MATERI INTI 1
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL
JAKARTA
1
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan
Modul Pelatihan Penanggulangan TB di Fasyankes Tingkat Pertama (FKTP)
yang terintegrasi dengan keluarga sehat.
Materi Modul Pelatihan TB di Fasyankes Tingkat Pertama ini memberikan
petunjuk pelatihan yang harus diberikan kepada seluruh pelayanan kesehatan
tingkat pertama dalam upaya Penanggulangan TB di Indonesia.
Modul ini menguraikan tentang gambaran umum TB; situasi TB di dunia dan
Indonesia, menjelaskan program penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan
kebijakan penanggulangan TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB.
Selain itu diberikan petunjuk pelatihan mengenai strategi penemuan kasus,
diagnosis TB pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan
OAT, diagnosis TB ekstraparu, diagnosis TB dengan komorbid, dan definisi kasus
TB serta klasifikasi pasien TB. Setelah ditegakkan diagnosis dan klasifikasi kasus
bagi setiap pasien TB sensitif maupun pasien TB Resistan Obat (RO) dilanjutkan
pengobatan yang bisa dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
Di dalam modul ini selain berisi petunjuk pelatihan bagaimana kebijakan, strategi
penanggulangan, yang diikuti bagaimana menemukan dan mengobati
tuberkulosis, terdapat juga petunjuk pelatihan penguatan kepemimpinan program
TB; peningkatan akses pelayanan TB yang bermutu; pengendalian faktor risiko
TB; peningkatan kemitraan; peningkatan kemandirian masyarakat dalam
pengendalian TB; dan penguatan manajemen program TB.
Modul ini juga memberikan petunjuk penanggulangan TB yang berintegrasi
dengan pelaksanakan Program Indonesia Sehat yang diselenggarakan melalui
pendekatan keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan,
dengan target keluarga, berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan
Keluarga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih ada kekurangan, untuk itu
kami menerima masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan di masa yang
akan datang.
Penulis
2
TIM PENYUSUN
Pelindung:
Pengarah:
Editor
Anggota:
DAFTAR ISI
3
TIM PENYUSUN ……………………………………………………. 3
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….... 4
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. 5
I. DESKRIPSI SINGKAT …………………………………………………………. 6
II. TUJUAN PEMBELAJARAN …………………………………………………. 6
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) ……………………………..….. 6
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) ………………………..……… .6
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ………………………....7
IV. METODE ………………………………….………………………….……. 7
V. MEDIA DAN ALAT BANTU…………………………………...………………... 8
VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN …………………..… 8
A. Langkah 1 : Pengkondisian peserta …………………………….…… 8
B. Langkah 2 : Review Pokok Bahasan………………………….….….. 8
C. Langkah 3 : Pembahasan per materi …………..……….…………… 8
D. Langkah 4 : Pembahasan studi kasus ………………..…………..… 8
E. Langkah 5 : Rangkuman…..……………………..……….…………… 8
VII. URAIAN MATERI …………………………………………………………….… 10
A. Strategi penemuan terduga TB …………………………………….… 10
B. Definisi kasus ……………………………………………………….… 12
C. Penegakan diagnosis TB …………………………………………...… 13
D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium ……… 29
E. Klasifikasi pasien TB ……………………………………………….… 33
F. Komunikasi Motivasi ………………………………………………..… 36
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko ..………………………………… 48
H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB ………………..…50
VIII.REFERENSI ……………………….………….…………..…………………… 51
IX. LAMPIRAN…………………………………………….…………………………..52
4
DAFTAR SINGKATAN
ANC = Ante Natal Care
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CNR = Case Notification Rate
DM = Diabetes Mellitus
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
DST = Drugs Sensivity Test
5
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis (TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TB paru menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan adalah
pasien TB paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan
droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M. tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis
adalah dengan menemukan Pasien TB secara dini serta mengobati dengan
tuntas, sehingga bahaya penularan tidak ada lagi.
