Oleh:
Reza Rahman R, dr
Pembimbing;
Prof .Dr.Bambang Prijambodo, dr. SpB. SpOT(K)
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL
PADA PENDERITA
DAFTAR ISI
Daftar isi
BAB I
2
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
1.2
Rumusan masalah
1.3
Tujuan penelitian
1.4
Manfaat penelitian
1.5
Metode penelitian
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Anatomi vertebra
BAB 2
2.1
2.2
Komponen otot
12
2.3
14
2.4
Sistem persendian
16
2.5
19
2.6
21
2.7
22
2.8
Diagnostik
24
2.9
Penatalaksanaan
32
41
3.1
Rancangan penelitian
41
3.2
41
3.3
41
3.4
43
3.5
43
BAB 3
BAB 4
HASIL PENELITIAN
44
4.1
Distribusi usia
44
4.2
45
4.3
46
4.4
47
4.5
49
4.6
50
4.7
52
4.8
53
4.9
55
4.10
56
4.11
57
4.12
58
4.13
59
4.14
60
4.15
61
4.16
63
4.17
64
BAB 5
PEMBAHASAN
67
BAB 6
KESIMPULAN
72
BAB 7
DAFTAR PUSTAKA
73
LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
tuberculosa
merupakan
penyakit
infeksi
kronis
Mycobacterium Tuberculosa
radang
yang
menginfeksi tulang belakang. Penyakit ini sudah mulai di temukan pada tahun 70003000 SM dan pada tulang sekitar 3400 SM di mesir kuno. Pada tahun 1779 penyakit
ini ditemukan sebagai Potts Desease (1).
Spondilitis tuberculosa umumnya menginfeksi satu atau lebih tulang vertebra.
Infeksi dapat berada pada daerah sentral, anterior, maupun paradiskal. Pada penyakit
ini akan terjadi kerusakan dan perlunakan corpus vertebra yang mana akan terjadi
kerusakan pada korteks epifisis, discus intervertebralis dan vertebra sekitar. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya kiphotik deformity. Perubahan kifotik ini akan
menyebabkan perubahan biomekanik pada vertebra. Oleh karena itu tindakan operatif
untuk koreksi deformitas lebih ditekankan untuk memperbaiki permasalahan
biomekanik tulang vertebra dibandingkan fungsi kosmetik. Instrumentasi untuk
mempertahankan koreksi deformitas mempunyai berbagai macam keuntungan
tergantung pada jenis instrumentasinya.
Prijambodo dkk. mengevaluasi lebih dari 800 kasus spondylitis TB di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya mulai periode 1983 sampai 2003, yang dilakukan operasi
anterior decompression dan bone grafting dengan atau tanpa pemasangan
instrumentasi dan fusi. Dikarenakan kasus ini cukup banyak di RSUD dr Soetomo,
oleh karena itu maka pada kesempatan ini kami melakukan evaluasi retrospektif pasca
tindakan operasi anterior debridement, bone graft dengan atau tanpa cage dan
stabilisasi posterior.
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Didalam rongganya terletak medulla spinalis, radiks nervi spinalis dan meningen yang
dilindungi kolumna vertebralis.
Secara keseluruhan columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra, yaitu 7
vertebra cervical, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, dan 4 vertebra coccyges.
Struktur columna vertebralis ini fleksibel karena columna ini bersegmen-segmen dan
tersusun atas vertebra, sendi-sendi dan diskus intervertebralis.
Stabilitas tergantung pada struktur ligamen dan otot dan morfologi dari
columna. Vertebrae mempunyai ukuran bertambah besar kearah sacrum, selanjutnya
akan mengecil sampai ujung coccyges.
orang
dewasa
columna
vertebralis
mengandung
kurvatura
anteroposterior, yaitu torakal dan sacral ke anterior, cervical dan lumbal konkav ke
arah posterior. Kurvatura torakal dan sacral adalah primer, karena mempunyai arah
yang sama dengan arah utama embrio. Kurvatura primer disebabkan oleh perbedaan
tinggi antara depan dan belakang corpus vertebra. Sedangkan kurvatura sekunder
cervical dan lumbal mulai sebelum lahir, disebabkan terutama oleh perbedaan
ketebalan antara bagian anterior dan posterior discus intervertebralis. Kurvatura
sekunder konkav ke arah posterior mungkin karena kompensasi dari kontraksi
kurvatura primer.
Pada bidang sagital, tulang belakang yang normal memiliki tiga kurva:
o
o
cervical lordosis dengan sudut antara 20 sampai 40 , torakal kyphosis dengan sudut
o
20
o
o
o
sampai 40 , dan lumbal lordosis dengan sudut 30 sampai 50 . Deformitas
struktural dapat berupa angulasi yang tajam yang disebut gibbus yang tampak lebih
jelas pada posisi membungkuk kedepan.
Pada dasarnya semua region vertebra memiliki pola yang sama. Vertebra
tipikal terdiri atas korpus yang bulat di anterior dan arkus vertebra di posterior.
Keduanya melingkupi sebuah ruang yang disebut ruang foramen vertebralis yang
dilalui oleh medulla spinalis dan lapisan pembungkusnya. Arcus vertebra terdiri atas
sepasang pedikel yang bebentuk silinder, yang membentuk sisi-sisi arcus dan
sepasang lamina yang melengkapi arcus posterior
Arcus vertebra mempunyai tujuh processus yaitu satu processus spinosus, dua
processus tranversus, dan empat processus articularis. Processus spinosus menonjol
ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Processus tranversus menonjol ke lateral
pada pertemuan antara lamina dan pedikel. Processus spinosus dan processus
tranversus berfungsi sebagai pengungkit dan menjadi tempat melekatnya otot dan
ligamen.
