Bobby Kristianto
(Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap 1)
PEMBIMBING:
Dr. Ni Made Ayu Surasmiati, M. Biomed, Sp.M
Dr. I Gusti Ayu Made Juliari, Sp.M (K)
2
DEFINISI
ANATOMI
Keempat otot rektus berinsersi pada bagian anterior bola mata. Secara
berurutan yang memiliki insersi paling dekat limbus hingga yang paling jauh
dengan limbus yaitu RM, RI, RL, dan RS. Urutan tersebut menunjukkan
suatu gambaran spiral yang dikenal dengan spiral of tillaux (Riordan-Eva P,
2011).
3
Gambar 1. Spiral of tillaux (AAO staf, 2016-2017).
Keempat otot rektus berorigo pada annulus zinn, yang terdiri dari
tendon orbita superior dan inferior. Tendon superior merupakan asal mula RS
dan sebagian RM dan RL. RI dan sisa bagian dari RM dan RL berasal dari
tendon inferior (AAO staf, 2014-2015)
Keempat otot rektus berorigo pada annulus zinn, yang terdiri dari
tendon orbita superior dan inferior. Tendon superior merupakan asal mula RS
dan sebagian RM dan RL. RI dan sisa bagian dari RM dan RL berasal dari
tendon inferior (AAO staf, 2014-2015).
4
(Riordan-Eva P, 2011).
5
Otot LPS berasal dari tulang sphenoid (lesser wing) pada apex orbita
tepat berada di depan annulus zinn. LPS diinervasi oleh nervus okulomotor
(AAO staf, 2016- 2017).
Otot sinergis adalah otot yang memiliki bidang kerja yang sama. Otot
RS dan otot OI merupakan otot yang sinergis menyebabkan gerakan mata ke
atas. Otot- otot bekerja mengikuti aturan hukum sherrington yaitu gerakan
antagonis seperti saat dekstroversi, RL kanan akan terstimulus dan RM akan
terinhibisi. Otot bergerak ke arah yang sama mengikuti hukum herring yaitu
otot RL kanan dan RM kiri akan terstimulus sedangkan otot pasangannya
akan terinhibisi (Ilyas, 2006).
EMBRIOLOGI
6
Kapsul Tenon mulai terbentuk di dekat insersio muskulus rektus pada janin
usia 12 minggu dan rampung saat 5 bulan (Riordan-Eva P, 2011).
7
Gambar 3. Perkembangan visual normal pada manusia dan waktu
terjadinya strabismus (Bui Quoc M dan Milleret C, 2014)
ETIOLOGI
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan etiologi strabismus pola A-V
yaitu: (1) Disfungsi otot obliq merupakan etiologi yang paling sering mendasari
9
strabismus pola A-V. Knapp pertama kali yang menjelaskan bahwa disfungsi otot
obliq merupakan penyebab utama pola A-V. Fungsi tersier otot obliq adalah
abduksi. Jika terdapat overaksi otot obliq superior dan otot antagonisnya yaitu
obliq inferior underaksi, maka akan tampak divergensi pada downgaze dan
konvergensi pada upgaze sehingga menyebabkan pola A. Sebaliknya, jika
terdapat otot obliq inferior yang overaksi dan obliq superior underaksi akan
tampak konvergensi pada saat downgaze dan divergensi pada saat upgaze,
menyebabkan pola V (Griffin JR, 2002: Kushner BJ, 2003).
Tenaga untuk terjadinya pola A-V juga didapatkan dari otot-otot rektus
akibat efek torsional yang terjadi pada overaksi otot obliq. Tenaga torsi yang
terjadi pada overaksi obliq inferior menyebabkan terjadinya eksiklotropia.
Akibatnya, terjadi rotasi posisi otot-otot rektus. Otot rektus superior akan berotasi
ke arah temporal, rektus lateral sedikit ke arah inferior, rektus inferior berotasi
sedikit ke arah nasal, dan rektus medial sedikit ke arah superior. Rektus superior
akan meningkatkan gerak abduksi, dan rektus inferior akan membantu gerak
adduksi, sehingga vektor tenaga rektus vertikal akan menyebabkan mata
berdivergensi saat upgaze dan berkonvergensi saat downgaze, memperjelas
bentuk pola V. Selain itu, otot rektus medial akan menambah tenaga elevasi dan
rektus lateral menambah tenaga depresi, sehingga memperjelas gambaran elevasi
pada saat adduksi yang terdapat pada overaksi obliq inferior. Maka, selain
memperjelas bentuk pola V, tenaga torsi yang terjadi pada overaksi obliq inferior
juga memperjelas adanya deviasi vertikal. Hal yang serupa terjadi pula pada
overaksi obliq superior (Griffin JR, 2002: Kushner BJ, 2003).
