atau paling lama
1 x 24 jam sesudah terjadinya perdarahan. Dalam hal ini pemeriksaan endoskopi
merupakan pemeriksaan yang paling unggul dan pilihan untuk menentukan
perdarahan pada perdarahan akut saluran cerna bagian atas, sedangkan sebelum
pemeriksaan ini berkembang, diagnosa dan lokalisasi perdarahan hanya

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 2
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

berdasarkan atas anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologik


dengan kontras bubur barium 4).

Adanya suatu ruangan khusus “intensive care unit” dalam rangka


menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas ini akan menekan mortalitas
karena adanya tenaga yang terlatih 3).

Suatu pengelolaan akan berhasil dengan baik seandainya dilakukan oleh


suatu “team” yang terdiri dari ahli penyakit dalam, ahli bedah, dan radiologis
demi tercapainya prosedur diagnostik yang terbaik dan terapi pilihan yang tepat 3).

I. 2. Ruang Lingkup Pembahasan

Perdarahan saluran cerna bagian atas sampai sekarang masih merupakan


masalah diagnostik dan terapeutik. Sedangkan di pihak lain dikatakan bahwa
perdarahan saluran cerna bagian atas ini adalah suatu hal yang gawat dan bisa
mengancam nyawa penderita, serta merupakan tantangan berat untuk
menanggulanginya. Mengingat hal diatas sangatlah penting untuk menentukan
lokalisasi sumber perdarahan, sehingga pengobatan yang terarah dapat
dilaksanakan. Bila diagnosa sumber perdarahan salah, maka secara sia-sia
penderita akan mendapat terapi yang salah pula.

Dalam referat ini akan dibahas kegawatan yang terjadi pada perdarahan
SCBA dan penanganan penderita, khususnya dalam mengatasi kegawatan.
Penanganan kegawatan bertujuan untuk menyelamatkan penderita dari komplikasi
dan kematian, dan menyiapkan penderita dalam kondisi yang optimal untuk
selanjutnya mendapatkan terapi definitif. Karena sebagian besar penderita
perdarahan SCBA di Indonesia disebabkan sirosis hepatis, maka pembahasan
seringkali terkait dengan pengelolaan varises esofagus.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 3
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi dan gejala klinis, dasar diagnosis, cara pemeriksaan, dan
penatalaksanaan dari perdarahan SCBA, khususnya hematemesis dan melena.

I. 3. Tujuan Penulisan

Referat ini disusun sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya
kalangan medis, yang kurang begitu memahami tentang cara menangani
hematemesis dan melena, dengan harapan agar referat mengenai hematemesis dan
melena ini dapat berguna untuk mengetahui penyebab, cara mendiagnosa dan
penanganan hematemesis dan melena, serta pencegahan terjadinya komplikasi
yang disebabkan oleh hematemesis dan melena.

I. 4. Teknik Pengumpulan Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan referat ini, penulis menggunakan metode pengumpulan


data secara tidak langsung melalui studi kepustakaan, yaitu dari buku-buku
referensi dan pustaka elektronik yang berkaitan dengan tema referat ini serta
pengarahan dari nara sumber yang berwenang serta ahli di bidangnya.

I. 5. Sistematika

Pada Bab Penbahuluan ini, penulis mencoba mengantar pembaca untuk


memahami penjelasan pada bab-bab selanjutnya, dimana pada bab ini dibahas
mengenai latar belakang penulisan, ruang lingkup pembahasan, tujuan penulisan,
teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisannya. Selanjutnya, pada Bab II
akan dibahas mengenai definisi dan pada Bab III penulis menjabarkan penyebab
dari hematemesis dan melena. Pada Bab IV penulis menyampaikan penjelasan
mengenai proses terjadinya hematemesis dan melena yang diakibatkan oleh

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 4
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

beberapa kelainan pada saluran cerna dan pada Bab V dijelaskan mengenai
manifestasi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari kelainan tersebut. Kemudian,
dalam Bab VI dijelaskan mengenai dasar diagnosis dan pemeriksaan yang
dilakukan untuk mengetahui adanya hematemesis dan melena. Sedangkan dalam
Bab VII penulis mencoba mengemukakan penatalaksanaan hematemesis dan
melena, baik secara umum maupun khusus sesuai dengan penyebabnya. Bab VIII
dibahas prakiraan dari perjalanan klinis hematemesis dan melena dan faktor yang
mempengaruhinya. Bab IX yang merupakan Bab Penutup terdiri dari simpulan
dan saran penulis mengenai bahasan yang ditulis dalam referat ini.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 5
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB II

DEFINISI

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran


makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Ligamentum Treitz merupakan pita
dasar otot polos yang berasal dari krus sinistra diafragma dan bersambung dengan
selubung otot duodenum pada persambungan dengan jejunum. Untuk keperluan
klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara
keduanya terdapat ketidaksamaan dalam penanganan dan prognosisnya.
Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas bisa beragam tergantung
lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan
berlangsung terus menerus atau tidak 5,6). Kemungkinan pasien datang dengan:

1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama.


2. Hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan
pasien 5).

Hematemesis adalah muntah darah yang berwarna merah atau hitam


tergantung lama darah berada didalam lambung, dapat pula seperti kopi bila
bercampur dengan bekuan darah. Hematemesis biasanya menunjukan adanya
sumber perdarahan di atas ligamentum Treitz 3,7).

Melena adalah buang air besar yang berwarna hitam lembek seperti ter atau
petis dengan bau yang busuk, yang menunjukan adanya darah yang dipengaruhi
asam lambung dalam kotoran penderita. Paling sedikit perdarahan terjadi
sebanyak 50-100 ml untuk menimbulkan melena. Akan tetapi, tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol, lycorice, dan obat-obatan yang
mengandung besi (obat penambah darah) juga dapat menyebabkan feses menjadi
hitam 2,3,5).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 6
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Cara praktis membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)


atau saluran cerna bagian bawah (SCBB) terdapat dalam tabel 1 5).

Tabel 1. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB

Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB

Manifestasi klinik pada Hematemesis dan /


Hematokesia
umumnya melena

Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih

Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35

Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Dikutip dari 5

Seorang pasien datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti kopi


karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal
dari SCBA. Timbul melena, berak hitam lengket dengan bau busuk, bila
perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50-100 ml atau lebih. Untuk lebih
memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan
pemeriksaan digital rektum. Perdarahan SCBA dengan manifestasi hematokezia
(berak darah segar) dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi
1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok 2,5).

Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan


pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau
yang sudah jelas perdarahan SCBB. Pada perdarahan SCBA akan keluar cairan
seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan masih aktif.
Selanjutnya dilakukan kumbah lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak
awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 7
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya
ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan SCBA 5).

Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk


memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48 jam
sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, diatas 35 kemungkinan
perdarahan berasal dari SCBA, dibawah 35 kemungkinan perdarahan SCBB. Pada
kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah
pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi SCBA 2,5).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 8
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB III

ETIOLOGI

Beberapa penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas


diantaranya adalah: 4,8)

1. Kelainan di esofagus
 Varises esofagus; biasanya pada
penderita sirosis dan alkoholik
 Esofagitis
 Ulkus atau erosi esofagus
 Tumor esofagus
 Sindroma Mallory-Weiss
2. Kelainan di lambung dan duodenum
 Ulkus peptikum yang kronis dan
akut (stress ulcer)
 Post gastrektomi
 Obat-obatan
 Tumor lambung benigna dan
maligna
 Arteriovenous malformations:
Osler-Weber-Rendu syndrome
(cutaneous telangectasias,
recurrent nosebleeds), idiopathic
angiomas, radiation-induced Gambar 1. Sumber perdarahan SCBA
telangectasias, blue rubber bleb
nevus syndrome Dikutip dari 9

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 9
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

3. Beberapa penyakit darah


 Polisitemia rubra vera
 Lekemia
 Trombositopenia purpura
 Hemofilia
 Terapi antikoagulasi (misalnya, warfarin)
 Hereditary hemorrhagic telangiectasia
4. Beberapa penyakit lainnya.
 Hipertensi maligna
 Alergi makanan
 Connective tissue disease
 Uremia, dan lain-lain

Keadaan ini merupakan 90% dari semua kasus perdarahan saluran cerna
bagian atas, dimana kita temukan lesi yang jelas 6).

Gambar 2. Sumber perdarahan pada lambung dan usus

Dikutip dari 9

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 10
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Penyebab utama perdarahan saluran cerna bagian atas adalah ulkus


peptikum, sedangkan penyakit hati menahun dengan komplikasi hipertensi portal
yang disertai perdarahan esophagus hanya 10% dari penderita, tetapi masih tetap
merupakan penyebab utama kematian 2).

Tabel 2. Sources of Bleedingin Patients Hospitalized for Acute UGIB

Sources of bleeding Proportion of patients %

Ulcers 35–62

Varices 4–31

Mallory-Weiss tears 4–13

Gastroduodenal erosions 3–11

Erosive esophagitis 2–8

Malignancy 1–4

No source identified 7–25

Dikutip dari 6

Dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr.
Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis
erosif, 1,0% tukak peptik, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab
lain. Laporan dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3
penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr. Sutomo
Surabaya. Sedangkan laporan di RS Pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan
tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA. Laporan
kasus di RS swasta, yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak peptik
51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%, keganasan 9,8%, esofagitis
5,3%, sindrom Mallory-Weiss 1,4%, tidak diketahui 7%, dan penyebab-penyebab
lain 2,7% 5).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 11
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Disamping itu dilaporkan juga bahwa dalam penelitian yang dilakukan di


R.S. Cipto Mangukusumo terhadap 362 penderita yang di rawat selama 1973
sampai 1976, didapatkan penyebab utama dari hematemesis dan melena adalah
pecahnya varises esofagus dari penderita “cirrhosis hepatis” dengan hipertensi
portal (65,47%), gastritis (14,92%), tukak lambung (3,03%), dan heptoma
(1,66%). Hal ini berbeda dengan angka-angka diluar negeri dimana tukak
lambung menduduki tempat utama dengan frekuensi sekitar 50%, dan ini sesuai
dengan pernyataan IVY (1960) yang mengatakan perdarahan ini banyak disebut
sebagai akibat ulkus peptikum. Sedangkan dinegara yang sedang berkembang
adalah akibat “cirrhosis hepatis”, seperti yang dinyatakan oleh Hilmy (1971) dan
Djojopranoto (1973) 10).

Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak berkembang namun


mortalitasnya relatif tidak berubah, namun berkisar 8-10%. Hal ini dikarenakan
bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas yang
menyertai 5)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 12
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB IV

PATOFISIOLOGI

IV. 1. Kelainan di Esofagus

IV. 1. 1. Varises Esofagus

Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran


abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Esofagus adalah
saluran yang menghubungkan antara kerongkongan dan lambung. Bila
menggunakan endoskopi tampak pelebaran vena-vena yang terlihat sebagai
penonjolan; berwarna kebiru -biruan pada mukosa 1/3 bagian bawah esofagus;
atau pada esofagogram tampak cobble stone filling defect pada 1/3 bagian bawah
esophagus 11,12).

Varises esofagus yang tampak dengan endoskopi dibagi atas 5 tingkatan,


sesuai dengan klasifikasi Dagradi:

Tingkat I

Varises esofagus dengan diameter 1-2 mm terdapat pada lapisan submukosa,


boleh dikata penonjolan ke dalam lumen sukar dilihat. Hanya dapat dilihat setelah
dilakukan kompresi 12).

Tingkat II

Varises esofagus dengan diameter 2-3 mm masih di submukosa, mulai terlihat


penonjolan di mukosa tanpa kompresi 12).

Tingkat III

Varises esofagus dengan diameter 3-4 mm, panjang dan sudah terlihat berkelok -
kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan jelas pada mukosa 12).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 13
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Tingkat IV

Varises esofagus dengan diameter 3-4 mm terlihat panjang dan berkelok -kelok.
Sebagian besar varises terlihat pada mukosa esofagus 12).

Tingkat V

Varises esofagus dengan diameter lebih dari 5 mm, jelas sebagian besar atau
seluruh esofagus terlihat penonjolan atau berkelok-kelok 12).

Varises esofagus terjadi jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran
tersebut akan mencari jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus, lambung,
atau rektum yang lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak imbangnya antara
tekanan aliran darah dengan kemampuan pembuluh darah mengakibatkan
pembesaran pembuluh darah (varises) 11).

Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi “cirrhosis hepatis”.


Sirosis adalah penyakit yang ditandai dengan pembentukan jaringan parut di hati.
Penyebabnya antara lain hepatitis B dan C, atau konsumsi alkohol dalam jumlah
besar. Penyakit lain yang dapat menyebabkan sirosis adalah tersumbatnya saluran
empedu 4,11).

Beberapa faktor dinyatakan memegang peranan penting dalam peristiwa


perdarahan karena pecahnya varises esofagus ialah: 4,11)

a. Tingginya tekanan vena porta.


b. Kelainan hemotasis yang disebabkan oleh terganggunya faal hati.
c. Kemungkinan esofagitis
d. Bolus makanan yang lebih besar dan keras.
e. Gagal jantung kongestif yang parah.
f. Sarkoidosis.
g. Schistomiasis.
h. Sindrom Budd-Chiari.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 14
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

a. Tingginya tekanan vena porta

Di sini, bendungan aliran darah tidak ditimbulkan oleh tonus sekitar


esofagus, tapi akibat terjadinya gangguan sirkulasi masuknya darah ke hati.
Esofagus mendapat darah dari aorta descenden, arteria bronchial, arteria gastrika
sinistra. Sedangkan vena-vena berakhir pada azygos dan vena-vena gastrika, vena-
vena gastrika membentuk sambungan antara portal dan sistem sistemik. Suatu
peninggian tekanan dalam sistem portal akan mengakibatkan aliran dalam vena-
vena gastrika akan membalik, dan sistem portal mulai mengalirkan darah ke
dalam sistem sistemik via vena azygos. Peristiwa ini menyebabkan saluran
anastomose dari vena-vena dibagian distal esofagus akan menggembung yang
akhirnya membentuk varises esofagus. Dari ini dapat disimpulkan bahwa akibat
hipertensi portal yang penting adalah terbentuknya sirkulasi kolateral, terutama
dalam hal terjadinya varises esofagus 4,13,14).

Pembuluh darah kolateral menghubungkan vena portal dengan vena


sistemik yang biasanya terjadi antar vena koronaria sinistra dari sistem portal dan
vena-vena azygos dari sistem caval di dalam submukosa dari esofagus bagian
bawah dan lambung bagian atas. Seperti kita ketahui bahwa “esophago gastric
varices” merupakan pembuluh darah berdinding tipis yang hanya disokong
sedikit jaringan ikat dasar (underlying connective tissue) dan merupakan tempat
yang sering mengalami pendarahan pada penderita dengan hipertensi portal 4,13).

