Referat Hmtms MLN
Referat Hmtms MLN
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Seperti kita ketahui penyebab perdarahan itu dapat hilang dalam beberapa
hari saja, dari hal itu pemeriksaan sedini mungkin harus dilakukan untuk mencari
penyebab dan lokalisasi sumber perdarahan, dan seandainya pemeriksaan ini
terlambat, kemungkinan besar penyebabnya tidak dapat ditemukan dan kalau kita
temui suatu kelainan, belum tentu kelainan tersebut yang menjadi penyebab
perdarahan 3).
Dalam referat ini akan dibahas kegawatan yang terjadi pada perdarahan
SCBA dan penanganan penderita, khususnya dalam mengatasi kegawatan.
Penanganan kegawatan bertujuan untuk menyelamatkan penderita dari komplikasi
dan kematian, dan menyiapkan penderita dalam kondisi yang optimal untuk
selanjutnya mendapatkan terapi definitif. Karena sebagian besar penderita
perdarahan SCBA di Indonesia disebabkan sirosis hepatis, maka pembahasan
seringkali terkait dengan pengelolaan varises esofagus.
Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi dan gejala klinis, dasar diagnosis, cara pemeriksaan, dan
penatalaksanaan dari perdarahan SCBA, khususnya hematemesis dan melena.
I. 3. Tujuan Penulisan
Referat ini disusun sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya
kalangan medis, yang kurang begitu memahami tentang cara menangani
hematemesis dan melena, dengan harapan agar referat mengenai hematemesis dan
melena ini dapat berguna untuk mengetahui penyebab, cara mendiagnosa dan
penanganan hematemesis dan melena, serta pencegahan terjadinya komplikasi
yang disebabkan oleh hematemesis dan melena.
I. 5. Sistematika
beberapa kelainan pada saluran cerna dan pada Bab V dijelaskan mengenai
manifestasi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari kelainan tersebut. Kemudian,
dalam Bab VI dijelaskan mengenai dasar diagnosis dan pemeriksaan yang
dilakukan untuk mengetahui adanya hematemesis dan melena. Sedangkan dalam
Bab VII penulis mencoba mengemukakan penatalaksanaan hematemesis dan
melena, baik secara umum maupun khusus sesuai dengan penyebabnya. Bab VIII
dibahas prakiraan dari perjalanan klinis hematemesis dan melena dan faktor yang
mempengaruhinya. Bab IX yang merupakan Bab Penutup terdiri dari simpulan
dan saran penulis mengenai bahasan yang ditulis dalam referat ini.
BAB II
DEFINISI
Melena adalah buang air besar yang berwarna hitam lembek seperti ter atau
petis dengan bau yang busuk, yang menunjukan adanya darah yang dipengaruhi
asam lambung dalam kotoran penderita. Paling sedikit perdarahan terjadi
sebanyak 50-100 ml untuk menimbulkan melena. Akan tetapi, tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol, lycorice, dan obat-obatan yang
mengandung besi (obat penambah darah) juga dapat menyebabkan feses menjadi
hitam 2,3,5).
Dikutip dari 5
terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya
ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan SCBA 5).
BAB III
ETIOLOGI
1. Kelainan di esofagus
Varises esofagus; biasanya pada
penderita sirosis dan alkoholik
Esofagitis
Ulkus atau erosi esofagus
Tumor esofagus
Sindroma Mallory-Weiss
2. Kelainan di lambung dan duodenum
Ulkus peptikum yang kronis dan
akut (stress ulcer)
Post gastrektomi
Obat-obatan
Tumor lambung benigna dan
maligna
Arteriovenous malformations:
Osler-Weber-Rendu syndrome
(cutaneous telangectasias,
recurrent nosebleeds), idiopathic
angiomas, radiation-induced Gambar 1. Sumber perdarahan SCBA
telangectasias, blue rubber bleb
nevus syndrome Dikutip dari 9
Keadaan ini merupakan 90% dari semua kasus perdarahan saluran cerna
bagian atas, dimana kita temukan lesi yang jelas 6).
Dikutip dari 9
Ulcers 35–62
Varices 4–31
Malignancy 1–4
Dikutip dari 6
Dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr.
Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis
erosif, 1,0% tukak peptik, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab
lain. Laporan dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3
penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr. Sutomo
Surabaya. Sedangkan laporan di RS Pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan
tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA. Laporan
kasus di RS swasta, yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak peptik
51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%, keganasan 9,8%, esofagitis
5,3%, sindrom Mallory-Weiss 1,4%, tidak diketahui 7%, dan penyebab-penyebab
lain 2,7% 5).
BAB IV
PATOFISIOLOGI
Tingkat I
Tingkat II
Tingkat III
Varises esofagus dengan diameter 3-4 mm, panjang dan sudah terlihat berkelok -
kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan jelas pada mukosa 12).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 13
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
Tingkat IV
Varises esofagus dengan diameter 3-4 mm terlihat panjang dan berkelok -kelok.
Sebagian besar varises terlihat pada mukosa esofagus 12).
Tingkat V
Varises esofagus dengan diameter lebih dari 5 mm, jelas sebagian besar atau
seluruh esofagus terlihat penonjolan atau berkelok-kelok 12).
