Anda di halaman 1dari 79

EVALUASI RETROSPEKTIF PENDERITA SPONDYLITIS TUBERCULOSA

YANG TELAH DILAKUKAN ANTERIOR DEBRIDEMENT DAN STABILISASI


POSTERIOR DI RSUD DR SOETOMO MULAI JANUARI 2009 SAMPAI
JANUARI 2014

Oleh:
Reza Rahman R, dr
Pembimbing;
Prof .Dr.Bambang Prijambodo, dr. SpB. SpOT(K)

Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya
2014

LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL

:EVALUASI RETROSPEKTIF ANTERIOR DEBRIDEMENT


DAN STABILISASI POSTERIOR

PADA PENDERITA

SPONDYLITIS TUBERCULOSA DI RSUD DR. SOETOMO


SURABAYA MULAI JANUARI 2009 SAMPAI 31 JANUARI
2014
JENIS
: Penelitian Retrospektif
PENYUSUN
: Reza Rahman Ramadhani, dr
PEMBIMBING : Prof.Dr.Bambang Prijambodo, dr. SpB, SpOT (K)
Disetujui
APRIL 2014
Pembimbing
Prof.Dr.Bambang Prijambodo,dr.SpB.SpOT(K)

Ketua Program Studi


Dr. Dwikora Novembri Utomo, dr.SpOT(K)

DAFTAR ISI
Daftar isi
BAB I

2
PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang

1.2

Rumusan masalah

1.3

Tujuan penelitian

1.4

Manfaat penelitian

1.5

Metode penelitian

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Anatomi vertebra

BAB 2
2.1

2.2

Komponen otot

12

2.3

Ligamen pada vertebra

14

2.4

Sistem persendian

16

2.5

Sistem pembuluh darah dan syaraf vertebra

19

2.6

Biomekanik tulang belakang

21

2.7

Patogenesis spondylitis tuberculosa

22

2.8

Diagnostik

24

2.9

Penatalaksanaan

32

MATERI METODE PENELITIAN

41

3.1

Rancangan penelitian

41

3.2

Kriteria inklusi dan eksklusi

41

3.3

Variabel penelitian dan definisi operasional

41

3.4

Lokasi dan waktu penelitian

43

3.5

Prosedur pengambilan dan analisa data

43

BAB 3

BAB 4

HASIL PENELITIAN

44

4.1

Distribusi usia

44

4.2

Distribusi jenis kelamin

45

4.3

Distribusi jumlah segmen

46

4.4

Distribusi level lesi

47

4.5

Distribusi sudut kyphosis sebelum operasi

49

4.6

Distribusi sudut kyphosis > 3 bulan pasca operasi

50

4.7

Distribusi besarnya derajat reposisi

52

4.8

Distribusi besarnya loss of correction

53

4.9

Distribusi Frankel awal sebelum operasi

55

4.10

Distribusi Frankel 3 bulan pasca operasi

56

4.11

Distribusi perubahan frankel sebelum dan 3 bulan pasca operasi

57

4.12

Distribusi nilai VAS sebelum operasi

58

4.13

Distribusi nilai VAS 3 bulan setelah operasi

59

4.14

Distribusi ODI sebelum operasi

60

4.15

Distribusi ODI 3 bulan setelah operasi

61

4.16

Distribusi perbaikan ODI

63

4.17

Contoh salah satu kasus

64

BAB 5

PEMBAHASAN

67

BAB 6

KESIMPULAN

72

BAB 7

DAFTAR PUSTAKA

73

LAMPIRAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi tuberculosa adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosa. Kuman ini berbentuk batang tipis, non-motil berukuran
panjang 3mdan lebar 0,5 mdanberegenerasisetiap12jamsekali(4).Penyakit ini
mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prevalensi tuberculosa
bervariasi di seluruh dunia , dimana prevalensi tertinggi terdapat di negara-negara

berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia yang merupakan negara terbesar ketiga di


dunia yang mempunyai masalah dengan tuberculosa yang mempunyai revalensi
penyakit ini 0,2-0,65% pada tahun 1983-1993. Sedangkan menurut WHO angka
insiden tuberculosa di eropa bervariasi 2,8-123per 100000 populasi, dan di dunia
pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256/100.000 penduduk) dimana 46%
merupakan kasus baru (17).
Penyakit ini memberikan efek pada semua organ tubuh terutama paru, ginjal,
kelenjar getah bening dan tulang akibat dari penyebaran melalui darah. Sekitar 10%
dari infeksi tuberculosa melibatkan tulang dan sendi dengan 50% diantaranya
merupakan tuberculosa pada tulang belakang.
Spondylitis

tuberculosa

merupakan

granulomatousa yang disebabkan kuman

penyakit

infeksi

kronis

Mycobacterium Tuberculosa

radang
yang

menginfeksi tulang belakang. Penyakit ini sudah mulai di temukan pada tahun 70003000 SM dan pada tulang sekitar 3400 SM di mesir kuno. Pada tahun 1779 penyakit
ini ditemukan sebagai Potts Desease (1).
Spondilitis tuberculosa umumnya menginfeksi satu atau lebih tulang vertebra.
Infeksi dapat berada pada daerah sentral, anterior, maupun paradiskal. Pada penyakit
ini akan terjadi kerusakan dan perlunakan corpus vertebra yang mana akan terjadi
kerusakan pada korteks epifisis, discus intervertebralis dan vertebra sekitar. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya kiphotik deformity. Perubahan kifotik ini akan
menyebabkan perubahan biomekanik pada vertebra. Oleh karena itu tindakan operatif
untuk koreksi deformitas lebih ditekankan untuk memperbaiki permasalahan
biomekanik tulang vertebra dibandingkan fungsi kosmetik. Instrumentasi untuk
mempertahankan koreksi deformitas mempunyai berbagai macam keuntungan
tergantung pada jenis instrumentasinya.
Prijambodo dkk. mengevaluasi lebih dari 800 kasus spondylitis TB di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya mulai periode 1983 sampai 2003, yang dilakukan operasi
anterior decompression dan bone grafting dengan atau tanpa pemasangan
instrumentasi dan fusi. Dikarenakan kasus ini cukup banyak di RSUD dr Soetomo,
oleh karena itu maka pada kesempatan ini kami melakukan evaluasi retrospektif pasca
tindakan operasi anterior debridement, bone graft dengan atau tanpa cage dan

stabilisasi posterior.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimanakah hasil dari tindakan operatif dengan anterior debridement , bone graft ,
dengan atau tanpa cage dan stabilisasi posterior?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Untuk mendapatkan hasil dari tindakan operatif dengan anterior debridement , bone
graft dengan atau tanpa cage dan stabilisasi posterior.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan hasil terapi anterior
debridement dengan atau tanpa cage dan stabilisasi posterior pada penderita
spondylitis TB di RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebagai landasan pendidikan serta
penyediaan sarana dan prasarana yang efektif dan efisien. Selain itu diharapkan hasil
penelitian ini bisa memberikan informasi kepada departemen kesehatan dan
jajarannya sebagai data dasar untuk menunjang penelitian-penelitian selanjutnya dan
kebijakan program pemberantasan TBC di Indonesia.
1.5 METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini kami menggunakan analisa secara deskriptif dengan memakai
data-data yang dikumpulkan secara retrospektif dari catatan medis poliklinik dan
ruangan serta evaluasi langsung pasien poliklinis, semua kasus spondylitis tuberculosa
yang diterapi operatif anterior debridement , bone graft dengan atau tanpa cage dan
stabilisasi posterior, sejak Januari 2009-Januari 2014

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 ANATOMI VERTEBRA


Anatomi Columna Vertebralis
Secara keseluruhan columna vertebralis merupakan pilar utama tubuh dan
berfungsi menyangga cranium, gelang bahu , ekstremitas superior dan dinding torak
serta melalui gelang panggul untuk meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior.

Didalam rongganya terletak medulla spinalis, radiks nervi spinalis dan meningen yang
dilindungi kolumna vertebralis.
Secara keseluruhan columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra, yaitu 7
vertebra cervical, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, dan 4 vertebra coccyges.
Struktur columna vertebralis ini fleksibel karena columna ini bersegmen-segmen dan
tersusun atas vertebra, sendi-sendi dan diskus intervertebralis.
Stabilitas tergantung pada struktur ligamen dan otot dan morfologi dari
columna. Vertebrae mempunyai ukuran bertambah besar kearah sacrum, selanjutnya
akan mengecil sampai ujung coccyges.

Kurvatura Columna Vertebralis


Pada

orang

dewasa

columna

vertebralis

mengandung

kurvatura

anteroposterior, yaitu torakal dan sacral ke anterior, cervical dan lumbal konkav ke
arah posterior. Kurvatura torakal dan sacral adalah primer, karena mempunyai arah
yang sama dengan arah utama embrio. Kurvatura primer disebabkan oleh perbedaan
tinggi antara depan dan belakang corpus vertebra. Sedangkan kurvatura sekunder
cervical dan lumbal mulai sebelum lahir, disebabkan terutama oleh perbedaan
ketebalan antara bagian anterior dan posterior discus intervertebralis. Kurvatura
sekunder konkav ke arah posterior mungkin karena kompensasi dari kontraksi
kurvatura primer.
Pada bidang sagital, tulang belakang yang normal memiliki tiga kurva:
o
o
cervical lordosis dengan sudut antara 20 sampai 40 , torakal kyphosis dengan sudut
o

20

o
o
o
sampai 40 , dan lumbal lordosis dengan sudut 30 sampai 50 . Deformitas

struktural dapat berupa angulasi yang tajam yang disebut gibbus yang tampak lebih
jelas pada posisi membungkuk kedepan.
Pada dasarnya semua region vertebra memiliki pola yang sama. Vertebra
tipikal terdiri atas korpus yang bulat di anterior dan arkus vertebra di posterior.
Keduanya melingkupi sebuah ruang yang disebut ruang foramen vertebralis yang

dilalui oleh medulla spinalis dan lapisan pembungkusnya. Arcus vertebra terdiri atas
sepasang pedikel yang bebentuk silinder, yang membentuk sisi-sisi arcus dan
sepasang lamina yang melengkapi arcus posterior
Arcus vertebra mempunyai tujuh processus yaitu satu processus spinosus, dua
processus tranversus, dan empat processus articularis. Processus spinosus menonjol
ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Processus tranversus menonjol ke lateral
pada pertemuan antara lamina dan pedikel. Processus spinosus dan processus
tranversus berfungsi sebagai pengungkit dan menjadi tempat melekatnya otot dan
ligamen.
Processus articularis terletak vertikal dan tediri atas dua processus articularis
superior dan processus articularis inferior. Processus ini menonjol dari pertemuan
lamina dan pedikel dan setiap facies articularis diliputi kartilago hyalin.
Kedua processus artikularis superior dari sebuah arcus vertebra bersendi
dengan kedua processus articularis inferior dari arcus vertebra yang ada diatasnya,
membentuk sendi synovial.
Pedikel memiliki lekuk pada pinggir atas dan bawah membentuk incisura
vertebralis superior dan inferior.Pada masing-masing sisi, incisura vertebralis superior
sebuah vertebra dan incisura vertebra inferior vertebra diatasnya membentuk foramen
intervertebralis. Foramina ini pada kerangka yang berartikulasi berfungsi sebagai
tempat lewatnya nervi spinalis dan pembuluh darah. Radiks anterior dan posterior
nervus spinalis bergabung di dalam foramina ini, bersama dengan pembungkusnya
membentuk saraf spinalis segmentalis.

Vertebra Cervical
Vertebra cervical (gambar 1) terbagi atas dua kelompok, yaitu C1-2 yang
membentuk vertebra aksial dan C3-7 yang membentuk vertebra subaksial. Vertebra
berfungsi untuk menopang cranium dan memmungkinkan pergerakan rotasi antara
cranium dengan vertebra yang disebut cervico-cranial junction.
Secara umum vertebra cervical memiliki corpus yang relative kecil dan tipis.

Diameter

tranversusnya

lebih

besar

dibandingkan

dengan

diameter

anteroposteriornya. Tepi lateral pada permukaan superior masing-masing corpus


memiliki penojolan ke superior membentuk processus uncinatus. Di region cervical
ini processus spinosus terbelah dua.
Masing-masing processus tranversus memiliki tuberkulum anterior dan
tuberkulum posterior yang merupakan tempat origo dan insersi otot cervical posterior.
Foramen tranversus yang menembus processus tranversus menjadi jalan keluarnya
radiks saraf vertebra.

