Anda di halaman 1dari 193

PELATIHAN BAGI PELATIH PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS

TINGKAT FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DAN FASILITAS


KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKTP FKRTL)

MATERI INTI 1

PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

DIREKTORAT JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

JAKARTA

2020

1
TIM PENYUSUN

Pelindung:

dr. Anung Sugihantoro, M.Kes (Direktur Jendral P2P)

Pengarah:

1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)


2. dr. Imran Pambudi, MPHM (Kepala Subdit TBC)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. Dr. Sulistya Widada
Editor

Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes

Anggota:

1. dr. Irfan Ediyanto


2. Sarah, SKM
3. dr. Endang Lukitosari, MPH
4. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
5. H.D Djamal, M.Si
6. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
7. Saida N. Debataradja, SKM
8. dr. Setiawan Jati Laksono
9. drg. Siti Nur Anisah, MPH
10. Sulistyo, SKM, M.Epid
11. Suwandi SKM, M. Epid
12. dr. Wihardi Triman, MQIH
13. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
14. Rudi Hutagalung
15. Suhardini, SKM, MKM
16. Evi Natsir, SKM
17. Antasari Roro, SKM
18. Dela Pramesti, SKM

2
19. Triana, SKM
20. Windy Oktavina SKM M kes
21. Dr Galuh
22. Suhardini SKM MKM
23. Dr Zulrasdi M Kes
24. Dr Budi Setiawan
25. Ns Murni Ners
26. Novia Rahmawati Bio Med
27. Roni Chandra S Biomed
28. Surjana SKM M Kes
29. Dangan Prasetya SIP

3
DAFTAR SINGKATAN
ANC = Ante Natal Care
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CNR = Case Notification Rate
DM = Diabetes Mellitus
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
DST = Drugs Sensivity Test
DTPK = Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan
FDC = Fixed Dose Combination
FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTP-RM = Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis.
FKTP-S = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
FNAB = Fine Neddle Aspirate Biopsy
HIV = Human Immunodeficiency Virus
ISTC = International Standards For Tuberculosis Care
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KIA = Kesehatan Ibu Anak
KM = Komunikasi Motivasi
KTIP = Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas
LPA = Line Probe Assay
MDR = Multi Drug Resistance
MTBCS = Manajemen Terpadu Balita Sakit
MTDS = Manajemen Terpadu Dewasa Sakit
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
ODHA = Orang dengan HIV AIDS
PAL = Practical Approach to Lung Health
PAS = Para Amino Salisilic Acid
PNPK = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana
PPI = Pencegahan Pengendalian Infeksi
PPM = Public Private Mix
PWS = Pemantauan Wilayah Setempat
QA = Quality Assurance
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RR = Resistan Rimfapisin
RS = Rumah Sakit
RT = Rumah Tangga
SPTN = Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional
TBC = Tuberkulosis
TCM = Tes Cepat Molekuler
Total DR = Totally Drug Resistance
UKBM = Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
WHO = World Health Organization
XDR = eXtensive Drug Resistance
ZN = Ziehln Neelson

4
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis (TBC) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TBC paru menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan
adalah pasien TBC paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara
mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M.
tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis
adalah dengan menemukan Pasien TBC secara dini serta mengobati dengan
tuntas, sehingga bahaya penularan tidak ada lagi.
Penemuan Pasien TBC paru adalah dengan cara menemukan pasien yang
mempunyai gejala mengarah ke TBC yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih,
berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri dada dan gejala penyakit
paru lainnya. Diagnosis Pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis adalah dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan dan Test Cepat Molekuler (TCM). Pemeriksaan
mikroskopik dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN).
Jika konfirmasi bakteriologis tidak diperoleh, maka diagnosis TBC ditegakkan
secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Modul penemuan Pasien TBC akan membahas tentang strategi penemuan,
diagnosis TBC Paru pada orang dewasa, diagnosis TBC anak, diagnosis TBC
Resistan OAT, diagnosis TBC Ekstraparu, diagnosis TBC dengan Komorbid, dan
definisi kasus TBC serta klasifikasi pasien TBC.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan
Pasien TBC.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TBC
2. Menjelaskan definisi kasus TBC
3. Melakukan penegakan diagnosis TBC
4. Melakukan pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan klasifikasi Pasien TBC
5
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TBC

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan
sebagai berikut:
A. Strategi penemuan terduga TBC
1. Penemuan secara pasif intensif
2. Penemuan secara aktif masif
B. Definisi kasus
C. Penegakan Diagnosis TBC
1. Identifikasi Terduga TBC
2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium
3. Diagnosis TBC Paru pada Orang Dewasa.
4. Diagnosis TBC pada Anak
5. Diagnosis TBC Ekstra paru
6. Diagnosis TBC HIV
7. Diagnosis TBC pada Pasien dengan ko-morbid
8. Diagnosis TBC Resistan OAT
D. Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium:
1. Contoh uji dahak
2. Contoh uji non dahak
E. Klasifikasi pasien TBC
F. Komunikasi Motivasi
G. Upaya pengendalian faktor risiko
H. Pencatatan pelaporan penemuan pasien TBC

IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab.
B. Curah Pendapat.
C. Studi kasus

6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang
B. Panduan Studi Kasus
C. Modul
D. Laptop,
E. LCD,
F. Pointer
G. Papan flipchart
H. Kertas flipchart
I. Spidol
J. Alat-alat Lab (pot dahak, slide, lampu spritus)

VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pengkondisian peserta
1. Pelatih/Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana
dikelompok.
2. Pelatih/Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan
memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat
bekerja, dan materi yang akan disampaikan.
3. Bila belum ada, menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan
pencatat waktu.
4. Pelatih/Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan
sub pokok bahasan Penemuan Pasien TBC
Langkah 2: Review Pokok bahasan
Pelatih/Fasilitator menggali pendapat peserta tentang apa yang dimaksud
dengan Penemuan Pasien TBC dengan metode curah pendapat/ brainstorming.
Langkah 3: Pembahasan per materi
1. Pelatih/Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok
bahasan dengan menggunakan bahan tayang.
2. Selanjutnya Pelatih/Fasilitator melakukan tanya jawab dengan meminta
peserta untuk mengemukakan pendapatnya, klarifikasi dan mengajukan
pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.
Langkah 4: Pembahasan studi kasus dikaitkan dengan pokok bahasan
serta situasi dan kondisi di tempat tugas.

7
1. Pelatih/Fasilitator membagi menjadi 5 kelompok diskusi
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi
pembelajaran yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi
kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan
mengajukan pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan
sesuai pokok bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta
tentang materi Penemuan Pasien TBC, merangkum hasil pembahasan, dan
memberikan penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.

8
VII. URAIAN MATERI

– WHO tahun 2020, ditingkat global diperkirakan 1,3 juta orang meninggal
akibat TBC
– Dampak yang paling jelas dari COVID-19 adalah penurunan global yang
besar dalam jumlah orang yang baru didiagnosis dengan TBC dan
dilaporkan. Ini turun dari 7,1 juta pada tahun 2019 menjadi 5,8 juta pada
tahun 2020, dari sekitar 10 juta orang yang terkena TBC pada tahun
2020
– Delapan negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia dan
menyumbang dua pertiga dari seluruh kasus global adalah India, China,
Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan
– Situasi TBC di Indonesia menurut data dari Kementrian Kesehatan RI
pada 2020 terdapat 845.000 orang estimasi kasus TBC dengan jumlah
orang yang terkonfirmasi kasus TBC sebanyak 362.418 orang
I. Strategi penemuan terduga TBC.
Strategi penemuan pasien TBC dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif,
dan masif. Upaya penemuan pasien TBC harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TBC dapat ditemukan,
terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin
1. Penemuan pasien TBC secara pasif-intensif
Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan
memperkuat jejaring layanan TBC melalui Public-Private Mix (PPM) dan
memperkuat kolaborasi layanan.
Jejaring layanan
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien
TBC di fasyankes dilakukan melalui penguatan jejaring layanan antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TBC, untuk
menghindari terjadinya miss-opportunity yang disebabkan
keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang
kontak pertama dengan pasien TBC. Dalam kegiatan ini fasyankes
yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke
fasyankes yang memiliki alat TCM.
Kolaborasi layanan
Berupa integrasi dan kolaborasi kegiatan penemuan pasien TBC di
dalam fasyankes, misalnya dimulai dari registrasi, poliklinik umum,
unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti
merokok, klinik KIA, MTBCS dan ANC. Secara manajemen layanan,
penemuan pasien TBC juga harus diintegrasikan kedalam strategi
atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan di fasyankes

9
misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL =
Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBCS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TBC di faskes dapat juga dilakukan dengan
pendekatan Temukan Pisahkan dan Obati (TemPO) yaitu melalui
penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat
yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TBC
harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua
terduga TBC dapat ditemukan secara dini.

2. Penemuan pasien TBC secara aktif masif di keluarga dan


masyarakat, Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TBC
yang dilakukan di luar fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara
aktif semua potensi masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan,
kader posyandu, pos TBC desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Kegiatan ini dapat berupa:
1) Investigasi kontak
Investigasi Kontak (IK) adalah kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan penemuan kasus TBC dengan cara mendeteksi secara
dini dan sistematis terhadap orang yang kontak dengan sumber infeksi
TBC (kasus indeks) dan juga untuk mencari sumber penularan jika
sumber infeksi TBC (kasus indeks) adalah anak (< 5 th). Pedoman WHO
menyatakan bahwa kegiatan IK bermanfaat untuk mendeteksi kasus
TBC secara dini, mencegah penyakit yang lebih berat serta mengurangi
penularan TBC pada orang lain. Selain itu, IK dapat juga menemukan
orang dengan infeksi TBC laten yang membutuhkan pengobatan
pencegahan atau Terapi Pencehagahan Tuberkulosis (TPT). Kegiatan IK
diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan kesehatan
dengan komunitas yang ada di masyarakat seperti kader kesehatan,
PMO, pendidik sebaya dan sebagainya.

Investigasi kontak dilaksanakan untuk semua pasien TBC


baru/kambuh yang terkonfirmasi bakteriologis (TBC Sensitif Obat
maupun TBC Resisten Obat) dan TBC anak untuk mendeteksi secara
dini kemungkinan adanya kasus lain yang menulari kasus indeks atau
kasus lain yang tertular oleh kasus indeks, pada kontak serumah atau

10
kontak erat. IK juga dilaksanakan pada semua pasien TBC anak, dengan
tujuan mencari kasus lain yang merupakan sumber penularan.
Pelaksanaan kegiatan IK dilakukan terhadap minimal 20 orang yang
kontak dengan pasien TBC (kasus indeks/sumber infeksi penularan) dan
harus dicatat serta dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TBC
yang merupakan kasus indeks (TBC.01) maupun formulir pemeriksaan
kontak (TBC.16K).

*Daftar Istilah Keterangan;


 Kasus Indeks adalah semua pasien TBC baru/kambuh yang
terkonfirmasi bakteriologis (TBC Sensitif Obat maupun TBC Resisten
Obat) dan TBC anak di lingkungan rumah tangga atau tempat-tempat
lain (tempat kerja, asrama, sekolah, tempat penitipan anak,
lapas/rutan, panti, dsb).
Sumber data kasus indeks berasal dari data Puskesmas, Rumah
Sakit, dan Fasyankes swasta.
 Kontak adalah orang yang terpajan/berkontak dengan kasus indeks,
misalnya orang serumah, sekamar, satu asrama, satu tempat kerja,
satu kelas, atau satu penitipan/pengasuhan.
 Kontak serumah adalah orang yang tinggal serumah minimal satu
malam, atau sering tinggal serumah pada siang hari dengan kasus
indeks dalam 3 bulan terakhir sebelum kasus indeks mulai mendapat
obat anti tuberkulosis (OAT).
 Kontak erat adalah orang yang tidak tinggal serumah, tetapi sering
bertemu dengan kasus indeks dalam waktu yang cukup lama, yang
intensitas pajanan/berkontaknya hampir sama dengan kontak
serumah. Misalnya orang yang berada pada ruangan/lingkungan yang
sama (tempat kerja, ruang pertemuan, fasilitas umum, rumah sakit,
sekolah, tempat penitipan anak) dalam waktu yang cukup lama
dengan kasus indeks, dalam 3 bulan terakhir sebelum kasus indeks
minum OAT.

11
 Bagan Alur Investigasi Kontak (IK)
*Merujuk pada alur Investigasi Kontak di Juknis

Mendapatkan data Kasus Indeks dari Petugas di Puskesmas ( baik kasus dewasa
maupun kasus anak <5 th)

Pembuatan Jadwal

Mengunjungi Rumah Kasus Indeks


Minimal 20 Kontak

Skrining pada Kontak

Usia ≥ 5 Usia <5 tahun

Rujuk ke Fasyankes
Tidak Batuk Tidak Batuk tetapi Batuk
ada faktor risiko
dan gejala lain Skrining gejala TBC
Edukasi TBC
oleh Petugas Kesehatan

Dilakukan
skrining ulang Rujuk ke
Ada Gejala Tidak ada Gejala
setelah 6 Fasyankes
bulan
Diagnosis TPT
sesuai standar

Keterangan:
: Dilakukan oleh Kader
: Dilakukan oleh Petugas Kesehatan

12
Prinsip, tujuan dan langkah IK pada kasus indeks TBC RO adalah sama dengan IK
pada kasus indeks TBC SO. Beberapa catatan perbedaannya adalah:
1. Kasus indeks adalah pasien TBC RO
2. Anak yang berkontak dengan pasien TBC RO dirujuk ke spesialis anak rujukan
RO untuk pemeriksaan lebih lanjut, sebagai berikut:
a. Jika kontak bergejala, langkah awal adalah pemeriksaan sputum atau
spesimen lain menggunakan TCM.
b. Pengobatan TBC sesuai hasil pemeriksaan uji kepekaan obat anak atau hasil
uji kepekaan obat kasus indeks.
c. Jika anak terbukti tidak sakit TBC tindakan selanjutnya ditentukan oleh dokter
spesialis anak/TAK, bisa berupa observasi atau pemberian pengobatan
pencegahan.
d. Pengobatan encegahan untuk anak idealnya berdasarkan resistensi OAT
kasus indeks. Paduan yang dapat diberikan adalah Levoflocaxin dan
Ethambutol selama 6-9 bulan.
e. Anak yang bergejala baik yang mendapatkan maupun yang tidak
mendapatka pengobatan pencegahan harus diobservasi setiap bulan selama
2 tahun.

2) Penemuan dan Pelayanan TBC terintegrasi PISPK


Kegiatan penemuan TBC bisa dilakukan melalui kegiatan PIS PK
dimana petugas Puskesmas melakukan kunjungan rumah untuk:

 Pendataan

Bila dalam pendataan ditemukan terduga TBC dianjurkan


untuk datang ke layanan untuk dilakukan pemeriksaan.

 Memastikan jika ada anggota keluarga memiliki gejala TBC


untuk memeriksakan diri segera datang layanan/Puskesmas
terdekat

 Memastikan anggota keluarga yang menderita TBC sedang


berobat di Puskesmas dipastikan kepatuhan dalam
pengobatan

13
 Menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO) jika ada anggota
keluarga menderita penyakit TBC untuk meminum obat secara
teratur dan sampai tuntas

3) Penemuan populasi berisiko di tempat khusus:


Merupakan kegiatan penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan
yang mudah terjadi penularan TBC yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa,
tempat kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan dengan
skrining masal tahunan, skrining kesehatan warga baru, skrining
kontak dan pemantauan batuk secara rutin. Kegiatan penemuan aktif
yang dilakukan pada tempat yang memiliki akses terbatas ke layanan
kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi, daerah
kumuh padat dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan).
4) Penemuan kasus TBC aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader
kesehatan di Posyandu dengan melakukan screening batuk terhadap
orang yang datang ke POSYANDU atau orang yang tinggal di
lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk
memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk
ini dapat diintegrasikan pada kegiatan kader kesehatan yang sudah
rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan,
kegiatan jumantik, kader posyandu dan kegiatan upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) lain.
5) Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan untuk meningkatkan
penemuan pasien TBC di wilayah yang penemuan kasusnya masih
sangat rendah dan atau belum terjangkau oleh Puskesmas. Dalam
pelaksanaannya Puskesmas bekerja sama dengan aparat
desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan
skrining gejala TBC secara masif di masyarakat dan membawanya ke
layanan kesehatan luar gedung.

B. Definisi kasus
Pasien dibedakan berdasarkan klasifikasi penyakitnya yang bertujuan untuk:
a) Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat

14
b) Penetapan paduan pengobatan yang tepat
c) Standarisasi proses pengumpulan data untuk penanggulangan TBC

d) Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan


bakteriologis dan riwayat pengobatan
e) Analisis kohort hasil pengobatan
f) Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TBC secara
tepat baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan
global
1) Definisi kasus TBC terdiri dari:

a) Pasien TBC yang terkonfirmasi Bakteriologis: pasien TBC yang


terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya
(sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TBC, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah
 Pasien TBC paru BTA positif
 Pasien TBC paru hasil biakan M.TBC positif
 Pasien TBC paru hasil tes cepat M.TBC positif
 Pasien TBC ekstra-paru terkonfirmasi secara bakteriologis,
baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji
jaringanyang terkena
 TBC anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

b) Pasien TBC terdiagnosis secara Klinis: pasien yang tidak


memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TBC aktif oleh dokter, dan diputuskan
untuk diberikan pengobatan TBC. Termasuk dalam kelompok
pasienini adalah:

 Pasien TBC paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan


foto toraks mendukung TBC.
 Pasien TBC paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan
klinis setelah diberikan antibiotika Non OAT, dan mempunyai
faktor risiko TBC.
 Pasien TBC ekstra-paru yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi
bakteriologis.
 TBC anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.
 Pasien TBC yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun
setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai
pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis.

15
2) Klasifikasi Pasien TBC

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas,


pasien juga diklasifikasikan menurut:

 Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


 Tuberkulosis paru: Adalah TBC yang berlokasi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TBC dianggap sebagai TBC paru karena
adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TBC
paru dan sekaligus juga menderita TBC ekstra-paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TBC paru.

 Tuberkulosis ekstra-paru: Adalah TBC yang terjadi pada


organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen,
saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Limfadenitis TBC dirongga dada (hilus dan atau mediastinum)
atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TBC pada paru, dinyatakan sebagai TBC ekstra-
paru.

Catatan: Bila TBC ekstra-paru dijumpai pada beberapa


organ,maka untuk pencatatannya dipilih TBC ekstra-paru
terberat.
 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


Pasien baru TBC adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan TBC sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28
dosis).
 Pasien yang pernah diobati TBC adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih
(≥ dari 28 dosis).
 Pasien kambuh: adalah pasien TBC yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
TBC berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
(baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TBC
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
 Lain-lain: pasien TBC yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Pasien yang riwayat
pengobatan sebelumnya tidak diketahui adalah pasien TBC
yang tidak masuk dalam kelompok 1 atau 2.
16
 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan
contoh uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat
berupa:

 Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini


pertama, misalnya resistansi terhadap isoniazid (H)
 Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin
(HR), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE),
rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin
(HES), atau rifampisin, etambutol dan streptomisin (RES)
 Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
 Pre-XDR: TBC MDR yang disertai resistansi terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
 Extensively Drug Resistance (XDR): TBC MDR disertai
resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
 TBC resistan rifampisin (TBC RR): Resistan terhadap
rifampisin (dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TBC
MDR, TBC XDR) yang terdeteksi menggunakan metode
fenotipik ataupun genotipik, dengan atau tanpa resistansi
terhadap obat antituberkulosis lain
 Klasifikasi pasien TBC berdasarkan status HIV:

 Pasien TBC dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TBC-


HIV)adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TBC
 Pasien TBC dengan HIV negatif: adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TBC
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil
tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinya sebagai pasien TBC dengan HIV positif.

 Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC
tanpaada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC
ditetapkan.

17
Catatan: setelah diperoleh hasil tes HIV positif, maka pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes
HIV terakhir

C. Penegakan diagnosis TBC


Diagnosis TBC ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Identifikasi Terduga TBC
Petugas kesehatan menjaring terduga TBC dengan melakukan
skrining gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang
bersangkutan.

Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TBC dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda
TBC yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala
dan tanda TBC yang meliputi:
 Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu
selama 2 minggu atau lebih.
 Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada
malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang
lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TBC, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-
lain.

Mengingat estimasi insidens TBC di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke Faskes dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Selain identifikasi pada orang dengan gejala tersebut, perlu
dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko TBC,
seperti: kontak erat dengan pasien TBC, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
18
bekerja dengan
bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TBC untuk
pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun
tanpa batuk berdahak >2 minggu.

Skrining Radiologis:
Identifikasi terduga TBC juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi
pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui
penyebabnya yang mendukung ke arah TBC harus di evaluasi TBC.
Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh
dari proses penegakan diagnosis TBC maupun pada proses penegakan
diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks
pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general check-up) dan
pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai
terduga TBC baik dari skrining gejala maupun skrining radiologis harus di
evaluasi untuk menegakkan diagnosis TBC.

a. Identifikasi Terduga TBC Anak


Gejala klinis TBC pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait sebagai berikut:

Gejala sistemik/umum:
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau
terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-
lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3) Batul lama (≥2 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan
pemberian antibiotika/obat asma (sesuai indikasi)
4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain

19
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi
yang adekuat. (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk
demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan
pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).

Gejala spesifik terkait organ:


Pada TBC extra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang
khaspada organ yang terkena
a. Tuberculosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher (regio colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri,
konsistensi kenyal, multiple dan kadang saling melekat
(konfluens).
3) Ukuran besar (lebih dari 2x2cm), biasanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan dischange

b. Tuberkulosis Sistem Syaraf Pusat


1) Meningitis TBC: gejala gejala meningitis dengan sering kali
disertai gejala akibat keterlibatan syaraf-syaraf otak yang
terkena
2) Tuberkuloma Otak: gejala-gejala adanya lesi desak ruang

c. Tuberculosis system skeletal


1) Tulang belakang (spondilitis): penonjolan tulang belakang
(gibbus)
2) Tulang panggul (koksitis): pincang, gangguan berjalan, atau
tanda peradangan daerah panggul
3) Tulang lutut (gonitis): pincang dan atau bengkak pada lutut
tanpa sebab yang jelas
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)

d. Tuberkulosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

e. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)


Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge)

f. Tuberculosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TBC, TBC


ginjal; dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ
tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya
infeksi TBC

20
b. Identifikasi Terduga TBC Resistan OAT (TBC-RO)
Terduga TBC-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan
terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TBC yang
memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
1) Pasien TBC gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TBC pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3) Pasien TBC yang mempunyai riwayat pengobatan TBC yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
4) Pasien TBC gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TBC pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6) Pasien TBC kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
7) Pasien TBC yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
8) Terduga TBC yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TBC- RO
9) Pasien ko-infeksi TBC-HIV yang tidak respons secara
bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada
penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TBC).

Pasien dengan risiko rendah TBC-RO


Selain 9 kriteria di atas, kasus TBC-RO dapat juga dijumpai pada kasus
TBC baru, utamanya pada kelompok-kelompok tertentu seperti pasien
TBC pada ODHA (termasuk pada populasi kunci HIV) dan pasien TBC
pada populasi rentan lainnya (TBC pada ibu hamil, TBC anak, TBC DM,
TBC pada kasus malnutrisi, gangguan system kekebalan tubuh) pasien
TBC BTA positif baru, pasien TBC BTA negatif dengan riwayat
pengobatan TBC sebelumnya, TBC extra paru. Pada kasus ini perlu juga
dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TBC jika fasilitas
memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat
memberikan hasil TBC RR, maka pemeriksaan TCM TBC perlu dilakukan
sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

21
c. Identifikasi Terduga TBC Ekstraparu
Seseorang yang menderita TBC ekstra paru mungkin mempunyai
keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya:
1) Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan
nanah
2) Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TBC
3) Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran
apabila selaput otak atau otak terkena TBC.

Catatan: Pasien TBC ekstra paru dapat juga menderita TBC paru,
sehingga tetap perlu dilakukan evaluasi TBC paru.

d. Identifikasi TBC HIV


Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TBC
dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau
terkonsentrasi.

Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi


ganda TBC HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko
dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka.

Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes


secara rutin, informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling
yang lengkap, namun cukup untuk menyakinkan pasien untuk
memberikan persetujuan. Pada pasien tertentu atau pasangan dari
pasien mungkin memerlukan konseling tambahan yang lebih lengkap dan
untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan penting dalam
menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasien TBC yang hasil
testnya HIV positif.

Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan


secara individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV
(informed consent) harus selalu diberikan secara individual, disaksikan
oleh petugas.

Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien TBC dengan petugas


dianggap sebagai:
22
 Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.
 Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan
mengurangi penularan ke orang lain.
 Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi
masih mempunyai risiko tertular HIV.
 Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup
berkeluarga atau mempunyai anak.
 Alur layanan TBC-HIV di Unit DOTS

Catatan:

 Semua pasien TBC yang datang ke layanan DOTS (Direct Observed


Treatments) harus ditanyakan mengenai riwayat tes HIV nya.
 Jika pasien TBC belum pernah melakukan tes atau hasil tes tidak
diketahui, lakukan tes HIV.
 Apabila pasien HIV positif, ARV (Anti Retroviral) diberikan dalam 2-8
minggu setelah pemberian OAT.
 Jika pasien menolak tes HIV, minta pasien untuk tes HIV pada
kunjungan berikutnya. Dan bila pasien masih menolak rujuk ke
konselor HIV

23
 Alur layanan TBC-HIV di Layanan HIV

Catatan:
 Semua Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) wajib diberikan ARV.
 Semua ODHA dikaji status TBC pada setiap kunjungan.
 Jika ditemukan ODHA terduga TBC, lakukan pemeriksaan TBC
dengan alat Tes Cepat Molekular (TCM).
 Jika ODHA tidak sakit TBC, segera berikan terapi pencegahan
TBC(TPT)
 ODHA yang terdiagnosis TBC harus segera diobati dengan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dan Pengobatan Pencegahan
Kontrimoksasol (PPK).

