Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini di berbagai negara khususnya negara Indonesia, biaya pelayanan


kesehatan dirasakan semakin meningkat, sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran
khusus dalam peningkatan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih rasional.
Farmakoekonomi dalam kaitan ini memiliki peranan penting sebagai deskripsi dan
analisis biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik lagi adalah
sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya,
resiko dan keuntungan dari suatu program pelayanan dan terapi serta determinasi suatu
alternatif terbaik (Andayani, 2013).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif
yang membutuhkan perawatan yang lama bahkan sampai seumur hidup. Pada tahun
2000, lebih dari 25% populasi dunia merupakan penderita hipertensi, atau sekitar 1 miliar
orang, dan dua pertiga penderita hipertensi ada di negara berkembang. Bila tidak
dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun 2025 yang
akan datang, jumlah penderita hipertensi diprediksikan meningkat menjadi 29%,
atau sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia. Di Indonesia, angka kejadian
hipertensi berkisar 6-15% dari 240.000.000 jiwa penduduk Indonesia dan
masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan,
terutama di daerah pedesaan (Tedjasukmana, 2012). Menurut data riset
kesehatan Republik Indonesia dasar tahun 2013, provinsi Sulawesi Tengah termasuk
ke dalam 10 besar provinsi dengan penyakit hipertensi menempati peringkat ke-6 dengan
total kasus sebanyak 28,7%. Data rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Undata
Palu, menunjukkan bahwa mulai dari tahun 2012 penderita penyakit hipertensi rawat
jalan sebanyak 1.078 pasien, mengalami peningkatan pada tahun 2013 dengan penderita
sebanyak 1.123 pasien.

Diabetes merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam. Federasi


Diabetes Internasional (IDF) melaporkan bahwa prevalensi diabetes pada orang berusia

1
20-79 tahun adalah 10,6% pada tahun 2015 dengan China yang memiliki jumlah
penderita diabetes mellitus tertinggi (109.600.000) di seluruh dunia. Namun, kontrol
glikemik tetap sulit dipahami bagi mayoritas penderita diabetes di Cina. Hanya 25,8%
pasien menerima perawatan yang berhubungan dengan diabetes; dan hanya 39,7% dari
mereka yang dirawat memiliki kontrol glikemik yang memadai. Kematian pada diabetes
tinggi, dengan 1,3 juta kematian terkait diabetes pada tahun 2015 Dengan
diabetes melitus tipe 2 (T2DM) berjumlah 90% dari kasus-kasus ini. Selain itu,
pengeluaran kesehatan yang berhubungan dengan diabetes di Cina adalah tinggi (51
billionUS dolar) pada tahun 2015, peringkat kedua di seluruh dunia ( Chinese diabetes
society, 2013 ).

2.1 Rumusan Masalah

1. Apakah metode yang digunakan dalam Analisis Biaya Pengobatan Hipertensi?

2. Apakah metode yang digunakan dalam Analisis Biaya Pengobatan Diabetes mellitus?

3. Bagaimana hasil dari Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Hipertensi?

4. Bagaimana hasil dari Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Diabetes Mellitus?

2.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam analisis biaya pengobatan


hipertensi.

2. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam analisis biaya pengobatan diabetes
mellitus.

3. Untuk mengetahui hasil dari analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Hipertensi.

4. Untuk mengetahui hasil dari analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Diabetes Mellitus.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. ACER dan ICER

Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menggunakan rumus Average Cost


Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER). Harga
ACER diperoleh dari perbandingan antara biaya total terapi ratarata per bulan dengan
efektivitas terapi. Efektivitas terapi yang diukur adalah penurunan tekanan darah yang
mencapai target terapi yaitu <140/90 mmHg (tekanan darah terkontrol) atau sebagai %
(persen) outcome klinis setelah menjalani terapi dari baseline hingga bulan pertama.
Sedangkan harga ICER diperoleh dari perbandingan antara selisih biaya total terapi rata-
rata perbulan dengan % (persen) outcome klinis pada kedua kelompok terapi
( Baharuddin dan Suwandi, 2013 ).