Varises esofagus terjadi jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran
tersebut akan mencari jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus, lambung,
atau rektum yang lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak imbangnya antara
tekanan aliran darah dengan kemampuan pembuluh darah mengakibatkan
pembesaran pembuluh darah (varises) 11).
Hipertensi portal (tekanan vena porta lebih besar atau sama dengan 15 mm
Hg) intrahepatik akibat penyempitan vena hepatika oleh karena fibrosis hati dan
regenerasi noduler, menyebabkan terbentuknya berbagai kolateral, seperti varises
esofagus, varises lambung, pelebaran vena-vena dinding perut, splenomegali, di
mana kelainan-kelainan tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, foto
atau endoskopi 12,15).
Disamping itu anggapan bahwa varises sendiri tidak pecah, tetapi yang
terjadi adalah perembesan darah dari dalam varises kedalam lumen esofagus
akibat kerusakan setempat pada permukaan esofagus yang disebabkan erosi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 15
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
lapisan mukosa esofagus. Tetapi statis darah vena dalam mukosa esofagus dan
mukosa lambung serta mukosa usus karena hipertensi portal agaknya memegang
peranan utama 4).
Pada penyakit hati yang berat sering terjadi suatu kelainan pembekuan.
Seperti kita ketahui empat faktor pembekuan seperti faktor III, VII, X, dan
protrombin disintesa di hati oleh suatu proses yang membutuhkan vitamin K.
Suatu defisiensi dari faktor-faktor ini (vitamin K dependent coagulation factors)
akan timbul dalam beberapa keadaan, dimana terjadi kelainan pembekuan. Disini
sel hati tidak sanggup membuat faktor-faktor pembekuan yang dibutuhkan ini,
walaupun vitamin K cukup 4,16).
Kelainan hemostatis yang lain sering pula timbul pada penyakit hati yang
berat seperti defisiensi faktor V dan defisiensi fibrinogen (walaupun jarang),
kedua disintesa di hati tetapi tidak membutuhkan penyakit hati berat, yang
kebanyakan disebabkan oleh terjadinya suatu “sequestration” trombosit dalam
limpa yang berhubungan dengan hipertensi portal 14,17).
c. Kemungkinan esofagitis
Varises esofagus biasanya tidak bergejala, kecuali jika sudah robek dan
berdarah. Beberapa gejala yang terjadi akibat perdarahan esofagus adalah: 11)
Muntah darah
Tinja hitam seperti ter
Kencing menjadi sedikit
Sangat haus
Pusing
Syok
Syok hipovolemik.
Ensefalopati.
Infeksi, misalnya pneumonia aspirasi.
Perdarahan pada varises esofagus harus segera diatasi, jika tidak dapat
terjadi kematian. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi perdarahan antara
lain 11):
Perdarahan yang terjadi pada esofagitis ini biasanya lebih sering bersifat
intermiten atau kronis dan ringan, sehingga lebih sering melena daripada
hematamesis. Sedangkan ulkus pada esofagus jarang sekali mengakibatkan
perdarahan jika dibandingkan dengan ulkus ventrikuli dan duodenum. Sebab
terjadinya perdarahan ialah terlepasnya beberapa lapisan epitel pada beberapa
tempat permukaan mukosa sehingga pembuluh darah ikut pecah 4,15).
Perdarahan biasanya berhenti spontan setelah masuk rumah sakit, tetapi hal
demikian tidak selalu terjadi, khususnya pada pasien lanjut usia. Pemeriksaan
Ulkus peptikum diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu yang kronis dan
akut. Ulkus peptikum kronis ditandai adanya fibrosis didindingnya yang
merupakan suatu tanda dari proses kronis yang menetap. Dikatakan juga bahwa
ulkus ini biasanya dapat memperluas diri secara menyeluruh melalui proparia.
Salah satu komplikasi ulkus peptikum adalah perdarahan yang terjadi sekitar 17 %
dari ulkus duodenum, dan 12 % dari ulkus lambung. Perdarahan pertama akan
diikuti oleh perdarahan kedua sekitar 40% dari ulkus duodenum, dan 25% dari
ulkus lambung. Perdarahannya mungkin bersifat masif, yang bisa mengancam
jiwa penderita. Sebaliknya bisa bersifat tidak kentara sama sekali dan berlangsung
secara kronis dengan manifestasi anemia defisiensi besi. Ulkus duodeni
postbulber biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih berat dan lebih
sering jika dibandingkan dengan perdarahan bulbus duodeni, terutama pada pria
yang berusia lebih dari 50 tahun 4,19).
Pada penderita yang telah mengalami operasi lambung, beberapa bulan atau
tahun kemudian ada kemungkinan akan mengalami perdarahan. Timbulnya
perdarahan ini adalah akibat terjadinya ulkus marginalis, “suture-line ulcer” atau
degenerasi maligna 4).