Processus articularis terletak vertikal dan tediri atas dua processus articularis
superior dan processus articularis inferior. Processus ini menonjol dari pertemuan
lamina dan pedikel dan setiap facies articularis diliputi kartilago hyalin.
Kedua processus artikularis superior dari sebuah arcus vertebra bersendi
dengan kedua processus articularis inferior dari arcus vertebra yang ada diatasnya,
membentuk sendi synovial.
Pedikel memiliki lekuk pada pinggir atas dan bawah membentuk incisura
vertebralis superior dan inferior.Pada masing-masing sisi, incisura vertebralis superior
sebuah vertebra dan incisura vertebra inferior vertebra diatasnya membentuk foramen
intervertebralis. Foramina ini pada kerangka yang berartikulasi berfungsi sebagai
tempat lewatnya nervi spinalis dan pembuluh darah. Radiks anterior dan posterior
nervus spinalis bergabung di dalam foramina ini, bersama dengan pembungkusnya
membentuk saraf spinalis segmentalis.
Vertebra Cervical
Vertebra cervical (gambar 1) terbagi atas dua kelompok, yaitu C1-2 yang
membentuk vertebra aksial dan C3-7 yang membentuk vertebra subaksial. Vertebra
berfungsi untuk menopang cranium dan memmungkinkan pergerakan rotasi antara
cranium dengan vertebra yang disebut cervico-cranial junction.
Secara umum vertebra cervical memiliki corpus yang relative kecil dan tipis.
Diameter
tranversusnya
lebih
besar
dibandingkan
dengan
diameter
Vertebra Torakal
Keduabelas vertebra torakalis (gambar 2) menyokong costa dan memiliki
sendi feacet pada masing- masing sisi. Corpus vertebra torakal di pertengahan
bentuknya menyerupai hati. Arcus vertebra pada columna torakal membentuk suatu
kanal spinal yang kecil dan memiliki ruangan yan sempit. Ruangan yang sempit ini
merupakan predisposisi suatu trauma pada medulla spinalis, meskipun kerusakan
strukural columna vertebra tidak terlalu berat. Processus spinosus pada torakal
berukuran lebih panjang dan berbentuk segitiga pada penampangnya. Processus
spinosus vertebra T5-8 lebih menjorok ke arah kaudal dengan sudut 60
Vertebra Lumbal
Vertebra lumbal (gambar 3) terletak diatas sacrum. Ukuran vertebra lumbal
lebih besar dibandingkan vertebra lainnya. Berbeda dengan vertebra cervical maupun
torakal, vertebra lumbal tidak memiliki foramen tranversus maupun facet articularis
costa. Selain itu corpus vertebra di daerah lumbal lebih besar dan diameter lateral
lebih besar dibandingkan diameter anteroposterior. Pedikelnya lebih tebal, terletak
pada aspek dorsosuperolateral korpus dengan membentuk suatu foramen vertebra
yang berbentuk segitiga.
10
Sacrum
Sacrum (gambar 4) adalah tulang berada diantara kedua tulang pinggul serta
terhubung diantara vertebra lumbal di bagian proksimalnya dan os coccygeus di
bagian distalnya. Tulang ini bebentuk segitiga besar yang berada dibagian belakang
atas rongga panggul. Sacrum terdiri dari lima vertebra yang awalnya tidak bersatu
kemudian sejak umur 16-18 mulai terjadi penyatuan.
Coccygeus (gambar 4)
11
12
Untuk regio torakal bagian bawah dan lumbal otot yang menempel adalah m.
quadratus lumborum yang berorigo pada costa terakhir dan processus tranversus dari
V L1-L4 dan berinsersi pada crista iliaca, m. iliaucm yang terdiri dari m. iliacum
yang berorigo pada crista iliaca dan berinsersi pada trochanter mayor , m psoas major
yang berorigo pada processus trnversus & corpus vertebra T12-L5 dan berinsersi pada
tochanter minor femur
Untuk otot-otot spinal bagian posterior di bagi menjadi 3 bagian ,yaitu superficial,
media, dan profundus. Kelompok otot posterior ini sering sering di lepaskan dari
origo pada tulang belakang saat operasi tulang belakang.
Kelompok otot yang superfisial sering disebut erector spinae terdiri dari 3 otot,
13
Gambar 5. otot pada tulang belakang Netter Concise Orthopaedic Anatomy 2nd
2.3 LIGAMEN
Ligamen adalah jaringan ikat lunak yang menghubungkan kedua atau lebih
tulang, kartilago atau struktur lainnya. Pada vertebra ligamen mengikat secara kuat
pada tulang ini. Pada vertebra ligamen ditemukan pada semua regio dari vertebra.
Beberapa ligamen yang sangat penting pada vertebra (gambar6) adalah
Ligamentum longitudinalis anterior, ligamentum longitudinalis posterior, ligamentum
intertranverse, ligamentum interspinosus, ligamentum supraspinosus, ligamentum
flavum
14
dari vertebra.
Ligamentum interspinosus menghubungkan procesuss spinosus satu dengan
yang lain. Ligamen ini beinsersi pada basis dari tip processus spinosus. Pada
sis anteriorligamen ini menempel pada ligamentum flavum, sedangkan
posterior menempel pada ligament supraspinosus. Pada cervical berubah
15
16
longitudinal dimana berfusi dengan periosteum dan annulus fibrosus. Pada bagian
bawah ligamen ini melekat pada tulang sacrum dan menyebar ke lateral pada
permukaan pelvis. Sedangkan diatas mengadakan perlekatan di tuberkulum anterior
tulang atlas.