Kaji Status TBC Pada ODHA - Minimal ada 1 gejala dari 5


gejala di bawah:
 Batuk
 Demam
 Berkeringat malam tanpa aktivitas
 Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
 Memiliki gejala TBC ekstra paru (misalnya pembesaran
Kelenjar Getah Bening pada leher)

24
e. Identifikasi TBC pada pasien Ko-morbid
Infeksi TBC mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang terganggu. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah
penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TBC. Oleh
karena itu, setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang
Diabetes Mellitus (DM) harus dievaluasi untuk TBC meskipun belum ada
gejala.

1) Penapisan TBC pada penyandang DM

Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TBC


meningkat hingga 3 kali lipat. Risiko kegagalan pengobatan,
kematian dan kekambuhan TBC juga meningkat pada
penyandang DM. Kondisi DM juga dihubungkan dengan
peningkatan terjadinya resistansi OAT. Oleh karena itu,
penapisan TBC pada penyandang DM dilakukan dengan
anamnesis gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika ditemukan
gejala ATAU kelainan pada foto toraks yang mengarah ke
diagnosis TBC, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menegakkan diagnosis. Penegakan diagnosis bakteriologis
TBC dapat menggunakan TCM. Jika pada penapisan awal tidak
ditemukan penyakit TBC, maka penapisan perlu diulang secara
berkala. Berikut adalah alur identifikasi TBC pada penyandang
DM

Alur Penemuan Pasien TBC pada penyandang DM

27
2) Penapisan TBC pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis


yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat
badan yang signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra
paru sesuai organ yang terkena misalnya TBC Pleura, TBC
Perikarditis, TBC Milier, TBC meningitis. Pada prinsipnya, untuk
mempercepat penegakan diagnosis TBC pada pasien dengan
HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan TCM TBC seperti pada Alur Diagnosis TBC dan TBC
Resistan Obat di Indonesia.

3) Penapisan HIV pada pasien TBC

Tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TBC HIV,
utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan
pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien
menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka
perlu empati dan dukungan petugas

Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas: untuk pasien TBC
dilakukan pada semua daerah (Basic, medium and
comprehensive)

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium


1) Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan Mikroskopis BTA
Pemeriksaan mikroskopis BTA untuk menentukan potensi penularan
dan menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan mikroskopis BTA
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2
contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP)
dan Sewaktu-Sewaktu (SS).

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TBC


Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler menggunakan pemeriksaan Xpert
MTBC/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

28
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat digunakan untuk penegakan diagnosis dan
juga pemantauan pengobatan TBC-RO. Pemeriksaan biakan dapat
dilakukan pada media padat (Lowenstein-Jensen/LJ) dan media cair
(Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT). Pemeriksaan biakan
pada media padat membutuhkan waktu yang lebih lama (4-8 minggu),
sedangkan biakan pada media cair membutuhkan waktu yang relatif
lebih cepat (2-4 minggu) namun dengan biaya yang lebih mahal.
Pemeriksaan biakan hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang
terstandarisasi.

Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.TBC terhadap OAT. Oleh karena itu, uji kepekaan obat
digunakan untuk diagnosis TBC-RO. Berikut ini adalah metode uji
kepekaan obat yang telah digunakan oleh Program TBC:
- Uji Kepekaan Fenotipik
Sama halnya dengan pemeriksaan biakan, pemeriksaan uji
kepekaan obat secara fenotipik menggunakan dua metode, yaitu
dengan media padat dan media cair. Waktu untuk diagnosis TBC-
RO dengan media padat adalah 10-16 minggu, sedangkan
dengan media cair membutuhkan waktu 3-7 minggu. Pemanfaatan
media cair berpotensi mempercepat waktu diagnosis TBC RO 7-9
minggu dibandingkan dengan media padat. Uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi.

– Genotipik
Uji kepekaan obat secara genotipik dapat dilakukan dengan Tes
Cepat Molekuler (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Selain
mendeteksi M.TBC, pemeriksaan menggunakan TCM dapat
mendeteksi resistensi terhadap Rifampisin. Pemeriksaan LPA lini
satu dapat mendeteksi resistensi terhadap Rifampisin dan
Isoniazid, sedangkan LPA lini dua mendeteksi resistensi terhadap
kelompok Floroquinolon dan obat injeksi lini dua. Uji kepekaan
obat secara genotipik memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan secara fenotipik, yaitu 2 jam untuk
pemeriksaan TCM dan 2 hari untuk pemeriksaan LPA.
29
Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji
dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses
langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan,
diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan
tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.

2) Pemeriksaan Penunjang Lainnya


 Pemeriksaan foto toraks
 Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TBC
Ekstraparu.

3) Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis tidak direkomendasi untuk menegakan
diagnosis TBC, kecuali untuk TBC laten
3. Penegakan Diagnosis TBC pada Orang Dewasa
Untuk melakukan diagnosis TBC dewasa, terduga TBC dilakukan
pemeriksaan secara klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Gejala
utama: batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TBC yang utama, sehingga gejala batuk tidak harus 2 minggu atau
lebih. Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam
hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari
sebulan. Dari tanda-tanda fisik yang terlihat dapat diperkirakan yang
bersangkutan terduga menderita TBC ekstra-paru. Contoh tanda-tanda
yang bisa terlihat, seperti: pembesaran kelenjar di leher, pembengkakan
sendi dan tulang, serta tukak pada kulit.

30
a. Diagnosis TBC Paru
Diagnosis TBC ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.

 Keluhan dan hasil anamnesis yaitu keluhan yang disampaikan pasien, serta
anamnesis rinci berdasar gejala dan tanda TBC (gejala utama pasien TBC
paru, gejala tambahan di paru)
 Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung yaitu pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak; Pemeriksaan Tes Cepat
Molekuler (TCM); TBC Pemeriksaan Biakan.
 Pemeriksaan Penunjang Lainnya yaitu Pemeriksaan foto toraks dan
Pemeriksaan Histopatologi pada kasus yang dicurigai TBC ekstra-paru.
 Pemeriksaan uji kepekaan obat yaitu dilakukan di laboratorium yang telah
lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA).
 Pemeriksaan serologis untuk sampai saat ini belum direkomendasikan
WHO.

Catatan: Pemeriksaan tersebut di atas dilakukan di


sarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Bagan 2. Alur Diagnosis TBC Dan TBC Resistan Obat di Indonesia
Alur Diagnosis TBC pada Orang Dewasa
1. Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang
digunakan untuk penegakan diagnosis Tuberkulosis
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC
paru maupun TBC ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC baru
maupun yang memiliki riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan
pada semua golongan umur termasuk pada ODHA.
3. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga
TBC paru) dan non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, yaitu
dari cairan serebro spinal, kelenjar limfe dan jaringan).
4. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat
TCM
5. Jumlah dahak yang dikumpulkan adalah 2 (dua) dahak yaitu
Sewaktu-Sewaktu, Sewaktu – Pagi maupun Pagi – Sewaktu,
dengan jarak 1 jam dari pengambilan dahak pertama ke
pengambilan dahak kedua.
Standar kualitas dahak yang digunakan adalah dahak dengan
volume 3-5 ml dan mukopurulen.
Hasil pemeriksaan TCM terdiri dari MTBC pos Rif resistan, MTBC
pos Rif sensitif, MTBC pos Rif indeterminate, MTBC negatif dan
hasil gagal (error, invalid, no result). Beberapa ketentuan terkait
hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pasien dengan hasil MTBC pos, Rif Resistan berdasarkan


riwayatpengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada
kontak erat dengan TBC RO harus dilakukan pengulangan
TCM sebanyak 1 kali, dan hasil pengulangan yang
memberikan hasil MTBC pos yang menjadi acuan.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dengan
riwayat kontak erat dengan pasien TBC RO atau terduga
TBC dengan riwayat pengobatan sebelumnya dinyatakan

32
sebagai pasien TBC Rifampisin resistan dan selanjutnya
dilakukan inisiasi pengobatan TBC RO.
3) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa
riwayat pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang
TCM sebanyak 1 kali dengan spesimen yang berbeda.
Apabila tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengulangan
terkait kesulitan mendapatkan spesimen baru,
pertimbangkan kondisi klinis pasien.
b. Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin
resistan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler (LPA
lini dua atau TCM XDR) dan pemeriksaan paket standar uji
kepekaan fenotipik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan akan
mengirimkan spesimen dahak dari pasien tersebut ke
laboratorium rujukan sesuai jejaring rujukan yang berlaku. Hasil
pemeriksaan ini akan menentukan paduan pengobatan TBC RO
yang akan diberikan terhadap pasien.
c. Pasien dengan hasil MTBC pos Rif sensitif berdasarkan riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru akan
dilakukan inisiasi pengobatan dengan OAT kategori 1.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat
pengobatan sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up,
tidak konversi) akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji
kepekaan terhadap INH. Inisiasi atau melanjutkan
pengobatan dengan OAT Kategori 1 dilakukan sambil
menunggu hasil uji kepekaan terhadap INH. Apabila hasil uji
kepekaan menunjukkan INH resistan akan diberikan
paduan pengobatan TBC monoresistan INH.
d. Pasien dengan hasil MTBC indeterminate akan dilakukan
pengulangan oleh laboratorium TCM sebanyak 1 kali untuk
memastikan status resistansi terhadap rifampisin. Gunakan
dahak dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml dan
mukopurulen.
e. Pasien dengan hasil TCM gagal (invalid, error, no result) akan
dilakukan pengulangan oleh laboratorium TCM untuk
memastikan pasien positif atau negatif TBC dan mengetahui

33
status resistansi terhadap rifampisin. Gunakan sisa sampel jika
masih tersedia. Pada kondisi volume sampel kurang dari 2 ml,
gunakan dahak kedua. Apabila dahak kedua tidak tersedia,
kumpulkan dahak baru dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml
dan mukopurulen.
f. Pasien dengan hasil MTBC negatif dapat dilakukan pemeriksaan
foto toraks dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien
tersebut dapat didiagnosis sebagai TBC klinis sesuai
pertimbangan klinisi.
g. Penegakan diagnosis TBC secara klinis harus didahului dengan
pemeriksaan bakteriologis sesuai dengan butir 1 di atas.
h. Fasilitas Pelayanan Kesehatan bersama dinas kesehatan
setempat harus mengevaluasi proporsi pasien TBC
terkonfirmasi bakteriologis dibandingkan dengan pasien TBC
terkonfirmasi klinis. Proporsi antara terkonfirmasi bakteriologis
dan terdiagnosis klinis idealnya adalah 60:40.
6. Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum/tidak mempunyai TCM,
harus merujuk terduga TBC atau dahak dari terduga TBC tersebut
ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM. Merujuk dahak lebih
direkomendasikan dibanding merujuk terduga TBC terkait alasan
pengendalian infeksi.
7. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota mengatur jejaring
rujukan dan menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM
menjadi pusat rujukan pemeriksaan TCM bagi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di sekitarnya.
8. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menyiapkan sumber
daya di fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengoperasikan
TCM.
9. Jika fasilitas pelayanan kesehatan mengalami kendala mengakses
layanan TCM berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala
geografis maka penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis.
10. Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis
harus dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM. Dinas
kesehatan berperan mengatur jejaring rujukan spesimen ke
Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM terdekat. Jumlah dahak yang
dikirimkan adalah sebanyak 2 dahak. Pemeriksaan TCM ini
34
bertujuan untuk mengetahui status resistansi terhadap Rifampisin.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan TCM pada pasien yang
terdiagnosis TBC melalui pemeriksaan mikroskopis adalah
sebagai berikut:
a. Pasien terdiagnosis sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis dari
pemeriksaan mikroskopis.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin resistan, pertimbangkan kriteria terduga (baru atau
memiliki riwayat pengobatan sebelumnya) dan mengikuti alur
sesuai poin 5.a di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin sensitif, MTBC pos Rifampisin indeterminate,
MTBC negatif dan hasil gagal (error, invalid, no result) maka
hasil TCM tidak mengubah diagnosis pasien sebagai TBC
terkonfirmasi bakteriologis.
b. Pasien terdiagnosis sebagai TBC klinis dengan hasil BTA
negatif.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampisin resistan, pertimbangkan kriteria terduga (baru atau
memiliki riwayat pengobatan sebelumnya) dan mengikuti alur
sesuai poin 5.c di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC pos
Rifampsisin sensitif, MTBC pos Rifampisin indeterminate,
lanjutkan pengobatan, pasien dinyatakan sebagai TBC
terkonfirmasi bakteriologis.
3) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTBC negatif atau
hasil gagal lanjutkan pengobatan, pasien tetap sebagai TBC
terdiagnosis klinis

b. Diagnosis TBC Ekstra-paru


1) Diagnosis pasti pada pasien TBC ekstra-paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji
yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
2) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TBC Paru.
3) Pemeriksaan TCM berasal dari contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro
Spinal Fluid/CSF), pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJaH

35
(Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) dan contoh uji jaringan.
c. Diagnosis TBC Resisten Obat (TBC-RO)
Diagnosis TBC resistan obat dipastikan berdasarkan pemeriksaan
TCM. Jumlah spesimen dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan
TCM sebanyak 2 (dua) dahak dengan kualitas yang bagus. Kualitas
dahak yang baik adalah dahak mukopurulen dengan volume 3-5 ml.
Dahak dapat berasal dari pengambilan Sewaktu-Pagi, Pagi-Sewaktu
maupun Sewaktu-Sewaktu dengan syarat jarak pengambilan
minimal 2 jam. Satu dahak diperiksa TCM, satu dahak lain akan
disimpan jika diperlukan pengulangan TCM yaitu pada hasil
indeterminate, invalid, error, no result, serta pada hasil Rif Resistan
pada kelompok risiko rendah TBC RO.
Berdasarkan faktor risiko kejadian TBC RO, terdapat kelompok risiko
tinggi TBC RO (berasal dari kriteria terduga TBC RO) dan risiko
rendah TBC RO (berasal dari selain kriteria terduga TBC RO).
Pasien dengan hasil MTBC Resistan Rifampisin dari kelompok risiko
rendah TBC RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang
menggunakan dahak kedua yang berkualitas baik di fasyankes TCM
asal. Pengulangan hanya dilakukan sebanyak 1 kali. Terdapat
beberapa kemungkinan hasil pengulangan sebagai berikut:
a) Hasil TCM kedua adalah Rif Res, maka pasien terkonfirmasi
sebagai Rif Res.
b) Hasil TCM kedua adalah Rif Sen, maka pasien dinyatakan
sebagai pasien TBC Rif Sen.
c) Hasil TCM kedua adalah Neg, Indeterminate, Error, Invalid
maupun No Result, maka tidak diperbolehkan dilakukan
pengulangan lagi. MTBC telah terkonfirmasi, namun resistansi
terhadap Rifampisin tidak diketahui. Karena pasien berasal dari
kelompok risiko rendah TBC RO, pasien dinyatakan sebagai
pasien TBC Rif Sen.

36
d. Diagnosis TBC pada pasien dengan Ko-morbid

Pasien TBC dalam proses pengobatannya adakalanya mengalami


Ko-morbid yaitu dengan ODHA dan penyandang Diabetes Melitus
(DM). Penegakkan diagnosis TBC pada ODHA maupun DM sama
dengan diagnosis TBC tanpa ko-morbid.

Catatan:

Merujuk pada Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang


Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TBC dianjurkan
untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian dari
standar pelayanan TBC.
4. Diagnosis TBC Anak
Secara umum penegakan diagnosis TBC pada anak didasarkan pada 4
hal, yaitu:
a. Konfirmasi bakteriologis TBC
b. Gejala klinis khas TBC
c. Adanya bukti infeksi TBC (hasil uji tuberculin positif atau kontak
eratdengan pasien TBC)
d. Gambaran foto toraks sugestif TBC
Indonesia telah Menyusun system skoring untuk membantu menegakkan
diagnosis TBC pada anak. System skroing ini membantu tenaga
Kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.
Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TBC, maka alur
penegakan diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:

37
Bagan 1. Alur diagnosis TBC Anak

Anak dengan satu atau lebih gejala khas TBC:


 Batuk ≥ 2 minggu
 Demam ≥ 2 minggu
 BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
 Malaise ≥ 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler


(TCM) TBC

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Ada akses foto rontgen toraks Tidak ada akses foto rontgen
dan/atau uji tuberkulin*) toraks dan uji tuberkulin

Skoring sistem

Skor ≥6 Skor < 6

Uji tuberkulin Uji tuberkulin (-


(+) dan/atau ) dan Tidak
ada kontak ada kontak
TBCparu**) TBC paru**)

TBC anak
terkonfirm Ada kontak Tidak ada/tidak
asi TBC anak TBC paru**) jelas kontak
pasien TBC
paru**)

Terapi Observasi gejala selama 2 minggu


OAT***)

Menetap Menghilang

Bukan TBC

38
Keterangan:
Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TBC Paru Dewasa dan Kontak TBC Paru Anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis TBC dan adanya komorbiditas atau rujuk.
Penjelasan:
a. Pemeriksaan TCM tetap merupakan pemeriksaan utama untuk
konfirmasi diagnosis TBC pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan
untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi sputum.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak
bergejala namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TBC.
Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak memungkinkan,
dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TBC anak.
c. Berkontak dengan pasien TBC paru dewasa adalah kontak serumah
ataupun kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain,
dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit
penyerta, gizi buruk, TBC resistan obat maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan,
pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah
perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda
TBC, evaluasi TBC juga harus dilakukan pada setiap anak yang
berkontak dengan pasien TBC.

39
Tabel 1. Skoring sistem TBC Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTBC Tidak - Laporan keluarga, BTA(+)
jelas BTA (-)/BTA tidak
jelas/tidaktahu

Uji tuberculin Negatif - - Positif (≥10 mm atau


(Mantoux) ≥5 mm pada
imunokompromais)
Berat Badan/ - BB/TBC<90% Klinis gizi buruk -
Keadaan Gizi atau atau BB/TBC<70%
BB/U<80% atau BB/U<60%
Demam yang tidak - ≥2 minggu - -
diketahui
Penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran - ≥1 cm, lebih - -
kelenjar limfe kolli, dari 1
aksila, inguinal KGB,tidak nyeri

Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak (mendukung)
jelas TBC
Skor Total

Parameter Sistem Skoring:


a. Kontak dengan pasien TBC BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TBC 01 atau dari hasil laboratorium
b. Penentuan status gizi
1) Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname)
2) Dilakukan dengan parameter BB/TBC atau BB/U. penentuan status
gizi untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes
2016, sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar
WHO 2005 yaitu grafik IMT/U
3) Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1-2 bulan
40
Gambar 4. Alur Diagnosis TBC-RO Pada Anak

Catatan:
a b
) suhu > 40 C, hipoksia, distress respirasi, hemoptysis, gizi buruk, kejang, penurunan kesadaran, ) TBC meningitis,
TBCmilier
c)
pemberian terapi secara empiris harus didiskusikan dan diputuskan oleh Tim Ahli Klinis TBC-RO anak.
Regimenterapi empiris disesuaikan dengan pola resistensi dari kasus indeks penularannya
d)
OAT lini satu tidak diberikan jika kasus indeks adalah pasien TBC-RO terkonfirmasi atau jika anak gagal terapi TBC

D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium


1. Contoh Uji Dahak
Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
 Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan
dahak (sesuai TBC.06);
 Berikan pot dahak pada terduga;
 Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan
memperhatikan arah angin);

41
 Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan
membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan
erat;
 Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
 Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.
Contoh uji dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan,
bermulut lebar, berpenampang 5-6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan
bocor. Pot ini harus selalu tersedia di Fasyankes.

Diagnosis TBC ditegakkan dengan pemeriksaan 2 contoh uji dahak Sewaktu


Pagi (SP) atau Sewaktu Sewaktu (SS) dengan catatan antara S pertama dan
S kedua berjarak 1 jam dengan tetap menjamin kualitas. Spesimen dahak
idealnya dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan:

a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat terduga TBC datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah
bangun tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di Fasyankes.

Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di


tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari orang lain.
Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang
mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan
setelah pengumpulan/pengambilan dahak, terduga dan petugas segera
mencuci tangan dengan sabun dan air.

Catatan:
a. Hasil pemeriksaan dahak segera dilaporkan kepada pemohon agar penegakan
diagnosis TBC tidak tertunda.
b. Kasus TBC Ekstra-paru atau seorang kontak erat pasien TBC Paru BTA positif yang
mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan lamanya
waktu mempunyai gejala batuk tersebut.

42
2. Kualitas dahak yang baik didapat dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk diagnosis
maupun pemeriksaan dahak ulang;
b. Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang
benar untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
c. Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang baik
untuk pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-hijauan
(mukopurulen) dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak tidak
memenuhi syarat (air liur), petugas harus meminta terduga untuk
mengulang mengeluarkan dahak;
d. Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai
dan harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan dan
keselamatan kerja di laboratorium TBC.

3. Apabila terduga/pasien sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan hal-


hal sebagai berikut:
a. Di rumah: malam hari sebelum tidur menelan tablet gliseril
guayakolat 200 mg;
b. Di fasyankes: minum satu gelas teh manis sebelum melakukan olah
raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik nafas yang dalam
beberapa kali, kemudian menahan nafas beberapa saat, lalu batukkan
dengan kuat untuk mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap
kemungkinan terjadinya Pneumothoraks. Bagi fasyankes yang
mempunyai sarana dan prasarana dapat melakukan tata cara c. dan
d. sebagai berikut:
c. Induksi sputum: merupakan prosedur untuk merangsang produksi
dahak agar mudah dibatukkan atau diaspirasi dengan alat. Prosedur
ini berisiko rendah dan dapat dilakukan untuk pasien dewasa atau
anak. Hanya sedikit efek samping yang dilaporkan, seperti coughing
spells, mild wheezing dan epistaksis. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan aman pada bayi oleh petugas terlatih dengan peralatan
khusus. Induksi sputum merupakan prosedur yang menghasilkan
aerosol, sehingga sebaiknya dilakukan di ruang yang memiliki kendali
infeksi memadai

43
d. Bilas lambung: digunakan terutama pada pasien anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak secara spontan atau dengan induksi
sputum.Bilas lambung dilakukan pagi hari untuk mengumpulkan
dahak yang tertelan dan tertinggal di lambung. Anak puasa setidaknya
4 jam (3 jam pada bayi) sebelum prosedur dan anak dengan hitung
trombosit yang rendah atau kemungkinan pendarahan sebaiknya tidak
menjalani prosedur ini.
4. Pemberian Nomor Identitas Sediaan
a. Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya untuk
menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai dengan
identitas pada pot dahak dengan menggunakan pensil 2B.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah
kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang berasal dari Fasilitas
Kesehatan itu sendiri maupun dari Fasilitas Kesehatan lain
d. Nomor identitas untuk identitas SITB terdiri dari 4 kelompok angka
dan 1 huruf, sebagai berikut:
 Kelompok angka pertama terdiri dari 2 digit, misalnya 17, yang
merupakan 2 angka terakhir tahun.
 Kelompok angka kedua juga terdiri dari 7-11 digit: untuk fasilitas
pelayanan kesehatan 11 digit, untuk rumah sakit 7 digit.
 Kelompok angka ketiga terdiri dari 1 digit, untuk tipe pasien
(misalnya angka 1 TBC sensitif dan angka 2 untuk TBC-RO).
 Kelompok angka keempat terdiri dari 4 digit merupakan nomor
urut sesuai dengan TBC.06 (daftar terduga TBC) ditambah huruf
A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk dahak pagi.
 Contoh nomor identitas SITB: 17/00000000016/1/0016 A
Keterangan:
17  tahun 2017
00000000016  nomor kode Puskesmas (dari Pusdatin)
1  TBC sensitif
0016  terduga TBC ke-16 (sesuai nomor urut
daftar terduga TBC/TBC.06)
A  kode dahak sewaktu

44
 Contoh Pemberian nomor identitas sediaan pada:
- Dinding pot dahak
- Kaca sediaan (end frosted)
- Contoh nomor identitas sediaan: 1/0016 A
- Formulir TBC.06
Keterangan:
1  TBC sensitif
0016  terduga TBC ke-16 (sesuai nomor
daftar urut
terduga TBC/TBC.06)
A  kode dahak sewaktu

e. Pemberian kode pada nomor identitas/huruf pada diagnosis dan


follow up sebagai berikut:
 Diagnosis : A, B
 Follow up
a. Tahap awal : D, E
b. Bulan kelima : F, G
c. AP : H, I
d. Bulan ke 3 : J, K

1) Contoh pemberian nomor identitas/huruf pada diagnosis:


a). untuk dahak sewaktu  1/0016 A

b). untuk dahak pagi  1/0016 B

2) Contoh pemberian nomor identitas/huruf pada follow up


tahap awal:
a). untuk dahak sewaktu  1/0016 D

b). untuk dahak pagi  1/0016 E


2. Contoh uji non-dahak
Pemeriksaan bakteriologis TBC dapat dilakukan dengan contoh uji non-
dahak, terutama untuk konfirmasi bakteriologis pada kasus TBC ekstra
paru. Pemeriksaan bakteriologis TBC yang direkomendasikan untuk
kasus TBC ekstra paru adalah pemeriksaan TCM.

