Anda di halaman 1dari 56

Cerpen Karya : Oka Rusmini

Pohon Api

Sejak tubuhnya mulai tumbuh, Kekayi sangat sadar akan kekuasaan yang
dimilikinya. Kekayi, sangat mengagumi bentuk tubuhnya. Tubuh yang lebih indah
daripada sebatang pohon, pohon yang tumbuh dekat jendela kamarnya.

Pohon itu tingginya 20 meter. Daunnya halus dan rimbun. Tanaman ini memiliki
bunga yang sangat indah. Maka banyak orang rebutan memberi nama: flamboyan,
delonix regia, royal poinciana. Kekayi lebih suka memberinya nama pohon api.

Pohon yang anggun dan seksi. Dan Kekayi merasa tubuhnya telah tumbuh menjadi
sebatang pohon, pohon api. Pohon itulah temannya, ibunya, juga semangatnya.
Tempat dia mengadu. Juga jika marah, pohon api itu membiarkan Kekayi
menancapkan puluhan pisau runcing dan tajam di tubuhnya. Pohon api itu tetap diam,
tidak merasa dilukai, justru menjatuhkan kelopak bunganya yang merah menyala.
Kadang pohon api itu dipenuhi bunga, seolah pohon itu akan membakar langit. Pohon
api itu akan memakan semua daun-daunnya, meninggalkan lidah api yang menyala.
Kekayi akan meletakkan tubuhnya di bawah pohon berkasur rumput. Pohon api itu
akan menjatuhkan kelopak bunganya yang merah menyala, mengubur tubuh Kekayi.
Terasa hangat dan merasa dilindungi. Kekayi sangat menikmati, sampai seorang
dayang membongkar kuburan bunga itu dan mengangkat tubuh kecilnya. Begitulah
kejadiannya jika pohon api itu berbunga. Kekayi merasa pohon api itulah yang
mengajarinya cara hidup. Memberi inspirasi. Juga mengajarinya cinta!

Pohon api itu terasa menjelma di tubuh Kekayi. Bahkan ketika dia menggosokkan
tangannya ke tangan Kekaya, lalu menjatuhkan tubuhnya yang mulai terbentuk indah,
lekuk yang sempurna, pinggang kecil, dan dua buah bukit yang membusung padat ke
tubuh Kekaya, sambil menggosokkan bukit-bukit yang mulai menonjol kaku dan padat
itu ke dada Kekaya, lelaki setengah baya itu berkeringat dan menggigil. Kekayi girang
melihat kepandiran Kekaya, ayah tirinya, ayah angkatnya itu blingsatan. Tidak sanggup
menatap mata Kekayi. Apalagi menyentuh kulitnya yang bening.

Semakin hari, tubuh Kekayi tumbuh cepat. Sorot mata iri para putri dan pemaisuri,
juga selir, membuat Kekayi merasa semakin bergairah. Bahkan ada seorang selir ingin
meracunnya, berharap dia mati! Semakin banyak yang menaburkan racun di
makanannya, semakin bertambah pesona yang memancar dari dirinya.

Setiap hari adalah tantangan. Semakin banyak perempuan ingin melukainya.


Semakin bertambah kecantikan Kekayi!

Banyak lelaki datang, ingin melamarnya. Kekayi tak ingin harta. Yang dia inginkan
adalah kekuasaan. Kekuasaanlah yang kelak dikenang orang-orang yang menandakan
dirinya pernah ada dan tumbuh di dalam kehidupan ini. Tubuhnya dipersiapkan untuk
melahirkan raja-raja besar dan berkuasa dalam sejarah.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Akhirnya, datanglah Dasarata, lelaki tua, yang terpikat oleh kecantikan dan
kemudaannya. Lelaki sekaligus seorang raja dari kerajaan besar dan termasyhur.

Kekayi sempat menangis tujuh hari. Karena dewata memilihkan seorang lelaki tua
untuknya. Lelaki yang kelihatannya akan mati dalam waktu dekat karena ringkih
dimakan usia. Lelaki yang ditolongnya ketika terluka. Ayahnya, Raja Kekaya menyuruh
Kekayi merawat lelaki itu dengan baik. Kelak, lelaki itulah yang akan mengangkat
kehidupannya.

Lelaki tua yang terkapar di tengah hutan. Dengan luka yang menjijikkan. Baunya
melebihi bau mayat dan sampah makanan busuk. Lelaki tua yang tubuhnya tidak lagi
menunjukkan tanda-tanda yang bisa membuatnya bergairah. Lelaki tua, yang berdiri
saja, memerlukan bantuannya. Keriput di seluruh kulitnya juga wajahnya. Lelaki tua
yang memiliki mata begitu nakal. Lelaki itu juga sering mengelus pundak dan pipinya
dengan napas yang berpacu. Lelaki yang kadang menyuruh Kekayi melumuri seluruh
tubuh keriputnya dengan minyak cendana. Aslinya, lelaki itu begitu menjijikkan bagi
Kekayi. Setiap selesai menggosok tubuh lelaki tua itu, Kekayi muntah-muntah. Seluruh
makanan dalam perutnya terkuras. Tubuh lelaki itu begitu buruk dan menjijikkan.
Membuat Kekayi selalu mual jika berada di dekatnya.

“Turuti seluruh perintahnya, Kekayi. Kelak kau akan tahu siapa sesungguhnya lelaki
itu?” Itu kata-kata yang selalu dikatakan Kekaya, ayah angkatnya.

Bahkan emban, yang sudah kuanggap ibu bagiku juga mengatakan hal yang sama.
Siapakah lelaki tua jelek ini? Lelaki tua dengan mata nakal. Mata yang selalu membuat
Kekayi merasa telanjang di hadapannya. Lelaki yang mengelus seluruh tubuhnya
dengan penuh gairah. Lelaki yang menawarkan seluruh hidupnya untuk Kekayi.

“Aku akan membuang semua istriku jika kau mau ikut denganku, Kekayi.
Perempuan tercantik melebihi kecantikan istri para dewa. Hidupku kembali bergairah
lagi melihatmu. Mintalah apa saja! Aku adalah raja dari kerajaan besar. Keputusanku
adalah hukum. Akulah yang menentukan hidup-mati rakyatku. Ikutlah denganku, kau
akan kujadikan ratuku!” Suaranya parau dan tidak jelas. Mungkin umurnya sudah
ratusan tahun, atau ribuan tahun.

Lelaki yang telah melecehkan dirinya. Tetapi Kekayi tidak bereaksi karena semua
manusia di kerajaan Kekaya menaruh hormat pada lelaki ringkih ini. Kekayi
menimbang sendiri. Berpikir dan berhitung. Apakah lelaki ini jawaban bagi doa-
doanya? Bagaimana mungkin lelaki tua ini bisa menanamkan benih di rahimnya?
Berapa umurnya? Dia jauh lebih tua dari Kekaya. Kenapa Kekaya begitu hormat
padanya? Dan membiarkan dirinya menemani lelaki tua, bau, dan jelek ini berbulan-
bulan, sampai seluruh luka di tubuhnya mengering. Kekaya juga membiarkan dirinya
memandikan dan merawat lelaki tua ini sendiri!

Kekayi pun dibawa Dasarata dengan upacara megah bak upacara menyambut raja
baru. Sungguh sebuah upacara yang tidak biasa. Tetapi, siapa yang berani menentang
Cerpen Karya : Oka Rusmini

titah Raja? Membuat para perempuan semakin geram dan cemburu pada
kecantikannya, juga keberuntungannya.

Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Dasarata setelah dua permaisurinya


yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Dasarata meminang dirinya, ayah
Kekayi membuat perjanjian dengan Dasarata bahwa putra yang dilahirkan oleh Kekayi
harus menjadi raja. Dasarata menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya
yang lain tidak mampu melahirkan putra.

Kusalya istri pertama Dasarata hanya bisa meneteskan air mata. Lelah rasanya
memburu cinta Dasarata. Dulu Dasarata berjanji padanya, akan mengabdikan
hidupnya untuknya. Kemudian mereka menikah. Kusalya, putri tunggal Prabu
Banaputra dengan Dewi Barawati dari negara Ayodya, cinta mati pada Dasarata. Lelaki
itu pun dinobatkan menjadi raja Ayodya menggantikan mertuanya, Prabu Banaputra,
yang terbunuh mati dalam pertempuran melawan Prabu Dasamuka, raja negara
Alengka.

Tiga puluh tahun bersama tanpa putra, Dasarata menyerah. Kelakuannya berubah.
Datanglah, Sumitra. Perempuan peragu dan pandai mengambil hati dengan kata-
katanya yang manis. Bagi Kusalya, Sumitra perempuan penjilat. Berusaha melakukan
apa saja untuk menyenangkan hati orang banyak. Semuanya tentu untuk
keuntungannya pribadi.

Kebenciannya pada Sumitra, perempuan kedua yang dibawa Dasarata, belum lagi
terkikis, padahal sudah puluhan tahun bersama. Hari ini, datang Kekayi, perempuan
ketiga, memiliki kecantikan dan keangkuhan yang tidak tertandingi. Kekayi memiliki
ketegasan seorang raja. Taksunya kuat. Sumitra, yang berusaha menjilat dengan kata-
kata manisnya, tidak berkutik. Justru ketakutan jika duduk berdampingan dengan
Kekayi.

Namun, setelah menikah dan hidup lama, Kekayi pun belum menunjukkan tanda-
tanda kehamilan. Kondisi ini membuat Kusalya sedikit terhibur.

Dasarata pun putus asa, dia kemudian mengadakan upacara bagi para dewa.
Upacaranya diterima oleh para dewa dan utusan mereka memberikan sebuah guci
bertabur permata hitam berisi air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Kusalya
minum seteguk dengan perasaan ragu karena mengingat usianya yang sudah tidak
lagi muda, mungkinkah bisa hamil?

Sumitra, dengan nekat sengaja minum dua teguk, dan berharap lahir banyak anak
dari rahimnya agar mampu mengalahkan Kusalya dan Kekayi. Atas anugerah tersebut,
ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putra. Rama, lahir dari Kusalya. Bharata,
lahir dari Kekayi, Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra.

***
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Kekayi puas, seorang bayi laki-laki kini jadi miliknya. Dan lelaki tua itu tidak pernah
datang lagi ke biliknya. Setiap hari lelaki tua itu datang untuk memangsa tubuhnya
dengan rakus. Tidak pernah bosan. Tidak pernah berhenti. Sangat menjijikkan. Sejak
bayi lelakinya lahir, Kekayi berusaha sibuk mengurus semua kebutuhan anaknya.
Memilih guru untuk bertempur. Juga sibuk dengan urusan-urusan sepele. Dia ingin
terlihat sibuk karena jijik meladeni Dasarata yang selalu lapar pada tubuhnya. Tubuh
Kekayi yang sudah seperti batu. Dingin dan kehilangan kekuatan, juga tak ada gairah
lagi jika melihat lelaki.

Akulah Kekayi, perempuan yang tidak tahu arti cinta. Seorang ibu yang
mengandung 12 bulan. Telah dikutuk oleh anaknya sendiri!

Bharata telah memakiku. Kata-katanya kasar, yang seharusnya tak layak diucapkan
oleh seorang anak yang berutang kehidupan pada ibunya.

Aku tidak ingin mengutuknya. Aku ibunya. Kutukan seorang ibu akan membuat
bencana besar bagi anakku. Aku ingin Bharata jadi raja. Aku ingin semua anak yang
kumuntahkan dari tubuhku berkuasa. Bukan Rama, anak dari perempuan tua, Kusalya.

Kekayi namanya, sejak kematian Dasarata, sang raja. Memilih untuk berbicara
dengan matahari. Mulutnya tidak pernah terbuka. Matanya selalu tajam memandang
ke arah matahari terbit sampai matahari terbenam. Perempuan itu akan terus
menghadap ke arah matahari dengan posisi yoga.

Tidak ada yang bisa mengajaknya bicara. Tidak juga anak-anaknya. Jika malam
datang, Kekayi akan merebahkan tubuhnya. Telentang menghadap langit. Sambil
memejamkan mata. Menunggu matahari.

***

Setiap pagi, ketika kemilau mulai menggores langit, perempuan itu akan duduk
bersimpuh sambil mengatupkan kedua tangannya di dada. Perempuan cantik itu tidak
akan pernah bicara, kecuali Bharatha mau menjadi raja.

Namaku Kekayi. Lengkapnya, Dewi Kekayi. Putri Prabu Kekaya, raja negara
Padnapura. Kekaya, sesungguhnya, bukan ayah kandungku. Aku adalah putri Prabu
Samresi, raja Wangsa Hehaya. Ayahku terbunuh mati dalam pertempuran melawan
Ramaparasu.

Waktu aku masih berwujud bayi merah, seorang emban berhasil


menyelamatkanku, Matara. Dialah yang menyerahkan bayi merah itu kepada Kekaya.

Aku tumbuh makin besar dan cantik. Kupikir Kekaya tertarik padaku, para selir dan
ratu cemburu padaku.

“Sumber kekuatan terbesar dalam hidupku hanyalah kecantikan dan kemudaan.”


Kata-kata itulah yang selalu diselipkan Matara kepadaku. Sesungguhnya aku adalah
Cerpen Karya : Oka Rusmini

perempuan miskin. Tidak memiliki harta. Tidak juga orangtua. Yang kumiliki kecantikan
dan kemudaan. Kata Matara, kecantikankulah yang kelak membuatku memiliki
kekuasaan. Jika aku bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Secepat dan setepat
mungkin. Jika meleset membidikkan anak panah. Hidupkulah yang jadi taruhan!

Aku suka sekali menggunakan kecantikanku untuk berkuasa. Para panglima di


kerajaan mengajariku berkuda, kadang menggunakan tombak untuk berburu. Apa pun
yang kuinginkan, para lelaki selalu datang membantuku.