Hipertensi portal (tekanan vena porta lebih besar atau sama dengan 15 mm
Hg) intrahepatik akibat penyempitan vena hepatika oleh karena fibrosis hati dan
regenerasi noduler, menyebabkan terbentuknya berbagai kolateral, seperti varises
esofagus, varises lambung, pelebaran vena-vena dinding perut, splenomegali, di
mana kelainan-kelainan tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, foto
atau endoskopi 12,15).

Disamping itu anggapan bahwa varises sendiri tidak pecah, tetapi yang
terjadi adalah perembesan darah dari dalam varises kedalam lumen esofagus
akibat kerusakan setempat pada permukaan esofagus yang disebabkan erosi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 15
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

lapisan mukosa esofagus. Tetapi statis darah vena dalam mukosa esofagus dan
mukosa lambung serta mukosa usus karena hipertensi portal agaknya memegang
peranan utama 4).

b. Kelaianan hemostatis yang disebabkan oleh terganggunya faal hati

Pada penyakit hati yang berat sering terjadi suatu kelainan pembekuan.
Seperti kita ketahui empat faktor pembekuan seperti faktor III, VII, X, dan
protrombin disintesa di hati oleh suatu proses yang membutuhkan vitamin K.
Suatu defisiensi dari faktor-faktor ini (vitamin K dependent coagulation factors)
akan timbul dalam beberapa keadaan, dimana terjadi kelainan pembekuan. Disini
sel hati tidak sanggup membuat faktor-faktor pembekuan yang dibutuhkan ini,
walaupun vitamin K cukup 4,16).

Kelainan hemostatis yang lain sering pula timbul pada penyakit hati yang
berat seperti defisiensi faktor V dan defisiensi fibrinogen (walaupun jarang),
kedua disintesa di hati tetapi tidak membutuhkan penyakit hati berat, yang
kebanyakan disebabkan oleh terjadinya suatu “sequestration” trombosit dalam
limpa yang berhubungan dengan hipertensi portal 14,17).

c. Kemungkinan esofagitis

Esofagitis disangka pencetus perdarahan mula-mula didasarkan pada autopsi


dimana didapatkan bahwa dari penderita yang meninggal karena perdarahan
varises, ditemukan 34 – 69% disertai erosi pada mukosa esofagus. Pemeriksaan
endoskopi yang dilakukan oleh Polish dan Sulvivan (1961) menyokong
kemungkinan ini, dimana ditemukan dari 10 penderita dengan “cirrhosis
hepatis” yang mengalami perdarahan, 7 diantaranya menderita esofagitis.
Terjadinya esofigitis ini pada “cirrhosis hepatis” mungkin disebabkan adanya
refluks cairan lambung, defisiensi vitamin, dan hipoalbumnemia. Sedangkan
dengan adanya varises dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada mukosa
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 16
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

esofagus sehingga mudah terjadi peradangan dan ulserasi. Seterusnya diterangkan


juga bahwa esofogitis memegang peranan untuk terjadinya varises 4).

Varises esofagus biasanya tidak bergejala, kecuali jika sudah robek dan
berdarah. Beberapa gejala yang terjadi akibat perdarahan esofagus adalah: 11)

 Muntah darah
 Tinja hitam seperti ter
 Kencing menjadi sedikit
 Sangat haus
 Pusing
 Syok

Komplikasi utama varises esofagus adalah perdarahan. Varises esofagus


biasanya rentan terjadi perdarahan ulang, terutama dalam 48 jam pertama.
Kemungkinan terjadi perdarahan ulang juga meningkat pada penderita usia tua,
gagal hati atau ginjal, dan pada peminum alkohol 11,14).

Komplikasi varises esofagus adalah: 11)

 Syok hipovolemik.
 Ensefalopati.
 Infeksi, misalnya pneumonia aspirasi.

Tujuan pengobatan pada varises esofagus adalah mencegah atau mengatasi


perdarahan. Untuk itu biasanya digunakan obat untuk menurunkan tekanan darah
(beta bloker), termasuk tekanan darah di vena porta 11,15).

Perdarahan pada varises esofagus harus segera diatasi, jika tidak dapat
terjadi kematian. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi perdarahan antara
lain 11):

 Ligasi varises, yaitu dengan mengikat pembuluh darah yang sedang


berdarah dengan pita elastis.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 17
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

 Terapi injeksi endoskopi, yaitu menyuntik pembuluh darah dengan larutan


tertentu agar pembuluh darah tersebut berhenti berdarah.
 Pintasan portosistemik intrahepatik transjugularis.
 Transplantasi hati.

IV. 1. 2. Esofagitis dan Ulkus Esofagus

Perdarahan lazimnya terjadi sebagai akibat meminum obat-obat ulserogenik


seperti aspirin, indometasin, fenilbutazon dan naproksen. Perdarahan banyak
dapat dijumpai sesudah penggunaan salah satu di antara obat-obat anti inflamasi
non steroid ini yang biasa digunakan; sementara itu, anemia akibat kehilangan
darah yang kronis sering ditemukan pada penderita artritis yang memakai obat
jenis ini 10).

Kortikosteroid kerap kali menimbulkan gejala dispepsia, tetapi bukti yang


menunjukan bahwa golongan obat tersebut menimbulkan perdarahan
gastrointestinal bagian atas masih belum pasti; golongan kortikosteroid sering
diminum bersama-sama dengan obat lain yang merusak mukosa lambung 10).

Alkoholisme akut merupakan penyebab erosi lambung yang kadang-kadang


dijumpai. Ulkus lambung dan duodeni yang ditimbulkan oleh stres kadang kala
terlihat pada pasien sakit berat yang menderita sepsis pasca-bedah, luka bakar
berat, gagal ginjal dan cedera multipel 4,10).

Perdarahan yang terjadi pada esofagitis ini biasanya lebih sering bersifat
intermiten atau kronis dan ringan, sehingga lebih sering melena daripada
hematamesis. Sedangkan ulkus pada esofagus jarang sekali mengakibatkan
perdarahan jika dibandingkan dengan ulkus ventrikuli dan duodenum. Sebab
terjadinya perdarahan ialah terlepasnya beberapa lapisan epitel pada beberapa
tempat permukaan mukosa sehingga pembuluh darah ikut pecah 4,15).

Perdarahan biasanya berhenti spontan setelah masuk rumah sakit, tetapi hal
demikian tidak selalu terjadi, khususnya pada pasien lanjut usia. Pemeriksaan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 18
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

endoskopi merupakan satu-satunya cara untuk memastikan dignosis. Idealnya,


pemeriksaan ini harus dikerjakan dalam waktu 24 jam sejak masuk rumah sakit
mengingat erosi ini biasanya sembuh dengan cepat 10).

IV. 1. 3. Tumor Ganas di Esofagus

Karsinoma esofagus dengan komplikasi perdarahan berat terdapat sekitar


3% dan sering berakibat fatal pada penderita. Disamping itu perdarahan juga
dijumpai pada sarkoma esofagus. Suatu invasi tumor kedalam pembuluh darah,
trombositopenia, dan pembekuan intravaskuler merupakan penyebab perdarahan
pada penderita-penderita yang mengalami tumor ganas 18).

IV. 1. 4. Sindroma Mallory-Weiss

Ruptura linier mukosa tepat dibawah sambungan gastroesofagus pertama


kali diketahui sebagai penyebab hematemesis oleh Mallory dan Weiss pada tahun
1929, dimana mereka menemukan 4 penderita alkoholik dengan perdarahan
masif.. Robekan tersebut selalu dimulai pada mukosa lambung tetapi kemudian
dapat membentang ke dalam esofagus. Peristiwa ini diperkirakan terjadi karena
herniasi mendadak lambung lewat diafragma setelah terdapat kenaikan tajam
tekanan intra-abdomen. Sejauh ini, penyebab kenaikan tekanan intra-abdomen
yang paling sering dijumpai adalah muntah-muntah yang lama setelah minum
minuman keras dengan jumlah berlebihan, yang mungkin menjelaskan mengapa
insiden sindrom ini di negara barat jauh lebih tinggi di antara laki-laki dalam usia
pertengahan. Namun demikian, pernah pula dilaporkan kasus-kasus sindrom
Mallory-Weiss yang terjadi setelah batuk berat, defekasi, serangan epilepsi, dan
sesudah trauma tumpul abdomen. Kehilangan darah jarang masif dan jumlahnya
mungkin tidak lebih dari muntahan dengan guratan darah yang timbul beberapa
jam setelah serangan pertama 4,10).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 19
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Sindroma ini mempunyai insiden relatif jarang, dan pernah dilaporkan


hanya sekitar 2-5% dari semua kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, tetapi
ada yang mengatakan 8%. Karena suatu laserasi akut disertai ulserasi pada daerah
kardia maka dapat timbul perdarahan yang masif. Namun demikian, endoskopi
dini sangat penting untuk menegakkan diagnosis mengingat lesi tersebut biasanya
sudah sembuh sepenuhnya dalam waktu 2-3 hari 10).

IV. 2. Kelainan di Lambung dan Duodenum

IV. 2. 1. Ulkus peptikum

Ulkus peptikum merupakan penyakit dimana kita temukan ulserasi berbatas


tegas yang terjadi di saluran cerna bagian atas. Ulkus ini ditandai dengan
hilangnya keutuhan mukosa yang biasanya disertai juga kerusakan jaringan dasar
sampai ke submukosa. Lokalisasi ulkus peptikum ini adalah di duodenum bagian
proksimal, lambung, dan di esofagus 4,19).

Ulkus peptikum diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu yang kronis dan
akut. Ulkus peptikum kronis ditandai adanya fibrosis didindingnya yang
merupakan suatu tanda dari proses kronis yang menetap. Dikatakan juga bahwa
ulkus ini biasanya dapat memperluas diri secara menyeluruh melalui proparia.
Salah satu komplikasi ulkus peptikum adalah perdarahan yang terjadi sekitar 17 %
dari ulkus duodenum, dan 12 % dari ulkus lambung. Perdarahan pertama akan
diikuti oleh perdarahan kedua sekitar 40% dari ulkus duodenum, dan 25% dari
ulkus lambung. Perdarahannya mungkin bersifat masif, yang bisa mengancam
jiwa penderita. Sebaliknya bisa bersifat tidak kentara sama sekali dan berlangsung
secara kronis dengan manifestasi anemia defisiensi besi. Ulkus duodeni
postbulber biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih berat dan lebih
sering jika dibandingkan dengan perdarahan bulbus duodeni, terutama pada pria
yang berusia lebih dari 50 tahun 4,19).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 20
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Ulkus peptikum akut mempunyai manifestasi klinik yang timbulnya secara


cepat bersifat dangkal yang biasanya terbatas pada mukosa dan multipel, dengan
lokalisasi dimana saja lambung. Ulkus ini biasanya disertai gastritis akuta,
penyakit ini ada hubunganya denghan kelainan-kelaianan sebagai berikut:
kombutio hebat (Curlingos ulcer), trauma berat, sepsis, lesi intra kranial (Cushing
Ulcer), pemberian kortisteroid 4,20).

Ulkus peptikum yang kronis merupakan penyebab perdarahan


gastointestinal yang paling sering dijumpai. Pada sebagian besar rangkaian kasus
yang dilaporkan, ulkus duodeni menduduki tempat utama dan keadaan ini lebih
sering ditemukan dengan gejala melena saja. Biasanya pada ulkus peptikum
terdapat riwayat dispepsia kronis dan kadang-kadang serangan perdarahan
sebelumnya tetapi gambaran ini tidak selalu terdapat. Resiko perdarahan dari
ulkus peptikum akan meningkat pada penderita lanjut usia yang menggunakan
obat-obat anti-inflamasi non-steroid 10).

Timbulnya perdarahan adalah disebabkan baik karena erosi suatu ulkus


yang menyusup masuk kedalam arteri atau vena maupun karena perdarahan
jaringan granulasi 4).

IV. 2. 2. Perdarahan Setelah Gastrektomi

Pada penderita yang telah mengalami operasi lambung, beberapa bulan atau
tahun kemudian ada kemungkinan akan mengalami perdarahan. Timbulnya
perdarahan ini adalah akibat terjadinya ulkus marginalis, “suture-line ulcer” atau
degenerasi maligna 4).

IV. 2. 3. Obat-Obatan

Sering kita menjumpai penderita yang masuk rumah sakit dengan muntah-
muntah darah setelah minum obat, misalnya beberapa jam setelah minum obat
Aspirin, Aspro, APC, obat cap macan, obat bintang tujuh dan lain-lain. Obat-obat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 21
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

ini termasuk golongan “Salycylat” yang menyebabkan iritasi dan dapat


mengakibatkan ulkus multipel yang akut, dan disebut golongan “ulcerogenic
drug”. Sedangkan beberapa obat yang lain yang juga dapat menimbulkan
hematemesis ialah : golongan kortikostroid, butazolidin, reserpin, alkohol dan
lain-lain, golongan obat-obatan ini dapat menyebabkan timbulnya hiperasiditas
4,8)
.

Pemberian kortikosteroid dalam dosis besar dan jangka waktu lama sering
menimbulkan “ulcer-like symptoms” dan beberapa penderita ada yang mengalami
ulkus peptikum. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa steroid tidak hanya
meningkatkan sekresi asam lambung, tetapi juga merusak “mucosal ephitelial
barrier” 21)
.

Bahwa memang ada hubungan antara salisilat dan perdarahan lambung


sekarang tidak dapat disangkal lagi. dikatakan juga bahwa 60-80% dari orang-
orang yang meminum salisilat akan mengalami perdarahan lambung 4).

Teori-teori mengenai timbulnya perdarahan lambung ini terdiri 2 kelompok


besar yaitu: 4)

A. Teori Lokal :
a. Teori iritasi kristal
b. Efek terhadap “gastric mucosal barrier”
c. Efek terhadap lapisan mukuos
B. Teori sistemik
a. Efek terhadap pembekuan darah
a. 1. Penekanan aktivitas protrombin
a. 2. Penghambatan agrigasi platelet.
b. Intoleransi aspirin

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 22
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

A. a. Teori iritasi kristal

Menurut hipotesa Forsel (1938), mukosa lambung mempunyai sifat


mencengkeram (gripping action) terhadap partikel padat, seperti halo salisilat
yang sukar larut sehingga kontak yang lama dengan mukosa serta sifat
merangsang dari salisilat yang akan menimbulkan suatu lesi 4).

