Anda di halaman 1dari 4

Contoh kasus :

1. Senin (20/02). 14 buruh PT. Orson Indonesia yang tergabung dalam Serikat
Buruh Multi Sektor Indonesia (SBMSI) – PT. Orson Indonesia mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut dilayangkan
terkait keputusan pihak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan
kerja secara sepihak. Gugatan tersebut diajukan setelah melewati berbagai
proses upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Lebih lanjut, gugatan ini dilakukan karena pihak perusahaan bersikeras menyatakan
sikap untuk tidak melaksanakan Surat Anjuran oleh Mediator Hubungan Industrial
pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara Nomor : 6074-1.835
tertanggal 21 November 2016. Tertuang dalam anjuran tersebut perusahaan harus
membayarkan kekurangan upah dan mempekerjakan kembali ke 14 buruh yang di-
PHK. Sebelumnya, upaya perundingan bipartit antara buruh dan pengusaha yang
ditengahi oleh pihak Mediator Hubungan Industrial Disnakertrans Jakarta Utara
menemui jalan buntu.

PHK yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT. Orson Indonesia dilakukan dengan
alasan pelanggaran peraturan perusahaan dan alasan efisiensi. Pelanggaran
peraturan perusahaan dialamatkan kepada salah satu buruh bernama Nikson
Juventus, dan ke 13 buruh lainnya di-PHK dengan alasan efisiensi.

“Bahwa PHK yang dilakukan pihak perusahaan tidak melalui prosedur yang sesuai
dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu setelah adanya penetapan yang
sudah berkekuatan hukum tetap sehingga PHK yang dilakukan batal demi hukum”,
demikian pernyataan Eny Rofiatul, Kepala Bidang Perburuhan LBH Jakarta
menanggapi kasus yang dikenakan kepada 14 buruh PT. Orson Indonesia.

Selain itu, perusahaan mendalilkan alasan efisiensi berdasarkan kesepakatan yang


diibuat bersama serikat yang lain, bukan karena perusahaan terancam tutup.
Padahal, dalam putusan MK No. 19 tahun 2011, PHK karena efisiensi dapat
dilakukan jika perusahaan tutup permanen. PT Orson Indonesia juga tidak
membayarkan upah proses kepada 14 buruh yang di PHK sepihak sejak Juli 2016.

Dengan adanya pengajuan gugatan ini, ke 14 buruh PT. Orson Indonesia berharap
akan ada sebuah keputusan hukum yang adil serta berkekuatan hukum tetap
sehingga mereka mendapatkan sebuah kepastian akan hak-haknya sebagai seorang
pekerja. Setelah sebelumnya upaya-upaya mediasi tidak kunjung membuat
perusahaan tergerak untuk memulihkan hak-hak para buruh PT. Orson Indonesia
yang seharusnya didapatkan akibat PHK yang dilakukan secara melawan hukum.

“Semoga saja proses peradilan ini dapat menuai hasil yang positif demi sebuah
kepastian hukum untuk kami para buruh”, ujar Gunawan selaku Sekretaris SBMSI
– PT. Orson Indonesia. (Rizki Yudha).
https://www.bantuanhukum.or.id/web/buruh-pt-orson-ajukan-gugatan-ke-
pengadilan-hubungan-industrial/