Gambar 1.vertebra cervical 4

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

Vertebra Torakal
Keduabelas vertebra torakalis (gambar 2) menyokong costa dan memiliki
sendi feacet pada masing- masing sisi. Corpus vertebra torakal di pertengahan
bentuknya menyerupai hati. Arcus vertebra pada columna torakal membentuk suatu
kanal spinal yang kecil dan memiliki ruangan yan sempit. Ruangan yang sempit ini
merupakan predisposisi suatu trauma pada medulla spinalis, meskipun kerusakan
strukural columna vertebra tidak terlalu berat. Processus spinosus pada torakal
berukuran lebih panjang dan berbentuk segitiga pada penampangnya. Processus
spinosus vertebra T5-8 lebih menjorok ke arah kaudal dengan sudut 60

Gambar 2. Vertebra torakal

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

Vertebra Lumbal
Vertebra lumbal (gambar 3) terletak diatas sacrum. Ukuran vertebra lumbal
lebih besar dibandingkan vertebra lainnya. Berbeda dengan vertebra cervical maupun
torakal, vertebra lumbal tidak memiliki foramen tranversus maupun facet articularis
costa. Selain itu corpus vertebra di daerah lumbal lebih besar dan diameter lateral
lebih besar dibandingkan diameter anteroposterior. Pedikelnya lebih tebal, terletak
pada aspek dorsosuperolateral korpus dengan membentuk suatu foramen vertebra
yang berbentuk segitiga.

10

Gambar 3.vertebra lumbal

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

Sacrum
Sacrum (gambar 4) adalah tulang berada diantara kedua tulang pinggul serta
terhubung diantara vertebra lumbal di bagian proksimalnya dan os coccygeus di
bagian distalnya. Tulang ini bebentuk segitiga besar yang berada dibagian belakang
atas rongga panggul. Sacrum terdiri dari lima vertebra yang awalnya tidak bersatu
kemudian sejak umur 16-18 mulai terjadi penyatuan.
Coccygeus (gambar 4)

11

Gambar 4. os sacrum & os coccygeus Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

2.2 KOMPONEN OTOT


Pada daerah tulang belakang dibagi menjadi 2 macam yaitu kelompok otot
(gambar 5) bagian anterior, dan kelompok otot bagian posterior.
Bagian anterior:
Pada regio cervical otot yang paling penting adalah m.longus capitis yang
berorigo pada occipital dan berinsersi pada processus tranversus C3-C6, m. longus
colli berorigo dan berinsersi pada anterior vertebra C1-T3, m. scalenus yang berorigo
pada processus tranversus C3-6 dan berinsersi pada dua costa pertama
Untuk regio torakal bagian atas dan tengah tidak ada otot yang menempel

12

Untuk regio torakal bagian bawah dan lumbal otot yang menempel adalah m.
quadratus lumborum yang berorigo pada costa terakhir dan processus tranversus dari
V L1-L4 dan berinsersi pada crista iliaca, m. iliaucm yang terdiri dari m. iliacum
yang berorigo pada crista iliaca dan berinsersi pada trochanter mayor , m psoas major
yang berorigo pada processus trnversus & corpus vertebra T12-L5 dan berinsersi pada
tochanter minor femur
Untuk otot-otot spinal bagian posterior di bagi menjadi 3 bagian ,yaitu superficial,
media, dan profundus. Kelompok otot posterior ini sering sering di lepaskan dari
origo pada tulang belakang saat operasi tulang belakang.

Kelompok otot yang superfisial sering disebut erector spinae terdiri dari 3 otot,

yaitu: m.iliocostalis, m.longisimus dan spinalis


Kelompok otot yang media disebut otot-otot semispinalis yang terdiri dari:

m.semispinalis capitis, m.semispinalis cervicis, dan m.semispinalis thoracis


Sedangkan otot-otot profundus teridir dari: m.multifudus, m.intertransversarii,
m.rotatores, m.levatores costae.

Untuk sistem otot ,pada vertebra dibagi menjadi 3 kelompok fungsional:


1. Stabilisator lokal
Stabilisator ini terdiri dari otot-otot spinal dan paraspinal di sekitar vertebra
yang berfungsi mengontrol posisi netral sendi intervertebralis dan tidak terjadi
pergerakan pada kondisi beban yang ringan.
2. Stabilisator global
Stabilisator ini terdiri atas otot abdominal obliquus, psoas dan otot gluteus
medius yang berfungsi menahan

stress dan strain atau tarikan. Sehingga

stabilisasi ini memainkan peran ketika menjaga postur, melakukan pergerakan,


memelihara stabilitas pergerakan dan mengembalikan tubuh ke posisi semula.
3. Mobilisator global
Mobilisator ini terdiri atas otot rektus abdominis, piriformis, iliopsoas yang
berfungsi membantu pergerakan yang lebih besar dari vertebra, menghasilkan
suatu pergerakan yang cepat dan kuat, dan meningkatkan kerja otot ketika
terjadi pembebanan pada tubuh.

13

Gambar 5. otot pada tulang belakang Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

2.3 LIGAMEN
Ligamen adalah jaringan ikat lunak yang menghubungkan kedua atau lebih
tulang, kartilago atau struktur lainnya. Pada vertebra ligamen mengikat secara kuat
pada tulang ini. Pada vertebra ligamen ditemukan pada semua regio dari vertebra.
Beberapa ligamen yang sangat penting pada vertebra (gambar6) adalah
Ligamentum longitudinalis anterior, ligamentum longitudinalis posterior, ligamentum
intertranverse, ligamentum interspinosus, ligamentum supraspinosus, ligamentum
flavum

14

Ligamentum longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat


yang berorientasi mulai dari axis (C2) dibagian anterior hingga sacrum.
Ligamen ini lebih lebar pada saat menepel pada corpus vertebra daripada saat
menempel pada annulus fibrosus. LLA ini menempel pada setiap vertebra

pada bagian superior dan inferior endplate dari vertebra.


Ligamentum intertranverse, yang menempel pada bagian inferior processus

tranversus dengan superior processus tranversus bawahnya


Ligamentum longitudinal posterior, ligamen ini berorientasi mulai dari
axis(C2) dibagian anterior hingga sacrum. Ligamen ini lebih lebar pada saat
menepel pada discus intervertebralis daripada saat menempel pada vertebra,
hal ini dikarenakan untuk mecegah herniasi dari discus intervertebralis. LLP
ini menempel pada setiap vertebra pada bagian superior dan inferior endplate

dari vertebra.
Ligamentum interspinosus menghubungkan procesuss spinosus satu dengan
yang lain. Ligamen ini beinsersi pada basis dari tip processus spinosus. Pada
sis anteriorligamen ini menempel pada ligamentum flavum, sedangkan
posterior menempel pada ligament supraspinosus. Pada cervical berubah

menjadi ligamentum nuchae.


Ligamentum flavum yang disebut juga Yellow Ligament. Ligamen ini
berorientasi vertical menenple pada sisi anterior lamina. Ligamen ini berisersi
mulai dari axis sampai sacrum.

Ligamen disekitar vertebra ini berfungsi memandu gerakan segmental yang


berkontribusi untuk menjaga stabilitas intrinsik vertebra dengan cara membatasi
gerakan yang berlebihan. Ada dua sistem utama ligamen di vertebra, yaitu sistem
intersegmental dan intrasegmental. Sistem intrasegmental yang terdiri dari
ligamentum flavum, kapsul dan facet, ligamentum interspinosus dan ligamentum
intertranversum secara bersamaan berfungsi memegang satu vertebra. Sedangkan
sistem intersegmental memegang lebih dari satu vertebra dengan menggunakan juga
ligamentum longitudinal anterior dan posterior.

15

Gambar 6. Ligamen pada vertebra

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

2.4 SISTEM PERSENDIAN


Columna vertebra memiliki beberapa sistem persendian yang bekerja, yaitu:
1. Sendi antar corpus vertebra
2. Sendi-sendi pada arcus vertebra
3. Sendi atlanto-occipitale dan atlanto-axial
4. Sendi-sendi costovertebra
5. Sendi-sendi sacro-iliaca

Sendi antar corpus vertebra


Antar vertebra yang berdekatan corpus dihubungkan dengan ligamentum
longitudinale anterior, posterior, dan discus intervertebralis. Bentuk ligamentum
longitudinal anterior lebar, tebal, dan berjalan didepan corpus dan discus secara

16

longitudinal dimana berfusi dengan periosteum dan annulus fibrosus. Pada bagian
bawah ligamen ini melekat pada tulang sacrum dan menyebar ke lateral pada
permukaan pelvis. Sedangkan diatas mengadakan perlekatan di tuberkulum anterior
tulang atlas.
Ligamentum longitudinalis posterior terletak didalam canalis vertebralis di
bagian posterior corpus dan discus intervertebralis. Diatas berlanjut dengan membrana
tectoria, tempat perlekatan dengan tulang occipital. Kebawah menyempit di belakan
korpus vertebra, tapi pada daerah diskus melebar ke lateral dan bergabung bersama
annulus fibrosus. Semakin bawah akan menuju canalis sacralis.
Antara corpus yang berdekatan terletak discus intervertebralis yang
merupakan persendian fibrocartilaginous. Paling proksimal, discus terdapat antara
corpus cervical 2-3, sedang paling distal adalah antara coccigeus. Variasi struktur dan
susunan discus sesuai dengan umur nya. Pada orang dewasa setiap discus
mengandung nucleus pulposus dan annulus fibrosus, dengan sedikit pembuluh darah
dan syaraf.
Ditepinya corpus vertebrae dilapisi tulang rawan hyaline tipis yang berperan
untuk pertumbuhan panjang corpus selama masa pertumbuhan, juga sebagai tempat
difusi cairan antara diskus dan kapiler vertebra. Discus mengandung kadar air yang
tinggi, yang jumlahnya akan menurun dengan pertambahan umur. Selain itu seratseratnya akan menjadi kasar dan mengalami hyalinisasi.
Sejumlah lamelae-lamelae kolagen yang terkandung dalam annulus fibrosus
tersusun secara spiral. Diatas dan dibawah cincin epiphysis dan tepi dari lempeng
hyaline serat-serat annulus melekat. Pada lapisan yang paling luar serat ini melekat
pada ligamentum longitudinal. Lapisan paling dalam adalah fibrocartilage. Dan discus
terdekat akan cenderung menjadi fibrocarilaginous dengan bertambahnya umur dan
perbedaan struktur antara nucleus dan annulus seringkali menjadi hilang.
Nukleus pulposus terdapat pada bagian tengah dari diskus, dimana struktur ini
berwarna putih, semigelatinous, mengandung serat-serat kolagen tipis, sel-sel jaringan
ikat, sel kolagen dan bahan amorphous, sangat plastis, serta menyerupai cairan.
Bentukan ini depertahankan oleh lempeng cartilage dan annulus fibrosus.

17

Sendi pada Arcus Vertebrae


Arcus vertebrae dihubungkan oleh sendi synovial antara processus articularis
dan oleh ligamentum accessorius yang menghubungkan lamina, processus
transversus, dan processus spinosus. Ligamentum accessorius terdiri dari ligamentum
flavum, ligamentum nuchae, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
dan ligamentum intertransversum.
Antara puncak dari processus spinosus dihubungkan oleh ligamentum
supraspinosum dimana pada lumbal bawah perkembangannya lebih jelek. Pada bagian
atas ligamentum spinosum menyatu dengan ligamentum nuchae, suatu membran
triangular yang membentuk septum fibrosus ditengah diantara otot- otot pada dua sisi
leher. Ligamentum nuchae, tepi superior melekat pada crista occipitalis externa, tepi
anterior melekat pada processus spinosus vertebralis cervicalis, tepi posterior yang
bebas meluas padi processus occipitalis externa ke processus spinosus vertebrae
cervical. Diantara dua spina yang berdekatan didapatkan ligamentum interspinosum,
hanya berkembang baik dari daerah lumbal.
Ligamentum flavum yang elastis menghubungkan tepi-tepi lamina dari
vertebrae yang berdekatan. Beberapa serat mungkin terdapat pada permukaan anterior
dari lamina. Pada sisi lateral setiap ligamentum flavum yang meluas ke kapsul sendi
antar facet, dan memberi konstribusi terhadap bentukan bulatan bagian posterior dari
foramen intervertebrale.
Sendi Antlanto-Occipitale Dan Atlanto-Axial
Sendi atlanto-occipitale dari setiap sisi antara facet articularis superior pada
masa lateral dan berhubungan dengan condylus occipitalis. Kedua tulang juga
dihubungkan dengan membrane atlanto-occipitalis anterior dan posterior, yang meluas
dari arcus anterior dan posterior tulang atlas, sampai ke tepi anterior dan posterior
foramen magnum. Membran anterior berhubungan dengan ligamentum longitudinal
anterior, sedang membrane posterior berhubungan dengan ligamentum flavum. Facet
pada condylus occipitalis umumnya berupa bentukan hourglass.