Ligamentum longitudinalis posterior terletak didalam canalis vertebralis di
bagian posterior corpus dan discus intervertebralis. Diatas berlanjut dengan membrana
tectoria, tempat perlekatan dengan tulang occipital. Kebawah menyempit di belakan
korpus vertebra, tapi pada daerah diskus melebar ke lateral dan bergabung bersama
annulus fibrosus. Semakin bawah akan menuju canalis sacralis.
Antara corpus yang berdekatan terletak discus intervertebralis yang
merupakan persendian fibrocartilaginous. Paling proksimal, discus terdapat antara
corpus cervical 2-3, sedang paling distal adalah antara coccigeus. Variasi struktur dan
susunan discus sesuai dengan umur nya. Pada orang dewasa setiap discus
mengandung nucleus pulposus dan annulus fibrosus, dengan sedikit pembuluh darah
dan syaraf.
Ditepinya corpus vertebrae dilapisi tulang rawan hyaline tipis yang berperan
untuk pertumbuhan panjang corpus selama masa pertumbuhan, juga sebagai tempat
difusi cairan antara diskus dan kapiler vertebra. Discus mengandung kadar air yang
tinggi, yang jumlahnya akan menurun dengan pertambahan umur. Selain itu seratseratnya akan menjadi kasar dan mengalami hyalinisasi.
Sejumlah lamelae-lamelae kolagen yang terkandung dalam annulus fibrosus
tersusun secara spiral. Diatas dan dibawah cincin epiphysis dan tepi dari lempeng
hyaline serat-serat annulus melekat. Pada lapisan yang paling luar serat ini melekat
pada ligamentum longitudinal. Lapisan paling dalam adalah fibrocartilage. Dan discus
terdekat akan cenderung menjadi fibrocarilaginous dengan bertambahnya umur dan
perbedaan struktur antara nucleus dan annulus seringkali menjadi hilang.
Nukleus pulposus terdapat pada bagian tengah dari diskus, dimana struktur ini
berwarna putih, semigelatinous, mengandung serat-serat kolagen tipis, sel-sel jaringan
ikat, sel kolagen dan bahan amorphous, sangat plastis, serta menyerupai cairan.
Bentukan ini depertahankan oleh lempeng cartilage dan annulus fibrosus.
17
18
Secara fungsional, sendi atlanto-occipital kiri dan kanan bekerja bersamasama sebagai suatu artikulasi ellipsoidal. Pergerakan yang dimungkinkan adalah
fleksi-ekstensi sepanjang sumbu transversal, mengangkat kepala sepanjang sumbu
antero-posterior.
Sendi atlanto-axial termasuk tipe synovial, terdiri dari tiga buah (2 lateral, 1
medial). Setiap sendi antlanto-axial lateral bergabung dengan processus artikularis
dimana memiliki membrane synovial dan kapsul. Kapsul sendi diperkuat pada bagian
posterior oleh ligamentum atlanto-axial accessorius. Sendi atlanto-axial medial
merupakan suatu pivot joint yang dibentuk oleh arkus anterior dan ligamentum
transversum atlas dan dens axis.
Sendi Costovertebralis
Sendi ini terdiri dari sendi-sendi caput costae dengan corpus vertebralis dan
sendi costotransversus diantara costae dan processus transversus vertebralis.
Sendi Sacro-Iliaca
Merupakan suatu sendi synovial yang dibentuk oleh penggabungan permukaan
artikuler dari os sacrum and illium. Stabilitas dan kekuatannya ditentukan oleh
konfigurasi tulang-tulang yang membentuknya dan susunan ligamentum sacro-illiaca.
19
Pada dasarnya medulla spinalis (gambar 7) dan otak mempunyai materi yang sama,
tetapi susunannya berbeda. Pada otak , materi kelabu( grey matter) terletak di bagian
korteks dan materi putihnya ( white matter) terletak di medulla. Sedangkan pada
medulla pinalis sebaliknya, yaitu materi kelabu( grey matter) terletak di bagian
medulla dan materi putihnya ( white matter) terletak di korteks
20
22
yang lain melalui ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melalui
discus interertebralis. Namun penyebaran infeksi jarang mengenai discus karena
discus intervertebralis relatif avaskuler. Apabila terkena biasanya merupakan sekunder
karena terganggunya aliran darah sehingga terjadi avaskular nekrosis. Infeksi pada
dicus ini juga dimungkinkan apabila bakteri menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior
Hodgson menyatakan bahwa, penyebaran melalui sistem plexus venosus
paravertebralis dari Batson sering sebagai cara penyebaran spondyllitis tuberculosa,
didasarkan pada beberapa hal:
kontaminasi vertebrae.
Predileksi yang jarang spondylitis tuberkulosa mengenai daerah hubungan
torakolumbal
Dihasilkan spondylitis tuberkulosa dengan menginjeksi bakteri tuberkulosa ke
kiri.