Suatu hari, ayah angkatku, Raja Kekaya kugoda. Aku suka membangun impian-
impian aneh.

Kata para dayang, kadang tubuhku mengeluarkan cahaya. Jika datang bulan
terang, purnama, cahaya tubuhku akan memancar membuat silau.

Kadang mereka berpikir aku keturunan para dewa sakti. Aku tidak pernah
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku senang mereka berpikir aku keturunan
dewa. Mereka semua tidak pernah mengingat nama ayahku dan kerajaannya yang
hancur. Karena kebodohan ayahku kerajaanku hancur. Seorang perempuan cantik
telah dihidangkan kepadanya. Untuk umpan menguasai kerajaannya.

Matara, emban itulah yang menyelamatkan nasibku. Kadang aku berpikir Matara
adalah ibuku, dan aku lahir karena hubungan Matara dan ayahku. Aku senang
membayangkan Matara sebagai ibuku, karena dialah yang selalu ada sejak aku masih
bayi merah sampai aku tumbuh jadi perempuan paling cantik. Aku malah berpikir
Matara itu bukan manusia. Mungkin dia dedemit, raksasi atau sejenis itu. Tubuhnya
tidak berubah menua. Dia juga kuat menggotong tubuhku ketika aku rubuh. Waktu
itu seorang selir raja mengajakku santap malam. Kata Matara, selir itu telah
membubuhkan racun ganas di tubuhku. Dan sesungguhnya aku telah mati tiga hari.
Entah apa yang dilakukan Matara, sampai hari ini aku baik-baik saja.

Sebuah rahasia tetap kusimpan rapi. Jika istri raja mengundangku datang ke
kamarnya, Mataralah yang menjelma jadi Kekayi.

Banyak selir raja yang mati jika Matara yang menjelma jadi Kekayi. Karena Matara
mampu melihat mana menu beracun, dan dengan mudah memindahkan makanan
beracun itu ke tempat pemberi racun.

Karena Matara selalu berwujud Kekayi, istri-istri raja dan selir pun makin takut pada
Kekayi. Bahkan banyak rumor, aku adalah anak kesayangan dewa yang lahir untuk
menguasai seluruh kehidupan ini. Kekayi tidak mempan diracun. Juga tidak mempan
disabet benda tajam. Aku tahu semua itu ulah Matara. Makanya, aku berpikir
Mataralah ibuku. Hanya seorang ibu yang rela melakukan apa saja untuk darah
dagingku. Aku lebih mengenal Matara, dibanding sosok ibu yang melahirkanku.

“Kau adalah keturunan raja besar yang gagah. Lahir dari rahim perempuan cantik
yang tidak ada tandingannya. Bahkan banyak dewa jatuh cinta pada ibumu, Kekayi?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Suatu hari Raja Kekaya berkata sungguh-sungguh. Tatapan lelaki itu tajam, mengupas
seluruh serat kapas yang melekat di tubuh Kekayi. Terdengar detak jantungnya, desah
napasnya yang berdengung seperti tawon di kupingku. Aku tahu, Kekaya berusaha
menghentikan seluruh detak tubuhnya yang dia rasa tidak normal. Kekayi tahu seluruh
dayang, selir, dan puluhan istri Kekaya tahu. Bahwa Kekaya jatuh cinta pada Kekayi.

“Aku suka para lelaki menatapku dengan birahi.”

“Kekayi!”

“Jaga mulutmu! Jika kau semakin angkuh dan sombong. Musuhmu akan semakin
banyak.” Matara selalu berkata dengan ketus. Hanya Mataralah yang bisa
meredamnya. Kekayi tidak percaya pada siapa pun, juga pada apa pun. Penunjuk jalan
hidupnya adalah Matara. Perempuan bertubuh kayu, dengan bongkok seperti
gumpalan batu di punggungnya.

***

Aku adalah Kekayi, perempuan yang menghabiskan hidupnya untuk berdoa dan
tirakat pada hidup. Kini menjelma perempuan tua, yang dicaci-maki anakku sendiri.
Sebagai Ibu, aku tak akan mengutuk mereka. Karena mereka tidak pernah tahu siapa
Kekayi sesungguhnya! Namaku Kekayi, perempuan, istri seorang lelaki tua, dan ibu
Bharata. Bharata memusuhiku, memakiku, dan berkata kasar, menyesal memiliki ibu
seperti aku. Yang tamak, loba, haus kekuasaan, menghalalkan apa saja untuk dirinya
sendiri dan tanpa hati. Perempuan hina yang membunuh suaminya sendiri, Dasarata.
Kekayi tidak habis pikir, kenapa dia yang disalahkan oleh Bharata? Bukankah Dasarata
sendiri yang berjanji akan memberikan apa saja yang dia inginkan? Juga mengangkat
Bharata sebagai raja? Lalu, kenapa Dasarata berubah arah, mengangkat Rama? Kenapa
Bharata begitu marah padanya? Bukankah hak dan kewajiban seorang ibu adalah
memberi hal-hal terbaik bagi anaknya. Tugas ibu juga membuat masa depan anaknya
gemilang.

Bharata memang lelaki yang masih muda. Belum paham hidup. Belum paham
bahwa kesempatan itu tidak datang dua kali! Kekayi tidak habis pikir, kenapa Bharata
berpihak pada Kusalya? Dan memohon maaf atas nama Kekayi.

Hyang Jagat! Betapa bodohnya Bharata. Betapa menyedihkan Kekayi sebagai ibu
telah melahirkan seorang anak lelaki yang rapuh!

Mungkin ketika aku mengandung mereka, mereka adalah burung gagak yang
mematuk rahimku.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Kekayi
PEREMPUAN tua itu masih menyisakan gurat-gurat kecantikan yang tidak dimiliki
perempuan-perempuan lain di negeri ini. Matanya tajam, mata seorang penari yang
begitu menggoda. Jika menatapnya, lelaki pasti akan bertekuk lutut dan menghamba
kepadanya. Kerlingnya bisa mematahkan hati. Lelaki paling setia pun akan tunduk,
takluk, dan melupakan istri yang dicintainya.

Mata itu mampu mengatur hidupnya, sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Dialah perempuan yang sadar bahwa tubuh perempuan adalah alat, tepatnya senjata
mematikan! Jika perempuan mampu memainkan dengan baik dan penuh percaya diri,
tubuh itu bernama: kekuasaan!

***

PEREMPUAN tua itu juga suka menggulung rambutnya yang mulai berubah warna
tinggi-tinggi, untuk memperlihatkan tengkuknya yang menggairahkan. Lehernya
begitu jenjang, keriput tipis yang menghias kulit lehernya justru menjadi semacam
aksesori, menambah gairah orang-orang yang melihatnya. Jika berjalan, ia selalu
berjalan tegak dengan kepala sedikit mendongak.

Sanggulnya selalu dihiasi bunga cempaka berjejer, jumlahnya selalu ganjil.


Perempuan itu percaya, hidupnya yang ganjil harus ditandai juga dengan ritual yang
ganjil. Jika hari kelahirannya, Anggara-Ugu, tiba, perempuan itu hanya meneguk air
putih dan makan semangkuk kuncup melati. Mengunyahnya tanpa pernah membuka
mulut. Menjelang tengah malam, dia akan mandi kembang tujuh macam tujuh warna.

Jika berdekatan dengannya akan tercium bau wangi yang misterius, sedikit mistis,
karena perempuan tua itu melabur rambutnya yang kelabu dengan minyak rambut
buatannya sendiri. Dia membuat minyak kelapa sendiri, kemudian dimasukkan ke
dalam botol besar yang berbentuk mirip bambu yang memiliki tutup botol runcing,
bergerigi sangat tajam. Di dalamnya ia masukkan pula potongan bunga kenanga dan
irisan daun pandan berduri.

Warna kelabu rambutnya justru menambah kecantikannya. Kecantikan yang masih


terlihat tegas dan nyata. Kecantikan yang memiliki taksu yang kuat.

Tubuhnya ramping. Jika dilihat dari belakang, banyak orang berpikir bahwa
perempuan itu adalah perempuan muda yang sangat cantik. Wajahnya juga masih
memancarkan kecantikan memukau. Bahkan seorang kusir kuda berumur belasan
tahun, terinjak kudanya sendiri ketika takjub menatap perempuan itu.

***
Cerpen Karya : Oka Rusmini

SUDAH puluhan tahun perempuan itu selalu menghadap arah matahari, berharap
dewa matahari bersimpati pada hidupnya, pada pengorbanan yang telah dia lakukan
untuk hidupnya. Dia tahu, menjadi lakon di atas panggung hidup ini tidak ada yang
gratis! Apa yang diambil harus dibayar. Yang datang pasti akan pergi. Yang hidup pasti
akan mati! Cinta akan bertemu benci. Begitu hukum kehidupan ini. Tetapi mengapa
hidup hanya merenggut semua miliknya, tanpa mau membayar kepadanya? Bahkan
ratusan doa yang dia panjatkan dalam satu jam selama puluhan tahun belum dia
rasakan. Kalau hidup berlaku tidak adil padanya, pada siapa dia harus mengadu?
Protes dan marah?

Ke mana doa-doa yang telah dipanjatkan mengalir? Jika sungai bertemu dengan
laut. Ke mana larinya doa-doanya?

Tubuhnya yang mulai berkerut, mirip kulit pohon kamboja yang berjejer di depan
kamar tidurnya. Dia selalu terjaga pagi hari dengan amarah yang siap meledak.
Kesabaran itu ada batasnya, perempuan hamil pun ingin segera memuntahkan
dagingnya. Saat ini tak ada lagi yang bisa dipercaya kecuali matahari.

Perempuan tua itu begitu mencintai matahari, seperti dia mencintai dirinya sendiri.
Juga hidupnya. Jika matahari diusir, menjelma gelap. Kesedihan mengepung hati dan
pikirannya. Tetapi dia tidak ingin menumpahkan butiran air di matanya yang bulat dan
indah. Baginya malam hari adalah saat paling membosankan dalam hidupnya.

“Aku tidak suka bau malam!”

“Kenapa? Malam justru menaburkan kedamaian. Keheningan. Kau bisa berbicara


dengan dirimu sendiri. Aku menyukai malam, karena malam membuatku paham arti
hidup. Bukankah para penyair selalu terjaga pada malam hari untuk menuliskan hal-
hal indah dalam hidup ini?”

“Aku tidak suka malam!”

“Kenapa?”

“Malam membuat hidup ini tidak lagi menarik. Malam membuat hidup ini jadi
cengeng dan melankolis. Aku tidak suka malam! Malam membuatku jadi perempuan
lemah. Perempuan cengeng! Perempuan yang selalu mengeluh pada hidup!
Perempuan yang menyesali perjalanan hidupnya sendiri. Hidup yang dipilihnya sendiri.
Aku benci hal-hal yang berbau perasaan. Firasat. Dan hal-hal yang bagiku sudah tidak
masuk akal. Cengeng.”

“Dulu kau suka para penyair mengidungkan karya-karya mereka di depanmu.”

“Itu karena aku bodoh!”

“Apa maksudmu?! Kau bukan perempuan bodoh!”


Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Aku bodoh! Hanya perempuan bodoh yang mau menghabiskan waktu dengan
hal-hal yang membuat dirinya mabuk. Tak ada keindahan dalam cinta! Romantisme.
Puisi-puisi cinta, tatapan penuh kasih, kesetiaan, itu semua bohong! Aku mabuk pada
diri sendiri. Terbenam dalam lautan kesedihan yang paling dalam. Ketika muda, aku
adalah perempuan tolol! Yang mau saja dihidangi kidung-kidung cengeng.
Membiarkan orang-orang datang dan menikmati kecantikanku. Tubuhku!
Merampasnya dengan cara terhormat tanpa aku sadar. Mereka telah mencuri hidupku.
Mencuri masa depanku! Kidung-kidung cinta itulah yang membuatku mabuk dan
bodoh.”

“Kau menyesal jadi Kekayi?”

“Tidak! Aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku tidak menyalahkan orang-orang


yang menaburkan mimpi-mimpi kosong ke dalam hidupku. Aku juga tidak menyesal
orang-orang menikmati kecantikan dan kemudaanku. Yang membuat aku menyesal,
hidup telah memperlakukan aku tidak adil. Aku merasa dikhianati oleh hidup itu
sendiri. Karena aku perempuan bodoh, perempuan yang tidak paham keinginannya
sendiri. Perempuan yang mabuk karena kecantikannya. Kemudaannya.

Aslinya aku perempuan tolol. Tolol sekali! Bahkan aku tidak mampu
mengembalikan anakku. Aku tidak mampu meraih anak yang dua belas bulan hidup
di tubuhku. Merampas seluruh makananku. Merampas pikiranku. Merampas seluruh
kenikmatanku sebagai perempuan muda. Kau tahu, sering aku marah pada gumpalan
daging yang tumbuh makin membesar di tubuhku. Merampas rasa laparku. Merampas
tubuhkku. Kadang, pada tengah malam ia merampas napasku. Mungkin daging itu
menginginkan aku mati pada tengah malam.”

“Ah… pikiranmu selalu aneh-aneh.”

“Aku tidak sedang berpikir. Aku sedang bercerita tentang hidupku sebagai
perempuan muda. Hidupku sendiri. Hidupku yang kupilih dan kuyakini sendiri. Hidup
yang telah kusia-siakan sendiri. Aku bercerita padamu, kuharap kelak kau bisa
menuliskannya menjadi kidung, kakawin, atau serat. Aku tidak ingin diam saja, karena
orang-orang tidak akan tahu pikiranku. Perjuanganku. Mereka hanya tahu aku
perempuan culas! Perempuan jahat! Mereka harus tahu, aku juga punya mimpi dan
cita-cita untuk hidupku dan keturunanku. Aku telah berkorban banyak dalam hidup
ini. Juga untuk anak-anakku!”