(2) Otot horizontal, Urist menyatakan bahwa overaksi dan underaksi otot
rektus horizontal bertanggung jawab terhadap terjadinya pola A-V. Menurut Urist,
otot rektus medial lebih aktif saat downgaze dan otot rektus lateral lebih aktif saat
upgaze. Misalnya pada esotropia pola V, terdapat overaksi rektus medial, dan
pada eksotropia pola V terdapat overaksi rektus lateral. Pada prosedur koreksi
bedah recess rektus medial bilateral pada pasien esotropia, ternyata diamati bahwa
terdapat penurunan terhadap bentuk pola V. Teori ini dapat menjelaskan
terjadinya pola A-V yang tidak ditemukan penyebab lainnya (Griffin JR, 2002:
Kushner BJ, 2003).
10
(3) Otot rektus vertikal, Menurut Brown, kelemahan otot rektus superior
menyebabkan pola V karena terjadi elevasi yang tampak jelas saat adduksi pada
mata kontralateral, dan sebaliknya kelemahan rektus inferior menyebabkan pola
A. Tetapi teori Brown ini tidak diterima secara luas karena terdapat perbedaan
pendapat dari para ahli yang menyatakan bahwa disfungsi otot obliq lebih
beralasan mendasari kelainan ini dengan melihat gambaran torsi makula yang
terjadi lebih sesuai dengan gambaran disfungsi otot obliq (Griffin JR, 2002:
Kushner BJ, 2003).
(4) Sagitalisasi otot obliq, sagitalisasi berarti bahwa insersi otot secara
abnormal lebih ke posterior sehingga otot berjalan relatif lebih paralel dengan
aksis visual, sehingga mengurangi vektor ekstorsional dan menyebabkan
pergeseran gerak torsional otot obliq inferior yang menghasilkan insiklotropia.
Untuk menghilangkan tenaga insiklotropia ini, maka terjadi peningkatan inervasi
pada otot-otot eksiklorotasi (rektus inferior dan obliq inferior). Keadaan ini dapat
menghilangkan insiklotropia, tetapi menghasilkan gambaran klinis overaksi obliq
inferior. Overaksi ini menyebabkan strabismus pola V sama seperti yang telah
dijelaskan pada disfungsi otot obliq. Pada teori ini, sukar dimengerti mengapa
terjadi peningkatan inervasi untuk menghilangkan torsi (Griffin JR, 2002:
Kushner BJ, 2003).
(5) Anomali struktur orbita, Terdapat hubungan yang erat antara kelainan
orbita dengan pola A-V. Esotropia pola A sering terjadi bersamaan dengan
underaksi obliq inferior pada pasien dengan fisura palpebra mongoloid
(upslanting), demikian juga eksotropia pola V. Hal yang sebaliknya terjadi pada
pasien dengan fisura palpebra antimongoloid (downslanting). Bentuk pola A-V ini
terdapat juga pada pasien-pasien dengan sindroma kraniofasial (Griffin JR, 2002:
Kushner BJ, 2003).
(6) Iatrogenik, terapi bedah untuk pola A-V dapat menyebabkan
overkoreksi. Bentuk pola A dapat terjadi akibat bedah untuk pola V, dan bentuk
pola V juga dapat terjadi setelah bedah untuk pola A (Griffin JR, 2002: Kushner
BJ, 2003).
(7) Deprivasi sensorik, Guyton dan Weingarten (dikutip dari Arthur)
menduga bahwa fungsi binokuler yang buruk dapat menyebabkan pola A-V.
11
Defisiensi fusi umumnya berkaitan dengan eksiklotorsi, dan biasanya terjadi
bilateral. Akibat eksiklotorsi, otot rektus medial menjadi elevator parsial, dan
rektus superior menurun fungsi elevasinya. Hal ini menimbulkan gambaran klinis
mirip dengan overaksi obliq inferior (Griffin JR, 2002: Kushner BJ, 2003).
GEJALA KLINIS
Aspek paling penting dalam tatalaksana setiap keadaan klinis dimulai dari
pengambilan anamnesis yang baik. Anamnesis yang baik merupakan petunjuk
utama untuk mendapatkan diagnosis yang baik dan menentukan manajemen yang
paling tepat sesuai standar terapi yang tersedia saat itu (Chaudhuri Z, 2008).
Kebanyakan pola A-V tidak tampak sejak lahir. Hal ini mungkin akibat sukarnya
menilai perubahan besar deviasi yang relative kecil dari posisi upgaze ke
downgaze pada pasien dengan deviasi sudut besar, serta mungkin pula akibat
belum berkembangnya dengan sempurna perkembangan pursuit halus pada posisi
upgaze dan downgaze.
Usia dimana pola A-V dapat dikenali biasanya berhubungan dengan
beratnya strabismus inkomitan vertikal. Beberapa pasien, dapat dikenali
strabismusnya pada usia kurang dari 1 tahun. Costenbader melaporkan dari 421
pasien pola A-V, 58% memiliki onset kurang dari usia 12 bulan. Dari pasien ini,
26% nya memiliki visus ≤ 6/60 pada satu mata. Jika besar deviasinya kecil,
mungkin tidak tampak jelas sampai usia awal sekolah saat terdapat kesukaran
membaca dan tampak adanya abnormal head posture (HP) (Biglan AW, 1999;
Griffin JR, 2002).
Secara umum, anamnesis yang baik terdiri dari: (1) Alasan/keluhan utama
datang berobat. Alasan utama yang membawa pasien berobat harus didapatkan
dengan tepat. Alasan ini bisa berbeda pada berbagai tempat, dan pada status sosio-
ekonomi yang berbeda. Berusaha untuk mengerti kebutuhan psikologis pasien
sangat penting karena tidak ada terapi yang terbaik selain terapi yang dapat
memberikan kepuasan pada pasien. Ada baiknya meninjau ulang kembali alasan
ini pada tiap akhir terapi dan mengevaluasi apakah keluhan utama pasien saat
datang berobat pertama kali telah terpenuhi dan mendapat terapi dengan baik
(Chaudhuri Z, 2008). (2) Banyak kelainan motilitas okuler yang berkaitan dengan
12
anomali perkembangan maupun herediter, sehingga sebaiknya kita juga
menanyakan mengenai riwayat medis, keluarga, obstetrik, maupun riwayat sosial,
terutama jika pasiennya anak-anak. Pada pasien dewasa, kita juga harus
menanyakan riwayat medis dan neurologis (Chaudhuri Z, 2008).
DIAGNOSA
Untuk menentukan diagnosis pola A-V dilakukan seluruh pemeriksaan
rutin oftalmologi dan strabismus. Tujuan pemeriksaan oftalmologi adalah untuk
menentukan diagnosis yang tepat sehingga dapat memberikan rencana terapi yang
optimal, serta untuk mendeteksi kelainan okuler dan non-okuler lain yang
mungkin berkaitan (Thacker N Rosenbaum AL, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
Pada strabismus pola A-V tampilan umum strabismus tergantung dari
kelainan yang mendasarinya dan besarnya deviasi. Jika terdapat deviasi horizontal
yang cukup besar pada posisi primer, upgaze dan downgaze sehingga tidak
tercapai kemampuan fusi, maka adanya pola A-V mungkin tidak akan
mempengaruhi tampilan umum. Tetapi jika besar deviasi relatif kecil dan masih
terdapat fusi, baik pada saat upgaze maupun downgaze, pasien dapat
menunjukkan HP chin-up maupun chin down untuk mendapatkan fusi (Thacker N
Rosenbaum AL, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
14
dinilai menggunakan benda-benda cerah yang menarik perhatian. Metode ini
dapat mengindikasikan apakah bayi secara visual siaga atau dicurigai mengalami
kebutaan (AAO staf, 2016-2017).
(2) Perbandingan, Membandingkan perilaku kedua mata dapat
memperlihatkan kemungkinan unilateral. Menutup satu mata, jika sangat
memberatkan pasien, mengindikasikan tajam penglihatan yang buruk pada mata
yang lain. Namun, memungkinkan mempunyai perhatian visual baik pada kedua
mata tetapi tajam penglihatan yang tidak sama dan semua faktor resiko
ampbliopia harus dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil (AAO staf, 2016-
2017).
(3) Kecenderungan fiksasi, Uji ini dapat digunakan untuk menilai
preferensi unilateral jika klinis strabismus muncul yaitu: (a) Fiksasi terlihat pada
mata strabismus dengan memutup mata yang dominan ketika bayi terfiksasi pada
benda yang menarik perhatian (sebaiknya digabungkan dengan cahaya), (b)
Fiksasi kemudian dinilai apakah sentra atau non-sentral dan menetap atau tidak
(refleks kornea dapat dievaluasi), (c) Mata yang lain kemudian dibuka dan
kemampuan untuk mempertahankan fiksasi diamati, (d) Jika fiksasi segera
kembali pada mata yang terbuka, jadi tajam penglihatan kemungkinan menurun.
(e) Jika fiksasi dapat dipertahankan, jadi tajam penglihatan kemungkinan baik, (f)
Jika mata pasien terfiksasi bergantian, jadi kedua mata mempunyai visual sama.
(4) Induced tropia test dapat digunakan untuk menilai tajam penglihatan
tanpa memperhatikan apakah klinis strabismus muncul atau tidak. Pemeriksaan
ini menggunakan prisma 10 -15 PD. Perubahan silih berganti antara target
diplopik menandakan bahwa tajam penglihatan kedua mata sama (AAO staf, 2016-
2017).
(5) Uji rotasi adalah pemeriksaan kualitatif untuk menilai kemampuan
bayi untuk memfiksasikan kedua mata saat terbuka. Uji ini dilakukan seperti: (a)
Pemeriksa menahan pasien agar menghadap pada dirinya dan berputar dengan
cepat 360º, (b) Jika penglihatan normal, mata akan berdeviasi ke arah rotasi
dibawah pengaruh respon vestibulo-okular. Mata berkedip kembali ke posisi awal
untuk menghasilkan nistagmus rotasional, (c) Pada saat rotasi berhenti, nistagmus
dapat diamati dengan singkat dalam arah berlawanan dalam 1-2 detik dan
15
seharusnya kemudian berhenti karena supresi nistagmus pasca rotasi oleh fiksasi.,
(d) Jika penglihatan terganggu dengan berat, nistagmus pasca rotasi tidak berhenti
dengan cepat karena respon vestibulo- okular tidak dihambat oleh umpan balik
visual.
(6) Uji preferential looking dapat digunakan dari awal bayi dan
berdasarkan fakta bahwa bayi lebih memilih untuk melihat pola daripada
rangsangan homogeni. Bayi diberikan rangsangan dan pemeriksa mengamati mata
untuk pergerakan fiksasi, tanpa mereka mengetahui posisi rangsangan (AAO staf,
2016-2017).
Pemeriksaan Fiksasi
Terdapat dua tipe pemeriksaan fiksasi yaitu monokuler dan binokuler.
Pada pemeriksaan fiksasi monokuler pemeriksa menilai apakah pasien terfiksasi
di fovea (sentral) dan kualitas dari fiksasi. Setiap mata seharusnya ditutup secara
bergantian dan target terkecil yang memungkinkan menimbulkan respon fiksasi
sebaiknya digunakan. Fiksasi monokuler dinilai untuk 3 faktor berbeda yaitu:
kualitas dan akurasi (good, fine, poor), lokasi (central atau eccentric) dan durasi
(maintained atau sporadic). Secara klinis, singkatan sering digunakan untuk
mendeskripsikan meliputi CSM untuk central, steady, dan maintained. Fiksasi
eccentric merupakan tanda penting yang menunjukkan bahwa pasien tidak
terfiksasi di fovea dan tajam penglihatan dalam rentang 20/200 atau lebih buruk.
Ini penting untuk diingat, padasaat menilai fiksasi monokuler, benda yang
digunakan sebagai sasaran fiksasi sebaiknya digerakkan secara perlahan-lahan
melalui lapang pandang untuk menilai kualitas fiksasi. Ukuran dan jarak benda
target sebaiknya diperhitungkan dan dicatat pada bagan (Wright KW, 2006).