45
Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM terdiri atas
cairan serebrospinal, contoh uji dari kelenjar getah bening melalui
pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Needle Aspiration
Biopsy/FNAB), atau jaringan lain.
Pemeriksaan laboratorium untuk TBC ekstra paru dilakukan di FKRTL
yang memiliki kemampuan, namun demikian petugas kesehatan di FKTP
tetap berkewajiban untuk melaksanakan rujukan pemeriksaan pasien
TBC ekstra paru sehingga tidak terjadi miss-opportunity bagi kasus TBC
ekstra paru di FKTP. Petugas FKTP juga berkewajiban untuk melakukan
komunikasi motivasi kepada terduga TBC yang memerlukan rujukan.

E. Klasifikasi pasien TBC


Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TBC tersebut di
atas, pasien TBC juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit,
riwayat pengobatan sebelumnya, status resistensi OAT dan status HIV.
Klasifikasi pasien TBC tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan
TBC
4. Analisis kohort hasil pengobatan
5. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TBC secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :


a. Tuberkulosis paru :
Adalah TBC yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TBC
dianggap sebagai TBC paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TBC paru dan sekaligus juga menderita TBC
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TBC paru.
b. Tuberkulosis Ekstra paru:
Adalah TBC yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.

46
Limfadenitis TBC dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung
TBC pada paru, dinyatakan sebagai TBC ekstra paru.
Diagnosis TBC ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TBC ekstra paru
harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TBC terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TBC terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TBC:
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TBC
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TBC:
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1
bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TBC terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TBC yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
TBC berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TBC
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).
4) Lain-lain: adalah pasien TBC yang pernah diobati namun hasil
akhirpengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. adalah
pasien TBC yang tidak masuk dalam kelompok a) atau b).

47
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini pertama,
misalnya resistansi terhadap isoniazid (H)
b. Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin (HR), misalnya
resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE),
isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), atau rifampisin, etambutol
dan streptomisin (RES)
c. Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
d. Pre-XDR: TBC MDR yang disertai resistansi terhadap salah salah
satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
e. Extensively Drug Resistance (XDR): TBC MDR disertai resistansi
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin)
f. TBC resistan rifampisin (TBC RR): Resistan terhadap rifampisin
(dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TBC MDR, TBC XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan
atau tanparesistansi terhadap obat antituberkulosis lain

4. Klasifikasi pasien TBC berdasarkan status HIV


a. Pasien TBC dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TBC/HIV): adalah
pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TBC.
b. Pasien TBC dengan HIV negatif: adalah pasien TBC dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TBC.

48
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya
sebagai pasien TBC dengan HIV positif.
c. Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC
tanpaada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC
ditetapkan. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat
diperoleh hasiltes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinyaberdasarkan hasil tes HIV terakhir.

F. Komunikasi Motivasi
Pengobatan pasien TBC memakan waktu yang lama, oleh sebab itu
diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan
lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh.
Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar dapat memotivasi
dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan yang
dijalaninya.
1. Definisi Komunikasi Motivasi (KM)
Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan
komunikasi untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan
perilaku dalam masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan
pendekatan KM.
Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada
pasien untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien
mengatasi sikap mendua dalam membuat keputusan. Perilaku pasien
cenderung berubah apabila memiliki motivasi kuat untuk berubah yang
berasal dari pemikiran mereka sendiri.
KM memuat 4 ketrampilan dasar yaitu (Refleksi, Afirmasi, Pertanyaan
Terbuka – Tertutup – Mengarahkan, dan Bertanya – Cerita – Bertanya).
Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan
pasien dalam upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan
menghargai otonomi pasien.

2. Prinsip umum KM :
a. Menunjukkan empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain. Didalam

49
menerapkan KM petugas kesehatan menaruh perhatian penuh untuk
memahami pasien dan melihat masalah dari sudut pandang pasien.
Contoh :
Pasien mengatakan : “Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan
TBC karena saya harus minum obat banyak sekali”.
Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: “Kedengarannya
anda kuatir tentang pengobatan anda”

b. Hindari perdebatan
Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan,
pasien seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang
tepat sehingga petugas cenderung mengarahkan ke arah yang
benar.
Dalam penerapan KM sebaiknya petugas menghindari perdebatan
untuk mengubah keputusan pasien karena membuat pasien tidak
nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan mengetahui alasan
mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja sama
untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping
obat berupa mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek
samping ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi ke puskesmas
dan mendapatkan obat untuk menanggulangi efek samping tersebut
tanpa harus berhenti meminum obat demi kesembuhan pasien.

c. Memberikan gambaran dua situasi berbeda


Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil
keputusan terkait dengan masalah kesehatannya. Petugas
membimbing pasien untuk memberikan gambaran tentang kondisi
berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil keputusan untuk
berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat dampak
negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.
Contoh :

50
Bila pasien menolak memulai pengobatan TBC, Petugas dapat
membimbing pasien untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan
apabila pasien meminum obat dan tidak menjalankan pengobatan
TBC.Pasien diminta untuk membandingkan kedua hal tersebut.

d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan


Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu
pasien dalam meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa
percaya diri dan kemampuan pasien untuk berubah menjadi lebih
baik.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.
Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan
menyampaikan kepada pasien apa yang bisa dibantu untuk
memudahkan pasien menjalani pengobatan

3. Keterampilan dasar Komunikasi Motivasi


Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain:
a. Refleksi – Mengulang pernyataan pasien
Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan
petugas kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi
isyarat verbal dan visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud.
Untuk dapat mengulang pernyataan pasien, petugas harus
mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasien.
Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.
Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya
mendengarkan apa yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan
secara aktif adalah bagaimana petugas menanggapi kata-kata pasien.
Oleh karena itu teknik ini kadang disebut juga “empati” atau
“mendengarkan secara aktif”.
Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari:

51
– Memberi advis, saran atau solusi.
– Persuasi atau mengkuliahi.
– Menceramahi.
– Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan.
– Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan.
– Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan.
– Menganalisa.
– Meyakinkan atau memberi simpati.
– Mempertanyakan atau menggali informasi (probing).
Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk
cara mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian
petugas dari mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri
pasien. Petugas mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas,
seolah-olah petugas mengerti yang terbaik bagi pasien.
Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap
ambivalensi (mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa
pasien untuk menyetujui sebuah solusi secara dini. Petugas
kesehatan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, dan tidak memberi
kesempatan kepada pasien untuk berbicara.
Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus
mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa
terjadi salah pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga
maksud perkataan pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam
bentuk pernyataan.
Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena
pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan
sikap membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap
berfokus pada pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi
reaksi terhadap refleksi petugas, sesuai keinginan pasien.
Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup
sederhana. Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari
pernyataan pasien sudah cukup, dengan hanya mengulangi atau
mengulangi pernyataan awal pasien dengan kata-kata yang sedikit
berbeda.
Contoh:
Pasien: “Saya tidak merasa baik hari ini.”

52
Petugas Kesehatan: “Bapak kurang sehat hari ini”
Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi
cenderung lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo,
hanya mengulangi segala yang pasien katakan – ini melelahkan
petugas, dan menjengkelkan bagi pasien.
Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan
terhadap apa yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan
tentang makna lebih dalam dari pernyataan pasien, atau menduga
apa yang akan mereka katakan selanjutnya.
Contoh:
Pasien : “Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya
sakit TBC-RO, tapi saya takut.”
Petugas Kesehatan : “(menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TBC-
RO, Bapak tidak tahu harus berbuat apa.”
Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil
pemeriksaan dahak positif TBC-RO, namun petugas mempunyai
cukup alasan untuk menduga kekuatiran pasien.
Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang
menjadi hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun
awalnya terasa canggung, namun mempermudah proses komunikasi
dan kesamaan persepsi antara petugas dan pasien. Prinsipnya
adalah untuk tidak menduga yang berlebiihan.
Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar
percakapan dengan pasien terus mengalir.
 Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari
pernyataan pasien
 Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi
 Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: “Di satu
pihak …, di lain pihak …”
 Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat
pembicara, merangkumnya menjadi satu
Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan –
semakin ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud
dalam pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.

53
b. Peneguhan (afirmasi) – Melihat sisi positif
Afirmasi adalah menekankan hal yang positif. Seringkali petugas lebih
fokus mengkoreksi kesalahan pasien sehingga lupa perilaku positif
pasien.
Melakukan afirmasi berarti memberikan dukungan dan semangat
yang berguna sehingga pasien merasa dihargai dan dipercayai oleh
petugas.
Contoh afirmasi sederhana:
“Anda berusaha cukup keras minggu ini!”
“Meskipun anda tidak terlalu berhasil, anda menunjukkan niat untuk
sembuh”
“Terima kasih karena telah kembali sesuai janji – ini menunjukkan
anda memperhatikan kesehatan anda dengan serius!”
Afirmasi sebaiknya tidak dibuat-buat, tulus dan apa adanya.
Afirmasi juga bisa digunakan untuk “mengemas” sikap atau situasi
pasien dengan positif.
Contoh:
“Anda kesal dengan diri anda sendiri karena telah berjanji untuk
minum obat TBC/ARV setiap hari. Anda terganggu dengan efek
samping obat yang menyebabkan mual dan muntah-muntah. Anda
tetap berusaha untuk datang minum obat setiap hari ke Puskesmas.
Anda mempunyai kemauan kuat untuk sehat.”
Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa
menjadi hambatan berkomunikasi dengan pasien karena
menempatkan petugas dalam posisi menilai pasien dimana petugas
memutuskan perilaku mana yang dipuji dan mana yang dikritisi. Ada
beberapa cara untuk menghindari masalah ini:
• Hindari penggunaan kata “Saya”
• Fokus pada perilaku yang spesifik
• Fokus pada deskripsi, bukan evaluasi
Sebagai catatan, afirmasi biasanya diletakkan di akhir kalimat.
c. Pertanyaan – Terbuka, Tertutup dan Mengarahkan
Pertanyaan diajukan untuk membantu petugas memahami pasien
dengan lebih baik, termasuk pengetahuan, kebutuhan dan kekuatiran
mereka. Namun, petugas terkadang tidak melakukannya dengan baik.
Sering terjadi petugas langsung mengajukan banyak pertanyaan:
“Apakah anda selalu memakai masker??”
54
“Apakah anda teratur minum obat?”
“Apakah anda masih merokok?”
“Apakah anda sudah dites HIV?”
“Apakah keluarga mengetahui anda sakit TBC-RO?
Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka
pasien akan merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat
memberikan informasi spesifik, namun menunjukkan posisi petugas
yang lebih superior dan dapat merusak hubungan yang dibangun.
Pertanyaan yang lebih baik: “Efek samping apa yang anda rasakan
setelah minum obat TBC?”.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
pasien untuk menjawab.
Contoh:
“Apa yang membuat anda sulit memakai masker setiap hari?”
“Apa yang membuat anda sulit datang ke Puskesmas setiap hari?”
“Bagaimana supaya keluarga anda tidak tertular?”
Pertanyaan terbuka merupakan keterampilan penting yang
memungkinkan menggali banyak informasi dari pasien. Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk berbagi informasi atau
pengalaman sesuai keinginan mereka. Hal ini menegaskan kembali
hubungan antara petugas dan pasien. Pasien bisa juga berbagi
informasi atau pengalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Pertanyaan terbuka bukan satu-satunya pertanyaan yang tepat.
Kebalikan dari pertanyaan terbuka ialah pertanyaan tertutup – yang
membatasi pilihan pasien dalam merespon, dan/atau menggali
informasi spesifik.
Contoh:
“Apakah anda merokok?”
“Berapa usia anda?”
“Dimana alamat anda?”
Pertanyaan tertutup bisa digunakan untuk melakukan cek kesimpulan
(Contoh: “Apakah saya melupakan sesuatu?”) atau untuk mengajukan
permohonan ijin (Contoh: “Apakah anda ingin tahu lebih jauh tentang
ini?”) atau untuk meminta klarifikasi tentang poin spesifik dimana
pertanyaan terbuka telah gagal memberikan jawaban.

55
Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup
bukan berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan
sesuai dengan keperluannya.
Tipe pertanyaan yang sebaiknya dihindari ialah “pertanyaan yang
mengarahkan” atau pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban
(retorika):
“Anda menggunakan masker, bukan?”
“Anda tahu bahwa tuberkolosis itu menular, kan?
“Bukankan istri anda berarti bagi anda?”
Pertanyaan-pertanyaan ini selain membatasi kemungkinan jawaban,
namun juga mengarahkan pada jawaban tertentu. Hal ini bukan hanya
menempatkan petugas dalam posisi yang lebih tinggi (menilai hal
yang baik dan hal yang jelek), namun jawaban juga tidak bisa
dipercaya sepenuhnya. Apakah pasien benar mengunakan masker
atau ia menjawab karena petugas menginginkan jawaban demikian?
d. Bertanya-Beritahu-Bertanya (Ask-Tell-Ask) – Memberi Informasi
dan Saran
Ada dua hal penting dalam KM yang perlu diingat:
1) Petugas memberi informasi dan/atau saran berdasarkan ijin
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai
dengan kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat
mengambil kesimpulan sendiri.

4. Bertanya (Ask)
Bertanya – Beritahu – Bertanya atau B3 merupakan strategi sederhana
untuk mengukur sejauh mana pemahaman pasien dan memberikan
informasi sesuai kebutuhan. Strategi ini dimulai dengan sebuah
pertanyaan untuk menelusuri pengetahuan dan pengalaman pasien,
minat pasien, dll. Beberapa contoh pertanyaan:
“Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TBC.”
“Menurut Anda apa manfaat terbesar dari memakai masker?”
“Apa yang Anda pikirkan tentang HIV?”
Di sini tujuannya adalah untuk mendapat informasi tentang pengalaman
dan/atau pengetahuan pasien sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
petugas memberikan informasi yang sudah diketahui pasien. Selain itu

56
juga bisa mengetahui sejauh mana pemahaman pasien, dan dengan
demikian petugas bisa memberi informasi relevan untuk pasien.
Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas
dapat difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi
pasien.
Mendapat persetujuan
Petugas menindaklanjuti pertanyaan di atas dengan pertanyaan berikut,
untuk mendapat persetujuan pasien atas informasi atau saran tambahan
yang akan diberikan, misalnya:
“Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TBC
Resistan Obat”
“Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain
berhasil melakukannya?”
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien
dan dapat membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas
katakan. Apabila hubungan antara petugas dan pasien baik, maka
pasien hampir selalu menyetujui permintaan petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas
perlu mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan
tanpa menggurui dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:
 Pertama, tunjukkan empati kepada pasien bahwa petugas memahami
perasaan mereka.
 Kedua, ceritakan tentang orang lain mengalami hal yang sama.
 Ketiga, ceritakan bahwa orang lain tersebut akhirnya menyadari
bahwa pemikiran tersebut tidak benar.
Contoh :
Petugas: “Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi
diri Ibu dari penularan TBC ?.”
Pasien: “Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil
bagi saya untuk menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa
saya sebagai orang aneh dengan memakai masker terus!”
Petugas : “Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa
tidak berdaya untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita
yang merasakan hal yang sama waktu mereka pertama memakai
masker. Tetapi mereka berusaha dan mereka menemukan cara
meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan TBC. Apa Ibu

57
mau mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita-wanita
lain?”
Pasien: “Boleh, Dok!”

5. Memberi tahu (Tell)


Bila pasien anda setuju untuk melanjutkan pembicaraan, langkah
selanjutnya adalah memberi informasi dan/atau saran. Kuncinya adalah
fokus pada apa yang pasien butuhkan atau ingin ia ketahui. Itulah
sebabnya bertanya ialah hal pertama yang sangat penting bagi petugas
untuk dapat memberi informasi dengan jelas. Berikan sedikit informasi,
lalu konfirmasi apakah pasien mengerti atau memiliki pertanyaan.
Perlu diperhatikan bahwa memberi saran dengan 3B (Bertanya -
Beritahu – Bertanya) berfokus pada perubahan dimana ada potensi
pasien akan melawan. Oleh karena itu, memberi saran bukan hal utama
dari strategi KM. KM berfokus menumbuhkan solusi yang datang dari
pasien dan bukan dari petugas. Pada saat petugas perlu memberi
saran, ingatlah beberapa hal ini:
a. Minta persetujuan (seperti bila anda akan memberi informasi)
b. Tekankan pilihan pribadi. Contoh: “Pada akhirnya keputusan ada di
tangan anda. Namun demikian saya bisa menjelaskan beberapa
pilihan …”
c. Tawarkan beragam pilihan sekaligus, jangan satu persatu.
Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas
tidak dapat mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas.
Lebih baik bila petugas bertanya untuk mendapatkan persetujuan.

6. Bertanya (Ask)
Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untuk
menilai pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap
informasi dan/atau saran yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan
secara teratur, tiap kali setelah memberi informasi.
Caranya beragam:
“Jadi, apa artinya ini bagi Anda?”
“Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?”
“Apa yang ingin anda tanyakan?”
“Ceritakan yang saya baru sampaikan dengan kata-kata Anda sendiri.”

58
Proses ini dapat berupa mendengarkan secara reflektif di mana anda
merefleksikan kembali reaksi pasien yang anda lihat dan dengar.
Tujuannya adalah memberi ruang pada pasien untuk memproses dan
menanggapi informasi yang baru anda sampaikan.

7. Menggabungkan semuanya
Masing-masing keterampilan tidak berfungsi secara terpisah, namun
merupakan bagian perangkat bagi petugas, untuk menggerakkan pasien
ke arah perubahan. Seperti dalam contoh di atas, anda dapat memulai
sebuah sesi dengan peneguhan (“Senang bertemu Anda kembali!”), lalu
bergerak ke pertanyaan terbuka (“Bagaimana dengan perubahan-
perubahan yang kita diskusikan waktu itu?”) setelah itu anda bisa
mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan dengan
pasien (“Kedengarannya Anda sedikit kewalahan …”) dan 3B untuk
memberi informasi baru (“Maukah Anda mendengar pengalaman orang
lain yang berhasil mengatasi situasi seperti anda?”) lalu merefleksikan
dan merangkum perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus
meneguhkan contoh-contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM
bisa diulangi terus-menerus dalam berbagai kombinasi.

Tabel 2. Keterampilan berkomunikasi dalam KM


Keterampilan Tujuan yang ingin dicapai
1. Merefleksikan apa  Pasien merasa lebih dihormati dan
yang dikatakan diterima serta lebih dimengerti.
pasien (reflection)  Pasien didorong untuk memberikan
informasi tambahan
 Pasien lebih bisa mengutarakan pikiran
dan perasaannya.
 Pasien menjadi lebih sadar akan pikiran
dan perasaannya.
 Petugas bisa meluruskan apabila terjadi
kesalahpahaman pasien tentang perihal
medis.
 Petugas bersikap tidak menghakimi
kepada pasien.
2. Peneguhan  Membantu petugas melibatkan pasien.
59
(affirmation)  Mengurangi sikap pembelaan diri dari
pasien.
 Mendorong keterbukaan pasien
3. Pertanyaan terbuka  Memberikan kesempatan yang lebih
(open question) kepada pasien untuk bercerita tentang
dirinya.
4. Bertanya – Beritahu  Mendapatkan informasi dari pasien
– Bertanya (Ask – tell mengenai sejauh mana pasien
– ask) memahami tentang penyakitnya.
 Petugas dapat memberikan informasi
tambahan kepada pasien tanpa memiliki
kesan untuk “menggurui” pasien.
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko
Kuman penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosis (M.TBC).
Seorang pasien TBC, khususnya TBC paru pada saat dia bicara, batuk dan
bersin dapat mengeluarkan percikan dahak yang mengandung M.TBC.
Orang-orang di sekeliling pasien TBC tsb dapat terpapar dengan cara
menghirup percikan dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan
menghirup percik renik yang mengandung kuman TBC melalui mulut atau
hidung, saluran pernafasan atas, bronkhus hingga mencapai alveoli.
1. Faktor risiko terjadinya TBC
a. Faktor kuman TBC.
Pasien TBC dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.
Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar
risiko terjadi penularan.
b. Faktor individu.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TBC adalah:
 Faktor usia dan jenis kelamin:
Kelompok paling rentan tertular TBC adalah kelompok usia
dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
Menurut hasil survei prevalensi TBC, laki-laki lebih banyak
terkenaTBC dari pada wanita.
60
 Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan
immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan M.TBC, lebih mudah
jatuh sakit.
 Perilaku:
– Batuk dan cara membuang dahak pasien TBC yang tidak
sesuaietika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko
penularan.
– Merokok meningkatkan risiko terkena TBC paru sebanyak
2,2kali.
– Sikap dan perilaku pasien TBC tentang penularan, bahaya,
dan cara pengobatan.
 Status sosial ekonomi:
TBC banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TBC.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.

2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TBC


Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai
dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TBC di masyarakat.
Upaya yang dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TBC
 Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan tetap tinggi
 Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TBC)
yang mempermudah terjangkitnya TBC, misalnya HIV, diabetes,
dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
 Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
makan makanan bergizi, dan tidak merokok.
 Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang

61
dahak bagi pasien TBC.

 Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas


nutrisi bagi populasi terdampak TBC.
 Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (Materi pencegahan bagi populasi
rentan dibahas lebih lanjut pada modul pengobatan).
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
 Mengupayakan lingkungan sehat.
 Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan
dan lingkungannya sesuai rumah yang memenuhi syarat rumah
sehat.
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
 Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko
tinggi penularan TBC (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan,
tempat kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain
yang teridentifikasi berisiko.
 Penemuan aktif masif di masyarakat (daerah terpencil, belum
ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TBC pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TBC harus menjadi perhatian
utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TBC harus
menerapkan PPI TBC untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TBC.
*Materi PPI TBC akan dibahas lebih lanjut pada modul Manajemen.

H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TBC


Pencatatan dan pelaporan yang terkait dengan penemuan pasien TBC
adalah:
1. Daftar Terduga TBC (TBC.06)
2. Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TBC (TBC.05)
3. Register Laboratorium TBC untuk Laboratorium Faskes Mikroskopis
dan Tes Cepat Molekuler (TBC.04)
4. Pelacakan Kontak Anak (TBC.15)
5. Formulir Investigasi Kontak Tuberkulosis (TBC.16)

62
Contoh dan cara pengisian formulir dibahas dalam lembar kerja
tersendiri.

VIII. REFERENSI
1. Permenkes TBC No.67, tahun 2017 tentang Penanggulangan TBC
2. Strategi Nasional Pengendalian TBC, 2015-
20193. RAN 2015-2019
4. Juknis TBC Anak
5. Juknis Kontak Investigasi
6. Panduan DPPM TBC
7. Standar Pelayanan Laboratorium TBC 2015

IX. LAMPIRAN

1. LAMPIRAN 1:
SKENARIO BERMAIN PERAN

A. Judul: Investigasi Kontak


Tujuan:
Setelah bermain peran, peserta mampu melakukan Investigasi Kontak
Petunjuk:
1. Pelatih menyiapkan alat bantu bermain peran:
a. Meja
b. Kursi
c. Formulir TBC.16K
2. Pelatih membagi peserta menjadi 5-6 kelompok
3. Pelatih meminta setiap kelompok menunjuk ketua kelompok masing-
masing
4. Pelatih membagi setiap kelompok tersebut untuk memainkan skenario
Investigasi Kontak, dengan pembagian peran sebagai berikut:
a. Kader
b. Petugas Kesehatan
c. Kasus Indeks
d. PMO dari kasus indeks
e. Kontak Serumah dari Kasus Indeks
f. Kontak Erat dari Kasus Indeks (tetangga, teman, dll)
5. Pelatih membagi skenario kepada masing – masing kelompok

63
a. Ketua masing-masing kelompok menentukan pemain sesuai dengan
skenario yang dibagikan
b. Pelatih menentukan kelompok untuk bermain peran secara bergiliran
c. Kelompok lainya yang tidak berperan diminta untuk mengamati,
mencatat memberikan masukan untuk setiap pemain.
d. Kelompok yang sedang memainkan skenario diminta untuk
memberikan tanggapan terhadap masukan yang diberikan kelompok
pengamat
e. Pelatih menyimpulkan hasil roleplay di setiap kelompok

Waktu : 90 menit terdiri dari :


1. Anggota kelompok yang berperan sebagai Petugas Kesehatan melakukan
wawancara kepada Kasus Indeks untuk mengisi formulir TBC.16K,
bermain peran 10 menit
2. Petugas kesehatan menghubungi kader dan berdiskusi untuk membuat
pemetaan dan jadwal investigasi kontak dari seluruh kasus indeks pada
area kerja, bermain peran 10 menit
3. Kader menghubungi PMO untuk menyusun jadwal kunjungan rumah dan
informasi terkait kontak serumah dan kontak erat, bermain peran 10 menit
4. Kader melakukan investigasi kontak pada kontak serumah, bermain peran
15 menit
5. Kader melakukan investigasi kontak pada kontak erat, bermain peran 15
menit
6. Kader menyerahkan formulir TBC.16K kepada petugas kesehatan,
bermain peran 5 menit
7. Tanya jawab dan kesimpulan 25 menit untuk seluruh kelompok.
Waktu : 90 Menit

B. Judul: Investigasi Kontak (IK) pada TBC Anak


Tujuan:
Setelah bermain peran, peserta mampu melakukan Investigasi Kontak pada
TBC Anak
Petunjuk:
1. Peserta dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6
orang
2. Peran:
a. 1 orang sebagai Dokter Puskesmas A
b. 1 orang sebagai Petugas Kesehatan
c. 1 orang Ibu Pasien Anak
d. 1 orang Ayah Pasien Anak
e. 1 orang kader Posyandu dan
f. 1 orang Pamong Desa

Skenario:
1. Di Poli Umum Puskesmas A pada waktu jam pelayanan menemukan
seorang laki-laki berumur 38 tahun yang telah didiagnosis TBC oleh
64
dokter, laki-laki tersebut tinggal bersama ibunya, istri dan dua anaknya
laki-laki berusia 8 tahun dan 4 tahun.

Berdasarkan temuan pasien TBC di Puskesmas A, maka akan dilakukan


investigasi kontak di rumah pasien yang berada di Desa B, Jalan AB No.1,
RT 12/RW13

Lakukan pertemuan di desa tersebut sebagai langkah/sosialisasi awal


pelaksanaan investigasi kontak untuk mencari terduga (kontak) TBC baik
pada anak maupun pada orang dewasa.

2. Lakikan pertemuan di Puskesmas untuk persiapan pelaksanaan IK dan


tindak lanjut setelah kegiatan IK. Peserta pertamuan adalah Dokter
Puskesmas, Petugas TBC, Petugas Laboratorium, Petugas Promkes,
Bidandan Petugas Kesling

3. Dari hasil IK di rumah tersebut, ditemukan anak laki-laki berumur 4,5


tahun dan langsung dirujuk ke Puskesmas untuk dilakukan skoring
pemeriksaan TBC. Disimpulkan anak tersebut tidak terdiagnosa
TBC sehingga perlu diberikan TPT. Lakukan komunikasi, edukasi
dan sosialisasi kepada orang tua anak tersebut, sehingga mau
untuk menerima pengobatan TPT pada anak tersebut.

65
2. LAMPIRAN 2:
TATACARA KERJA PENGUMPULAN DAN PENGIRIMAN DAHAK KE
LABORATORIUM RUJUKAN (TCM)
Pelaksana: Petugas Laboratorium Fasyankes

Alat yang diperlukan:

1) Pot dahak steril sesuai standar lab TBC


2) Stiker/spidol
3) Sabun cuci tangan
4) Parafilm
5) Prosedur tetap pengumpulan dahak
6) Formulir TBC 05

Cara Kerja:
1) Persiapan pasien:
a. Beritahu pasien tentang pentingnya mendapatkan dahak yang
berkualitas untuk menentukan penyakitnya
b. Anjurkan pasien untuk berdahak dalam keadaan perut kosong,
dan membersihkan rongga mulut dengan berkumur dengan air
bersih.
c. Dahak adalah bahan infeksius, anjurkan pasien untuk berhati-
hati saat berdahak dan mencuci tangan dengan sabun
d. Anjurkan pasien untuk membaca prosedur tetap pengumpulan
dahak yang tersedia di lokasi berdahak.
2) Persiapan Alat.
a. Siapkan pot dahak steril.
b. Beri identitas sesuai NKI pada badan pot dahak, tempelkan
identitas pasien sesuai dengan NKI dan tambahkan tanda A untuk
pot dahak sewaktu, B untuk pot dahak pagi dan C untuk pot dahak
sewaktu ke 2 pada dinding badan pot jangan pada tutupnya.
3) Tulis identitas pasien dan tanggal pengambilan dahak pada formulir
TBC 05
4) Cara pengeluaran dahak yang baik
66
a. Kumur-kumur dengan air bersih sebelum mengeluarkan dahak
b. Bila memakai gigi palsu, lepaskan sebelum berkumur
c. Tarik napas dalam (2-3 kali)
d. Buka tutup pot, dekatkan ke mulut, berdahak dengan kuat dan
ludahkan ke dalam pot dahak
e. Tutup pot yang berisi dahak dengan rapat, segel dengan
parafilm di sekeliling tutup pot dahak
f. Cuci tangan dengan air dan sabun antiseptik
Pada saat mendampingi pasien berdahak, petugas harus mendampingi
pasien dengan memperhatikan arah angin sedemikian rupa agar arah
angin tidak mengarah kepada petugas.

Apabila ternyata dahak tidak memenuhi syarat pemeriksaan (air liur atau
volumenya kurang), pasien harus diminta berdahak lagi.

Apabila kesulitan mengeluarkan dahak:

1) Berikan obat batuk yang mengandung gliserol guayacolas


sehari sebelum pengumpulan dahak, atau
2) Pasien dianjurkan berolahraga ringan: berlari-lari kecil,atau
3) Petugas melakukan tepukan-tepukan ringan dengan kedua
telapak tangan pada punggung pasien,selama kurang lebih 3-5
menit
5) Cara menilai kualitas dahak secara makroskopis
a. Lakukan penilaian terhadap dahak pasien tanpa
membuka tutup pot melalui dinding pot yang transparan.
b. Hal-hal yang harus diamati adalah volume 3-5 ml, dahak
kental berwarna hijau kekuningan (mukopurulen).
c. Setelah memeriksa kualitas dahak petugas harus
mencuci tangan dengan air dan sabun.

6) Mengemas dahak untuk dirujuk


Masukkan pot ke dalam kantong plastik bersegel (satu kantong
berisi satu pot dahak), tutup segel kantong.

67
7) Simpan pada suhu kamar sampai waktu jadwal pengiriman
(maksimal 48 jam sudah diterima di laboratorium DST dan harus
diterima pada hari Senin-Kamis)
a) Bila waktu pengiriman dahak ke laboratorium rujukan biakan/uji
kepekaan l 48 jam – 72 jam, kotak styrofoam harus berisi ice pack
agar suhu terjaga pada 4-80 oC
b) Bila di daerah terkait telah tersedia laboratorium yang memiliki
kemampuan biakan TBC maka rujukan ke laboratorium uji
kepekaandikirim dalam bentuk isolat.
8) Setelah selesai petugas harus cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.

Catatan:

 Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TBC dengan HIV positif.
 Pasien TBC dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TBC tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TBC ditetapkan.

Catatan:

Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

68
-1-

PELATIHAN BAGI PELATIH PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS


TINGKAT FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DAN FASILITAS KESEHATAN
RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN

MATERI INTI 2
PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS

DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
JAKARTA
2020
-2-

TIM PENYUSUN

Pelindung:
dr. Anung Sugihantoro, M.Kes (Direktur Jendral P2P)
Pengarah:
1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)
2. dr. Imran Pambudi, MPHM (Kepala Subdit TBC)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. Dr. Sulistya Widada
Editor
Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes
Anggota:
1. dr. Irfan Ediyanto
2. Sarah, SKM
3. dr. Endang Lukitosari, MPH
4. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
5. H.D Djamal, M.Si
6. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
7. Saida N. Debataradja, SKM
8. dr. Setiawan Jati Laksono
9. drg. Siti Nur Anisah, MPH
10. Sulistyo, SKM, M.Epid
11. Suwandi SKM, M. Epid
12. dr. Wihardi Triman, MQIH
13. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
14. Rudi Hutagalung
15. Dr Ngabila
16. Dr Murni
17. Antasari Roro, SKM
18. Dela Pramesti, SKM
19. Triana, SKM
-3-

DAFTAR SINGKATAN
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ART = Anti Retroviral Therapy
ARV = Anti Retroviral Virus
ASI = Air Susu Ibu
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BCG = Bacille Calmette-Guerin
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CNR = Case Notification Rate
CTJ = Ceramah Tanya Jawab
DM = Diabetes Mellitus
DOT = Directly Observed Treatment
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
FDC = Fixed Dose Combination
FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTP-RM = Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis.
FKTP-S = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
FLD = First Line Drugs
HIV = Human Immunodeficiency Virus
IRIS = Immune Response Inflammantory Syndrome
ISTC = International Standards For Tuberculosis Care
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KIE = Komunikasi, Informasi, Edukasi
MDR = Multi Drug Resistance
OAD = Obat Anti Diabetika
OAINS = Obat Anti Inflamasi Non-Steroid
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
ODHA = Orang dengan HIV AIDS
OHO = Obat Hipoglikemik Oral
PAS = Para Amino Salisilic Acid
PDP = Pengobatan Dengan Perawatan
PHBS = Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PKK = Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PMO = Pengawas Menelan Obat
PNPK = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana
PPI = Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPK = Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
PPTI = Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RO = Resistan Obat
RR = Resistan Rifampisin
RS = Rumah Sakit
SLD = Second Line Drugs
TAK = Tim Ahli Klinis
TBC = Tuberkulosis
TPT = Terapi Pencegahan TBC
-4-

TCM = Tes Cepat Molekuler


Total DR = Totally Drug Resistance
TSH = Thyroid Stimulating Hormon
XDR = eXtensive Drug Resistance
WHO = World Health Organization
-5-

I. DISKRIPSI SINGKAT
Pengobatan dapat diberikan setelah ditegakkan diagnosis dan klasifikasi kasus bagi setiap
pasien TBC sensitif obat (SO) maupun pasien TBC Resistan Obat (RO). Tatalaksana
pengobatan TBC di FKTP maupun di FKRTL pada prinsipnya sama. Pada kasus TBC yang
tidak dapat ditangani di FKTP dan memerlukan tidakan lanjut dapat dirujuk ke FKRTL.
Pengobatan pasien TBC sensitif maupun TBC RO prinsipnya terdiri dari dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Tahap pengobatan harus dijalani secara teratur dan benar oleh pasien
TBC agar dapat sembuh dan memperkecil risiko terjadinya TBC Multi Drug Resistant (MDR)
atau bahkan Extensively Drug Resistant (XDR).
Modul ini akan membahas tentang Pengobatan TBC pada pasien dewasa (TBC sensitif
maupun TBC resistan obat), pengobatan TBC pada pasien anak (TBC sensitif maupun TBC
resistan obat), pengobatan TBC pada pasien dengan keadaan khusus (TBC HIV, TBC DM,
TBC pada kehamilan, dll), komunikasi motivasi dan pencegahan TBC pada populasi rentan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah menyelesaikan materi peserta mampu melakukan pengobatan pasien TBC.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi l ini peserta latih mampu :
1. Menjelaskan prinsip-prinsip pengobatan TBC
2. Melakukan tata laksana pengobatan TBC
3. Melakukan Komunikasi Motivasi
4. Melakukan Pencegahan TBC bagi populasi rentan

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


A. Prinsip pengobatan TBC di fasyankes:
1. Tujuan Pengobatan TBC
2. Jenis OAT
3. Dosis OAT
4. Tahapan dan lama pengobatan
5. Persiapan sebelum pengobatan
B. Tata laksana pengobatan TBC:
1. Pasien TBC Dewasa
2. Pasien TBC Anak
-6-

3. Pasien dengan keadaan khusus


4. Penetapan PMO
5. Pasien TBC dengan efek samping OAT
6. Tatalaksana kasus mangkir
C. Komunikasi Motivasi pada
1. Komunikasi Motivasi Untuk Pasien TBC
2. Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Untuk Pasien dan Keluarga PasienTBC
D. Pencegahan TBC bagi populasi rentan :
1. Vaksinasi BCG bagi bayi
2. Pengobatan pencegahan bagi anak bawah 5 tahun
3. Pengobatan Pencegahan TBC ( TPT) bagi ODHA

IV. METODE
A. CTJ
B. Curah Pendapat
C. Latihan Soal
D. Studi kasus
E. Demonstrasi

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


A. Komputer,
B. LCD,
C. Bahan Tayang
D. Flipchart,
E. Whiteboard,
F. Spidol,
G. OAT,
H. Pedoman Latihan Soal
I. Pedoman Studi Kasus
J. Modul MI.2
-7-

VI. LANGKAH – LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Berikut disampaikan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran materi ini.
Langkah 1.
Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah
menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.
2. Sampaikan tujuan pembelajaran (TPU dan TPK) dan pokok bahasan yang akan
disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.
Langkah 2.
Diskusi singkat mengenai materi yang akan disampaikan dengan ceramah tanya jawab
untuk mengetahui sejauh mana yang sudah dimiliki oleh peserta, curah pendapat untuk
mendapatkan saran-saran, latihan soal untuk beberapa contoh kasus dalam pencatatan
dan demonstrasi untuk menunjukkan contoh-contoh OAT sensitif dan TBC RO.
Langkah 3.
Pembahasan per Materi
Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan 1 tentang prinsip
pengobatan TBC di fasyankes FKTRL, tujuan, jenis OAT, dosis OAT, tahapan dan lama
pengobatan, persipaan sebelum pengobatan dengan metoda CTJ dan curah pendapat
Langkah 4
Pembahasan per Materi
Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan 2 tentang
tatalaksana pengobatan TBC, pasien TBC Dewasa, pasien TBC Anak, pasien dengan
keadaan khusus, penetapan PMO, pasien TBC dengan efek samping OAT dan tatalaksana
kasus mangkir dengan metoda yang digunakan adalah CTJ, demontrasi, latihan soal dan
studi kasus
Langkah 5
Pembahasan per Materi
Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan 3 tentang
komunikasi informasi edukasi (KIE) pada komunikasi motivasi pasien TBC dan KIE untuk
pasien dan keluarga pasien TBC dengan metoda yang digunakan adalah CTJ dan curah
pendapat.
-8-

Langkah 6
Pembahasan per Materi
Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan 4 tentang
pencegahan TBC bagi populasi rentan, vaksinasi BCG bagi bayi, pengobata pecegahan
bagi anak bawah 5 tahun, Terapi pencegahanTBC ( TPT ) bagi ODHA dengan metoda
yang digunakan adalah CTJ dan curah pendapat.
Langkah 7
Rangkuman
Fasilitator merangkum hasil diskusi dan curah pendapat bersama peserta dikaitkan dengan
evaluasi materi pengobatan pasien TBC.

VII. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan 1
A. Prinsip Pengobatan TBC di Fasyankes
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TBC.
Pengobatan TBC merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TBC.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
 Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
 Diberikan dalam dosis yang tepat.
 Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap
yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan.
1. Tujuan Pengobatan TBC
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TBC atau dampak buruk selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TBC.
d. Menurunkan risiko penularan TBC.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TBC resistan obat.
-9-

2. Jenis OAT
Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan program pengendalian TBC saat ini adalah
OAT lini satudan OAT lini dua disediakan di fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TBC resistan obat. Terlampir di
bawah ini jenis OAT lini Satu dan OAT lini dua
Tabel 01. OAT Lini Satu
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15
(12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
- 10 -

Tabel 02. Pengelompokan obat TBC RO terbaru (WHO 2016)


Levofloksasin Lfx
Grup A. Fluorokuinolon Moxifloksasin Mfx
Gatifloksasin Gfx
Amikasin Am
Capreomisin Cm
Grup B. Obat injeksi lini dua
Kanamisin Km
(Streptomisin)* (S)
Etionamid / protionamid Eto / Pto
Sikloserin / terizidone Cs / Trd
Grup C. Obat lini dua utama lainnya
Linezolid Lzd
Clofazimine Cfz
Pirazinamid Z
D1 Etambutol E
Isoniazid dosis tinggi Hdt
Bedaquiline Bdq
D2
Delamanid Dlm
Grup D. Obat tambahan
Asam p-aminosalisilat PAS
Imipenem–silastatin Ipm
D3 Meropenem Mpm
Amoksisilin – klavulanat Amx-Clv
Thioasetazone T
Keterangan tabel:
*) Streptomisin dapat digunakan sebagai obat injeksi pada pengobatan TBC RO bila ketiga
obat injeksi lini dua tidak dapat digunakan dan bila terbukti/diperkirakan tidak terdapat
resistansi Streptomisin.

3. Dosis OAT
Pengobatan TBC dengan paduan OAT Lini satu yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
- 11 -

Tabel 03. Dosis rekomendasi OAT Lini satu untuk dewasa

Obat Dosis rekomendasi


Harian 3 kali per minggu
Dosis (mg/ Maksimum Dosis (mg/ Maksimum
kgBB) (mg) kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 600 10 (8-12) 600
(8-12)
Pirazinamid (Z) 25 35 (30-40)
(20-30)
Etambutol (E) 15 30 (25-35)
(15-20)
Streptomisin (S)* 15 15
(12-18) (12-18)

Dosis OAT Resistan Obat


Dosis OAT Resistan Obat ditetapkan oleh Tim Ahli Klinis ( TAK) di fasyankes rujukan atau oleh
dokter yang sudah dilatih di fasyankes MTPTRO; penetapan dosis berdasarkan kelompok berat
badan pasien.

Tabel 04. Dosis OAT RO Pada Paduan Jangka Pendek Berdasarkan Berat Badan
Dosis berdasarkan kelompok berat badan
Nama Obat
<33 kg 33 – 50 kg >50 – 70 kg >70 kg
Kanamisin* 0,5 g 0,75 g 0,75 g 1g
Moxifloxacin 400 mg 600 mg 800 mg 800 mg
Clofazimin 50 mg# 100 mg 100 mg 100 mg
Etambutol 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg
Pirazinamid 750 mg 1500 mg 2000 mg 2000 mg
**450 **600
IsoniazidDT 300 mg 600 mg 600 mg
mg mg
Etionamid 500 mg 500 mg 750 mg 1000 mg
Protionamid 500 mg 500 mg 750 mg 1000 mg

*) Kanamisin diberikan maksimum 0,75 g untuk pasien usia >59 tahun. Jika kanamisin
tidak bisa diberikan, maka dapat diganti dengan kapreomisin dengan dosis yang sama.
- 12 -

**) Khusus untuk INH, pasien dengan BB 33-40 kg diberikan 450 mg; >40 kg diberikan
600 mg.
#)
Karena ketersediaan obat Clofazimin saat ini, untuk pasien dengan berat badan <33
kg, Clofazimin 100mg diberikan dua hari sekali.

Tabel dosis OAT RO Pada Paduan Individual

Dosis Dosis untuk kelompok berat badan (BB)


OAT
(per hari) 30–33 kg 36–45 kg 46–55 kg 56–70 kg >70 kg
Levofloksasin
750–1000
(dosis 750 mg 750 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
mg
standar)
Levofloksasin
1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Moksifloksasin 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
625–750 875–1000
Kanamisin 15-20 mg/kg 500 mg 1000 mg 1000 mg
mg mg
600–750 750–800
Kapreomisin 15-20 mg/kg 500 mg 1000 mg 1000 mg
mg mg
Etionamid 500–750 mg 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
Protionamid 500–750 mg 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
Linezolid 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg
Clofazimin 200–300 mg 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300 mg
Sikloserin 500–750 mg 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
Pirazinamid 20–30 mg/kg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg
Etambutol 15–25 mg/kg 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
10 mg/kg,
Isonizid (dosis
maks 600 300 mg 400 mg 500 mg 600 mg 600 mg
tinggi)
mg
400 mg satu (1) kali per hari selama 2 minggu, dilanjutkan 200 mg tiga kali
Bedaquiline
seminggu
Delamanid 100 mg dua (2) kali per hari (total dosis harian = 200 mg)
PAS 8g 8g 8g 8g 8g 8g
- 13 -

4. Tahapan dan Lama Pengobatan


a. Pengobatan TBC harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
 Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
 Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih
ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh
dan mencegah terjadinya kekambuhan
b. Lama pengobatan pasien TBC tergantung kriteria pasien TBC dan dijelaskan di
bagian tatalaksana pengobatan TBC

5. Persiapan Sebelum Pengobatan


Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TBC meliputi beberapa hal yaitu:
 Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti status HIV,
diabetes mellitus, hepatitis, dll.
 Penimbangan berat badan
 Identifikasi kontak erat/serumah
 Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan.
 Penetapan PMO
 Pemeriksaan adanya penyakit komorbid (HIV, DM)
 Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah jika diperlukan, untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
 Pemeriksaan baseline penunjang sesuai dengan indikasi yang diperlukan.

Pokok Bahasan 2
B. Tatalaksana Pengobatan TBC
1. Pengobatan pasien TBC Sensitif Obat (SO)
a. Pengobatan TBC SO Dewasa
- 14 -

Paduan OAT yang digunakan untuk pasien TBC sensitif adalah OAT Lini 1 kategori
1. Mulai tahun 2021 pemberian OAT Kategori 2 tidak direkomendasikan untuk
pengobatan Pasien TBC.

Kategori 1
Paduan OAT Kategori 1 yang digunakan di Indonesia adalah 2(HRZE)/4(HR).
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien TBC paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TBC paru terdiagnosis secara klinis
 Pasien TBC ekstra paru

Berdasarkan SE Dirjen P2P No. 936 tahun 2021 terkait alur diagnosis dan
pengobatan terbaru. Paduan OAT kategori 1 diberikan selama 6 bulan, dibagi
menjadi 2 tahapan yaitu 2 bulan tahap awal dan 4 bulan tahap lanjutan diberikan
dosis harian. Paduan OAT Kategori 1 yang disediakan oleh program adalah dalam
bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). OAT Kat 1 dosis
harian akan mulai dipergunakan secara bertahap.

Dosis rekomendasi OAT KDT dan Kombipak lini pertama kategori 1 untuk dewasa
adalah sebagai berikut.

Tabel 05. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)

Tahap Lanjutan
Tahap intensif
Setiap Hari selama 16
setiap hari selama 56 hari
Berat Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
- 15 -

Tabel 06. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2 HRZE / 4HR

Dosis per hari / kali


Jumlah
Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet
Tahap hari/kali
Pengobata
n Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami Etambuto menelan
n d @ 300 n @ 450 d @ 500 l @ 250
obat
mgr mgr mgr mgr

Awal 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

Pemantauan kemajuan pengobatan TBC SO Dewasa


 Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang spesimen dahak secara mikroskopis
dan penilaian kemajuan klinis pasien
 Pemeriksaan ulang spesimen dahak dilakukan pada semua pasien TBC baik
terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis secara klinis. Pemeriksaan
dilakukan pada akhir tahap awal, bulan ke-5, dan akhir pengobatan.
 Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari pemeriksaan mikroskopis
semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan
ulang dahak pasien TBC yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu
cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
 Pada pasien TBC yang tidak mengalami konversi pemeriksaan mikroskopis
pada akhir tahap awal, maka pasien ditetapkan sebagai terduga TBC RO dan
dilakukan pemeriksaan TCM. Sambil menunggu hasil TCM keluar,
pengobatan TBC dilanjutkan ke tahap lanjutan. Jika hasil TCM Rifampisin
Sensitif, pasien melanjutkan pengobatannya dan pemeriksaan ulang contoh
uji dahak tetap dilakukan pada akhir bulan ke-3 pengobatan, apabila hasilnya
BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TBC RO.
 Jika hasil pemeriksaan ulang spesimen dahak pada akhir bulan ke-5 hasilnya
negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan
dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Apabila
- 16 -

hasil pada bulan ke-5 positif, pasien dinyatakan gagal pengobatan dan
dimasukkan ke dalam kelompok terduga TBC RO.
 Pada pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan, jika hasilnya negatif
pasien dinyatakan sembuh. Sedangkan jika hasilnya positif, pasien dianggap
gagal pengobatan dan dimasukkan ke dalam kelompok terduga TBC RO.
 Cara menilai kemajuan hasil pengobatan pasien TBC ekstra paru adalah
dengan melakukan pemantauan dan penilaian kondisi klinis (ISTC Standar
10). Sebagaimana pada pasien TBC BTA negatif, perbaikan kondisi klinis
merupakan indikator yang bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan, antara
lain peningkatan berat badan pasien, berkurangnya keluhan, dan lain-lain.

Tabel 09. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan


BULAN PENGOBATAN
KATEGORI
Tahap Awal Tahap Lanjutan
PENGOBATAN
1 2 3 4 5 AP
X (X) X X
Apabila apabila apabila
Hasilnya hasilnya hasilnya
Pasien baru BTA BTA BTA
2(HRZE)/4(HR) positif, positif, positif,
dinyatakan dinyatakan dinyatakan
Tidak gagal * gagal*.
konversi*.

Catatan :
X : Pemeriksaan specimen dahak secara mikroskopik pada minggu terakhir
bulan pengobatan untuk memantau hasil pengobatan
17

Tabel 10. Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur


Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan
 Dilakukan pelacakan pasien

 Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat

 Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi
* Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2 bulan
Tindakan pertama Tindakan kedua
 Lacak pasien Apabila hasilnya BTA negatif
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan
 Diskusikan dengan atau pada awal pengobatan
adalah pasien TBC ekstra terpenuhi*
pasien untuk paru
mencari faktor Total dosis Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai
penyebab putus pengobatan seluruh dosis pengobatan terpenuhi
berobat sebelumnya ≤ 5 bulan
Apabila salah satu atau lebih
 Periksa dahak  Kategori 1 :
hasilnya BTA positif Total dosis
dengan 2 sediaan 1. Lakukan pemeriksaan tes cepat
pengobatan
contoh uji dan
sebelumnya ≥ 5 bulan
melanjutkan

-33-
18

pengobatan
sementara
menunggu hasilnya
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh dokter tergantung pada
 Lacak pasien kondisi klinis pasien, apabila:
 Diskusikan dengan 1. sudah ada perbaikan nyata: hentikan pengobatan dan pasien tetap
Apabila hasilnya BTA negatif
pasien untuk diobservasi. Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi klinis, pasien
atau pada awal pengobatan
mencari faktor diminta untuk periksa kembali
adalah pasien TBC ekstra paru
penyebab putus atau
berobat 2. belum ada perbaikan nyata: lanjutkanpengobatan dosis yang tersisa
 Periksa dahak sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
dengan 2 sediaan Kategori 1
contoh uji dan atau Dosis pengobatan sebelumnya <1 Berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari
TCM TBC bln Awal
 Hentikan Apabila salah satu atau lebih Dosis pengobatan sebelumnya
pengobatan hasilnya BTA positifdan tidak > 1 bln Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari
sementara ada bukti resistensi Awal

Apabila salah satu atau lebih Kategori 1


hasilnya BTA positif dan ada Dirujuk ke RS rujukan TBC RO
bukti resistensi
19

Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan
ulang dahak kembali setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP
***Sementara menunggu hasil pemeriksaan TCM pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT.
20

Tabel 11. Hasil Pengobatan Pasien TBC Sensitif Obat


Hasil
Definisi
pengobatan
Pasien TBC paru dengan terkonfirmasi bakteriologis positif pada
awal pengobatan, hasil pemeriksaan secara mikroskopis pada akhir
Sembuh tahap awal bulan ke-5, dan akhir pengobatan menjadi negatif.