“Kau tidak lagi muda, Kekayi!”

“Aku tahu!”

“Umurmu…’’

“Umurku mungkin seratus tahun? Atau, seribu tahun. Aku tidak peduli angka-
angka itu. Mau apa kau?! Kau percaya pada waktu? Aku tidak! Waktu telah lama
berkhianat padaku. Aku tak percaya lagi padanya! Aku tidak peduli usiaku. Aku hanya
Cerpen Karya : Oka Rusmini

peduli pada hidupku. Aku merasa, aku telah melakukan banyak hal untuk membuat
pilihan hidupku menjadi impianku sebagai perempuan muda. Melahirkan raja-raja.
Hidup sejahtera. Mendapatkan lelaki yang bisa mengangkat statusku makin tinggi,
kalau bisa melebihi status sosial dan ekonomi seluruh perempuan yang ada di negeri
ini. Sejak haid pertama, aku melakukan tapa. Memohon pada para Dewa. Sudah lama
aku tidak menyentuh daging. Aku memutih. Semuanya kulakukan untuk hidupku
sendiri!”

“Ah… Kekayi. Ambisimu telah membunuhmu!”

“Ambisi? Kau salah menilaiku. Bagiku, perempuan yang tidak memiliki ambisi, lebih
baik mati saja! Aku telah menyerahkan seluruh hidupku. Seluruh keindahan tubuhku
untuk mimpiku. Aku tak paham cinta. Aku tak paham berbagi gairah dengan lelaki.
Yang merobek tubuhku dan melukaiku adalah Dasarata, lelaki tua yang begitu mabuk
pada kemudaanku. Kecantikanku. Dia lebih cocok menjadi kakekku dibanding menjadi
suamiku. Aku tidak pernah merasakan apa pun saat bersamanya. Bahkan ketika kami
bersenggama, rasa sakit melumuri seluruh tulang-tulang dan urat dalam tubuhku. Tak
sepotong manusia pun dititipkan di rahimku oleh lelaki tua bangka itu! Nafsunya yang
menggebu telah melunturkan hasratku, lelaki tua itu tidak akan mampu menitipkan
benih di rahimku. Berhari-hari aku harus melayaninya. Dia tidak peduli seluruh tubuhku
sakit. Untungnya para Dewa tahu diri. Sejak haid pertama sampai disunting Dasarata,
aku memilih tetap dalam tapa, memutih. Tidak makan apa pun selain nasi putih dan
air putih.”

“Apa sesungguhnya yang kau inginkan sebagai perempuan?”

“Aku ingin dicintai secara tulus oleh orang-orang yang telah kubesarkan. Manusia-
manusia yang tumbuh dalam tubuhku. Kupelihara dengan rasa sakit. Apakah Bharata
tahu itu? Apakah Bharata tahu sulitnya menjadi perempuan? Sulitnya menjadi ibu?
Sulitnya memeliharanya di dalam kandunganku, di tubuhku! Orang-orang yang
tumbuh dalam tubuhku telah melukai pengorbananku sebagai Kekayi. Bharata anak
lelakiku menolak jadi raja. Dan memakiku dengan kata-kata kotor.”

“Kau tidak cocok jadi ibuku. Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin mengeram
dalam tubuhmu, Kekayi! Aku malu punya ibu culas macam kau! Ibu yang
menginginkan hak yang bukan menjadi haknya. Ibu yang menghancurkan anaknya
sendiri karena keinginannya yang tidak masuk akal. Aku menyesal dan mengutuk
diriku sebagai manusia! Karena terlahir dari rahimmu. Kau telah membuat hidupku
penuh bencana karena ambisimu. Kau telah melukai dan menistakan hidupmu dan
hidup anak-anakmu. Kerajaan ini adalah milik Rama. Bukan milikku. Kau lihat sendiri di
luar sana. Rakyat menatapku dengan tatapan aneh. Tatapan penuh iba. Sekaligus
benci. Kau telah membuatku menjadi anak yang tidak berbakti! Anak yang dilecehkan
sepanjang hidupku. Karena aku memiliki ibu sepertimu. Aku menyesal menjadi
anakmu!”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Begitulah Bharata, anak lelaki tampan yang telah dirawat Kekayi dengan cinta dan
doa yang tulus. Telah melukai hati perempuannya. Hati seorang ibu. Hati seorang
perempuan yang sesungguhnya telah lama patah hati.

Tidak ada yang paham luka yang terus melumuri hidup Kekayi. Sejak muda
perempuan itu selalu menghabiskan waktu bertapa. Memohon pada dewata agar
memilihnya menjadi perempuan yang melahirkan raja-raja besar.

Sejak kecil Kekayi sadar, sebagai anak angkat Raja Kekaya, posisinya sangat lemah.
Dia tidak mungkin menjadi ratu, menggantikan Kekaya memimpin Kerajaan
Padnapura. Padahal sejak kecil, ketika berumur dua belas tahun, dan diangkat anak
oleh Kekaya, Kekayi selalu membayangkan duduk dengan kepala tegak di kursi
singgasana Padnapura. Bahkan dia telah mempersiapkan diri untuk menjadi lelaki.

Kekayi sejak kecil selalu minta dilatih bela diri, melempar tombak berburu, dan
melakukan hal-hal yang biasanya tidak dilakukan anak perempuan. Kekayi akan marah
besar jika Kekaya menolak permintaannya untuk bertarung dengan anak lelaki. Dan di
setiap pertarungan Kekayi akan berpakaian seperti lelaki, sehingga para petarung tidak
melihatnya sebagai perempuan. Di setiap pertarungan Kekayi selalu mudah
menaklukkan lawan.

Tetapi usaha kerasnya untuk menunjukkan pada Kekaya bahwa dirinya layak
diperhitungkan sebagai salah satu calon penguasa sia-sia. Kekaya telah
mempersiapkan seorang putra mahkota. Seorang lelaki yang lebih tua dari Kekayi.
Putra mahkota yang sejak lahir sadar akan haknya sebagai penguasa. Lelaki bodoh,
pemalas, dan sombong! Dia juga memperlakukan para perempuan muda di kerajaan
dengan tidak hormat.

Suatu pagi, dia meremas dada Kekayi, menepuk bokongnya sambil tertawa,
bersama para pengawal dan saudara-saudara lelakinya. Kekayi menggunakan bagian
ujung tangan—bagian yang bersentuhan langsung dengan objek—untuk memukul
objek. Semakin kecil dan lancip ujung tangan yang digunakan untuk memukul,
semakin mudah untuk meremukkan objek. Itu petunjuk dari gurunya. Kekayi pun
mempraktikkan dengan riang teknik melumpuhkan lawan itu. Hasilnya, gigi calon raja
itu rompal. Tangan kanannya patah. Leher terkilir.

Sejak itu, lelaki bertubuh badut itu tak berani menyentuh dan menatapnya. ***
Cerpen Karya : Oka Rusmini

PALUNG
PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang mulai berwarna kelabu. Cermin di
depannya membuatnya selalu merasa ingin berpaling. Ya, dia ingin sekali menonton
wajahnya. Membaca remah-renah yang membuat warna kerutan di wajahnya makin
keras, seperli goresan garis di kanvas. Setiap garis memiliki maknanya sendiri. Semua
lekuk dan kerut itu pasti memiliki cerita. Kelamkah? Ia ingin sekali mengenal dengan
detail setiap wajahnya. Seperti sebuah lekuk peta. Oh, bukan. Bukan peta, mungkin
lebih tepat palung.

Lengkungnya, kekasarannya, juga deburan air yang menampar-nampar, menyakiti


setiap sisi dari keratan tubuhnya. Meninggalkan rasa gilu. Rasa sakit yang tidak
mungkin bisa diobati. Rasa sakit yang nikmat? Adakah rasa sakit yang nikmat itu?
Begitulah air melukai palung itu, seperti melukai seluruh perjalanan hidup. Tapi palung
tidak pernah mengeluh, memaki, atau mengumpat dengan beragam sumpah serapah.
Seperti dirinya yang selalu mengumpat dan marah. Kemarahannya seringkali
menganggu orang-orang yang berada di dekatnya. Kata orang-orang, kemarahannya
begitu mengerikan.

Hanya perempuan yang terluka bisa membunuh dirinya sendiri. Hanya perempuan
yang terluka bisa memakan hidup-hidup anak yang dikandungnya. Hanya perempuan
terluka yang bisa menggorok batang leher anak yang dikandungnya. Hanya
perempuan yang terluka bisa meremas daging hidup yang meletus dari rahimnya lalu
membuangnya di tong sampah. Semua itu dilakukannya tanpa beban.

Lalu, kemana hatinya? Kemana perasaannya? Kemana rasa keibuannya? Bukankah


perempuan itu makhluk yang membuat bumi damai. Penyejuk yang lebih
menyejukkan dari beragam penyejuk. Sapuan angin pegunungan juga tidak bisa
mengalahkan rasa sejuk yang lahir dari tubuhnya.

Bagaimana kalau dia perempuan yang terluka? Dikhianati. Ditikam dari belakang.
Pikiran, hati, jantung, perasaan, juga seluruh perjalanan hidupnya digerus. Salahkah
kalau perempuan itu meradang? Mengamuk! Menghancurkan seluruh makhluk hidup
juga benda mati yang muncul di depan matanya?

Pernahkah kau menemukan perempuan yang terluka? Dan bertanya padanya,


apakah yang diinginkannya? Obat apakah yang bisa menyembuhkan lukanya?

“Tak ada obat yang bisa menyembuhkan perempuan yang terluka hati, jantung,
pikirannya?”

“Aku bisa mencarikan balian, dukun.”

“Tak ada balian yang bisa menyembuhkanku.”

“Bagaimana kalau kutawarkan sepiring menu lelaki. Kau bisa memilihnya. Kau
patah hati?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Ini lebih dari patah hati?”

“Maksudmu? Adakah yang melukai makhluk hidup bernama perempuan selain


patah hati?”

“Ada.”

“Apa?”

“Apa yang ada di otakmu ketika hatimu dicabut paksa. Lalu, di depan matamu
hatimu diiris-iris. Untuk sebuah pesta cinta di tengah malam. Sejoli burung malam
muncul penuh aroma cinta. Kedatangan di tengah malam. Tamu yang tak pernah
diundang. Mereka datang diiringi lagu cinta, kata-kata cinta, puisi-puisi mabuk.
Mereka datang-pergi tanpa mengetuk pintu. Juga tidak membuka jendela. Tanpa
suara, tanpa bau.”

“Burung apakah itu?”

“Burung pengecut!”

“Kau benar-benar perempuan terluka?”

“Adakah yang lebih tepat dari terluka?”

“Kau terluka?”

“Sangat dalam.”

“Kuhidangkan menu lelaki?”

“Masihkah kuperlukan mahluk itu? Tak adakah pilihan yang lain? Menu yang lebih
menggairahkan lagi? Mungkin semangkuk salad perempuan?”

“Tak ada menu perempuan. Kau masih menyantap lelaki kan? Kau bisa
memakannya satu demi satu. Kau pilih menunya?”

“Aku ingin hatiku kembali.”

“Apakah sejoli burung malam itu telah memakan hatimu?”

“Mereka tidak hanya makan hatiku. Juga makan jantung dan pikiranku.”

“Apakah kau masih hidup?”

“Mungkin tidak. Lukaku lebih dalam dari luka.”

“Sejoli burung malamkah yang membunuhmu?”

“Mereka tidak hanya membunuhku. Adakah yang lebih kelam dari kematian?
Adakah yang lebih menyakitkan dari kebohongan?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Kau benar-benar luka parah.”

“Lebih parah dari apa yang sedang kau pikirkan. Perempuan yang terluka itu
seperti makhluk buas yang siap menelan apa pun. Kau tahu itu? ”

“Tidak.”

“Jangan pernah membuat perempuan terluka.”

“Kenapa tidak kau bunuh sejoli burung malam itu? Di mana bisa kutemukan
pasangan itu? Kalau kau tidak bisa membunuhnya, aku akan datang pada mereka.”

“Mereka sejoli yang cerdik…. Datang ketika kau tertidur…. Pulang ketika kau
terbangun. Bagaimana kau akan membunuhnya? Senjata apa yang akan kau pakai?”

“Aku akan bersembunyi menunggu kedatangan mereka.”

“Mereka pecinta yang ulung. Yang lelaki begitu sabar menunggu, berjam-jam dia
bisa menunggu sampai kau kelelahan. Dia begitu sabar menunggumu sampai kau
benar-benar tertidur. Setelah kau tidur, sejoli itu muncul. Mereka datang tanpa pernah
mengetuk pintu. Kedatanganya begitu misterius. Mereka punya kode-kode khusus
yang hanya mereka pahami. Mereka juga punya panggilan khusus yang lelaki
bernama: Mata Air. Yang perempuan bernama: Bintang.”

“Mata Air?”

“Nama yang indah.”

“Ya. Nama yang terlihat suci, ganas, gaduh, tetap dingin. Kadang-kadang juga
terlihat terhormat.”

“Bintang?”

“Karena perempuan itu hanya muncul pada malam hari. Tak ada bintang ketika
subuh.”

“Kau terluka?”

“Sangat dalam.”

“Tidakkah kau ingin membunuh mereka?”

“Adakah yang lebih ganas dari kata membunuh?”

“Kau kenapa?”

“Terluka sangat dalam.”

***
Cerpen Karya : Oka Rusmini

PEREMPUAN itu benar-benar ingin menjadi palung. Aku tidak pernah paham,
kenapa dia selalu ingin menjadi palung. Kadang, ketika duduk berdua, aku sering
memandang matanya yang teduh. Mata yang begitu penuh cerita. Mata yang
membuatku merasa nyaman berada di sisinya. Menyentuh kulitnya yang keriput. Atau
menatap matanya yang bulat. Mata seorang penari. Mata yang memikat. Mata yang
membuat semua orang percaya, bahwa dia seorang perempuan Bali. Perempuan yang
biasa menari. Perempuan yang menjajakan tubuhnya hanya untuk para dewa.