Penemuan Pasien TB paru adalah dengan cara menemukan pasien yang
mempunyai gejala mengarah ke TB yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih,
berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri dada dan gejala penyakit
paru lainnya. Diagnosis Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis adalah dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan dan Test Cepat Molekuler (TCM). Cara
diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan menemukan kuman TB
terduga TB melalui pemeriksaan dahak secara konvensional dengan
pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN) apusan dahak
dan biakan, serta identifikasi M. tuberculosis dengan tes cepat. Tes cepat saat ini
yang digunakan adalah tes bio-molekuler menggunakan alat Xpert/ MTB Rif.
Jika konfirmasi bakteriologis tidak diperoleh, maka diagnosis TB ditegakkan
secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Modul penemuan Pasien TB akan membahas tentang strategi penemuan,
diagnosis TB Paru pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB
Resistan OAT, diagnosis TB Ekstraparu, diagnosis TB dengan Komorbid, dan
definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB.
6
4. Melakukan pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan klasifikasi Pasien TB
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TB
IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab.
B. Curah Pendapat.
C. Studi kasus
7
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang
B. Panduan Studi Kasus
C. Modul
D. Laptop,
E. LCD,
F. Bahan Tayang
G. Pointer
H. Papan flipchart
I. Kertas flipchart
J. Spidol
K. Alat-alat Lab (pot, slide, lampu spritus)
8
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi
pembelajaran yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi
kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan
mengajukan pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan
sesuai pokok bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta
tentang materi Penemuan Pasien TB, merangkum hasil pembahasan, dan
memberikan penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.
9
VII. URAIAN MATERI
– WHO tahun 2016, ditingkat global diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru
dan 1,8 juta kematian/tahun.
– Hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional (SPTN) 2013-2014
menunjukkan estimasi prevalensi TB 660/100.000. Estimasi ini 2,4 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan angka estimasi prevalensi
sebelumnya. Angka ini setara dengan 1,6 juta kasus TB, sekitar 1 juta
kasus baru setiap tahunnya. Berdasarkan angka temuan kasus TB
sebesar 327.103 pada tahun 2013, diperkirakan 670.000 kasus TB per
tahun tidak terlaporkan di Indonesia.
– Riskesdas, 2013 bahwa terdapat 25% dari kasus gangguan pernafasan
dari semua golongan umur yang berkunjung ke Faskes
10
kedalam strategi atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan
di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui
penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat
yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TB
harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua
terduga TB dapat ditemukan secara dini.
11
penampungan pengungsi, daerah kumuh padat (kuPAT) kumuh
miskin (kuMIS) dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan).
4) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader
kesehatan yang melakukan pengawasan batuk terhadap orang yang
tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk
memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk
ini dapat diintegrasikan pada kegiatan kader kesehatan yang sudah
rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan,
kegiatan jumantik, kader posyandu dan kegiatan upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) lain.
5) Penemuan aktif berkala
Dilakukan oleh FKTP Puskesmas di wilayah yang teridentifikasi
sebagai daerah kantung TB, yaitu RT yang berdasarkan kegiatan
PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis data TB memiliki
jumlah pasien TB di >3 orang. Penemuan aktif berkala dilakukan
dengan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak
ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali
berturut-turut.
6) Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan sekali setahun untuk
meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan
kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan
aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat
melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan
membawanya ke layanan kesehatan luar gedung.
B. Definisi kasus
Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB.
Kepada semua terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan
bakteriologis TB terlebih dahulu. Sesuai dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua, yaitu:
1. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM TB, atau biakan.
12
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4) Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang
terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus
dicatat dan dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah
dimulai atau belum.
K. Penegakan diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
13
1. Identifikasi Terduga TB
Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining
gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang
bersangkutan.
Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TB dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda
TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan
tanda TB yang meliputi:
Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama
2 minggu atau lebih.
Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada
malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang
lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Skrining Radiologis:
Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan
foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang
mendukung ke arah TB harus di evaluasi TB. Skrining radiologis dapat
dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses penegakan
14
diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang
lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan
kesehatan rutin umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan
khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining
gejala maupun skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan
diagnosis TB secara bakteriologis maupun klinis.
15
b. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO)
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan
terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki
riwayat satu atau lebih di bawah ini:
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3
bulan pengobatan.