Pasien TBC yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap


dimana pada salah satu pemeriksaan specimen dahak mikroskopik
sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada
Pengobatan bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
lengkap

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali


Gagal menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa
pengobatan; atau kapan saja dalam masa pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TBC yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.
Putus Pasien TBC yang tidak memulai pengobatannya atau yang
berobat pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau lebih.
(loss to
follow-up)
Pasien TBC yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk
Tidak dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
dievaluasi kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

20
21

b. Pengobatan pasien TBC SO Anak


Prinsip pengobatan TBC pada anak sama dengan TBC dewasa.

Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)

Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum


obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat
untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat
fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150
mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut. Pada kondisi tertentu Etambutol
dapat ditambahkan bersamaan dengan KDT yang diberikan.
Tabel 4. Dosis OAT KDT pada TBC Anak
Tahap
Tahap Awal (2
Lanjutan (4
Berat Badan bulan)
bulan)
(kg)
RHZ
RH (75/50)
(75/50/150)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 table 3 table
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam
bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang
diberikan disesuaikan dengan berat badan saat itu
3. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan
ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat
dilihat di lampiran
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari

Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

21
22

Tabel 5. Dosis OAT untuk Anak


Dosis
Dosis Harian
Nama Obat maksimal
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600
Pirazinamid
35 (30-40) -
(Z)
Etambutol (E) 20 (15-25) -

Tabel 6. Dosis OAT untuk Anak


Kategori Tahap
Tahap Awal
Diagnostik Lanjutan
TBC Paru BTA
Negative
TBC Kelenjar 2HRZ 4HR
Efusi Pleura
TBC
TBC Paru BTA
positif
TBC paru
dengan
kerusakan luas
2HRZE 4HR
TBC ekstraparu
(selain TBC
Meningitis dan
TBC
Tulang/Sendi)
TBC Tulag/Sendi
TBC Millier 2HRZE 10HR
TBC Meningitis

• Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi :
a. TBC meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TBC kelenjar (endobronkhial TBC)
c. Perikarditis TBC
d. TBC milier dengan gangguan napas yang berat,
e. Efusi pleura TBC
f. TBC abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari,
sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60
mg/hari selama 4 minggu. Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2
minggu pemberian kecuali pada TBC meningitis pemberian selama 4 minggu
sebelum tappering-off.

22
23

• Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama
pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan
anti retroviral therapy (ART) Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari)
direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.

• Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TBC akan mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TBC. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak
dengan TBC. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak
dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti
edema atau muscle wasting.

Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan.


Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak
stabil dan TBC dapat di atasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih
dalam masa menyusu.

Pemantauan dan Hasil Evaluasi Pengobatan TBC SO Anak

1. Pemantauan pengobatan pasien TBC SO Anak


Pasien TBC anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik
untuk anak. Pasien TBC anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama
tahap awal, dan sekali sebulan pada tahap lanjutan. Pada setiap kunjungan
dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan
adanya efek samping obat.

Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam


menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan berat badan
meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan TBC
tetap dilanjutkan dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk
menilai kemungkinan resistansi obat, komplikasi, komorbiditas, atau adanya
penyakit paru lain.

Pada pasien TBC SO anak terkonfirmasi bakteriologis pada awal


pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan sesuai dengan pemantauan
TBC SO dewasa yaitu dengan melakukan pemeriksaan specimen dahak
ulang pada akhir tahap awal, ke-5 dan AP.

Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga
tidak perlu dilakukan Foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali
pada TBC milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah
pengobatan 2 – 4 minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karena
uji tuberkulin yang positif akan tetap positif.

23
24

Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan. Pemberian OAT


dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks (pada TBC
milier, TBC dengan kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran radiologis
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan
selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan
pengobatan.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TBC merupakan penyebab


kegagalan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TBC resistan obat.
1) Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukkan gejala TBC, ulangi pengobatan dari
awal.
2) Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukkan gejala TBC, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai

2. Hasil akhir pengobatan pasien TBC SO Anak


Penilaian hasil akhir pengobatan pasien TBC anak pada prinsipnya sama
dengan penilaian hasil akhir pengobatan pada pasien TBC dewasa (sembuh,
pengobatan lengkap, gagal, meninggal, putus berobat atau tidak dievaluasi).

Pengobatan ulang TBC pada anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TBC, apabila datang kembali


dengan gejala TBC, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TBC.
Evaluasi dilakukan dengan mencari informasi sumber penularan (kasus
indeks) kemudian dapat dilakukan pemeriksaan spesimen dahak dengan
TCM atau sistem skoring bila anak belum bisa berdahak. Evaluasi dengan
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di Fasilitas Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL).

2. Pengobatan TBC Resistan Obat


a. Prinsip pengobatan TBC resistan obat (TBC RO) antara lain:
• Strategi pengobatan pasien TBC RO adalah memastikan semua pasien
yang sudah terkonfirmasi sebagai TBC RR/ MDR dapat mengakses
pengobatan secara cepat, sesuai standar dan bermutu.
• Paduan obat untuk pasien TBC RO terdiri dari OAT lini pertama dan lini
kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan
hasil uji kepekaan M. Tuberculosis. Keputusan penggantian tersebut
ditetapkan oleh tim ahli klinis TBC RO.

24
25

• Semua pasien TBC RO perlu menjalani pemeriksaan awal, pemeriksaan


selama pengobatan berlangsung sampai selesai pengobatan, dan
pemeriksaan setelah selesai masa pengobatan.
• Persiapan awal pengobatan meliputi pemeriksaan penunjang yang
bertujuan untuk mengetahui kondisi awal berbagai fungsi organ (ginjal,
hati, jantung), pemeriksaan elekrolit, dan berbagai pemeriksaan
laboratorium lain.
• Pemeriksaan selama pasien dalam masa pengobatan TBC RO bertujuan
untuk memantau perkembangan pengobatan dan efek samping obat.
• Pengobatan TBC RO harus bisa dimulai dalam waktu 7 hari setelah
diagnosis pasien ditegakkan. Pengobatan untuk pasien TBC RO
diberikan dengan rawat jalan (ambulatory) sejak awal dan diawasi setiap
hari secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2020, pengobatan TBC RO di
Indonesia saat ini menggunakan paduan tanpa obat injeksi, yang terbagi
menjadi dua, yaitu paduan pengobatan jangka pendek (9–11 bulan) dan
jangka panjang (18–20 bulan).

b. Pengelompokan Obat TBC Resisten Obat


Progam Penanggulangan TBC Nasional telah melakukan pembaharuan
pengelompokan obat TBC RO sesuai dengan rekomendasi WHO tahun
2018. Penggolongan obat TBC RO ini didasarkan pada studi mendalam
yang dilakukan WHO terkait manfaat dan efek samping dari obat-obat
tersebut. Pengelompokan obat TBC RO yang saat ini digunakan di Indonesia
dapat dilihat pada Tabel berikut

Tabel 7. Pengelompokan Obat TBC RO


Levofloksasin/Moxiflok
Lfx/Mfx
sasin
Grup A Bdq
Bedaquiline
Lzd
Linezolid
Clofazimine Cfz
Grup B Sikloserin atau Cs
Terizidone Trd
Etambutol E
Delamanid Dlm
Pirazinamid Z
Imipenem–silastatin Ipm-Cln
Meropenem Mpm
Grup C
Amikasin atau Amk
Streptomisin S
Etionamid atau Eto
Protionamid Pto
p-aminosalicylic acid PAS

25
26

c. Alur Pengobatan TBC RO

Penjelasan alur:
1. Untuk semua pasien TBC RR, ambil dua (2) contoh uji berkualitas baik,
satu (1) contoh uji untuk pemeriksaan LPA lini kedua dan satu (1) dahak
untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan fenotipik. Hasil LPA lini kedua
akan keluar dalam waktu 7 hari, sedangkan hasil uji kepekaan fenotipik
akan keluar dalam waktu 2–3 bulan.
2. Sebelum memulai pengobatan TBC RO, perlu dilakukan pengkajian
riwayat pasien untuk mengetahui apakah pasien memenuhi kriteria untuk
mendapatkan paduan pengobatan jangka pendek. Kajian yang dilakukan

26
27

ialah berdasarkan anamnesis ataupun hasil pemeriksaan yang meliputi


hal-hal berikut:
− Apakah terdapat resistansi terhadap fluorokuinolon (tanyakan bila pasien
memiliki riwayat mengkonsumsi levofloksasin/moksifloksasin ≥ 1 bulan
atau pernah berobat TBC RO sebelumnya dan memiliki hasil uji kepekaan
OAT)
− Apakah pasien memiliki kontak erat yang merupakan pasien terkonfirmasi
TBC pre-XDR ataupun TBC XDR, yang diobati maupun tidak diobati
− Apakah pasien pernah mendapatkan pengobatan TBC RO dengan
levofloksasin/ moksifloksasin, clofazimin, etionamid atau bedaquiline
selama ≥ 1 bulan
− Apakah penyakit TBC pasien merupakan kasus TBC paru ataupun
ekstraparu berat
− Apakah pasien dalam keadaan hamil atau sedang menyusui
Bila tidak terdapat salah satu atau lebih dari kemungkinan di atas maka
pasien memenuhi kriteria untuk mendapatkan paduan pengobatan jangka
pendek. Bila terdapat salah satu atau lebih kemungkinan di atas, maka
pasien harus diberikan paduan jangka panjang.
a. Jika hasil uji kepekaan sudah tersedia, lakukan evaluasi apakah paduan
pengobatan jangka pendek dapat dilanjutkan atau diperlukan perubahan
paduan pengobatan berdasarkan hasil uji kepekaan. Bila pengobatan
pasien sudah dimulai dengan paduan jangka pendek dan hasil uji
kepekaan menunjukkan adanya resistansi terhadap florokuinolon, maka
status pengobatan pasien ditutup dan dicatat sebagai kasus “Gagal
karena perubahan diagnosis”. Pasien selanjutnya didaftarkan kembali
untuk mendapatkan paduan pengobatan jangka panjang mulai dari awal.
Bila pengobatan pasien sudah dimulai dengan paduan jangka panjang,
maka pengobatan dapat dilanjutkan dengan menyesuaikan komposisi
paduan berdasarkan hasil uji kepekaan.
b. Bila terjadi intoleransi obat pada paduan jangka pendek yang
memerlukan penghentian salah satu obat utama (Bdq, Lfx/ Mfx, Cfz,
Eto, INHDT), maka paduan pengobatan jangka pendek harus dihentikan
dan dicatat sebagai kasus “Gagal pengobatan”. Pasien selanjutnya pindah
ke paduan pengobatan jangka panjang sesuai kondisi berikut:

27
28

• Bila pasien sudah mengalami konversi biakan, maka durasi pengobatan


jangka panjang dapat dilanjutkan dengan menghitung bulan pengobatan
yang sudah dijalani (misalnya pasien sudah berobat 3 bulan dan konversi
pada bulan ke-2, maka lanjutkan pengobatan sampai mencapai durasi
total 18 bulan). Bila pasien belum mengalami konversi biakan, maka
pengobatan dengan paduan jangka panjang harus dimulai dari awal.
Catatan:
a. Hasil LPA ditunggu maksimal 7 hari. Bila >7 hari hasil LPA belum keluar, pengobatan
harus segera dimulai berdasarkan kriteria yang ada di kotak.
b. Resistansi INH dengan mutasi salah satu dari inhA atau katG (tetapi tidak keduanya)
dapat diberikan paduan pengobatan jangka pendek.
c. Yang termasuk kasus TBC paru berat ialah:
1) kerusakan parenkimal luas (lesi sangat lanjut dengan definisi luas lesi
melebihi lesi lanjut sedang, tetapi kavitas ukuran lebih dari 4 cm). Lesi lanjut
sedang didefinisikan sebagai luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak
melebihi luas satu paru, bila ada kavitas ukurannya tidak lebih 4 cm, bila ada
konsolidasi tidak lebih dari 1 lobus; atau
2) terdapat kavitas di kedua lapang paru.
d. Yang termasuk kasus TBC ekstraparu berat ialah TBC meningitis, TBC tulang
(osteoartikular), TBC spondilitis, TBC milier, TBC perikarditis, TBC abdomen. Pasien
dapat dipertimbangkan untuk pindah dari paduan pengobatan jangka panjang ke
paduan jangka pendek bila bukan merupakan kasus TBC RO paru/ekstraparu berat
dan pasien tidak hamil.
a) Pengobatan TBC RO dengan Paduan Jangka Pendek
Pada tahun 2019, WHO mengeluarkan rekomendasi terkait penggunaan
paduan pengobatan TBC resistan obat tanpa injeksi, dimana obat injeksi
kanamisin atau kapreomisin digantikan dengan obat bedaquiline.
Penggunaan obat injeksi Km/Cm diketahui berkaitan dengan hasil
pengobatan yang buruk, sehingga kedua obat injeksi ini tidak lagi dipakai
dalam pengobatan TBC resistan obat.
(1) Kriteria Penetapan Pasien untuk Paduan Pengobatan TBC RO
Jangka Pendek
Pada paduan pengobatan TBC RO jangka pendek, kriteria pasien
TBC RR/ MDR yang bisa mendapatkan paduan ini adalah:
 Tidak resistan terhadap fluorokuinolon
 Tidak ada kontak dengan pasien TBC pre/XDR

28
29

 Tidak pernah mendapat OAT lini kedua selama ≥ 1 bulan


 Tidak ada resistansi atau dugaan tidak efektif terhadap OAT
pada paduan jangka pendek (kecuali resistan INH dengan
mutasi inhA atau katG).
 Tidak sedang hamil atau menyusui
 Bukan kasus TBC paru berat
 Bukan kasus TBC ekstraparu berat
 Pasien TBC RO (paru ataupun ekstraparu) dengan HIV
 Anak usia lebih dari 6 tahun

Pasien TBC RR/MDR yang tidak memenuhi kriteria di atas akan mendapatkan
pengobatan TBC RO dengan paduan jangka panjang.

(2) Komposisi Paduan Pengobatan TBC RO Jangka Pendek


Paduan pengobatan TBC RO jangka pendek tanpa injeksi terdiri dari
7 jenis obat pada tahap awal dan 4 jenis obat pada tahap lanjutan,
dengan komposisi sebagai berikut

Prinsip pemberian paduan pengobatan TBC RO jangka pendek tanpa injeksi


adalah:
● Sebelum pengobatan, direkomendasikan untuk menunggu hasil uji kepekaan
obat terhadap florokuinolon (hasil LPA lini kedua), namun bila hasil LPA tidak
tersedia hingga hari ke-7, pengobatan harus segera dimulai dan pemilihan
paduan pengobatan didasarkan pada hasil anamnesis dan riwayat pengobatan
TBC/TBC RO sebelumnya .
● Durasi total pengobatan adalah 9–11 bulan, dengan tahap awal selama 4
bulan (bila terjadi konversi BTA pada atau sebelum bulan ke-4) dan tahap

29
30

lanjutan selama 5 bulan. Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA atau biakan
awal negatif dapat diberikan tahap awal selama 4 bulan. Kondisi klinis dan
radiologis harus dipantau untuk memastikan terjadi perbaikan.
● Bila belum terjadi konversi BTA pada bulan ke-4, tahap awal pengobatan
dapat diperpanjang sampai bulan ke-5 atau bulan ke-6 (bergantung pada waktu
konversi BTA). Pemeriksaan LPA lini kedua dan uji kepekaan obat harus diulang
bila hasil pemeriksaan BTA pada bulan ke-4 masih positif

● Pada paduan jangka pendek, bedaquiline tetap diberikan selama 6 bulan


tanpa memperhatikan durasi tahap awal pengobatan.
● Bila tidak terjadi konversi BTA pada bulan ke-6, pengobatan paduan jangka
pendek harus dihentikan dan hasil pengobatan pasien dicatat sebagai “Gagal
pengobatan”. Pasien didaftarkan kembali atau dirujuk untuk mendapatkan
paduan pengobatan TBC RO jangka panjang.
● Semua obat diminum satu kali sehari, 7 hari dalam seminggu (setiap hari),
kecuali bedaquiline yang diminum setiap hari pada 2 minggu pertama dan 3x
seminggu pada 22 minggu berikutnya (total Bdq diminum selama 24 minggu).
● Komposisi paduan pengobatan jangka pendek merupakan paduan standar
yang tidak dapat dimodifikasi. Namun pada kondisi tertentu, seperti terjadinya
efek samping, etionamid dapat diganti dengan protionamid dan levofloksasin
diganti dengan moksifloksasin. Penggunaan moksifloksasin dalam paduan
jangka pendek harus dengan pengawasan efek samping obat yang ketat karena
penggunaan moksifloksasin bersamaan dengan bedaquiline dan clofazimin dapat
meningkatkan risiko gangguan irama jantung (pemanjangan interval QT).
● Paduan pengobatan jangka pendek tanpa injeksi tidak bisa diberikan bila
hasil LPA lini satu menunjukkan adanya mutasi pada gen inhA dan katG secara
bersamaan yang menunjukkan adanya resistansi terhadap INH dosis tinggi dan
etionamid/protionamid.
● Vitamin B6 (piridoxin) dapat diberikan untuk pasien dengan paduan jangka
pendek.
● Semua obat harus diberikan di bawah pengawasan minum obat yang ketat
selama periode pengobatan.

30
31

Durasi pengobatan TBC RO dengan paduan jangka pendek dan jenis obat pada
tiap fase pengobatan dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 8. Durasi pemberian obat pada paduan pengobatan TBC RO jangka


pendek

*) Bedaquiline diberikan dengan durasi tetap selama 6 bulan, tanpa


memperhatikan durasi tahap awal pengobatan (sehingga meskipun tahap awal
pengobatan hanya 4 atau 5 bulan, Bdq tetap diberikan selama 6 bulan).

Obat TBC RO diberikan sesuai dengan dosis berdasarkan kelompok berat


badan pasien. Pada Tabel di bawah dapat dilihat dosis OAT berdasarkan berat
badan untuk paduan pengobatan TBC RO jangka pendek.

Tabel 9. Dosis OAT berdasarkan berat badan untuk paduan pengobatan TBC
RO jangka pendek

Kelompok berat badan (≥ 15


tahun)
Dosis >
Obat 30– 36– 46– 56– 7
Nama Kemas
Haria 35 45 55 70 0
Obat an
n kg kg kg kg k
g

31
32

4 tablet pada 2 minggu


pertama, 2 tablet
Bedaquilin 100 mg
- Senin/Rabu/Jumat selama 22
e* tab
minggu berikutnya
250 mg
3 3 4 4 4
tab
Levofloks
- 500 mg
asin 1,5 1,5 2 2 2
tab
Dosis 400 mg 1,
1 1 1,5 1,5
standar tab 5
Moksifloks 1 1,5
asin Dosis 400 mg atau 1,5 atau 2 2
tinggi tab
1,5 2
50 mg
2 2 2 2 2
cap
Clofazimin
- 100 mg
e 1 1 1 1 1
cap

Ethambut 15–25 400 mg


2 2 3 3 3
ol mg/kg tab
400 mg
3 4 4 4 5
tab
Pirazinami 20–30
de mg/kg 500 mg
2 3 3 3 4
tab

Ethionami 15–20 250 mg


2 2 3 3 4
d mg/kg tab
10–15
mg/kg
300 mg
INH (dosis 1,5 1,5 2 2 2
tab
tinggi)

*) Bdq ditelan 2 x 2 tablet @100 mg (setiap hari, pagi dan malam) pada 2
minggu pertama, dan 1 x 2 tablet @100 mg (3x seminggu) pada 22 minggu
berikutnya.

32
33

Secara ringkas, skema pemberian paduan pengobatan TBC RO jangka pendek


dapat dilihat pada Gambar berikut

Gambar 5. Skema Pemberian Paduan Pengobatan TBC RO Jangka Pendek

d. Pemantauan Pengobatan TBC RO dengan Paduan Jangka Pendek


Sebelum memulai pengobatan, pasien TBC RO perlu menjalani berbagai
pemeriksaan awal untuk mengetahui kondisi awal pasien. Selama pengobatan
pasien juga wajib menjalani berbagai pemeriksaan rutin untuk mengetahui kemajuan
pengobatan dan memantau efek samping obat yang dapat terjadi. Pemeriksaan
pemantauan yang dilakukan di fasyankes TBC RO setiap bulan, meliputi
pemeriksaan fisik, pemeriksaan mikrobiologi, dan pemeriksaan penunjang
(laboratorium, radiologis, EKG).

Pengumpulan dahak untuk pemeriksaan mikrobiologi dilakukan di fasyankes


pelaksana layanan TBC RO sesuai jadwal. Hasil pemeriksaan dahak diinformasikan
dan dimasukkan ke dalam SITBC dalam waktu paling lambat 3 hari setelah hasil
tersedia. Jenis pemeriksaan awal dan pemantauan dalam pengobatan TBC RO
dapat dilihat pada Tabel berikut.

33
34

Tabel 10. Pemeriksaan awal dan selama pengobatan TBC RO (jangka pendek)
Setiap 6 bulan
Seti Akhir
Jenis Pemeriksaan Aw pasca
ap Pengobata
al pengobatanh
Bula n
n
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik V V V V
Konseling dan
evaluasi kondisi V V V V
psikososial
Berat badan (IMT) V V V V
Skrining neuropati V V V
perifer
Skrining fungsi V V V
penglihatan a
Skrining psikiatri b V
Pemantauan efek V V
samping obat
Konsultasi hasil V V
pengobatan
Pemeriksaan Mikrobiologi
BTA sputum c V V V V
Keterangan tabel:
a) Tes penglihatan yang dilakukan meliputi tes buta warna dan lapang pandang
sederhana
b) Skrining psikiatri dapat dilakukan sesuai dengan fasilitas yang tersedia (dengan
menggunakan MINI ICD-10, SCID 2, dsb).
c) Pemeriksaan BTA dan biakan dilakukan setiap bulan dengan mengumpulkan 1
(satu) dahak pagi. Pada bulan ke-4, ke-5, ke-6 dan akhir pengobatan dilakukan
pemeriksaan BTA dari dua (2) dahak pagi berurutan. Pemeriksaan BTA dapat
dilakukan di rumah sakit TBC RO atau laboratorium biakan. Sisa dahak yang sudah
diperiksa BTA dapat dikirimkan ke laboratorium biakan. Pemeriksaan LPA dan uji
kepekaan dilakukan dengan mengumpulkan 2 dahak.
d) Pemeriksaan rontgen dada diulang pada akhir tahap awal dan di akhir pengobatan.
e) Pemeriksaan EKG dilakukan di awal, minggu ke-2 pengobatan, bulan ke-1
pengobatan, lalu rutin setiap bulan dan atau bila terdapat keluhan terkait jantung.

