Anda di halaman 1dari 10

Dwifungsi ABRI dan Jalan Terbuka Politik

Tentara
Perang Perwira TNI dan Polri dalam...
Perwira Polisi di Kandang Banteng...
Dwifungsi ABRI dan Jalan Terbuka...
"Perwira Aktif Tidak Boleh...

A.H. Nasution, Sukarno, dan Soeharto. FOTO/Istimewa

Oleh: Iswara N Raditya - 10 Januari 2018


Dibaca Normal 3 menit
Konsep “jalan tengah” usulan A.H. Nasution membuka jalan militer ke pemerintahan,
kelak dimantapkan lewat Dwifungsi ABRI era Soeharto.
tirto.id - Sejak Badan Keamanan Rakyat terbentuk setelah Indonesia merdeka,
hingga resmi bernama Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947, militer belum
terpikir untuk ikut campur lebih dalam pada pemerintahan. Selama masa revolusi
fisik itu kaum serdadu lebih fokus untuk mempertahankan kemerdekaan.

Setelah melalui serangkaian perundingan, kedaulatan Indonesia akhirnya diakui


Belanda pada akhir 1949. Tugas militer kemudian sedikit bergeser, yakni
memadamkan gerakan-gerakan kedaerahan. Seiring waktu mulailah muncul
pertanyaan: Jika negara sudah aman sepenuhnya, apa yang akan diperbuat para
tentara?

Dari pemikiran inilah Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat memperkenalkan konsep “jalan tengah.” Konsep ini embrio dari Dwifungsi
TNI/ABRI yang membuka jalan bagi militer berpolitik, bahkan kelak mencampuri
urusan seluruh sektor kehidupan sipil atas nama "stabilitas nasional."

UU Darurat Perang
Sebenarnya masih menjadi perdebatan kapan tepatnya militer Indonesia mulai
mengambil peran dalam politik. Mengingat militer Indonesia lahir dari revolusi
kemerdekaan, bukan hasil bentukan negara, ada yang berpendapat TNI sudah sejak
awal berpolitik (Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI
Ideal, 2007:2).

Namun, Jusuf Wanandi dalam “Theory and Practice of Security Sector Reform: The
Case of Indonesia” (2003) meyakini militer mulai berperan signifikan dalam
perpolitikan Indonesia sejak berlaku Undang-undang Keadaan Darurat
Perang (Martial Law) atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada 1957 (Bakrie,
2007:2).

Tulisan David Jenkins, “The Evolution of Indonesian Army Doctrinal Thinking: The
Concept of Dwifungsi” (dalam South Asia Journal of Social Science, Vol. 11,
1983:14-30), menambahkan bahwa SOB terkait merosotnya pamor demokrasi
parlementer serta pergolakan daerah yang bikin hubungan dengan Jakarta
memburuk dan akhirnya meledak lewat Pemerintahan Revolusioner Indonesia pada
1958.

Baca juga: Berkat Limpahan Bedil dari CIA: PRRI dan Pusaran Anti-Komunis

Dikutip dari Ulf Sundhaussen (1981) dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967,
Menuju Dwifungsi ABRI, SOB memungkinkan militer mengeluarkan
perintah/peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan ketika kondisi
darurat perang. Selain itu, dalam keadaan lebih gawat, militer dapat mengubah
ketentuan peraturan umum serta berwenang mengambil tindakan apa pun yang
dianggap perlu (hlm. 223).

Penerapan SOB merupakan inisiatif KSAD A.H. Nasution yang disetujui Sukarno
mengingat situasi negara semakin gawat lantaran aksi separatis. Bagi Nasution,
SOB dibutuhkan karena undang-undang mengenai keadaan darurat nasional yang
disebutkan dalam UUD Sementara 1950 belum juga dibuat (A. Malik Haramain, Gus
Dur, Militer, dan Politik, 2004:51).

“Jalan Tengah” Jenderal Nasution

Pengesahan UU Darurat Perang memberi kesempatan kepada tentara untuk


bertindak lebih jauh lagi. Tentara semakin menjadi penentu serta mendominasi
kondisi dalam negeri, bahkan melampaui parlemen dan kekuatan-kekuatan lain
(Haramain 2004:53).

Terlebih ketika Jenderal Nasution pada 1958 mengatakan kepada Presiden Sukarno
bahwa Angkatan Darat ingin melanjutkan peran itu setelah darurat militer dicabut.
Nasution berkata, pihaknya sedang mengembangkan konsep “Jalan Tengah” yang
akan memberikan peluang bagi militer, khususnya AD, untuk berperan terbatas
dalam pemerintahan sipil.

Konsep “Jalan Tengah”, sebut Nasution, “… memberikan cukup saluran pada


tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang
menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan
kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi.” (Harold Crouch, The
Army and Politics in Indonesia, 2007:24).