Didapatkan adanya kesamaan distribusi terjadinya spondylitis tuberkulosa dan
spondylitis pyogenik pada tindakan urologi, dimana plexus Batson diduga
merupakan jalan yang penting.
bentukan
yang
tidak
khas
sekitar
10%
dari
spondylitis
23
tuberkulosa.Terdapat dua tipe yaitu: yang mengenai arcus neuralis, destruksi terjadi
pada komponen arcus neuralis (pedicle, lamina, processus spinosus, dan processus
transversus); extradural extraosseus spinal tuberculosis, suatu epidural tuberculoma,
tidak ditemukan adanya kelainan tulang
Perjalanan penyakit pada spondylitis tuberculosa terdiri dari dua periode aktif dan
periode sisa penyakit:
-Periode aktif penyakit:
Pada awalnya pada focus infeksi dekat corpus vertebra, yang akan membuka
kearah discus yang terdekat. Kemudian akan menyebar di keatas adan ke bawah
melalui ligamentum longitudinal anterior yang akan menyebar ke corpus vertebra dan
discus terdekatnya. Pada daerah cervical dapat menyebar ke daerah retropharyng atau
trigonum belakang leher. Abses dapat menyebar pula ke daerah supraclaviculer, atau
dapat membentuk abses mediastinal bila turun kebawah akibat gravitasi dibawah
fascia prevertebra. Penekanan atau sumbatan trachea dapat terjadi bila didapatkan
abses yang besar. Di daerah torakal, abses pada sisi lateral bergabung membentuk
massa fusiforme yang disertai gambaran lekukan-lekukan pada sisi anterior dan lateral
corpus vertebrae, dimana selanjutnya abses menyebar ke ruang intercostal.
Penyebaran abses di daerah torakolumbal atau lumbal kearah bawah mengumpul di
dekat musculus psoas, membentuk abses psoas. Sedangkan di daerah lumbosacral,
dapat mencapai daerah bokong maupun ke depan di otot psoas mencapai inguinal atau
kebelakang menuju ruang epidural atau dapat menjadi intradural abses.
Abses pada tuberculosa merupakapan cold abscess yang berisis pus yang
mengandung massa kaseosa. Ruang
24
Periode kronis
Pada periode kronis dapat terjadi kerusakan anterior yang ekstensif yang
menyebabkan kiphotik deformity. Pada fase ini terdapat yang bentukan di kenal
dengan nama gibus adaalah penyudutan yang tajam yamng merupakan penonjolan
arcus posterior di bawah kulit. Lokasi dan beratnya kerusakan vertebra menentukan
derajat angulasi dari kifosis, lebih berat apabila mengenai lebih dari satu atau dua
vertebra. Sering derajat kifosis yang besar tidak menimbulkan gangguan pada medulla
spinalis secara bermakna.
Pada dasarnya pada ada dua macam lesi residual tuberculosa yaitu lesi
intravertebra dan lesi ekstraspinal. lesi intravertebrae dapat sebagai cavitas dengan
dinding fibrous, intervertebrae dengan adanya kalsifikasi parsial massa kaseosa
didalam ruang discus. Lesi ekstraspinal didapatkan adanya abses mediastinum, yang
bisa bilateral atau unilateral. Gambaran khasnya adalah nanah mengisi kantongan
besar, dengan dinding yang terkadang mengalami kalsifikasi. Di dalam canalis
spinalis, abses yang terbentuk dapat berhubungan dengan abses mediastinum dan juga
menyebabkan penebalan duramater, perlengketan.
Deficit neurologis pada fase ini dapat disebabkan karena pembentukan abses, jaringan
fibrosis, sekuester dalam kanalis spinalis maupun kolapsnya vertebra.
Pada dasarnya ada tiga jalur penyebaran vertebra
25
didaerah
26
karena penekanan ke kanalis spinalis. Ganggaun ini ditemukan pada 10% dari
seluruh komplikasi spondylitis tuberculosa. Vertebra torakalis memiliki
kanalis spinalis yang lebih kecil, sehingga gangguan neurologis lebih mudah
terjadi pada daerah ini
5. Stadium deformitas residual
Deformitas residual terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.
Kiphosis atau gibbus bersifat permanen akibat kerusakan vertebra yang masif
di bagian anterior.
2.8 DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan
yang tinggi di daerah endemis,keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik lainnya,
yang ditunjang pemeriksaa hematologis, radiologis, bakteriologis dam histopatologis.
Keterlambatan maupun kesalahan diagnosa sering kali terjadi, dikarenakan perjalanan
penyakit yang kronis.
Anamnesa
Seringkali pada penyakit ini pasien dating dengan keluhan utama nyeri.
Seringkali nyeri timbul beberapa waktu sebelum terjadinya myelopathy atau
kelemahan.
Keluhan yang lain yang sering dirasakan penderita adalah badan lemah,
kelelahan, keringat malam hari, dan menurunnya berat badan. Apabila terjadi abses
pada leher dapat mengalami suara serak karena lesi nervous laryngeus recurrent,
dysphagia, stridor respiratorik.
Dari pemeriksaan klinis dapat ditemukan gibus atau kiphotik deformity,
pembengkakan lokal dengan fluktuasi dan sinus. Selain itu dapat ditemukan abses
paravertebra, iritasi hip dan fluktuasi didaerah femoral triangle mungkin terjadi. Abses
yang terjadi berupa abses dingin, tanpa disertai tanda radang (1).