34
35

f) Bila hasil pemeriksaan BTA/biakan masih positif pada bulan ke- 4, lakukan
pemeriksaan LPA lini kedua/uji kepekaan ulang untuk mengetahui jika terdapat
tambahan resistansi obat (acquired resistance). Jika laboratorium biakan juga
merupakan laboratorium LPA/uji kepekaan, pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan isolat yang tumbuh. Jika laboratorium biakan bukan merupakan
laboratorium LPA/uji kepekaan, dapat dilakukan pengambilan dahak baru atau
pengiriman isolat ke laboratorium LPA/uji kepekaan.
g) Pemeriksaan dilakukan di awal dan dapat diulang bila ada indikasi.
h) Pemantauan pasca pengobatan dilakukan setiap 6 bulan selama 2 tahun, dan dapat
dilakukan kapan saja bila muncul gejala TBC.

e. Pengobatan TBC RO Indiviual


Pengobatan TBC RO dengan paduan jangka panjang (18–24 bulan) diberikan pada
pasien yang tidak bisa mendapatkan paduan pengobatan jangka pendek. Berbeda
dengan paduan jangka pendek, paduan pengobatan TBC RO jangka panjang dapat
dimodifikasi sesuai kondisi pasien (individualized) –sehingga disebut juga sebagai
paduan individual– untuk dapat meningkatkan efektivitas dan keamanan dari paduan
ini dalam mengobati pasien TBC RO.
1. Kriteria Penetapan Pasien untuk Paduan Pengobatan TBC RO Jangka
Panjang
Kriteria pasien TBC RO yang dapat diberikan paduan pengobatan jangka
panjang adalah sebagai berikut:
 Pasien TBC RR/ MDR dengan resistansi terhadap florokuinolon (TBC
pre-XDR)
 Pasien TBC XDR
 Pasien gagal pengobatan jangka pendek sebelumnya
 Pasien TBC RO yang pernah mendapatkan OAT lini kedua selama ≥
1 bulan
 Pasien TBC RR/ MDR yang terbukti atau diduga resistan terhadap
Bedaquiline, Clofazimine atau Linezolid
 Pasien TBC MDR dengan hasil LPA terdapat mutasi pada inhA dan
katG
 Pasien TBC RR/MDR paru dengan lesi luas, kavitas di kedua lapang
paru

35
36

 Pasien TBC RR/MDR ekstra paru berat atau dengan komplikasi (yang
harus diobati jangka panjang), seperti TBC meningitis, TBC tulang,
TBC spondilitis, TBC milier, TBC perikarditis, TBC abdomen
 Pasien TBC RO dengan kondisi klinis tertentu, misalnya alergi berat /
intoleran terhadap obat-obatan pada paduan jangka pendek
 Ibu hamil, menyusui
Komposisi Paduan Pengobatan Jangka Panjang
Paduan pengobatan TBC RO jangka panjang disesuaikan dengan pola resistansi
dan kondisi klinis pasien. Adapun langkah penyusunan paduan jangka panjang
berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 11. Langkah penyusunan paduan pengobatan TBC RO jangka panjang


Kelompok Obat Nama Obat

Levofloxacin (Lfx) atau Moxifloxacin


Grup A (Mfx)
Pilih semua (tiga) obat Bedaquiline (Bdq)
Linezolid (Lzd)
Grup B Clofazimine (Cfz)
Pilih semua (dua) obat Sikloserin (Cs)
Etambutol (E)
Grup C Delamanid (Dlm)
Apabila jumlah obat dari grup
A + B belum mencukupi 5 Pirazinamid (Z)
jenis obat, maka tambahkan Amikasin (Am) atau Streptomisin (S)
1 atau lebih obat dari grup C Etionamid (Eto) atau Protionamid (Pto)
untuk
P-asam aminosalisilat (PAS)
melengkapi paduan
pengobatan
Prinsip pemberian paduan jangka panjang tanpa injeksi ialah:
 Pengobatan dimulai dengan lima obat TBC yang diperkirakan efektif dan
terdapat setidaknya tiga obat setelah penggunaan bedaquiline dihentikan.
 Paduan pengobatan yang ideal terdiri dari tiga obat Grup A dan dua obat
Grup B.
 Bila dari Grup A dan Grup B tidak memenuhi lima (5) obat maka diambilkan
obat dari grup C untuk melengkapi jumlah obat dalam paduan.
 Setelah pemberian bedaquiline dihentikan (setelah 6 bulan), paduan
pengobatan harus terdiri dari minimal tiga (3) obat.
 Obat pada Grup C diurutkan berdasarkan rekomendasi penggunaan (urutan
atas yang paling direkomendasikan).

36
37

 Pada pengobatan jangka panjang, obat injeksi amikasin atau steptomisin


dapat diberikan hanya bila pilihan obat oral di grup C tidak mencukupi
komposisi paduan. amikasin diberikan hanya bila masih terbukti sensitif, serta
terdapat mekanisme pemantauan efek samping obat yang adekuat
(audiometri berkala).
 Jika amikasin tidak tersedia, streptomisin dapat menggantikan amikasin (bila
streptomisin juga terbukti masih sensitif).
 Etionamid/protionamid dan PAS dapat ditambahkan dalam paduan
pengobatan bila bedaquiline, linezolid, clofazimine atau delamanid tidak
dapat digunakan dan tidak ada opsi lain yang lebih baik untuk menyusun
paduan pengobatan jangka panjang.
 Vitamin B6 (piridoxin) dapat diberikan bila pasien mendapatkan obat linezolid
ataupun sikloserin.

Contoh paduan pengobatan TBC RO jangka panjang tanpa injeksi yang dapat diberikan:

Paduan pengobatan TBC RO jangka panjang harus menyesuaikan dengan


riwayat pengobatan dan kondisi klinis pasien (termasuk hasil uji kepekaan OAT
lini kedua yang tersedia, riwayat intoleransi terhadap penyakit, dan adanya
penyakit komorbid yang dapat menyebabkan interaksi OAT dengan obat lain
yang juga dikonsumsi). Pada Tabel berikut dapat dilihat beberapa contoh
paduan pengobatan TBC RO jangka panjang yang disesuaikan dengan kondisi
pasien dan langkah penyusunan paduan yang sesuai dengan rekomendasi WHO
terbaru (2020).

Tabel 12. Contoh Paduan Pengobatan TBC RO Jangka Panjang berdasarkan


Kondisi Pasien

Jumlah Jumlah obat yang Contoh paduan


obat yang DAPAT pengobatan jangka
Kondisi atau pola KONTRA- DITAMBAHKAN panjang yang dapat
No. resistansi pasien INDIKASI Grup A Grup B Grup C diberikan

Pasien TBC RR/ 6 Bdq – Lfx – Lzd –


MDR yang tidak Tidak Cfz
1. bisa STR Tidak ada 3 2
perlu – Cs / 14 Lfx – Lzd –

37
38

Cfz – Cs

20 Lfx atau Mfx – Lzd


Resistan / 1 obat – Cfz – Cs – E (atau
2. kontraindikasi Bdq Grup A 2 2 1 obat lain dari Grup C)
(Bdq)
6 Bdq – Lzd – Cfz –
Cs
Resistan FQ (TBC
pre-XDR) atau 1 obat –E / 14 Lzd – Cfz – Cs
3. kontraindikasi FQ Grup A 2 2 1
(FQ) –Z (atau obat lain dari
Grup C)
6 Bdq – Lfx – Cfz – Cs

1 obat –E / 14 Lfx – Cfz – Cs


Resistan /
4. Grup A 2 2 1 –Z (atau obat lain dari
kontraindikasi Lzd
(Lzd) Grup C)
20 Lzd – Cfz – Cs –
Resistan /
Dlm (6 bulan) – E
kontraindikasi Bdq 2 obat
5. 1 2 2 (atau obat lain dari
dan FQ Grup A Grup C)
20 Lfx atau Mfx – Cfz
Resistan /
– Cs – Dlm (6 bulan)
kontraindikasi Bdq 2 obat
6. dan Lzd 1 2 2 –Z (atau obat lain dari
Grup A
Grup C)
6 Bdq – Cfz – Cs – E
Resistan /
–Z / 14 Cfz – Cs – E
kontraindikasi FQ 2 obat
7. dan Lzd 1 2 2 –Z (atau obat lain dari
Grup A
Grup C)

Jumlah obat Jumlah obat yang Contoh paduan


yang DAPAT pengobatan jangka
Kondisi atau
KONTRA- DITAMBAHKAN panjang yang dapat
pola resistansi
No. pasien INDIKASI Grup A Grup B Grup C diberikan

2 obat Grup 20 Lzd – Cs – Dlm – Z


A,
Pasien TBC RR/ – E – PAS
MDR yang gagal 1 obat Grup atau kombinasi obat
8. B 1 1 ≥3
pengobatan Grup C lain sesuai

38
39

STR kondisi pasien

6 Bdq – Lfx – Lzd –


Resistan / Cfz atau Cs – Z /
1 obat Grup
intoleran
B (Cfz atau 14 Lfx – Lzd – Cfz
9. terhadap Cfz 3 1 1
Cs) atau
atau Cs
Cs – Z

Resistan / 6 Bdq – Lfx – Lzd –


intoleran Semua (2) Dlm – Eto / 14 Lfx –
terhadap Cfz obat Grup B Lzd
10. 3 0 2
dan Cs – Eto

Resistan / 1 obat Grup 6 Lfx atau Mfx – Lzd –


kontraindikasi A, Cs – Dlm – E /
Bdq (A) dan Cfz 1 obat Grup 14 Lfx atau Mfx – Lzd
11. 2 1 2
(B) B – Cs – E

Resistan / 1 obat Grup


A, 6 Bdq – Lzd – Cfz –
kontraindikasi
Eto – Z / 14 Lzd – Cfz
FQ 1 obat Grup
12. 2 1 2
– Eto – Z
(A) dan Cs (B) B
6 Lfx atau Mfx – Lzd –
Resistan / 1 obat Grup
Dlm – Z – Eto /
kontraindikasi A,
Bdq (A) dan Cfz 2 obat Grup 14 Lfx atau Mfx – Lzd
13. 2 0 ≥3 –
dan Cs B
Z – Eto

Resistan / 1 obat Grup 6 Bdq – Lfx atau Mfx


kontraindikasi A,
– Dlm – Z – E – Eto/
Lzd (A) dan Cfz 2 obat Grup
14. 2 0 ≥3 14 Lfx atau Mfx – Z –
dan Cs B E – Eto

Catatan:
 Contoh paduan yang diberikan pada tabel di atas belum mencakup
semua opsi regimen.
 Pemilihan obat Grup C pada paduan disesuaikan kondisi pasien dengan
mempertimbangkan urutan efektivitas obat.

39
40

 Lfx lebih dianjurkan daripada Mfx untuk meminimalkan terjadinya efek


samping pemanjangan interval QT.
 Pada pemberian Bdq dapat ditambahkan Z karena hasil studi
menunjukkan kedua obat tersebut dapat bekerja secara sinergis.
 Dosis linezolid dapat diturunkan menjadi 300 mg per hari bila terjadi
toksisitas. Bila terjadi KTD serius yang memerlukan penghentian obat,
maka Lzd dapat diganti dengan obat lain.
 Pemberian Bdq dan Dlm secara bersamaan aman untuk dilakukan, kedua
obat diberikan hanya selama 6 bulan

Durasi pengobatan TBC RO jangka panjang ialah 18 bulan dan 16 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
 Jika konversi biakan terjadi pada bulan ke-1 atau 2, durasi total
pengobatan jangka panjang ialah 18 bulan.
 Jika konversi biakan terjadi pada bulan ke-3 atau lebih, maka durasi
pengobatan pasien ditambahkan 16 bulan setelah konversi (n+16 bulan).
 Bila pasien tidak mengalami konversi biakan pada bulan ke-8
pengobatan, maka pasien dinyatakan “Gagal pengobatan”. Pasien harus
didaftarkan ulang dan memulai pengobatan jangka panjang dari awal
dengan komposisi obat sesuai dengan hasil uji kepekaan terbaru.
Cara perhitungan durasi total pengobatan TBC RO jangka panjang berdasarkan waktu
konversi biakan dahak dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 13. Durasi pengobatan TBC RO jangka Panjang

Waktu konversi
Perhitungan durasi Durasi total pengobatan TBC
biakan (Bulan ke-
pengobatan RO jangka panjang
)
1 N/A 18 bulan
2 2 + 16 bulan 18 bulan
3–7 n + 16 bulan 19 – 23 bulan
8 8 + 16 bulan 24 bulan

40
41

Pemantauan Pengobatan TBC RO Individual

Pemeriksaan awal dan pemantauan dalam pengobatan TBC RO dengan paduan jangka
panjang pada umumnya sama dengan paduan jangka pendek, dengan penambahan untuk
pemeriksaan albumin (untuk pasien yang mendapatkan obat delamanid) dan pemeriksaan
audiometri untuk pasien yang mendapatkan obat injeksi. Daftar pemeriksaan yang
diperlukan untuk paduan TBC RO jangka panjang dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 14. Pemeriksaan awal dan selama pengobatan TBC RO (Jangka panjang)

Setiap Akhir Pasca


Jenis Pemeriksaan Awal Bulan Pengobatan Pengobatang

Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik V V V V
Konseling dan evaluasi
V V V V
kondisi psikososial
Berat badan (IMT) V V V V
Skrining neuropati
V V V
perifer
Skrining fungsi
V V V
penglihatan a
Skrining psikiatri V
Pemantauan efek
V V
samping obat

Konsultasi hasil
V V
pengobatan

Pemeriksaan Bakteriologis

BTA sputum b V V V V

Kultur sputum V V V V

Diulang
bila
LPA lini kedua V BTA/kultur
bulan ke-
6h positif

Uji kepekaan fenotipik V Diulang


bila

41
42

BTA/kultur
bulan ke-
6h positif

Pemeriksaan Laboratorium, Radiologi dan EKG

Rontgen dada c V V V

EKG d V V V

Darah perifer lengkap


V V V
(DPL) e

Audiometri f V

Fungsi hati:
SGOT, SGPT, Bilirubin
V V V
total

Elektrolit: Na, K, Ca, Mg V V

Ureum, kreatinin serum V V

Albumin i V V

Asam urat V V

Gula darah puasa dan 2


V
jam PP

TSH/TSHs V

Tes kehamilan V

Tes HIV V

Keterangan tabel:
a) Tes penglihatan yang dilakukan meliputi tes buta warna dan lapang pandang
sederhana
b) Pemeriksaan BTA dilakukan setiap bulan dengan mengumpulkan 1 (satu) dahak
pagi. Pada bulan ke-6, ke-7, ke-8 dan akhir pengobatan dilakukan pemeriksaan BTA
dari dua (2) dahak pagi berurutan.
c) Pemeriksaan rontgen dada diulang pada bulan ke-6 pengobatan
d) Pemeriksaan EKG dilakukan di awal, minggu ke-2 pengobatan, bulan ke-1
pengobatan, lalu rutin setiap bulan dan atau bila terdapat keluhan terkait jantung

42
43

e) Pemeriksaan DPL harus dipantau secara ketat untuk pasien yang mendapatkan obat
linezolid
f) Pemeriksaan audiometri harus dilakukan pada pasien yang mendapatkan obat
injeksi amikasin ataupun streptomisin
g) Pemantauan pasca pengobatan dilakukan setiap 6 bulan selama 2 tahun
h) Bila hasil pemeriksaan BTA/biakan masih positif pada bulan ke-6, lakukan
pemeriksaan LPA lini kedua/uji kepekaan ulang untuk mengetahui jika terdapat
tambahan resistansi obat (acquired resistance). Jika laboratorium biakan juga
merupakan laboratorium LPA/uji kepekaan, pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan isolat yang tumbuh. Jika laboratorium biakan bukan merupakan
laboratorium LPA/ uji kepekaan, dapat dilakukan pengambilan dahak baru atau
pengiriman isolat ke laboratorium LPA/uji kepekaan.
i) Hanya dilakukan untuk pasien yang mendapatkan obat delamanid

Dosis dan Sediaan Obat TBC RO


Dosis obat berdasarkan pengelompokan berat badan untuk paduan pengobatan TBC
RO jangka panjang pada pasien berusia ≥15 tahun dan dewasa dapat dilihat pada
Tabel berikut.

Tabel 15. Dosis OAT untuk paduan pengobatan TBC RO jangka panjang (≥ 15
tahun)
Kelompok berat badan
(≥ 15 tahun)
Dosis
Nama Kema-
Grup Obat 30–35 36–45 46–55 56–70 >70
Obat san
Harian
kg kg kg kg kg
Levoflok- 250 mg
- 3 3 4 4 4
sasin tab
500 mg
1,5 1,5 2 2 2
tab
Dosis 400 mg
1 1 1,5 1,5 1,5
standar tab
Moksiflok- 1 atau 1,5
Dosis 400 mg
sasin 1,5 2 2
tinggi tab 1,5 atau 2
A Be- 100 mg 4 tablet pada 2 minggu pertama, 2
daquiline tab tablet Senin/Rabu/Jumat selama 22

43
44

- minggu berikutnya

600 mg (<15 (<15


Linezolid - 1 1 1
tab th) th)

50 mg cap 2 2 2 2 2
Clofazi- 100 mg
- 1 1 1 1 1
mine cap
10–15 250 mg
B Sikloserin 2 2 3 3 3
mg/kg cap

Ethambu- 15–25 400 mg


2 2 3 3 3
tol mg/kg tab

Delamanid - 50 mg tab 2 x 2 tab per hari

400 mg
Pirazin- 20–30 3 4 4 4 5
tab
amide mg/kg
500 mg
2 3 3 3 4
tab

500 mg/2
15–20 ml (am-
C Amikasin pul) 2,5 ml 3 ml 3–4 ml 4 ml 4 ml
mg/kg

Streptomi- 12–18 1 g ser- Dihitung sesuai dengan zat pelarut


sin mg/kg buk (vial) yang digunakan

Ethion- 15–20 250 mg


2 2 3 3 4
amid mg/kg tab

8–12
PAS
g/hari
Sodium 1-1,5
dalam 2–3
salt (4g)
PAS dosis 1 bd 1 bd 1 bd 1 bd Bd
sachet
terbagi
4–6 mg/ kg
Obat 300 mg
INH dosis
lain tab 2/3 1 1 1 1
standar

44
45

10–15
300 mg
mg/kg do- tab 1,5 1,5 2 2 2
sis tinggi

Tahapan Inisiasi Pengobatan TBC Resistan Obat


Setelah diagnosis TBC RO pasien ditegakkan, maka petugas di fasyankes
rujukan TBC RO atau fasyankes TBC RO melakukan langkah-langkah berikut:
1. Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait penyakit dan
pengobatan TBC RO, serta meminta pasien memberikan persetujuan
pengobatan (informed consent)
2. Menetapkan paduan pengobatan TBC RO yang sesuai dengan kondisi
pasien.
3. Melakukan persiapan awal sebelum memulai pengobatan.
Persiapan awal yang perlu dilakukan pada semua pasien TBC RO yang setuju
untuk mulai pengobatan adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya alergi pada
OAT tertentu, penyakit komorbid, dan riwayat pengobatan TBC/TBC RO
sebelumnya
b. Pemeriksaan klinis, yang meliputi pemeriksaan fisik, tanda vital,
penimbangan berat badan, tinggi badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran
dan skrining psikiatri sesuai dengan ketersediaan fasilitas. Jika ada keluhan atau
kelainan pada hasil pemeriksaan, dokter dapat melakukan rujukan untuk
pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis terkait.
c. Pemeriksaan dahak untuk LPA lini dua dan uji kepekaan fenotipik, ambil dua
(2) pot dahak.
d. Pemeriksaan penunjang awal sebelum pengobatan meliputi:
o Rontgen dada
o Pemeriksaan EKG
o Darah perifer lengkap
o Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin total
o Elektrolit: natrium (Na), kalium (K), kalsium
(Ca),magnesium (Mg)
o Fungsi ginjal: ureum dan kreatinin serum
o Gula darah puasa dan 2 jam PP
o Asam urat
o Albumin serum

45
46

o Pemeriksaan pendengaran (dilakukan bila pasien mendapatkan paduan


pengobatan dengan obat injeksi, berdasarkan ketersediaan sarana dan tenaga di
fasyankes TBC RO)
o Pemeriksaan pendengaran sederhana: garpu tala, tes bisik
o Pemeriksanaan pendengaran dengan audiometri
o Thyroid stimulating hormon (TSH). Jika fasilitas pemeriksaan tidak tersedia,
maka pengobatan dapat dilakukan sambil memonitor efek samping.
o Memastikan data pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan, baik pada formulir pencatatan manual maupun
SITBC.
e. Kunjungan rumah oleh petugas fasyankes wilayah tempat tinggal pasien atau
organisasi kemasyarakatan terkait untuk memastikan alamat yang jelas dan
kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan TBC RO pasien.

4. Inisiasi Pengobatan TBC Resistan Obat


Pengobatan TBC resistan obat dapat dimulai tanpa menunggu semua hasil
pemeriksaan penunjang awal tersedia. Hasil pemeriksaan penunjang yang harus
ada untuk memulai pengobatan pasien ialah rontgen dada, EKG, pemeriksaan
DPL, dan tes kehamilan. Hasil pemeriksaan LPA lini kedua dapat ditunggu
selama maksimal 7 hari. Selama menunggu memulai pengobatan, pasien perlu
memakai masker, menerapkan etika batuk dan protokol kesehatan yang benar
untuk mencegah penularan TBC pada keluarga.
Tim ahli klinis di fasyankes pelaksana layanan TBC RO akan menetapkan
pasien memulai pengobatan baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Jika
pasien membutuhkan rawat inap dan tidak tersedia sarana rawat inap di
fasyankes pelaksana layanan TBC RO tersebut, maka pasien akan dirujuk ke
fasyankes TBC RO lain di provinsi untuk inisiasi pengobatan. Pasien akan dirujuk
balik ke fasyankes TBC RO asal untuk melanjutkan pengobatan TBC resistan
obatnya bila kondisi pasien sudah memungkinkan berdasarkan keputusan TAK di
fasyankes TBC RO rujukan. Apabila pasien tidak membutuhkan rawat inap di
awal, maka pengobatan dapat dimulai di klinik TBC RO (instalasi rawat jalan).

5. Desentralisasi Pengobatan TBC RO


Setelah pasien memulai pengobatan di fasyankes pelaksana layanan TBC
RO (rumah sakit), pasien yang tidak memiliki komplikasi atau intoleransi
terhadap obat dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes satelit TBC RO

46
47

(puskesmas) yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Proses desentralisasi


pasien TBC RO melibatkan pihak-pihak berikut:
a. Dinas kesehatan setempat, dalam hal ini ialah pengelola program TBC, yang
mengkoordinasikan pelaksanaan rujukan pasien dan menyiapkan pembekalan
singkat terkait manajemen pasien TBC RO untuk fasyankes satelit.
b. Fasyankes pelaksana layanan TBC RO (dokter, perawat TBC RO dan
petugas farmasi) yang akan melakukan serah terima pasien dan logistik terkait
lainnya. Fasyankes pelaksana layanan TBC RO, berkoordinasi dengan dinas
kesehatan setempat, dapat memberikan pembekalan singkat untuk petugas
kesehatan dari fasyankes satelit.
c. Fasyankes satelit TBC RO, yaitu dokter dan perawat/ petugas TBC
puskesmas yang sudah terlatih TBC RO. Jika petugas belum terlatih, maka harus
dilakukan pembekalan singkat yang meliputi manajemen pengobatan pasien
TBC RO dan logistik terkait, serta sistem pencatatan dan pelaporan, sebelum
pasien didesentralisasi.
d. Pendamping pengobatan dari organisasi kemasyarakatan atau kader terlatih
juga dapat membantu proses desentralisasi pasien.
Dalam proses desentralisasi pasien, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
▪ Menetapkan waktu serah terima pasien dan petugas fasyankes satelit yang
akan mendampingi pasien saat serah terima
▪ Yang perlu disiapkan oleh fasyankes pelaksana layanan TBC RO ialah:
− Formulir pengantar melanjutkan pengobatan TBC RO di puskesmas yang
dilengkapi dengan kondisi klinis dan pengobatan TBC RO pasien
− Fotokopi buku TBC01 pasien
− Logistik: OAT untuk triwulan tersebut ditambah stok buffer 1 bulan dan
masker N95 untuk petugas puskesmas
− Lembar serah terima obat TBC RO (2 rangkap)
− Formulir pelaporan KTD serius
− Materi edukasi TBC RO seperti buku saku pasien ataupun leaflet terkait TBC
RO

Petugas fasyankes satelit TBC RO memiliki tanggung jawab sebagai berikut:


▪ Pengawasan menelan obat dan mengisi absensi pengobatan pasien pada
buku TBC01 dan SITBC.
▪ Memastikan keberlangsungan pengobatan TBC RO pasien dan melakukan
pelacakan bila pasien mangkir.

47
48

▪ Melakukan pemantauan efek samping secara aktif dan menatalaksana efek


samping ringan dan sedang, serta merujuk pasien ke fasyankes pelaksana
layanan TBC RO bila mengalami efek samping berat yang tidak dapat ditangani
di fasyankes satelit.
▪ Melakukan pencatatan efek samping dalam formulir MESO harian pada buku
TBC01 dan SITBC, serta melakukan pencatatan dan pelaporan KTD serius
dengan formulir pelaporan KTD serius manual maupun melalui SITBC.
▪ Memastikan pasien TBC RO datang sesuai jadwal untuk pemantauan klinis
dan pemeriksaan laboratorium ke fasyankes pelaksana layanan TBC RO. Saat
datang untuk pemantauan rutin ke rumah sakit, pasien wajib membawa salinan
buku TBC01 yang rutin diisi oleh petugas kesehatan di fasyankes satelit.
▪ Memastikan ketersediaan OAT dan obat tambahan melalui koordinasi
dengan dinas kesehatan setempat dan fasyankes pelaksana layanan TBC RO.
▪ Melakukan pencatatan dan pelaporan pada SITBC sesuai dengan tupoksi
fasyankes satelit TBC RO.
▪ Melakukan konseling dan edukasi secara berkesinambungan kepada pasien
TBC RO dan keluarganya, mengenai kepatuhan minum dan PHBS.
▪ Melakukan investigasi kontak dan pemberian terapi pencegahan TBC untuk
anak usia <5 tahun (sesuai kriteria pemberian TPT).

a. Evaluasi lanjutan setelah pasien menyelesaikan pengobatan TBC RO


Meskipun pasien telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
pemantauan serta evaluasi terhadap pasien tersebut tetap dilakukan. Hal-hal
yang perlu dilakukan pasca menyelesaikan pengobatan TBC RO ialah:
 Rumah sakit layanan TBC RO tempat pasien berobat membuat jadwal
kunjungan untuk evaluasi pasca pengobatan.
 Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun. Namun, bila
timbul gejala dan keluhan TBC seperti batuk, produksi dahak, demam,
penurunan berat badan dan tidak ada nafsu makan, maka pasien segera
datang ke fasyankes pelaksana layanan TBC RO untuk dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
 Nakes memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadwal
kunjungan yang telah ditentukan.
 Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan
fisik (termasuk IMT), pemeriksaan sputum BTA, biakan dan foto toraks.