Sangat penting untuk menyadari waktu normal untuk maturasi visual,
walaupun hal ini dapat bervariasi pada setiap individu. Bayi baru lahir hanya
mempunyai pergerakan mata saccadic sporadic dengan fix dan follow sangat
buruk, pada usia 6 minggu, kebanyakan bayi akan memperlihatkan beberapa
fiksasi pursuit halus dan sentral dengan dan pada usia 8 minggu mayoritas bayi
akan mempunyai fiksasi sentral dengan pursuit halus yang akurat dan dengan
mudah memperlihatkan respon optokinetik. Pursuit halus tampak asimetris sampai
16
usia 6 bulan, dengan monokuler temporal ke nasal lebih baik dari pada nasal ke
hidung. Satu yang harus diingat bahwa terdapat kelompok pasien yang dikatakan
normal namun memperlihatkan keterlambatan maturasi visual. Kelompok pasien
ini seharusnya memperlihatkan peningkatan fungsi visual dan mempunyai fix dan
follow sentral paling tidak pada usia 6 bulan dengan keterlambatan kadang-kadang
mencapai usia 12 bulan (Wright KW, 2006).
Fiksasi binokuler tunggal membandingkan penglihatan satu mata dengan
mata lainnya. Pemeriksaan ini menganggap bahwa fiksasi tunggal yang kuat pada
pasien dengan strabismus mengindikasikan kehilangan fungsi penglihatan organik
atau ambliopia pada mata yang tidak disukai. Pemeriksaan binokuler mempunyai
keuntungan melebihi pemeriksaan monokuler, karena penglihatan dapat sangat
buruk (20/100 atau 20/200) dan pasien tetap memperlihatkan fiksasi monokuler
normal. Pemeriksaan fiksasi binokuler tunggal bagaimana pun juga akan dapat
mengidentifikasi ambliopia ringan. Sangat penting untuk memeriksa fiksasi
monokuler sebelum pemeriksaan fiksasi tunggal untuk menyingkirkan
kemungkinan kehilangan fungsi penglihatan simetris bilateral pada anak-anak
preverbal. Pemeriksaan fiksasi tunggal sangat akurat untuk mendiagnosis
ambliopia pada anak dengan strabismus sudut lebar (Wright KW, 2006).
17
PEMERIKSAAN POLA A-V
Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan untuk pola A-V dilakukan dengan prisma dan alternate cover
test pada 250-300 diatas dan dibawah garis tengah. Hal ini dilakukan dengan
target pada jarak 6 meter (20 ft) dengan koreksi kaca mata. Pola A
dipertimbangkan signifikan secara klinis jika perbedaan antara upgaze dan
downgaze masing-masing 25o dari posisi primer minimal sebesar 10 PD (Griffin
JR, 2002; Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006).
Sedangkan pola V dipertimbangkan signifikan secara klinis jika perbedaan
antara upgaze dan downgaze masing- masing 25o dari posisi primer minimal
sebesar 15 PD. Pengukuran besar deviasi dapat dilakukan baik dengan cara kepala
pasien stabil dengan kita menggerakkan target fiksasi, maupun dengan cara
memiringkan kepala ke atas, bawah dan kiri dan kanan dengan target fiksasi
konstan. Kepala dimiringkan ke belakang sehingga didapatkan posisi mata
downgaze 25o-35o, dan kepala dimiringkan ke depan sehingga didapatkan posisi
kepala upgaze 25o. Pasien juga disuruh melihat ke kiri dan kanan untuk mencatat
deviasi horizontal. Pada saat penilaian upgaze dan downgaze dengan koreksi, kaca
mata diturunkan sedikit ke batang hidung untuk pemeriksaan posisi lirik
downgaze, dan sebaliknya sedikit dinaikkan saat mengukur upgaze. Perubahan
vertex distance pada perlakuan ini tidak signifikan dan dapat diabaikan.
Pencatatan tersebut dilakukan berulang-ulang kali pada setiap saat kunjungan
pasien sampai didapatkan nilai deviasi yang stabil (Kushner BJ, 2005; Wright
KW, 2006).
Pada pasien eksotropia intermiten, deviasi dapat terkontrol pada posisi
primer, tetapi fusi dapat terganggu pada saat melihat pada posisi upgaze dan
downgaze sehingga memberikan gambaran pola Y, λ, maupun X. Pada
pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, selain dilakukan pemeriksaan besar
deviasi, sebaiknya juga diperiksa adanya torsi fundus dan apakah terdapat
disfungsi otot obliq untuk memastikan apakah memang benar-benar terdapat pola
A-V. Hal ini mungkin sukar dilakukan, dapat diperlukan perkiraan dengan
menggunakan tekhnik Hirschberg maupun Kirmsky. Jika mungkin, dilakukan
alternate prism cover test pada berbagai arah lirik. Kadang-kadang ditemukan
18
deviasi disertai HP, misalnya pada pola V akibat kelumpuhan nervus kranial IV
(Griffin JR, 2002; Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006).