IV. 2. 3. Obat-Obatan
Sering kita menjumpai penderita yang masuk rumah sakit dengan muntah-
muntah darah setelah minum obat, misalnya beberapa jam setelah minum obat
Aspirin, Aspro, APC, obat cap macan, obat bintang tujuh dan lain-lain. Obat-obat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 21
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
Pemberian kortikosteroid dalam dosis besar dan jangka waktu lama sering
menimbulkan “ulcer-like symptoms” dan beberapa penderita ada yang mengalami
ulkus peptikum. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa steroid tidak hanya
meningkatkan sekresi asam lambung, tetapi juga merusak “mucosal ephitelial
barrier” 21)
.
A. Teori Lokal :
a. Teori iritasi kristal
b. Efek terhadap “gastric mucosal barrier”
c. Efek terhadap lapisan mukuos
B. Teori sistemik
a. Efek terhadap pembekuan darah
a. 1. Penekanan aktivitas protrombin
a. 2. Penghambatan agrigasi platelet.
b. Intoleransi aspirin
ASA menyebabkan koagulasi kimiawi dari mukous, hingga free acid serta
pepsin langsung kontak dengan mukosa yang akan mengakibatkan erosi atau
ulserasi 4).
Keadaan ini tampak sebagai perpanjangan waktu PPT dan dapat diatasi
dengan pemberian vitamin K. sifat ini sebanding dengan kadar salisilat dalam
plasma dan baru akan tampak pada pemberian lebih dari 6 gram/ hari 4).
B. b. Intolerensi aspirin
BAB V
MANIFESTASI KLINIK
Melena adalah berak darah berwarna hitam seperti aspal (“tarry stool”) bisa
terjadi sendiri saja atau bersamaan dengan hematemesis. Seandainya hematemesis
yang menyolok, kita cenderung kepada suatu lesi di esofagus, sedangkan melena
yang menonjol kemungkinan besar berasal dari ulkus duodenum. Gambaran
klasik perdarahan ini adalah penderita pucat, berkeringat, takikardia, kulit dingin
dan lembab, tekanan darah yang menurun, tetapi ini tidak selalu ditemukan , 8,22).
BAB VI
DIAGNOSA
VI. 1. Anamnesa
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga
4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain (misalnya mimisan, perdarahan
gusi, memar, atau bekas operasi)
5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi non-steroid dan antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol dan merokok
VI. 4. Rontgenologik
VI. 5. Endoskopi
1. kontraindikasi absolut
2. kontraindikasi relatif
luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung berat.
Kifoskoliosis berat, divertikulum Zenker, osteofit bear pada tulang
servikal, dan struma besar. Pada keadaan tersebut, pemeriksaan endoskopi
harus dilakukan dengan hati-hati dan halus.
Pasien gagal jantung
Pasien infeksi akut (misal pneumonia, peritonitis, kolesistitis)
Pasien anemia berat misal karena perdarahan, harus diberi transfusi darah
terlebih dulu sampai Hb sedikitnya 10 g/dl.
Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai hipertensi berat atau
kejang-kejang.
Pasien pasca bedah abdomen yang baru.
Gangguan kesadaran.
Tumor mediastinum 24).
Menurut Katon dan Smith (1973) suatu panendoskopi yang dilakukan 1-2
jam sesudah dirawat mencapai hasil diagnostik sebesar 92%. Suatu endoskopi
disebut dini, bila dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah penderita dirawat 4,8).
Foster dkk, melaporkan bahwa pada ulkus lambung dan ulkus duodenum
yang baru saja mengalami perdarahan ditemukan “stigmata” sebagai berikut:
perdarahan segar dari suatu lesi, terdapat darah atau bekuan yang melekat pada
lesi, penonjolan pembuluh darah dari dasar ulkus 4).
Forest III Perdarahan berhenti tanpa sisa Lesi tanpa tanda sisa
perdarahan perdarahan
Dikutip dari 5
catheter” kedalam esofagus melalui hidung. Setelah kateter sampai 1/3 bagian
bawah esofagus, penderita disuruh minum air kemudian dilakukan pengisapan.
Bila terdapat darah berarti sumbernya di esofagus, dan bila tidak ada darah tube
terus dimasukkan kedalam lambung yang kemudian dihisap lagi. Jika tidak ada
darah dalam cairan aspirasi berarti perdarahan berasal dari duodenum atau
intestinum lebih kebawah 4).
VI. 7. Arteriografi
Kenaikan rata-rata kadar pepsinogen dalam darah dan urin ditemukan pada
penderita ulkus duodeni bila dibandingan dengan ulkus ventrikuli 4).
BAB VII
PENATALAKSANAAN
Dirumah sakit yang pertama kita kerjakan adalah bertindak lebih dahulu
menyelamatkan jiwa penderita, baru kemudian secara teliti menentukan
penyebabnya. Namun demikian kiranya akan lebih baik, kita sepintas lalu secara
klinik dapat menemukan diagnosa, sehingga dalam mengambil tindakan akan
lebih mempunyai arah sehingga dapat memberikan terapi yang efektif dan tepat.
Untuk itu sangat diperlukan anamnesa/alloanamnesa yang seteliti-telitinya disertai
pemeriksaan fisik yang cermat 4).