18

Secara fungsional, sendi atlanto-occipital kiri dan kanan bekerja bersamasama sebagai suatu artikulasi ellipsoidal. Pergerakan yang dimungkinkan adalah
fleksi-ekstensi sepanjang sumbu transversal, mengangkat kepala sepanjang sumbu
antero-posterior.
Sendi atlanto-axial termasuk tipe synovial, terdiri dari tiga buah (2 lateral, 1
medial). Setiap sendi antlanto-axial lateral bergabung dengan processus artikularis
dimana memiliki membrane synovial dan kapsul. Kapsul sendi diperkuat pada bagian
posterior oleh ligamentum atlanto-axial accessorius. Sendi atlanto-axial medial
merupakan suatu pivot joint yang dibentuk oleh arkus anterior dan ligamentum
transversum atlas dan dens axis.
Sendi Costovertebralis
Sendi ini terdiri dari sendi-sendi caput costae dengan corpus vertebralis dan
sendi costotransversus diantara costae dan processus transversus vertebralis.
Sendi Sacro-Iliaca
Merupakan suatu sendi synovial yang dibentuk oleh penggabungan permukaan
artikuler dari os sacrum and illium. Stabilitas dan kekuatannya ditentukan oleh
konfigurasi tulang-tulang yang membentuknya dan susunan ligamentum sacro-illiaca.

2.5 LAPISAN SISTEM SYARAF DAN PEMBULUH DARAH VERTEBRA


Lapisan syaraf medulla spinalis
Sistem saraf pusat (SSP) meliputi otak dan medulla spinalis. Keduanya merupak
organ vital yang lunak dan perlu dilindungi dari trauma. Selain itu medulla spinalis
dilindungi 3 lapis meningen ,yaitu:
1.Duramater
2.Arachnoid
3.Piameter

19

Pada dasarnya medulla spinalis (gambar 7) dan otak mempunyai materi yang sama,
tetapi susunannya berbeda. Pada otak , materi kelabu( grey matter) terletak di bagian
korteks dan materi putihnya ( white matter) terletak di medulla. Sedangkan pada
medulla pinalis sebaliknya, yaitu materi kelabu( grey matter) terletak di bagian
medulla dan materi putihnya ( white matter) terletak di korteks

Gambar 7 Medulla Spinalis

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

SIRKULASI DARAH PADA VERTEBRA


Vaskularisasi pada vertebra (gambar 8) dipasok oleh tiga pembuluh darah
utama, yaitu sepasang trunkus arteri posterolateral dan trunkus longitudinalis anterior
median. Trunkus longitudinalis yang paling besar terdapat pada region lumbal dan
cervical, sedangkan pada torakal lebih kecil. Arteri pada cervical berasal dari arteri
vertebralis dan trunkus kostoservikal dan ekstraspinal, sedangkan pada region lumbal
dan torakal berasal dari aorta. Setiap vertebra terdapat arteri segmental yang
memvaskularisasi struktur ekstraspinal dan intraspinal.

20

Gambar 8 vaskularisasi vertebra

Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

2.6 BIOMEKANIK TULANG BELAKANG


Corpus vertebra menerima beban (axial load) dari tubuh dan ekstermitas
uperior serta kepala. Sehingga semakain kebawah ukuran vertebra semakin besar
sesuai berat yang diterima setiap segmen.Pada vertebra 80% axial load diterima
columna anterior sedangkan 20% pada bagian posterior terutama facet yang kemudian
semua beban di teruskan ke ekstremitas inferior.
Bagian otot posterior dengan menggunakan efek tension akan membantu
posisi tegak dan menstabilkan tulang belakang pada bidang sagittal dan coronal.
Kumpulan otot ini disebut tension band. Rusaknya columna posterior maupun anterior
akan merubah keseimbangan tulang belakang pada pelvis dan hip yang akan
21

mengakibatkan kelelahan pada kumpulan otot tersebut. Sedangkan apabila yang


terganggu otot-otot tersebut maka keseimbangan tulang belakang akan terganggu

2.7 PATOGENESIS SPONDYLITIS TUBERKULOSA


Penyakit ini merupakan infeksi kronis yang di timbulkan oleh kuman spesifik
Mycobacterium Tuberculosa. Penyakit ini merupaka tuberculosa sekunder akibat
dari tuberculosa yang ada di tempat lain. Spondilitis tuberculosa sering disebabkan
penyebaran secara hematogen (sering disebut Potts desease) . spondylitis tuberculosa
merupakan 50% dari infeksi tuberculosa pada tulang. Bagian yang paling sering
adalah lumbal atas, torakolumbal dan torakal bawah Pada dasarnya penyakit ini akan
merusak discus intervertebralis dan corpus vertebra yang dekat focus infeksi yang
akan menyebabkan wedging dari corpus tersebut (1).
Secara umum diterima bahwa penyebab paling banyak spondylitis tuberculosa
berasal dari penyebaran infeksi secara haematogenous, dari sumber infeksi yang lebih
jauh, dimana paling sering berasal dari sistem respirasi dan traktus urinarius (1). Hal
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Batson dan Henriques dimana
menduga bahwa penyebaran haematogenous melalui aliran vena ke tulang belakang
menyebabkan spondylitis tuberculosa. Secara umum pada stadium dini penyakit ini
mempunyai patogenesis yang sama dengan spondylitis pyogenik. Arteri nutrisia
mempunyai susunan dasar yang sama di daerah cervical, torakal, dan lumbal; arteri
vertebralis, intercostalis, atau lumbalis berada sangat dekat dengan corpus vertebrae,
beberapa pembuluh darah mengadakan penetrasi korteks.
Proses perjalanan penyakit ini membutuhkan proses yang lama. Bakteri yang
berkumpul pada jaringan dimakan oleh mononuclear cells. Pada tuberculosa
gabungan mononuclear cells, sel epitheloid sert tubercle yang dikelilingi sel limfosit
akan menghasilkan proses nekrosis kaseosa atau proses pengejuan. Maka akibatnya
akan merangsang peningkatan respon inflamasi sehingga terjadi liquefication dan
eksudasi, maka cold abscess terbentuk.
Fokus primer spondylitis tuberculosa dimulai dari bagian anterior corpus
vertebra 82% dan bagian posterior 18%. Proses infeksi ini akan meluas ke bertebra

22

yang lain melalui ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melalui
discus interertebralis. Namun penyebaran infeksi jarang mengenai discus karena
discus intervertebralis relatif avaskuler. Apabila terkena biasanya merupakan sekunder
karena terganggunya aliran darah sehingga terjadi avaskular nekrosis. Infeksi pada
dicus ini juga dimungkinkan apabila bakteri menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior
Hodgson menyatakan bahwa, penyebaran melalui sistem plexus venosus
paravertebralis dari Batson sering sebagai cara penyebaran spondyllitis tuberculosa,
didasarkan pada beberapa hal:

Ditemukan insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya spondylitis tuberkulosa


dibandingkan dengan pyogenik osteomyelitis, dimana gambaran arteri
berbentuk gambaran percabangan pohon yang penting dalam terjadinya

kontaminasi vertebrae.
Predileksi yang jarang spondylitis tuberkulosa mengenai daerah hubungan

torakolumbal
Dihasilkan spondylitis tuberkulosa dengan menginjeksi bakteri tuberkulosa ke

dalam vena abdomen atau pelvis.


Spondylitis tuberkulosa gagal didapatkan secara eksperimental dengan
menyuntikkan bakteri tuberkulosa secara lokal pada vertebra atau ke ventrikel

kiri.
Didapatkan adanya kesamaan distribusi terjadinya spondylitis tuberkulosa dan
spondylitis pyogenik pada tindakan urologi, dimana plexus Batson diduga
merupakan jalan yang penting.

Terdapat 3 jenis spondylitis tuberculosis: Peridiscal, central, anterior.


Untuk tipe anterior infeksi meluas melalui ligamentum longitudinal anterior yang
dapat mengenai beberapa segmen. Dari gambaran anterior didapatkan erosi yang
berlekuk-lekuk di bagian anterior
Pada tipe sentral infeksi dimulai dari daerah tengah corpus vertebra yang akan
menyebabkan kolaps pada corpus vertebra yang akan menimbulkan deformitas
dan bentukan vertebra plana (1).
Didapatkan

bentukan

yang

tidak

khas

sekitar

10%

dari

spondylitis
23

tuberkulosa.Terdapat dua tipe yaitu: yang mengenai arcus neuralis, destruksi terjadi
pada komponen arcus neuralis (pedicle, lamina, processus spinosus, dan processus
transversus); extradural extraosseus spinal tuberculosis, suatu epidural tuberculoma,
tidak ditemukan adanya kelainan tulang
Perjalanan penyakit pada spondylitis tuberculosa terdiri dari dua periode aktif dan
periode sisa penyakit:
-Periode aktif penyakit:
Pada awalnya pada focus infeksi dekat corpus vertebra, yang akan membuka
kearah discus yang terdekat. Kemudian akan menyebar di keatas adan ke bawah
melalui ligamentum longitudinal anterior yang akan menyebar ke corpus vertebra dan
discus terdekatnya. Pada daerah cervical dapat menyebar ke daerah retropharyng atau
trigonum belakang leher. Abses dapat menyebar pula ke daerah supraclaviculer, atau
dapat membentuk abses mediastinal bila turun kebawah akibat gravitasi dibawah
fascia prevertebra. Penekanan atau sumbatan trachea dapat terjadi bila didapatkan
abses yang besar. Di daerah torakal, abses pada sisi lateral bergabung membentuk
massa fusiforme yang disertai gambaran lekukan-lekukan pada sisi anterior dan lateral
corpus vertebrae, dimana selanjutnya abses menyebar ke ruang intercostal.
Penyebaran abses di daerah torakolumbal atau lumbal kearah bawah mengumpul di
dekat musculus psoas, membentuk abses psoas. Sedangkan di daerah lumbosacral,
dapat mencapai daerah bokong maupun ke depan di otot psoas mencapai inguinal atau
kebelakang menuju ruang epidural atau dapat menjadi intradural abses.
Abses pada tuberculosa merupakapan cold abscess yang berisis pus yang
mengandung massa kaseosa. Ruang

abses ini akan mengalami sklerotik dan

kalsifikasi yang menimbulkan kelainan vertebra dalam derajat tertentu karena


pemulihan tulang yang lambat apabila status imunologi penderita tersebut cukup baik.
Sebaliknya apabila status imunologi yang kurang, abses dan basil tuberculosa
mencapai daerah paradiscus dari vertebrae yang berdekatan, dapat ekstensi ke anterior
mengenai beberapa corpus vertebrae karena adanya abses dekat periosteum dan
ligementum longitudinal anterior. Disini terjadi nekrosis tulang akibat terlepasnya
periosteum disertai oklusi dari kapiler. Corpus juga mengalami perlunakan sehingga
tidak tahan terhadap gaya kompresi, sehingga membutuhkan proteksi yang adekwat

24

untuk mencegah terjadinya kiphotik deformity. Apabila tidak di proteksi maka


rusaknya anterior vertebra disertai pertumbuhan arcus posterior akan menyebabkan
kiphotik deformity pada usia muda. Apabila penderita dapat bertahan akan terjadi
perbaikan tulang lambat yang akhirnya terbentuk blok tulang vertebrae yang cukup
kuat. Pada keadaan lain, tidak terjadi union tulang sehingga timbul pseudoarthrosis
intrafokal. Aliran darah dan difusi dari anastomose endplate terhenti menyebabkan
kerusakan discus. Pada kondisi lanjut, corpus akan kolaps pada setiap sisi discus,
dengan perforasi endplate sehingga abses dapat menyebar ke berbagai arah. Proses
penyakit ini akan dapat menimbulkan deficit neurologis karena tekanan terhadap
medulla spinalis oleh abses atau epidural granuloma, sekuester tulang dan discus.

Periode kronis
Pada periode kronis dapat terjadi kerusakan anterior yang ekstensif yang
menyebabkan kiphotik deformity. Pada fase ini terdapat yang bentukan di kenal
dengan nama gibus adaalah penyudutan yang tajam yamng merupakan penonjolan
arcus posterior di bawah kulit. Lokasi dan beratnya kerusakan vertebra menentukan
derajat angulasi dari kifosis, lebih berat apabila mengenai lebih dari satu atau dua
vertebra. Sering derajat kifosis yang besar tidak menimbulkan gangguan pada medulla
spinalis secara bermakna.
Pada dasarnya pada ada dua macam lesi residual tuberculosa yaitu lesi
intravertebra dan lesi ekstraspinal. lesi intravertebrae dapat sebagai cavitas dengan
dinding fibrous, intervertebrae dengan adanya kalsifikasi parsial massa kaseosa
didalam ruang discus. Lesi ekstraspinal didapatkan adanya abses mediastinum, yang
bisa bilateral atau unilateral. Gambaran khasnya adalah nanah mengisi kantongan
besar, dengan dinding yang terkadang mengalami kalsifikasi. Di dalam canalis
spinalis, abses yang terbentuk dapat berhubungan dengan abses mediastinum dan juga
menyebabkan penebalan duramater, perlengketan.
Deficit neurologis pada fase ini dapat disebabkan karena pembentukan abses, jaringan
fibrosis, sekuester dalam kanalis spinalis maupun kolapsnya vertebra.
Pada dasarnya ada tiga jalur penyebaran vertebra

25

1. Penyebaran jalur utama


Penyebaran infeksi kuman Mycobacterium berlangsung secara sistemik
sepanjang arteri perifer termasuk ke dalam korpus vertebra melalui arteri
segmentalis atau segmentalis lumbal yang memberi aliran separuh korpus
yang berdekatan, sehingga setiap korpus vertebra di beri oleh empat buah
arteri nutrisia. Didalam corpus, arteri ini berakhir sebagai end artery tanpa
anastomosis. Oleh karena itu, perluasan infeksi corpus sering mulai
paradiscus.
2. Penyebaran jalur kedua
Penyebaran infeksi mycobacterium melalui pleksus batson, yaiatu suatu
anyaman vena epidural dan peridural. Vena dari korpus keluar melalui bagian
posterior. Pleksus ini beranastomose dengan vena dasar otak, dinding dada,
intercostal,lumbal dan vena pelvis
3. Penyebaran jalur ketiga
Merupakan penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah
terbentuk sebelumnya, lalu menyebar sepanjang ligamentun longitudinale
anterior dan posterior ke korpus vertebra yang berdekatan
Kumar membagi perjalanan penyakit spondylitis tuberculosa menjadi 5 stadium:
1. Stadium implantasi
Saat daya tahan tubuh penderita menurun, mycobacterium tuberculosis yang
telah berada dalam tulang akan berduplikasi membentuk koloni. Pada dewasa
uumumnya terjadi di daerah paradiscus, sedangkan anak-anak

didaerah

sentral vertebra. Proses ini terjadi selama 6-8 minggu


2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi corpus vertebra serta
penyempitan discus yang ringan. Proses ini terjadi selama 3-6 minggu
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif , kolaps vertebra dan
pembentukan masa kaseosa serta pus yang bebbentuk cold abscess (abses
dingin). Proses ini terjadi 2-3 bulan setelah destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan discus intervertebralis, diikuti dengan
pembentukan tulang baji, terutama di bagian depan (wedging anterior) karena
kerusakan korpus vertebra. Pada stadium ini terjadi kiphosis atau
pembentukan gibbus
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis tetapi terjadi

26

karena penekanan ke kanalis spinalis. Ganggaun ini ditemukan pada 10% dari
seluruh komplikasi spondylitis tuberculosa. Vertebra torakalis memiliki
kanalis spinalis yang lebih kecil, sehingga gangguan neurologis lebih mudah
terjadi pada daerah ini
5. Stadium deformitas residual
Deformitas residual terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.
Kiphosis atau gibbus bersifat permanen akibat kerusakan vertebra yang masif
di bagian anterior.

2.8 DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan
yang tinggi di daerah endemis,keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik lainnya,
yang ditunjang pemeriksaa hematologis, radiologis, bakteriologis dam histopatologis.
Keterlambatan maupun kesalahan diagnosa sering kali terjadi, dikarenakan perjalanan
penyakit yang kronis.

Anamnesa
Seringkali pada penyakit ini pasien dating dengan keluhan utama nyeri.
Seringkali nyeri timbul beberapa waktu sebelum terjadinya myelopathy atau
kelemahan.
Keluhan yang lain yang sering dirasakan penderita adalah badan lemah,
kelelahan, keringat malam hari, dan menurunnya berat badan. Apabila terjadi abses
pada leher dapat mengalami suara serak karena lesi nervous laryngeus recurrent,
dysphagia, stridor respiratorik.
Dari pemeriksaan klinis dapat ditemukan gibus atau kiphotik deformity,
pembengkakan lokal dengan fluktuasi dan sinus. Selain itu dapat ditemukan abses
paravertebra, iritasi hip dan fluktuasi didaerah femoral triangle mungkin terjadi. Abses
yang terjadi berupa abses dingin, tanpa disertai tanda radang (1).

27

Evaluasi Radiologis
Evaluasi foto polos (gambar 9) memberikan hasil yang bervariasi tegantung
pada tipe patologik dan kronisitas dari infeksi. Rarefaksi tulang dapat ditemukan pada
fase awal. Terkenanya daerah peridiscal dapat terjadi penyempitan ruang discus, yang
diikuti destruksi tulang seperti halnya infeksi pyogenik. Bila mengenai bagian anterior
dari corpus yang multiple, beberapa corpus yang berdekatan mengalami erosi bentuk
berlekuk-lekuk. Terjadi rarefaksi dan destruksi tulang yang menyebabkan kolaps pada
corpus bagian sentral yang terkena. Kolaps vertebrae disebut sebagai concertina
collaps oleh Seddon.Gambaran radiologis awal sering terlihat lebih jauh berubah,
berbeda dengan infeksi pyogenik dimana kemungkinan terlihat normal pada stadium
awal. Pada daerah torakal lebih umum terdapat lesi tipe sentral sedangkan pada
daerah lumbal lesi peridiscal lebih sering. Dibandingkan tipe peridiscal, tipe sentral
lebih banyak dan sering menyebabkan kolaps. Sekitar 2%-10% ditemukan lesi primer
2
di daerah posterior yang mungkin tidak terdeteksi dengan foto polos biasa. Diagnosis
atas perubahan radiologis tidak adekwat pada sekitar 10% kasus.
Kelainan pada paru dan adanya abses paraspinal dapat terlihat dengan evaluasi
foto dada. Dari foto polos tidak dapat dibedakan adanya fibrosis atau edema
paravertebra dari bentukan abses tersebut. Dapat terlihat adanya kalsifikasi pada otot
psoas pada abses psoas yang lama.

19

Penggunaan radionucleide scanning dengan technetium atau gallium dapat


membantu

menunjukkan

penyebaran

penyakit

akan

tetapi

tidak

spesifik.

Direkomendasikan menggunakan gallium untuk diagnosis dan memonitor respon


terapi pada tuberculosis ekstrapulmoner. Menurut Gorse dkk. gallium scanning sangat
bermanfaat apabila ada dugaan tuberculosa diseminata. Sensitifitas radionucleide
scanning rendah untuk kasus tuberculosis, sekitar 35% technetium scanning yang
negatif dan gallium scanning negatif pada 70% kasus.
Seberapa luas infeksi mengenai tulang dan adanya kompresi medulla spinalis
dapat dieveluasi dengan computerized tomografi. CT berguna untuk melihat

28

perubahan jaringan lunak sekitar tulang belakang, dan di dalam canalis spinalis, tetapi
didak dapat membedakan abses dari jaringan granulasi. Nilai diagnosis CT dinilai
kecil.
Modalitas pilihan untuk diagnosis adalah MRI, karena dapat menunjukkan
kelainan tulang dan jaringan lunak(21). Gambaran MRI discus intervertebralis yang
normal menunjukkan adanya resistensi discus terhadap infeksi tuberculosis. Resolusi
kontrasnya sangat baik pada semua bidang sehingga untuk diangnosa dan evaluasi
spondylitis tuberculosa lebih mudah. MRI mempunyai sensitifitas sekitar 96%,
spesifitas 92% dan akurasi total 94% untuk diagnostik osteomyelitis spinalis
pyogenik. Oleh karena itu MRI (gambar 10) merupakan saran diagnostik yang terbaik
untuk spondylitis tuberculosa (1).
Dibandingkan dengan CT, meskipun MRI mempunyai resolusi kontras yang
lebih baik akan tetapi tetap mempunyai kelemahan. Selain itu CT mempunyai special
resolution yang lebih tinggi, sehingga anatomi dan keadaan patologi tulang
ditunjukkan dengan lebih baik (21).

Gambar 9.X-ray

29

Gambar 10. X-ray dan MRI Spondylitis TB

Evaluasi Laboratorium
Darah
Anemia hipokrom pada spondylitis tuberculosis sering ditemukan dalam
pemeriksaan hematologi. Jumlah leukosit diadapatkam peningkataan, dan shift to the
right pada pemeriksaan diff count. Pemeriksaan yang lain menunjukkan peningkatan
Laju Endap Darah (LED) meskipun pemeriksaan ini tidak spesifik, tetapi dapat
menggambarkan apakah penyakit ini sedang aktif atau tidak, dan apakah sudah
mengalami kesembuhan (25).
Bakteriologi
Pada tahun 2005 Prijambodo dkk. mengevaluasi lebih dari 800 kasus
30

spondylitis di RSUD Dr. Soetomo dalam penegakan diagnosa mengungkapkan selain


dengan pemeriksaan histopatologi, dapat juga dilakukan evaluasi denganpengecatan
Ziehl Neelsen dan pengecatan Acridine.Pemeriksaa bakteriologi dan histopatologis
memerlukan specimen yang diambil melalui sputum, biopsy atau operasi.
Pemeriksaan hasil biopsy dapat diamati baik secara mikroskopis dengan mikroskop
biasa, fluoresen, aatau melalui biakan. Kemudian dievaluasi menggunakan pewarnaa
Ziehl Neelsen atau pengecatan Acridine.
ICT-TB (ImunoCromatografi Test- Tuberculosa)
Pemeriksaan ini merupakan suatu pemeriksaan diagnostik serologis untuk
mendeteksi

Mycobacterium

Tuberculosis

dengan

mendeteksi

antibody

antituberkulosis yang dihasilkan tubuh penderita. Sensitivitas imunokromatografi


untuk tuberculosis paru bervariasi antar 75-93% dengan spesifisitas 87-92%.
Sedangkan sensitivitas untuk tuberculosis ekstra paru lebih rendah yaitu 61-86% dan
spesifisitas 60-80%.
Tuberkulin tes
Tes tuberculin ini dilakukan dengan cara menyuntikkan PPD 5 TU (0,1 ml)
secara intrakutan. Reaksi dari tubuh dibaca setelah 48-72 jam dengan menguukur
indurasi yang timbul. Hasil uji mantoux negative jika indurasi <5mm. Jika indurasi
>10mm menunjukkan hasil positif sedangkan 5-9 mm meragukan sehingga perlu di
ulang.
PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR dapat mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis yang jumlahnya terlalu
sedikit untuk dapat diperiksa secara mikroskopis ataupun bakteriologis dengan cara
tehnik amplifikasi DNA (22). Spesimen di ambil dari sputum pada penderita
tuberculosis paru maupun darah pada tuberculosis ekstraparu. Nilai sensitivitas dan
spesifisitas PCR dari hasil penelitian terhadap penderita spondylitis TB sangat baik
yaitu sensitivitas 94,7% dan spesifisitas 83,3%.