Pseudo pola A-V dapat dilihat pada pasien dengan esotropia akomodatif.
Hal ini terjadi jika pada penilaian pasien tidak dikenakan koreksi kaca mata
hipermetropianya. Dengan demikian, terdapat tendensi natural untuk
berakomodasi pada posisi primer dan downgaze, menyerupai pola V (Griffin JR,
2002; Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006).
Pemeriksaan dilakukan dengan koreksi refraksi penuh. Hipermetropia
yang belum dikoreksi dengan kaca mata, akan tampak pseudo pola A-V karena
akomodasi akan terjadi jika melihat downgaze sehingga akan menambah
gambaran esotropia (Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006; Griffin JR, 2002).
Penilaian harus ditekankan pada adanya overaksi atau underaksi otot
obliq. Adanya torsi fundus dinilai dengan menggunakan oftalmoskop indirek
dengan pupil berdilatasi (Griffin JR, 2002; Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006).
Torsi
Pada anak besar dan dewasa, torsi bola mata harus dinilai dengan tes
double Maddox rod dan dengan melihat fundus menggunakan oftalmoskop
19
indirek. Adanya torsi disertai tanda-tanda lain overaksi dan underaksi otot obliq
sangat penting untuk menentukan prosedur bedah yang tepat. Torsi juga dapat
diukur dengan menggunakan perimetri binokuler. Jika mungkin, dianjurkan untuk
mendokumentasikan torsi fundus dengan foto (Griffin JR, 2002; Kushner BJ,
2005; Wright KW, 2006).
Pemeriksaan Sensorik
Fungsi binokuler biasanya menurun pada pasien pola A-V. Pemeriksaan
sensorik dapat bervariasi tergantung dari posisi mata pasien pada berbagai arah
lirik. Pasien dengan strabismus pattern tertentu dapat saja ortho pada posisi primer
dan memiliki fungsi fusi yang baik. Pemeriksaan Worth Four Dot kadang-kadang
menunjukkan fusi yang baik pada jarak dekat namun jarang baik pada jarak jauh.
Biasanya tidak terdapat stereoacuity tingkat tinggi (Griffin JR, 2002; Kushner BJ,
2005; Wright KW, 2006).
Pasien dengan pattern inkomplit (misalnya Y dan λ) pattern cenderung
memiliki stereoacuity yang lebih baik. Pasien dengan HP seperti chin up dan chin
down dapat memiliki fusi sensorik pada posisi demikian, tapi tidak pada posisi
primer maupun pada posisi lirik yang lain. Sebaliknya, pasien dengan posisi
kepala yang normal, bisa saja memiliki fusi pada posisi primer, tetapi tidak pada
upgaze dan downgaze sehingga deviasi horizontal pada posisi ini lebih besar.
Keadaan ini juga mempengaruhi keputusan operasi untuk memperlebar lapangan
pandang binokuler. Jika pasien menunjukkan tropia pada seluruh lapangan
pandang, dapat saja terjadi supresi dan Anomalous Retinal Correspondence
(ARC) (Griffin JR, 2002; Kushner BJ, 2005; Wright KW, 2006).
PENATALAKSANAAN
Pada kasus yang ringan, tidak diperlukan terapi. Pada deviasi eksotropia
intermiten, pemberian overkoreksi dengan lensa minus dapat dicoba. Sedangkan
jika deviasinya kecil, dapat diberikan koreksi kelainan refraksi, terapi amblyopia,
serta kaca mata prisma untuk mengontrol deviasi dan meringankan keluhan
asthenopia (Griffin JR, 2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
Terapi bedah diperuntukkan bagi pola A-V yang signifikan secara klinis,
20
atau terdapat HP chin up dan chin down yang signifikan untuk mendapatkan fusi.
Hal ini penting dilakukan terutama jika terjadi pada masa kanak-kanak, untuk
mendapatkan binokularitas, kecuali jika terdapat amblyopia. Amblyopia refraktif
sebaiknya diberikan koreksi penuh dan terapi amblyopia terlebih dahulu. Deviasi
yang menimbulkan keluhan, gangguan kosmetik atau terdapat kelainan sensoris
seperti supresi maupun amblyopia merupakan indikasi terapi bedah (Griffin JR,
2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
Terdapat berbagai pilihan terapi strabismus pola A-V. Pilihan bedah harus
berdasarkan masalah yang mendasari. Misalnya, jika pola A-V tidak berkaitan
dengan overaksi otot obliq, dilakukan transposisi vertikal rektus horizontal. Tetapi
jika pola A-V berkaitan dengan overaksi otot obliq dilakukan pelemahan otot
obliq. Indikasi terapi bedah: (1) Deviasi manifest ≥ 50% dari waktu sehari- hari,
(2) Mengkoreksi deviasi dan memungkinkan terjadinya fusi, (3) Mendapatkan
penglihatan binokuler tunggal, (4) Koreksi HP jika ada dan keluhan kosmetik
(Chaudhuri Z, 2008).
21
komplikasi yang juga minimal. Tenektomi posterior menyebabkan reduksi 15-20
PD eksotropia saat downgaze. Disinsersi komplit menyebabkan reduksi lebih
besar, dan efek yang lebih besar bisa didapatkan dengan tenektomi dekat insersi
obliq superior, atau dengan disertai recess. Tidak terdapat efek pelemahan obliq
superior saat upgaze dan pada posisi primer (Wright KW, 2006; Chaudhuri Z,
2008).
Pada saat melakukan pelemahan otot-otot obliq, sangat penting
diperhatikan kesimetrisannya, jika tidak dapat terjadi deviasi vertikal pada posisi
primer. Dan jika deviasi besar, mungkin dapat dipertimbangkan kombinasi recess
rektus lateral dengan transposisi vertikal. Jika masih terdapat pola residu, dapat
dilakukan resek dan transposisi rektus medial (Griffin JR, 2002; Wright KW,
2006).
Jika otot obliq tidak overaksi, tidak perlu dilakukan prosedur pelemahan.
Pola V dengan underaksi obliq superior dilakukan prosedur tuck obliq superior.
Prosedur ini kurang dapat diprediksi, sehingga sebaiknya hanya dikerjakan oleh
para ahli yang telah berpengalaman. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan fusi bifoveal kecuali jika terdapat eksiklotropia sebelumnya
(Griffin JR, 2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z, 2008).).
22
Misalnya pada saat otot rektus medial ditransposisikan ke inferior, maka terbentuk
tenaga depresi. Dengan demikian, sangat penting melakukan prosedur ini secara
simetris, karena jika tidak, akan menginduksi deviasi vertikal pada posisi primer
kecuali jika sebelum operasi sudah terdapat deviasi vertikal, maka prosedur ini
dapat dilakukan unilateral (Griffin JR, 2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z,
2008).
(2) Terbentuk vektor torsional dari arah otot dipindahkan. Misalnya,
dengan memindahkan rektus medial ke inferior akan menghasilkan vektor yang
menyebabkan pergerakan ekstorsi. Pada esotropia pola V sering berkaitan dengan
overaksi obliq inferior dan eksiklotropia. Memindahkan rektus medial ke inferior
dapat memperbaiki pola V, tetapi juga membuat eksiklotropianya semakin besar
(Griffin JR, 2002). Untuk mempermudah mengingat prosedur transposisi ini,
terdapat istilah MALE yang merupakan singkatan dari (M)edial rectus muscles to
the (A)ppex of the pattern, (L)ateral rectus muscles to the (E)mpty space. Pada A-
V pattern tanpa keterlibatan otot obliq, transposisi vertikal simetris otot rektus
horizontal sebesar ½ sampai seluruh lebar tendon efektif mengkoreksi pattern
sebesar 15-20 PD. Jika pattern ≥ 20 PD, biasanya telah terdapat disfungsi obliq
yang signifikan, sehingga dilakukan bedah pada otot obliq (Griffin JR, 2002;
Chaudhuri Z, 2008).