27
Evaluasi Radiologis
Evaluasi foto polos (gambar 9) memberikan hasil yang bervariasi tegantung
pada tipe patologik dan kronisitas dari infeksi. Rarefaksi tulang dapat ditemukan pada
fase awal. Terkenanya daerah peridiscal dapat terjadi penyempitan ruang discus, yang
diikuti destruksi tulang seperti halnya infeksi pyogenik. Bila mengenai bagian anterior
dari corpus yang multiple, beberapa corpus yang berdekatan mengalami erosi bentuk
berlekuk-lekuk. Terjadi rarefaksi dan destruksi tulang yang menyebabkan kolaps pada
corpus bagian sentral yang terkena. Kolaps vertebrae disebut sebagai concertina
collaps oleh Seddon.Gambaran radiologis awal sering terlihat lebih jauh berubah,
berbeda dengan infeksi pyogenik dimana kemungkinan terlihat normal pada stadium
awal. Pada daerah torakal lebih umum terdapat lesi tipe sentral sedangkan pada
daerah lumbal lesi peridiscal lebih sering. Dibandingkan tipe peridiscal, tipe sentral
lebih banyak dan sering menyebabkan kolaps. Sekitar 2%-10% ditemukan lesi primer
2
di daerah posterior yang mungkin tidak terdeteksi dengan foto polos biasa. Diagnosis
atas perubahan radiologis tidak adekwat pada sekitar 10% kasus.
Kelainan pada paru dan adanya abses paraspinal dapat terlihat dengan evaluasi
foto dada. Dari foto polos tidak dapat dibedakan adanya fibrosis atau edema
paravertebra dari bentukan abses tersebut. Dapat terlihat adanya kalsifikasi pada otot
psoas pada abses psoas yang lama.
19
menunjukkan
penyebaran
penyakit
akan
tetapi
tidak
spesifik.
28
perubahan jaringan lunak sekitar tulang belakang, dan di dalam canalis spinalis, tetapi
didak dapat membedakan abses dari jaringan granulasi. Nilai diagnosis CT dinilai
kecil.
Modalitas pilihan untuk diagnosis adalah MRI, karena dapat menunjukkan
kelainan tulang dan jaringan lunak(21). Gambaran MRI discus intervertebralis yang
normal menunjukkan adanya resistensi discus terhadap infeksi tuberculosis. Resolusi
kontrasnya sangat baik pada semua bidang sehingga untuk diangnosa dan evaluasi
spondylitis tuberculosa lebih mudah. MRI mempunyai sensitifitas sekitar 96%,
spesifitas 92% dan akurasi total 94% untuk diagnostik osteomyelitis spinalis
pyogenik. Oleh karena itu MRI (gambar 10) merupakan saran diagnostik yang terbaik
untuk spondylitis tuberculosa (1).
Dibandingkan dengan CT, meskipun MRI mempunyai resolusi kontras yang
lebih baik akan tetapi tetap mempunyai kelemahan. Selain itu CT mempunyai special
resolution yang lebih tinggi, sehingga anatomi dan keadaan patologi tulang
ditunjukkan dengan lebih baik (21).
Gambar 9.X-ray
29
Evaluasi Laboratorium
Darah
Anemia hipokrom pada spondylitis tuberculosis sering ditemukan dalam
pemeriksaan hematologi. Jumlah leukosit diadapatkam peningkataan, dan shift to the
right pada pemeriksaan diff count. Pemeriksaan yang lain menunjukkan peningkatan
Laju Endap Darah (LED) meskipun pemeriksaan ini tidak spesifik, tetapi dapat
menggambarkan apakah penyakit ini sedang aktif atau tidak, dan apakah sudah
mengalami kesembuhan (25).
Bakteriologi
Pada tahun 2005 Prijambodo dkk. mengevaluasi lebih dari 800 kasus
30
Mycobacterium
Tuberculosis
dengan
mendeteksi
antibody
2.9 PENATALAKSANAAN
31
Non operatif:
Terapi non operatif terdiri dari berbagai macam terapi, yaitu pemberian OAT,
bed rest, eksternal support seperti brace maupun cast. Terapi non operatif ini di
indikasikan untuk untuk penyakit yang mild dan moderate dimana tidak adanya
pembentukan abses, spinal deformitas, instability deficit neurologis dan nyeri yang
menghebat (2), dimana terapi konservatif ini akan memberikan hasil yang baik (14).
Khusus untuk OAT akan diberikan juga walaupun kita memberikan terapi operatif
pada spondylitis TB.
Pada Spondilitis TB obat antituberculosa memainkan peranan penting dalam
penyembuhan pasien kasus ini. Efikasi dari obat antituberkulosis dalam pengobatan
kasus ini menurut beberapa penelitian sangat baik. Mendiagnosa penyakit ini sedini
mungkin
agar terapi OAT yang adekuat dan seawal mungkin dapat membantu
mencegah komplikasi dari spondylitis TB. Kombinasi dari OAT ini adalah
Rifampicin, isoniazid, etambutol dan pyrazinamide selama dua bulan awal diikuti
dengan kombinasi rifampicin dan isoniazid selama 6,9,12 atau 18 bulan. Kalau
menurut WHO mengemukakan OAT sebaiknya diberikan selama 6 bulan dengan
regimen rifampicin, isoniazid, etambutol dan pyrazinamide selama dua bulan awal
diikuti dengan kombinasi rifampicin dan isoniazid selama empat bulan. Sedangkan
American Society memakai regimen dengan fase awal selama dua bulan dengan fase
lanjutan selama Sembilan bulan, berbeda dengan Canadian Society yg menetapkan
OAT selama 12 bulan. Biasanya setelah 4-6 minggu pemberian OAT gejala dan nyeri
pada spondylitis TB akan mengalami perbaikan disertai penurunan LED dan CRP.
Pada dasarnya OAT dapat memperbaiki deficit neurologis oleh karena itu OAT
merupakan pengobatan yang lebih utama pada spondylitis TB dibandingkan tindakan
pembedahan. Tetapi untu kasus yang dindikasikan dilakukan pembedahan kombinasi
dari pemberian OAT pembedahan dan pemantauan efek samping OAT dapat menekan
timbulnya resistensi kuman TB terhadap OAT (3).
Tabel 1. Regimen OAT (Obat Anti Tuberculosis)
Kategori
Klasifikasi
dan
32
Pengobatan TB
penderita TB
2HRZE
dengan
4H3R3
4HR
kelainan
6HE
III
Pasien :
2HRZES
5H3R3E3
Kambuh (relapse)
/1HRZE
5HRE
Gagal (failure)
2HRZES
/1HRZE
Kasus
baru 2HRZ*2HRZ
BTA(-),Ro(+),
sakit
4H3R3*6HE
ringan
Kasus
TB
ekstraparu 2HRZ
4HR
ringan
IV
Kasus kronik
Jenis OAT
Sifat
3x/minggu
Isoniazid (H)
Bakterisid
5 (4-6)
10 (8-12)
Rifampicin (R)
Bakterisid
10 (8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
25 (20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S)
Bakterisid
15 (12-18)
15 (12-18)
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
15 (15-20)
30 (20-35)
33
Terapi Operatif
Terapi operatif ini sangat penting dalam pengobatan spondylitis TB tetapi
tidak semua kasus dilakukan terapi operatif, terapi dilakukan sesuai adanya indikasi.
Indikasi dari terapi operatif pada penyakit ini adalah
1. Adanya deficit neurologis,
2. Ditemukannya abses paravertebral,
3. Terdapat spinal instability,
4. Progresifitas kiphotik deformity
5. Nyeri punggung yang hebat (5).
Keuntungan dari tindakan operatif ini adalah berkurangnya sudut kiphosis ,
mengurangi nyeri, mendekompresi dari medulla spinalis, meningkatkan presentase
fusi dari tulang, mengurangi bone loss , mencegah deficit neurologis dan yang
terpenting adalah mengembalikan kemampuan ambulasi serta kemampuan aktifitas
sehari-hari.(1) Apabila tidak segera dilakukan tindakan operatif maka akan
memperberat derajat kiphosis, dapat juga menganggu sistem respirasi pada spondylitis
TB torakal, nyeri yang hebat dan paraplegia. Maka sangat direkomendasikan
dilakukan operasi seawall mungkin untuk mencegah spinainstability dan neurologis
deficit. Prijambodo dan Martiana (1996) mengevaluasi 12 kasus spondylitis
tuberculosis cervicalis yang dilakukan pembedahan, dimana menunjukkan pemulihan
100%
Tehnik operasi
Pada dasarnya hasil terapi akan semakin baik apabila operasi dilakukan saat
penyakit dalam stadium aktif karena apabila dilakukan terlambat fibrosis akan
mempersulit tehnik operasi. Secara keseluruhan pembedahan yang dilakukan
bertujuan drainase abses dan debridement sequester dan diskus, dekompresi medulla
spinalis, koreksi deformitas serta stabilisasi posterior. Prijambodo dan Martiana
(1996) mengevaluasi 12 kasus spondylitis tuberculosis cervicalis yang dilakukan
34
operatif
yang
dilakukan
adalah:
1.Dekompresi
posterior
2.
approach
anterior
debridement
Prijambodo
mempopulerkan
36
deformity terjadi pada pasien anatar 15-60 derajat. Progresivitas terjadi pada dua fase
yaitu 1 pada fase aktif dan 2 setelah fase penyembuhan. Menurut Erturer et al Untuk
mencegah timbulnya progresifias dari kiphotik deformity , fusi spinal 360sangat
dianjurkandenganmenggunakancagedanstabilisasiposteriorPSR(2)(30).
Kiphotikdeformitypadaspinaltuberculosisharusdilakukantindakanoperatif
untuk mengembalikan alignment , mengurangi nyeri dan mengeradikasi infeksi.
Terutama apabila kiphotik deformity lebih dari 50 harus dikoreksi untuk
mengembalikansagitalbalancebaikdarianteriormaupunposteriorbahkanreseksi
columnvertebraldiperlukanapabilaterdapatrigiddeformitydankiphotikdeformity
yangberat(6).
37
samapai L5 dengan diameter horizontal O,7 cm sampai 1.6cm dan diameter vertikal
dari 0,7cm samapai 1,5 cm. Dan pada bidang sagital pedikel ini mempunyai hamper
lurus dengan bidang ini.
Dikarenakan letak procesuss tranversus terhadap pedikel berbeda pada tulang
vertebra torakal bila dibandingkan dengan vertebra lumbal, maka landmark
penginsersian pada lumbal berbeda dengan torakal. Dikarenakan variasinya tersebut
penempatan dengan bantuan fluoroscopy atau dilihat secara langsung dan perabaan
pedicle melalui laminotomy sangat dinjurkan untuk vertebrae thoracalis. Pada level
T1-3, 4.5mm diameter screw dengan panjang 25-30 mm. Titik masuk screw pada
daerah torakal adalah segaris dengan bagian tengah processus transversus, dimana
sekitar 2 mm dibawah tepi inferior dari facet. Titik masuk dari pedikel vertebral
torakal juga dilewati garis vertical yang menghubungkan bagian tengah dari facet
joint. Pada vertebra torakal sudut dari pedikel mengarah dari posterolateral menuju
o
o
anteromedial dengan rata-rata 13.9 pada T4 sampai 0.3 pada T12.
38
Rockwood 7th ed
(gambar 14) yang digunakan sebagai acuan keberhasilan tehnik ini adalah Cobbs
angle vertebra pada saat sebelum operasi dibandingkan saat setelah operasi dan juga
dibandingkan dengan saat 3 bulan setelah operasi. Sehingga dapat diketahui hasil dan
kemampuan reposisi dan stabilisasi setelah 3 bulan operasi. Dalam hal ini semakin
kecil loss of correction maka semakin rigid instrumentasi tersebut.
40
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
41
3. Variabel Kendali
- Pasien yang telah memenuhi kriteria inklusi
- Pasien yang telah didiagnosa secara klinis,laboratoris, dan radiologis di
-
RSUD dr SOETOMO
Pasien dievaluasi dengan menggunakan ODI, VAS, Frankel dan derajat
kiphosis
dalam menjalani
aktifitas
42
BAB IV
43
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini ada 40 pasien spondylitis tuberculosa yang dirawat oleh
bagian orthopaedi RSUD dr Soetomo yang telah dilakukan anterior debridement dan
stabilisasi posterior yang dapat dievaluasi.
4.1 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan usia
Tabel 2 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan usia
Tabel 2
Usia
Jumlah
Presentase
<20 tahun
15%
20-29 tahun
17
42,5%
30-39 tahun
15%
40-49 tahun
22,5%
>50 tahun
5%
Total
40
100%
Berdasarkan tabel distribusi usia terbanyak penderita pada rentang usia 20-29
tahun (42,5%). Sedangkan jumlah penderita paling sedikit pada rentang usia >50
tahun (5%). Dengan rata-rata usia pasien yang dievaluasi 30 tahun
44
Jumlah
Presentase
Laki-laki
21
52,5%
Perempuan
19
47,5%
Total
40
100%
45
Jumlah
Presentase
1 segmen
15%
2segmen
21
52,5%
3 segmen
22,5%
4 segmen
7,5%
>4 segmen
2,5%
Total
40
100%
terkena
46
Jumlah
Presentase
Cervical
0%
Torakal
11
27,5%
47
Torakolumbal
13
32,5%
Lumbal
15
37%
Sacral
2,5%
Coccigeal
0%
Total
40
100%
kifosis sebelum
operasi
Tabel 6 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
48
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 di RSUD dr Soetomo berdasarkan sudut kiphosis sebelum
operasi.
Tabel 6
Sudut kiphosis
Jumlah
Presentase
7,5%
o
o
11 -20
17,5%
22,5%
22,5%
11
27,5%
Total
40
100%
-10
21
31
-30
-40
> 40
o
o
o
rata-rata 41,2 sedangkan yang paling sedikit dengan sudut 0 -10 sebanyak 3
kasus(7,5%).
49
-10
Jumlah
Presentase
20
51,2%
17,9%
17,9%
5,1%
o
o
11 -20
21
31
o
o
-30
-40
50
>40
Total
7,6%
39
100%
-10
Jumlah
Presentase
20,5%
17
43,5%
20,5%
7,7%
7,7%
39
100%
o
o
11 -20
21
31
o
o
>40
-30
-40
o
Total
o
o
-10 (51,2%) dengan rat-rata 13,6 sedangkan evaluasi
o
o
terakhir minimal 3 bulan pasca operasi terbanyak dengan sudut kiphosis 11 -20
sebanyak 17 kasus (43,5%) dengan rata-rata sudut kiphosis 19,102
paling sedikit dengan sudut >40
sedangkan yang
sebanyak 3 kasus(7,7%).
51
o
o
-5
-10
o
o
11 -15
16
-20
Jumlah
Presentase
20,5%
20,5%
17,9%
11
25,1%
52
>20
Total
17%
39
100%
o
o
derajat reposisi terbanyak dengan sudut 16 -20 sebanyak 11 kasus (25,1%) dengan
rata-rata 16
sebanyak 5 kasus(15,1%).
53
o
o
-5
-10
o
o
11 -15
15
>20
-20
total
Jumlah
Presentase
20
51,2%
23%
15,3%
12,8%
2,5%
39
100%
o
dengan rata-rata lost of correction 6 sedangkan derajat loss of correction yang paling
sedikit dengan sudut >20
54
Jumlah
Presentase
5%
5%
12,5%
7,5%
28
70%
Total
40
100%
7.50%
A
B
C
D
55
Frankel awal
Jumlah
Presentase
2,5%
56
7,5%
36
90%
Total
40
100%
Distribusi penderitaberdasarkan
Frankel minimal 3 bulan pasca
0%
operasi
2.50%
7.50%
A
B
C
90%
D
E
Grafi
k 4.10 Distribusi penderita berdasarkan Frankel evaluasi terakhir minimal 3 bulan
pasca operasi
4.11 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan perubahan Frankel
Tabel 12 menggambarkan distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang
57
telah dilakukan anterior debridement dan stabilisasi posterior mulai Januari 2009
sampai Januari 2014 diRSUD dr Soetomo berdasarkan perubahan Frankel
Tabel 12
Perubahan Frankel
Jumlah
Presentase
Tidak ada
30
75%
10%
5%
>2
10%
Total
40
100%
Distribusi penderitaberdasarkan
perubahan Frankel
5%
10%
10%
Tidak ada
75%
1
2
>2
58
Jumlah
Presentase
0-3
2,5%
4-7
16
40%
8-10
23
57,5%
Total
40
100
Grafik 4.12 Distribusi penderita berdasarkan nilai VAS (Visual Analog Scale)
4.13 Distribusi penderita spondylitis tuberculosa yang dilakukan anterior
debridement dan stabilisasi posterior berdasarkan nilai VAS (Visual Analog
Scale) evaluasi terakhir minimal 3 bulan setelah operasi
59
Jumlah
Presentase
0-3
40
100%
4-7
0%
8-10
0%
Total
40
100%
perbaikan nilai VAS 0-3 sebanyak 40 kasus (100%) dengan rata-rata nilai VAS
terakhir 1 , sedangkan penurunan nilai VAS tidak terjadi dari evaluasi yang kami
lakukan.
60
Jumlah
Presentase
0-20
0%
21-40
20%
41-60
20%
61-80
14
35%
>80
10
25%
Total
40
100%
61
Jumlah
Presentase
0-20
36
90%
21-40
10%
41-60
0%
61-80
0%
>80
0%
Total
40
100
62
Jumlah
Presentase
0-20
10%
21-40
22,5%
41-60
10
25%
61-80
11
27,5%
63
>80
15%
Total
100
100%
perubahan nilai ODI sebanyak 61-80 poin sebanyak 11 kasus (27,5%) dengan nilai
perbaikan rata-rata 64,175 , sedangkan paling sedikit penurunan nilai ODI 0-20
sebanyak 4 kasus (10%)
dan kiri berkekuatan motorik 5/5. Reflek fisiologis untuk KPR & APR kanan kiri
+2/+2. Tidak didapatkan reflek patologis. Dari hasil laboratorium didapatkan WBC
11000, LED 73 , ICT TB (+)
Maka penderita ini kami diagnose dengan Spondylitis TB Vth 11-VL1 Frankel
E. Penderita ini telah diterapi dengan pemberian OAT (obat antitubercuosis) dan
dilakukan terapi operatif debridement, bonegraft, koreksi deformitas, pemasangan
cage serta stabilisasi posterior dengan PSR
Setelah diterapi dan dievaluasi setelah 3 bulan, penderita tersebut mempunyai
nilai VAS dari 8 menjadi 2, nilai ODI dari 80 menjadi 24, sudut kyphosis dari 55
o
o
menjadi 8 dan setelah 3 bulan pasca operasi tetap menjadi 8 dengan Frankel yang
tetap E (sesuai gambar a,b,c di bawah ini).
(a) Pre-operatif
(b) Post-operatif
65
BAB V
PEMBAHASAN
Pada dasarnya tujuan pengobatan spondylitis tuberculosa adalah untuk
mengeradikasi kuman mycobacterium tuberculosa ini, mencegah deficit neurologis,
mencegah dan menengani kyphotik deformity, mengurangi nyeri mengembalikan
kemampuan ambulasi dan aktifitas sehari-hari penderita (2). Oleh karena pentingnya
tujuan terapi spondyilitisa tuberculosa ini, dalam penelitian ini kami mengevaluasi
penderita tuberculosa yang telah menjalani terapi operatif dengan anterior
debridement dan stabilisasi posterior maupun non operatif dengan pemberian obat anti
tuberculosa selama 5 tahun terakhir. Jumlah yang lebih tinggi dikemukakan oleh
Prijambodo dkk. yang melakukan operasi pada lebih dari 800 kasus spondylitis
tuberculosa selama periode 1983 sampa 2003 di RSUD Soetomo Surabaya. Hal ini
merupakan implikasi dari program pemerintah untuk menkan angkan kejadian
penyakit tuberculosa. Program ini sukses didukung oleh berkembangnya sarana dan
66
67
68
69
70
BAB VI
KESIMPULAN
Spondylitis tuberculosis merupakan penyakit infeksi tulang yang sering di
Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan ketepatan dan kemampuan dalam menangani
penyakit ini. Baik terapi nonoperatif maupun operatif harus diberikan kepada
penderita penyakit ini dengan tujuan pengobatan spondylitis tuberculosa adalah untuk
mengeradikasi kuman mycobacterium tuberculosa ini, mencegah deficit neurologis,
mencegah dan menengani kiphotik deformity, mengurangi nyeri mengembalikan
kemampuan ambulasi dan aktifitas sehari-hari penderita
Dari penelitian ini didapatkan bahwa terapi yang dilakukan baik operatif
71
dengan anterior debridement, bonegraft, dengan atau tanpa cage serta stabilisasi
posterior maupun nonoperatif dengan OAT (obat anti tuberculosis) telah dapat
memberikan hasil yang baik, dimana dari beberapa variable yang dinilai telah dapat
menunjukkan adanya perbaikan dari kiphotik deformity yang cukup signifikan
meskipun adanya sedikit loss of correction setelah di evluasi beberapa bulan ,
kemudian adanya peningkatan Frankel, penurunan nilai VAS dan ODI yang sangat
signifikan sehingga dapat mengurangi nyeri dan mengembalikan kemampuan dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
1. Mak KC And Cheung KM. 2013. Surgical Treatment Of Acute TB
Spondylitis:Indications And Outcomes. EurSpineJ22(Suppl4):S603S611
2. Issack Et Al. 2012. Surgical Correction Of Kyphotic Deformity In Spinal
Tuberculosis. InternationalOrthopaedics(SICOT)36:353357.
3. Merino Et Al. 2012. Microbiological Diagnosis Of Spinal Tuberculosis.
InternationalOrthopaedics(SICOT)36:233238
4. Agrawal Et Al 2010. Tuberculosis Of Spine. J Craniovertebr Junction
Spine.1(2): 7485.
72
74
CorporationCaseReportsInMedicineVolume2009,ArticleID632981,4Pages
27. Wang Et Al. 2012. SingleStage Posterior Instrumentation And Anterior
Debridement For Active Tuberculosis Of The Thoracic And Lumbar Spine With
KyphoticDeformity.InternationalOrthopaedics(SICOT)36:373380.
28. Kimizuka Et Al. 2013 A Case Of Skeletal Tuberculosis And Psoas Abscess:
75
76
77
78