Tabel 4. Prinsip umum pengelolaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas
Dikutip dari 1
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 /menit
2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15 /menit
4. Akral dingin
5. Kesadaran menurun
6. Anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam)
1. Hematemesis
2. Hematokesia (berak darah segar)
3. Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih
4. Hipotensi persisten
5. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml.
Hemodinamik stabil
tidak ada perdarahan aktif Hemodinamik tidak stabil
perdarahan aktif
Terapi empiris
Sumber perdarahan
Variasi esofagus/gaster Ulkus tidak tampak
Jika gagal
Dikutip dari 5
Tekanan darah > 90/60 mmHg Tekanan darah > 90/60 mmHg
tekanan darah rata-rata < 70 mmHg tekanan darah rata-rata < 70 mmHg
nadi < 100 x/mnt nadi < 100 x/mnt
Ht < 9% Ht < 9%
tes Tilt (-) tes Tilt (+)
Obat vasoaktif:
Somatostatin
Octreotide
Vasopresin + nitrat
Operasi segera
Terapi definitif
Dikutip dari 5
Mengganti darah yang hilang dengan segera dalam jumlah yang cukup
merupakan tindakan yang paling penting untuk memperbaiki dan
mempertahankan volume darah, sehingga hipovolemia dan komplikasi
selanjutnya seperti kegagalan ginjal, kegagalan faal hati, iskemia miokard dan
”cerebral vascular insufficiency” dapat dicegah. Disamping itu Grant & Reeve
(1952) menyatakan bahwa pemberian transfusi darah sebelum 12 jam bisa
mengurangi bahaya kematian, dan bila diberikan antara 1-2 jam setelah
perdarahan, mungkin angka kematian dapat diperkecil lagi 4).
Walaupun pengukuran yang tepat dari jumlah darah yang hilang sukar
ditentukan, tetapi suatu perkiraan dapat dibuat berdasarkan tekanan darah,
kecepatan nadi, dan keadaan umum penderita 17).
Dikutip dari 1
a. Pada syok ringan: tekanan darah sistolik 90-100 mmHg dan nadi 100-110
x/menit, diberikan darah sekitar 20-25% dari volume darah tubuh.
pada syok sedang: tekanan darah sistolik 70-90 mmHg dan Nadi 110-130
x/menit, diberikan darah seikitar 25-40% dari volume darah tubuh.
Pada syok berat: tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg dan nadi lebih
cepat dari 130 x/menit, diberikan darah sekitar 40-50% dari volume darah
tubuh 4,1).
b. Menurut Tudhope (1958), bilamana pada pemeriksaan tekanan darah terdapat
penurunan sistolik kurang dari 100 mmHg dan denyut nadi lebih dari 110
x/menit, maka kepada penderita tersebut harus diberikan sekurang-kurangnya
2 liter 4).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 42
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
1. Tekanan darah, kecepatan nadi, dan pernafasan harus dikontrol setiap 15-60
menit.
2. Monitoring central venous pressure (CVP) dengan menggunakan “central
venous pressure catheter” sangat ideal dilakukan untuk mencegah transfusi
berlebihan dan dekompensasi kordis, karena CVP akan lebih dulu meninggi
sebelum terjadinya edema pulmonum. Hal ini perlu diperhatikan terutama
pada orang tua yang berpenyakit jantung.
3. Pengukuran kadar Hb harus dilakukan berulang kali. Tanpa adanya
perdarahan baru, transfusi darah (whole blood) 10 cc/kg BB rata-rata akan
menyebabkan kenaikkan Hb sebanyak 10%. Bila tekanan darah dan nadi
sudah kembali dalam nilai-nilai normal dan klinis serta keadaan hipovolemia
sudah teratasi, maka kecepatan transfusi diperlambat (pada mulanya 8-100
tetes permenit) 4,24).
Pada saat kita menanggulangi kehilangan darah ini, kita tetap mengawasi
penderita mengenai kesadaran, tanda-tanda vasokonstriksi perifer, produksi air
seni serta tanda-tanda asidosis metabolik. Selanjutnya kita lakukan segera
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, faal hemostasis, faal ginjal serta test faal
hati 4).
Pada perdarahan yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu, terutama pada
sirosis hepatis, sebaiknya diberikan darah tanpa plasma (packed cell) untuk
mencegah hipervolemia 4).
Setiap penderita yang datang dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
segera dipasang “nasogastric tube” dan dilakukan aspirasi. Ada dua
kemungkinan yang ditemukan yaitu tidak keluar darah atau keluar darah 4,20).
VII. 1. 2. 3. Koagulansia
Setelah keadaan gawat akibat perdarahan dapat diatasi, maka kita segera
melakukan pemeriksaan untuk menentukan diagnosa yang tepat dengan beberapa
cara pemeriksaan sebagai berikut: 4)
1. Endoskopi
2. U.G.I foto (upper Gastro Intestinal)
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 47
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
3. Selective arteriography
VII. 2. 1. Endoskopi
Seperti kita ketahui pemeriksaan ini bisa dilakukan setelah beberapa hari
sampai beberapa minggu perdarahan berhenti 4).