A. b. Efek terhadap “gastric mucosal barrier”

Molekul salisilat yang diabasorpsi secara cepat, akan mengalami desosiasi


intraseluler, yang menghasilkan H+ dan anion. Akumulasi H+ akan mengganggu
sistem buffer sedangkan akumulasi anionnya akan mengganggu stabilitas osmotik
sel sehingga “gastric mucosal barrier” mengalami kerusakan yang akan
mengakibatkan difusi kembali dari H+ asam lambung (back diffusion) kedalam
mukosa yang akan menyebabkan kerusakan kapiler dan venal-venal
mengakibatkan perdarahan. Disamping itu terjadi juga perlepasan histamin dan
terjadilah vasodilatasi serta meningkatkan permeabilitasi kapiler sehingga terjadi
perdarahan 4).

A. c. Efek terhadap lapisan mukous

ASA menyebabkan koagulasi kimiawi dari mukous, hingga free acid serta
pepsin langsung kontak dengan mukosa yang akan mengakibatkan erosi atau
ulserasi 4).

B.a Efek terhadap pembekuan darah

B. a. 1. Penekanan aktivitas protrombin

Keadaan ini tampak sebagai perpanjangan waktu PPT dan dapat diatasi
dengan pemberian vitamin K. sifat ini sebanding dengan kadar salisilat dalam
plasma dan baru akan tampak pada pemberian lebih dari 6 gram/ hari 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 23
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

B. a. 2. Penghambatan agregasi platelet

Pertahanan pertama terhadap perdarahan adalah pembuntuan oleh platelet


(Platelet plugging), pada tempat yang terluka. Sedangkan agregasi platelet ini
diindusir oleh ADP yang dilepasakn platelet pada kontak dengan partikel kolagen
ditempat yang terluka. Pelepasan endogenous ADP inilah yang dihambat oleh
ASA, sehingga agregasi platelet tak terjadi 4).

B. b. Intolerensi aspirin

ASA mempunyai gugusan asetil yang seperti asetilkolin. Dalam keadaan


normal tonus peredaran darah (micro circulation) berada di bawah pengaruh
susunan saraf otonom dimana epinefrin dan norepinefrin menyebabkan konstriksi,
sedangkan asetilkolin menyebabkan dilatasi. Pada kerusakan jaringan, maka
asetilkolin akan dihidrolisir oleh kolinesterase, sehingga terjadi hambatan pada
efek vasodilatasi, sedangkan pengaruh epinefrin akan mengakibatkan kompetisi
antara aspirin dan asetikolin untuk mengikat kolinesterase. Pada orang-orang
dengan produksi kolinesterase rendah, sebagian kolinesterase akan terikat pada
molekul aspirin, sehingga daya vasodilatasi tetap bekerja. Hal ini mengakibatkan
perpanjangan dari Duke bleeding time, dan Quick menganjurkan dilakukannya
pemeriksaan ini pada penderita yang diduga hematemesis melenanya disebabkan
aspirin. Dari uraian teori-teori diatas, dapatlah diketahui bahwa ada penyesuaian
pendapat tentang caranya salisilat menyebabkan perdarahan lambung 4).

IV. 3. Kelainan Darah

Beberapa penyakit darah bisa pula menyebabkan timbulnya hematemasis


dan melena seperti polisitemia rubra vera, leukemia, trombositopenik purpura,
hemofilia, dan penyakit Von Wilebrand 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 24
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Pada polisitemia rubra vera timbulnya trombosis yang mengakibatkan


meningkatnya viskositas darah, yang dapat menyebabkan perdarahan dinding
kapiler. Bila terjadi trombosis dari vena hepatika, vena porta, atau vena lienalis
ada kemungkinan timbulnya varises esofagus, yang bisa menyebabkan
hematemesis dan melena 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 25
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB V

MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinik perdarahan saluran cerna ini tergantung kepada beratnya


perdarahan, cepatnya perdarahan, dan penyakit dasarnya atau penyakit yang
menyertainya. Bila kehilangan darah mencapai 40% dari volume darah tubuh,
akan timbul syok 8).

Perdarahan saluran cerna bagian atas sering mengakibatkan hematemesis


dan melena. Warna muntah darah ini bervariasi dari merah segar sampai hitam,
tergantung kepada lamanya kontak dengan asam lambung. Jika muntah terjadi
segera sesudah perdarahan, maka cenderung berwarna merah tua sampai hitam
(“coffee ground”), karena lamanya kontak dengan asam lambung yang
mengakibatkan terbentuknya hematin 8,21).

Melena adalah berak darah berwarna hitam seperti aspal (“tarry stool”) bisa
terjadi sendiri saja atau bersamaan dengan hematemesis. Seandainya hematemesis
yang menyolok, kita cenderung kepada suatu lesi di esofagus, sedangkan melena
yang menonjol kemungkinan besar berasal dari ulkus duodenum. Gambaran
klasik perdarahan ini adalah penderita pucat, berkeringat, takikardia, kulit dingin
dan lembab, tekanan darah yang menurun, tetapi ini tidak selalu ditemukan , 8,22).

Cepatnya darah yang hilang dalam volume besar menurunkan venous


return dan cardiac output, dan menyebabkan vasokonstriksi. Penderita bisa
mengalami pusing, muntah, haus dan sinkop. Perdarahan hebat saluran cerna
bagian atas tidak selalu menyebabkan gejala muntah, tetapi pada penderita
tersebut akan timbul melena tanpa disertai hematemesis. Sebaliknya bila
ditemukan tinja yang hitam lembek seperti aspal (dark tarry blood feaces) ini
biasanya selalu perdarahan yang berasal dari bagian atas dan sering juga penyebab
timbulnya hematemesis 8,21).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 26
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB VI

DIAGNOSA

Untuk menentukan diagnosa secepat-cepatnya dan tepat, maka diperlukan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya 4).

Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran


makanan ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid,
dan angiografi. Pada semua pasien dengan tanda-tanda pemeriksaan endoskopi
SCBA merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus
diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa
pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal
perdarahan sulit diidentifikasi perlu pertimbangan pemeriksaan dengan radionulid
atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan.
Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat
keahlian, keterampilan, atau pengalaman pelaksana 5).

VI. 1. Anamnesa

Anamnesa ini harus seteliti-telitinya, bila perlu dilakukan alloanamnesa.


Dalam anamnesis perlu ditekankan: 5,7)

1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga
4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain (misalnya mimisan, perdarahan
gusi, memar, atau bekas operasi)
5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi non-steroid dan antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol dan merokok

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 27
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

7. Mencari adanya kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,


demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, batuk kronik,
dan alergi obat-obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya

Penderita yang mempunyai ulkus peptikum, sebelum timbul perdarahan


biasanya menderita keluhan rasa nyeri atau perih, mual, dan rasa panas di daerah
epigastrium. Mulut terasa asam, kadang-kadang mulut kering, sukar keluar angin
dari mulut. Beberapa penderita dapat menunjukkan dengan tepat lokalisasi nyeri,
setidak-tidaknya pernah mempunyai riwayat penyakit pada lambung dan
duodenum, sedangkan pada hematemesis yang disebabkan pecahnya varises
esofagus tak ada keluahan rasa nyeri atau perih pada daerah epigastrium. Tetapi
mempunyai riwayat penyakit hepatitis, alkoholisme atau penyakit hati yang kronis
4,6)
.

Sebelum timbul hematemesis apakah didahului muntah-muntah yang hebat,


misalnya pada peminum alkohol, pada hamil muda, yang menunjukkan
kemungkinan sindroma Mallory-Weiss. Bila penderita mengalami epigastric
distress telah beberapa minggu atau bulan nafsu makan berkurang serta berat
badan menurun, ada kemungkinan menderita karsinoma. Apakah sebelum timbul
perdarahan terutama sebelum hematemesis, beberapa jam atau hari penderita
minum obat-obatan golongan salisilat, ACTH atau prednison, butazolidin, dan
lain – lain obat yang tergolong “ulcerogenic drug”. Seorang yang sering
mengalami perdarahan dibawah kulit, badannya selalu lemah, pucat, menujukkan
penyakit darah 4,23).

Kepada setiap penderita perlu ditanyakan sifat-sifat perdarahannya apakah


timbulnya mendadak dan banyak, atau sedikit demi sedikit tapi terus menerus atau
timbulnya perdarahan berulang-ulang, sehingga makin lama makin lemah, pucat,
dan jantung berdebar debar 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 28
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VI. 2. Pemeriksaan Fisik

Pertama-tama yang perlu sekali diperhatikan ialah keadaan umum penderita,


apakah ada tanda syok, dan tanda anemia. Seorang penderita ulkus peptikum
biasanya merasa nyeri tekan pada daerah epigastrium, sedangkan pada daerah
epigastrium penderita karsinoma lambung mungkin teraba suatu masa yang
kadang-kadang agak keras atau kenyal dan nyeri tekan. Penderita ini terlihat
mengurus, dan mungkin teraba kelenjar didaerah supraklavikuler. Hematemesis
yang diduga karena pecahnya varises esofagus harus diperhatikan adanya spider
naevi, foetor hepatikum, eritema palmaris, hepatomegali, splenomegali, ascites,
edema pretibial. Disamping itu dinyatakan juga bahwa perdarahan varises lebih
sering timbul pada mereka yang tanpa splenomegali atau dengan splenomegali
ringan, sedangkan perdarahan non-varises lebih sering pada mereka yang
menunjukan splenomegali lebih 3 cm dibawah arkus kosta 4,15).

Untuk pengelolaan yang rasional sumber perdarahan harus ditetapkan lebih


dahulu. Dengan pemeriksaan endoskopi dini penetapan sumber perdarahan ini
dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Tetapi sayang sekali tidak semua rumah
sakit dilengkapi dengan fasilitas ini, karena itu sebagian besar rumah sakit di
Indonesia diagnosa klinik tetap merupakan petunjuk penting untuk diagnosa
persangkaan penyebab perdarahan 4).

Dari pemeriksaan fisik ini, splenomegali dapat juga digunakan sebagai


petunjuk klinik. Besarnya limpa erat hubungannya dengan perdarahan non-
varises, sedangkan perdarahan varises justru timbul pada penderita dengan
splenomegali ringan atau tanpa splenomegali sama sekali. Seperti kita ketahui,
pembesaran limpa berhubungan erat dengan bendungan kronis dalam sistem
portal. Bila terjadi perdarahan akibat robekan varises esofagus, tekanan sistem
portal biasanya akan menurun dan secara otomatis limpa yang terbendung akan
ikut mengecil, yang semula besar akan menjadi lebih kecil, sedangkan yang
semula membesar ringan akan menghilang 4,17).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 29
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VI. 3. Pemeriksaan Laboratorium

Setiap penderita harus segera di periksa darahnya untuk menentukan kadar


hemoglobin, eritrosit dan lekosit, sedian hapus darah, dan golongan darah.
Pemeriksaan darah khususnya hanya ditujukan untuk penderita tertentu.
Premsulfa lein test mungkin perlu dilakukan untuk penderita penyakit hati 4).

Bila penyebab pendarahan belum dapat ditentukan, diharuskan melakukan


pemeriksaan laboratorium tertentu sebagai berikut: 5,8)

1. Elektrokardiogram: terutama pasien berusia > 40 tahun, pasien dengan anemia


berat yang disertai iskemia jantung sekunder, misalnya pada pasien dengan
diabetes atau penyakit jantung koroner.
2. BUN, kreatinin serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman
usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap
normal atau sedikit meningkat.
3. Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan,
transfusi, atau kumbah lambung.
4. Pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi.
a) Test faal hati: bilirubin, transaminase, serum protein elektroforese,
alkali fosfatase, protrombin time yang digunakan untuk mendiagnosa
penyakit hati (hipertensi portal dan varises) sebagai penyebab
perdarahan 4,7).
b) Coagulation studies: waktu perdarahan, waktu pembekuan,
protrombin concentration, partial thromboplastin time, dan jumlah
trombosit. Terhadap penderita yang pada pemeriksaan pendahuluan
ada kemungkinan besar menderita penyakit darah, perlu dilanjutkan
dengan biopsi sumsum tulang 4,7).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 30
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VI. 4. Rontgenologik

Pemeriksaan X-ray perlu sekali dikerjakan. Hampton (1937) melakukan


pemeriksaan fluoroskopik pertama kalinya dengan bubur barium beberapa saat
setelah penderita mengalami hematemesis, guna menentukan sebab perdarahan
dan lokalisasinya. Dengan pemeriksaan radiologis yang memakai kontras
biasanya sudah dapat ditemukan asal perdarahan sekitar 75% 4).

Pemeriksaan radiologis ini dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa


minggu setelah perdarahan berhenti. Tetapi beberapa ahli tidak setuju untuk
melakukan pemeriksaan ini setelah perdarahan berhenti dengan alasan
kemingkinan besar timbul perdarahan baru. Sebaliknya Schatzki mengatakan
pemeriksaan tersebut setelah perdarahan berhenti tidak membahayakan.
Walaupun pemeriksaan radiologis ini mempunyai arti yang kurang, tetapi mutlak
harus dilakukan seperti halnya melakukan endoskopi pada penderita perdarahan
saluran cerna bagian atas 4,12).

VI. 5. Endoskopi

Pemeriksaan langsung terhadap saluran makanan bagian atas dengan


menggunakan “fiberoptic endoscopy” merupakan tahap awal yang lebih disukai
untuk menilai perdarahan akut saluran cerna ini, karena dapat menentukan dengan
tepat lokalisasi perdarahan. Sejalan dengan penemuan gastroduodenoskopi
fiberoptik ini, maka diagnosa dan penatalaksanaan penderita banyak mengalami
kemajuan dan perbaikan 4).

Indikasi pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas:

Untuk menerangkan perubahan-peruahan radiologis yang meragukan atau


tidak jelas, atau untuk menentukan dengan lebih pasti atau tepat kelainan
radiologis yang didapatkan pada esophagus, lambung, atau duodenum.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 31
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Pasien dengan gejala menetap (disfagia, nyeri epigastrium, muntah-muntah)


yang pada pemeriksaan radiologis tidak didapatkan kelainan.
Bila pemeriksaan radiologis menunjukan atau dicurigai suatu kelainan
misalnya tukak, keganasan, atau obstruksi pada esofagus. Indikasi endoskopi
adalah untuk memastikan lebih lanjut lesi tersebut dan untuk membuat
pemeriksaan fotografi, biopsi, atau sitologi.
Perdarahan akut saluran cerna bagian atas memerlukan pemeriksaan
endoskopi secepatnya dalam waktu 24 jam untuk mendapatkan diagnosis
sumber perdarahan yang paling tapat.
Pemeriksaan endoskopi yang berulang-ulang diperlukan juga untuk memantau
penyembuhan tukak yang jinak dan pada pasien-pasien dengan tukak yang
dicurigai kemungkinan adanya keganasan (deteksi dini karsinona lambung).
Pada pasien-pasien pasca gastrektomi dengan gejala atau keluhan-keluhan
saluran cerna bagian atas diperlukan pemeriksaan endoskopi karena
interpretasi radiologis biasanya sulit. Iregularitas dari lambung dapat
dievaluasi paling baik dengan visualisasi langsung melalui endoskopi.
Kasus sindrom dispepsia dengan usia lebih dari 45 tahun atau dibawah 45
tahun dengan “tanda bahaya”, pemakaian obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) dan riwayat kanker pada keluarga. Yang dimaksud dengan tanda
bahaya yaitu muntah-muntah hebat, demam, hematemesis, anemia, ikterus,
dan penurunan berat badan.
Prosedur terapeutik seperti polipektomi, dilatasi pada stenosis esofagus atau
akalasia, pemasangan selang makanan (nasogastric tube), dan lain-lain 24).

Kontraindikasi pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas:

1. kontraindikasi absolut

Pasien tidak kooperatif atau menolak prosedur pemeriksaan tersebut


setelah indikasinya dijelaskan secara penuh.
Renjatan berat karena perdarahan dan lain-lain
Oklusi koroner akut

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 32
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Gagal jantung berat


Koma
Emfisema dan penyakit paru obstruktif berat 24).

2. kontraindikasi relatif

luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung berat.
Kifoskoliosis berat, divertikulum Zenker, osteofit bear pada tulang
servikal, dan struma besar. Pada keadaan tersebut, pemeriksaan endoskopi
harus dilakukan dengan hati-hati dan halus.
Pasien gagal jantung
Pasien infeksi akut (misal pneumonia, peritonitis, kolesistitis)
Pasien anemia berat misal karena perdarahan, harus diberi transfusi darah
terlebih dulu sampai Hb sedikitnya 10 g/dl.
Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai hipertensi berat atau
kejang-kejang.
Pasien pasca bedah abdomen yang baru.
Gangguan kesadaran.
Tumor mediastinum 24).

Menurut Katon dan Smith (1973) suatu panendoskopi yang dilakukan 1-2
jam sesudah dirawat mencapai hasil diagnostik sebesar 92%. Suatu endoskopi
disebut dini, bila dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah penderita dirawat 4,8).

Keterlambatan melakukan endoskopi lebih lama dari 48 jam akan


mengurangi ketepatan diagnostik mencapai kurang dari 50% 4).

Endoskopi merupakan pemeriksaan yang lebih teliti dibandingkan dengan


pemeriksaan radiologik bila perdarahan disebabkan oleh varises esofagus, ulkus
lambung, dan ulkus duodenum. Seterusnya diterangkan bahwa lesi yang
disebabkan oleh gastritis erosif atau Mallory-Weiss mungkin hanya bisa dilihat
dengan endoskopi saja. Memang endoskopi tetap merupakan pemeriksaan yang

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 33
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

terpilih untuk menetapkan diagnosa atau penyebab perdarahan akut saluran


makanan bagian atas 4,6).

Foster dkk, melaporkan bahwa pada ulkus lambung dan ulkus duodenum
yang baru saja mengalami perdarahan ditemukan “stigmata” sebagai berikut:
perdarahan segar dari suatu lesi, terdapat darah atau bekuan yang melekat pada
lesi, penonjolan pembuluh darah dari dasar ulkus 4).

Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal


perdarahan, juga dapat menentukan aktifitas perdarahan. Forest membuat
klasifikasi perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat
untuk menentukan tindakan selanjutnya 5).

Tabel 3. Klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptik menurut Forest

Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi

Forest Ia Perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib Perdarahan aktif Perdarahan merembes

Forest II Perdarahan berhenti dan masih Gumpalan darah pada dasar


terdapat sisa-sisa perdarahan tukak atau terlihat pembuluh
darah

Forest III Perdarahan berhenti tanpa sisa Lesi tanpa tanda sisa
perdarahan perdarahan

Dikutip dari 5

VI. 6. Esophagogastric Intubation

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita yang mengalami perdarahan


masif tanpa disertai hematemesis, dengan jalan memasukkan “nasogastric
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 34
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

catheter” kedalam esofagus melalui hidung. Setelah kateter sampai 1/3 bagian
bawah esofagus, penderita disuruh minum air kemudian dilakukan pengisapan.
Bila terdapat darah berarti sumbernya di esofagus, dan bila tidak ada darah tube
terus dimasukkan kedalam lambung yang kemudian dihisap lagi. Jika tidak ada
darah dalam cairan aspirasi berarti perdarahan berasal dari duodenum atau
intestinum lebih kebawah 4).

VI. 7. Arteriografi

Arteriografi selektif telah banyak digunakan dalam rangka menegakkan


diagnosa dan pengobatan perdarahan saluran cerna bagian atas. Fase vena
melukiskan bentuk dari pada sirkulasi portal, menunjukan adanya varises dan
mungkin bisa digunakan untuk menentukan aliran portal. Jika arteriografi
diagnostik sudah dikerjakan, kateter tetap ditaruh didalam arteri mesenterika
superior untuk persiapan infus intra arterial nantinya. Arteriografi ini dilakukan
bila perdarahan tidak berhenti sedangkan pemeriksaan gastroesofagoskopi dan
barium belum bisa mengungkapkan asal perdarahan 4,7).

VI. 8. Kadar Pepsinogen Dalam Darah dan Urin

Kenaikan rata-rata kadar pepsinogen dalam darah dan urin ditemukan pada
penderita ulkus duodeni bila dibandingan dengan ulkus ventrikuli 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 35
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB VII

PENATALAKSANAAN

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan


pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosa, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI-PEGI-
PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan
wajib dan harus dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat
sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi 5). Adapun langkah-langkah
praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.


2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakan diagnosa pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab
perdarahan, mencegah perdarahan ulang 5).

Setiap penderita yang mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas


dengan manifestasi hematemesis dan atau melena harus dirawat untuk
mendapatkan pertolongan segera. Penderita sering menjadi gelisah dan jatuh
dalam syok psikis. Seandainya kita menjumpai penderita ini di rumah, sebaiknya
diberi pertolongan pertama dengan koagulansia dan sedativa sebelum dikirim ke
rumah sakit. Seterusnya disuruh minum es dan kompres es diatas perut, dan
penderita dikirim ke rumah sakit segera dalam keadaan tidur terlentang 2,4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 36
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Dirumah sakit yang pertama kita kerjakan adalah bertindak lebih dahulu
menyelamatkan jiwa penderita, baru kemudian secara teliti menentukan
penyebabnya. Namun demikian kiranya akan lebih baik, kita sepintas lalu secara
klinik dapat menemukan diagnosa, sehingga dalam mengambil tindakan akan
lebih mempunyai arah sehingga dapat memberikan terapi yang efektif dan tepat.
Untuk itu sangat diperlukan anamnesa/alloanamnesa yang seteliti-telitinya disertai
pemeriksaan fisik yang cermat 4).

Tabel 4. Prinsip umum pengelolaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas

Prinsip umum pengelolaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas

1. Pengelolaan dasar atau standar


a) Penilaian cepat status kegawatan (hemodinamik & respirasi)
b) Resusitasi (fungsi hemodinamik dan respirasi)
c) Pemeriksaan data dasar
d) Pasang pipa nasogastrik
e) Pemberian obat penghambat sekresi asam, sitoproteksi, dll
2. Pengelolaan intensif
Untuk menghentikan/kontrol perdarahan yang masih aktif/masif
a) Terapi medik intensif (obat vasokonstriktif)
b) Pemasangan pipa sengstaken-Blakemore
c) Terapi endoskopi (skleroterapi/ligasi, hemostatik, dll)
d) Terapi bedah darurat
3. Pengelolaan definitif
Menentukan sumber/penyebab perdarahan dan terapi spesifik

Dikutip dari 1

Dalam tatalaksanaan keadaan yang gawat ini sebainya penderita


ditempatkan disuatu unit khusus untuk memudahkan pengawasan 4).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 37
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah


menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi: 5)

1. Tekanan darah dan nadi posisi baring


2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Kelayakan napas
5. Tingkat kesadaran
6. Produksi urin

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular


akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda
sebagai berikut: 5,25)

1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 /menit
2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15 /menit
4. Akral dingin
5. Kesadaran menurun
6. Anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam)

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi


hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: 5)

1. Hematemesis
2. Hematokesia (berak darah segar)
3. Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih
4. Hipotensi persisten
5. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 38
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan perdarahan SCBA

Penilaian awal & resusitasi

Anamnesis & pemeriksaan


fisik
Tanda vital
Akses vena
Selang nasogastrik
Pemeriksaan laboratorium
Hb, Ht, Trombosit
Pemeriksaan hemostasis
Cairan kristaloid
Cairan koloid
Transfusi darah

Hemodinamik stabil
tidak ada perdarahan aktif Hemodinamik tidak stabil
perdarahan aktif

Terapi empiris

Hemodinamik stabil Hemodinamik stabil


perdarahan berhenti perdarahan menetap
Obat vasoaktif:
Somatostatin
Perdarahan berhenti Octreotide
Vasopresin + nitrat

Endoskopi SCBA Emergensi atau awal


efektif endoskopi UGI

Sumber perdarahan
Variasi esofagus/gaster Ulkus tidak tampak

Skleroterapi Penyuntikan obat Diagnosis tindakan &


atau ligast atau hemostatik atau terapi radiologi
selang SB operasi segera intervensional atau
operasi segera

Jika gagal

Terapi definitif Terapi bedah

Dikutip dari 5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 39
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan perdarahan SCBA

Penilaian awal & resusitasi

Anamnesis & pemeriksaan


fisik
Tanda vital
Akses vena
Selang nasogastrik
Pemeriksaan laboratorium
Hb, Ht, Trombosit
Pemeriksaan hemostasis
Cairan kristaloid
Cairan koloid
Hemodinamik stabil Transfusi darah
perdarahan aktif (-)

Hemodinamik tidak stabil


Terapi empiris
perdarahan aktif
Vitamin K 3x1mg
obat-obatan antisekresi
antasida, sukrosa

Hemodinamik stabil Hemodinamik stabil


perdarahan berhenti perdarahan menetap

Tekanan darah > 90/60 mmHg Tekanan darah > 90/60 mmHg
tekanan darah rata-rata < 70 mmHg tekanan darah rata-rata < 70 mmHg
nadi < 100 x/mnt nadi < 100 x/mnt
Ht < 9% Ht < 9%
tes Tilt (-) tes Tilt (+)

Obat vasoaktif:
Somatostatin
Octreotide
Vasopresin + nitrat

Perdarahan berhenti Perdarahan berlanjut

EVALUASI EFEKTIF Baloon tamponade/SB tube


Radiologi barlin SCBA
atau rujuk untuk
Perdarahan berhenti Perdarahan menetap
endoskopi SCBA

Operasi segera
Terapi definitif

Dikutip dari 5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 40
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Tindakan pengelolaan penderita yang mengalami perdarahan saluran


makanan dibagian atas dibagi atas tahap-tahap berikut: 4)

1. Tindakan segera yang harus dilakukan :


a. Mengganti darah yang hilang (resusitasi)
b. Menghentikan perdarahan
2. Tindakan lebih lanjut untuk mencapai ketepatan diagnosa
3. Tindakan khusus setelah diagnosa pasti dapat ditegakkan

VII. 1. Tindakan segera yang harus dilakukan

VII. 1. 1. Mengganti darah yang hilang (resussitasi)

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid


(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure), tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran)
kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah
untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
lekosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan
melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PPT, dan APTT 5,8).

Mengganti darah yang hilang dengan segera dalam jumlah yang cukup
merupakan tindakan yang paling penting untuk memperbaiki dan
mempertahankan volume darah, sehingga hipovolemia dan komplikasi
selanjutnya seperti kegagalan ginjal, kegagalan faal hati, iskemia miokard dan
”cerebral vascular insufficiency” dapat dicegah. Disamping itu Grant & Reeve
(1952) menyatakan bahwa pemberian transfusi darah sebelum 12 jam bisa
mengurangi bahaya kematian, dan bila diberikan antara 1-2 jam setelah
perdarahan, mungkin angka kematian dapat diperkecil lagi 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 41
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Penentuan banyaknya darah yang dibutuhkan harus segera dilakukan,


disamping untuk mengatasi syok juga dapat mencegah hipervolemik akibat
transfusi yang berlebihan 4).

Walaupun pengukuran yang tepat dari jumlah darah yang hilang sukar
ditentukan, tetapi suatu perkiraan dapat dibuat berdasarkan tekanan darah,
kecepatan nadi, dan keadaan umum penderita 17).

Tabel 5. Hubungan status hemodinamik dan jumlah kehilangan darah

TDS Denyut nadi Jumlah darah yang hilang


Derajat syok
(mmHg) per menit % Cc

Ringan > 100 < 100 10 – 25 500 - 1000

Sedang 80-100 100-120 25 – 35 1000 - 1500

Berat < 70 > 130 35 – 50 1500 - 2500

Dikutip dari 1

Selanjutnya sebagai pedoman digunakan beberapa cara berikut:

a. Pada syok ringan: tekanan darah sistolik 90-100 mmHg dan nadi 100-110
x/menit, diberikan darah sekitar 20-25% dari volume darah tubuh.
pada syok sedang: tekanan darah sistolik 70-90 mmHg dan Nadi 110-130
x/menit, diberikan darah seikitar 25-40% dari volume darah tubuh.
Pada syok berat: tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg dan nadi lebih
cepat dari 130 x/menit, diberikan darah sekitar 40-50% dari volume darah
tubuh 4,1).
b. Menurut Tudhope (1958), bilamana pada pemeriksaan tekanan darah terdapat
penurunan sistolik kurang dari 100 mmHg dan denyut nadi lebih dari 110
x/menit, maka kepada penderita tersebut harus diberikan sekurang-kurangnya
2 liter 4).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 42
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

c. Banyaknya darah yang diberikan kepada penderita hematemesis dan melena


harus sekurang-kurangnya 2 kali lebih banyak dari darah yang dikeluarkan.
Hal ini berdasarkan bahwa ada kemungkinan masih ada darah di dalam
intestin yang belum dikeluarkan pada saat itu, yang banyaknya lebih kurang
sama dengan darah yang sudah keluar 4).

Khusus pada penderita hipertensi, syok diduga apabila terjadi penurunan


tekanan darah sistolik antara 20-30 mmHg atau cara lain dengan menggunakan
“TIOT test” sebagai berikut: pengukuran tekanan darah dan nadi dilakukan pada
posisi duduk dan tiduran. Bila dalam perubahan posisi tiduran ke posisi duduk
nadi meningkat lebih dari 20 x/menit atau tekanan sistolik menurun lebih 20
mmHg, tes dinyatakan positif 4,24).

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung


jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian
transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan
sebagai berikut: 4,5)

1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil


2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Bila kadar hemoglobin dibawah 10 gr/dl (10 gr/100 ml), dan ada yang
menyatakan bila kadar hemoglobin dibawah 7 gr% atau hematokrit < 30 %
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun dan adanya syok

Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah


perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan.
Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang
dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%,
sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28% 5).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 43
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Berdasarkan hal diatas, sangat dianjurkan pada saat penderita masuk


ruangan unit khusus, segera dilakukan pemeriksaan klinik lengkap serta
pengukuran Hb dan pemasangan infus Dextrosa 5% untuk penderita sirosis
hepatis, garam faali untuk penderita ulkus lambung atau gastritis. Untuk sirosis
hepatis pemberian cairan sebaiknya perlahan guna mencegah penambahan cairan
intravaskular yang bisa menyebabkan varises yang mulai menutup pecah kembali.
Seandainya penderita syok, infus bisa dipercepat dan sebaiknya diberikan
“plasma expander” sementara darah belum datang. Kalau perlu pemberian darah
dan elektrolit dilakukan bersama-sama melalui infus terpisah 4,15).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian transfusi ialah:

1. Tekanan darah, kecepatan nadi, dan pernafasan harus dikontrol setiap 15-60
menit.
2. Monitoring central venous pressure (CVP) dengan menggunakan “central
venous pressure catheter” sangat ideal dilakukan untuk mencegah transfusi
berlebihan dan dekompensasi kordis, karena CVP akan lebih dulu meninggi
sebelum terjadinya edema pulmonum. Hal ini perlu diperhatikan terutama
pada orang tua yang berpenyakit jantung.
3. Pengukuran kadar Hb harus dilakukan berulang kali. Tanpa adanya
perdarahan baru, transfusi darah (whole blood) 10 cc/kg BB rata-rata akan
menyebabkan kenaikkan Hb sebanyak 10%. Bila tekanan darah dan nadi
sudah kembali dalam nilai-nilai normal dan klinis serta keadaan hipovolemia
sudah teratasi, maka kecepatan transfusi diperlambat (pada mulanya 8-100
tetes permenit) 4,24).

Pada saat kita menanggulangi kehilangan darah ini, kita tetap mengawasi
penderita mengenai kesadaran, tanda-tanda vasokonstriksi perifer, produksi air
seni serta tanda-tanda asidosis metabolik. Selanjutnya kita lakukan segera
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, faal hemostasis, faal ginjal serta test faal
hati 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 44
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Disamping itu kita perhatikan pula keseimbangan elektrolit terutama


kalium. Seandainya terjadi hipokalemia, penderita merasa lemah, kembung, mual
dan pada sirosis hepatis adanya hipokalemia ini dapat mencetuskan terjadinya
koma hepatikum. Pada pemeriksaan EKG tampak amplitudo merendah,
gelombang T melebar dan gelombang U menjadi prominent 4,24).

Pada perdarahan yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu, terutama pada
sirosis hepatis, sebaiknya diberikan darah tanpa plasma (packed cell) untuk
mencegah hipervolemia 4).

VII. 1. 2. Menghentikan Perdarahan

VII. 1. 2. 1. Pemasangan “nasogastric tube (NGT) “ dan ” Ice gastric lavage”

Setiap penderita yang datang dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
segera dipasang “nasogastric tube” dan dilakukan aspirasi. Ada dua
kemungkinan yang ditemukan yaitu tidak keluar darah atau keluar darah 4,20).

a. Bila keluar darah, maka kemungkinan lokasinya adalah:


 Sebelah distal dari ligamentum Treitz
 Perdarahan terletak antara pylorus dan ligamentum Treitz
 Perdarahan berasal dari lambung, tetapi telah berhenti dengan sendirinya
dan darah mengalir kebagian usus 4).
b. Bila pada aspirasi keluar darah, maka tindakan lebih lanjut ialah kumbah
lambung dengan air es “ice gastric lavage” berulang kali (setiap 1-2-4 atau 6
jam bila perlu hingga jumlah air es antara 1-2 liter. Cara ini selain untuk
diagnostik, juga membantu menghentikan perdarahan yaitu selama satu jam
atau lebih pada 50% penderita, walaupun perdarahan berasal dari varises
esofagus atau dari ulkus yang besar. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi
dengan tindakan ini ialah: perdarahan berhenti atau perdarahan tidak berhenti.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 45
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

b. 1. Apabila perdarahan berhenti dengan kumbah lambung air es, maka


sangat mungkin perdarahan berasal dari ulkus peptikum dan tindakan
seterusnya adalah tindakan terhadap ulkus peptikun seperti pemberian
antasida setiap jam seperti yang akan dibicarakan kemudian.
b. 2. Apabila perdarahan tidak berhenti dengan kumbah lambung air es, maka
tindakan selanjutnya ialah pemasangan Sengstaken-Blakomore tube 4).

VII. 1. 2. 2. Pemasangan Sengstaken-Blakomore tube (S.B tube)

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises


esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-
Blakemore tube (SB-tube) yang terdiri dari 3 pipa karet dengan 2 balon yaitu
balon lambung dan balon esofagus. Pipa pertama berhubungan dengan balon
lambung, sedangkan 2 pipa yang lain masing-masing berhubungan dengan balon
lambung serta balon esofagus. Sebelum pemasangan, harus diperiksa apakah
balon bocor atau tidak. Baru pelan-pelan dimasukkan melalui hidung atau mulut.
Setelah masuk tahap pertama, yang dikembangkan adalah balon lambung dan
ujung pipa yang diluar ditarik dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga balon
menjepit varises yang ada “gastroesephageal junction”. Dengan tindakan
tersebut, ada 3 hal yang akan terjadi, yaitu perdarahan berhenti, perdarahan tidak
berhenti, dan terjadi hematemesis spontan 4,5).

a. Bila perdarahan berhenti, sangat mungkin perdarahan berasal dari varises


“gastroesophal junction”
b. Bila perdarahan tidak berhenti maka mungkin perdarahan berasal dari suatu
ulkus peptikum yang tidak mau berhenti dengan perawatan konservatif.
Untuk hal ini perlu kita pertimbangkan tindakan pembedahan.
c. Bila timbul hematemesis spontan, kemungkinan perdarahan berasal dari
varises esofagus sebagai yang akan diterangkan kemudian 4).

Ada yang menganjurkan bahwa bila perdarahan tetap saja berlangsung


setelah beberapa kali lavage air es, dapat dicoba pemberian obat-obatan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 46
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

vasopressor (noradrenalin, aramine atau vasopressin) secara lokal dengan cara


memberikan 1-2 ampul noradrenalin/vasopressin dalam larutan dextrosa 5%
intragastrik pada setiap akhir lavage. Tindakan ini terutama diberikan pada kasus-
kasus yang diduga mempunyai gastritis/ulkus lambung, disamping varises
esofagusnya 4).

Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemoni


aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi
24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang
berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat 5).

VII. 1. 2. 3. Koagulansia

Koagulansia masih tetap diperlukan baik secara parenteral maupun peroral.


Yang sering diberikan peroral yaitu topostasin yang diberikan tiap bungkusnya
untuk 6-8 jam dilarutkan dalam 1 gelas air dan diberikan 1 sendok makan tiap 10-
15 menit. Obat koagulansia parenteral diberikan tiap 4-8 jam secara intravaskular.
Bila perdarahan masif, sebaiknya diberikan dengan dosis 6 mg/kg BB sehari
(dosis tunggal). Disamping itu vitamin K parentral dengan dosis 10 mg
intramuskular. Sehari terutama bila ada kecurigaan akan sirosis hepatis, karena
pada sirosis hepatis terjadi gangguan sintesa vitamin K, yang menyebabkan masa
protrombin memanjang 4).

VII. 2. Tindakan lebih lanjut untuk mencapai ketepatan diagnosa

Setelah keadaan gawat akibat perdarahan dapat diatasi, maka kita segera
melakukan pemeriksaan untuk menentukan diagnosa yang tepat dengan beberapa
cara pemeriksaan sebagai berikut: 4)

1. Endoskopi
2. U.G.I foto (upper Gastro Intestinal)
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 47
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

3. Selective arteriography

VII. 2. 1. Endoskopi

Sperti kita ketahui esofagogastroduodenoskopi telah dikembangkan baik


sebagai alat diagnosa maupun sebagai alat terapi yang potensial. Endoskopi
mempunyai keuntungan sebagai berikut:

 Paling akurat dalam menilai kelaianan dari esofagus, lambung serta


duodenum, terutama erosi mukosa superfisial atau lesi dari Mallory-Weiss,
ataupun lesi yang kronis.
 Lebih mudah menentukan asal perdarahan yang mempunyai lebih dari satu
macam lagi, seperti adanya ulkus duodenum bersama-sama dengan varises
 Keampuhan menentukan lesi perdarahan secara dini sangat membantu rencana
pengelolaan selanjutnya 4,25).

Endoskopi ini harus dikerjakan dalam 48 jam pertama guna menilai


kemungkinan gastritis akut, dan dapat dikerjakan sebelum atau 6 jam setelah
gastritis akut, dan dapat dikerjakan sebelum atau 6 jam setelah U.G.I foto.
Endoskopi juga telah membuka kesempatan baru dalam menanggulani perdarahan
masif saluran cerna secara “ non surgical” seperti menggunakan Nd:YAG dan
argon laser, serta elektrokoagulasi 4).

VII. 2. 2. U.G.I foto

Seperti kita ketahui pemeriksaan ini bisa dilakukan setelah beberapa hari
sampai beberapa minggu perdarahan berhenti 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 48
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VII. 2. 3. Selective arteriography

Pemeriksaan ini disamping cara diagnostik tepat lokasi perdarahan, juga


merupakan tindakan terapi, yaitu apabila sumber perdarahan telah ditentukan,
maka langsung dimasukkan obat-obat vasopressin lewat pembuluh darah tersebut.
Tindakan ini terutama untuk perdarahan arteri 4).

VII. 3. Tindakan Khusus setelah diagnosa pasti dapat ditegakkan

VII. 3. 1. Terhadap varises esophagus

Sampai saat ini terapi darurat dengan tujuan menghentikan perdarahan


sedini mungkin pada kasus hematemesis dan melena masif akibat perdarahan
varises esofagus masih tetap diperdebatkan manfaatnya, karena baik cara non
bedah mapun dengan pembedahan darurat, semuanya masih memberikan hasil
yang mengecewakan 4).

Dipihak lain kita dihadapkan kepada mortalitas yang tinggi dari semua
penderita hematemesis dan melena ini. Keadaan ini masih lebih diperberat lagi
seandainya terjadi perdarahan berulang khususnya pada sirosis hepatis, dimana
tiap perdarahan berikutnya kecenderungan meninggal lebih besar 4,15).

Setelah diagnosa varises esofagus ditegakkan, kita harus segera


mempersiapakan program pengelolaan yang cermat. Secara garis besarnya
pengelolaan perdarahan karena pecahnya varises esofagus adalah sebagai berikut:
4,15)

A. Tindakan supportive :

1. Transfusi darah
2. Pemberian vitamin yang dibutuhkan, terutama vitamin K
3. Mencegah koma hepatikum
4. Memperbaiki kekurangan elekrtrolit, terutama terhadap hipokalemia

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 49
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

5. Antasida untuk esofagitis

B. Tindakan menghentikan perdarahan :

1. Kumbah lambung dengan air es


2. Parasintesis terapeutik terhadap ascites yang benar
3. Jika perdarahan tidak berhenti, diberikan vasopressin
4. Jika perdarahan masih menetap, maka dipasang Sengteken-Blakemore
tube
5. Jika timbul perdarahan berulang setelah 24 jam pemasangan tamponade,
balon harus dikembangkan selama 24 jam lagi.
6. Seadainya perdarahan tidak kunjung behenti dengan tindakan diatas, hal
ini merupakan indikasi untuk tindakan pembedahan :
a. Transthorasic ligiation of varises, atau
b. Emergency protocaval shunt (cara ini lebih disukai)

Pada perdarahan akibat pecahnya varises ini, ada yang menganjurkan


langsung memasang Segsteken-Blakemore tube kalau dengan lavage air es
beberapa kali, perdarahan tetap tidak berhenti. Bila setelah pemasangan
Segsteken-Blakemore tube, perdarahan masih berlangsung maka selanjutnya
dipertimbangkan pemberian pitressin intravena dalam dosis 10 unit selama 20
menit 4).

Dapat juga diterangkan bahwa penderita-penderita dengan faal hati masih


baik, tanpa atau dengan splenomegali ringan yang mengalami perdarahan masif,
umumnya mengalami perdarahan varises, dan dalam keadaan ini pemasangan SB
tube atau infus vasopressin intravena harus dilakukan segera. Sebaliknya
penderita dengan faal hati yang terganggu, mempunyai splenomegali berat (lebih
3 cm dibawah arkus kosta) dan perdarahanya tidak masif, kemungkinan besar
mengalami perdarahan non varises. Dalam keadaan ini lavase lambung dengan
air es dan pemberian obat-obatan vasokonstriktor intragastrik merupakan pilihan
pengobatan yang harus dilakukan segera 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 50
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Disamping itu ada pula yang memberikan vasopressin duluan, seandainya


lavase air es tidak berhasil menghentikan perdarahan 4).

VII. 3. 1. 1. Pemberian Vasopressin

Vasopressin (pitressin) adalah suatu polypeptide yang dibentuk di nukleus


“supraoptic” dan “paraventriculer” dari hipotalamus. Bahan ini telah digunakan
sejak tahun 1956 oleh Kehne, dkk. Untuk pengobatan perdarahan masif saluran
cerna bagian atas. Sejak saat itu para penyelidik diantaranya Merrigan, Sheldon
dan Silva menggunakan bahan ini secara intravena, biasanya dengan dosis 20 unit
dilarutkan dalam 200 ml dextrosa 5% dan diberikan dalam waktu 20 menit 4).

Vasopressin yang diberikan intravena ini dapat menurunkan tekanan vena


porta dengan jalan vasokonstriksi arteria dan arteriola splanika serta mesenterika,
dan dengan penurunan tekanan porta ini perdarahan varises dapat dihentikan 4,5).

Cara lain pemberian pitressin adalah seperti berikut:

a. Menurut Sherlock pemberian pitressin sebanyak 20 unit yang dilakukan akibat


tekanan dalam 100 ml dextrosa 5%, diberikan dalam 10 menit, akan
mengakibatkan tekanan porta menurun pada ¾ -1 jam kemudian. Disamping
itu tiap 30 menit dilakukan aspirasi lambung dengan “gastric tube” sambil
mengontrol apakah masih ada perdarahan atau tidak 4).
b. Ada yang memberikan pitressin 20 unit (1 ampul) yang dilarutkan dalam 200
ml dextrosa 5%, dimana 100 ml campuran ini diberikan intravena dalam
waktu 20 menit. Sisanya yang 100 ml diberikan kemudian setelah 4 jam, bila
aspirasi lambung masih menunjukkan adanya darah. Selama infus pitressin ini
dan satu jam setelah selesai, dilakukan juga aspirasi dan lavase lambung
dengan air es 4).
Walaupun telah dilaporkan keampuhan pitressin dalam menghentikan
perdarahan varises namun cara diatas tidak disukai oleh para klinisi mengingat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 51
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

bahaya efek sistemiknya yang menakutkan seperti menurunnya isi semenit,


Vasokonstriksi arteria koronaria, dan efek antidiuretika 4,5).
c. Mengingat hal diatas maka Nusbaum pada 1967 memperkenalkan cara baru
untuk mengurangi efek sistemik ini dengan jalan infus selektif intraarteriil
kedalam arteria mesenterika superior dalam dosis rendah yang menyebabkan
aliran darah ke dalam arteria akibat meningginya resistensi arteria
mesenterika, sehingga tekanan porta akan menurun 4).
Nusbaum, Rosch dan Conn dapat dikatakan merupakan 3 kelompok
perintis yang memberikan Vasopressin secara intraarteriil selektif: 4)
 Arteria mesenterika superior untuk perdarahan varises
 Arteria celiaca, arteria hepatika, arteria gastroduodena untuk perdarahan
lambung
Dosis pitressin intraarteriil selektif adalah 0,1-0,4 unit/menit. Mereka
memberikan cara ini berhubung penggunaan vasopressin intravena pada tahun
1972-1973 mulai mendapat sorotan yang tajam, karena efek sistemiknya
terhadap jantung, ginjal serta cepat terjadinya tachyphylaxis. Dengan cara ini
mereka berharap efek yang tak diinginkan ini dapat dihindari 4).
Hasil yang dicapai dengan cara diatas, memang sangat mengesankan
yaitu kira-kira 80% perdarahan varises dapat dikendalikan, sampai mereka
bisa mengatakan bahwa saat ini tidak ada suatu cara pengobatan yang setaraf
dengan hasil infus vasopressin yang diberikan intraarteriil selektif dalam
menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas ini (kecuali tindakan
pembedahan) 4).
Walaupun keberhasilan telah dicanangkan oleh Nusbeum dkk, namun
pada 1975 Millete dkk serta Barr dkk dapat membuktikan bahwa baik dengan
infus intraarteriil maupun intravena, keduanya dapat menimbulkan efek
samping sistemik tanpa pembedahan, efek yang bermakna dalam perhitungan
statistik. Bahkan Millete dengan terus terang menyatakan bahwa dia
menemukan adanya efek sistemik yang bermakna pada pemberian intraarteriil

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 52
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

tersebut, seperti kenaikkan tekanan darah arterial, penurunan PO2 arteria dan
penurunan cardiac output 4,5).
d. Melihat keadaan diatas, maka Barr mengusulkan untuk mengurangi
memberikan vasopressin intravena dengan dosis separuhnya untuk mencegah
atau mengurangi efek sistemik tersebut. Dosis rendah intravena yang
digunakan ialah 2,75 mU/kg/menit yang akan menurunkan aliran portal
sebanyak 15-20%. Seterusnya Barr berkesimpulan dari percobaannya bahwa
dosis rendah intravena relatif mempunyai efek yang lebih baik, mudah
mengerjakannya dimana saja 4,15).
Disamping itu yang perlu kita perhatikan ialah pitressin hanya bisa
diberikan bila pada anamnesa maupun pemeriksaan EKG tidak menunjukkan
adanya kelainan pembuluh darah koroner, karena efeknya yang menimbulkan
vasokonstriksi pada arteria koronaria. Tambahan lagi pada penderita dewasa
yang mengalami perdarahan akut dan masif saluran makanan, sebanyak 1-2%
akan menderita infark miokard akut mengingat ini semua, maka mengerjakan
EKG merupakan tindakan yang penting dalam tatalaksana perdarahan saluran
cerna bagian atas ini 4,5).
e. Belakangan ini mulai dikembangkan pemberian pitressin terus menerus dalam
dosis rendah. Barr dkk (1975) dan Rigberg dkk (1977) telah mengadakan
percobaan memberikan pitressin dosis rendah terus menerus (continuous low
dose peripheral vein pitressin), tanpa timbul efek sampingan. Umumnya
diberikan selama 24 jam dalam cairan infus dengan dosis 0,2 unit/cc/menit.
Bila perdarahan berhenti atau berkurang, maka dosis dikurangi menjadi 0,1
unit/cc/menit. Bila selama waktu itu perdarahan belum juga berhenti, perlu
segera dilaksanakan tindakan operasi 4,14).

Komplikasi lain dari pitressin ialah abdominal colic, dan local tissue
necrosis. Karena komplikasi sistemik vasopressin ini mempunyai mortalitas yang
tinggi, maka Tyder dkk mencoba memakai somatostatin untuk menghentikan
perdarahan 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 53
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VII. 3. 1. 2. Pemasangan Segsteken-Blakemore tube

Penggunaan Segsteken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan bila


perdarahan tetap postif setelah beberapa kali lavase air es, atau terjadi perdarahan
spontan (hematemesis spontan porfus), atau infus pitressin belum bisa
menghentikan perdarahan 4).

Pemakaian alat ini memerlukan alat khusus dan pengalaman tertentu.


Tujuannya adalah untuk memberikan tekanan dengan ukuran dan waktu yang
ditetapkan pada tempat varises yang pecah. Tube ini yang dikenal pertama kalinya
pada tahun 1950 mempunyai 2 balon, yaitu “gastric ballon” yang dimasukkan ke
dalam lambung untuk menekan bagian atas lambung ke diafragma dengan tekanan
proksimal. Dan balon lainnya adalah sebagai balon esofagus dimasukkan ke
dalam esofagus untuk menekan langsung pada varises esofagus. Ini sebaiknya
dikerjakan intensive care unit yang perlu perawatan khusus 4).

Meskipun cara temponade dengan balon Segsteken-Blakemore tube masih


merupakan cara yang popular untuk mengatasi perdarahan varises, namun ada
beberapa laporan yang menyebutkan angka kegagalan yang sangat tinggi pada
permukaan balon ini, disamping morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang
berhubungan langsung dengan pemakain balon ini 4).

Komplikasi pemasangan Segsteken-Blakemore tube adalah:

a. Komplikasi mayor: laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan nafas oleh
Segsteken-Blakemore tube dan aspirasi darah ke dalam laring
b. Komplikasi minor: migrasi Segsteken-Blakemore tube kedalam hipofaring 4).

Disamping itu Hermono Kusmobroto dkk, yang menggunakan SB tube yang


telah dimodifikasi, membuktikan bahwa SB tube ini sangat efektif untuk
menghentikan perdarahan. Namun demikian Conn telah melaporkan adanya
bahaya SB tube, dimana dia menemukan komplikasi mayor terjadi 35% dari
penderita dengan angka kematian sebesar 22% . Berdasarkan hal ini Conn
mengeluarkan penrnyataan bahwa tamponade merupakan cara pengobatan yang
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 54
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

sukar dan berbahaya, dan cara ini sebaiknya hanya dicadangkan untuk penderita
yang perdarahannya benar-benar dari varises esofagus, tetapi tetap saja
berlangsung meskipun telah mendapat terapi yang cukup 4).

Tetapi Hermono Kusumobroto, dkk berpendapat bahwa apa yang


dikhawatirkan oleh Conn tersebut terlalu diperbesar. Mungkin hal ini benar jika
kita menggunakan SB tube yang asli, apalagi bila diikuti dengan traksi yang
sangat kuat dan mempergunakan bahan yang berat. Walaupun sudah ada SB tube
modifikasi dari Linton, Nachlas, dan Boyce mampu menghentikan perdarahan
varises 50-75%, tetapi efeknya hanya sementara dan biasanya akan terjadi
perdarahan ulang, jadi bukan merupakan pengobatan definif. Dalam hal ini Conn
akhirnya menegaskan bahwa perdarahan varises cenderung terulang (rebleeding is
the rule, not the exeption) 4).

Meskipun masih ada pendapat yang pro dan kontra perihal pemasangan SB
tube ini, namun Hermono Kusumobroto dkk. Tetap berpendapat bahwa mengingat
relatif rendahnya angka komplikasi yang ditemukannya, maka SB tube cukup
dapat dipertanggungjawabkan untuk dilaksanakan di rumah sakit manapun 4).

Selanjutnya dikatakan bahwa bila timbul perdarahan berulang setelah 24


jam pemasangan tamponade, balon harus dikembangkan selama 24 jam lagi, dan
seadainya perdarahan tak kunjung berhenti, hal ini merupakan indikasi untuk
tindakan pembedahan 4).

VII. 3. 1. 3. Mencegah koma hepatikum

a. Neomycin 4 x 500 /hari peroral untuk membunuh kuman dan merubah flora
usus hingga amoniak tidak terbentuk.
Dikatakan juga bahwa bila neomycin diberikan bersama dengan laktulosa
akan mengakibatkan penurunan pembentukan amoniak dalam usus karena
menurunnya kecepatan pembentukan urea. Sedangkan penurunan
pembentukan urea ini disebabkan oleh neomycin dengan jalan menghambat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 55
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

“bacteria ureolysis”, jika diberikan bersama-sama dengan laktulosa. Dosis


laktulosa (dulphalac) adalah 3 x 15 cc/hari 4,14).
b. Lavament diakukan setiap hari untuk mengurangi kemungkinan pembentukan
amoniak dalam usus, dilanjutkan selama 3-4 hari setelah perdarahan
berhenti 4).

VII. 3. 1. 4. Tindakan Pembedahan

Seperti kita ketahui, pengelolaan akan mencapai hasil optimum bila


dilakukan oleh satu team yang terdiri dari ahli penyakit dalam, ahli bedah dan
radiologist demi memastikan prosedur diganostik yang terbaik dan terapi pilihan
yang tepat 4).

Jika semua tindakan konservatif diatas tidak bisa menghentikan perdarahan


varises esofagus, maka suatu pembedahan darurat merupakan indikasi. Memang
tiap penderita yang mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas ini
merupakan calon potensial untuk tindakan operasi 4).

A. Pembedahan darurat
Indikasi pembedahan darurat pada perdarahan varises ialah:
a. Jika dalam 8 jam pertama untuk mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi diperlukan transfusi darah lebih dari 2 liter.
b. Jika dalam 24 jam berikutnya untuk mempertahankan sirkulasi di perlukan
darah lebih 2 liter.
c. Jika dalam 3 hari berikutnya atau dalam masa menunggu operasi elektif
selama 6 minggu masih terjadi perdarahan, walaupun jumlahnya sedikit 4).

Operasi yang dianjurkan ialah:

a. “Oesophageal transection” atau “trans-thorasic-trans-oesophageal


ligation” dari varises, dimana kedua cara ini bisa menghentikan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 56
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

perdarahan dengan segera. Namun demikian perjalanan kehidupan


penderita post operative masih dalam perdebatan. Seorang penderita
sirosis hepatis sudah tentu mengalami kemrosotan metabolisme dan
kemungkinan untuk kesembuhan luka sangat sedikit. Perdarahan bisa
dihentikan, tetapi mereka akan meninggal karena kegagalan fungsi hati.
Sangat dianjurkan sesudah perdarahan akut diatasi, apakah dengan atau
tanpa pembedahan darurat, untuk mempertimbangkan suatu “elective
porta-caval anastomosis” 4).
b. “Emergency porta-caval anastomosis” membuat suatu “shunt” antara
sistem portal yang mempunyai tekanan tinggi dengan sistem vena sistemik
yang bertekanan rendah. Operasi darurat ini mempunyai angka kematian
yang tinggi, yaitu sekitar 40%, sedangkan pembedahan elektif hanya 5%
4)
.

B. Pembedahan elektif

Seperti kita ketahui bahwa angka kematian penderita yang mengalami


pembedahan darurat bisa mencapai 50% yaitu sebanyak 5-10 kali angka kematian
penderita dengan pembedahan elektif, sehingga pembedahan elektif lebih disukai
jika terapi konservatif dapat mengontrol perdarahan buat sementara 4).

Karena tingginya insiden “hepatic encephalopathy” dan cepatnya timbul


kegagalan fungsi hati sesudah dekompresi portal, maka para ahli mencoba
menentukan penderita-penderita yang bisa diharapkan mempunyai toleransi
terhadap operasi dan pengalihan aliran porta. Maka seterusnya akan timbul
pertanyaan yang sukar dijawab yaitu : apakah tindakan operasi (shunt porto caval)
akan dapat memperpanjang hidup penderita sirosis hepatis? Untuk ini belum ada
studi perbandingan yang lengkap 4,14).

Seperti kita ketahui bahwa penderita-penderita perdarahan varises bukan


merupakan kumpulan orang-orang yang homogen, dimana hipetensi portal akibat
trombus di vena portal dengan faal hati yang baik mempunyai prognosa yang jauh
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 57
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

lebih baik dari pada hipertensi portal akibat sirosis hepatis. Sedangkan golongan
sirosis sendiri ternyata banyak gradasinya dan tidak homogen pula. Dimana
masing-masingnya harus ditinjau mengenai cadangan faal hatinya 4,15).

Golongan sirosis yang masih bisa bekerja seperti biasa, akan mampu
mengatasi perdarahan dan menjalani pembedahan dengan baik, berbeda sekali
dengan golongan sirosis yang sudah payah keadaanya seperti ascites, jaundice,
dan edema, yang biasanya akan meninggal bila mengalami perdarahan dan tak
akan mampu menjalani pembedahan darurat maupun elektif. Berdasarkan hal
diatas, maka diadakan penggolongan penderita-penderita yang menurut Child
dibagi 3 kelompok yaitu “good risk” (kelas A), “moderat” (kelas B) dan “poor
risk” (kelas C) 4,15).