48
49

 Pemeriksaan dilakukan untuk melihat atau memastikan tidak adanya


kekambuhan.
 Nakes memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti olah raga teratur, tidak merokok,
konsumsi makanan bergizi, istirahat yang cukup dan tidak
mengkonsumsi alkohol.

(3) Pengobatan TBC RO Anak


Prinsip dasar
1) Pengobatan diberikan untuk pasien anak terkonfirmasi bakteriologis
sebagai pasien TBC RO maupun pasien yang terdiagnosis secara klinis.
2) Paduan pengobatan untuk anak sama dengan paduan pengobatan TBC
RO pada dewasa.
3) Inisiasi pengobatan dilakukan di RS Rujukan TBC RO dengan rawat inap
selama 2 minggu atau sesuai dengan indikasi.
4) Dosis untuk anak diberikan secara individual disesuaikan dengan berat
badan dan tata cara pemberian OAT pada anak.
5) Penggunaan kortikosteroid sama dengan pada TBC sensitif obat
6) Berikan dukungan, konseling dan edukasi pada orang tua/pengasuh
anak tentang efek samping obat, lama pengobatan, dan pentingnya
kepatuhan minum obat pada setiap kunjungan
7) Penanggung jawab TAK untuk tatalaksana TBC RO pada anak adalah
dokter ahli anak dengan dibantu oleh dokter ahli anggota TAK yang lain

Jenis dan dosis obat


Jenis dan paduan obat yang dipakai untuk anak dengan TBC RO sama dengan obat
yang dipakai untuk pasien dewasa, akan tetapi dosisnya disesuaikan dengan berat
badan anak.

Tabel 16. Golongan dan dosis obat TBC RO pada anak


GRUP GOLONG OBAT DOSIS KETERANGAN
AN
A Fluorokuin Levofloksasin ▪ Anak usia ≥ 5 th: ▪ Dosis maksimal 750
olon (Lfx) 7,5 – 10 mg
mg/kgBB ▪ Anak usia < 5 tahun
diberikan dua kali
▪ Anak usia <5 th: sehari.
15 – 20 mg/kgBB ▪ Anak usia > 5 tahun

49
50

diberikan sekali
sehari.
Moksifloksasin 7,5 – 10 mg/kg Dosis maksimal 400mg
(Mfx)
Gatifloksasin
(Gfx)*
B Obat Kanamisin (Km) 15– 30mg/kg Dosis maksimal 1000 mg
Injeksi Lini
Amikasin (Am)* 15–30 mg/kg Dosis maksimal 1000 mg
Kedua

Kapreomisin 15-30 mg/kg Dosis maksimal 1000 mg


(Cm)
Streptomisin**
C Obat Etionamide (Eto) 15–20 mg/kg Dosis maksimal 1000 mg
bakteriosta
tik lini
kedua Protionamid(Pto)* 15–20 mg/kg Dosis maksimal 1000 mg

Sikloserin (Cs) 10 – 20 mg/kg Dosis maksimal 1000 mg


Sikloserin dapat
dilarutkan dengan aqua
10 ml

Terizidon (Trd)* 10–20 mg/kg


Clofazimin(Cfz) 3-5 mg/kg Dosis maksimal 200 mg
Linezolid(Lzd) ▪ Anak usia > 10 ▪ Dosis maksimal 600
th: mg
10 mg/kg/dosis ▪ Ditambah Vit. B6
▪ Untuk anak usia < 10
▪ Anak usia <10 th: th, diberikan 2 kali
10 mg/kg/dosis sehari
D1 Obat Lini Isoniazid (H) 15-20 mg/kg Dosis maksimal 600
Pertama dosis tinggi mg/hari
Ethambutol (E) 15 – 25 mg/kg Dosis maksimal 1200
mg/hari
Pirazinamid (Z) 30 – 40 mg/kg Dosis maksimal 2 g/hari

50
51

D2 OAT baru Delamanid > 35 kg: 100 mg 2 Untuk anak berusia > 6
(Dlm)* kali sehari tahun dan berat badan >
20 kg
20–34 kg: 50 mg 2
kali sehari
< 20 kg: konsul
TAK
Bedaquiline 400 mg selama 14 Untuk anak berusia > 12
(Bdq) hari dilanjutkan 200 tahun dan berat badan >
mg 3 kali seminggu 33 kg
selama 22 minggu

D3 OAT Asam para 200 – 300 mg/kg


tambahan aminosalisilat
(PAS)
Imipenem-
silastatin (Ipm)*
Meropenem 20 – 40 mg/kg IV Dosis maksimal 6000 mg
(Mpm)* tiap 8 jam

Amoksilin 80 mg/kg 2x/hari Dosis maksimal 4000


clavulanat (Amx- mg Amx dan 500 mg
Clv)* Clv
Thioasetazon
(T)*

51
52

Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program nasional TBC
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada
kondisi tertentu dan tidak disediakan oleh program nasional TBC

- Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan


fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks.
- Pemeriksaan dilakukan untuk melihat atau memastikan terdapatnya
kekambuhan.
- Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti
olah raga teratur, tidak merokok, konsumsi makanan bergizi, istirahat
dan tidak mengkonsumsi alkohol.

4. Penetapan Pengawas Menelan Obat (PMO)


Untuk menjamin keteraturan pasien TBC selama pengobatan TBC berlangsung
diperlukan seorang PMO. Setiap pasien yang akan memulai pengobatan harus ditentukan
terlebih dahulu satu orang untuk menjadi PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien,
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien,
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela,
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
b. Siapa yang dapat menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
pekarya kesehatan, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan terlatih,
guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya

c. Peran seorang PMO


a. Mengawasi pasien TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan,
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur,
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan,
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TBC yang mempunyai gejala-
gejala mencurigakan TBC untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas kesehatan.

52
53

d. Pengetahuan PMO
Minimal PMO memahami informasi penting tentang TBC untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya antara lain:
a. TBC disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TBC, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap awal dan tahap lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan, supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke faskes.
Pada pengobatan TBC RO pemilihan PMO untuk tahap awal pengobatan adalah
petugas kesehatan baik di dalam atau di luar Fasyankes, mengingat pada fase ini
pasien harus mendapatkan suntikan setiap hari. Sedangkan untuk tahap lanjutan
PMO dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau kader kesehatan yang terlatih
TBC RO.

5. Penatalaksanaan pasien TBC dengan efek samping OAT


Pelaporan
Pelaporan kejadian Efek Samping Obat (ESO) di Indonesia saat ini masih bersifat
volunteri, sejak tahun 2014, Kementerian Kesehatan bersama dangan Badan
Penilaian Obat dan Makanan (BPOM) memperkenalkan sistem Pharmacovigilance
secara Cohort Event Monitoring (CEM) untuk penggunaan OAT baru.
Dalam menindaklanjuti kejadian efek samping OAT, maka Wasor akan memfasilitasi,
sebagai berikut:
 Menginvetarisasi dan memonitor kejadian ESO ke fasyankes (TAK) secara rutin
 Menyusun tindaklanjut sesuai dengan format yang tersedia untuk menangani
kejadian efek samping
 Berkoordinasi dengan TAK untuk memastikan jenis obat penyebab ESO sampai
dengan pemastiannya BPOM Provinsi/Pusat
World Health Organization (WHO) mendefinisikan farmakovigilans sebagai keilmuan
dan aktifitas pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping dan
permasalahan lainnya dalam penggunaan suatu obat. Pemantauan aspek keamanan
obat harus secara terus menerus dilakukan untuk mengevaluasi konsistensi profil
keamanannya. Untuk dapat melakukan evaluasi risiko-manfaat diperlukan sistem

53
54

pemantauan dan pelaporan efek samping yang terstruktur dan terstandar. Sistem ini
telah disederhanakan dan disesuaikan untuk penggunaan rutin.

Program TBC Nasional saat ini telah menggunakan obat TBC yang baru seperti
Bedaquiline, Clofazimine dan linezolid sebagai bagian paduan obat yang akan
digunakan untuk mengobati pasien TBC Pre/XDR.

6. Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT)

a) Kaskade Pelayanan ILTBC

Keterangan: ODHIV (Orang dengan HIV/AIDS); TST


(tuberculin skin test); IGRA (Interferon gamma release
assays); INH (Isoniazid); RIF (Rifampisin); RPT (Rifapentine)
Sumber: Latent TBC Infection: Updated and consolidated
guidelines for programmatic management

b) Algoritma pemeriksaan ILTBC dan pemberian TPT untuk


orang yang berisiko

54
55

a. Jika anak usia < 10 tahun, saat ini ada salah satu
gejala seperti batuk atau demam atau riwayat kontak
dengan orang TBC aktif atau mengalami penurunan
berat badan yang dilaporkan atau terkonfirmasi > 5%
sejak kunjungan terakhir atau kurva pertumbuhan
datar atau berat badan untuk usia <-2 Z-skor. Bayi
usia <1 tahun tanpa gejala dengan HIV hanya diobati
untuk ILTBC jika mereka kontak serumah dengan
orang TBC aktif.
b. Adanya batuk atau demam atau keringat di malam
hari atau batuk darah atau nyeri dada atau sesak
napas atau lemah dan lesu atau penurunan berat
badan (misal pada anak usia <5 tahun tidak terdapat
anoreksia/nafsu makan normal meskipun sudah
diberikan perbaikan gizi tetapi berat badan tetap tidak
naik/gagal tumbuh) Lesu atau anak kurang aktif
bermain, keringan malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai
gejala umum lainnya
c. Termasuk kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif
seperti:
1) Pasien immunokompremais lainnya (pasien
yang menjalani pengobatan kanker, pasien
yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien
yang mendapat kortikosteroid jangka panjang,

55
56

pasien yang sedang persiapan transplantasi


organ, dll) langsung diperiksa dengan TST
atau IGRA (tanpa harus melihat ada tidaknya
gejala TBC)
2) Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP),
petugas kesehatan, sekolah berasrama, barak
militer, pengguna narkoba suntik
d. Kontraindikasi pemberian TPT yaitu adanya hepatitis
akut atau kronis, neuropati perifer (jika menggunakan
isoniazid), konsumsi alkohol biasa atau berat.
Kehamilan atau riwayat TBC sebelumnya bukan
merupakan kontraindikasi
e. Paduan yang dipilih mempertimbangkan usia,
kegawatan (obat rentan atau lainnya), risiko
toksisitas, ketersediaan dan preferensi.
f. Rontgen thorax atau chest X-ray (CXR) dapat
dilakukan diawal sebagai bagian dari penemuan
kasus intensif. Jika gambaran rontgen dada
mendukung TBC (abnormal) maka orang tersebut
terdiagnosis klinis.

c) Pilihan Paduan TPT


Tujuan pemberian TPT adalah untuk mencegah terjadinya
sakit TBC sehingga dapat menurunkan beban TBC. Saat ini
terdapat beberapa pilihan paduan TPT yang
direkomendasikan program penanggulangan tuberkulosis
nasional yaitu:

Pilihan Paduan TPT


No Sasaran
3HP 3HR 6H
Kontak serumah usia < 2
1 √ √
tahun *)
Kontak serumah usia 2 – 4 √
2 √ √
tahun
Kontak serumah usia ≥ 5 √
3 √ √
tahun
4 ODHA usia < 2 tahun *) √ √
5 ODHA usia ≥ 2 tahun **) √ √ √

56
57

6 Kelompok risiko lainnya √ √ √


Keterangan:
*) Bila 3HR belum tersedia maka dapat menggunakan
pilihan paduan TPT 6H, bila 3HR sudah tersedia maka TPT
untuk anak usia <2 tahun menggunakan paduan 3HR
**) Untuk ODHA yang mendapatkan jenis ARV (dapat
melihat pada 4.6 Interaksi Obat) seperti yang memiliki
interaksi dengan rifampisin, kehamilan, ibu menyusui dan
malaria berat merupakan kontraindikasi untuk paduan
berbasis rifampisin seperti 3HP atau 3HR maka alternatif
lain dapat menggunakan paduan 6H

Pokok Bahasan 3
C. Komunikasi Informasi Edukasi (KIE)
Informasi dasar tentang TBC sudah disampaikan kepada pasien pada saat ditetapkan
menjadi terduga TBC. Namun sebaiknya diulangi kembali ketika pasien ditetapkan
menjadi pasien TBC. Hal ini berlaku juga pada pasien TBC RO. Sebelum dan selama
pengobatan TBC pemberian komunikasi motivasi ditujukkan kepada pasien maupun
keluarga pasien.
Semua informasi terkait TBC harus disampaikan pada pasien dengan maksud terjadi
peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap dan perilaku untuk menimbulkan motivasi
pasien untuk menyelesaikan pengobatan menuju kesembuhan. Informasi yang diberikan
secara bertahap kepada pasien TBC, dimulai sejak pertemuan awal, pada setiap
kunjungan mengambil obat, dan sampai pasien menyelesaikan pengobatannya.
1. Komunikasi Motivasi Untuk Pasien TBC
Tahapan dan informasi yang harus disampaikan kepada pasien TBC meliputi :
Pertemuan Awal
Sebelum memberikan informasi kepada pasien tentang TBC, ajukan terlebih dahulu
pertanyaan untuk menjajaki pengetahuan mereka saat ini tentang TBC. Lalu gunakan
alat bantu yang tersedia seperti lembar balik untuk pasien dalam menyampaikan
informasi tentang TBC.
Pesan- pesan yang perlu dikomunikasikan :
 Penyakit TBC
Ulangi pesan yang telah disampaikan pada saat pasien datang sebagai terduga untuk
memperkuat informasi tersebut.

57
58

 TBC dapat disembuhkan


Sampaikan kepada pasien bahwa penyakit TBC dapat disembuhkan secara tuntas
bila ia menjalankan pengobatan dengan teratur dan tidak putus berobat di tengah
jalan.
 Kesediaan pasien menjalankan pengobatan
Sebelum memberikan obat kepada pasien, sampaikan bahwa pengobatan tidak boleh
terputus. Putus berobat akan menyebabkan kuman yang masih tersisa dalam tubuh
menjadi kebal terhadap obat yang saat ini tersedia di Indonesia dan pengobatan
tersebut mahal harganya.
Obat yang saat ini diberikan sangat berkualitas dan disediakan oleh pemerintah.
Untuk itu sebaiknya tanyakan kesungguhan pasien dalam menjalankan pengobatan
TBC.
 Bagaimana mencegah penularan TBC
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
- Menelan obat secara teratur dan tuntas.
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin.
- Membuka jendela atau pintu agar cahaya matahari dan udara segar masuk
kedalam rumah.
- Tidak diperlukan diet khusus, tidak memisahkan alat makan, dan mensterilisasi
alat makan minum atau perabot rumah tangga.
 Kontak Serumah
Semua anak yang berusia dibawah 5 tahun yang tinggal serumah dengan pasien
TBC harus diperiksa, karena usia tersebut sangat rentan terhadap berbagai penyakit.
Anak-anak mungkin membutuhkan pengobatan pencegahan atau rujukan ke dokter.
Anggota keluarga lain yang serumah yang mengalami gejala TBC harus segera
diperiksa.
 Perlunya pengawasan menelan obat
Petugas kesehatan harus menjelaskan pentingnya pengawasan menelan obat bagi
pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh obat dengan diawasi oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk memastikan bahwa pasien menelan seluruh
obat secara benar, teratur, dan sesuai waktu yang ditentukan. Dengan demikian
petugas akan mengetahui apakah pasien mengalami masalah dalam pengobatan
seperti efek samping dan lain-lain. Melalui pengawasan menelan obat, petugas akan

58
59

segera tahu apabila pasien terlewat minum obat, dan segera menyelidiki
penyebabnya.
 Menjelaskan paduan obat
Jelaskan tentang paduan pengobatan meliputi:
Lama waktu pengobatan
Contoh: Jika pasien baru
“Obat TBC diberikan selama 6 bulan. Bapak akan mendapatkan obat selama 6 bulan
karena bapak adalah pasien baru”
- Dosis Obat dan Penyesuaian sesuai Berat Badan
Contoh: “Apabila selama pengobatan ada peningakatan berat badan maka dosis
obat akan disesuaikan.
- Jenis obat dan cara pemberiannya
Contoh: Jika pasien kambuh
“Obat terdiri dari dua jenis, obat telan dan obat suntik. Obat akan diberikan
dalam dua tahap. Tahap awal obat harus diminum setiap hari selama 3 bulan
dan bapak/ibu juga akan disuntik selama dua bulan. Selanjutnya setelah hasil
pemeriksaan dahak negatif maka obat suntik akan dihentikan dan obat minum
akan diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan.“
- Kualitas obat
Contoh:
“Obat yang disediakan pemerintah gratis dan berkualitas, obat ini adalah
kombinasi yang terbaik yang digunakan di seluruh dunia untuk mengobati TBC,
bila bapak/ibu berobat dengan teratur dan tuntas maka akan sembuh.”
- Frekuensi kunjungan mengambil obat.
Contoh:
“Bapak/Ibu harus datang ke Faskes setiap hari selama dua bulan ini untuk
disuntik dan mengambil obat.”
- Kemana pergi untuk mengambil obat
Contoh:
“Bapak/Ibu bisa langsung datang ke ruang TBC jika mengambil obat, bila ada
keluhan bapak/ibu bisa bertemu dengan dokter. Bapak/Ibu dapat mengambil obat
sesuai waktu dan hari yang disepakati dengan petugas”
 Pemeriksaan lanjutan pada akhir tahap awal

59
60

Jelaskan kepada pasien untuk melihat kemajuan pengobatan dan memastikan pasien
dapat melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan maka dahak perlu diperiksa
kembali.
Contoh:
“Bapak/Ibu, setelah minum obat dan disuntik dalam tahap awal bapak/ibu akan
diperiksa kembali dahaknya pada akhir tahap awal untuk melihat apakah kuman
sudah negative (tidak ditemukan ) dan untuk menilai apakah obat ini bisa bekerja
dengan baik dalam tubuh bapak/ibu.”

 Kemungkinan yang terjadi selama pengobatan dan tindakan yang harus


dilakukan
Pasien perlu tahu secara jelas apa yang mungkin terjadi selama pengobatan TBC,
dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Contoh:
Fakta bahwa rifampicin dapat membuat air seni berwarna oranye atau merah
sebagai reaksi obat.
“Bapak/Ibu, salah satu obat ini akan membuat air seni menjadi kemerahan seperti air
teh. Ini tidak berbahaya. Bila ada keluhan lain bapak/ibu dapat memberitahu PMO
atau petugas di Faskes. Nanti dokter akan membantu mengatasi keluhannya”
 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Pasien TBC
Perlu disampaikan bahwa pasien sebaiknya menjaga kesehatan dengan hidup bersih
dan sehat, misalnya:
- Menjemur alat tidur,
- Membuka jendela dan pintu agar udara dan sinar matahari masuk. Aliran udara
(ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara.
Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman,
- Makan makanan bergizi,
- Tidak merokok dan tidak minum minuman ber-alkohol,
- Olahraga secara teratur bila memungkinkan.

Tabel 21. Daftar Pertanyaan dan Pesan Kunci untuk Pasien


TBC di Awal Pengobatan
Selama kunjungan: Tunjukan sikap yang penuh perhatian. Beri pujian dan dorongan
kepada pasien. Bicara yang jelas dan sederhana. Beri dorongan agar pasien bertanya.

60
61

Daftar Pertanyaan Pesan Kunci


Apa yang bapak/ibu ketahui tentang TBC adalah penyakit menular
TBC? Penyebab TBC adalah kuman
Apa menurut bapak/ibu yang Mycobacterium Tuberculosis. Apabila paru
menyebabkan TBC mengalami kerusakan karena kuman TBC,
pasien batuk-batuk berdahak dan sulit
bernafas. Tanpa pengobatan secara benar,
pasien akan meninggal.
Apakah bapak/ibu tahu apa yang terjadi TBC bila tidak diobati akan berakibat fatal,
pada orang yang sakit TBC? selain bisa menularkan ke orang lain juga
bisa mengakibatkan kematian.
TBC dapat disembuhkan dengan
Apakah bapak/ibu tahu bahwa TBC pengobatan yang benar. Pasien harus
dapat disembuhkan? menelan semua obat sesuai dengan
ketentuan agar bisa sembuh.
Obat untuk TBC disediakan gratis.
Pengobatan dapat dilakukan tanpa
mengganggu kehidupan sehari-hari.
Apakah bapak/ibu bersungguh-sungguh Kesediaan Pasien
ingin menjalani pengobatan TBC hingga TBC dapat disembuhkan. Bapak/Ibu harus
sembuh? bersungguh-sungguh menjalankan
pengobatan, jangan sampai lalai datang
berobat hingga sembuh.
Menurut bapak/ibu bagaimana TBC Penularan TBC.
menular? TBC menular apabila pasien TBC batuk-
batuk atau bersin, menyemburkan kuman ke
udara. Orang di sekitar kemungkinan
menghirup kuman-kuman tersebut dan
tertular.
Kuman mudah ditularkan kepada anggota
keluarga atau tinggal berdekatan. Siapapun
dapat terkena TBC, tetapi tidak semua orang
yang tertular TBC jatuh sakit.

61
62

Pasien TBC yang sudah diobati selama dua


minggu tidak akan menularkan lagi kepada
oranglain namun tetap harus menjalankan
pengobatan.
Bagaimana anda dapat mencegah Pencegahan dapat dilakukan dengan:
penularan TBC? − Menelan obat secara teratur dan tuntas.
− Bila batuk (ada etika batuk):
Ada 2 metode yang sederhana namun
efektif untuk mengurangi penyebaran
kuman TBC, yaitu:
a. menutup hidung dan mulut dengan tisu
atau sapu tangan ketika batuk atau
bersin. Batuk atau bersin langsung ke
tangan tidak dianjurkan karena dapat
menyebarkan kuman ke apapun yang
anda sentuh dengan tangan. Sekiranya
tidak ada saputangan, batuklah atau
bersinlah ke bagian dalam dari siku
anda atau ke lengan baju bagian atas.
Gantilah segera baju anda
b. Mencuci tangan sehabis kontak
dengan orang sakit. Gunakan sabun,
air untuk mencuci tangan Anda dan lap
atau Anda dapat menggunakan cairan
alkohol pembersih tanpa air.
− Membuka jendela atau pintu agar
cahaya matahari dan udara segar masuk
kedalam rumah.
− Tidak diperlukan diet khusus atau
mensterilisasi atau memisahkan alat makan
minum atau perabot rumah tangga.
Berapa orang yang tinggal serumah Pemeriksaan kontak serumah
dengan anda? Usia berapa? Semua anak usia dibawah 5 tahun yang
Apakah ada lagi orang dirumah anda tinggal serumah dengan pasien TBC harus

62
63

yang batuk- batuk? Siapa ? diperiksa Hal ini penting karena anak balita
berisiko terkena penyakit TBC yang berat.
Anak-anak tersebut membutuhkan tindakan
pencegahan atau dirujuk ke Faskes.
Anggota keluarga yang memiliki gejala TBC
harus diperiksa.
Apakah menurut bapak/ibu pengobatan Pentingnya pengawasan menelan obat
ini perlu diawasi? Karena lamanya pengobatan, seorang
pasien TBC dapat kehilangan motivasi untuk
menelan obat.
Seorang petugas kesehatan atau PMO
(Pengawas Menelan Obat) harus mengawasi
bapak/ibu menelan obat sesuai dengan
jadualnya. Hal ini untuk memastikan,
bapak/ibu menelan obat secara benar dan
teratur.
Dengan pengamatan secara teratur, petugas
kesehatan atau PMO akan mengetahui
apakah ada efek samping atau masalah lain.
Dengan pengawasan langsung menelan
obat, petugas kesehatan atau PMO akan
tahu apabila anda terlewat 1 dosis dan
dengan cepat akan menelusuri masalahnya.
Apabila anda harus bepergian, atau
berencana pindah, beritahu petugas
kesehatan atau PMO agar bisa diatur lagi
pengobatan tanpa harus menunda.
Menjelaskan secara rinci paduan obat Jelaskan kepada pasien.
pasien - Lama pengobatan.
- Kualitas Obat
- Frekwensi kunjungan untuk mengambil
obat
- Kemana dan kapan harus pergi untuk
pengobatan.

63
64

Menjelaskan pentingnya pemeriksaan Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif


dahak setelah tahap intensif dilakukan untuk melihat apakah jumlah
kuman berkurang yang menandakan obat
anti TBC yang ditelan bekerja dengan baik.
Menjelaskan apa yang mungkin terjadi Contoh:
akibat menelan obat dan apa yang Rifampicin akan menyebabkan air-seni
harus dilakukan jika terjadi efek bewarna oranye / merah akibat dari obat. Hal
samping ini seharusnya terjadi dan tidak berbahaya.
Apabila anda merasa mual karena menelan
obat, pada dosis berikutnya, makanlah
sesuatu sewaktu menelan obat.
(Pastikan bahwa pasien tahu kapan dan
kemana harus pergi untuk pengobatan
berikutnya. Tanya pasien untuk memastikan
ia akan kembali.
Ingatkan pasien untuk membawa keluarga
dan orang yang dekat dengan pasien untuk
pemeriksaan TBC)
Ajukan pertanyaan untuk mengecek apakah pasien mengingat pesan-pesan penting
serta tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Beri penegasan pesan yang terakhir, atau beri tambahan informasi yang dibutuhkan.