Dipihak lain kita dihadapkan kepada mortalitas yang tinggi dari semua
penderita hematemesis dan melena ini. Keadaan ini masih lebih diperberat lagi
seandainya terjadi perdarahan berulang khususnya pada sirosis hepatis, dimana
tiap perdarahan berikutnya kecenderungan meninggal lebih besar 4,15).
A. Tindakan supportive :
1. Transfusi darah
2. Pemberian vitamin yang dibutuhkan, terutama vitamin K
3. Mencegah koma hepatikum
4. Memperbaiki kekurangan elekrtrolit, terutama terhadap hipokalemia
tersebut, seperti kenaikkan tekanan darah arterial, penurunan PO2 arteria dan
penurunan cardiac output 4,5).
d. Melihat keadaan diatas, maka Barr mengusulkan untuk mengurangi
memberikan vasopressin intravena dengan dosis separuhnya untuk mencegah
atau mengurangi efek sistemik tersebut. Dosis rendah intravena yang
digunakan ialah 2,75 mU/kg/menit yang akan menurunkan aliran portal
sebanyak 15-20%. Seterusnya Barr berkesimpulan dari percobaannya bahwa
dosis rendah intravena relatif mempunyai efek yang lebih baik, mudah
mengerjakannya dimana saja 4,15).
Disamping itu yang perlu kita perhatikan ialah pitressin hanya bisa
diberikan bila pada anamnesa maupun pemeriksaan EKG tidak menunjukkan
adanya kelainan pembuluh darah koroner, karena efeknya yang menimbulkan
vasokonstriksi pada arteria koronaria. Tambahan lagi pada penderita dewasa
yang mengalami perdarahan akut dan masif saluran makanan, sebanyak 1-2%
akan menderita infark miokard akut mengingat ini semua, maka mengerjakan
EKG merupakan tindakan yang penting dalam tatalaksana perdarahan saluran
cerna bagian atas ini 4,5).
e. Belakangan ini mulai dikembangkan pemberian pitressin terus menerus dalam
dosis rendah. Barr dkk (1975) dan Rigberg dkk (1977) telah mengadakan
percobaan memberikan pitressin dosis rendah terus menerus (continuous low
dose peripheral vein pitressin), tanpa timbul efek sampingan. Umumnya
diberikan selama 24 jam dalam cairan infus dengan dosis 0,2 unit/cc/menit.
Bila perdarahan berhenti atau berkurang, maka dosis dikurangi menjadi 0,1
unit/cc/menit. Bila selama waktu itu perdarahan belum juga berhenti, perlu
segera dilaksanakan tindakan operasi 4,14).
Komplikasi lain dari pitressin ialah abdominal colic, dan local tissue
necrosis. Karena komplikasi sistemik vasopressin ini mempunyai mortalitas yang
tinggi, maka Tyder dkk mencoba memakai somatostatin untuk menghentikan
perdarahan 4).
a. Komplikasi mayor: laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan nafas oleh
Segsteken-Blakemore tube dan aspirasi darah ke dalam laring
b. Komplikasi minor: migrasi Segsteken-Blakemore tube kedalam hipofaring 4).
sukar dan berbahaya, dan cara ini sebaiknya hanya dicadangkan untuk penderita
yang perdarahannya benar-benar dari varises esofagus, tetapi tetap saja
berlangsung meskipun telah mendapat terapi yang cukup 4).
Meskipun masih ada pendapat yang pro dan kontra perihal pemasangan SB
tube ini, namun Hermono Kusumobroto dkk. Tetap berpendapat bahwa mengingat
relatif rendahnya angka komplikasi yang ditemukannya, maka SB tube cukup
dapat dipertanggungjawabkan untuk dilaksanakan di rumah sakit manapun 4).
a. Neomycin 4 x 500 /hari peroral untuk membunuh kuman dan merubah flora
usus hingga amoniak tidak terbentuk.
Dikatakan juga bahwa bila neomycin diberikan bersama dengan laktulosa
akan mengakibatkan penurunan pembentukan amoniak dalam usus karena
menurunnya kecepatan pembentukan urea. Sedangkan penurunan
pembentukan urea ini disebabkan oleh neomycin dengan jalan menghambat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 55
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
A. Pembedahan darurat
Indikasi pembedahan darurat pada perdarahan varises ialah:
a. Jika dalam 8 jam pertama untuk mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi diperlukan transfusi darah lebih dari 2 liter.
b. Jika dalam 24 jam berikutnya untuk mempertahankan sirkulasi di perlukan
darah lebih 2 liter.
c. Jika dalam 3 hari berikutnya atau dalam masa menunggu operasi elektif
selama 6 minggu masih terjadi perdarahan, walaupun jumlahnya sedikit 4).
B. Pembedahan elektif
lebih baik dari pada hipertensi portal akibat sirosis hepatis. Sedangkan golongan
sirosis sendiri ternyata banyak gradasinya dan tidak homogen pula. Dimana
masing-masingnya harus ditinjau mengenai cadangan faal hatinya 4,15).