Baca juga: Abdul Haris Nasution Si Penggagas Dwifungsi ABRI

Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013)


menilai posisi TNI saat itu amat defensif menghadapi aksi ofensif Partai Komunis
Indonesia dan Sukarno. Dalam keadaan seperti itu, yang tampaknya mungkin
dilakukan Nasution adalah menciptakan teori-teori untuk membela peranan dan
partisipasi politik tentara.

Dan memang, PKI, juga Sukarno, kemudian terjebak dalam kondisi sulit sesudah
Gerakan 30 September 1965. Perkembangan situasi yang frontal itu memperbesar
peluang bagi Nasution untuk benar-benar merealisasikan konsepnya.

Terlebih lagi AD berada di atas angin, termasuk banjir simpati ketika sejumlah
perwira tingginya tewas dari G30S. Ditambah pengaruh Mayor Jenderal Soeharto
selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)
yang menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno (Arvin
Mahardika & Faza Nurul Ulya, UUD 1945 & Amandemen, 2016:75).

Baca juga: Arsip Rahasia AS: Soeharto Tahu Pembantaian 65

Nasution lantas mematangkan konsep “Jalan Tengah” dalam Seminar Angkatan


Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Seminar ini diikuti ratusan peserta,
termasuk para perwira senior AD. Momen ini dijadikan Nasution untuk merevisi
sekaligus “membersihkan” doktrin AD dari pengaruh komunis.

Maka disepakati dan ditetapkan bahwa Angkatan Darat diperbolehkan menjalankan


perannya di luar militer, yaitu “untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan
masyarakat di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.” (Nugroho
Notosusanto, The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially Since
1966, 1970:12).

Sebenarnya Nasution sudah mencicipi jabatan politik dengan seragam militernya


sejak ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan
pada 10 Juli 1959 dalam Kabinet Kerja III. Selanjutnya, pada akhir era Sukarno, ia
menempati posisi sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) sejak 1966, dan berlanjut setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan,
hingga 1972.

Dari sinilah “Jalan Tengah” ala Nasution menjadi pembuka bagi militer Indonesia
untuk turut berkecimpung di kancah politik praktis, bahkan ikut mengurusi
pemerintahan. Nantinya, setelah Soeharto sepenuhnya berkuasa sebagai presiden,
konsep ini dilegalkan dan diterapkan dalam kemasan “Dwifungsi ABRI”.

Baca juga: S. Parman, Korban G30S yang Justru Adik Petinggi PKI
Dwifungsi ABRI: Dalih Militer Berpolitik

Rezim Orde Baru di bawah komando Soeharto membuka ruang seluas-luasnya bagi
orang-orang militer untuk menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan,
bahkan di sektor-sektor lainnya.

Orde Baru memantapkan Dwifungsi ABRI dengan landasan hukum. Departemen


Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978)
mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD
1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik
penyelenggaraan negara sejak 1945 (hlm. 8).

Lebih rinci, pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar


hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga
Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982.

Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer
Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta
ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur
negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator"
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Arifin Tambunan, dkk., Pejuang dan
Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, 1984:171).

Baca juga: TNI AU: Diandalkan Sukarno, Dikucilkan Soeharto

Soeharto sering mempropagandakan Dwifungsi ABRI selama periode


kekuasaannya. The Smiling General ini kerap berkata, “Sejalan dengan pelaksanaan
tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan
tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial dan politik.” (Nazaruddin
Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto, 1991:129).

Dan memang itulah yang terjadi pada Orde Baru. Bukan hal yang aneh jika ada
tokoh militer aktif yang menjabat menteri, gubernur, hingga bupati/walikota. Soeharto
tak jarang menunjuk sosok militer mendampinginya sebagai wakil presiden, yakni
Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Soedharmono (1988-1993), dan Try Sutrisno
(1993-1998).

Tak hanya di sektor politik dan pemerintahan, militer berkecimpung di partai politik.
Kaum serdadu selama Orde Baru bertebaran di mana-mana, di setiap sendi dan lini
kehidupan masyarakat, sebutlah di lembaga atau perusahaan milik negara,
peradilan, bahkan di ranah bisnis sebagai tentara merangkap pengusaha.

Baca juga: Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil

Sejak Soeharto mundur pada 1998, Dwifungsi ABRI secara bertahap diupayakan
untuk dihilangkan, yang berpuncak dengan penghapusan Fraksi TNI/Polri dari DPR
pada 2004, menyusul penerapan serupa untuk MPR.
Kendati begitu, kecenderungan orang-orang militer—setidaknya setelah pensiun
atau yang terpaksa mundur dari TNI—untuk terjun ke kancah politik tetap saja besar,
selain karena memang dinilai punya daya tarik, misalnya oleh partai politik atau
lembaga tertentu.

Tanpa embel-embel “Jalan Tengah” ala Nasution atau propaganda Dwifungsi ABRI
gaya Soeharto sekalipun, sebagian tokoh berlatar belakang tentara masih bisa
menikmati surga politik di negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai