Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SARANA DAN PRASARANA DI RUMAH SAKIT

“AKSESIBILITAS SARANA DAN PRASARANA


PENYANDANG CACAT DI RS ALI SIBROH MALISI”

Dosen Mata Kuliah :


Rindu, SKM., Mkes

Disusun Oleh :
Kelompok 14

Ira Wandani 03170100019

Try Irna Anggraeni 03170100020

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

Program Studi DIII Administrasi Rumah Sakit

Jakarta

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga dapat nyelesaikan penyusunan
makalah ini tepat pada waktunya dengan judul “Aksesibilitas Penyandang Cacat”
pada mata kuliah Sarana dan Prasarana Rumah Sakit.

Dan tidak lupa pula kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Rindu,
SKM., M.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah ini dan kepada semua pihak
yang terlibat dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi kami pribadi dan
para pembaca pada umumnya.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik
teknik penulisan maupun materi yang dibuat, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki dan pengetahuan yang belum terlau luas. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat dan


memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi semua pembaca. Terimakasih.

Jakarta, 09 Desember 2018

Kelompok 14

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2

1.3 Tujuan.......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Sejarah RS Ali Sibroh Malisi......................................................................3

2.2 Visi Dan Misi RS Ali Sibroh Malisi............................................................4

2.3 Logo Dan Motto RS Ali Sibroh Malisi.......................................................4

2.4 Pengertian Sarana Dan Prasarana.............................................................5

2.5 Pengertian Disabilitas..................................................................................5

2.6 Stadar Aksesibilitas Bangunan Gedung, Fasilitas dan Lingkungan.......6

2.7 Hasil Observasi Aksesibilitas penyandang cacat di RS Ali Sibroh


Malisi.................................................................................................................18

BAB III PENUTUP...............................................................................................19

3.1 Kesimpulan.................................................................................................19

3.2 Saran...........................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik
kecacatan yang dialami dari lahir maupun karena kecelakaan yang
mengakibatkan seseorang menjadi cacat. Kondisi yang tidak sempurna
membuat penyandang difabel memiliki keterbatasan dan hambatan dalam
menjalani kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1)
Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet
(kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
(kurang sempurna); 3) Cela; aib; 4) Tidak (kurang) sempurna (Alwi, 2005).

Penyandang cacat terdapat di semua bagian bumi serta pada semua tingkat
dalam setiap lapisan masyarakat pada lapisan atas, menengah maupun bawah.
Jumlah penyandang cacat di Indonesia pun terbilang cukup besar. Sejalan
dengan penghitungan WHO diperkirakan 10% dari penduduk Indonesia (24
juta) adalah penyandang disabilitas, menurut data PUSDATIN dari
Kementrian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia
adalah 11.580.117 orang dengan di antaranya 3.474.035 (penyandang
disabilitas penglihatan), 3.010.830 (penyandang disabilitas fisik), 2.547.626
(penyandang disabilitas pendengaran), 1.389.614 (penyandang disabilitas
mental) dan 1.158.012 (penyandang disabilitas kronis).

Salah satu peraturan tertulis yang menyatakan kesamaan para penyandang


cacat dengan masyarakat normal lainnya adalah Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997, pasal 1 (ayat 1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998,
khususnya pasal 1 (ayat 1) dengan tegas dinyatakan bahwa, sebagaimana
warga masyarakat lainnya, penyandang cacat “berhak mempunyai kesamaan

1
kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total
sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan peng-
hidupannya”.

Pada kenyataannya, sedikit masyarakat yang menyadari betapa pentingnya


menyediakan prasarana dan sarana aksesibilitas standar bagi para penyandang
cacat. Penyediaan Fasilitas dan Aksesibilitas menjadi tanggungjawab setiap
orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung dan lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa itu sarana dan prasarana ?
 Apa yang dimaksud dengan disabilitas ?
 Bagaimana standar aksesibilitas bangunan gedung, fasilitas dan
lingkungan bagi penyandang cacat ?
 Apakah rumah sakit Ali sibroh malisi sudah menerapkan standar bagi
aksesibilitas penyandang cacat ?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pembelajaran agar
mahasiswa dapat mengetahui standar aksesibilitas penyandang cacat yang
harus dilakukan oleh rumah sakit, apakah sudah sesuai atau belum.