Golongan sirosis yang masih bisa bekerja seperti biasa, akan mampu
mengatasi perdarahan dan menjalani pembedahan dengan baik, berbeda sekali
dengan golongan sirosis yang sudah payah keadaanya seperti ascites, jaundice,
dan edema, yang biasanya akan meninggal bila mengalami perdarahan dan tak
akan mampu menjalani pembedahan darurat maupun elektif. Berdasarkan hal
diatas, maka diadakan penggolongan penderita-penderita yang menurut Child
dibagi 3 kelompok yaitu “good risk” (kelas A), “moderat” (kelas B) dan “poor
risk” (kelas C) 4,15).
Serum bilirubin
Below 2,0 2,0 – 3,0 Over 3,0
(mg per 100 ml)
Serum albumin
Over 3,5 3,0 – 3,5 Under 3,0
(mg per 100 ml)
Neurologic
None Minimal Advanced coma.
disorders
Dikutip dari 2
umumnya 10% atau kurang, sedangkan pada kelas C kemungkinan hidup kecil
sekali 4,15).
Berdasarkan hal diatas, maka penderita yang sudah termasuk kelas Child C
tidak bisa direncanakan operasi “porta-caval shunting” 4).
a. Batas waktu minimal 6 minggu harus dipenuhi lebih dahulu. Jika setelah batas
ini pemeriksaan faal hati cukup baik menurut kriteria yang ditetapkan, maka
bisa dilakukan operasi.
b. Penderita harus dalam keadaan sebaik mungkin, sedangkan Hb paling kurang
12 g/100 ml.
c. Usia penderita kurang dari 50 tahun, sebab sesudah usia 50 tahun
kemungkinan untuk hidup akan berkurang, dan insiden ensefalopati biasanya
akan mencapai dua kali.
d. Fungsi hati harus adekuat: bilirubin serum kurang dari 2,5 mg/ml pada kasus
non biliary. Albumin serum harus lebih dari 3 g/100 ml.
e. Ascites harus dihilangkan dulu dengan kata lain ascites tidak ada pada saat
operasi.
f. EKG harus dalam batas normal
g. Pemberian Neomycin 4g/hari, dimulai sehari sebelum operasi dan diteruskan
selama 4 hari. Diit protein harus dikurangi 3 hari sebelum operasi dan tidak
diberikan sama sekali selama 3 hari setelah operasi. Sedangkan anestesi yang
lebih disukai adalah halotan (fluotan) 4).
1. Mortalitas
Angka kematian operasi akan menurun bila dilakukan untuk penderita dengan
sumbatan ekstrahepatik dan faal hati masih baik. Jadi mortalitas tidak hanya
tergantung pada keterampilan dan pengalaman ahli bedahnya saja, tetapi juga
pada seleksi penderita dengan “good risk” mempunyai mortalitas 6-12% dan
kemungkinan untuk hidup 5 tahun sekitar 65-70%, sedangkan penderita
dengan “poor risk” mortalitasnya 50%, bahkan bisa mencapai 70%, jika
operasi yang dilakukan merupakan operasi darurat 4).
2. Efek lainnya dari anastomosis
a. Perdarahan ulang tidak akan terjadi lagi.
b. Kolateral vena di dinding abdomen akan hilang. Kalau ini menetap, berarti
ada block pada shunt.
c. Pengecilan limpa akan terjadi dalam 3 bulan sesudah operasi.
d. Varises esofagus akan hilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun.
e. Merosotnya fungsi hati timbul secara pelan-pelan sesudah shunt.
Timbulnya ikterus setelah shunt menandakan memburuknya fungsi hati
dan meningkatnya kadar bilirubin bisa disebabkan oleh hemolisis akibat
transfusi darah.
f. Kelainan neuropsychiatric: adanya saluran yang besar akan memberikan
kesempatan kepada susbtansi nitrogen melewati sistem porta menuju ke
sistem vena. Jika kadarnya melebihi kesanggupan hati untuk
memetabolisir, maka akan timbul ensefalopati.
g. Myelopathy dengan paraplegia, edema tungkai, hemosiderosis 4).
1. Istirahat mutlak
Sekurang-kurangnya selama 3 hari setelah perdarahan, penderita harus
istirahat mutlak, disamping itu higiene penderita diperhatikan pula 4).
2. Psikoterapi
Mengingat penderita hematemesis dan melena, banyak yang menjadi gelisah,
maka diperlukan sekali psikoterapi 4).
3. Diet
Makanan cair dapat diberikan setelah 24-48 jam perdarahan berhenti. Sebelum
bisa diberikan batu es untuk mencegah mulut jangan kering dan juga dapat
menghentikan perdarahan 4).
4. Skeleroterapi
Pemberian skeleroterapi pernah dilakukan sebagai pengobatan darurat untuk
perdarahan varises esofagus yang tidak berhenti dengan terapi konservatif,
seperti yang dikerjakan buat pertama kalinya oleh Crafoord dan Frenckner
pada tahun 1939 4).
Walaupun pemakaian balon tamponade termasuk cara yang efektif
dalam menangani perdarahan varises, namun tidak bisa diandalkan untuk
menghentikan perdarahan dalam jangka waktu lama. Pada penyelidikan yang
dilakukan oleh Jhon Terblanche dkk antara tahun 1968 dan 1974 terhadap
penderita perdarahan varises esofagus yang dipasang SB tube, ternyata 60%
mengalami perdarahan ulang setelah SB tubenya dicabut, dimana separuhnya
mengalami perdarahan dalam 72 jam. Selanjutnya dikatakan juga bahwa
mortalitasnya bisa mencapai 60% 4,13).
Disamping itu mortalitasnya pada terapi konservatif sekitar 42% dalam
waktu 1-1½ bulan berikutnya, sedangkan pada shunt portal sistemik sekitar
50%. Selain itu ada beberapa penderita yang tidak mungkin dioperasi dengan
alasan tehnik atau faal hati yang sangat merosot dan satu hal yang tidak bisa
dilupakan ialah bahwa perdarahan bisa saja menetap atau kambuh setelah
operasi. Mengingat hal ini perlu kirannya dicari cara lain untuk menangani
keadaan yang gawat ini 4).
Indikasi skleroterapi ini tidak begitu ditentukan secara pasti. Umumnya
cara ini dilakukan pada penderita perdarahan varises yang mempunyai resiko
tinggi untuk tindakan pembedahan. Bisa juga dilakukan sebagai tindakan
sementara menunggu dilakukan operasi, seadainya keadaan umum penderita
telah membaik. Sebaliknya kita harus hati-hati melakukannya terutama pada
penderita yang tidak mungkin dioperasi atau yang telah dioperasi, tetapi
perdarahan terus berlangsung, atau pada penderita dengan fungsi hati yang
sangat merosot. Akhirnya dikatakan bahwa indikasi pasti skleoterapi ini masih
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut 4,5).
Macam-macam “scelerosing agent” yang dikenal adalah sodium
morrhuate, sodium tetracyl sulfate dan ethanolomine oleat. Pernah dilaporkan
suntikan sklerosan ini dapat menghentikan perdarahan sekitar 75% 4).
Komplikasi skleroterapi adalah persipitasi perdarahan atau bertambah
beratnya perdarahan, striktur esofagus, nekrosis esofagus dan timbulnya
ulserasi dengan/tanpa perforasi. Hal ini pernah dilaporkan oleh Stevan J.
Ayres dkk dimana 3 penderita perdarahan varises yang mengalami komplikasi
skleroterapi dengan sodium morrhuate, penderita pertama mengalami
hematemesis sebanyak 2000 ml, 36 jam setelah suntikan. Penderita kedua
mengalami perdarahan masif disertai hipotensi dan takikardia 36 jam setelah
suntikan, sedangkan penderita ketiga mengalami hematemesis berulang 5 hari
setelah skleroterapi ulangan 4).
VII. 3. 2. 1. konservatif
A. Diet
Seperti yang telah dibicarakan didepan, setelah 24-48 jam perdarahan
berhenti, dapat kita berikan makanan cair, dimana sebelumnya diberikan batu es.
Bila keadaan bertambah baik dapat diberikan makanan lunak, mudah dicerna,
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 6 April 2009 – 13 Juni 2009 62
Penatalaksanaan Hematemesis & Melena Vonny Susanti (406080104)
D. Antasida
Dalam pemberian antasida ini yang penting adalah memilih obat-obat yang
sesuai dengan kondisi penderita dan mengetahui cara pemberiannya. Beberapa
pedoman pemberian antasida ini ialah sebagai berikut:
a. Jangan memilih antasida yang diserap seperti natrium bikarbonat, karena
pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis
b. Yang menimbulkan obstipasi sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang
mengidap penyakit hati. Sedangkan untuk penderita uremia dianjurkan
menggunakan antasida golongan hidroksida.
c. Cara pemberian antasida yang ideal adalah setiap 1 jam dan 3 jam sesudah
makan, dan seandainya nyerinya terus menerus dapat diberikan lebih sering
misalnya setiap 1-2 jam 4).
E. Obat-obat antikolinergik
Golongan antikolinergik ini tidak perlu diberikan pada keadaan akut. Obat
ini dapat mengurangi asam lambung. Dosis obat ini misalnya atropine 0,5-1 mg
sehari tiga kali bersama makan dan 1 mg sebelum tidur 4).
Dosis cimetidine adalah 600 mg/hari atau 150 mg/6 jam. Cimetidine bekerja
langsung pada sel-sel parietal sendiri, sedangkan antasida adalah penawar dari
asam yang sudah masuk ke lumen lambung. Namun demikian perdarahan
berulang bisa saja terjadi 4).
G. Vitamin K
A. Pembedahan darurat
a. Perdarahan hebat dimana penderita sudah dapat darah lebih 2 liter, tetapi
masih dalam keadaan syok.
b. Tekanan darah dan hematokrit tak dapat dipertimbangkan dengan pemberian
darah 500 cc tiap 8 jam.
c. Perdarahan tetap berlangsung setelah 3 hari
d. Perdarahan berhenti, tetapi masih timbul kembali perdarahan masif, walaupun
terapi yang diberikan sudah cukup.
e. Penderita berusia lebih dari 50 tahun, karena kematian yang disebabkan
perdarahan cukup tinggi.
f. Ditemukan suatu “visible vessels” yang pada pemeriksaan endoskopi
kelihatan sebagai suatu noda/bintik berwarna merah atau kebiruan yang
menonjol dari ulkus. Griffthis menyatakan bahwa adanya “visible vessels”
merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena ulkus ini selalu
akan mengalami perdarahan ulang, dan hal ini memerlukan tindakan
pembedahan 4,20).