Gambar 6, Arah pergeseran otot horizontal dalam terapi A-V Pattern (AAO,
2016-2017)
23
Selain itu, bedah otot horizontal saja misalnya recess rektus medial akan
menyebabkan perbaikan minimal pada pola V, tetapi tidak signifikan dalam terapi
pola V yang signifikan secara klinis. Walaupun demikian, hal ini harus
dipertimbangkan dalam operasi. Pada pelemahan obliq inferior untuk V pattern,
tidak terjadi perubahan deviasi saat downgaze, tetapi jika dilakukan juga resessi
medial rektus, dapat memperbaiki pattern sebesar 10 PD pada downgaze. (Griffin
JR, 2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
24
resect MR dan suprapfacement
Pola X
Pola X terjadi jika keempat otot obliq overaksi. Bentuk ini kadang-kadang
terjadi pada eksotropia dengan deviasi besar jangka lama, dimana keempat obliq
kontraktur dan overaksi. Pada keadaan ini, melemahkan semua otot obliq
mungkin diperlukan. Pada beberapa pasien terdapat rektus lateral yang kaku,
melemahkan rektus lateral dapat efektif menangani keadaan ini (Griffin JR,
2002).
Pola Y
Terdapat keadaan yang sangat menyerupai overaksi obliq inferior bilateral
yang menyebabkan gambaran pola Y, disebut pseudo overaksi obliq inferior dan
25
mungkin merupakan varian Sindroma Duane. Pada keadaan ini, tidak terdapat
elevasi kedua mata saat adduksi, tidak ada underaksi obliq superior, dan torsi
fundus. Pada posisi primer tampak ortoforia, tetapi dapat pula terdapat esotropia
maupun eksotropia. Melemahkan obliq inferior tidak memberikan efek apapun
pada keadaan ini. Tetapi dapat dilakukan recess dan supraplacement pada rektus
lateral sebagai terapi yang efektif (Chaudhuri Z, 2008).
Pola λ
Pola λ biasanya terjadi akibat overaksi obliq superior dan dapat diperbaiki
dengan bedah otot horizontal yang tepat dikombinasikan dengan pelemahan obliq
superior (Griffin JR, 2002; Wright KW, 2006; Chaudhuri Z, 2008).
PROGNOSA
Saat ini strabismus tipe pola A-V mempunyai prognosa yang sama seperti
strabismus pada umumnya yaitu, tindakan dan penanganan sedini mungkin
diperlukan untuk mencegah terjadinya amblyopia, kelainan refraksi dan juga
kelainan reaksi fusi pada mata. Namun, apabila sampai dewasa tidak dilakukan
intervensi maka tindakan yang akan dilakukan biasanya hanya untuk dapat
memperbaiki kosmetik saja.
26
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Opthalmology, Staff. 2016-2017. Fundamentals and Principles
of Ophthalmology. In: Basic and Clinical Science Course. Sec. 2. San Francisco
: AAO.
American Academy of Opthalmology, Staff. 2016-2017. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus. In: Basic and Clinical Science Course. Sec. 6. San Francisco :
AAO.
Bui Quoc E dan Milleret C. 2014. Origin of strabismus and loss of binocular vision.
Hypothesis and Theory Article. 8(71):1-19.
Bowling, B. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A systematic Approach. New
York: Elsevier.
Ilyas, S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI
Jakata. P. 11-13
Riordan-Eva P. 2011. Anatomy and Embryology of the Eye. In: Riordan-Eva P dan
Cunningham E. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 18th Ed. United
States: McGraw-Hill Education, p.23-26.
Wright KW. 2006. Exotropia. Pediatric Ophthalmology and Strabismus 2nd Ed. New
York: Springer, p.266-283.
Kushner BJ. 2005. “A”,”V”, and other alphabet pattern strabismus. Pediatric
Ophthalmology and Strabismus, Ed 3rd. Edinburgh: Elsevier Saunders, p.922-
32.
Wright KW. 2006. alphabet patterns and oblique muscle dysfunctions. Handbook of
Pediatric Strabismus and amblyopia. New York: Springer, p.284- 320.
Billson F. 2003. fundamentals of clinical ophthalmology strabismus. London: BMJ
Books, p.3-6.
Biglan AW. 1999. Pattern strabismus .Clinical Strabismus Management and Principles
and Surgical Techniques. Philadelphia: WB Saunders Company, p.202-14.
Khurana, AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology: Fourth Edition. India : New Age
International Publisher.
Griffin JR, Grisham JD, Ciuffreda KJ. 2002. Binocular anomalies diagnosis and vision
therapy. Amsterdam: Butterworth Heinemann, p.227-29.
Chaudhuri Z. 2008. Step by step clinical management of strabismus. New delhi: Jaypee
Brothers, p.207-16.
Thacker N, Rosenbaum AL. 2006. Esotropia and exotropia, V Patterns. eMedicine. Last
Update : Sept 26, 2006, p.1-11.
27