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 Sejarah RS Ali Sibroh Malisi

Rumah Sakit Ali Sibroh Malisi terletak di Jl. Wr. Sila No.1,
RT.8/RW.5, Gudang Baru, Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 12630.

Mulai dengan beroperasinya praktek dokter tahun 1992, yang


selanjutnya menjadi praktek bersama dokter umum dan kemudian pada tahun
2009 berkembang menjadi Rumah Sakit Ali Sibroh Malisi. Belum adanya
rumah sakit umum pemerintah di wilayah jakarta selatan merupakan salah
satu motivasi dasar dr. H. Sibroh Malisi, MARS untuk membangun rumah
sakit ini dengan tujuan agar dapat terlibat bersama pemerintah dalam
meningkatkan statistik kesehatan masyarakat. Disamping itu, adanya
kerinduan pemilik untuk mengembangkan sebuah rumah sakit bernuansa
Betawi yang merupakan bagian penting bagi masyarakat sekitar. Pengalaman
dalam mengelola klinik merupakan modal dasar dikembangkannya rumah
sakit ini.

Rumah Sakit Ali Sibroh Malisi memiliki 60 tempat tidur untuk rawat
inap, disamping Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Klinik rawat jalan seperti,
Poli Umum,Poli Bedah Umum Penyakit Dalam, Poli Anak, Poli Gigi, poli
Mata. Layanan ini akan ditunjang oleh bidang penunjang medis seperti ;
Farmasi, Laboratorium, Radiologi, Fisiotherapi dan Ambulance.

3
2.2 Visi Dan Misi RS Ali Sibroh Malisi
 VISI
“Menjadi rumah sakit yang unggul dan terpercaya di wilayah
jakarta selatan”.

 MISI
1. Melayani dengan santun.
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, ramah dan
profesional.
3. Menyediakan dan mengembangkan SDM yang berkualitas dan
berkompeten.
4. Menyediakan sarana prasarana RS yang modern, lengkap dan
terjangkau.
5. Memberikan pelayanan kesehatan dengan sentuhan budaya betawi.
6. Meningkat kesejahteraan karyawan.

2.3 Logo Dan Motto RS Ali Sibroh Malisi

MOTTO
“Melayani Dengan Santun”.

4
2.4 Pengertian Sarana Dan Prasarana
Sarana segala sesuatu benda fisik yang dapat tervisualisasi mata
maupun teraba oleh panca indra dan dengan mudah dapat dikenali oleh pasien
dan (umumnya) merupakan bagian dari suatu gedung ataupun bangunan
gedung itu sendiri.
Prasarana Benda maupun jaringan / instalasi yang membuat suatu
sarana yang ada bisa berfungsi sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

2.5 Pengertian Disabilitas

Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan,


keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah
masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan
adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau
tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami
oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas
adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri
dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik


dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:

1. penyandang cacat fisik;


2. penyandang cacat mental; serta

3. penyandang cacat fisik dan mental.

5
2.6 Stadar Aksesibilitas Bangunan Gedung, Fasilitas dan Lingkungan.
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang
termasuk penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Standar
aksesibilitas bangunan gedung, fasilitas dan lingkungan termasuk detil ukuran
dan penerapannya diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
(Permen PU) Nomor 30 Tahun 2006.

Aksesibilitas penting untuk mewujudkan kesamaan, kesetaraan,


kedudukan dan hak kewajiban serta peningkatan peran penyandang disabilitas
dan lansia. Maka diperlukan sarana dan upaya yang memadai,
terpadu/inklusif dan berkesinambungan yang pada akhirnya dapat mencapai
kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas dan lansia.

Prinsipnya setiap bangunan gedung, fasilitas dan lingkungan wajib


memenuhi 4 azas fasilitas dan aksesbilitas, yaitu:

1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu


lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua
orang.
2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat
atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan
mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam
suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Di Indonesia, pemerintah telah memiliki aturan baku mengenai


fasilitas umum yang harus didesain untuk menjamin orang dengan
disabilitas memiliki akses terhadap fasum yang serupa dengan orang tanpa
disabilitas. Contohnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 468

6
tahun 1998 mengenai Aksesibilitas Bangunan Gedung. Namun khususnya
di banyak sekali RS, peraturan ini tidak sepenuhnya ditaati. Padahal pasal
9 peratuan ini jelas-jelas menyebutkan sanksi bagi setiap pelanggaran,
mulai dari sanksi administratif hingga pencabutan izin yang telah
dikeluarkan untuk pembangunan dan pemanfaatan bangunan umum dan
lingkungan.
Peraturan Menteri PU No. 468 Tahun 1998 Peraturan ini dibuat
atas dasar pertimbangan bahwa orang dengan disabilitas merupakan warga
negara yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama
dengan orang tanpa disabilitas. Peraturan ini juga dibuat sebagai tindak
lanjut Peraturan Pemerintah No 4/1997 mengenai upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat disegala aspek kehidupan dan
penghidupan diantaranya melalui penyediaan aksesibilitas pada bangunan
umum dan lingkungannya. Definisi mengenai “bangunan umum dan
lingkungannya” pada peraturan ini disebutkan pada Pasal 1 ayat (2)
sebagai berikut: “Bangunan umum dan lingkungan adalah semua
bangunan, tapak bangunan, dan lingkungan luar bangunannya, baik yang
dimiliki oleh Pemerintah dan Swasta, maupun perorangan yang berfungsi
selain sebagai rumah tinggal pribadi, yang didirikan, dikunjungi, dan
digunakan oleh masyarakat umum termasuk penyandang cacat“. Rumah
sakit juga termasuk bangunan yang masuk dalam definisi ini.
Berikut ini beberapa jenis standar yang sangat relevan dengan
pelayanan di rumah sakit :
A. Jalur Pemandu
Yaitu jalur yang digunakan bagi pejalan kaki termasuk penyandang
disabilitas yang memberikan panduan arah dan tempat tertentu. Jalur
ini dibuat misalnya dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan
ubin peringatan. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis
menunjukkan arah perjalanan. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi
peringatan terhadap adanya perubahan situasi di sekitarnya.

Gambar 1

7
Tekstur garis (Ubin pengarah) dan tekstur bulat/dot (ubin pering

B. Fasilitas Parkir

Area parkir adalah tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh


penyandang cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk
naik turun kursi roda, daripada tempat parkir yang biasa. Sedangkan
daerah untuk menaik-turunkan penumpang (Passenger Loading
Zones) adalah tempat bagi semua penumpang, termasuk penyandang
disabilitas, untuk naik atau turun dari kendaraan.

 Persyaratan

a. Fasilitas parkir kendaraan :

1. Tempat parkir penyandang cacat terletak pada rute terdekat


menuju bangunan/ fasilitas yang dituju, dengan jarak
maksimum 60 meter.

2. Jika tempat parkir tidak berhubungan langsung dengan


bangunan, misalnya pada parkir taman dan tempat terbuka
lainnya, maka tempat parkir harus diletakkan sedekat
mungkin dengan pintu gerbang masuk dan jalur pedestrian.

8
3. Area parkir harus cukup mempunyei ruang bebas di
sekitarnya sehingga pengguna berkursi roda dapat dengan
mudah masuk dan keluar dari kendaraannya.

4. Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan


simbol tanda parkir penyandang cacat yang berlaku.

5. Pada lot parkir penyandang cacat disediakan ramp trotoir di


kedua sisi kendaraan.

6. Ruang parkir mempunyai lebar 370 cm untuk parkir


tunggal atau 620 cm untuk parkir ganda dan sudah
dihubungkan dengan ramp dan jalan menuju fasilitas-
fasilitas lainnya.

b. Daerah menaik-turunkan penumpang :

1. Kedalaman minimal dari daerah naik turun penumpang dari


jalan atau jalur lalu-lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan
panjang minimal 600 cm.

2. Dilengkapi dengan fasilitas ramp, jalur pedestrian dan


rambu penyandang cacat.

3. Kemiringan maksimal 5° dengan permukaan yang rata di


semua bagian.

4. Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan


untuk mempermudah dan membedakan dengan fasilitas
serupa bagi umum.

Namun pada kenyataannya, fasilitas parkir di banyak RS tidak


menyediakan tempat khusus untuk penyandang disabilitas.
Padahal berdasarkan PerMen PU ini, minimal ada 1 ruang
parkir aksesible untuk orang dengan disabilitas pada setiap 25
ruang parkir untuk umum. Masih banyak juga RS yang belum

9
menerapkan standarisasi penggunaan tempat parkir, misalnya
pengunjung bisa seenaknya parkir di area pintu masuk UGD
sehingga kerap justru menghalangi ambulans yang hendak
menurunkan atau menaikkan pasien.

Gambar 2. Jarak ke area parkir

Gambar 3 Variasi
Tempat Parkir

C. Pintu

 Persyaratan :

a. Pintu pagar ke tapak bangunan harus mudah dibuka dan ditutup


oleh penyandang cacat.

b. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90


cm, dan pintu-pintu yang kurang penting memiliki lebar
bukaan minimal 80 cm.

10
c. Di daaerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari
adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai.

d. Jenis pintu yang penggunaannya tidak dianjurkan :

- Pintu geser.

- Pintu yang berat, dan sulit untuk dibuka/ditutup.

- Pintu dengan dua daun pintu yang berukuran kecil.

- Pintu yang terbuka kekedua arah ("dorong" dan "tarik").

- Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan


terutama bagi tuna netra.

e. Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap


bahaya kebakaran. Pintu tersebut tidak boleh membuka
sepenuhnya dalam waktu lebih cepat dari 5 detik dan mudah
untuk menutup kembali.

f. Hindari penggunaan bahan lantai yang licin di sekitar pintu.

g. Alat-alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar pintu


dapat menutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka
sebagian dapat membahayakan penyandang cacat.

h. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan


bagi pengguna kursi roda.

Gambar 4

D. Ramp

11
Yaitu jalur sirkulasi yang memiliki kelandaian tertentu dan difungsikan
sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga.
Ada beberapa persyaratan menyangkut ramp antara lain yang mengatur
kemiringan, panjangnya, lebar minimal, ukuran pada awal atau akhiran
yang harus memungkinkan berputarnya kursi roda, tekstur yang
menyebabkan tidak licin saat lantai basah, pengamanan dan
pencahayaan yang cukup, serta adanya handrail atau pegangan tangan
dengan ketinggian yang sesuai dan yang kekuatannya dapat dijamin.

Gambar 5

Bentuk-bentuk ramp dan tingkat kemiringannya

E.

Tangga dan Lift

12
 Persyaratan :

a. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran


seragam.

b. Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60°.

c. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat


membahayakan pengguna tangga.

d. Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum


pada salah satu sisi tangga.

e. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65


80 cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang
mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan
dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.

f. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian


ujung-ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.

g. Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, harus dirancang


sehingga tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.

Gambar 5

13
Jika RS memiliki fasilitas lift, Kepmen PU mengatur persyaratannya
secara khusus. Lift adalah alat mekanis elektris untuk membantu
pergerakan vertikal di dalam bangunan, baik yang digunakan khusus
bagi penyandang cacat maupun yang merangkap sebagai lift barang.

 Persyaratan :

a. Untuk bangunan lebih dari 5 lantai paling tidak satu buah lift
yang aksesibel harus terdapat pada jalur aksesibel den
memenuhi standar teknis yang berlaku.

b. Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan muka lantai


ruang lift maksimurn 1,25 mm.

c. Koridor/lobby lift

- Ruang perantara yang digunakan untuk menunggu


kedatangan lift, sekaligus mewadahi penumpang yang baru
keluar dari lift, harus disediakan. Lebar ruangan ini
minimal 185 cm, den tergantung pada konfigurasi ruang
yang ada.

- Perletakan tombol dan layar tampilan yang mudah dilihat


den dijangkau.

- Panel luar yang berisikan tombol lift harus dipasang di


tengah-tengah ruang lobby atau hall lift dengan ketinggian
90-110 cm dari muka lantai bangunan.

- Panel dalam dari tombol lift dipasang dengan ketinggian


90-120 cm dari muka lantai ruang lift.

14
- Semua tombol pada panel harus dilengkapi dengan panel
huruf Braille, yang dipasang dengan tanpa mengganggu
panel biasa.

- Selain terdapat indikator suara, layar/tampilan yang secara


visual menunjukkan posisi lift harus dipasang di atas panel
kontrol dan di atas pintu lift, baik di dalam maupun di luar
lift (hall/koridor).

d. Ruang lift

- Ukuran ruang lift harus dapat memuat pengguna kursi roda,


mulai dari masuk melewati pintu lift, gerakan memutar,
menjangkau panel tombol dan keluar melewati pintu lift.
Ukuran bersih minimal ruang lift adalah 140cm x 140cm.

- Ruang lift harus dilengkapi dengan pegangan rambat


(handrail) menerus pada ketiga sisinya.

e. Pintu lift

- Waktu minimum bagi pintu lift untuk tetap terbuka karena


menjawab panggilan adalah 3 detik.

- Mekanisme pembukaan dan penutupan pintu harus


sedemikian rupa sehingga memberikan waktu yang cukup
bagi penyandang cacat terutama untuk masuk dan keluar
dengan mudah. Untuk itu lift harus dilengkapi dengan
sensor photo-electric yang dipasang pada ketinggian yang
sesuai.

Gambar

15
(Tombol lift dengan huruf Breille)

(Tombol-tombol dan pegangan dalam ruang lift)

F. Toilet atau Kamar Mandi

Toilet atau kamar mandi adalah fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk
semua orang (tanpa terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu
hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya. Menurut Kepmen
PU ini, toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi
dengan tampilan rambu “penyandang cacat” pada bagian luarnya
serta harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar
pengguna kursi roda. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai
dengan ketinggian pengguna kursi roda. (45-50 cm). Toilet atau kamar
kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) yang
memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi
roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki
bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu pergerakan
pengguna kursi roda. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran
(shower) dan perlengkapan-perlengkapan seperti tempat sabun dan

16
pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan
oleh orang yang memiliki keterbatasanketerbatasan fisik dan bisa
dijangkau pengguna kursi roda. Kran pengungkit sebaiknya dipasang
pada wastafel. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Pintu
harus mudah dibuka untuk memudahkan pengguna kursi roda untuk
membuka dan menutup. Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih
sedemikian sehingga bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi
darurat. Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah
pintu masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol pencahayaan
darurat (emergency light button) bila sewaktu-waktu terjadi listrik
padam.

Gambar 6

2.7 Hasil
Observasi Aksesibilitas penyandang cacat di RS Ali Sibroh Malisi
Pada RS Ali Sibroh Malisi, dari hasil yang kami amati di lapangan, masih
jauh dari persyaratan Keputusan Menteri PU. Di sana masih banyak sarana dan
prasarana yang belum sesuai standar, seperti;

1. Belum tersedianya jalur pemandu bagi penyandang difabel.

2. Belum tersedianya lahan parkir khusus difabel.

3. Belum tersedianya Ramp.

17
4. Toilet di RS Ali Sibroh Malisi juga belum memenuhi standar ramah
difabel, seperti, belum tersedianya handrill untuk membantu pergerakan
pengguna kursi roda.

5. Handrill atau pegangan tangan pada dinding baru terdapat di lantai rawat
inap & tangga. Selebihnya belum ada handrill di dinding sebagaimana
disebutkan dalam Keputusan Menteri PU.

6. Belum tersedianya lift, sehigga pasien masih harus menggunakan tangga.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi.

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang


termasuk penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan

18
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Standar
aksesibilitas bangunan gedung, fasilitas dan lingkungan termasuk detil ukuran
dan penerapannya diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
(Permen PU) Nomor 30 Tahun 2006.

Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 468 Tahun 1998 atas dasar


pertimbangan bahwa orang dengan disabilitas merupakan warga negara yang
memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan orang
tanpa disabilitas. Namun pada kenyataannya, banyak RS tidak menyediakan
sarana dan prasarana yang ramah difabel. Salah satunya adalah RS Ali Sibroh
Malisi.

3.2 Saran
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan harusnya dapat memperhatikan
semua pasien, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Tersedianya sarana dan
prasarana yang ramah difabel agar dapat mempermudah aktifitas para
penyandang disabilitas yang datan ke rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

- https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/blog/4753-masyarakat-
ramah-disabilitas-untuk-pembangunan-indonesia
- http://manajemenrumahsakit.net/2012/11/rs-bagi-penyandang-
disabilitas-fisik-terbatas-akses-terbatas-8/
- Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas
Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, Jakarta: Departemen
Pekerjaan Umum, 1998.

19
-

20

Anda mungkin juga menyukai