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di
Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).
16
Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan
nanah
Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB
Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran
apabila selaput otak atau otak terkena TB.
Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap
perlu dilakukan evaluasi TB paru.
d. Identifikasi TB HIV
Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB
dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau
terkonsentrasi.
17
Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan
mengurangi penularan ke orang lain.
Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi
masih mempunyai risiko tertular HIV.
Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup
berkeluarga atau mempunyai anak.
Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang
signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ
yang terkena misalnya TB Pleura, TB Perikarditis, TB Milier, TB
meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat penegakan diagnosis
TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan
dengan pemeriksaan TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB dan TB
Resistan Obat di Indonesia.
18
3) Penapisan HIV pada pasien TB
2) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth
Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang
terpantau mutunya.
19
Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji
dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses
langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan,
diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan
tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.
4) Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
20
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes
Cepat Molekuler TB dan biakan.
2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.
21
Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia
Keterangan alur:
1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB:
a) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan
diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM.
Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan
(misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM
mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.
22
b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB
dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan
rujukan ke layanan Tes Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara
rujukan pasien atau rujukan contoh uji.
c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada
hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-
RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke
Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan
metode cepat)
d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri
atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi,
bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric
aspirate).
e) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal
dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang.
Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang
terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan
uji kepekaan.
g) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien
TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1
dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan
pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT
lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan
OAT.
h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe
Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional
i) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB
pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB
kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
23
Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM)
TB
a) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses
TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak
Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan
sebagai pasien dengan BTA (+).
d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan
foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih
dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
(1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
(2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
(3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll
4. Diagnosis TB Anak
Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan
diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:
24
Bagan 2. Alur diagnosis TB Anak
Ada akses foto rontgen toraks Tidak ada akses foto rontgen
dan/atau uji tuberkulin*) toraks dan uji tuberkulin
Skoring
sistem
Menetap Menghilan
g
Bukan TB
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.
25
Tabel 1. Skoring sistem TB Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTB Tidak - Laporan BTA(+)
jelas keluarga, BTA
(-)/BTA tidak
Uji tuberculin Negatif - jelas/tidaktahu
- Positif (≥10 mm
(Mantoux)
atau ≥5 mm pada
imunokompromais)
Skor Total
Penjelasan:
a. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi
sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika
satu spesimen diperiksa memberikan hasil positif.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala
namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap,
maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di
26
mana rujukan tidak memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.
c. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun
kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain
misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan
obat maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas
tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan
klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada
saat diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda TB, evaluasi
TB juga harus dilakukan pada setiap anak yang berkontak dengan pasien TB.
Investigasi kontak pada anak dilakukan sesuai alur berikut:
27
Bagan 3. Alur Investigasi Kontak (IK) pada Anak yang berkontak dengan
pasien TB sensitif obat
Anak berkontak
dengan pasien TB sensitif OAT
gejala TB
Tidak Ada
Follow up rutin
TIDAK
Pada anak yang berkontak dengan pasien TB-RO, evaluasi dilakukan oleh
spesialis anak. Jika kontak bergejala, maka pemeriksaan contoh uji dilakukan
dengan pemeriksaan TCM.
Semua kontak anak yang tidak menunjukkan gejala TB, baik yang mendapatkan
maupun yang tidak mendapatkan pengobatan pencegahan, tetap harus diobservasi
selama 2 tahun.
28
5. Diagnosis TB ekstra paru:
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji
yang diambil dari organ tubuh yang terkena. Dilakukan pemeriksaan
bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala saluran nafas
yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
Pemeriksaan tes cepat dengan Tes Cepat Molekuler TB pada beberapa
kasus curiga TB Ekstra paru dilakukan dengan contoh uji cairan
serebrospinal pada kecurigaan TB meningitis, dan contoh uji kelenjar
getah bening berupa biopsi jaringan langsung dan biopsi menggunakan
jarum halus (FNAB/Fine Neddle Aspirate Biopsy) dan jaringan (tissue)
pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar atau TB jaringan lainnya.
29
Pada setiap pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TB-RO perlu
pemeriksaan:
1) Second Line–LPA (SL-LPA) untuk mendeteksi resistansi terhadap
fluorokinolon dan obat injeksi lini kedua sebagai dasar menentukan
pengobatan TB-RO dengan paduan standar jangka pendek.
Biakan dan uji kepekaan menggunakan paket pemeriksaan uji
kepekaan (Standardized DST Package/SDP) yang mendeteksi
kepekaan terhadap OAT lini pertama dan kedua, yaitu: Isoniazid,
Kanamisin, Kapreomisin, Ofloksasin dan Moksifloksasin.
Catatan:
Petugas laboratorium FKTP yang memiliki alat TCM harus menyimpan salah satu
dari 2 contoh uji, sehingga apabila hasil pemeriksaan resistan rifampisin maka
contoh uji dapat dikirim ke fasyankes yang mampu melakukan pemeriksaan SL-
LPA tanpa harus mengumpulkan contoh uji baru.
30
Contoh uji dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan,
bermulut lebar, berpenampang 5-6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan
bocor. Pot ini harus selalu tersedia di Fasyankes.
Catatan:
Hasil pemeriksaan dahak sebaiknya sudah diperoleh dalam waktu kurang dari 7 hari
agar penegakan diagnosis TB tidak tertunda.
Kasus TB Ekstra-paru atau seorang kontak erat pasien TB Paru BTA positif yang
mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan lamanya
waktu mempunyai gejala batuk tersebut.
31
a. Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk
diagnosis maupun pemeriksaan dahak ulang;
b. Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk
yang benar untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
c. Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang
baik untuk pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-
hijauan (mukopurulen) dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu
dahak tidak memenuhi syarat (air liur), petugas harus meminta
terduga untuk mengulang mengeluarkan dahak;
d. Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah
terpakai dan harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap
keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium TB.
32
sebaiknya dilakukan di ruang yang memiliki kendali infeksi
memadai
d. Bilas lambung: digunakan terutama pada pasien anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak secara spontan atau dengan induksi
sputum.Bilas lambung dilakukan pagi hari untuk mengumpulkan
dahak yang tertelan dan tertinggal di lambung. Anak puasa
setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi) sebelum prosedur dan anak
dengan hitung trombosit yang rendah atau kemungkinan
pendarahan sebaiknya tidak menjalani prosedur ini.
33
a. Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya
untuk menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai
dengan identitas pada pot dahak dengan menggunakan
pensil 2B.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk
mencegah kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang
berasal dari Fasilitas Kesehatan itu sendiri maupun dari
Fasilitas Kesehatan lain
d. Nomor identitas untuk identitas SITT terdiri dari 4 kelompok
angka dan 1 huruf, sebagai berikut:
Kelompok angka pertama terdiri dari 2 digit, misalnya 17,
yang merupakan 2 angka terakhir tahun.
Kelompok angka kedua juga terdiri dari 7-11 digit: untuk
fasilitas pelayanan kesehatan 11 digit, untuk rumah sakit 7
digit.
Kelompok angka ketiga terdiri dari 1 digit, untuk tipe pasien
(misalnya angka 1 TB sensitif dan angka 2 untuk TB-
RO).
Kelompok angka keempat terdiri dari 4 digit merupakan
nomor urut sesuai dengan TB.06 (daftar terduga TB)
ditambah huruf A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B
untuk dahak pagi.
Contoh nomor identitas SITT: 17/00000000016/1/0016 A
Keterangan:
17 tahun 2017
00000000016 nomor kode Puskesmas (dari Pusdatin)
1 TB sensitif
0016 terduga TB ke-16 (sesuai nomor urut
daftar terduga TB/TB.06)
A kode dahak sewaktu
34
- Kaca sediaan (end frosted)
- Formulir TB.06
Contoh nomor identitas sediaan: 1/0016 A
Keterangan:
1 TB sensitif
0016 terduga TB ke-16 (sesuai nomor urut
daftar
terduga TB/TB.06)
A kode dahak sewaktu
35
pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Needle Aspiration
Biopsy/FNAB), atau jaringan lain.
Pemeriksaan laboratorium untuk TB ekstra paru dilakukan di FKRTL yang
memiliki kemampuan, namun demikian petugas kesehatan di FKTP tetap
berkewajiban untuk melaksanakan rujukan pemeriksaan pasien TB ekstra
paru sehingga tidak terjadi miss-opportunity bagi kasus TB ekstra paru di
FKTP. Petugas FKTP juga berkewajiban untuk melakukan komunikasi
motivasi kepada terduga TB yang memerlukan rujukan.
M. Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TB tersebut di atas,
pasien TB juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, riwayat
pengobatan sebelumnya, status resistensi OAT dan status HIV. Klasifikasi
pasien TB tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan
TB
4. Analisis kohort hasil pengobatan
5. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.
36
diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.
37
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan
atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin) secara bersamaan. Apabila hanya
resistan terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau OAT lini kedua
jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB pre-
XDR.
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain
yang terdeteksi menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler)
atau metode fenotip (konvensional).
N. Komunikasi Motivasi
Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, oleh sebab itu
diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan
lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh.
Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar dapat memotivasi
38
dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan yang
dijalaninya.
1. Definisi Komunikasi Motivasi (KM)
Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan
komunikasi untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan
perilaku dalam masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan
pendekatan KM.
Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada
pasien untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien
mengatasi sikap mendua dalam membuat keputusan. Perilaku pasien
cenderung berubah apabila memiliki motivasi kuat untuk berubah yang
berasal dari pemikiran mereka sendiri.
KM memuat 4 ketrampilan dasar yaitu (Refleksi, Afirmasi, Pertanyaan
Terbuka – Tertutup – Mengarahkan, dan Bertanya – Cerita – Bertanya).
Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan
pasien dalam upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan
menghargai otonomi pasien.
2. Prinsip umum KM :
a. Menunjukkan empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain. Didalam
menerapkan KM petugas kesehatan menaruh perhatian penuh untuk
memahami pasien dan melihat masalah dari sudut pandang pasien.
Contoh :
Pasien mengatakan : “Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan
TB karena saya harus minum obat banyak sekali”.
Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: “Kedengarannya
anda kuatir tentang pengobatan anda”
b. Hindari perdebatan
Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan,
pasien seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang
tepat sehingga petugas cenderung mengarahkan ke arah yang
benar.
Dalam penerapan KM sebaiknya petugas menghindari perdebatan
untuk mengubah keputusan pasien karena membuat pasien tidak
39
nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan mengetahui alasan
mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja sama
untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping
obat berupa mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek
samping ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi ke puskesmas
dan mendapatkan obat untuk menanggulangi efek samping tersebut
tanpa harus berhenti meminum obat demi kesembuhan pasien.
c. Memberikan gambaran dua situasi berbeda
Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil
keputusan terkait dengan masalah kesehatannya. Petugas
membimbing pasien untuk memberikan gambaran tentang kondisi
berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil keputusan untuk
berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat dampak
negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.
Contoh :
Bila pasien menolak memulai pengobatan TB, Petugas dapat
membimbing pasien untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan
apabila pasien meminum obat dan tidak menjalankan pengobatan TB.
Pasien diminta untuk membandingkan kedua hal tersebut.
d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan
Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu
pasien dalam meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa
percaya diri dan kemampuan pasien untuk berubah menjadi lebih
baik.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.
Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan menyampaikan
kepada pasien apa yang bisa dibantu untuk memudahkan pasien
menjalani pengobatan
3. Keterampilan dasar Komunikasi Motivasi
Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain:
a. Refleksi – Mengulang pernyataan pasien
40
Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan
petugas kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi
isyarat verbal dan visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud.
Untuk dapat mengulang pernyataan pasien, petugas harus
mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasien.
Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.
Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya
mendengarkan apa yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan
secara aktif adalah bagaimana petugas menanggapi kata-kata pasien.
Oleh karena itu teknik ini kadang disebut juga “empati” atau
“mendengarkan secara aktif”.
Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari:
− Memberi advis, saran atau solusi.
− Persuasi atau mengkuliahi.
− Menceramahi.
− Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan.
− Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan.
− Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan.
− Menganalisa.
− Meyakinkan atau memberi simpati.
− Mempertanyakan atau menggali informasi (probing).
Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk cara
mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian petugas dari
mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri pasien.
Petugas mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas, seolah-
olah petugas mengerti yang terbaik bagi pasien.
Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap
ambivalensi (mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa
pasien untuk menyetujui sebuah solusi secara dini. Petugas
kesehatan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, dan tidak memberi
kesempatan kepada pasien untuk berbicara.
Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus
mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa
terjadi salah pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga
maksud perkataan pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam
bentuk pernyataan.
41
Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena
pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan
sikap membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap
berfokus pada pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi
reaksi terhadap refleksi petugas, sesuai keinginan pasien.
Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup
sederhana. Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari
pernyataan pasien sudah cukup, dengan hanya mengulangi atau
mengulangi pernyataan awal pasien dengan kata-kata yang sedikit
berbeda.
Contoh:
Pasien: “Saya tidak merasa baik hari ini.”
Petugas Kesehatan: “Bapak kurang sehat hari ini”
Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi
cenderung lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo,
hanya mengulangi segala yang pasien katakan – ini melelahkan
petugas, dan menjengkelkan bagi pasien.
Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan
terhadap apa yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan
tentang makna lebih dalam dari pernyataan pasien, atau menduga
apa yang akan mereka katakan selanjutnya.
Contoh:
Pasien : “Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya
sakit TB-RO, tapi saya takut.”
Petugas Kesehatan : “(menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TB-
RO, Bapak tidak tahu harus berbuat apa.”
Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil
pemeriksaan dahak positif TB-RO, namun petugas mempunyai cukup
alasan untuk menduga kekuatiran pasien.
Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang
menjadi hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun
awalnya terasa canggung, namun mempermudah proses komunikasi
dan kesamaan persepsi antara petugas dan pasien. Prinsipnya
adalah untuk tidak menduga yang berlebiihan.
Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar
percakapan dengan pasien terus mengalir.
42
Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari
pernyataan pasien
Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi
Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: “Di satu
pihak …, di lain pihak …”
Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat
pembicara, merangkumnya menjadi satu
Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan –
semakin ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud
dalam pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.
43
Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa
menjadi hambatan berkomunikasi dengan pasien karena
menempatkan petugas dalam posisi menilai pasien dimana petugas
memutuskan perilaku mana yang dipuji dan mana yang dikritisi. Ada
beberapa cara untuk menghindari masalah ini:
• Hindari penggunaan kata “Saya”
• Fokus pada perilaku yang spesifik
• Fokus pada deskripsi, bukan evaluasi
Sebagai catatan, afirmasi biasanya diletakkan di akhir kalimat.
c. Pertanyaan – Terbuka, Tertutup dan Mengarahkan
Pertanyaan diajukan untuk membantu petugas memahami pasien
dengan lebih baik, termasuk pengetahuan, kebutuhan dan kekuatiran
mereka. Namun, petugas terkadang tidak melakukannya dengan baik.
Sering terjadi petugas langsung mengajukan banyak pertanyaan:
“Apakah anda selalu memakai masker??”
“Apakah anda teratur minum obat?”
“Apakah anda masih merokok?”
“Apakah anda sudah dites HIV?”
“Apakah keluarga mengetahui anda sakit TB-RO?
Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka
pasien akan merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat
memberikan informasi spesifik, namun menunjukkan posisi petugas
yang lebih superior dan dapat merusak hubungan yang dibangun.
Pertanyaan yang lebih baik: “Efek samping apa yang anda rasakan
setelah minum obat TB?”.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
pasien untuk menjawab.
Contoh:
“Apa yang membuat anda sulit memakai masker setiap hari?”
“Apa yang membuat anda sulit datang ke Puskesmas setiap hari?”
“Bagaimana supaya keluarga anda tidak tertular?”
Pertanyaan terbuka merupakan keterampilan penting yang
memungkinkan menggali banyak informasi dari pasien. Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk berbagi informasi atau
pengalaman sesuai keinginan mereka. Hal ini menegaskan kembali
hubungan antara petugas dan pasien. Pasien bisa juga berbagi
informasi atau pengalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
44
Pertanyaan terbuka bukan satu-satunya pertanyaan yang tepat.
Kebalikan dari pertanyaan terbuka ialah pertanyaan tertutup – yang
membatasi pilihan pasien dalam merespon, dan/atau menggali
informasi spesifik.
Contoh:
“Apakah anda merokok?”
“Berapa usia anda?”
“Dimana alamat anda?”
Pertanyaan tertutup bisa digunakan untuk melakukan cek kesimpulan
(Contoh: “Apakah saya melupakan sesuatu?”) atau untuk mengajukan
permohonan ijin (Contoh: “Apakah anda ingin tahu lebih jauh tentang
ini?”) atau untuk meminta klarifikasi tentang poin spesifik dimana
pertanyaan terbuka telah gagal memberikan jawaban.
Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup
bukan berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan
sesuai dengan keperluannya.
Tipe pertanyaan yang sebaiknya dihindari ialah “pertanyaan yang
mengarahkan” atau pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban
(retorika):
“Anda menggunakan masker, bukan?”
“Anda tahu bahwa tuberkolosis itu menular, kan?
“Bukankan istri anda berarti bagi anda?”
Pertanyaan-pertanyaan ini selain membatasi kemungkinan jawaban,
namun juga mengarahkan pada jawaban tertentu. Hal ini bukan hanya
menempatkan petugas dalam posisi yang lebih tinggi (menilai hal
yang baik dan hal yang jelek), namun jawaban juga tidak bisa
dipercaya sepenuhnya. Apakah pasien benar mengunakan masker
atau ia menjawab karena petugas menginginkan jawaban demikian?
d. Bertanya-Beritahu-Bertanya (Ask-Tell-Ask) – Memberi Informasi
dan Saran
Ada dua hal penting dalam KM yang perlu diingat:
1) Petugas memberi informasi dan/atau saran berdasarkan ijin
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai
dengan kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat
mengambil kesimpulan sendiri.
45
4. Bertanya (Ask)
Bertanya – Beritahu – Bertanya atau B3 merupakan strategi sederhana
untuk mengukur sejauh mana pemahaman pasien dan memberikan
informasi sesuai kebutuhan. Strategi ini dimulai dengan sebuah
pertanyaan untuk menelusuri pengetahuan dan pengalaman pasien,
minat pasien, dll. Beberapa contoh pertanyaan:
“Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TB.”
“Menurut Anda apa manfaat terbesar dari memakai masker?”
“Apa yang Anda pikirkan tentang HIV?”
Di sini tujuannya adalah untuk mendapat informasi tentang pengalaman
dan/atau pengetahuan pasien sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
petugas memberikan informasi yang sudah diketahui pasien. Selain itu
juga bisa mengetahui sejauh mana pemahaman pasien, dan dengan
demikian petugas bisa memberi informasi relevan untuk pasien.
Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas
dapat difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi
pasien.
Mendapat persetujuan
Petugas menindaklanjuti pertanyaan di atas dengan pertanyaan berikut,
untuk mendapat persetujuan pasien atas informasi atau saran tambahan
yang akan diberikan, misalnya:
“Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TB
Resistan Obat”
“Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain
berhasil melakukannya?”
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien
dan dapat membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas
katakan. Apabila hubungan antara petugas dan pasien baik, maka pasien
hampir selalu menyetujui permintaan petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas
perlu mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan
tanpa menggurui dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:
Pertama, tunjukkan empati kepada pasien bahwa petugas
memahami perasaan mereka.
Kedua, ceritakan tentang orang lain mengalami hal yang sama.
46
Ketiga, ceritakan bahwa orang lain tersebut akhirnya menyadari
bahwa pemikiran tersebut tidak benar.
Contoh :
Petugas: “Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi
diri Ibu dari penularan TB ?.”
Pasien: “Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil bagi
saya untuk menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa saya
sebagai orang aneh dengan memakai masker terus!”
Petugas : “Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa
tidak berdaya untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita
yang merasakan hal yang sama waktu mereka pertama memakai
masker. Tetapi mereka berusaha dan mereka menemukan cara
meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan TB. Apa Ibu mau
mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita-wanita lain?”
Pasien: “Boleh, Dok!”
47
Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas
tidak dapat mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas.
Lebih baik bila petugas bertanya untuk mendapatkan persetujuan.
6. Bertanya (Ask)
Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untuk
menilai pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap
informasi dan/atau saran yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan
secara teratur, tiap kali setelah memberi informasi.
Caranya beragam:
“Jadi, apa artinya ini bagi Anda?”
“Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?”
“Apa yang ingin anda tanyakan?”
“Ceritakan yang saya baru sampaikan dengan kata-kata Anda sendiri.”
Proses ini dapat berupa mendengarkan secara reflektif di mana anda
merefleksikan kembali reaksi pasien yang anda lihat dan dengar.
Tujuannya adalah memberi ruang pada pasien untuk memproses dan
menanggapi informasi yang baru anda sampaikan.
7. Menggabungkan semuanya
Masing-masing keterampilan tidak berfungsi secara terpisah, namun
merupakan bagian perangkat bagi petugas, untuk menggerakkan pasien
ke arah perubahan. Seperti dalam contoh di atas, anda dapat memulai
sebuah sesi dengan peneguhan (“Senang bertemu Anda kembali!”), lalu
bergerak ke pertanyaan terbuka (“Bagaimana dengan perubahan-
perubahan yang kita diskusikan waktu itu?”) setelah itu anda bisa
mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan dengan
pasien (“Kedengarannya Anda sedikit kewalahan …”) dan 3B untuk
memberi informasi baru (“Maukah Anda mendengar pengalaman orang
lain yang berhasil mengatasi situasi seperti anda?”) lalu merefleksikan
dan merangkum perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus
meneguhkan contoh-contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM
bisa diulangi terus-menerus dalam berbagai kombinasi.
48
Keterampilan Tujuan yang ingin dicapai
1. Merefleksikan apa Pasien merasa lebih dihormati dan
yang dikatakan diterima serta lebih dimengerti.
pasien (reflection) Pasien didorong untuk memberikan
informasi tambahan
Pasien lebih bisa mengutarakan pikiran
dan perasaannya.
Pasien menjadi lebih sadar akan pikiran
dan perasaannya.
Petugas bisa meluruskan apabila terjadi
kesalahpahaman pasien tentang perihal
medis.
Petugas bersikap tidak menghakimi
kepada pasien.
2. Peneguhan Membantu petugas melibatkan pasien.
(affirmation) Mengurangi sikap pembelaan diri dari
pasien.
Mendorong keterbukaan pasien
3. Pertanyaan terbuka Memberikan kesempatan yang lebih
(open question) kepada pasien untuk bercerita tentang
dirinya.
4. Bertanya – Beritahu Mendapatkan informasi dari pasien
– Bertanya (Ask – tell mengenai sejauh mana pasien
– ask) memahami tentang penyakitnya.
Petugas dapat memberikan informasi
tambahan kepada pasien tanpa memiliki
kesan untuk “menggurui” pasien.
49
O. Upaya Pengendalian Faktor Risiko
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Seorang
pasien TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat
mengeluarkan percikan dahak yang mengandung M.tb. Orang-orang di
sekeliling pasien TB tsb dapat terpapar dengan cara menghirup percikan
dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik
yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan
atas, bronkhus hingga mencapai alveoli.
1. Faktor risiko terjadinya TB
a. Faktor kuman TB.
Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.
Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar
risiko terjadi penularan.
b. Faktor individu.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TB adalah:
Faktor usia dan jenis kelamin:
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa
muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
Menurut hasil survei prevalensi TB, laki-laki lebih banyak terkena
TB dari pada wanita.
Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan
immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan M.tb, lebih mudah
jatuh sakit.
Perilaku:
– Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai
etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
– Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2
kali.
50
– Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan
cara pengobatan.
Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TB.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.
51
teridentifikasi berisiko.
Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil,
belum ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian
utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TB harus
menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Materi PPI TB akan dibahas
lebih lanjut pada modul Manajemen.
VIII. REFERENSI
1. Permenkes TB No.67, tahun 2017 tentang Penanggulangan TB
2. Strategi Nasional Pengendalian TB, 2015-2019
3. RAN 2015-2019
IX. LAMPIRAN
52