Berdasarkan parameter efektivitas biaya berdasarkan % (persen) outcome klinis,


pada Nilai ACER dari kombinasi amlodipin furosemid dengan % (persen) outcome
klinis 55,56% sebesar Rp.306,37 sedangkan kombinasi amlodipin bisoprolol dengan %
(persen) outcome klinis 54,35% diperoleh biaya sebesar Rp. 1.081,16. Dapat dilihat
perbedaan antara nilai ACER pada kedua kelompok terapi. Pada kelompok kombinasi
amlodipin furosemid diperoleh harga ACER lebih kecil dibandingkan dengan kelompok
kombinasi amlodipin-bisoprolol. Hal ini menunjukkan bahwa terapi kombinasi
amlodipin-furosemid lebih cost effective atau memiliki biaya paling efektif dibandingkan
dengan terapi kombinasi amlodipine- bisoprolol. ACER menggambarkan total biaya dari
suatu program atau alternatif dibagi dengan outcome klinis, dipresentasikan sebagai
berapa rupiah per outcome klinis spesifik yang dihasilkan tidak tergantung dari
pembandingnya. Dengan perbandingan ini, maka dapat dipilih alternatif dengan biaya
lebih rendah untuk setiap outcome yang diperoleh (Andayani, 2013).

Dengan kata lain ACER menunjukkan biaya rata-rata yang dibutuhkan untuk
mendapatkan satu unit outcome klinis. Untuk nilai ICER diperoleh biaya sebesar Rp.-
34.494,75. Nilai ICER yang diperoleh merupakan besarnya biaya tambahan yang
diperlukan untuk memperoleh 1% penurunan tekanan darah. Nilai ICER yang diperoleh
minus dikarenakan selisih % (persen) penurunan tekanan darah atau % (persen) outcome
3
klinis adalah minus, sehingga hal ini tidak mempengaruhi penambahan biaya yang
harus dikeluarkan oleh pasien untuk memperoleh 1% penurunan tekanan darah ( Timur,
et all; 2012 ).

ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) dihitung berdasarkan rasio biaya


dan (persen) % outcome klinis pada kelompok amlodipin-furosemiddan kombinasi
amlodipin-bisoprolol. ICER (Incremental Cost EffectivenessRatio) dihitung berdasarkan
rasio antara selisih biaya dan % outcome klinis pada kedua kelompok terapi ( Baharuddin
dan Suwandi, 2013 ).

2.2 Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint
National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140
mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih. Hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg ( Siswardana, 2011 )

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di


pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan
merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah ( Dipiro, 2010 ).

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon


pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi ( Siswardana, 2011 ).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
4
tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid
lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan
renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi ( Dipiro, 2010 ).

Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer


bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar
mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer ( Dipiro, 2010 ).

Obat hipertensi yang digunakan pada penelitian ini yaitu amlodipin ( Calsium
Channel Blocker ) – Bisoprolol ( Adrenergik Inhibitor ). Selain itu, menggunakan obat
Amlodipin ( Calsium Channel Blocker ) – Furosemid ( diuretik ). Calsium Channel
Blocker bekerja dengan memblokade kanal kalsium pada membran sehingga
menghambat kalsium masuk ke dalam sel yang menyebabkan vasodilatasi. Adrenergik
Inhibitor bekerja dengan menurunkan aktivitas syaraf simpatis. Diuretik bekerja dengan
meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan
cairan ekstraseluler ( Timur, et all; 2012 ).

2.3 Diabetes

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis dengan metabolisme yang tidak


teratur. Ketika kita mengonsumsi karbohidrat (termasuk gula dan pati, dll), bahan-bahan
tersebut dipecah menjadi dekstrosa setelah dicerna dan menjadi glukosa pada saat
diserap oleh usus kecil ke dalam sistem peredaran darah. Pankreas mengeluarkan insulin,
yang membantu glukosa masuk ke dalam sel untuk digunakan oleh tubuh. Kadar glukosa
meningkat bila sekresi insulin tidak mencukupi atau tubuh tidak bisa menggunakan
insulin yang dihasilkan. Hiperglikemia bisa mengakibatkan gangguan metabolisme
5
lemak dan protein, dan penghancuran berbagai macam sistem tubuh dan organ, termasuk:
kardiovaskular, retina, saraf, dan ginjal dalam jangka waktu yang lama ( Xu Y, et all;
2013 ).

Diabetes Melitus umumnya diklasifikasikan menjadi 4 kategori dengan


penyebab yang berbeda-beda:

a. Diabetes Melitus Tipe 1 Disebut sebagai “Diabetes Melitus yang Tergantung pada
Insulin”. Terkait dengan faktor genetik dan sistem kekebalan tubuh, yang
mengakibatkan kerusakan sel-sel yang memproduksi insulin, sehingga sel tidak
mampu untuk memproduksi insulin yang dibutuhkan oleh tubuh. Kelompok
orang yang paling sering mengidap penyakit ini adalah anak-anak dan remaja,
yang mewakili 3% dari jumlah seluruh pasien yang ada.

b. Diabetes Melitus Tipe 2 Disebut “Diabetes Melitus yang Tidak Tergantung pada
Insulin”, yang mewakili lebih dari 90% kasus diabetes melitus. Terkait dengan
faktor pola makan yang tidak sehat, obesitas, dan kurangnya olahraga. Sel-sel
tubuh menjadi resisten terhadap insulin dan tidak bisa menyerap dan
menggunakan dekstrosa dan kelebihan gula darah yang dihasilkan secara efektif.
Jenis diabetes melitus ini memiliki predisposisi genetik yang lebih tinggi daripada
Tipe 1.

c. Diabetes Melitus Gestasional: Terutama disebabkan oleh perubahan hormon yang


dihasilkan selama kehamilan dan biasanya berkurang atau menghilang setelah
melahirkan. Studi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa wanita
yang pernah mengalami diabetes melitus gestasional memiliki tingkat risiko yang
lebih tinggi untuk mengidap penyakit diabetes melitus tipe II, sehingga wanita
tersebut harus lebih memerhatikan pola makan yang sehat demi mengurangi
risiko tersebut.

d. Jenis lain dari Diabetes Melitus: Ada beberapa penyebab lain yang berbeda dari
ketiga jenis diabetes melitus di atas, termasuk sekresi insulin yang tidak memadai
yang disebabkan oleh penyakit genetik tertentu, disebabkan secara tidak langsung
oleh penyakit lainnya (misalnya pankreatitis, yaitu peradangan pada pankreas),
yang diakibatkan oleh obat atau bahan kimia lainnya

6
Pada penderita diabetes diobati dengan menggunakan obat golongan
penghambat glukosa alfa/ penghambat alfa absorbsi glukosa. Mekanisme kerja
dengan cara penghambat DPP-IV sehingga glukosa like peptida tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Selain itu pengobatan dengan
dapagliflozin, merupakan OHO (obat hipoglikemik oral) terbaru, yang bekerja
dengan menghambat SGLT2 (sodium-glucose cotransporter 2). Penghambatan
SGLT2 akan menurunkan kadar gula darah, dan penurunannya tidak bergantung pada
sekresi atau aksi dari insulin. Sebagai tambahan, dapagliflozin juga dapat
menginduksi diuresis osmotik yang bersifat ringan, dan dengan demikian
meningkatakan ekskresi glukosa dengan penurunan kalori, yang diikuti dengan
penurunan berat badan( Chinese diabetes society, 2013 ).

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hipertensi

Penelitian pada jurnal merupakan penelitian deskriptif analitik dengan


pengambilan data secara prospektif untuk menilai efektivitas biaya penggunaan
kombinasi amlodipin-furosemid dibandingkan dengan kombinasi amlodipin-bisoprolol
dari baseline hingga bulan pertama. Kriteria inklusi pasien : Pasien terdiagnosis
hipertensi tanpa komplikasi yang menjalani pengobatan di poliklinik penyakit dalam
RSUD Undata Palu, pasien BPJS dengan usia ≥ 25 tahun, pasien yang pada saat kontrol
mempunyai tekanan darah awal 140-160 /90-100 mmHg, pasien yang pada saat kontrol
kembali mempunyai tekanan darah <140/90 mmHg, pasien yang menggunakan terapi
kombinasi amlodipin-furosemid dan terapi kombinasi amlodipin-bisoprolol. Kriteria
eksklusi pasien : pasien dengan komplikasi, pasien yang memiliki data tidak lengkap
(tidak datang kembali setelah kontrol awal).

Hasil penelitian yang dilakukan di poliklinik bagian penyakit dalam RSUD


Undata Palu Provinsi Sulawesi Tengah selama kurun waktu 3 bulan (AgustusOktober
2014), diperoleh jumlah pasien hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi sebanyak 91 orang. Terdiri dari 43 pasien laki-laki dan 48 pasien perempuan.
Mayoritas pasien hipertensi adalah pasien berusia 41-65 tahun sebanyak 62 pasien, umur
>65 tahun sebanyak 24 pasien dan umur 25-40 tahun hanya 5 pasien. Sebanyak 45 orang
yang menggunakan pengobatan dengan kombinasi amlodipin-furosemid dimana 25
pasien diantaranya adalah pasien yang tekanan darahnya terkontrol (<140/90 mmHg) dan
20 pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol (>140/90
mmHg) setelah evaluasi. Untuk pasien yang menggunakan kombinasi amlodipin-
bisoprolol sebesar 46 pasien dimana 25 pasien diantaranya adalah pasien dengan
tekanan darah terkontrol (<140/90 mmHg) dan 21 pasien yang tekanan darahnya tidak
terkontrol (>140/90 mmHg). Rata-rata lama terapi pasien untuk kelompok
kombinasi amlodipin-furosemid selama 34 hari sedangkan untuk kelompok kombinasi
amlodipin-bisoprolol selama 35 hari.

Total biaya medis langsung merupakan keseluruhan total biaya terapi


rata-rata per bulan yang dikeluarkan oleh pasien selama menjalani terapi dari

8
baseline hingga evaluasi (selama 30-40 hari) atau sekitar 1 bulan yang meliputi
biaya obat antihipertensi dan biaya pemeriksaan dokter. Biaya obat antihipertensi
mencakup biaya seluruh obat yang diresepkan untuk mengatasi penyakit hipertensi.
Sedangkan biaya pemeriksaan dokter mencakup biaya periksa dokter dan biaya
administrasi sesuai standar RSUD Undata Palu.

Berdasarkan Gambar 3. menunjukkan bahwa rata-rata biaya obat antihipertensi


kombinasi amlodipin furosemid per bulan sebesar Rp. 17.022,22 sedangkan rata-rata
biaya obat antihipertensi kombinasi amlodipinbisoprolol per bulan sebesar Rp.
58.760,87. Sedangkan biaya pemeriksaan dokter untuk semua jenis antihipertensi yaitu
sebesar Rp. 30.000,00, dihitung satu kali kunjungan dalam sebulan.

Perbedaan total biaya medik langsung dapat terlihat di atas, bahwa total biaya
medik langsung terkecil adalah kombinasi amlodipin-furosemid yaitu sebesar Rp.
47.022,22 sedangkan total biaya medis langsung terbesar adalah kombinasi amlodipin-
bisoprolol sebesar Rp. 88.760,87. Hal ini disebabkan karena harga per tablet obat
bisoprolol lebih mahal dari pada obat furosemid meskipun obat yang digunakan adalah
jenis obat generik dan rata-rata lama terapi pengobatan sekitar 1 bulan dan jumlah
pasiennya hampir sama.

9
Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menggunakan rumus Average Cost
Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER). Harga
ACER diperoleh dari perbandingan antara biaya total terapi ratarata per bulan dengan
efektivitas terapi. Efektivitas terapi yang diukur adalah penurunan tekanan darah yang
mencapai target terapi yaitu <140/90 mmHg (tekanan darah terkontrol) atau sebagai %
(persen) outcome klinis setelah menjalani terapi dari baseline hingga bulan pertama.
Sedangkan harga ICER diperoleh dari perbandingan antara selisih biaya total terapi rata-
rata perbulan dengan % (persen) outcome klinis pada kedua kelompok terapi.

Berdasarkan parameter efektivitas biaya berdasarkan % (persen) outcome klinis,


diperoleh nilai ACER dari kombinasi amlodipin furosemid dengan % (persen) outcome
klinis 55,56% sebesar Rp.306,37 sedangkan kombinasi amlodipinbisoprolol dengan %
(persen) outcome klinis 54,35% diperoleh biaya sebesar Rp. 1.081,16. Dapat dilihat
perbedaan antara nilai ACER pada kedua kelompok terapi. Pada kelompok kombinasi
amlodipinfurosemid diperoleh harga ACER lebih kecil dibandingkan dengan kelompok
kombinasi amlodipin-bisoprolol. Hal ini menunjukkan bahwa terapi kombinasi
amlodipin-furosemid lebih cost effective atau memiliki biaya paling efektif dibandingkan
dengan terapi kombinasi amlodipine- bisoprolol.

ACER menggambarkan total biaya dari suatu program atau alternatif dibagi
dengan outcome klinis, dipresentasikan sebagai berapa rupiah per outcome klinis spesifik
yang dihasilkan tidak tergantung dari pembandingnya. Dengan perbandingan ini, maka
dapat dipilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap outcome yang diperoleh
(Andayani, 2013). Dengan kata lain ACER menunjukkan biaya rata-rata yang dibutuhkan

10
untuk mendapatkan satu unit outcome klinis. Untuk nilai ICER diperoleh biaya sebesar
Rp.-34.494,75. Nilai ICER yang diperoleh merupakan besarnya biaya tambahan yang
diperlukan untuk memperoleh 1% penurunan tekanan darah. Nilai ICER yang diperoleh
minus dikarenakan selisih % (persen) penurunan tekanan darah atau % (persen) outcome
klinis adalah minus, sehingga hal ini tidak
mempengaruhi penambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien untuk
memperoleh 1% penurunan tekanan darah.