2.9 PENATALAKSANAAN

31

Non operatif:
Terapi non operatif terdiri dari berbagai macam terapi, yaitu pemberian OAT,
bed rest, eksternal support seperti brace maupun cast. Terapi non operatif ini di
indikasikan untuk untuk penyakit yang mild dan moderate dimana tidak adanya
pembentukan abses, spinal deformitas, instability deficit neurologis dan nyeri yang
menghebat (2), dimana terapi konservatif ini akan memberikan hasil yang baik (14).
Khusus untuk OAT akan diberikan juga walaupun kita memberikan terapi operatif
pada spondylitis TB.
Pada Spondilitis TB obat antituberculosa memainkan peranan penting dalam
penyembuhan pasien kasus ini. Efikasi dari obat antituberkulosis dalam pengobatan
kasus ini menurut beberapa penelitian sangat baik. Mendiagnosa penyakit ini sedini
mungkin

agar terapi OAT yang adekuat dan seawal mungkin dapat membantu

mencegah komplikasi dari spondylitis TB. Kombinasi dari OAT ini adalah
Rifampicin, isoniazid, etambutol dan pyrazinamide selama dua bulan awal diikuti
dengan kombinasi rifampicin dan isoniazid selama 6,9,12 atau 18 bulan. Kalau
menurut WHO mengemukakan OAT sebaiknya diberikan selama 6 bulan dengan
regimen rifampicin, isoniazid, etambutol dan pyrazinamide selama dua bulan awal
diikuti dengan kombinasi rifampicin dan isoniazid selama empat bulan. Sedangkan
American Society memakai regimen dengan fase awal selama dua bulan dengan fase
lanjutan selama Sembilan bulan, berbeda dengan Canadian Society yg menetapkan
OAT selama 12 bulan. Biasanya setelah 4-6 minggu pemberian OAT gejala dan nyeri
pada spondylitis TB akan mengalami perbaikan disertai penurunan LED dan CRP.
Pada dasarnya OAT dapat memperbaiki deficit neurologis oleh karena itu OAT
merupakan pengobatan yang lebih utama pada spondylitis TB dibandingkan tindakan
pembedahan. Tetapi untu kasus yang dindikasikan dilakukan pembedahan kombinasi
dari pemberian OAT pembedahan dan pemantauan efek samping OAT dapat menekan
timbulnya resistensi kuman TB terhadap OAT (3).
Tabel 1. Regimen OAT (Obat Anti Tuberculosis)
Kategori

Klasifikasi

dan

tipe Paduan obat

32

Pengobatan TB

penderita TB

Fase intensif (tiap Fase lanjutin


ari atau 3x/minggu)

Kasus baru BTA(+)

2HRZE

Kasus baru BTA (-), Ro 2HRZE


(+)

dengan

4H3R3
4HR

kelainan

parenkim paru yang luas/


sakit berat
Kasus baru pada TB 2HRZE

6HE

ekstraparu yang berat


II

III

Pasien :

2HRZES

5H3R3E3

Kambuh (relapse)

/1HRZE

5HRE

Gagal (failure)

2HRZES

Putus obat (after default)

/1HRZE

Kasus

baru 2HRZ*2HRZ

BTA(-),Ro(+),

sakit

4H3R3*6HE

ringan
Kasus

TB

ekstraparu 2HRZ

4HR

ringan
IV

Kasus kronik

Jenis OAT

Sifat

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)


Harian

3x/minggu

Isoniazid (H)

Bakterisid

5 (4-6)

10 (8-12)

Rifampicin (R)

Bakterisid

10 (8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

25 (20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S)

Bakterisid

15 (12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

15 (15-20)

30 (20-35)

33

Terapi Operatif
Terapi operatif ini sangat penting dalam pengobatan spondylitis TB tetapi
tidak semua kasus dilakukan terapi operatif, terapi dilakukan sesuai adanya indikasi.
Indikasi dari terapi operatif pada penyakit ini adalah
1. Adanya deficit neurologis,
2. Ditemukannya abses paravertebral,
3. Terdapat spinal instability,
4. Progresifitas kiphotik deformity
5. Nyeri punggung yang hebat (5).
Keuntungan dari tindakan operatif ini adalah berkurangnya sudut kiphosis ,
mengurangi nyeri, mendekompresi dari medulla spinalis, meningkatkan presentase
fusi dari tulang, mengurangi bone loss , mencegah deficit neurologis dan yang
terpenting adalah mengembalikan kemampuan ambulasi serta kemampuan aktifitas
sehari-hari.(1) Apabila tidak segera dilakukan tindakan operatif maka akan
memperberat derajat kiphosis, dapat juga menganggu sistem respirasi pada spondylitis
TB torakal, nyeri yang hebat dan paraplegia. Maka sangat direkomendasikan
dilakukan operasi seawall mungkin untuk mencegah spinainstability dan neurologis
deficit. Prijambodo dan Martiana (1996) mengevaluasi 12 kasus spondylitis
tuberculosis cervicalis yang dilakukan pembedahan, dimana menunjukkan pemulihan
100%

Tehnik operasi
Pada dasarnya hasil terapi akan semakin baik apabila operasi dilakukan saat
penyakit dalam stadium aktif karena apabila dilakukan terlambat fibrosis akan
mempersulit tehnik operasi. Secara keseluruhan pembedahan yang dilakukan
bertujuan drainase abses dan debridement sequester dan diskus, dekompresi medulla
spinalis, koreksi deformitas serta stabilisasi posterior. Prijambodo dan Martiana
(1996) mengevaluasi 12 kasus spondylitis tuberculosis cervicalis yang dilakukan
34

pembedahan, dimana menunjukkan pemulihan 100%. Pada dasarnya di Surabaya


kami lakukan dengan dua tahap, yaitu debridement dari anterior untuk mengevakuasi
seluruh kaseosa dan sequester samapai tulang sehat diatas dan dibawah serta ke
belakang ke ligamentum longitudinal posterior kemudian di fusi dengan strut bone
graft kemudian untuk tahap kedua distabilisasi posterior dan dilakukan koreksi
kifosis.
Tehnik

operatif

yang

dilakukan

adalah:

1.Dekompresi

posterior

2.

Debridement anterior disertai fusi dengan bonegraft 3.anterior debridement disertai


fusi posterior dengan instrumentasi 4. Fusi posteriror dengan simultan atau secara
bertahap dengan anteriror debridement dan fusi.
Untuk

approach

anterior

debridement

Prijambodo

mempopulerkan

Thoracophrenicolumbotomy Approach untuk level torakolumbal, lumbotomy


approach untuk daerah lumbal sedangkan pada daerah torakal dilakukan dilakukan
dengan pendekatan transtorakal menlalui costotransversectomy. Approach ini
memiliki keuntungan akses langsung ke fokus infeksi (16).
Anterolateral approach sangat baik dan aman untuk digunakan apabila ada
spondylitis tuberculosa mulai dari level torakal 2 sampai lumbal 5 karena memiliki
exposure yang luas Dengan approach inin maka dapat dilakukan beberapa tindakan
seperti anteriror debridement dan dekompresi, bonegraft, fusi, dan koreksi kiphosis.
Pada umumnya apababila terdapat infeksi pada tulang sebaiknya tidak dilakukan
pemasangan implant, tetapi pada kasus ini aman untuk dilakukan pemasangan
instrumentasi apabila telah diyakinkan telah dilakukakn debridement yang sangat
baik. Banyak ahli yang berkeyakinan bahwa alograft dan anterior instrumentasi
memiliki hasil yang baik dalam penanganan spondylitis TB dan akan semakin lebih
baik apabila dilakukan stabilisasi posterior untuk mencegah kifosis. Beberapa ahli
mengemukakan tindakan operatif yang menggunakan 2 approach yaitu anterior dan
posterior dapat memperbaiki kiphosis daripada yang hanya menggunakan satu
approach (27). Kombinasi approach dapat digunakan melalui dua cara yaitu 1.
debridement anterior dan fusi terlebih dahulu kemudian stabilisasi posterior atau
stabilisasi posterior yang terlebih dahulu kemudian debridement dan fusi anterior.
Secara klinis maupun radiologis memberikan hasil yang sama antara kedua cara
kombinasi ini, namun metode 2 tahap ini memmpunyai keuntungan yaitu akan
35

menurunkan lama waktu operasi, mengurangi jumlah perdaraha(23) . Cara kombinasi


mana yang dipilih bergantung pada kondisi pasien
Untuk graft tulang yang dapat digunakan adalah crista iliaca, costae, dan
fibula. Rajasekaran mengemukakan costa sangat baik digunakan untuk segmen
torakal. Sedangkan graft fibula sangat baik secara struktural tetapi kurang baik untuk
kasus-kasus infeksi. Graft terbaik untuk semua level segmen adalah dari crista iliaca.
Saatinidalammenanganikiphotikdeformitycageseringdigunakanterutama
penderitayangmempunyaibonedefekyangbesar.Implaninisangatbergunabagi
pasien yang terkena spondylitis TB dengan beberapa level vertebra yang terkena
sehingga dapat mengurangi jumlah graft yang dibutuhkan untuk fusi anterior.
Disamping itu sangat berguna bagi orang yang mengalami osteoporosis dengan
kualitastulangiliacyangrendahuntuksebagaigraft(19)(30). Dalam pemasangannya
cage maupun bonegraft harus ditempatkan dalam posisi yang stabil, sehingga saat di
kompresikan dengan menuggunakan PSR, cage dan bonegraft tetap pada tempatnya
(29).(34)
Meskipun ada ahli yang mengatakan posterior approach saja yang
dikombinasikan dengan debridement instrumentasi dan autobonegraft dapat menjaga
stabiliitas tulang belakang, dan mencegah kiphotik deformity(24), atau ada beberapa
ahli yang berpendapat fusi anterior dengan instrumentasi saja sangat baik untuk
menangani dan mencegah progresivitas dari kiphotik deformity (21), fusi posterior
dengan instrumentasi diindikasikan setelah dekompresi anterior , fusi dan grafting .
Hal ini dikarenakan posterior fusion sendiri tidak dianjurkan kalau tidak dilakukan
anterior fusion juga, karena tidak menerapi masalah primernya(2). Untuk melakukan
kedua hal tersebut dibutuhkan fiksasi interna. Pemakaian fiksasi interna menggunakan
berbagai macam implant bertujuan untuk memberikan stabilitas, mempertahankan
koreksi deformitas, dan menjaga inkorporasi dari graft. Berbagai macam jenis implant
yang dapat digunakan baik dipasang di anterior maupun di posterior dapat digunakan
antara lain wire, plate, cage, maupun pedicle screw (gambar 11). Untuk spondylitis
tuberculosa, kuman penyakit ini tidak membuat lapisan biofilm sebanyak infeksi
pyogenik, sehingga lebih aman untuk dipasang instrumentasi pada kasus ini (26).
Penyakit ini sering menimbulkan kiphotik deformity. Rata-rata kiphotik

36

deformity terjadi pada pasien anatar 15-60 derajat. Progresivitas terjadi pada dua fase
yaitu 1 pada fase aktif dan 2 setelah fase penyembuhan. Menurut Erturer et al Untuk
mencegah timbulnya progresifias dari kiphotik deformity , fusi spinal 360sangat
dianjurkandenganmenggunakancagedanstabilisasiposteriorPSR(2)(30).
Kiphotikdeformitypadaspinaltuberculosisharusdilakukantindakanoperatif
untuk mengembalikan alignment , mengurangi nyeri dan mengeradikasi infeksi.
Terutama apabila kiphotik deformity lebih dari 50 harus dikoreksi untuk
mengembalikansagitalbalancebaikdarianteriormaupunposteriorbahkanreseksi
columnvertebraldiperlukanapabilaterdapatrigiddeformitydankiphotikdeformity
yangberat(6).

Gambar 11. PSR dan cage


Tehnik Insersi pedikel and screw
Pedikel and screw adalah instrumentasi yang digunakan memberikan kestbilan
dari vertebra dengan memakai tiga columna vertebra melalui pendekatan posterior.
Tehnik menginsersikan screw (gambar 12 &13)melalui edikel karena menurut RoyCamille pedikel adalah bagian terkuat vertebra. Pedikel ini mempunyai bentukan
silindris dengan tersusun dari tulang cancellous di dalam dan tulang kortikal di luar.
Ukuran diameter pedikel semakin ke bawah semakin membesar mulai dari Th 1

37

samapai L5 dengan diameter horizontal O,7 cm sampai 1.6cm dan diameter vertikal
dari 0,7cm samapai 1,5 cm. Dan pada bidang sagital pedikel ini mempunyai hamper
lurus dengan bidang ini.
Dikarenakan letak procesuss tranversus terhadap pedikel berbeda pada tulang
vertebra torakal bila dibandingkan dengan vertebra lumbal, maka landmark
penginsersian pada lumbal berbeda dengan torakal. Dikarenakan variasinya tersebut
penempatan dengan bantuan fluoroscopy atau dilihat secara langsung dan perabaan
pedicle melalui laminotomy sangat dinjurkan untuk vertebrae thoracalis. Pada level
T1-3, 4.5mm diameter screw dengan panjang 25-30 mm. Titik masuk screw pada
daerah torakal adalah segaris dengan bagian tengah processus transversus, dimana
sekitar 2 mm dibawah tepi inferior dari facet. Titik masuk dari pedikel vertebral
torakal juga dilewati garis vertical yang menghubungkan bagian tengah dari facet
joint. Pada vertebra torakal sudut dari pedikel mengarah dari posterolateral menuju
o
o
anteromedial dengan rata-rata 13.9 pada T4 sampai 0.3 pada T12.

Gambar 12.Insersi Pedicle Screw

38

Gambar 13 Insersi Pedicle Screw

Rockwood 7th ed

Sedangkan pada vertebrae lumbal, tempat masuknya pedicle screw secara


konvensional adalah pada perbatasan dari lateral facet dan processus transversus, atau
perpotongan dari garis vertical yang melalui facet joint dan garis horizontal yang
melalui processus transversus. Untuk pedicle vertebrae lumbal mempunyai sudut
o
posterolateral menuju anteromedial sebanyak 5 per level. Secara umum penempatan
o
o
o
o
o
pedicle screw adalah 5 pada L1 10 pada L2, 15 pada L3, 20 pada L4 dan 25
pada L5. Kalau menurut Louis pada level thoracal 1-3 adalah 3mm dibawah posterior
o o
joint dan 3mm dari tepi lateral dengan arah 15 -20 ke medial. Panjang screw antra
25-30mm. Pada level torakal 4-10 titik masuknya adalah perpotongan dari garis yang
memanjang di tepi superior dari processus transversus dan garis vertical 5mm dari
tepi lateral posterior joint. Arah screw tepat sagital dengan panjang screw antara 3040mm. Di daerah lumbal arah screw juga sagital yang merupakan perpotongan dari
tiga garis. Garis pertama merupakan garis vertikal yang melewati tepi terluar dari
articular interspace, garis kedua adalah garis horizontal yang melewati 1-2mm diatas
tepi inferior dari articular facet, dan garis ketiga merupakan garis bengkok 4mm
diatas dan didalam dari notch pada tepi luar dari pars interarticularis. Alat
instrumentasi yang digunakan pada stabilisasi posterior yang menggunaka pedikel
screw bisa berupa PSR dan PSP. Kedua alat ini tidak hanya sebagai stabilisasi teteapi
juga untuk reduksi. Untuk PSR reduksi menggunakan system distraksi dan kompresi ,
sednagkan pada PSP menggunakan tehnik prebending. Pada sistem pedikel dan screw
39

(gambar 14) yang digunakan sebagai acuan keberhasilan tehnik ini adalah Cobbs
angle vertebra pada saat sebelum operasi dibandingkan saat setelah operasi dan juga
dibandingkan dengan saat 3 bulan setelah operasi. Sehingga dapat diketahui hasil dan
kemampuan reposisi dan stabilisasi setelah 3 bulan operasi. Dalam hal ini semakin
kecil loss of correction maka semakin rigid instrumentasi tersebut.

Gambar 14. PSR

40

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN


Rancangan penelitian adalah retrospektif pada penderita spondylitis tuberculosa di
RSUD Dr Soetomo dari tahun Januari 2009-Januari 2014 yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
3.2 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
Kriteria inklusi:
1. Semua pasien dewasa laki-laki dan perempuan dengan spondylitis tuberkulosa
yang di lakukan terapi operatif dengan anterior debridement dan instrumentasi
stabilisasi posterior dengan atau tanpa cage beserta mengkonsumsi OAT di
RSUD Dr. Soetomo dari Januari 2009- Januari 2014
2. Semua pasien telah didiiagnosa spondylitis tuberculosa yang ditegakkan
melalui pemeriksaan klinis, laboratoris, radiologi, dan MRI
Eksklusi
1. Pasien yang menolak dilakukan perawatan
2. Pasien yang tidak diterapi scara lengkap baik dengan operatif dan pemberian
OAT

3.3 VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL


1. Variabel Penelitian
- Evaluasi dengan menggunakan Frankel, sudut kyphosis, nilai VAS
(Visual Analogue Scale) , nilai ODI (Oswestry Dissability Index)
2. Variabel bebas
-Pasien spondylitis tuberculosa yang dicatat umur, jenis kelamin,

41

3. Variabel Kendali
- Pasien yang telah memenuhi kriteria inklusi
- Pasien yang telah didiagnosa secara klinis,laboratoris, dan radiologis di
-

RSUD dr SOETOMO
Pasien dievaluasi dengan menggunakan ODI, VAS, Frankel dan derajat
kiphosis

Definisi Operasional Variabel


Penderita yang dimasukkan pada penelitian ini adalah semua penderita spondylitis
tuberculosa yang dilakukan terapi operatif dengan anterior debridement dan
instrumentasi stabilisasi posterior dengan atau tanpa cage beserta pemberian OAT di
Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya periode Januari tahun 2009 sampai Januari
tahun 2014
Oswestry Dissability Index
Oswerstry Dissability Index adalah suatu kuesioner alat yang digunakan untuk
meneliti dan mengevaluasi serta mengukur ketidakmampuan fungsi penderita seharihari secara permanen yang diakibatkan kelainan pada tulang belakang
0-20: ketidakmampuan minimal dimana penderita masih dapat melakukan aktifitas
sehari-hari, penderita tidak membutuhkan terapi
21-40: ketidakmampuan ringan dimana penderita merasakan nyeri yang lebih
sehingga menyulitkan untuk duduk, mengangkat benda berat, maupun berdiri.
Kehidupan social dan tracel terganggu. Kemampuan merawat diri sendiri, kehidupan
sexual serta tidur tidak terlalu terganggu.. Dapat diterapi secara konservatif
41-60: ketidakmampuan berat dimana nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi
pusat masalah

dalam menjalani

aktifitas

sehari-hari, untuk itu perlu di

lakukaninvestigasi yang mendetail apakah perlu dilakukan tindakan konservetif atau


operatif
61-80: ketidakmampuan yang menimbulkan gangguan nyeri yang mengganggu
seluruh aspek kehidpuan penderita, harus dilakukan tindakan intervensi atau operatif
80-100: ketidakmampuan yang sangat berat oleh karena nyeri sehingga penderita

42

tidak dapat beranjak dari tempat tidur

3.4 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr.Soetomo, Surabaya, pada periode Januari tahun
2009 sampai Januari tahun 2014

3.5 PROSEDUR PENGAMBILAN DAN ANALISA DATA


Penelitian retrospektif ini dilakukan dengan mengevaluasi penderita spondylitis
tuberculosa yang dilakukan anterior debridement & stabilisasi yang diberikan dengan
atau tanpa cage yang mengkonsumsi obat antituberculosis OAT di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya periode Januari tahun 2009 sampai Januari tahun 2014
Pencarian data dilakukan dengan mendata pasien dari data rekam medik yang
kemudian dilakukan evaluasi dengan melakukan penelusuran dengan:
1. Mendatangi alamat pasien
2. Menghubungi pasien lewat telepon
3. Melacak pasien di poli rawat jalan.

BAB IV
43

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini ada 40 pasien spondylitis tuberculosa yang dirawat oleh
bagian orthopaedi RSUD dr Soetomo yang telah dilakukan anterior debridement dan
stabilisasi posterior yang dapat dievaluasi.
4.1 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan usia
Tabel 2 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan usia
Tabel 2
Usia

Jumlah

Presentase

<20 tahun

15%

20-29 tahun

17

42,5%

30-39 tahun

15%

40-49 tahun

22,5%

>50 tahun

5%

Total

40

100%

Berdasarkan tabel distribusi usia terbanyak penderita pada rentang usia 20-29
tahun (42,5%). Sedangkan jumlah penderita paling sedikit pada rentang usia >50
tahun (5%). Dengan rata-rata usia pasien yang dievaluasi 30 tahun

44

Grafik 4.1 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan usia mulai januari 2009 sampai
januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.2 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan jenis kelamin
Tabel 3 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan jenis kelamin
Tabel 3
Jenis Kelamin

Jumlah

Presentase

Laki-laki

21

52,5%

Perempuan

19

47,5%

Total

40

100%

Berdasarkan tabel distribusi jenis kelamin penderita , tidak banyak perbedaan


jumlah antara laki-laki dan perempuan yaitu penderita berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 21(52,5%), sedangkan sisanya berjenis kelamin 19 (47,5%)

45

Grafik 4.2 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan jenis kelamin mulai januari 2009
sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.3 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan jumlah segmen yang terkena.
Tabel 4 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan jumlah segmen yang terkena.
Tabel 4
Jumlah segmen yang

Jumlah

Presentase

1 segmen

15%

2segmen

21

52,5%

3 segmen

22,5%

4 segmen

7,5%

>4 segmen

2,5%

Total

40

100%

terkena

46

Berdasarkan tabel 4 distribusi penderita spondylitis tuberculosa terbanyak


mengenai 2 segmen vertebra sebanyak 21 kasus (52,5%) sedangkan yang paling
sedikit mengenai yang >4 segmen sebanyak 1 kasus (100%).

Grafik 4.3 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan jumlah segmen yang terkena
mulai januari 2009 sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.4 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan level dari lesi.
Tabel 5 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan level lesi yang terkena
Tabel 5
Level lesi

Jumlah

Presentase

Cervical

0%

Torakal

11

27,5%
47

Torakolumbal

13

32,5%

Lumbal

15

37%

Sacral

2,5%

Coccigeal

0%

Total

40

100%

Berdasarkan tabel 5 distribusi penderita spondylitis tuberculosa terbanyak


mengenai level lumbal sebanyak 15 kasus (37%) sedangkan untuk level coccygeal
dimana tidak ditemukan kasus spondylitis TB pada level ini.

Grafik 4.4 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan level dari lesi mulai januari 2009
sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.5 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement

dan stabilisasi posterior berdasarkan sudut

kifosis sebelum

operasi
Tabel 6 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang

48

telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan sudut kiphosis sebelum
operasi.
Tabel 6
Sudut kiphosis

Jumlah

Presentase

7,5%

o
o
11 -20

17,5%

22,5%

22,5%

11

27,5%

Total

40

100%

-10

21
31

-30
-40

> 40

Berdasarkan tabel 6 distribusi penderita spondylitis tuberculosa sebelum di


operasi terbanyak dengan sudut kiphosis >40

sebanyak 17 kasus (27,5%) dengan

o
o
o
rata-rata 41,2 sedangkan yang paling sedikit dengan sudut 0 -10 sebanyak 3
kasus(7,5%).

49

Grafik 4.5 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan sudut kifosis sebelum operasi
mulai januari 2009 sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.6 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan sudut kiphosis pada saat
evaluasi terakhir minimal 3 bulan pasca operasi
Tabel 7 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan sudut kiphosis pada saat
evaluasi terakhir minimal 3 bulan pasca operasi
Tabel 7. Sesudah operasi
Sudut kiphosis
0

-10

Jumlah

Presentase

20

51,2%

17,9%

17,9%

5,1%

o
o
11 -20
21
31

o
o

-30
-40

50

>40

Total

7,6%

39

100%

Evaluasi terkhir minimal 3 bulan sesudah operasi


Sudut kiphosis
0

-10

Jumlah

Presentase

20,5%

17

43,5%

20,5%

7,7%

7,7%

39

100%

o
o
11 -20
21
31

o
o

>40

-30
-40
o

Total

Berdasarkan tabel 7 distribusi penderita spondylitis tuberculosa pada saat


setelah operasi adalah 0

o
o
-10 (51,2%) dengan rat-rata 13,6 sedangkan evaluasi

o
o
terakhir minimal 3 bulan pasca operasi terbanyak dengan sudut kiphosis 11 -20
sebanyak 17 kasus (43,5%) dengan rata-rata sudut kiphosis 19,102
paling sedikit dengan sudut >40

sedangkan yang

sebanyak 3 kasus(7,7%).

51

Grafik 4.6 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan sudut kifosis pada saat evaluasi
terakhir minimal 3 bulan pasca operasi mulai januari 2009 sampai januari 2014 di
RSUD dr Soetomo Surabaya
4.7 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan derajat reposisi
Tabel 8 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan derajat reposisi
Derajat reposisi
0
6

o
o

-5

-10

o
o
11 -15
16

-20

Jumlah

Presentase

20,5%

20,5%

17,9%

11

25,1%

52

>20

Total

17%

39

100%

Berdasarkan tabel 8 distribusi

penderita spondylitis tuberculosa dengan

o
o
derajat reposisi terbanyak dengan sudut 16 -20 sebanyak 11 kasus (25,1%) dengan
rata-rata 16

sedangkan derajat reposisi yang paling sedikit dengan sudut >20

sebanyak 5 kasus(15,1%).

Grafik 4.7 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan derajat reposisi mulai januari
2009 sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya
4.8 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan derajat loss of correction
Tabel 9 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan derajat loss of correction
Tabel 9

53

Besar Loss of Correction


0
6

o
o

-5

-10

o
o
11 -15
15

>20

-20

total

Jumlah

Presentase

20

51,2%

23%

15,3%

12,8%

2,5%

39

100%

Berdasarkan table 9 distribusi

penderita spondylitis tuberculosa dengan

derajat lost of correction terbanyak dengan sudut 0 -5

sebanyak 20 kasus (51,2%)

o
dengan rata-rata lost of correction 6 sedangkan derajat loss of correction yang paling
sedikit dengan sudut >20

sebanyak 1 kasus (2,5%).

Grafik 4.8 Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan derajat loss of correction mulai

54

januari 2009 sampai januari 2014 di RSUD dr Soetomo Surabaya

4.9 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan Frankel awal sebelum operasi
Tabel 10 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan Frankel sebelum operasi
Frankel awal

Jumlah

Presentase

5%

5%

12,5%

7,5%

28

70%

Total

40

100%

Berdasarkan table 10 distribusi penderita spondylitis tuberculosa sebelum


operasi dengan frankel yang terbanyak adalah Frankel E sebanyak 28 kasus (70%)
sedangkan frankel yang paling sedikit adalah Frankel A dan B masing-masing
sebanyak 2 kasus(5%).