2. PHK Sepihak SIS Terhadap Mantan Gurunya


Setelah Jakarta International School, kini giliran Singapore International School
(SIS) Pantai Indah Kapuk digugat oleh mantan gurunya. Pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang dianggap semena-mena menjadi sebab sang guru meradang.
Guru tersebut di PHK karena melanggar kontrak berbentuk Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu. PHKnya dilakukan secara sepihak tanpa adanya surat
peringatan terlebih dahulu.
Francois Xavier Fortis, warga negara Kanada, dipecat SIS karena telah dianggap
telah melanggar peraturan perusahaan. Dalam anjuran Suku Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Sudinakertrans) Jakarta Utara tertanggal 4 Januari 2007
dijelaskan Francois telah melanggar kontrak dengan berulang kali. Pelanggaran
yang dilakukan dalam masa percobaan Francois itu berupa perbuatan dan
ucapan tidak pantas kepada staf SIS lainnya. Atas perbuatannya itu, Francois juga
sempat diperingati secara lisan.
Lewat kantor hukum Adams & Co, Francois menggugat SIS. Dalam surat gugatan
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Francois menjelaskan ia
dipekerjakan oleh SIS sejak 1 Juli 2006 hingga 31 Mei 2008, alias 23 bulan. Pada
30 Nopember 2006 Francois di PHK karena gagal dalam masa percobaan. Merasa
dirugikan, Francois meminta ganti rugi sebesar Rp. 394 juta. Rinciannya, ialah
sisa gaji Rp. 20 juta per bulan dan tunjangan transpor dan akomodasi sebesar Rp.
2 juta per bulan yang belum dibayar SIS sejak PHK hingga akhir masa kontraknya.
Pada 22 Februari lalu mediator Sudinakertrans telah mengeluarkan anjuran yang
menyarankan SIS untuk membayar sisa upah Francois dalam kontrak tersebut.
Kepala Bagian Hukum SIS Haifa Segeira menyatakan Francois telah melanggar
suatu pasal dari perjanjian kerja. Ada beberapa hal yang jelas-jelas sudah
disetujui di kontrak, dan dasar kita PHK sudah tercantum dalam kontrak itu
ujarnya. Jadi, menurutnya, selama para pihak sudah sepakat hal-hal yang
tercantum dalam kontrak, perjanjian tersebut dapat dieksekusi.
Iapun mengaku bingung mengapa Sudinakertrans kurang memperhatikan alasan
dan bukti-bukti yang diajukan SIS. Yang jelas, dalam surat anjuran
Sudinakertrans, SIS tercatat mengakui perjanjian kerja mencantumkan masa
orientasi dan SIS menyatakan Francois tak lulus masa orientasi itu. Dan
dinyatakan itu pula alasan Francois di-PHK. Dalam dokumen itu tidak
dicantumkan adanya pemberian surat peringatan dari SIS pada Francois.
Yang dilakukan SIS, Haifa menambahkan, tidak bertentangan dengan norma yang
ada. Ia juga mengaku tak dapat memberi kejelasan apa tepatnya perbuatan
Francois yang menyebabkan guru tersebut di PHK.
Sumber kasus diperoleh dari:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ho[16459/kotrak-diputus-upah-pun-
hangus
Analisa Kasus

Pada dasarnya sebelum terjadi kasus PHK terhadap Francois , permasalahan


sudah muncul terlebih dahulu pada masa pembuatan perjanjian kontrak kerja.
Perjanjian kontrak kerja dibuat dalam bentuk PKWT dimana jenis dan sifat
pekerjaan yang ditentukan dalam kontrak kerja tersebut sebenarnya tidak sesuai
dengan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. Menurut pasal 59 UU
No.13 Tahun 2003 angka 1 dan Kepmenakertrans No. 100 tahun 2004 PKWT
haya dapat dibuat untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya,
yang bersifat musiman, dan berhubungan dengan produk baru. Sementara
pekerjaan yang dilakoni oleh Francois bersifat tetap dan tidak identik dengan
pekerjaan yang dapat dibuat dengan PKWT. Menurut pasal 59 angka 7 yang tidak
memenuhi ketentuan tersebut, demi hukum menjadi PKWTT.

Kontrak kerja tersebut juga mencantumkan masa percobaan kerja (masa


orientasi). SIS menyatakan Francois tak lulus masa orientasi itu. Padahal jelas
tercantum di pasal 58 angka 1 UU No.13 Tahun 2003 PWKT tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Di angka 2 tegas dijelaskan apabila
diisyaratkan masa percobaan kerja dalam PKWT maka masa percobaan kerja
yang diisyaratkan batal demi hukum.

PHK dilakukan secara sepihak tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu.
Padahal menurut pasal 161 angka 1 pengusaha dapat melakukan PHK setelah
pekerja yang bersangkutan diberikan surat pemanggilan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut. Dalam hal ini Francois sama sekali tidak diberi surat
peringatan dan langsung di PHK.

Dalam melaksanakan PHk ini Pihak SIS tidak melakukan segala upaya yang harus
dilaksanakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja, selain itu maksud
pemutusan hubungan kerja tersebut tidak dirundingkan terlebih dulu oleh pihak
SIS dan Francois, dan pengusaha (SIS) hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industria. Kalaupun ingin melakukan PHK seharusnya
pihak SIS harus melalui proses PHK yang diatur oleh undang-undang
sebagaimana diatur dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003.

Selain itu kesalahan Francois bukanlah termasuk kedalam kesalahan berat yang
menyebabkan pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003.

Pembuatan kontrak kerja yang dibuat secara PKWT terhadap tenaga pendidk
tidak sinkron pula terhadap hak para pendidik untuk mendapat jaminan
kesejahteraan social yang memadai sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
40 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dengan pembuatan kontrak kerja secara
PKWT terhadap pendidik seperti tidak menghargai peran-peran tenaga pendidik
dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan bagi peserta didik.

Kemudian hal-hal yang diatur dalam kontrak kerja apabila ada ketidaksesuaian
dengan peraturan lebih atas yang berlaku sebaiknya dibatalkan karena akan
menimbulkan banyak problema seperti yang terjadi pada kasus ini.
http://hanyblush.blogspot.com/2011/01/contoh-kasus-penyelesaian-
hubungan.html

Anda mungkin juga menyukai