B. Diabetes Mellitus

Penelitian ini merupakan analisis farmakoekonomi pertama yang dilakukan


menggunakan Cardiff Diabetes Model untuk menilai jangka panjang dari efektivitas
biaya dapagliflozin dibandingkan acarbose sebagai monoterapi untuk DMT2 dari
perspektif pembayar dalam perawatan kesehatan di Cina. Keaslian data yang diberikan
oleh peneliti metode meta-analisis dan ITC dari RTCs (dapagliflozin dibandingkan
dengan plasebo dan acarbose dibandingkan dengan plasebo) dengan menggunakan
placebo sebagai pembanding umum. Hasil kasus dasar menunjukkan bahwa monoterapi
dapagliflozin adalah terapi dominan (dengan jumlah QALYs yang diperoleh lebih tinggi
tetapi biaya total yang lebih rendah) dibandingkan dengan acarbose monoterapi,
whichmay menawarkan obat alternatif pertama untuk pasien di mana diet dan olahraga
saja tidak memberikan kontrol glyceamic memadai atau agen anti-diabetes non-insulin
lainnya dianggap tidak sesuai. Kedua, karena hipertensi dan kelebihan berat badan
(obesitas) adalah penyakit penyerta diabetes yang umum, dengan kenaikan berat badan
menjadi efek samping yang umum dari beberapa perawatan diabetes. Hipertensi dan
kelebihan berat badan memiliki efek negatif pada kualitas hidup pasien, dan
meningkatkan risiko untuk morbiditas kardiovaskular dan kematian, dan terus-menerus
meningkatkan beban ekonomi.

Dilaporkan bahwa kontrol glukosa secara ketat dan kontrol tekanan darah
mencapai pengurangan klinis penting dalam risiko kematian terkait diabetes dan
komplikasi; sedangkan kerugian berat badan dari 5 sampai <10% adalah asosiasi dengan
perbaikan yang signifikan dalam faktor risiko penyakit kardiovaskular (misalnya,
HbA1c, tekanan darah dan trigliserida). Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa
dapagliflozin dapat menurunkan HBA1c lebih besar, SBP dan berat badan
dibandingkan dengan acarbose; yang akan menjelaskan insiden lebih rendah dari
11
kejadian kardiovaskular dan kematian yang relevan pada penggunaan dapagliflozin, dan
manfaat yang lebih baik serta total biaya yang lebih rendah dicapai dengan penggunaan
obat dapagliflozin untuk pasien usia 40 tahun dibandingkan dengan acarbose. Analisis
sensitivitas sebagian mengkonfirmasi temuan ini, sebagai penyesuaian dari HbA1c
baseline dan BMI, dan perubahan pada kedua utilitas dan biaya nilai asosiasi dengan
suatu unit perubahan dalam BMI dalam analisis sensitivitas memiliki implikasi yang
besar untuk hasil ICER.

Di sisi lain, efek samping yang disebabkan pengobatan seperti hipoglikemia dan
efek samping gastrointestinal juga umum dalam pengobatan diabetes, Whichmay
berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien dan kepatuhan pengobatan. Dalam
studi ini, karena pasien di kedua perawatan dapagliflozin dan acarbose hanya mengalami
beberapa peristiwa hipoglikemia simtomatik yang tidak berbeda secara signifikan pada
kedua kelompok, kekuatan hipoglikemia tidak signifikan mempengaruhi hasil ICER.
Sejak dapagliflozin diasosiasi dengan insiden rendah dari efek samping seperti UTI dan
infeksi genital, peristiwa ini mungkin berdampak juga tidak signifikan terhadap hasil
ICER. Sebaliknya, efek samping komparatif lebih umum diamati gastrointestinal
disebabkan oleh acarbose memiliki dampak yang lebih pada ICER tersebut. Analisis
sensitivitas pada penelitian ini juga menegaskan temuan.