Aku belum pernah melihat perempuan yang memandangku begitu tulus. Penuh
cinta dan gairah. Tatapannya membuatku bergairah. Seperti magnet yang menarikku.
Aku selalu ingin menjatuhkan kepalaku di pangkuannya. Atau aku ingin menangis di
dadanya. Atau bercerita lirih di telinganya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa
perempuan ini ketika muda? Makhluk apakah yang tega mencabik-cabiknya. Merusak
seluruh sistem kehidupannya. Merampas hari-hari dan masa depannya.

Lelakikah? Yang merusaknya?

“Aku ingin menjadi palung. Yang tidak pernah sakit hati dan terluka ketika
disakiti?”

“Adakah manusia yang kuat disakiti?”

“Makanya aku ingin jadi palung.”

“Kau tidak pernah tahu. Mungkin saja luka palung lebih kuat dari lukamu?”

“Aku ingin cantik dan tegar seperti palung?”

“Sejoli malam itu membuatmu sering meracau.”

“Aku tidak meracau. Kau tahu, sejak sejoli malam itu datang di tengah malam dan
pulang menjelang subuh. Aku telah kehilangan lelakiku.”

“Lelakimu?”

“Ya. Kupikir dia telah menjelma jadi makhluk asing ketika aku tertidur.”

“Kau tahu yang dilakukannya?”

“Tidak. Aku tertidur. Tetapi aku merasakan lelaki itu mengiris-iris hatiku. Juga
mencangkuli jantungku. Mereka selalu datang malam hari menanak pikiranku,
menggoreng hati, dan membuat sop jantung untung pesta cinta mereka. Kurasakan
kehadiran sejoli malam itu di mimpiku. Lelakiku sering mengigau sambil memanggil
sebuah nama. Lalu mereka bercumbu…. Meninggalkan darah yang tercecer dari:
pikiran, jantung dan hatiku. Setiap malam mereka datang.”

“Ketika kau tak ada.”


Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Ya. Ketika aku tak ada.”

“Bunuhlah!”

“Jejaknya tak ada. Jejaknya tertinggal di otakku.”

“ Aku tahu sekarang. Kenapa kau sering menjerit-jerit sambil meracau.”

“Aku tidak meracau. Aku membaca mantra?”

“Mantra?”

“Ya. Mantra untuk memanggil hati, jantung, dan pikiranku yang bocor dan teriris.
Hati, jantung, pikiranku mulai membusuk. Aku tidak meracau! Aku merapal mantra….”

“Ya. Ya. Jangan mengamuk.”

***

PEREMPUAN itu ingin menjadi palung. Keinginan yang sangat aneh! Aku telah
jatuh cinta padanya. Sejak melihatnya pertama kali. Jantungku berdegup. Wajah
perempuan itu begitu berkarakter. Pipinya yang licin. Hidungnya yang tegak. Matanya,
ya, aku suka matanya. Begitu hidup dan membuatku sangat bergairah. Gairah yang
tidak pernah kudapatkan dari perempuan mana pun. Ketika dia bercerita, begitu
mempesona. Ceritanya begitu runut. Wajahnya terlihat makin cemerlang. Kupikir:
perempuan itu adalah perempuan tercantik yang pernah muncul dalam hidupku.

Aku juga menyukai jari-jarinya yang panjang. Kukunya terawat rapi. Kelihatan
sekali kalau dia perempuan yang pajam memanjakan tubuhnya.

Aku kembali menatapnya.

“Apakah aku masih terlihat cantik?” Kali ini untuk pertama kali dia berkata padaku.
Padahal sudah hampir sepuluh tahun dia tidak bicara. Dia bicara dan menyatakan
keinginannya dengan pensil yang selalu digantungkan di lehernya yang jenjang. Kali
ini dia bicara?! Aku bergidik. Girang.

Hyang Jagat, perempuan satu-satunya di dunia yang sangat kukagumi.


Kubayangkan dia ketika sepuluh tahun yang lalu. Betapa cantiknya. Betapa
menggairahkan. Yang menjadi beban pikiranku, kenapa perempuan itu begitu
terobsesi menjadi palung. Palung di tengah laut. Sendiri. Kedinginan. Kesepian. Siapa
yang bisa membaca perasaan palung di tengah laut?

“Aku bisa merasakan perasaan menjadi palung di tengah laut.” Suaranya terdengar
pelan. Lalu kembali sunyi. Hanya itu kata-kata yang keluar dari bibirnya yang merekah
merah. Dia benar-benar perempuan menggairahkan.

***
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“KAU memang sudah gila. Bila jatuh cinta dengan perempuan itu. Aku akui dia
cantik. Tapi bisakah kau berpikir, apakah kau tidak takut digiling seperti daging ayam
potong di mesin blender? Seperti dia menggiling suaminya? Atau memotong anak-
anaknya, karena dia merasa hidup anak-anaknya tidak bahagia?”

“Tapi kau tidak mengenalnya?”

“Kau yang tidak mengenalnya! Melihat matanya, aku seperti melihat mata yang
mengerikan. Mata yang akan menelanku hidup-hidup!”

“Matanya, begitu cantik. Mata seorang penari!”

“Dulu!”

“Masih terlihat keindahannya!”

“Hah? Keindahan?”

Tak ada seorang psikiater pun bisa melihat keindahan perempuan itu. Aku tahu
dari surat-surat yang dikirimkan padaku. Dia perempuan yang terluka, yang merasa
disayat-sayat hidupnya. Ditikam dari belakang. Walaupun lelaki yang mengawininya
tidak pernah menggores kulitnya seinci pun. Tapi dia perempuan yang terluka. Yang
selalu terjaga di tengah malam, melihat suaminya menjelma jadi sejoli burung malam.
Bermesra dan mengumbar kata-kata cinta di rumahnya, sambil memutar lagu-lagu
cinta picisan yang dibeli di pasar malam.

Perempuan aneh yang tidak pernah tidur, selalu waspada. Dia akan tidur pukul
empat pagi. Dan selalu terjaga dengan sorot mata pucat dan kecewa. Dia perempuan
yang benar-benar terluka. Perempuan terluka yang bisa memakan apa saja yang telah
mematahkan hati, jantung, pikiran, dan kepercayaannya. Perempuan yang membakar
radio yang memutar lagi-lagu cinta. Mengumpat tak jelas. Tapi aku mencintainya.
Perempuan tercantik dan jujur dengan luka menganga di seluruh perjalanan hidupnya.
(*)
Cerpen Karya : Oka Rusmini

SIPLEG
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-
kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg
perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh
selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serba
ingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang
naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa
membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya
dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya
tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.

Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno,


yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang
aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan
luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali,
lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti
aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus
ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang
memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari
hidupnya sendiri?

Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang
tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan
Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang
dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka.
Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan
itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di
otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata.

Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang
cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-
orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan
saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya
lebih baik.

Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut
manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti
beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya.
Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang
desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan
tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang
lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah.
Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu!
Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka
dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku
ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”

“Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja.
Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”

“Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-
orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya
orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja
apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai
besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan
ikan!”

“Kau sedang hamil!”

“Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan
mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin
yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh
hidup keluarga suaminya!”

Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain.
Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya
membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam.
Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam
dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk
giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-
orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya
sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk
perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan
kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang
menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?

“Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan
tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan
itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain
yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata
padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia
perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak
seorang pelayat pun diajak bicara.

“Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.


Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan
pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk
Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena
perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang.
Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa
menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik
bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat
diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena
perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.

Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial!
Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol
itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati!
Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi
daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.

Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya


memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda
hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih.
Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak
ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti
makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan,
tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?

Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang


selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore.
Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah
memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak,
kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah
ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah
disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.

Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya
tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan
diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.

Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang
menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah
yang terus mengalir dari batok kepalanya.

“Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas
berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan
menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua
menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang
memetik sedikit cabe dan sayuran.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu.


Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu
masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg
menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh
kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan
terasa menggairahkan.

Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas?
Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya.
Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa
dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua
bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg
merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia
impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan
kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.

Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya.


Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat
bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari
bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam
melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas
menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya
yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam
dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak
mendekat….

“Sipleg….” Sebuah suara mematahkan langkahnya.

“Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.

“Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”

Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk.
Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang
selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang
selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur
tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan
tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak.
Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak
lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai
perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya.
Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba
saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan
hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di
depan kamar Sager.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan
apa.

***

Seorang dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh
aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam.
Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan
membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan
desanya sering berbisik pada Sipleg, “Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang
bidan akan menolongnya.”

“Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”

“Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”

“Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati
ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada
yang hidup kecuali aku.”

“Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya.


Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai
untuk menebus usianya.”

“Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah
melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari
kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”

“Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”

“Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia
melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”

“Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”

“Ni Ketut Grubug.”

“Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”

“Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”

“Nama yang mengancam hidup orang lain.”

“Bukankah artinya bencana?”

“Ya, bencana yang mengerikan.”

“Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-
perempuan desa ini?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir,
apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang?
Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk
dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada
hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang
perempuan! Sama dengan mereka!

***

Bocah kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya
tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling.
Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering
membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang,
juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya
seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya
sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret
tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh
Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh
perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak
bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu
cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh
amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.

Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan
daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus
mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan
berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya
begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya
mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus
menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan
besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu
menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan
memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk
pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg
masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya,
mimpinya, keinginannya….

Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah


berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi.
Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti
sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau
usia, bau dauN-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu
dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan
inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil.
Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu
Cerpen Karya : Oka Rusmini

selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg


pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu
kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah
adiknya.

Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong


kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki.
Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam
perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan
tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia
adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak
peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa
bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa
melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya,
perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena
perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-
adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak
punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. (*)
Cerpen Karya : Oka Rusmini

LETEH
Tak ada yang tahu dari mana Ni Luh Wayan Arimbi berasal. Kehadiran perempuan
cantik berkulit gelap itu tetap diselimuti misteri. Pan Kobar juga tidak mau pusing
menelusuri riwayat pembantunya itu.

”ORANG mana dia, Pan Kobar?”

”Kau ini mau ngopi apa nggosip? Kayak perempuan saja. Suka omong yang tidak
penting.”

Begitu selalu jawaban Pan Kobar, pemilik warung kopi di pinggir jalan besar itu.
Warung Pan Kobar terkenal, ramai dikunjungi sopir truk-truk besar. Para lelaki dari
desa seberang pun suka nongkrong di warung kopi Pan Kobar. Konon kopi Pan Kobar
lezatnya luar biasa. Apalagi kalau diminum sambil memandang wajah Arimbi yang
berkilau menggairahkan. Badan dan pikiran langsung terasa segar.

Pan Kobar ingat betul bagaimana Arimbi ditemukan. Mungkinkah dia berasal dari
alam lain? Bidadari yang dikirim Sang Hyang Jagat untuk menemani hidup Pan Kobar?
Mungkin menjadi istrinya?

Istri? Pan kobar tercenung. Merasa nelangsa.

I Wayan Kobar nama lengkap lelaki kekar itu. Kobar berarti semangat membara,
kekuatan dahsyat yang mampu melumat apapun yang ada di depannya. Nama yang
gagah. Maskulin. Menyeramkan. Juga agak mistis.

Menurut cerita orang desa, ketika Kobar dilahirkan, guntur meledak bersahutan.
Hujan membadai. Sungai meluap dan mengamuk. Alam seakan murka. Dalam alam
pikiran warga desa, itu pertanda buruk. Desa akan ditimpa grubug, bencana besar.
Desa akan leteh, kotor, cemar. Upacara besar harus dihaturkan untuk Ida Betara, dewa-
dewa dan para leluhur.

Sebelum kelahiran Kobar, sudah bertahun-tahun desa itu seperti kena kutuk. Tidak
ada anak laki-laki dilahirkan di desa itu. Semua bayi yang lahir berjenis kelamin
perempuan. Warga desa sudah lelah minta petunjuk kepada banyak balian, tanpa hasil.
Beragam upacara dan sesaji telah mereka tumpahkan demi mencari jawaban. Kenapa
di desa mereka tidak lahir anak lelaki?

Lalu pada suatu pagi, matahari tak terbit lagi. Desa dililit kegelapan. Kegelapan
kelabu. Orang-orang desa tidak lagi bisa membaca waktu. Tidak ada lagi siang dan
malam. Senja dan subuh sama saja. Malam purnama dan malam rembulan mati tak
bisa dibedakan lagi.

”Kalau alam jadi kacau begini, apa yang harus kita lakukan?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

”Haturkan sesaji besar. Mungkin kalau diberi upeti, alam mau kompromi.”

”Ngawur. Memangnya alam itu kayak politisi atau pejabat yang bisa disogok?”

”Siapa tahu. Namanya juga usaha. Patut dicoba. Bukankah begitu budaya yang
dicontohkan para pemimpin negeri kita? Istilahnya, gotong-royong….”

Ketika itu warga lelaki sedang berembuk di balai banjar. Sudah sebulan desa
mereka tidak diguyur sinar matahari. Lalu hujan turun begitu deras. Pohon-pohon
berderak, meliuk-liuk. Tidak ada lelaki yang berani keluar dari ruangan. Semua terlihat
cemas. Semua memanjatkan doa. Menyeru para leluhur. Mencoba mohon ampun.

Tiba-tiba sebatang pohon beringin tua rubuh menimpa balai banjar. Para lelaki itu
terluka, darah membasahi lantai. Mereka menjerit-jerit dan memaki-maki. Namun
makin banyak makian mereka, makin banyak pula dahan pohon yang jatuh menghajar
tubuh mereka. Dahan-dahan itu menancap pada tubuh mereka. Darah mereka
muncrat membasuh daun-daun pohon beringin. Daun-daun menyerap darah mereka
dengan rakus.

Para lelaki itu terkapar dengan luka tusuk yang parah. Mereka mati tertikam
dahan-dahan pohon beringin. Ranting-ranting menjelma jadi keris yang mengoyak
tubuh mereka.

Laki-laki yang tersisa di desa itu tinggal seorang pemangku tua. Mangku Siwi,
demikian warga desa biasa menyebut pendeta pura desa itu. Sesungguhnya sudah
lama Mangku Siwi menyampaikan pawisik bahwa desanya akan mengalami serentetan
kejadian aneh yang buruk. Namun tak ada yang percaya. Orang-orang di desanya
hanya sibuk memperkaya diri. Ingin cepat hidup enak dengan menjual tanah warisan.
Sudah lama pura dan subak tidak berfungsi dengan semestinya. Lahan desa makin
marak ditumbuhi pohon beton.

Sejak terjadinya kematian aneh warga lelaki di balai banjar, desa itu dijuluki Desa
Luh, Desa Perempuan. Para investor yang telah membeli tanah di desa itu kabur
ketakutan. Tidak ada orang luar yang berani mengunjungi desa itu. Mereka takut
terkena leteh yang mengepul dari tanah Desa Luh. Desa itu menjadi sepi, kelam dan
terkucil. Meski alam telah meminta tumbal nyawa hampir semua warga lelaki, matahari
belum juga muncul di desa itu.

Pada suatu hari, para perempuan berkumpul di pura desa.

”Jero Mangku Siwi, bagaimana nasib desa kita? Apa yang harus kita lakukan?”

”Saat ini kita hanya menunggu kelahiran.”

”Kelahiran? Siapa yang akan melahirkan? Bukankah sudah tidak ada lelaki di desa
ini?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Para perempuan itu berharap Mangku Siwi membocorkan rahasia yang dititipkan
alam padanya. Mereka tahu, sang pemangku bisa membaca pertanda. Dialah satu-
satunya tempat para perempuan itu minta petunjuk atau minta tolong.

”Nunas iwang, Jero Mangku. Mohon maaf. Bolehkah kami tahu, siapa perempuan
yang mengandung? Apakah ada lelaki datang ke desa ini dan menyentuh salah satu
perempuan tanpa kami ketahui?”

Wajah perempuan-perempuan itu terlihat ketakutan. Alam telah menghukum


mereka dengan kejam. Azab apa lagi yang akan mendera mereka jika ada perempuan
di desa itu yang hamil tanpa suami?

Mangku Siwi hanya membisu.

”Mungkin hamil sendiri. Bukankah Kunti bisa melahirkan Karna tanpa disentuh
laki-laki?” ujar seorang perempuan.

”Siapa bilang?” bantah perempuan lain. ”Kunti tentu bersentuhan dengan laki-laki.
Dia memang bilang tidak berhubungan badan dengan laki-laki. Tapi bagaimana kalau
dia bohong untuk menutupi aib? Mungkin dia main sama pacarnya yang tidak bisa dia
miliki.”

”Benar juga,” dukung perempuan lain. ”Mungkin Kunti cuma mengarang cerita
sebagai trik supaya selamat. Biar lolos dari cibiran. Aku sudah lama jadi perempuan.
Aku tahu bagaimana cara mengakali perkara begituan. Kalau dilukai, perempuan bisa
menjelma jadi makhluk paling jahat di muka bumi. Bisa menghancurkan apa saja.
Apalagi perempuan kayak Kunti. Perempuan cerdik. Semua cerita itu cuma taktik
supaya dia tetap dipandang suci.”

Mangku Siwi mengangkat dupa tinggi-tinggi.

”Seorang lelaki akan lahir di desa ini,” ujarnya lirih.

Selang beberapa hari, I Wayan Kobar lahir dari rahim perempuan bisu-tuli yang
hidup sebatang kara. Ibu Kobar seorang perempuan cantik berkulit gelap yang selalu
menundukkan wajah. Semua warga ikut merawat bocah lelaki yang menjadi harapan
untuk melanjutkan keturunan mereka di desa itu.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Kobar telah tumbuh menjadi seorang pemuda,


warga menemukan seorang pemudi asing terikat di pohon pule dekat kuburan desa.
Tubuh perempuan ini penuh luka dan berbau amis. Tak ada sinar kehidupan di
matanya yang cekung. Wajahnya begitu mengerikan. Rambutnya gimbal, panjang
sepinggang. Dia tampak lebih mirip monster atau raksasi.

”Masih hidup?” tanya seorang perempuan sambil menutup hidungnya.

”Jangan kausentuh!”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

”Dia tidak beracun. Tidak akan menularkan penyakit pada kalian,” seru Mangku
Siwi yang datang membawa air dan dupa. Tubuh perempuan itu dipercikinya dengan
air.

”Ini pertanda apa lagi, Jero Mangku?”

”Kita rawat dia.”

”Sayang sekali dia perempuan,” celutuk seorang perempuan. ”Kapan laki-laki


datang ke desa ini? Aku sudah hampir lupa bau tubuh laki-laki.”

”Dasar gatal!” sahut perempuan lain.

Mereka tertawa cekikikan sambil memandang Mangku Siwi. Lelaki itu tak peduli.
Mulutnya komat-kamit. Tampaknya sedang merapal mantra.

”Mangku Siwi juga laki-laki,” bisik seorang perempuan.

”Maksudmu?”

”Kenapa kita tidak giliran tidur sama dia saja?”

”Apa?!”

”Ssst. Tidak usah mendelik seperti itu. Tadi kau bilang sudah lupa bau laki-laki.
Kenapa kita tidak coba mengingat kembali rasa tubuh laki-laki dengan tidur sama
Mangku Siwi?”

”Gak sudi.”

”Aku juga tidak!” sahut perempuan lain.

”Mendingan menggosokkan tubuhku ke pohon kecapi habis buang air. Lebih


terasa.”

”Benar. Memangnya kau mau main sama pemangku itu?”

”Baru ide. Harus dipikirkan lebih matang lagi. Dengan hening.”

”Otakmu memang kacau!”

”Jelas kacaulah. Sudah lama sekali tidak tidur sama laki-laki.”

”Husss. Sudah. Kau ini kayak bisa basah saja melihat gaya Mangku Siwi merapal
mantra.”

Perempuan-perempuan itu terdiam. Mereka memang tidak dapat merasakan


setetes pun nafsu birahi terhadap Mangku Siwi. Melihat gerak-gerik lelaki itu, urat
gairah seluruh perempuan di desa itu langsung putus. Pupus.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Mangku Siwi terlalu mencintai Kosmis. Otak dan hatinya hanya berisi manta-
mantra. Semua yang bergerak, segala yang berdetak, ditangkapnya sebagai sasmita
untuk kelanjutan hidup desanya.

”Namakan perempuan ini Ni Luh Wayan Arimbi. Mandikan dia,” ujar Mangku Siwi
datar.

Perempuan-perempuan desa itu bergerak menjalankan perintah sang pemangku


sambil menahan napas. Tubuh perempuan asing itu benar-benar berbau sangat busuk.
Seluruh isi perut mereka terasa berontak minta keluar.

Mereka memandikan Arimbi di sungai. Daki tebal pada tubuhnya dirontokkan


dengan batu kali. Sekujur badannya digosok dengan batu bata tumbuk supaya lenyap
segala korengnya. Setelah dikeramasi puluhan kali dengan bubuk merang, barulah
rambut perempuan itu menunjukkan warna aslinya. Hitam pekat.

Para perempuan desa itu rajin melumuri tubuh Arimbi dengan beras tumbuk
campur kunyit agar kulitnya bersinar. Setiap pagi ia wajib meneguk ramuan asam
untuk melancarkan peredaran darah di tubuhnya.

Tepat satu bulan tujuh hari kemudian, Arimbi seperti menjelma jadi perempuan
baru. Pipinya merah. Tubuhnya segar berisi. Matanya cerah. Parasnya bercahaya,
mengingatkan pada Ken Dedes yang memikat Ken Arok dengan cahaya yang meluap
dari tubuhnya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

Dan di langit timur, matahari juga tersenyum. Para perempuan desa memejamkan
mata, silau diterpa sinar matahari yang datang sesudah begitu lama menghilang.
Mereka berharap Arimbi menikah dengan Kobar dan menyemaikan benih manusia
baru, sebanyak-banyaknya, yang akan melanjutkan riwayat desa mereka.

Sebagai ungkapan terima kasihnya kepada warga desa, Arimbi membantu Kobar
berjualan di warung kopi. Ia segera menjadi primadona. Warung kopi Kobar menjadi
laris. Kobar pun bisa menyumbangkan dana untuk pembangunan pura, jembatan dan
berbagai fasilitas lain di desanya.

Namun Kobar dan Arimbi belum juga membina rumah-tangga. Warga desa tak
habis pikir. Bukankah Kobar pemuda yang tampan, badannya bagus, pujaan banyak
gadis dari desa lain? Dan Arimbi bunga desa, incaran banyak lelaki? Tidakkah mereka
ingin menyelamatkan desa mereka dari ancaman kepunahan?

”Jero Mangku, bagaimana kelanjutan nasib desa kita?” demikian warga sering
bertanya kepada sang tetua desa tentang hubungan antara Kobar dan Arimbi. Dan
yang ditanya selalu membisu. Mangku Siwi seperti sengaja membiarkan warga terus
bertanya. Terus berharap-harap cemas.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Kobar sendiri bukan tak tahuharapan warga kepadanya. Tapi dia juga tak punya
jawaban. Di dasar hatinya, ia hanya bisa mencangkuli dirinya. Wujudku memang laki-
laki, tapi aku tak punya gairah terhadap perempuan.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

PASTU

Percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan
yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup
sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam
racun ke seluruh napasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari
kebahagiaan?

Adakah seseorang telah menanam pohon kebahagiaan? Itulah pertanyaan-


pertanyaan yang mengepung masa kanak-kanakku. Aku tumbuh dan tetap hidup,
berharap menemukan pohon kebahagiaan. Mungkin seseorang telah menanamnya,
sementara aku tidak tahu di mana pohon itu ditanam? Kalau aku temukan pohon itu,
aku akan cabut, lalu kutanam di jantungku, agar akar-akarnya mampu mengaliri
darahku. Dan, beragam pastu, kutukan yang mengaliri pori-pori darah perempuanku
akan lenyap.

Belakangan ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap
penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas.

Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku
yang bermalas-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan.

Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup
jus buah setelah senam atau yoga.

Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca.
Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk.

Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh
tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun.

“Kamu kan gak pernah beranak, tidak heran tubuhmu indah. Kamu bisa
menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuh. Gaji di kantor besar. Rumah ada.
Mobil ada. Kurang apa?” Aku terdiam. Setiap sahabatku berkata dengan penuh nada
iri pada kehidupan yang sedang kunikmati. Apakah aku bahagia denga kelajanganku?
Aku juga pernah bertanya pada karibku itu, “Apakah perkawinan membuatmu
bahagia?”

“Aku yang bertanya padamu,” jawabnya ketus.

Kalau sahabat perempuanku sudah merengut seperti itu, aku hanya diam, sambil
mengunyah salad buah pelan-pelan. Aku tahu, belakangan ini dia pasti baru diteror.
Penyakit musiman yang kunamakan “terror rumah perkawinan”. Sebetulnya mau
kunamakan “teror cinta”. Terror yang membuatnya sedih, gelisah. Kecemburuan,
ketidakpuasan, putus asa, entah menu apalagi yang terus keluar dari mulutnya.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sepertinya bagi si lajang model aku ini, perkawinan itu jadi makhluk buas yang siap
mencabik dan memakanku hidup-hidup. Iiiih! Kalau dia dalam kondisi seperti itu,
akulah korbannya. Seharian dia hanya merokok saja. Atau datang pagi-pagi sambil
membawa minuman alkohol dosis tinggi, lalu maboklah dia! Namun, meski seminggu
dia kost di rumahku, suaminya tak pernah meneleponnya. Juga tidak mencarinya. Aneh
sekali, kan?

Aku menyayanginya. Bagiku, pertemananku dengannya yang sudah kami mulai


sejak duduk di bangku SMP begitu tulus. Tak tergantikan. Namanya Cok Ratih, putri
tunggal seorang pemilik hotel di Kuta, Ubud, dan entah di mana lagi. Yang pasti, sejak
mengenalnya, aku pun ikut mapan karena Cok Ratih menganggapku sebagai saudara
satu-satunya. Bagiku, kehadiran Cok Ratih dalam hidupku membuat aku percaya
bahwa ada hal yang layak dipercaya dalam hidup ini. Persahabatan.

Kata orang-orang, Cok Ratih egois. Bagiku tidak. Dia memberikan apa saja yang
dia punya untukku. Cok Ratih mengajari aku berbagi. Hubungan kami ters terjalin
begitu erat. Saking eratnya, banyak teman mengira ada yang salah dengan hubungan
kami. Tapi kecurigaan mereka terbantahkan ketika Cok Ratih terlihat sering
menggandeng I Made Pasek Wibawa. Semua orang pun mengira, Pasek (begitu aku
dan Cok Ratih memanggil lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu), akan berbagi
cinta. Aku dan Cok Ratih hanya tertawa. Hubungan mereka berdua begitu a lot.
Keluarga besar Cok Ratih menentang hubungan itu. Orangtuanya juga. Tetapi Cok
Ratih nekat.

“Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini
sudah rumit, kenapa masih dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang
bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan
itu keras kepala. Akhirnya dia pun hamil diluar nikah. Terpaksalah orangtuanya
mengawinkannya.

“Kalau nggak hamil dulu, pasti ortuku nggak setuju,” katanya terkekeh. Bagi Cok
Ratih, hidup begitu ringan dan tenang. Tak ada beban. Mungkin karena itulah
persahabatan kami langgeng. Menurut orang-orang, aku perempuan yang terlalu
serius. Bagiku, itu penilaian yang salah. Aslinya aku hanyalah perempuan yang takut
melakukan kesalahan. Karena setiap kesalahan yang kuperbuat akan menimbulkan
dampak psikologis yang begitu dalam bagi pertumbuhanku menjadi perempuan.

Tiga bulan sudah menikah, Cok Ratih mengalami keguguran hebat. Usia
kandungannya hamper tujuh bulan. Perdarahan yang tidak ada hentinya. Satu bulan
dia dirawat di rumah sakit khusus. Berkali-kali tidak sadar.

Hyang Jagat, begitu luar biasanya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan
seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku
digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang
Jagat. Hyang Jagat! Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai
Cerpen Karya : Oka Rusmini

merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk
mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat
keprihatinan di matanya. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatku itu? Sementara
Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarga
besarnya pun putus karena dia mnikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu
banyak yang dikorbankan untuk cinta.

Aku pernah menyiramkan segelas besar wine ke wajah Pasek ketika dia berusaha
memepetkan tubuhnya ke tubuhku pada acara gala dinner di sebuah perusahaan milik
sahabatku. Semua orang menatap kami. Aku pun meninggalkan ruangan itu.

Yang membuat aku panas, Pasek menyebar gossip bahwa akulah yang tertarik
padanya. Ya. Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti
Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman
hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api denga lelaki milik
perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan percaya? Aku atau
suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku utuk kawin makin jauh.

Namaku Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah
bagaiman dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah
yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merassa puas pada apa pun
yang telah dan akan kulakukan. Aku udah pattah dan kecewa.

Semua bermula dari Aji, ayahku. Sejak ditugaskan mengambil spesialis mata, lelaki
itu tidak pernah pulang ke rumah. Dia kecantol seorang janda beranak dua. Ibuku,
Dayu Westri jadi stress berat. Dia sering menjerit-jerit tengah malam, lalu memesan
arak, mabuk, muntah. Akhirnya ibuku bunuh diri dengan menyilet nadinya
menggunakan pisau tatah milik Kakiang, kakekku, ayah dari ibuku.

Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat
pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian ibu membuat
Kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan
Kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka
berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun akhirnya mati gantung diri di
kamarnya.

Tinggallah aku dengan Nini, perempuan sudra kebanyakan yang dikawini Kakiang.
Nama asli perempuan itu Ni Luh Made Ragi. Karena menikah dengan Kakiang,
bangsawan dari kasta tertinggi, Brahmana, Nini pun berganti nama menjadi Jero
Tunjung.

Aku memanggil perempuan tua cantik itu Nini, yang berarti nenek. Dari dialah aku
belajar banyak bahwa semua harus diselesaikan sendiri, tidak boleh mengeluh, tidak
boleh menunda pekerjaan, selalu bersyukur pada leluhur. Dan yang membuatku
Cerpen Karya : Oka Rusmini

berpikir, Nini berkali-kali menasihati, menjadi perempuan itu jangan pernah


menyakiti perempuan lain. Sekecil apa pun tidak boleh! “Kalau Tugeg menyakiti
perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya
padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin
paham arti kata-kata itu. Pengalamnku juga mengajarkan betapa sakitnya dikhianati.
Makanya, jangan mengkhianati.

Perempuan sudra itulah yang membuatku mandiri. Dia hidupi aku, satu-satunya
cucu miliknya dengan cinta yang aneh. Bagiku dia terlalu keras mendidikku. Setelah
dia mati, baru kusadari bahwa perempuan itulah yang membuatku berani
bertanngung jawab pada pilihan-pilihan hidup yang kuambil. Dia yang membiayai
sekolahku, karena sejak kecantol janda itu, Aji tidak pernah pulang lagi. Aku telah
kehilangan figur Aji pada usia 6 tahun, kehilangan Ibu pada usia 7 tahun,
kehilanganKakiang pada 8 tahun.

Begitu banyak kematian memberi aroma bagi pertumbuhanku sebagai Dayu


Cenana. Belum lagi kematian binatang peliharaanku, bunga-bungaku, juga beberapa
teman bermain dan sekolahku. Aku tumbuh dari kematian yang datang hampir setiap
tahun.

Aku terus dikepung rasa sunyi. Tetapi Nini telah membekaliku dengan kehidupan
yang, setelah kupikir-pikir, luar biasa. Aku dibesarkan lahir-batin hanya oleh seorang
perempuan. Perempuan tua cantik itu senang sekali melakukan ritual-ritual yang tidak
biasa. Mandi bunga setiap purnama, bulan terang dan penuh. Tidur dengan kain kafan
bila datang tilem, bulan mati dan langit jadi gelap, seolah mati. Setiap Selasa-Kamis,
biasanya dia hanya makan nasi putih dan minum air putih. Kadang-kadang pada hari
tertentu, Kajeng Kliwon, dia mandikan tusuk kondenya, keris, dan beragam batu-batu
antik, lalu airnya dipakai untuk memandikan aku. Mungkin karena beragam pantangan
yang dilakoninya, dia tumbuh makin kuat, makin cantik, dan bagiku dia luar biasa.
Perempuan yang sangat menikmati hidupnya dengan kebenaran miliknya.

“Jadi perempuan itu harus bisa menghormati diri sendiri,” katanya suatu hari
sambil menghaluskan bata menjadi serbuk. Nini tidak pernah gosok gigi dengan odol.
Setiap pagi dia menumbuk bata merah. Juga kumur dengan air garam. Giginya kuat.
Kelak, ketika kematian menggiringnya, giginya masih utuh.

Aku tidak pernah tahu berapa usianya ketika mati. Karena dialah satu-
satunyapelingsir, perempuan yang dituakan di Griyaku, mati paling akhir.

Bisik-bisik sempat kudengar, Niniku memiliki ilmu pengeleakan, ilmu hitam. Bagiku
gosip itu murahan. Nini tidak pernah mengajariku hal-hal aneh. Yang kutahu, entah
benar entah tidak, seseorang yang memiliki ilmu pengeleakan bisa menjelma jadi api,
babi, angsa, atau binatang lainnya. Aku hidup dengan Nini berpuluh-puluh tahun.
Bahkan aku paham betul lekuk tubuhnya karena kami sering mandi di kali atau
pancuran sawah. Airnya bening dan membuatku betah berlama-lama. Nini dengan
Cerpen Karya : Oka Rusmini

sabar menunggui aku mandi sambil menggosok tubuhnya yang sawo matang dengan
lumpur sawah, atau menggosok daki-dakinya dengan batu kali. Nini tidak suka mandi
dengan sabun. Katanya aneh, licin, dan membuat badannya gatal.

Ketika Nini mati, aku pun memilih tinggal dan berkarier di luar rumah keluarga
besar. Aku tidak pernah menginginkan perkawinan. Aku hanya menginginkan
persahabatan yang tulus. Sampai kini, aku masih virgin. Memang terdengar
kampungan. Aku menikmati hari-hari yang terus berjalan dengan menguras usiaku.
Bagitulah aku hidup. Sejak muda, aku tidak tahu rassanya patah hati. Memulai
mencintai lelaki pun aku tahu. Setiap ada lelaki yang mengatakan cinta padaku, aku
demam. Seminggu aku migren. Apalagi kalau lelaki itu telah kuanggap sahabat baik.
Tak ada cinta yang bisa kurasakan. Yang kubutuhkan adalah perhatian yang tulus,
teman dialog, juga sesekali bermanja. Bagiku, cinta lelaki dan perempuan sama
dengan seks. Aku tak mau hamil, melahirkan anak, karena aku takut anak yang lahir
dari rahimku mengalami nasib seperti aku. Atau bahkan jadi lebih buruk! Aku
menggigil. Dibunuh oleh pikiran-pikiranku sendiri. Keingat mengalir dari dahi, ketiak,
dan seluruh tubuh.

Telepon genggamku bordering.

“Apa?! Kapan?!” Aku berteriak histeris. Tubuhku limbung. Menjelang tengah


malam, aku tersadar. Aku terbaring di lantai dekat pintu masuk kamar mandi, hanya
ditutupi handuk. Cahaya bulan membangunkanku. Hari ini purnama? Aku bergegas
bangun, menyalakan lampu. Aku takut dikepung gelap.

Tak ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Hari ini, Cok Ratih dititipkan di ibu
pertiwi, tanah lembab. Tubuh perempuan itu hamper tak kukenali lagi. Membengkak
dan busuk. Cairan terus menetes dari tubuhnya. Tak ada lagi rona kecantikan di
mayatnya. Sudah seminggu dia terbujur kaku di dalam kamar mandi kamar tidurnya.
Tanpa diketahui lelakinya. Lelaki yang konon dicintainya.

Sahabatku mati. Berkorban untuk cinta, tanpa pernah mendapatkan cinta yang
sesungguhnya. Lelaki itu tak ada di rumah, bahkan tak pernah tahu istrinya telah
menjerat lehernya dengan tali. Polisi yang menemukan tubuh Cok Ratih yang telah
membusuk.

Desa Adat memberinya sanksi, mayatnya tak boleh diaben karena Cok Ratih mati
salah pati, mati bunuh diri. Mati yang salah! Menurut konsep agama. Kutelan kegetiran
itu. Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu
menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima
alasannya?

Aku tak lagi bisa menangis. Ketika upacara penguburan itu selesai. Apakah Tuhan
masih mau menghukum Cok Ratih? Perempuan yang mengorbankan seluruh
hidupnya untuk mendapatkan cinta dari seorang lelaki? Lelaki yang tak pernah cukup
dengan satu cinta?
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Selama ini Cok Ratih terus-menerus berusaha menyembuhkan lukaku. Katanya,


kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat
perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu. Tapi kalau nyatanya kawin
malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa
pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan?

Aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini
pertanda suassana kematianku kelak semuram warna langit petang ini?
Cerpen Karya : Oka Rusmini

SIPLEG
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-
kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg
perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh
selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serba
ingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang
naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa
membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya
dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya
tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.

Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno,


yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang
aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan
luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali,
lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti
aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus
ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang
memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari
hidupnya sendiri?

Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang
tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan
Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang
dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka.
Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan
itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di
otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata.

Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang
cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-
orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan
saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya
lebih baik.

Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut
manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti
beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya.
Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang
desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan
tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang
lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah.
Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu!
Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka
dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku
ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”

“Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja.
Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”

“Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-
orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya
orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja
apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai
besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan
ikan!”

“Kau sedang hamil!”

“Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan
mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin
yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh
hidup keluarga suaminya!”

Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain.
Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya
membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam.
Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam
dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk
giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-
orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya
sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk
perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan
kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang
menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?

“Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan
tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan
itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain
yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata
padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia
perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak
seorang pelayat pun diajak bicara.

“Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.


Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan
pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk
Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena
perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang.
Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa
menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik
bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat
diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena
perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.

Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial!
Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol
itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati!
Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi
daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.

Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya


memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda
hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih.
Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak
ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti
makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan,
tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?

Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang


selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore.
Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah
memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak,
kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah
ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah
disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.

Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya
tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan
diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.

Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang
menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah
yang terus mengalir dari batok kepalanya.

“Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas
berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan
menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua
menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang
memetik sedikit cabe dan sayuran.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu.


Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu
masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg
menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh
kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan
terasa menggairahkan.

Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas?
Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya.
Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa
dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua
bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg
merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia
impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan
kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.

Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya.


Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat
bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari
bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam
melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas
menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya
yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam
dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak
mendekat….

“Sipleg….” Sebuah suara mematahkan langkahnya.

“Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.

“Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”

Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk.
Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang
selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang
selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur
tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan
tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak.
Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak
lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai
perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya.
Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba
saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan
hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di
depan kamar Sager.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

“Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan
apa.

***

Seorang dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh
aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam.
Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan
membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan
desanya sering berbisik pada Sipleg, “Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang
bidan akan menolongnya.”

“Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”

“Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”

“Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati
ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada
yang hidup kecuali aku.”

“Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya.


Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai
untuk menebus usianya.”

“Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah
melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari
kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”

“Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”

“Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia
melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”

“Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”

“Ni Ketut Grubug.”

“Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”

“Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”

“Nama yang mengancam hidup orang lain.”

“Bukankah artinya bencana?”

“Ya, bencana yang mengerikan.”

“Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-
perempuan desa ini?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir,
apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang?
Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk
dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada
hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang
perempuan! Sama dengan mereka!

***

Bocah kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya
tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling.
Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering
membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang,
juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya
seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya
sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret
tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh
Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh
perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak
bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu
cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh
amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.

Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan
daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus
mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan
berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya
begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya
mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus
menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan
besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu
menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan
memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk
pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg
masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya,
mimpinya, keinginannya….

Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah


berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi.
Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti
sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau
usia, bau dauN-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu
dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan
inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil.
Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu
Cerpen Karya : Oka Rusmini

selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg


pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu
kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah
adiknya.

Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong


kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki.
Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam
perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan
tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia
adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak
peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa
bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa
melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya,
perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena
perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-
adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak
punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. (*)
Cerpen Karya : Oka Rusmini

LETEH
Tak ada yang tahu dari mana Ni Luh Wayan Arimbi berasal. Kehadiran perempuan
cantik berkulit gelap itu tetap diselimuti misteri. Pan Kobar juga tidak mau pusing
menelusuri riwayat pembantunya itu.

”ORANG mana dia, Pan Kobar?”

”Kau ini mau ngopi apa nggosip? Kayak perempuan saja. Suka omong yang tidak
penting.”

Begitu selalu jawaban Pan Kobar, pemilik warung kopi di pinggir jalan besar itu.
Warung Pan Kobar terkenal, ramai dikunjungi sopir truk-truk besar. Para lelaki dari
desa seberang pun suka nongkrong di warung kopi Pan Kobar. Konon kopi Pan Kobar
lezatnya luar biasa. Apalagi kalau diminum sambil memandang wajah Arimbi yang
berkilau menggairahkan. Badan dan pikiran langsung terasa segar.

Pan Kobar ingat betul bagaimana Arimbi ditemukan. Mungkinkah dia berasal dari
alam lain? Bidadari yang dikirim Sang Hyang Jagat untuk menemani hidup Pan Kobar?
Mungkin menjadi istrinya?

Istri? Pan kobar tercenung. Merasa nelangsa.

I Wayan Kobar nama lengkap lelaki kekar itu. Kobar berarti semangat membara,
kekuatan dahsyat yang mampu melumat apapun yang ada di depannya. Nama yang
gagah. Maskulin. Menyeramkan. Juga agak mistis.

Menurut cerita orang desa, ketika Kobar dilahirkan, guntur meledak bersahutan.
Hujan membadai. Sungai meluap dan mengamuk. Alam seakan murka. Dalam alam
pikiran warga desa, itu pertanda buruk. Desa akan ditimpa grubug, bencana besar.
Desa akan leteh, kotor, cemar. Upacara besar harus dihaturkan untuk Ida Betara, dewa-
dewa dan para leluhur.

Sebelum kelahiran Kobar, sudah bertahun-tahun desa itu seperti kena kutuk. Tidak
ada anak laki-laki dilahirkan di desa itu. Semua bayi yang lahir berjenis kelamin
perempuan. Warga desa sudah lelah minta petunjuk kepada banyak balian, tanpa hasil.
Beragam upacara dan sesaji telah mereka tumpahkan demi mencari jawaban. Kenapa
di desa mereka tidak lahir anak lelaki?

Lalu pada suatu pagi, matahari tak terbit lagi. Desa dililit kegelapan. Kegelapan
kelabu. Orang-orang desa tidak lagi bisa membaca waktu. Tidak ada lagi siang dan
malam. Senja dan subuh sama saja. Malam purnama dan malam rembulan mati tak
bisa dibedakan lagi.

”Kalau alam jadi kacau begini, apa yang harus kita lakukan?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

”Haturkan sesaji besar. Mungkin kalau diberi upeti, alam mau kompromi.”

”Ngawur. Memangnya alam itu kayak politisi atau pejabat yang bisa disogok?”

”Siapa tahu. Namanya juga usaha. Patut dicoba. Bukankah begitu budaya yang
dicontohkan para pemimpin negeri kita? Istilahnya, gotong-royong….”

Ketika itu warga lelaki sedang berembuk di balai banjar. Sudah sebulan desa
mereka tidak diguyur sinar matahari. Lalu hujan turun begitu deras. Pohon-pohon
berderak, meliuk-liuk. Tidak ada lelaki yang berani keluar dari ruangan. Semua terlihat
cemas. Semua memanjatkan doa. Menyeru para leluhur. Mencoba mohon ampun.

Tiba-tiba sebatang pohon beringin tua rubuh menimpa balai banjar. Para lelaki itu
terluka, darah membasahi lantai. Mereka menjerit-jerit dan memaki-maki. Namun
makin banyak makian mereka, makin banyak pula dahan pohon yang jatuh menghajar
tubuh mereka. Dahan-dahan itu menancap pada tubuh mereka. Darah mereka
muncrat membasuh daun-daun pohon beringin. Daun-daun menyerap darah mereka
dengan rakus.

Para lelaki itu terkapar dengan luka tusuk yang parah. Mereka mati tertikam
dahan-dahan pohon beringin. Ranting-ranting menjelma jadi keris yang mengoyak
tubuh mereka.

Laki-laki yang tersisa di desa itu tinggal seorang pemangku tua. Mangku Siwi,
demikian warga desa biasa menyebut pendeta pura desa itu. Sesungguhnya sudah
lama Mangku Siwi menyampaikan pawisik bahwa desanya akan mengalami serentetan
kejadian aneh yang buruk. Namun tak ada yang percaya. Orang-orang di desanya
hanya sibuk memperkaya diri. Ingin cepat hidup enak dengan menjual tanah warisan.
Sudah lama pura dan subak tidak berfungsi dengan semestinya. Lahan desa makin
marak ditumbuhi pohon beton.

Sejak terjadinya kematian aneh warga lelaki di balai banjar, desa itu dijuluki Desa
Luh, Desa Perempuan. Para investor yang telah membeli tanah di desa itu kabur
ketakutan. Tidak ada orang luar yang berani mengunjungi desa itu. Mereka takut
terkena leteh yang mengepul dari tanah Desa Luh. Desa itu menjadi sepi, kelam dan
terkucil. Meski alam telah meminta tumbal nyawa hampir semua warga lelaki, matahari
belum juga muncul di desa itu.

Pada suatu hari, para perempuan berkumpul di pura desa.

”Jero Mangku Siwi, bagaimana nasib desa kita? Apa yang harus kita lakukan?”

”Saat ini kita hanya menunggu kelahiran.”

”Kelahiran? Siapa yang akan melahirkan? Bukankah sudah tidak ada lelaki di desa
ini?”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Para perempuan itu berharap Mangku Siwi membocorkan rahasia yang dititipkan
alam padanya. Mereka tahu, sang pemangku bisa membaca pertanda. Dialah satu-
satunya tempat para perempuan itu minta petunjuk atau minta tolong.

”Nunas iwang, Jero Mangku. Mohon maaf. Bolehkah kami tahu, siapa perempuan
yang mengandung? Apakah ada lelaki datang ke desa ini dan menyentuh salah satu
perempuan tanpa kami ketahui?”

Wajah perempuan-perempuan itu terlihat ketakutan. Alam telah menghukum


mereka dengan kejam. Azab apa lagi yang akan mendera mereka jika ada perempuan
di desa itu yang hamil tanpa suami?

Mangku Siwi hanya membisu.

”Mungkin hamil sendiri. Bukankah Kunti bisa melahirkan Karna tanpa disentuh
laki-laki?” ujar seorang perempuan.

”Siapa bilang?” bantah perempuan lain. ”Kunti tentu bersentuhan dengan laki-laki.
Dia memang bilang tidak berhubungan badan dengan laki-laki. Tapi bagaimana kalau
dia bohong untuk menutupi aib? Mungkin dia main sama pacarnya yang tidak bisa dia
miliki.”

”Benar juga,” dukung perempuan lain. ”Mungkin Kunti cuma mengarang cerita
sebagai trik supaya selamat. Biar lolos dari cibiran. Aku sudah lama jadi perempuan.
Aku tahu bagaimana cara mengakali perkara begituan. Kalau dilukai, perempuan bisa
menjelma jadi makhluk paling jahat di muka bumi. Bisa menghancurkan apa saja.
Apalagi perempuan kayak Kunti. Perempuan cerdik. Semua cerita itu cuma taktik
supaya dia tetap dipandang suci.”

Mangku Siwi mengangkat dupa tinggi-tinggi.

”Seorang lelaki akan lahir di desa ini,” ujarnya lirih.

Selang beberapa hari, I Wayan Kobar lahir dari rahim perempuan bisu-tuli yang
hidup sebatang kara. Ibu Kobar seorang perempuan cantik berkulit gelap yang selalu
menundukkan wajah. Semua warga ikut merawat bocah lelaki yang menjadi harapan
untuk melanjutkan keturunan mereka di desa itu.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Kobar telah tumbuh menjadi seorang pemuda,


warga menemukan seorang pemudi asing terikat di pohon pule dekat kuburan desa.
Tubuh perempuan ini penuh luka dan berbau amis. Tak ada sinar kehidupan di
matanya yang cekung. Wajahnya begitu mengerikan. Rambutnya gimbal, panjang
sepinggang. Dia tampak lebih mirip monster atau raksasi.

”Masih hidup?” tanya seorang perempuan sambil menutup hidungnya.

”Jangan kausentuh!”
Cerpen Karya : Oka Rusmini

”Dia tidak beracun. Tidak akan menularkan penyakit pada kalian,” seru Mangku
Siwi yang datang membawa air dan dupa. Tubuh perempuan itu dipercikinya dengan
air.

”Ini pertanda apa lagi, Jero Mangku?”

”Kita rawat dia.”

”Sayang sekali dia perempuan,” celutuk seorang perempuan. ”Kapan laki-laki


datang ke desa ini? Aku sudah hampir lupa bau tubuh laki-laki.”

”Dasar gatal!” sahut perempuan lain.

Mereka tertawa cekikikan sambil memandang Mangku Siwi. Lelaki itu tak peduli.
Mulutnya komat-kamit. Tampaknya sedang merapal mantra.

”Mangku Siwi juga laki-laki,” bisik seorang perempuan.

”Maksudmu?”

”Kenapa kita tidak giliran tidur sama dia saja?”

”Apa?!”

”Ssst. Tidak usah mendelik seperti itu. Tadi kau bilang sudah lupa bau laki-laki.
Kenapa kita tidak coba mengingat kembali rasa tubuh laki-laki dengan tidur sama
Mangku Siwi?”

”Gak sudi.”

”Aku juga tidak!” sahut perempuan lain.

”Mendingan menggosokkan tubuhku ke pohon kecapi habis buang air. Lebih


terasa.”

”Benar. Memangnya kau mau main sama pemangku itu?”

”Baru ide. Harus dipikirkan lebih matang lagi. Dengan hening.”

”Otakmu memang kacau!”

”Jelas kacaulah. Sudah lama sekali tidak tidur sama laki-laki.”

”Husss. Sudah. Kau ini kayak bisa basah saja melihat gaya Mangku Siwi merapal
mantra.”

Perempuan-perempuan itu terdiam. Mereka memang tidak dapat merasakan


setetes pun nafsu birahi terhadap Mangku Siwi. Melihat gerak-gerik lelaki itu, urat
gairah seluruh perempuan di desa itu langsung putus. Pupus.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Mangku Siwi terlalu mencintai Kosmis. Otak dan hatinya hanya berisi manta-
mantra. Semua yang bergerak, segala yang berdetak, ditangkapnya sebagai sasmita
untuk kelanjutan hidup desanya.

”Namakan perempuan ini Ni Luh Wayan Arimbi. Mandikan dia,” ujar Mangku Siwi
datar.

Perempuan-perempuan desa itu bergerak menjalankan perintah sang pemangku


sambil menahan napas. Tubuh perempuan asing itu benar-benar berbau sangat busuk.
Seluruh isi perut mereka terasa berontak minta keluar.

Mereka memandikan Arimbi di sungai. Daki tebal pada tubuhnya dirontokkan


dengan batu kali. Sekujur badannya digosok dengan batu bata tumbuk supaya lenyap
segala korengnya. Setelah dikeramasi puluhan kali dengan bubuk merang, barulah
rambut perempuan itu menunjukkan warna aslinya. Hitam pekat.

Para perempuan desa itu rajin melumuri tubuh Arimbi dengan beras tumbuk
campur kunyit agar kulitnya bersinar. Setiap pagi ia wajib meneguk ramuan asam
untuk melancarkan peredaran darah di tubuhnya.

Tepat satu bulan tujuh hari kemudian, Arimbi seperti menjelma jadi perempuan
baru. Pipinya merah. Tubuhnya segar berisi. Matanya cerah. Parasnya bercahaya,
mengingatkan pada Ken Dedes yang memikat Ken Arok dengan cahaya yang meluap
dari tubuhnya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

Dan di langit timur, matahari juga tersenyum. Para perempuan desa memejamkan
mata, silau diterpa sinar matahari yang datang sesudah begitu lama menghilang.
Mereka berharap Arimbi menikah dengan Kobar dan menyemaikan benih manusia
baru, sebanyak-banyaknya, yang akan melanjutkan riwayat desa mereka.

Sebagai ungkapan terima kasihnya kepada warga desa, Arimbi membantu Kobar
berjualan di warung kopi. Ia segera menjadi primadona. Warung kopi Kobar menjadi
laris. Kobar pun bisa menyumbangkan dana untuk pembangunan pura, jembatan dan
berbagai fasilitas lain di desanya.

Namun Kobar dan Arimbi belum juga membina rumah-tangga. Warga desa tak
habis pikir. Bukankah Kobar pemuda yang tampan, badannya bagus, pujaan banyak
gadis dari desa lain? Dan Arimbi bunga desa, incaran banyak lelaki? Tidakkah mereka
ingin menyelamatkan desa mereka dari ancaman kepunahan?

”Jero Mangku, bagaimana kelanjutan nasib desa kita?” demikian warga sering
bertanya kepada sang tetua desa tentang hubungan antara Kobar dan Arimbi. Dan
yang ditanya selalu membisu. Mangku Siwi seperti sengaja membiarkan warga terus
bertanya. Terus berharap-harap cemas.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Kobar sendiri bukan tak tahuharapan warga kepadanya. Tapi dia juga tak punya
jawaban. Di dasar hatinya, ia hanya bisa mencangkuli dirinya. Wujudku memang laki-
laki, tapi aku tak punya gairah terhadap perempuan.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

PASTU

Percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan
yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup
sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam
racun ke seluruh napasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari
kebahagiaan?

Adakah seseorang telah menanam pohon kebahagiaan? Itulah pertanyaan-


pertanyaan yang mengepung masa kanak-kanakku. Aku tumbuh dan tetap hidup,
berharap menemukan pohon kebahagiaan. Mungkin seseorang telah menanamnya,
sementara aku tidak tahu di mana pohon itu ditanam? Kalau aku temukan pohon itu,
aku akan cabut, lalu kutanam di jantungku, agar akar-akarnya mampu mengaliri
darahku. Dan, beragam pastu, kutukan yang mengaliri pori-pori darah perempuanku
akan lenyap.

Belakangan ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap
penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas.

Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku
yang bermalas-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan.

Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup
jus buah setelah senam atau yoga.

Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca.
Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk.

Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh
tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun.

“Kamu kan gak pernah beranak, tidak heran tubuhmu indah. Kamu bisa
menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuh. Gaji di kantor besar. Rumah ada.
Mobil ada. Kurang apa?” Aku terdiam. Setiap sahabatku berkata dengan penuh nada
iri pada kehidupan yang sedang kunikmati. Apakah aku bahagia denga kelajanganku?
Aku juga pernah bertanya pada karibku itu, “Apakah perkawinan membuatmu
bahagia?”

“Aku yang bertanya padamu,” jawabnya ketus.

Kalau sahabat perempuanku sudah merengut seperti itu, aku hanya diam, sambil
mengunyah salad buah pelan-pelan. Aku tahu, belakangan ini dia pasti baru diteror.
Penyakit musiman yang kunamakan “terror rumah perkawinan”. Sebetulnya mau
kunamakan “teror cinta”. Terror yang membuatnya sedih, gelisah. Kecemburuan,
ketidakpuasan, putus asa, entah menu apalagi yang terus keluar dari mulutnya.
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Sepertinya bagi si lajang model aku ini, perkawinan itu jadi makhluk buas yang siap
mencabik dan memakanku hidup-hidup. Iiiih! Kalau dia dalam kondisi seperti itu,
akulah korbannya. Seharian dia hanya merokok saja. Atau datang pagi-pagi sambil
membawa minuman alkohol dosis tinggi, lalu maboklah dia! Namun, meski seminggu
dia kost di rumahku, suaminya tak pernah meneleponnya. Juga tidak mencarinya. Aneh
sekali, kan?

Aku menyayanginya. Bagiku, pertemananku dengannya yang sudah kami mulai


sejak duduk di bangku SMP begitu tulus. Tak tergantikan. Namanya Cok Ratih, putri
tunggal seorang pemilik hotel di Kuta, Ubud, dan entah di mana lagi. Yang pasti, sejak
mengenalnya, aku pun ikut mapan karena Cok Ratih menganggapku sebagai saudara
satu-satunya. Bagiku, kehadiran Cok Ratih dalam hidupku membuat aku percaya
bahwa ada hal yang layak dipercaya dalam hidup ini. Persahabatan.

Kata orang-orang, Cok Ratih egois. Bagiku tidak. Dia memberikan apa saja yang
dia punya untukku. Cok Ratih mengajari aku berbagi. Hubungan kami ters terjalin
begitu erat. Saking eratnya, banyak teman mengira ada yang salah dengan hubungan
kami. Tapi kecurigaan mereka terbantahkan ketika Cok Ratih terlihat sering
menggandeng I Made Pasek Wibawa. Semua orang pun mengira, Pasek (begitu aku
dan Cok Ratih memanggil lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu), akan berbagi
cinta. Aku dan Cok Ratih hanya tertawa. Hubungan mereka berdua begitu a lot.
Keluarga besar Cok Ratih menentang hubungan itu. Orangtuanya juga. Tetapi Cok
Ratih nekat.

“Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini
sudah rumit, kenapa masih dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang
bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan
itu keras kepala. Akhirnya dia pun hamil diluar nikah. Terpaksalah orangtuanya
mengawinkannya.

“Kalau nggak hamil dulu, pasti ortuku nggak setuju,” katanya terkekeh. Bagi Cok
Ratih, hidup begitu ringan dan tenang. Tak ada beban. Mungkin karena itulah
persahabatan kami langgeng. Menurut orang-orang, aku perempuan yang terlalu
serius. Bagiku, itu penilaian yang salah. Aslinya aku hanyalah perempuan yang takut
melakukan kesalahan. Karena setiap kesalahan yang kuperbuat akan menimbulkan
dampak psikologis yang begitu dalam bagi pertumbuhanku menjadi perempuan.

Tiga bulan sudah menikah, Cok Ratih mengalami keguguran hebat. Usia
kandungannya hamper tujuh bulan. Perdarahan yang tidak ada hentinya. Satu bulan
dia dirawat di rumah sakit khusus. Berkali-kali tidak sadar.

Hyang Jagat, begitu luar biasanya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan
seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku
digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang
Jagat. Hyang Jagat! Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai
Cerpen Karya : Oka Rusmini

merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk
mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat
keprihatinan di matanya. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatku itu? Sementara
Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarga
besarnya pun putus karena dia mnikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu
banyak yang dikorbankan untuk cinta.

Aku pernah menyiramkan segelas besar wine ke wajah Pasek ketika dia berusaha
memepetkan tubuhnya ke tubuhku pada acara gala dinner di sebuah perusahaan milik
sahabatku. Semua orang menatap kami. Aku pun meninggalkan ruangan itu.

Yang membuat aku panas, Pasek menyebar gossip bahwa akulah yang tertarik
padanya. Ya. Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti
Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman
hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api denga lelaki milik
perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan percaya? Aku atau
suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku utuk kawin makin jauh.

Namaku Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah
bagaiman dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah
yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merassa puas pada apa pun
yang telah dan akan kulakukan. Aku udah pattah dan kecewa.

Semua bermula dari Aji, ayahku. Sejak ditugaskan mengambil spesialis mata, lelaki
itu tidak pernah pulang ke rumah. Dia kecantol seorang janda beranak dua. Ibuku,
Dayu Westri jadi stress berat. Dia sering menjerit-jerit tengah malam, lalu memesan
arak, mabuk, muntah. Akhirnya ibuku bunuh diri dengan menyilet nadinya
menggunakan pisau tatah milik Kakiang, kakekku, ayah dari ibuku.

Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat
pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian ibu membuat
Kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan
Kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka
berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun akhirnya mati gantung diri di
kamarnya.

Tinggallah aku dengan Nini, perempuan sudra kebanyakan yang dikawini Kakiang.
Nama asli perempuan itu Ni Luh Made Ragi. Karena menikah dengan Kakiang,
bangsawan dari kasta tertinggi, Brahmana, Nini pun berganti nama menjadi Jero
Tunjung.

Aku memanggil perempuan tua cantik itu Nini, yang berarti nenek. Dari dialah aku
belajar banyak bahwa semua harus diselesaikan sendiri, tidak boleh mengeluh, tidak
boleh menunda pekerjaan, selalu bersyukur pada leluhur. Dan yang membuatku
Cerpen Karya : Oka Rusmini

berpikir, Nini berkali-kali menasihati, menjadi perempuan itu jangan pernah


menyakiti perempuan lain. Sekecil apa pun tidak boleh! “Kalau Tugeg menyakiti
perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya
padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin
paham arti kata-kata itu. Pengalamnku juga mengajarkan betapa sakitnya dikhianati.
Makanya, jangan mengkhianati.

Perempuan sudra itulah yang membuatku mandiri. Dia hidupi aku, satu-satunya
cucu miliknya dengan cinta yang aneh. Bagiku dia terlalu keras mendidikku. Setelah
dia mati, baru kusadari bahwa perempuan itulah yang membuatku berani
bertanngung jawab pada pilihan-pilihan hidup yang kuambil. Dia yang membiayai
sekolahku, karena sejak kecantol janda itu, Aji tidak pernah pulang lagi. Aku telah
kehilangan figur Aji pada usia 6 tahun, kehilangan Ibu pada usia 7 tahun,
kehilanganKakiang pada 8 tahun.

Begitu banyak kematian memberi aroma bagi pertumbuhanku sebagai Dayu


Cenana. Belum lagi kematian binatang peliharaanku, bunga-bungaku, juga beberapa
teman bermain dan sekolahku. Aku tumbuh dari kematian yang datang hampir setiap
tahun.

Aku terus dikepung rasa sunyi. Tetapi Nini telah membekaliku dengan kehidupan
yang, setelah kupikir-pikir, luar biasa. Aku dibesarkan lahir-batin hanya oleh seorang
perempuan. Perempuan tua cantik itu senang sekali melakukan ritual-ritual yang tidak
biasa. Mandi bunga setiap purnama, bulan terang dan penuh. Tidur dengan kain kafan
bila datang tilem, bulan mati dan langit jadi gelap, seolah mati. Setiap Selasa-Kamis,
biasanya dia hanya makan nasi putih dan minum air putih. Kadang-kadang pada hari
tertentu, Kajeng Kliwon, dia mandikan tusuk kondenya, keris, dan beragam batu-batu
antik, lalu airnya dipakai untuk memandikan aku. Mungkin karena beragam pantangan
yang dilakoninya, dia tumbuh makin kuat, makin cantik, dan bagiku dia luar biasa.
Perempuan yang sangat menikmati hidupnya dengan kebenaran miliknya.

“Jadi perempuan itu harus bisa menghormati diri sendiri,” katanya suatu hari
sambil menghaluskan bata menjadi serbuk. Nini tidak pernah gosok gigi dengan odol.
Setiap pagi dia menumbuk bata merah. Juga kumur dengan air garam. Giginya kuat.
Kelak, ketika kematian menggiringnya, giginya masih utuh.

Aku tidak pernah tahu berapa usianya ketika mati. Karena dialah satu-
satunyapelingsir, perempuan yang dituakan di Griyaku, mati paling akhir.

Bisik-bisik sempat kudengar, Niniku memiliki ilmu pengeleakan, ilmu hitam. Bagiku
gosip itu murahan. Nini tidak pernah mengajariku hal-hal aneh. Yang kutahu, entah
benar entah tidak, seseorang yang memiliki ilmu pengeleakan bisa menjelma jadi api,
babi, angsa, atau binatang lainnya. Aku hidup dengan Nini berpuluh-puluh tahun.
Bahkan aku paham betul lekuk tubuhnya karena kami sering mandi di kali atau
pancuran sawah. Airnya bening dan membuatku betah berlama-lama. Nini dengan
Cerpen Karya : Oka Rusmini

sabar menunggui aku mandi sambil menggosok tubuhnya yang sawo matang dengan
lumpur sawah, atau menggosok daki-dakinya dengan batu kali. Nini tidak suka mandi
dengan sabun. Katanya aneh, licin, dan membuat badannya gatal.

Ketika Nini mati, aku pun memilih tinggal dan berkarier di luar rumah keluarga
besar. Aku tidak pernah menginginkan perkawinan. Aku hanya menginginkan
persahabatan yang tulus. Sampai kini, aku masih virgin. Memang terdengar
kampungan. Aku menikmati hari-hari yang terus berjalan dengan menguras usiaku.
Bagitulah aku hidup. Sejak muda, aku tidak tahu rassanya patah hati. Memulai
mencintai lelaki pun aku tahu. Setiap ada lelaki yang mengatakan cinta padaku, aku
demam. Seminggu aku migren. Apalagi kalau lelaki itu telah kuanggap sahabat baik.
Tak ada cinta yang bisa kurasakan. Yang kubutuhkan adalah perhatian yang tulus,
teman dialog, juga sesekali bermanja. Bagiku, cinta lelaki dan perempuan sama
dengan seks. Aku tak mau hamil, melahirkan anak, karena aku takut anak yang lahir
dari rahimku mengalami nasib seperti aku. Atau bahkan jadi lebih buruk! Aku
menggigil. Dibunuh oleh pikiran-pikiranku sendiri. Keingat mengalir dari dahi, ketiak,
dan seluruh tubuh.

Telepon genggamku bordering.

“Apa?! Kapan?!” Aku berteriak histeris. Tubuhku limbung. Menjelang tengah


malam, aku tersadar. Aku terbaring di lantai dekat pintu masuk kamar mandi, hanya
ditutupi handuk. Cahaya bulan membangunkanku. Hari ini purnama? Aku bergegas
bangun, menyalakan lampu. Aku takut dikepung gelap.

Tak ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Hari ini, Cok Ratih dititipkan di ibu
pertiwi, tanah lembab. Tubuh perempuan itu hamper tak kukenali lagi. Membengkak
dan busuk. Cairan terus menetes dari tubuhnya. Tak ada lagi rona kecantikan di
mayatnya. Sudah seminggu dia terbujur kaku di dalam kamar mandi kamar tidurnya.
Tanpa diketahui lelakinya. Lelaki yang konon dicintainya.

Sahabatku mati. Berkorban untuk cinta, tanpa pernah mendapatkan cinta yang
sesungguhnya. Lelaki itu tak ada di rumah, bahkan tak pernah tahu istrinya telah
menjerat lehernya dengan tali. Polisi yang menemukan tubuh Cok Ratih yang telah
membusuk.

Desa Adat memberinya sanksi, mayatnya tak boleh diaben karena Cok Ratih mati
salah pati, mati bunuh diri. Mati yang salah! Menurut konsep agama. Kutelan kegetiran
itu. Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu
menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima
alasannya?

Aku tak lagi bisa menangis. Ketika upacara penguburan itu selesai. Apakah Tuhan
masih mau menghukum Cok Ratih? Perempuan yang mengorbankan seluruh
hidupnya untuk mendapatkan cinta dari seorang lelaki? Lelaki yang tak pernah cukup
dengan satu cinta?
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Selama ini Cok Ratih terus-menerus berusaha menyembuhkan lukaku. Katanya,


kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat
perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu. Tapi kalau nyatanya kawin
malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa
pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan?

Aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini
pertanda suassana kematianku kelak semuram warna langit petang ini?
Cerpen Karya : Oka Rusmini

Anda mungkin juga menyukai