Distribusi penderitaberdasarkan Frankel awal 5%


sebelumoperasi
5%
12.50%
70%

7.50%

A
B
C
D

Grafik 4.9 Distribusi penderita berdasarkan Frankel awal sebelum operasi

55

4.10 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan Frankel evaluasi terakhir
minimal 3 bulan pasca operasi

Frankel awal

Jumlah

Presentase

2,5%

56

7,5%

36

90%

Total

40

100%

Tabel 11 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang


telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan Frankel evaluasi terakhir
minimal 3 bulan pasca operasi
Berdasarkan table 11 distribusi penderita spondylitis tuberculosa evaluasi terakhir
minimal 3 bulan sesudah operasi dengan Frankel yang terbanyak adalah frankel E
sebanyak 36 kasus (90%) sedangkan Frankel yang paling sedikit adalah frankel B dan
C masing sebanyak 0 (0%).

Distribusi penderitaberdasarkan
Frankel minimal 3 bulan pasca
0%
operasi

2.50%
7.50%

A
B
C
90%

D
E

Grafi
k 4.10 Distribusi penderita berdasarkan Frankel evaluasi terakhir minimal 3 bulan
pasca operasi
4.11 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan perubahan Frankel
Tabel 12 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
57

telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan perubahan Frankel
Tabel 12
Perubahan Frankel

Jumlah

Presentase

Tidak ada

30

75%

10%

5%

>2

10%

Total

40

100%

Berdasarkan table 12 distribusi

penderita spondylitis tuberculosa tejadi

perbaikan Frankel sebanyak 10 kasus (20%), sedangkan penurunan Frankel tidak


terjadi dari evaluasi yang kami lakukan

Distribusi penderitaberdasarkan
perubahan Frankel
5%

10%

10%
Tidak ada
75%

1
2
>2

Grafik 4.11 Distribusi penderita berdasarkan perubahan Frankel


4.12 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan nilai VAS (Visual Analog
Scale) sebelum operasi

58

Tabel 13 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang


telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan nilai VAS sebelum operasi
Tabel 13
VAS

Jumlah

Presentase

0-3

2,5%

4-7

16

40%

8-10

23

57,5%

Total

40

100

Berdasarkan table distribusi penderita spondylitis tuberculosa sebelum operasi


nilai VAS 8-10 sebanyak sebanyak 23 kasus (57,5%), dengan rata-rata nilai VAS 8,3.

Grafik 4.12 Distribusi penderita berdasarkan nilai VAS (Visual Analog Scale)
4.13 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan nilai VAS (Visual Analog
Scale) evaluasi terakhir minimal 3 bulan setelah operasi

59

Tabel 14 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang


telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan perubahan VAS evaluasi
terakhir minimal 3 bulan setelah operasi
Tabel 14
VAS

Jumlah

Presentase

0-3

40

100%

4-7

0%

8-10

0%

Total

40

100%

Berdasarkan table 14 distribusi

penderita spondylitis tuberculosa tejadi

perbaikan nilai VAS 0-3 sebanyak 40 kasus (100%) dengan rata-rata nilai VAS
terakhir 1 , sedangkan penurunan nilai VAS tidak terjadi dari evaluasi yang kami
lakukan.

Grafik 4. 13 Distribusi penderita berdasarkan nilai VAS (Visual Analog Scale)


evaluasi terakhir minimal 3 bulan setelah operasi

60

4.14 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior


debridement

dan stabilisasi posterior berdasarkan nilai ODI (Oswerstry

Dissability index) sebelum operasi


Tabel 15 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan skor dari ODI sebelum operasi
Tabel 15
ODI

Jumlah

Presentase

0-20

0%

21-40

20%

41-60

20%

61-80

14

35%

>80

10

25%

Total

40

100%

Berdasarkan table 15 distribusi penderita spondylitis tuberculosa tejadi skor


ODI tertinggi dari rentang 61-80 sebanyak 14 kasus (35 %) dengan rata-rata nilai ODI
72,125 , sedangkan paling sedikit yang mempunyai nilai ODI dari rentang. 0-20
sebanyak 0 kasus (0%)

61

Grafik 4.14 Distribusi berdasarkan nilai ODI (Oswerstry Dissability Index)


4.15 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement

dan stabilisasi posterior berdasarkan nilai ODI (Oswerstry

Dissability index) evaluasi terakhir minimal 3 bulan setelah operasi


Tabel 16 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan skor dari ODI evaluasi terakhir
minimal 3 bulan setelah operasi
Tabel 16
ODI

Jumlah

Presentase

0-20

36

90%

21-40

10%

41-60

0%

61-80

0%

>80

0%

Total

40

100

62

Berdasarkan table 17 distribusi penderita spondylitis tuberculosa tejadi skor


ODI tertinggi dari rentang 0-20 sebanyak 36 kasus (90%) dengan rata-rata nilai ODI
8,8 , sedangkan paling sedikit yang mempunyai nilai ODI dari rentang 61-100 & 81100 sebanyak 0 kasus (0%)

Grafik 4. 15 Distribusi penderita berdasarkan nilai ODI (Oswerstry


Dissability Index) evaluasi terakhir minimal 3 bulan setelah operasi
4.16 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement

dan stabilisasi posterior berdasarkan perbaikan nilai ODI

(Oswerstry Dissability index)


Tabel 18 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan perubahan skor dari ODI
Tabel 18
ODI

Jumlah

Presentase

0-20

10%

21-40

22,5%

41-60

10

25%

61-80

11

27,5%

63

>80

15%

Total

100

100%

Berdasarkan table 18 distribusi

penderita spondylitis tuberculosa tejadi

perubahan nilai ODI sebanyak 61-80 poin sebanyak 11 kasus (27,5%) dengan nilai
perbaikan rata-rata 64,175 , sedangkan paling sedikit penurunan nilai ODI 0-20
sebanyak 4 kasus (10%)

Grafik 4.16 Distribusi penderita berdasarkan perbaikan nilai ODI (Oswerstry


Dissability Index)
4.17 Contoh salah satu kasus:
Ny Rihwatul, wanita usia 24 tahun, datang dengan keluhan nyeri punggung
tengah sejak 5 bulan sebelum datang ke rumah sakit , nyeri dirasakan setiap saat
dimana nyeri tidak berubah walaupun dengan perubahan posisi. Sejak 4 bulan
sebelum dating kerumah sakit penderita mengeluhkan ada penonjolan pada bagian
punggung tengah. Pada saat 3 bulan sebelum dating ke rumah sakit penderita
mengeluhkan mulai adanya kelemahan kedua kaki. Nilai VAS awal 8 dengan nilai
ODI 80. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gibbus pada pada region torakolumbal
yang disertai adanya nyeri tekan pada gibbus tersebut dari pemeriksaan neurologis
tidak didapatkan gangguan sensoris sedangkan motoris L2,L3,L4,L5,S1 untuk kanan
64

dan kiri berkekuatan motorik 5/5. Reflek fisiologis untuk KPR & APR kanan kiri
+2/+2. Tidak didapatkan reflek patologis. Dari hasil laboratorium didapatkan WBC
11000, LED 73 , ICT TB (+)
Maka penderita ini kami diagnose dengan Spondylitis TB Vth 11-VL1 Frankel
E. Penderita ini telah diterapi dengan pemberian OAT (obat antitubercuosis) dan
dilakukan terapi operatif debridement, bonegraft, koreksi deformitas, pemasangan
cage serta stabilisasi posterior dengan PSR
Setelah diterapi dan dievaluasi setelah 3 bulan, penderita tersebut mempunyai
nilai VAS dari 8 menjadi 2, nilai ODI dari 80 menjadi 24, sudut kyphosis dari 55

o
o
menjadi 8 dan setelah 3 bulan pasca operasi tetap menjadi 8 dengan Frankel yang
tetap E (sesuai gambar a,b,c di bawah ini).

(a) Pre-operatif

(b) Post-operatif

65

(c) 3 bulan post-operatif

BAB V
PEMBAHASAN
Pada dasarnya tujuan pengobatan spondylitis tuberculosa adalah untuk
mengeradikasi kuman mycobacterium tuberculosa ini, mencegah deficit neurologis,
mencegah dan menengani kyphotik deformity, mengurangi nyeri mengembalikan
kemampuan ambulasi dan aktifitas sehari-hari penderita (2). Oleh karena pentingnya
tujuan terapi spondyilitisa tuberculosa ini, dalam penelitian ini kami mengevaluasi
penderita tuberculosa yang telah menjalani terapi operatif dengan anterior
debridement dan stabilisasi posterior maupun non operatif dengan pemberian obat anti
tuberculosa selama 5 tahun terakhir. Jumlah yang lebih tinggi dikemukakan oleh
Prijambodo dkk. yang melakukan operasi pada lebih dari 800 kasus spondylitis
tuberculosa selama periode 1983 sampa 2003 di RSUD Soetomo Surabaya. Hal ini
merupakan implikasi dari program pemerintah untuk menkan angkan kejadian
penyakit tuberculosa. Program ini sukses didukung oleh berkembangnya sarana dan
66

prasarana pusat kesehatan serta didukung olehpeningkatan kesejahteraan masyarakat,


pemerataan ekonomi dan pendidikan. Pada dasarnya pengobatan spondylitis
tuberculosa tidak hanya untuk mengobati penyakitnya, tetapi untuk mengembalikan
ADL( activity daily living). Untuk itu selain kami mengevaluasi, sudut kifosis, dan
Frankel, kami juga mengevaluasi Oswerstry Disability Index (ODI) dan Visual
Analog Scale (VAS) pada pasien yang telah menjalani operasi tersebut minimal 3
bulan pasca operasi dengan rata-rata 18 bulan pasca operasi.

5.1 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan usia
Pada peneliti ini didapatkan bahwa mayoritas usia penderita spondylitis
tuberculosa adalah usia 20-29 tahun (42,5%) dengan rata-rata usia 29 tahun. Hasil ini
berbeda bila dibandingkan dengan distribusi kasus spondylitis tuberculosa secara
umum dimana Mohamad Hidayat pada tahun 1980 di Jakarta melaporkan bahwa
kelompok umur yang terbanyak dalah 41,1% pada usia 0-10 tahun. Djoko Roeshadi
menemukan 37,5% juga pada pada kelompok umur 0-10 tahun. Perbedaan ini dapat
disebabkan dengan adanya toleransi fisiologis yang baik terhadap pengobatan dan
adanya fase pertumbuhan maupun daya tahan tulang yang jauh lebih baik pada anakana bila dibandingkan dengn orang dewasa.

5.2 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan jenis kelamin
Dari jenis kelamin penderita spondylitis tuberculosa menggambarkan angka
yang hampir seimbang antara laki-laki dengan perempuan. Bila dibandingkan dengan
angka kejadian spondylitis tuberculosa itu sendiri, nilainya kurang lebih hampir sama.
Mohamad Hidayat pada tahun 1979-1980 di RS Fatmawati yaitu 51,8% pada laki-laki
dan 48,1% pada perempuan. Penelitian lain oleh Sularto Rekso projo (1968-1978)
laki-laki 52,65% dan wanita 47,35%. Sedangkan penelitian Djoko Roeshadi dan
Satrio (1973-1978) di Surabaya ditemukan laki-laki 59,09% dan wanita 40,90%.

67

5.3 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan segmen
Jumlah segmen yang terkena paling sering adalah 2 segmen (52,5%). Jumlah
segmen dapat memperlihatkan beratnya infeksi yang berhubungan dengan status
immunitas dari penderita tersebut. Dengan makin banyaknya segmen yang terkena
akan menimbulkan kiphosis deformiti yang lebih berat pada tulang vertebra tersebut
yang berimplikasi terapi yang lebih agresif pada kasus tersebut.

5.4 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan level lesi
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa level yang paing sering terkena adalah
level lumbal sebanyak 32,5% . Hal ini di karenakan adanya hubungan dengan plexus
venous Batson. Hidayat dan Reksoprojo mengemukakan hasil yang hampir berbeda
dimana level thoracal terbanyak terkena (46,4%) diikuti lumbal 30.4% dan
thoracolumbal (14.3%).

5.5 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan sudut kiphosis sebelum operasi
o
Pada penelitian ini sudut kiphosis terbanyak penderita adalah > 40 (27,5%)
o
dengan rata-rata 41,2 . Sudut kiphosis sebelum operasi akan mempengaruhi jenis
tindakan operatif apakah perlu dilakukan koreksi kiphosis untuk memperbaiki
biomekanik dari tulang pungggung. Sudut kiphosis ini juga dipengaruhi dengan
jumlah segmen yang terkena, semakin banyak segmen yang mengalami destruksi
semakin besar sudut kiphosisnya.

5.6 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan

68

stabilisasi posterior berdasarkan sudut kiphosis evaluasi terakhir minimal 3


bulan setelah operasi
o o
Dari data didapatkan sudut kyphosis pasca operasi adalah 0 -10 sebanyak
o
51,2 % dengan rata-rata 13 sedangkan sudut kiphosis 3 bulan setelah operasi adalah
o o
o
11 -20 (43,5%) dengan rata-rata 19 . Sehingga didapatkan peningkatan sudut
kyphosis. Sudut kyphosis pada saat evaluasi >3 bulan pasca operasi memiliki banyak
faktor yang memberikan banyak variasi dari sudut yang dihasilkan. Penempatan
insersi pedicle screw melalui gaya pull out sangat berpengaruh dalam menahan
kecenderungan penyakit ini dalam membentuk sudut kiphosis pada vertebra Selain itu
semakin banyak segmen vertebra yang terkena akan mempengaruhi kecenderunga
tejadinya sudut kiphosis akibat kolapnya sisi anterior vertebra. Faktor lainnya juga
bergantung dari compliance penderita mengenai pemakaian brace. Pemakaain brace
pasca operasi dan kepatuhan penderita untuk menghindari. Adanya fibrosis yang
banyak akibat proses penyembuhan infeksi pada bagian anterior juga dapat
menambah gaya momen kedepan dari corpus dengan akibat resiko pull out dari screw
yang lebih besar.

5.7 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan derajat reposisi
Dalam penelitian ini didapatkan terapi operatif yang diberikan dapat
o o
o o
menghasilkan derajat reposis yang cukup signifikan 16 -20 (25,1%) diikuti 0 -5 ,
o o
o o
o
6 -10 , dan 16 -20 masing masing+ 20% dengan rata-rata 16 . Hal ini sangat
dipengaruhi oleh koreksi dari kiphotik deformity maupun jumlah segmen yang
terkena
.
5.8

Penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment

dan stabilisasi posterior berdasarkan derajat loss of correction

69

Sebagai mana diketahui bahwa penambahan kiphotik deformity sulit di hindari


karena berbagai penyebab, maka meskipun telah dilakukan tindakan operatif pun
o o
masih bsa terjadi penambahan sudut kiphotik deformity (loss of correction) 0 -5
o
(51,2%) dengan rata-rata 5 . Faktor lain yang dapat mempengaruhi loss of correction
adalah ketidak patuhan dari penderita untuk tidak melakukan gerakan yang
meningkatkan gaya bending seperti membungkuk.

5.09 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridement dan


stabilisasi posterior berdasarkan perubahan Frankel sebelum dan 3 bulan
sesudah operasi
Peningkatan level Frankel berhubungan dengan adanya dekompresi penekanan
myelum akan berkurang sehingga vaskularisasinya akan meningkat lagi yang
mengakibatkan perbaikan dari fungsi neurologik. Hal lain yang tidak bisa dijelaskan
adalah adanya kontak antara jaringan patologis dengan udara selama operasi dapat
memperbaiki peningkatan level Frankel. Dalam penelitian ini di dapatkan mayoritas
Frankel awal adalah E sebanyak 28 kasus (70%) kemudian 3 bulan pasca operasi
meningkat sebanyak 36 kasus (90%). Sedangkan psebagian besar tidak terjadi
perubahan Frankel sebanyak 30 kasus (75%)

5.10 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan VAS (VisuanlAnalog Scale)
Dalam pengobatan spondylitis tuberculosa kita tidak hanya bertujuan
meeradikasi kuman dan memperbaiki struktur tulang belakang penderita, tetapi kita
juga harus mengurangi keluhan terutama nyeri dan berusaha mengembalikan
kemampuan fungsi aktifitas sehari-hari penderita. Oleh karena itu dalam penelitian ini
nilai VAS (Visual Analog Scale) dan ODI (Oswerstry Dissability Index) di gunakan.
Mayoritas pennderita empunyai nilai VAS 8-10 (57,5%) dengan rata-rata nilai VAS
8,3 , kemudian 3 bulan setelah di operasi nilai VAS berkurang menjadi 0-3(100%)
dengan rata-rata nilai VAS 1.

70

5.11 Penderita spondilytis tuberculosa yang dilakukan anterior debridment dan


stabilisasi posterior berdasarkan usia ODI (Oswerstry Dissability Index)
Terapi yang dilakukan memberikan hasil yang baik dalam menurunkan nilai
ODI. Pada awalnya sebelum operasi mayoritas penderita mempunyai nilai ODI 61-80
( 35%) dengan rata-rata nilai ODI 72,125, kemudian 3 bulan setelah operasi nilai ODI
yang rendah 0-20 ( 90%) dengan rata-rata nilai ODI 8,3 dan terjadi penurunan nilai
sebanyak 61-80 poin (27,5%) dengan rata-rata 64,17. Hsl ini ysng menunjukkan
keberhasilan dari terapi yang di berikan.

BAB VI
KESIMPULAN
Spondylitis tuberculosis merupakan penyakit infeksi tulang yang sering di
Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan ketepatan dan kemampuan dalam menangani
penyakit ini. Baik terapi nonoperatif maupun operatif harus diberikan kepada
penderita penyakit ini dengan tujuan pengobatan spondylitis tuberculosa adalah untuk
mengeradikasi kuman mycobacterium tuberculosa ini, mencegah deficit neurologis,
mencegah dan menengani kiphotik deformity, mengurangi nyeri mengembalikan
kemampuan ambulasi dan aktifitas sehari-hari penderita
Dari penelitian ini didapatkan bahwa terapi yang dilakukan baik operatif
71

dengan anterior debridement, bonegraft, dengan atau tanpa cage serta stabilisasi
posterior maupun nonoperatif dengan OAT (obat anti tuberculosis) telah dapat
memberikan hasil yang baik, dimana dari beberapa variable yang dinilai telah dapat
menunjukkan adanya perbaikan dari kiphotik deformity yang cukup signifikan
meskipun adanya sedikit loss of correction setelah di evluasi beberapa bulan ,
kemudian adanya peningkatan Frankel, penurunan nilai VAS dan ODI yang sangat
signifikan sehingga dapat mengurangi nyeri dan mengembalikan kemampuan dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari

DAFTAR PUSTAKA
1. Mak KC And Cheung KM. 2013. Surgical Treatment Of Acute TB
Spondylitis:Indications And Outcomes. EurSpineJ22(Suppl4):S603S611
2. Issack Et Al. 2012. Surgical Correction Of Kyphotic Deformity In Spinal
Tuberculosis. InternationalOrthopaedics(SICOT)36:353357.
3. Merino Et Al. 2012. Microbiological Diagnosis Of Spinal Tuberculosis.
InternationalOrthopaedics(SICOT)36:233238
4. Agrawal Et Al 2010. Tuberculosis Of Spine. J Craniovertebr Junction
Spine.1(2): 7485.

72

5. Huyge Et Al. 2011. Disseminated Tuberculosis Mimmicking Ankylosisng


Spondylitis. CaseReportsInRheumatologyVolumeArticleID195085
6. Kumar Et Al. 2013. Isolated Posterior Instrumentation For Selected Cases Of
ThoracoLumbarSpinalTuberculosisWithoutAnteriorInstrumentationAndWithout
AnteriorOrPosteriorBoneGrafting.EurSpineJ22:624632.
7.ThompsonJC.2010.ConciseOrthopaedicAnatomy2nd:Spine.p:2574.Elsevier
8.Simeone R. The Spine: Thoracolumbar Instrumentation 71:p1219. Saunders
Elsevier.Philadelphia
9. Simeone R. The Spine: Infections of the spine 86 :p1513 Saunders
Elsevier.Philadelphia
10.Bucholzetal.2010.RockwoodAndGreenFractureInAdults,7nd:Spine.3p:
1378.LippincotWilliams&Wilkins.Philadelphia
11. Schnuerer et a.1998. Anatomy of the Spine & Related Structures.
Medtronic.Sweden
12.BenliEtAl.2013.AnteriorRadicalDebridementAndAnteriorInstrumentationIn
TuberculosisSpondylitis.EurSpineJ12:224234.
13. Linhardt Et Al. 2007. LongTerm Results Of VentroDorsal Versus Ventral
InstrumentationFusionInTheTreatmentOfSpondylitis.InternationalOrthopaedics
(SICOT)31:113119.
14. Cheung WY, Luk KDK. 2013. Clinical And Radiological Outcomes After
ConservativeTreatmentOfTBSpondylitis:IsThe15YearsFollowUpInTheMRC
StudyLongEnough.EurSpineJ22(Suppl4):S594S602.
15. Polley P, Dunn R. 2009. Noncontiguous Spinal Tuberculosis: Incidence And
Management.EurSpineJ18:10961101
16. Suh Et Al. 2008. Simultaneous Anterior And Posterior Surgery In The
Management Of Tuberculous Spondylitis With Psoas Abscess In Patients With
73

Neurological Deficits. Asian Spine Journal Vol. 2, No. 2, Pp 94~101.


17. Dara Et Al. 2013. EpidemiologyOfTuberculosisInWHOEuropeanRegion
AndPublicHealthResponse.EurSpineJournal22(Suppl4):S549S555.
18. Palama Et Al. 2009. Pulmonary Miliary Tuberculosis Complicated With
TuberculousSpondylitis;AnExtraordinaryRareAssociation:ACaseReport.Cases
Journal2:7983.
19. Lee Et Al. 2008.Safety And Efficacy Of Pedicle Screws And Titanium Mesh
Cage In The Treatments Of Tuberculous Spondylitis Of The Thoracolumbar
Spine. Asian Spine Journal Vol. 2, No. 2, Pp 64~73.
20. Mushkin Et Al. 1999.NeurologicalComplicationsOfSpinalTuberculosisIn
Children.InternationalOrthopaedics(SICOT)23:210212
21.SinghEtAl.2012.

Evaluation Of Role Of Anterior Debridement And

Decompression Of Spinal Cord And Instrumentation In Treatment Of


Tubercular Spondylitis. Asian Spine J. Sep 6(3): 183193
22. Rasouli Et Al. 2012. Spinal Tuberculosis: Diagnosis And Management.
Asian Spine Journal 6(4),Pp 294-308
23. Jain AK, Jain S. 2012. Instrumented Stabilization In Spinal Tuberculosis.
InternationalOrthopaedics(SICOT)36:285292
24.PuEtAl.2012.APosteriorVersusAnteriorSurgicalApproachInCombination
With Debridement, Interbody AutograftingAnd Instrumentation For Thoracic And
LumbarTuberculosis.InternationalOrthopaedics(SICOT)(2012)36:307313
25.HuangEtAl.2009.OneStageSurgicalManagementForChildrenWithSpinal
Tuberculosis By Anterior Decompression And Posterior Instrumentation.
InternationalOrthopaedics(SICOT)33:13851390.
26. ShibuyaEtAl.PercutaneousDiscectomyContinuousIrrigationAndDrainage
ForTuberculousLumbarSpondylitis:AReportOfTwoCases. HindawiPublishing

74

CorporationCaseReportsInMedicineVolume2009,ArticleID632981,4Pages
27. Wang Et Al. 2012. SingleStage Posterior Instrumentation And Anterior
Debridement For Active Tuberculosis Of The Thoracic And Lumbar Spine With
KyphoticDeformity.InternationalOrthopaedics(SICOT)36:373380.
28. Kimizuka Et Al. 2013 A Case Of Skeletal Tuberculosis And Psoas Abscess:

Disease Activity Evaluated Using FFluorodeoxyglucose Positron Emission


TomographyComputedTomography.BMCMedicalImaging13:37
29. Elsharkawi MM, Said GZ. 2012Instrumented Circumferential Fusion For
TuberculosisOf The DorsoLumbar Spine. A Single OrDouble Stage Procedure?.
InternationalOrthopaedics(SICOT)36:315324.
30. Roberto Et Al. Treatment Of Thoracolumbar Spinal Infections Through
Anterolateral Approaches Using Expandable Titanium Mesh Cage For Spine
Reconstruction. The Scientific World JournalVolume 2012, Article ID 545293, 9
Pages
31. Kandwal Et Al. 2012. Outcome Of Minimally Invasive Surgery In The
ManagementOfTuberculousSpondylitis.IndianJOrthop46(2):159164.
32. Zhang Et Al. 2013. Management Of Spinal Tuberculosis: A Systematic
Review And Meta-Analysis. Sage Journal.
33. Sundararaj Et Al. Sep 2011. The Use Of Titanium Mesh Cages In The
Reconstruction OfAnterior Column Defects InActive Spinal Infections: CanWe
RestTheCrest?.AsianSpineJ5(3):155161.

75

76

77

78

Anda mungkin juga menyukai