Biaya perawatan menjadi perhatian publik dalam perawatan jangka panjang untuk
DMT2. Karena biaya resmi dapagliflozin tidak tersedia di Cina, kita mengasumsikan
beberapa harga eceran tertinggi untuk dapagliflozin baik dalam analisis kasus dasar dan
12
dalam analisis sensitivitas univariat berdasarkan harga Hong Kong. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa apapun biaya tahunan adalah sama dengan atau lebih tinggi dari
acarbose, dapagliflozin mendominasi acarbose dengan biaya total yang lebih rendah dan
lebih tinggi dalam keuntungan QALY. biaya pengobatan menguntungkan tampaknya
menjadi keuntungan tambahan dapagliflozin untuk perawatan long-term diabetes.
Mengenai manajemen yang buruk, suboptimal kepatuhan pengobatan, kematian yang
relevan tinggi dan beban ekonomi yang besar dari diabetes di Cina; dapagliflozin sebagai
obat yang efektif pada pengendalian glukosa darah, tekanan darah dan berat badan,
dengan profil ditoleransi dengan baik, risiko rendah hipoglikemia dan kemudahan
administrasi.

Penggunaannya diantisipasi untuk memberikan pengobatan awal alternatif yang


hemat biaya untuk pasien dengan DMT2, untuk mengkonsolidasikan pengobatan
alternatif untuk terapi lini pertama di Cina. Studi-studi menegaskan profil
menguntungkan dari dapagliflozin untuk mengobati DMT2. Penelitian ini dibatasi oleh
tidak adanya studi head-to-head dari dapagliflozin dibandingkan acarbose. Oleh karena
itu, kami menggabungkan metode meta-analisis dan ITC dengan menggunakan plasebo
sebagai pembanding umum untuk mendapatkan pengetahuan yang terintegrasi dari
kemanjuran pengobatan klinis dapagliflozin vs acarbose, yang dapat menyebabkan
ketidakpastian dalam parameter masukan. Seperti penelitian pemodelan Cardiff lain,
penelitian ini diproyeksikan untuk long-term yang berdasarkan parameter masukan klinis
dari penelitian jangka pendek dengan menggunakan UKPDS 68 persamaan; sehingga
hasilnya tidak mungkin secara akurat mencerminkan hasil dalam pengaturan
pengobatan sebenarnya di Cina.

13
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan:

1. Efektivitas pengobatan penyakit hipertensi rawat jalan di RSUD Undata


Palu, yang memiliki pengobatan lebih efektif adalah kombinasi amlodipinbisoprolol
dimana selisih penurunan tekanan darah rata-rata sistolik dan diastolik berturut-turut
13,91 mmHg dan 3,48 mmHg.

2. Efektivitas biaya pengobatan berdasarkan nilai ACER dan ICER,


yang memiliki biaya paling efektif adalah kombinasi amlodipin-furosemid
dimana nilai ACER sebesar Rp. 306,37.

4.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber
– sumber yang lebih banyak yang dapat di pertanggung jawabkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T. M.. 2013. Analisis Biaya Terapi Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Dr.Sardjito
Yogyakarta, Majalah Farmasi Indonesia. Jogjakarta : Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada.

Baharudin, Kabo dan P., Suwandi D.. 2013. Perbandingan Efektivitas dan Efek samping
Obat Antihipertensi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pasien Hipertensi,
Jurnal bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran. Makassar : Universitas
Hasanuddin.

Chinese Diabetes Society. 2013. Chinese guideline for Type 2 diabetes prevention. Chinese
Journal of Diabetes. 2014; 22: 2–42.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.. 201.,
Pharmacotherapy : A

Siswardana, S. R.. 2011. Manajemen Hipertensi dengan Penyakit Proteinuria, PPDS-1


Kardiologi dan Kedokteran Vaskular. Bali : Universitas Udayana.

Tedjasukmana, Pradana. 2012. Tata Laksana Hipertensi,Departemen Kardiologi. Jakarta : RS


Premier Jatinegara dan RS Graha Kedoya.

Timur, W.W., Andayani, T.M., Aribawa, R. 2012. Analisis Efektivitas Biaya Kombinasi
Antihipertensi Oral Pasien Hipertensi Rwat Jalan Di Rumah Sakit Umum
Daerah
Tugurejo Semarang Periode 2007, Jurnal Volume 4, Nomor 2. Fakultas Farmasi
Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Xu Y, Wang L, He J, Bi Y, Li M, Wang T, et al. Prevalence and control of diabetes in Chinese


adults. JAMA. 2013; 310: 948–959. doi: 10.1001/jama.2013.168118 PMID:
24002281

15

Anda mungkin juga menyukai