Tabel 6. Klasifikasi dari child

Group A Group B Group C

Serum bilirubin
Below 2,0 2,0 – 3,0 Over 3,0
(mg per 100 ml)

Serum albumin
Over 3,5 3,0 – 3,5 Under 3,0
(mg per 100 ml)

Ascites None Easily controlled Poorly controlled

Neurologic
None Minimal Advanced coma.
disorders

Nutrition Excellent Good Poor, “wasing”

Dikutip dari 2

Kriteria dari klasifikasi Child diatas ternyata dapat meramalkan perjalanan


kehidupan penderita setelah pembedahan dan terbukti bahwa penderita dengan
penyakit hati berat kurang kemungkinannya untuk hidup sesudah operasi.
Mortalitas pada operasi elektif yang dilakukan pada penderita kelas A dan B

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 58
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

umumnya 10% atau kurang, sedangkan pada kelas C kemungkinan hidup kecil
sekali 4,15).

Berdasarkan hal diatas, maka penderita yang sudah termasuk kelas Child C
tidak bisa direncanakan operasi “porta-caval shunting” 4).

Seterusnya dinyatakan bahwa tujuan seleksi penderita adalah untuk


mendapatkan penderita post operative yang bisa hidup energik, yang tidak akan
mengalami perdarahan ulang, tidak akan mengalami “encephalopathy” dan dapat
hidup paling kurang 3 tahun lagi 4,15).

Syarat-syarat untuk melakukan operasi elektif adalah:

a. Batas waktu minimal 6 minggu harus dipenuhi lebih dahulu. Jika setelah batas
ini pemeriksaan faal hati cukup baik menurut kriteria yang ditetapkan, maka
bisa dilakukan operasi.
b. Penderita harus dalam keadaan sebaik mungkin, sedangkan Hb paling kurang
12 g/100 ml.
c. Usia penderita kurang dari 50 tahun, sebab sesudah usia 50 tahun
kemungkinan untuk hidup akan berkurang, dan insiden ensefalopati biasanya
akan mencapai dua kali.
d. Fungsi hati harus adekuat: bilirubin serum kurang dari 2,5 mg/ml pada kasus
non biliary. Albumin serum harus lebih dari 3 g/100 ml.
e. Ascites harus dihilangkan dulu dengan kata lain ascites tidak ada pada saat
operasi.
f. EKG harus dalam batas normal
g. Pemberian Neomycin 4g/hari, dimulai sehari sebelum operasi dan diteruskan
selama 4 hari. Diit protein harus dikurangi 3 hari sebelum operasi dan tidak
diberikan sama sekali selama 3 hari setelah operasi. Sedangkan anestesi yang
lebih disukai adalah halotan (fluotan) 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 59
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Macam-macam operasi porta-caval shunt ialah: 4)

a. End to side portacaval shunt.


b. Side to side portacaval shunt.
c. End to side splenorenal shunt.
d. Superior mesenteric caval shunt.

Komplikasi porta-caval shunt:

1. Mortalitas
Angka kematian operasi akan menurun bila dilakukan untuk penderita dengan
sumbatan ekstrahepatik dan faal hati masih baik. Jadi mortalitas tidak hanya
tergantung pada keterampilan dan pengalaman ahli bedahnya saja, tetapi juga
pada seleksi penderita dengan “good risk” mempunyai mortalitas 6-12% dan
kemungkinan untuk hidup 5 tahun sekitar 65-70%, sedangkan penderita
dengan “poor risk” mortalitasnya 50%, bahkan bisa mencapai 70%, jika
operasi yang dilakukan merupakan operasi darurat 4).
2. Efek lainnya dari anastomosis
a. Perdarahan ulang tidak akan terjadi lagi.
b. Kolateral vena di dinding abdomen akan hilang. Kalau ini menetap, berarti
ada block pada shunt.
c. Pengecilan limpa akan terjadi dalam 3 bulan sesudah operasi.
d. Varises esofagus akan hilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun.
e. Merosotnya fungsi hati timbul secara pelan-pelan sesudah shunt.
Timbulnya ikterus setelah shunt menandakan memburuknya fungsi hati
dan meningkatnya kadar bilirubin bisa disebabkan oleh hemolisis akibat
transfusi darah.
f. Kelainan neuropsychiatric: adanya saluran yang besar akan memberikan
kesempatan kepada susbtansi nitrogen melewati sistem porta menuju ke
sistem vena. Jika kadarnya melebihi kesanggupan hati untuk
memetabolisir, maka akan timbul ensefalopati.
g. Myelopathy dengan paraplegia, edema tungkai, hemosiderosis 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 60
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Tindakan lainnya dalam rangka menhadapi perdarahan varises esofagus:

1. Istirahat mutlak
Sekurang-kurangnya selama 3 hari setelah perdarahan, penderita harus
istirahat mutlak, disamping itu higiene penderita diperhatikan pula 4).
2. Psikoterapi
Mengingat penderita hematemesis dan melena, banyak yang menjadi gelisah,
maka diperlukan sekali psikoterapi 4).
3. Diet
Makanan cair dapat diberikan setelah 24-48 jam perdarahan berhenti. Sebelum
bisa diberikan batu es untuk mencegah mulut jangan kering dan juga dapat
menghentikan perdarahan 4).
4. Skeleroterapi
Pemberian skeleroterapi pernah dilakukan sebagai pengobatan darurat untuk
perdarahan varises esofagus yang tidak berhenti dengan terapi konservatif,
seperti yang dikerjakan buat pertama kalinya oleh Crafoord dan Frenckner
pada tahun 1939 4).
Walaupun pemakaian balon tamponade termasuk cara yang efektif
dalam menangani perdarahan varises, namun tidak bisa diandalkan untuk
menghentikan perdarahan dalam jangka waktu lama. Pada penyelidikan yang
dilakukan oleh Jhon Terblanche dkk antara tahun 1968 dan 1974 terhadap
penderita perdarahan varises esofagus yang dipasang SB tube, ternyata 60%
mengalami perdarahan ulang setelah SB tubenya dicabut, dimana separuhnya
mengalami perdarahan dalam 72 jam. Selanjutnya dikatakan juga bahwa
mortalitasnya bisa mencapai 60% 4,13).
Disamping itu mortalitasnya pada terapi konservatif sekitar 42% dalam
waktu 1-1½ bulan berikutnya, sedangkan pada shunt portal sistemik sekitar
50%. Selain itu ada beberapa penderita yang tidak mungkin dioperasi dengan
alasan tehnik atau faal hati yang sangat merosot dan satu hal yang tidak bisa
dilupakan ialah bahwa perdarahan bisa saja menetap atau kambuh setelah

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 61
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

operasi. Mengingat hal ini perlu kirannya dicari cara lain untuk menangani
keadaan yang gawat ini 4).
Indikasi skleroterapi ini tidak begitu ditentukan secara pasti. Umumnya
cara ini dilakukan pada penderita perdarahan varises yang mempunyai resiko
tinggi untuk tindakan pembedahan. Bisa juga dilakukan sebagai tindakan
sementara menunggu dilakukan operasi, seadainya keadaan umum penderita
telah membaik. Sebaliknya kita harus hati-hati melakukannya terutama pada
penderita yang tidak mungkin dioperasi atau yang telah dioperasi, tetapi
perdarahan terus berlangsung, atau pada penderita dengan fungsi hati yang
sangat merosot. Akhirnya dikatakan bahwa indikasi pasti skleoterapi ini masih
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut 4,5).
Macam-macam “scelerosing agent” yang dikenal adalah sodium
morrhuate, sodium tetracyl sulfate dan ethanolomine oleat. Pernah dilaporkan
suntikan sklerosan ini dapat menghentikan perdarahan sekitar 75% 4).
Komplikasi skleroterapi adalah persipitasi perdarahan atau bertambah
beratnya perdarahan, striktur esofagus, nekrosis esofagus dan timbulnya
ulserasi dengan/tanpa perforasi. Hal ini pernah dilaporkan oleh Stevan J.
Ayres dkk dimana 3 penderita perdarahan varises yang mengalami komplikasi
skleroterapi dengan sodium morrhuate, penderita pertama mengalami
hematemesis sebanyak 2000 ml, 36 jam setelah suntikan. Penderita kedua
mengalami perdarahan masif disertai hipotensi dan takikardia 36 jam setelah
suntikan, sedangkan penderita ketiga mengalami hematemesis berulang 5 hari
setelah skleroterapi ulangan 4).

VII. 3. 2. Terhadap ulkus peptikum dan gastritis akut

VII. 3. 2. 1. konservatif

A. Diet
Seperti yang telah dibicarakan didepan, setelah 24-48 jam perdarahan
berhenti, dapat kita berikan makanan cair, dimana sebelumnya diberikan batu es.
Bila keadaan bertambah baik dapat diberikan makanan lunak, mudah dicerna,
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 62
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

tidak merangsang, diberikan secara berulang, sedikit-sedikit, misalnya tiap tiga


jam, sehingga volume yang dimakan tidak terlalu banyak. Sedangkan Sippy
(1915) menganjurkan pemberian diet alkali dan air disusul oleh minum susu 4).

B. Kumbah lambung air es; sudah dibicarakan .

C. Pemberian obat – obatan vasopressor (noradrenalin, aramine,


vasopressin)

Bila perdarahan terus saja berlangsung setelah beberapa kali kumbah


lambung air es, dapat kita coba melakukan kumbah lambung air es ditambah
dengan pemberian obat-obatan vasopressor secara lokal, dengan cara memberikan
1-2 ampul noradrenalin/vasopressin dalam larutan dekstrosa 5% intragastarik pada
setiap akhir kumbang lambung. Disamping itu vasopressin dapat pula diberikan
secara intraarteriil waktu “selective angiography” dengan dosis 0,1-0,4 U/menit
lewat arteria coeliaca 4).

D. Antasida
Dalam pemberian antasida ini yang penting adalah memilih obat-obat yang
sesuai dengan kondisi penderita dan mengetahui cara pemberiannya. Beberapa
pedoman pemberian antasida ini ialah sebagai berikut:
a. Jangan memilih antasida yang diserap seperti natrium bikarbonat, karena
pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis
b. Yang menimbulkan obstipasi sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang
mengidap penyakit hati. Sedangkan untuk penderita uremia dianjurkan
menggunakan antasida golongan hidroksida.
c. Cara pemberian antasida yang ideal adalah setiap 1 jam dan 3 jam sesudah
makan, dan seandainya nyerinya terus menerus dapat diberikan lebih sering
misalnya setiap 1-2 jam 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 63
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

E. Obat-obat antikolinergik

Golongan antikolinergik ini tidak perlu diberikan pada keadaan akut. Obat
ini dapat mengurangi asam lambung. Dosis obat ini misalnya atropine 0,5-1 mg
sehari tiga kali bersama makan dan 1 mg sebelum tidur 4).

F. Golongan Histamin H2-reseptor antagonis

Belakangan ini sering disebut suatu golongan obat histamin H2-reseptor


antagonis yang dikatakan juga banyak khasiatnya. Yang termasuk golongan ini
adalah burimamide, metiamide dan cimetidine. Yang paling sering dipakai adalah
cimetidine, menyusul kemudian metiamide, sedangkan burimamide mulai jarang
digunakan. Obat-obat ini tidak hanya dapat mempertahankan pH lambung diatas 5
dalam jangka waktu lama, tetapi juga dapat menghentikan perdarahan 4).

Dosis cimetidine adalah 600 mg/hari atau 150 mg/6 jam. Cimetidine bekerja
langsung pada sel-sel parietal sendiri, sedangkan antasida adalah penawar dari
asam yang sudah masuk ke lumen lambung. Namun demikian perdarahan
berulang bisa saja terjadi 4).

Pernah dilaporkan bahwa cimetidine bisa menyebabkan kekacauan mental


yang biasanya timbul dalam 24-48 jam sesudah dosis pertama diberikan dengan
tanda-tanda kegelisahan, diorientasi, dan agitasi. Seterusnya penderita akan jatuh
kedalam halusinasi dan twitching. Sedangkan sebagai faktor predisposisi adalah
usia lanjut, disfungsi ginjal atau hati serta dosis berlebihan 4).

G. Vitamin K

Untuk mengatasi penekanan aktivitas protrombin dapat diberikan vitamin K


pada perdarahan yang disebabkan oleh salisilat 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 64
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

VII. 3. 2. 2. Tindakan pembedahan

Sekitar 75% perdarahan ulkus peptikum akan berhenti tanpa pembedahan,


dan karenanya lebih disuikai terapi medikamentosa. Angka pembedahan darurat
yang dilakukan pada perdarahan akut ulkus peptikum sekitar 4-5% pada penderita
dengan “good risk”, sedangkan pada usia lanjut dan “poor risk” bisa mencapai
15%. Namun demikian, jika perdarahan tidak berhenti, pembedahan darurat harus
dilakukan, karena angka kematian disini sangat tinggi terutama bagi penderita
usia lanjut dan “poor risk” jika diteruskan juga terapi medikamentosa 4).

Tindakan pembedahan untuk perdarahan ulkus peptikum dibagi dua, yaitu


pembedahan darurat dan embedahan elektif 4).

A. Pembedahan darurat

Yang menjadi persoalan sekarang adalah waktu yang tepat untuk


melaksanakan pembedahan darurat ini, dengan lain perkataan apa indikasinya.
Dalam hal ini ada dua alternatif yang ekstrem yaitu:

1. Golongan yang mengobati semua penderita secara konservatif dan


mempertahankan sampai saat terakhir baru diserahkan kepada ahli bedah.
Dengan cara ini tentunya akan mengakibatkan ahli bedahnya hanya
mendapatkan penderita-penderita yang sudah jelek keadaan umumnya,
sehingga angka kematian operasi akan tinggi 4).
2. Dipihak lain ahli bedah melakukan pembedahan pada semua penderita ulkus
dengan perdarahan secara rutin (radical surgeon), sehingga banyak kasus
dengan perdarahan semestinya dapat berhenti sendiri, mengalami pembedahan
yang tidak perlu. Sedangkan dalam banyak kepustakaan ternyata 70-80%
perdarahan ulkus peptikum akan berhenti sendiri dalam 1-3 hari. Dalam hal ini
Pollard menganjurkan untuk setiap penderita dengan perdarahan masif diobati
secara konservatif pada tahap pertama 4,19).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 65
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Tindakan pembedahan darurat dilakukan bila:

a. Perdarahan hebat dimana penderita sudah dapat darah lebih 2 liter, tetapi
masih dalam keadaan syok.
b. Tekanan darah dan hematokrit tak dapat dipertimbangkan dengan pemberian
darah 500 cc tiap 8 jam.
c. Perdarahan tetap berlangsung setelah 3 hari
d. Perdarahan berhenti, tetapi masih timbul kembali perdarahan masif, walaupun
terapi yang diberikan sudah cukup.
e. Penderita berusia lebih dari 50 tahun, karena kematian yang disebabkan
perdarahan cukup tinggi.
f. Ditemukan suatu “visible vessels” yang pada pemeriksaan endoskopi
kelihatan sebagai suatu noda/bintik berwarna merah atau kebiruan yang
menonjol dari ulkus. Griffthis menyatakan bahwa adanya “visible vessels”
merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena ulkus ini selalu
akan mengalami perdarahan ulang, dan hal ini memerlukan tindakan
pembedahan 4,20).

B. Pembedahan elektif

Pengalaman klinik akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pembedahan elektif


untuk mencegah perdarahan masif berulang pada penderita ulkus peptikum harus
dilakukan pada berbagai keadaan. Para ahli biasanya mendasarkan indikasi
mereka untuk melakukan pembedahan elektif, pada usia penderita yang dianggap
sejajar dengan resiko operasi pada penderita tertentu. Mereka mempunyai dua
alasan:

1. Pada penderita berusia diatas 60 tahun, mortalitas perdarahan masif berulang,


paling kurang 15% dan akan meningkat dengan bertambahnya umur
seseorang, sedangkan pada penderita berusia dibawah 60 tahun mortalitasnya
4% atau kurang.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 66
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

2. Pada ulkus peptikum, timbulnya perdarahan masif berulang paling kurang


30%, sedangkan Gardner dan Baronofsky melaporkan angka 40% bila pada
pemeriksaan X- ray tidak ditemukan suatu crater ulkus dan 70% jika dilihat
crater ulkus. Berdasarkan angka-angka ini, maka ada kemungkinan mortalitas
minimum penderita berusia diatas 60 tahun paling kurang 5% dan bisa
mencapai 15%, sedangkan pada penderita berusia dibawah 60 tahun
mortalitasnya kurang dari 2% 4).

Disamping itu angka kematian operasi elektif kurang dari 2% pada


penderita dengan resiko tinggi (usia lanjut sendiri tidak meninggikan resiko
operasi, jusrtu resiko operasi akan meninggi akibat penyakit jantung berat, paru,
ginjal atau penyakit penyerta lainnya). Pada penderita berusia diatas 60 tahun,
resiko yang fatal dari perdarahan berulang lebih tinggi dari resiko pembedahan
elektif untuk mencegah perdarahn berulang tersebut 4,19).

Penderita usia dibawah 60 tahun yang mengalami perdarahan masif satu kali
saja, yang dapat diatasi dengan medikamentosa dan tanpa komplikasi major dari
ulkus, tidak ada indikasi untuk operasi. Tetapi seandainya penderita ini
mengalami perdarahan masif lebih dari satu kali atau satu kali yang disertai
riwayat komplikasi major sebelumnya (seperti perforasi atau obstruksi), maka
operasi elektif merupakan indikasi. Indikasi lain dari operasi elektif yaitu
penderita berusia diwah 60 tahun yang mengalami perdarahan masif yang disertai
dengan nyeri yang tidak kunjung hilang 4,20).

Macam-macam operasi untuk ulkus peptikum:

a. “Suture ligation” vagotomy, piloroplasti. Cara ini merupakan pilihan pertama


tindakan operasi terhadap perdarahan ulkus peptikum, dan angka kematian
dengan cara ini tak begitu tinggi jika dibandingkan dengan gastrektomi.
b. Gastrektomi parsial, yang banyak variasinya dan perlu dipikirkan betul-betul.
Cara ini baru dikerjakan bila perdarahan yang disebabkan karena adanya atau
akan mengakibatkan terjadinya stenosis pilorus, atau kemungkinan
penyembuhan dari ulkus akan mengakibatkan penyempitan di antrum atau
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 67
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

akan terjadi “hourglass stomach” kemungkinan adanya perforasi maupun


proses keganasan 4).

Selanjutnya yang mengalami persoalan adalah bagaimana mengelola


penderita yang mengalami hematemesis dan melena, seandainya pemeriksaan
endoskopi belum mungkin dilakukan. Sedangkan dipihak lain dikatakan juga
bahwa pada sirosis hepatis perdarahan ini dapat berasal dari varises esofagus
yang pecah (50-60%) dan dapat pula berasal dari penyebab lain seperti gastritis
erosif, ulkus ventrikuli, dan ulkus duodeni pada penderita sirosis hepatis lebih
tinggi dari populasi normal, sedangkan Lebrec dkk mengatakan bahwa
perdarahan dari lesi mukosa lambung pada penderita penyakit hati justru lebih
sering pada keadaan dimana ditemukan varises gastroesofageal yang lebih besar.
Jadi belum tentu pada sirosis hepatis, perdarahannya disebabkan karena varises
yang pecah. Dalam keadaan ini pemeriksaan klinik ini masih dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menduga asal perdarahan, seandainya endoskopi belum
memungkinkan 4,19).

VII. 3. 3. Tumor

Bila ditemukan tumor jinak yang sering menimbulkan perdarahan seperti


leomioma, fibroma, polip, maka tindakan operasi harus dikerjakan. Begitu pula
dengan tumor ganas, tindakan operasi tidak bisa di tawar-tawar lagi, dan harus
dilakukan 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 68
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB VIII

PROGNOSIS

Prognosis penderita selain ditentukan oleh kemanjuran pengobatan, juga


ditentukan oleh:

1. Umur
Menurut Lewin dan Truelove (1949), umur penderita lebih banyak
menentukan prognosa dari pada lamanya ulkus yang diderita oleh penderita.
Umumnya mereka yang berusia lebih dari 50 tahun mempunyai prognosa
yang jelek. Kemudian jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun, dan
mendadak meninggi sesudah berusia 60 tahun 4).

2. Penyebab perdarahan
Menurut Nachkas 1958, perdarahan karena sirosis hepatis, prognosanya lebih
jelek jika dibandingkan dengan perdarahan karena ulkus peptikum, dan
biasanya lebih dari 50% penderita sirosis hepatis dengan hematemesis yang
meninggal. Coghil dan Wilcox (1960) menyatakan bahwa dari ulkus
peptikum, penderita ulkus peptikum kronis mempunyai prognosa kurang baik
jika dibandingkan dengan yang akut. Sedangkan perdarahan ulkus ventrikuli
mempunyai prognosa kurang baik dari pada ulkus duodeni. Angka kematian
untuk keseluruhan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sekitar 20%
dan untuk perdarahan varises sekitar 50% 4).

3. Adanya penyakit penyerta lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru akan
memperburuk prognosa. Sedangkan “stress ulcer” mempunyai mortalitas
yang tinggi 4).

4. Sifat lesi
Varises esofagus mempunyai prognosa yang jelek 4).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 69
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

5. Sifat perdarahan
Perdarahan yang timbul melebihi 50% volume darah normalnya, mempunyai
prognosa yang buruk, apalagi bila terlambat mendapat pertolongan.
Disamping itu perdarahan berulang memperjelek prognosa 4).

Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan keterampilan dalam


pengelolaan perdarahan SCBA, makin tersedianya obat yang efektif dan fasilitas
endoskopi terapi yang terjangkau masyarakat Indonesia, maka diharapkan angka
kesakitan dan kematian akibat perdarahan SCBA dapat makin ditekan 1).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 70
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

BAB IX

PENUTUP

IX. I. Simpulan

Perdarahan SCBA merupakan masalah kesehatan umum yang masih sulit


diatasi. Seperti yang sudah dibicarakan diatas, penanggulangan perdarahan SCBA
merupakan satu segi kegawatan saluran cerna. Perdarahan ini bisa mengancam
jiwa penderita dalam waktu singkat sejak terjadinya perdarahan dan hal ini
merupakan tantangan yang cukup berat bagi para ahli, baik dari segi diagnostik
maupun segi terapeutiknya.

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran


makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan
perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat
ketidaksamaan dalam penanganan dan prognosisnya.

Perdarahan ini sering mengakibatkan hematemesis dan melena.


Hematemesis adalah muntah darah yang berwarna merah atau hitam tergantung
lama darah berada didalam lambung, dapat pula seperti kopi bila bercampur
dengan bekuan darah. Sedangkan melena adalah buang air besar yang berwarna
hitam lembek seperti ter atau petis dengan bau yang busuk, yang menunjukan
adanya darah yang dipengaruhi asam lambung dalam kotoran penderita.

Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya


varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma
Mallory-Weiss, dan keganasan. Perbedaan diantara laporan-laporan penyebab
perdarahan SCBA terletak pada urutan penyebab tersebut. Pada penyakit hati
menahun dengan komplikasi hipertensi portal yang disertai perdarahan esophagus
hanya terdapat pada 10% penderita, tetapi masih tetap merupakan penyebab
utama kematian.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 71
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

Gambaran klasik perdarahan ini adalah penderita pucat, berkeringat,


takikardia, dan tekanan darah yang menurun, tetapi ini tidak selalu ditemukan ,
kulit dingin dan lembab.2 Penderita bisa mengalami pusing, muntah, haus dan
sinkop.

Untuk menentukan diagnosa secepat-cepatnya dan yang tepat, maka


diperlukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan penunjang lainnya, meliputi endoskopi, rontgenologik,
Esophagogastric Intubation, arteriografi, dan pemeriksaan kadar pepsinogen
dalam darah dan urin.

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan


pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosa, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.

Mengganti darah yang hilang, menghentikan perdarahan serta menentukan


sumber perdarahan merupakan tindakan yang penting dan harus dilaksanakan
sedini mungkin. Disamping transfusi darah, berbagai cara dapat dicoba dalam
menangulangi perdarahan SCBA seperti kumbah lambung dengan air es,
pemakaian Sengstaken-Blakemore tube, pemberian vasopressin baik intragastrik,
intravena maupun intraarteriil, serta tindakan bedah.

Prognosis penderita selain ditentukan oleh kemanjuran pengobatan, juga


ditentukan oleh umur penderita, penyebab perdarahan, adanya penyakit penyerta
lainnya, sifat lesi, dan sifat perdarahan itu sendiri.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 72
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

IX. II. Saran


 Menghindari faktor pencetus terjadinya hematemesis dan melena
Makanan yang dapat mengiritasi lambung (asam dan pedas).
Obat-obatan yang bersifat mengiritasi lambung (ulserogenik) seperti
aspirin, indometasin, fenilbutazon, naproksen, dan kortikosteroid.
Minuman beralkohol.
 Mengobati penyakit yang mungkin menyertai hematemesis dan melena, misal
demam berdarah, tifoid, hipertensi, diabetes melitus, dan lain-lain.
 Mencari penyebab hematemesis dan melena dengan tepat dengan melakukan
anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti, serta pemeriksaan
laboratorium, radiologik, dan endoskopi, untuk menunjang diagnosa.
 Hemetemesis dan melena merupakan suatu kegawatdaruratan saluran cerna,
sehingga diperlukan penanganan secepatnya dan tepat agar pasien tidak jatuh
kedalam syok.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 73
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

DAFTAR PUSTAKA

1. Padmomartono FS. Pengelolaan kegawatan pada perdarahan saluran cerna


bagian atas. Dalam: Kegawatan medik I. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Mei 2000:169-82
2. Wilson ID. Hematemesis, melena, and hematochezia. In: Clinical methods.
2000. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book
=cm& part= A2793
3. Milawati. Aspek klinis dan pengelolaan. Dalam: Hematemesis dan melena
pada sirosis hepatis. Januari 2007. Available from http://dosen.wordpress.
com/2008/ 12/10/sirosis-hepatis/hematemesis-melena
4. Umar S. Penanggulangan perdarahan saluran cerna bagian atas. Mei 2003.
Available from http://www.scribd.com/doc/3023325/Hematemesis-and-GIT-
bleeding-Causes-TheDoctorsLounge(TM).htm
5. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: Buku ajar
ilmu penyakit dalam Jilid I, Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:289-97
6. Laine L. Gastrointestinal bleding. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226:235-38
7. Stone C. Vomiting blood. 13 November 2007. Available from http://www.
nlm.nih.gov/MEDLINEPLUS/ency/article/003118.htm
8. Kahan S and Smith EG. Sign and symptoms. In: Gastrointestinal hematemesis.
2004. Available from http://www.wrongdiagnosis.com/h/hematemesis/book-
diseases-2a.htm
9. Collins RD. Differential diagnosis in primary care. In: Hematemesis and
melena. 2007. Available from http://www.wrongdiagnosis.com/h/hematemesis
/book-diseases 4c.htm

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 74
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

10. Oldam KT dan Lobe TE. Penyebab dalam traktus gastrointestinal bagian atas.
2008: 250-54. Available from http://www.wrongdiagnosis.com/h/hemate
mesis/treatments.htm
11. Warta Medika. Varises esofagus. 22 Februari 2008. Available from
http://www.wartamedika.com/varises-esofagus.html
12. Aplatun ST, Akil HAM, dan Amirudin AR. Hubungan Antara Varises
Esofagus dan Gambaran Klinik Penderita Sirosis Hati. Dalam: Simposium
penyakit hati; Cermin Dunia Kedokteran No. 40. Ujung Pandang:
Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. 1985: 20-25. Available from http://www.scribd.com/doc/
7536707/Cdk-040-Simposium-Penyakit-Hati
13. Selamihardja N. Ada varises yang mengancan jiwa. Oktober 1997. Available
from http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=38/varises.htm
14. Chang RT and Padolsky DK. Chirrosis and its complication. In: Harrison’s
Principle of Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc
Graw-Hill Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 1858-68
15. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I,
Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 443-46
16. Handin RI. Disorder of coagulation and trombosis. In: Harrison’s Principle of
Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 680-88
17. Handin RI. Bleeding and trombosis. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 337-342
18. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 523-27

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 75
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)

19. Tarigan P. Tukak gaster. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, Ed.IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 338-44
20. Valle DL. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Harrison’s Principle
of Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 1746-62
21. Boyle J. Hematemesis and melena. 2008. Available from http://en.wikipedia.
org/wiki/Hematemesis-melena.htm
22. Wrongdiagnosis.com. Diagnosis of hematemesis. 2004. Available from
http://www.wrongdiagnosis.com/h/hematemesis/diagnosis.htm
23. Topazian M. Gastrointestinal endoscopy. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 1730-38
24. Simadibrata MK. Pemeriksaan saluran cerna. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid I, Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 305-09
25. Ament ME. Upper gastrointestinal bleeding. 2008. Available from
http://pedsinreview.aapjournals.org/cgi/content/full/20/3/95?maxtoshow=&HI
TS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&author1=squires&searchid=1014150
405429_320&stored_search=&FIRSTINDEX=0&journalcode=pedsinreview
26. Purnomo HD. Management variceal bleeding. Pertemuan tahunan ilmiah XII
Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia Semarang. Hal:125-137

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 76

Anda mungkin juga menyukai