B. Pembedahan elektif
Penderita usia dibawah 60 tahun yang mengalami perdarahan masif satu kali
saja, yang dapat diatasi dengan medikamentosa dan tanpa komplikasi major dari
ulkus, tidak ada indikasi untuk operasi. Tetapi seandainya penderita ini
mengalami perdarahan masif lebih dari satu kali atau satu kali yang disertai
riwayat komplikasi major sebelumnya (seperti perforasi atau obstruksi), maka
operasi elektif merupakan indikasi. Indikasi lain dari operasi elektif yaitu
penderita berusia diwah 60 tahun yang mengalami perdarahan masif yang disertai
dengan nyeri yang tidak kunjung hilang 4,20).
VII. 3. 3. Tumor
BAB VIII
PROGNOSIS
1. Umur
Menurut Lewin dan Truelove (1949), umur penderita lebih banyak
menentukan prognosa dari pada lamanya ulkus yang diderita oleh penderita.
Umumnya mereka yang berusia lebih dari 50 tahun mempunyai prognosa
yang jelek. Kemudian jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun, dan
mendadak meninggi sesudah berusia 60 tahun 4).
2. Penyebab perdarahan
Menurut Nachkas 1958, perdarahan karena sirosis hepatis, prognosanya lebih
jelek jika dibandingkan dengan perdarahan karena ulkus peptikum, dan
biasanya lebih dari 50% penderita sirosis hepatis dengan hematemesis yang
meninggal. Coghil dan Wilcox (1960) menyatakan bahwa dari ulkus
peptikum, penderita ulkus peptikum kronis mempunyai prognosa kurang baik
jika dibandingkan dengan yang akut. Sedangkan perdarahan ulkus ventrikuli
mempunyai prognosa kurang baik dari pada ulkus duodeni. Angka kematian
untuk keseluruhan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sekitar 20%
dan untuk perdarahan varises sekitar 50% 4).
3. Adanya penyakit penyerta lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru akan
memperburuk prognosa. Sedangkan “stress ulcer” mempunyai mortalitas
yang tinggi 4).
4. Sifat lesi
Varises esofagus mempunyai prognosa yang jelek 4).
5. Sifat perdarahan
Perdarahan yang timbul melebihi 50% volume darah normalnya, mempunyai
prognosa yang buruk, apalagi bila terlambat mendapat pertolongan.
Disamping itu perdarahan berulang memperjelek prognosa 4).
BAB IX
PENUTUP
IX. I. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
10. Oldam KT dan Lobe TE. Penyebab dalam traktus gastrointestinal bagian atas.
2008: 250-54. Available from http://www.wrongdiagnosis.com/h/hemate
mesis/treatments.htm
11. Warta Medika. Varises esofagus. 22 Februari 2008. Available from
http://www.wartamedika.com/varises-esofagus.html
12. Aplatun ST, Akil HAM, dan Amirudin AR. Hubungan Antara Varises
Esofagus dan Gambaran Klinik Penderita Sirosis Hati. Dalam: Simposium
penyakit hati; Cermin Dunia Kedokteran No. 40. Ujung Pandang:
Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. 1985: 20-25. Available from http://www.scribd.com/doc/
7536707/Cdk-040-Simposium-Penyakit-Hati
13. Selamihardja N. Ada varises yang mengancan jiwa. Oktober 1997. Available
from http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=38/varises.htm
14. Chang RT and Padolsky DK. Chirrosis and its complication. In: Harrison’s
Principle of Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc
Graw-Hill Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 1858-68
15. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I,
Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 443-46
16. Handin RI. Disorder of coagulation and trombosis. In: Harrison’s Principle of
Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 680-88
17. Handin RI. Bleeding and trombosis. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 337-342
18. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 523-27
19. Tarigan P. Tukak gaster. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, Ed.IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 338-44
20. Valle DL. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Harrison’s Principle
of Internal Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 2004, Chapter 226: 1746-62
21. Boyle J. Hematemesis and melena. 2008. Available from http://en.wikipedia.
org/wiki/Hematemesis-melena.htm
22. Wrongdiagnosis.com. Diagnosis of hematemesis. 2004. Available from
http://www.wrongdiagnosis.com/h/hematemesis/diagnosis.htm
23. Topazian M. Gastrointestinal endoscopy. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine 16th Ed, Volume II, Part VIII. Newyork: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. 2004, Chapter 226: 1730-38
24. Simadibrata MK. Pemeriksaan saluran cerna. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid I, Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 305-09
25. Ament ME. Upper gastrointestinal bleeding. 2008. Available from
http://pedsinreview.aapjournals.org/cgi/content/full/20/3/95?maxtoshow=&HI
TS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&author1=squires&searchid=1014150
405429_320&stored_search=&FIRSTINDEX=0&journalcode=pedsinreview
26. Purnomo HD. Management variceal bleeding. Pertemuan tahunan ilmiah XII
Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia Semarang. Hal:125-137