64
65

Tahap lanjutan sepanjang pengobatan


Setelah pertemuan awal dengan pasien TBC, lanjutkan memberikan informasi yang tepat
tentang TBC pada setiap kunjungan. Jangan lupa untuk menggunakan keterampilan
komunikasi yang baik dan efektif, seperti mengajukan pertanyaan, menunjukkan sikap
perhatian, memuji dan memberi dorongan kepada pasien, dan menggunakan bahasa yang
sederhana.
Selama masa pengobatan, informasi yang perlu komunikasikan adalah:
 Efek samping obat (jika dikeluhkan oleh pasien dan atau dikenali oleh petugas).
Setiap kunjungan, tanyakan kepada pasien, tentang bagaimana perasaannya, atau adakah
masalah selama minum obat. Kemudian dengarkan jawaban pasien dan amati pasien,
apakah ada efek samping atau tidak. Berikan tindakan yang sesuai jika ada keluhan.
 Jenis, warna kemasan, jumlah dan frekuensi obat.
Komunikasikan kepada pasien:
- Warna kemasan, agar dikenali oleh pasien.
- Ingatkan jumlah obat/tablet, berapa sering, untuk berapa lama.
- Yakinkan pasien bahwa obat untuk seluruh masa pengobatan disimpan didalam kotak
yang ada nama pasien.
- Apabila ada perubahan paduan obat, karena pergantian tahap pengobatan,
jelaskan secara rinci paduan baru tersebut.
 Pentingnya kepatuhan pasien.
Komunikasikan kepada pasien:
- Kepatuhan berobat sangat penting.
- Pasien harus menelan seluruh obat yang dianjurkan pada waktu yang telah ditentukan
agar bisa sembuh.
- Apabila pasien merasa lebih baik, harus tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai.
- Penting untuk disampaikan, apabila pasien bepergian atau pindah, harus
menginformasikan kepada petugas kesehatan atau PMO, sehingga kelangsungan
pengobatan dapat diatur lagi.
 Apabila pasien hanya menelan sebagian obat atau berhenti menelan obat, komunikasikan
kepada pasien:
- Menelan sebagian obat atau menelan obat secara tidak teratur, adalah berbahaya dan
membuat pasien sangat sulit atau tidak mungkin disembuhkan bahkan bisa membuat
kuman TBC akan menjadi kebal sehingga lebih sulit untuk disembuhkan.

65
66

- Pasien tersebut akan terus menularkan kuman TBC kepada keluarga dan masyarakat
sekitar.
- Apabila pasien mengeluh obat terlalu banyak, jelaskan bahwa TBC disebabkan oleh
kuman yang kuat, karena itu butuh obat yang banyak baik jenis maupun jumlahnya.
 Pentingnya pemeriksaan dahak, frekuensi dan arti hasil pemeriksaan.
Komunikasikan kepada pasien:
- Kuman TBC tidak dapat dilihat dengan mata biasa, karena itu untuk mengetahui ada
tidaknya kuman TBC, perlu pemeriksaan dahak menggunakan mikroskop.
- Frekuensi pemeriksaan dahak selama masa pengobatan.
Akhir tahap awal. Setelah dua atau tiga bulan tahap awal, dahak akan diperiksa,
kemudian akan melanjutkan pengobatan tahap berikutnya.
Selama tahap lanjutan, dilakukan lagi pemeriksaan dahak pada bulan ke 5. Apabila tidak
ditemukan kuman teruskan pengobatan.namun bila masih ditemukan kuman, maka
kategori pengobatan akan berubah.
Pemeriksaan dahak terakhir dilakukan satu minggu sebelum akhir pengobatan Apabila
tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan akhir, pasien dinyatakan sembuh.
 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Pasien TBC
Ingatkan pasien untuk terus menjalankan PHBS

Tabel 22. Daftar Pertanyaan dan Pesan Kunci untuk Pasien TBC di Tahap Lanjutan
Pada setiap kunjungan: Tunjukkan sikap penuh perhatian. Beri pujian kepada pasien.
Bicara secara jelas dan sederhana. Ajak pasien untuk bertanya.
Daftar Pertanyaan Pesan Kunci
Ajukan pertanyaan untuk mengidentifikasi Apabila ada efek samping ringan, berikan
efek samping. nasehat :
- Bagaimana perasaan anda ? - Apabila tidak nafsu makan, mual-mual, nyeri
- Apakah ada masalah ? perut, anjurkan menelan obat dengan
- Dengarkan dan perhatikan apakah ada makanan atau bubur.
efek samping berat : - Apabila sakit sendi, minum obat aspirin
- Gatal-gatal, bercak-bercak merah di - Apabila ada rasa terbakar dikaki, minum 100
kulit mg piridoksin sehari.
- Ketulian - Apabila urine berwarna oranye / merah, hal itu
- Pusing-pusing/pening, kehilangan normal, karena pengaruh obat.

66
67

keseimbangan/ imbung
- Kuning (kulit atau mata) Yakinkan pasien untuk melanjutkan
- Muntah-muntah yang berulang kali pengobatan. Apabila ada efek samping berat,
- Gangguan penglihatan hentikan obat TBC, dan segera rujuk ke dokter
Ingatkan pasien tentang pesan-pesan yang diperlukan
Apabila pasien belum membawa anggota Setiap anak usia dibawah 5 tahun yang tinggal
keluarga yang kontak untuk pemeriksaan serumah harus diperiksa gejala TBC. Anggota
keluarga lain yang mempunyai gejala TBC
harus diperiksa
Apabila pasien belum mengenal obat- Beri gambaran tentang jenis, warna dan jumlah
obat, atau ada perubahan paduan obat obat yang harus ditelan. Juga berapa kali harus
Apabila pasien merasa sudah baik menelan obat dan untuk berapa lama
Apabila pasien merencanakan untuk Walaupun merasa lebih baik, anda harus
bepergian atau pindah melanjutkan menelan obat selama waktu yang
ditentukan.
Apabila anda berencana untuk bepergian atau
pindah, beritahu petugas/PMO.
Akan diatur tentang kelangsungan pengobatan,
agar tidak ada dosis yang terlupa atau terlewat.
Apabila pasien terlewat 1 dosis obat Agar bisa sembuh, anda harus menelan obat
seluruhnya sesuai dengan ketentuan, selama
waktu pengobatan. Apabila anda tidak
melakukan hal itu, anda akan terus menularkan
TBC kepada orang lain.

Apabila pasien mengeluh tentang Menelan hanya sebagian obat, atau menelan
kelangsungan pengobatan obat tidak teratur, adalah berbahaya, dan
membuat penyakit menjadi sulit disembuhkan
Apabila waktunya untuk pemeriksaan dahak ulang
Jelaskan perlunya pemeriksaan dahak Kuman TBC tidak dapat dilihat dengan mata
biasa. Petugas laboratorium harus
memeriksanya dibawah microskop, untuk
melihat apakah masih ada kuman TBC, dan
menentukan apakah anda mengalami

67
68

perbaikan
Sesudah 2 dan atau 3 bulan
Apabila masih ada kuman dalam dahak , anda
membutuhkan pengobatan yang lebih lama
pada tahap awal.
Apabila tidak diketemukan lagi kuman, anda
siap untuk melanjutkan pengobatan ke tahap
Selama tahap lanjutan lanjutan.

Apabila tidak ada kuman dalam dahak, anda


akan meneruskan pengobatan.
Sebelum akhir pengobatan Apabila masih ada kuman, maka paduan obat
anda akan diganti dengan paduan obat lain
Apabila tidak ada kuman TBC pada
pemeriksaan dahak, anda dinyatakan sembuh.
Ajukan pertanyaan untuk mengecek apakah pasien mengingat pesan-pesan penting serta
tahu apa yang harus diakukan selanjutnya. Beri penegasan pesan yang terakhir, atau beri
informasi tambahan yang dibutuhkan

2. Komunikasi Motivasi Pada Keluarga Pasien TBC


Menginformasikan pesan kesehatan untuk keluarga pasien merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pelayanan kesehatan di semua sarana pelayanan kesehatan. Dukungan
anggota keluarga ikut menentukan hasil pengobatan TBC. Untuk itu, keluarga juga harus
diberikan informasi tentang TBC agar terus mampu mendampingi pasien selama pengobatan.
Petugas kesehatan harus dapat memberikan Informasi dan edukasi kepada keluarga pasien
dalam bahasa yang jelas dan tepat mengenai penyakit, pengobatan dan efek sampingnya,
tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan dan upaya pencegahan. Komunikasi efektif
disampaikan sesuai dengan latar belakang budaya dan tingkat pendidikan keluarga.
1) Peran Keluarga dalam pengobatan
Setelah seseorang ditetapkan sebagai pasien TBC maka keluarga adalah orang yang
paling dibutuhkan dukungannya dalam menjalankan pengobatan. Beberapa peran
keluarga dalam mendukung pengobatan pasien TBC, yaitu:
a. Memotivasi pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh, dengan:

68
69

 Kenali faktor yang dapat mendukung ataupun menghambat pengobatan bagi


pasien serta membantu mencari alternatif solusinya
 Meyakinkan kepada pasien bahwa pengobatan yang dijalani akan memberikan
kebaikan bagi pasien maupun keluarganya
b. Mendampingi dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat
menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu:
 Memotivasi pasien untuk tetap menelan obatnya saat pasien mulai bosan.
 Memastikan pasien menelan obat dengan disaksikan oleh keluarga.
 Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan rasa
percaya diri.
 Hal yang jangan sampai terlupa adalah beri waktu bagi pasien untuk
mengekspresikan perasaannya. Jika dibutuhkan cari dan ikut sertakan pasien
dalam pertemuan kelompok pasien (paguyuban).
b. Mengingatkan pasien TBC datang ke Faskes untuk mendapatkan obat dan
periksa ulang dahak sesuai jadual dengan berkoordinasi dengan PMO dan
petugas kesehatan tentang jadual pengambilan obat dan pemeriksaan dahak
pasien TBC .
c. Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping obat dan merujuk ke
Faskes.
 Menanyakan dan memperhatikan apakah pasien mengalami keluhan setelah
menelan obat.
 Segera merujuk pasien ke Faskes bila ada efek samping.
 Menenangkan pasien dan meyakinkan bahwa keluhan yang dialami dapat
ditangani.
2) Pesan yang harus disampaikan kepada keluarga
Petugas kesehatan harus memberikan informasi dan edukasi penting seputar TBC dan
pengobatan TBC kepada keluarga mengenai pentingnya dukungan keluarga bagi pasien
dalam menghadapi penyakitnya.
a) Saat kunjungan pertama setelah pasien didiagnosis TBC
Pesan-pesan yang penting untuk disampaikan kepada keluarga pasien TBC
adalah:

69
70

i. Penjelasan tentang TBC gejala dan penyebab TBC


ii. TBC dapat disembuhkan
iii. Pengobatan TBC
iv. Rencana pengobatan
v. Dosis dan cara pemberian obat TBC
vi. Keteraturan menelan obat sampai tuntas sesuai anjuran dokter.
vii. Efek samping obat dan pastikan keluarga mengetahui kapan dan ke mana harus
mencari pertolongan.
viii. Pentingnya pengawasan keteraturan menelan obat selama pengobatan
ix. Penularan TBC
x. Pencegahan penularan TBC dapat berupa:
xi. Menyediakan tempat pembuangan dahak agar pasien tidak membuang
dahaknya sembarangan
xii. Pentingnya pemeriksaan dahak ulang secara teratur
xiii. Pentingnya pola hidup sehat dan bersih bagi pasien dan keluarganya
xiv. Hentikan kebiasaan merokok dan minum minuman ber-alkohol pada pasien.
xv. Saran untuk membersihkan rumah atau lingkungan secara teratur.
xvi. Olahraga bagi pasien.
xvii. Konseling dan perbaikan gizi pasien
xviii. Tidak diperlukan diet khusus, mensterilisasi atau memisahkan peralatan makan
minum.
b) Kunjungan Berikutnya Selama Masa Pengobatan
Pada pertemuan berikutnya, apabila pasien datang bersama keluarganya, petugas
kesehatan dapat mengulang pesan-pesan seperti pada pertemuan pertama. Jangan
berikan terlalu banyak informasi pada satu kunjungan. Meyakinkan keluarga tentang
pentingnya pengobatan sampai selesai. Jika seorang pasien tidak datang untuk
mengambil obat atau tampak tidak bersemangat, pertugas kesehatan dapat mencari
tahu lewat anggota keluarga apa yang menjadi masalah dan turut mencari solusi
sesuai kebutuhan dan kemampuan.
3) Pesan yang harus disampaikan kepada keluarga untuk pasien TBC dan TBC-RO
Petugas kesehatan harus memberikan informasi penting seputar TBC atau TBC-RO dan
pengobatannya kepada keluarga dan memberikan edukasi kepada keluarga pasien
mengenai pentingnya dukungan keluarga bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya.
a. Saat kunjungan pertama setelah pasien didiagnosis TBC atau TBC RO

70
71

Pesan-pesan yang penting untuk disampaikan kepada keluarga pasien TBC RO


sama dengan pesan yang disampaikan ke pasien TBC resistan obat:
1) Penjelasan tentang TBC atau TBC-RO
2) TBC atau TBC-RO dapat disembuhkan
3) Pengobatan TBC atau TBC RO
 Rencana pengobatan
 Dosis dan cara pemberian obat
 Keteraturan menelan obat sampai tuntas sesuai anjuran dokter.
 Efek samping obat dan pastikan keluarga mengetahui kapan dan kemana
harus mencari pertolongan.
4) Pentingnya Pengawasan Menelan Obat selama pengobatan
5) Penularan TBC
6) Pencegahan penularan TBC:
 Memastikan pasien selalu memakai masker
 Menyediakan tempat pembuangan dahak agar pasien tidak membuang
dahaknya sebarangan
 Tidak tinggal dalam satu ruangan tertutup tanpa ventilasi bersama pasien
selama masih menular (hasil biakan masih positif)
7) Pentingnya pemeriksaan ulang dahak secara teratur.
8) Memberikan informasi tentang pemeriksaan biakan dalam pemantauan hasil
pengobatan.
9) Pentingnya pola hidup sehat dan bersih bagi pasien dan keluarganya
10) Konseling dan perbaikan gizi pasien.
11) PHBS
b. Kunjungan Berikutnya Selama Masa Pengobatan
Pada pertemuan berikutnya, apabila pasien datang bersama keluarganya, petugas
kesehatan dapat mengulang pesan-pesan seperti pada pertemuan pertama. Jangan
berikan terlalu banyak informasi pada satu kunjungan.
Meyakinkan keluarga tentang pentingnya pengobatan sampai selesai.
Jika pasien tidak datang untuk mengambil obat atau tampak tidak bersemangat,
keluarga dapat membantu mencari tahu penyebabnya dan turut mencari solusi
masalahnya sesuai kebutuhan dan kemampuan.
c. Pengawas Menelan Obat (PMO)

71
72

PMO adalah petugas kesehatan atau kader kesehatan terlatih yang membantu
mengawasi pasien TBC Resistan Obat selama masa pengobatan hingga sembuh.
Peran PMO dalam pengobatan adalah:
Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai
sembuh, yaitu:
1) Membuat kesepakatan dengan pasien mengenai lokasi dan waktu menelan obat
.
2) PMO dan pasien harus menepati kesepakatan yang sudah dibuat.
3) Pasien menelan obat dengan disaksikan oleh PMO.
4) Memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan
secara lengkap dan teratur, yaitu:
 Meyakinkan kepada pasien bahwa TBC RO bisa disembuhkan dengan
minum obat secara lengkap dan teratur.
 Memotivasi pasien untuk tetap minum obatnya saat mulai bosan.
 Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan
rasa percaya diri.
 Menjelaskan manfaat bila pasien menyelesaikan pengobatan agar pasien
tidak putus berobat.
5) Mengingatkan pasien TBC atau TBC Resistan Obat datang ke Fasyankes untuk
mendapatkan obat dan periksa ulang dahak sesuai jadual, yaitu:
 Mengingatkan pasien datang ke Fasyankes untuk mendapatkan obat
berdasarkan jadual pada kartu identitas pasien (TBC.02 atau TBC.02
MDR).
 Memastikan bahwa pasien sudah mengambil obat.
 Mengingatkan pasien jadual periksa ulang dahak berdasarkan yang tertera
pada kartu identitas pasien (TBC.02 atau TBC.02 MDR).
 Memastikan bahwa pasien sudah melakukan periksa ulang dahak.
6) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi
Fasyankes
 Menanyakan apakah pasien mengalami keluhan setelah menelan OAT.
 Mendampingi pasien ke Fasyankes bila mengalami efek samping obat.
 Menenangkan pasien bahwa keluhan yang dialami bisa ditangani.
7) Memberikan penyuluhan tentang TBC dan TBC RO kepada keluarga pasien atau
orang yang tinggal serumah, yaitu tentang:

72
73

 TBC adalah penyakit menular, cara penularan TBC, gejala-gejala TBC dan
cara pencegahannya,
 TBC disebabkan oleh kuman, tidak disebabkan oleh guna-guna atau
kutukan dan bukan penyakit keturunan,
 TBC dapat terjadi karena pasien TBC tidak minum obat tuberkulosis secara
teratur,
 TBC atau TBC-RO dapat disembuhkan dengan berobat lengkap dan
teratur,
 Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu: tahap awal dan lanjutan,
 Obat TBC atau TBC-RO harus diminum sekaligus pada waktu yang sama
setiap harinya,
 Tidak ada obat lain untuk mengobati TBC RO,
 Pentingnya pengawasan agar pasien berobat secara lengkap dan teratur,
 Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke Fasyankes.
8) Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TBC Resistan Obat dan apa
yang harus dilakukan terhadap kontak erat tersebut.
4) Langkah-langkah memberikan informasi dan edukasi kepada pasien TBC RO
adalah :
a. Sampaikan kepada pasien informasi tentang definisi TBC RO dengan bahasa yang
sederhana sehingga dapat dimengerti pasien (Contoh pesan dapat dilihat pada
bagian informasi pada pasien terduga).
b. Sampaikan kepada pasien bahwa dari hasil pemeriksaannya ia positif mengidap
TBC RO (Contoh dapat dilihat pada bagian informasi pasien terduga).
5) Hal-hal yang perlu disampaikan kepada pasien TBC RO adalah :
a. Pernyataan kesediaan menjalani pengobatan (Informed Consent) atau
pernyataan menolak pengobatan (Inform refusal).
Sebelum menjalani pengobatan, petugas harus menyampaikan tentang pernyataan
kesediaan pasien untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan.
Jelaskan secara rinci isi dan manfaat serta konsekuensi dari pernyataan kesediaan
yang ditandatanganinya. Berikanlah kesempatan kepada pasien untuk menanyakan
hal-hal yang belum dimengerti.Untuk pasien yang tidak bersedia menjalani
pengobatan diharuskan menandatangani informed refusal/ surat pernyataan
menolak pengobatan dan diberikan penyuluhan mengenai konsekuensi dari

73
74

penolakannya. Penyuluhan pada kasus ini, juga diberikan kepada keluarga dan
lingkungan sekitar pasien.
Bagi pasien yang menyetujui menjalani pengobatan, pasien melakukan
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan fisik, laboratorium, dan radiologi) dengan
beberapa persiapan seperti lama waktu pemeriksaan, persiapan puasa, dan lain-
lain.
b. Menjalani Pengobatan TBC RO
Terdapat perbedaan antara pengobatan TBC RO dengan TBC bukan RO. Setelah
memberitahukan kepada pasien hasil pemeriksaan laboratorium, maka ada
beberapa hal yang harus dijelaskan sebelum dimulai pengobatan. Petugas dapat
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
 Tempat pengobatan.
Contoh:
“Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, bapak/ibu harus menjalani
pengobatan TBC RO. Bapak/ibu dapat menjalani pengobatan di Rumah Sakit
atau Puskesmas yang ditunjuk dan dekat dengan tempat tinggal
Bapak/ibusehingga pengobatan dapat diselesaikan.”
 Jenis dan cara menelan obat
Contoh:
“Obat TBC RO berbeda dengan obat TBC sebelumnya. Ada beberapa jenis obat
yang diberikan, yaitu: obat yang diminum dan obat yang disuntikkan”.
Apabila pasien mendapatkan paduan obat dengan PAS, maka jelaskan kepada
pasien bahwa obat harus diminum dengan cara dimasukkan ke dalam minuman
yang berasa asam dan langsung diminum. Hal ini agar penyerapan obat baik.
Minuman yang berasa asam ini, misalnya: jus jeruk, jus apel atau jus nanas.”
 Lama Pengobatan TBC RO
Contoh:
“Obat diberikan berkisar 20 -24 bulan tergantung pada kemajuan yang dialami
bapak/ibu. Oleh karena itu harus diminum secara teratur Selama masih diberi
petunjuk dokter untuk berobat maka obat harus diminum sesuai dengan aturan”.
 Efek samping obat TBC RO dan penanganannya
Contoh:

74
75

“Obat TBC RO dapat menyebabkan efek samping. Bila bapak/ibu mempunyai


keluhan, maka harus segera memberitahukan kepada petugas, sehingga
masalah dapat segera diatasi.”
 Pengambilan Obat
Contoh :
“Pada tahap awal pengobatan walaupun bapak/ibu menjalankan pengobatan di
fasyankes dekat rumah, namun bapak/ibu tetap harus datang ke rumah
sakit/puskesmas yang disepakati untuk menelan obat dan disuntik. Bapak/Ibu
harus datang setiap hari. Pada Sabtu dan Minggu suntikan tidak diberikan,
petugas tetap akan mendampingi bapak/ibu pada saat menelan obat di rumah
sakit/ puskesmas”.
“Bapak/ibu harus bekerjasama dengan petugas supaya pada saat libur obat tidak
terlewatkan dan bapak/ibu akan semakin membaik”.
 Evaluasi Kemajuan Pengobatan
Selama masa pengobatan, pasien TBC RO akan menjalani serangkaian
pemeriksaan untuk mengevaluasi kemajuan pengobatan.
Contoh:
“Untuk mengetahui kemajuan pengobatan bapak/ibu pada waktu-waktu tertentu
akan dilakukan serangkaian pemeriksaan”.
 Sistem rujukan
Pasien akan dirujuk ke fasyankes terdekat untuk pengobatan selanjutnya. Saat
dirujuk, pasien harus mendapatkan penjelasan bahwa rujukan ini sdilakukan
untuk mempermudah dan mendekatkan pasien dalam mendapatkan pelayanan
pengobatan TBC RO.
 Pencegahan penularan
Contoh :
Untuk mencegah penularan kepada orang lain bapak/ibu harus:
- Berobat secara teratur sehingga jumlah kuman dalam tubuh berkurang dan
tidak dapat menular kepada orang lain.
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin.
- Jangan membuang dahak sembarangan.
- Gunakan masker bedah.
6) Petugas kesehatan dan lingkungan sekitarnya

75
76

Pasien TBC Resistan Obat dapat disembuhkan dengan pengobatan yang benar.
Selama hasil pemeriksaan biakan masih menunjukkan hasil positif, maka pasien TBC
Resistan Obat tersebut masih dapat menularkan kepada orang lain di sekitarnya. Untuk
menghindari penularan yang terjadi maka pada lingkungan sekitar perlu diberikan
informasi tentang pencegahan pengendalian infeksi, yang bertujuan agar setiap orang
yang berhubungan dengan pasien dapat menjaga dirinya tanpa menyakiti perasaan
pasien. Masyarakat sekitar pasien dan petugas kesehatan diharapkan dapat berperan
aktif menyampaikan informasi dan memberi dukungan untuk kesembuhan.
Hal-hal yang perlu disampaikan kepada lingkungan sekitar pasien yaitu:
1) Pasien TBC Resistan Obat tidak perlu dikucilkan.
2) TBC Resistan Obat menular namun pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
etika batuk dan menjalani pengobatan sedini mungkin.
3) Pasien TBC Resistan Obat membutuhkan dukungan psikologis dan sosial dalam
pergaulan sehari-hari untuk mendukung keberhasilan pengobatannya.
4) Kesembuhan pasien TBC Resistan Obat sangat penting untuk memutus rantai
penularan TBC Resistan Obat
5) Lamanya waktu pengobatan, beratnya efek samping yang ditimbulkan obat serta
dampak sosial yang diakibatkan dari TBC Resistan Obat, membuat pasien TBC
Resistan Obat sangat membutuhkan dukungan lingkungan sekitarnya.
Catatan :
Untuk menyampaikan informasi tentang penyakit TBC RO pasien tersebut
ke lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja pasien, perlu mendapatkan
persetujuan tertulis pasien terlebih dahulu dan mempertimbangkan risiko
yang terjadi.

7) Pada Akhir Pengobatan


Saat pasien sampai pada akhir masa pengobatan, dilakukan pemeriksaan laboratorium
dan hasilnya akan diberitahukan kepada pasien. Pasien yang memenuhi kriteria sembuh
atau pengobatan lengkap akan melanjutkan ke masa monitoring sesudah pengobatan
selama 2 tahun untuk mengawasi jika terjadi kekambuhan. Pasien akan diminta
memeriksakan dirinya setiap enam bulan ke rumah sakit rujukan TBC RO.
a. Hasil Pengobatan
Dukungan diberikan kepada pasien tergantung pada hasil akhir pengobatannya.
b. Sembuh atau pengobatan lengkap

76
77

Pada pasien yang berhasil sembuh atau menyelesaikan pengobatannya secara


lengkap harus diberikan penghargaan atas jerih payahnya selama dua tahun ini.
Contoh:
“Selamat,bapak/ibu telah berhasil menyelesaikan pengobatan yang panjang dan
cukup sulit. Saya bangga bapak/ibu punya kemauan dan semangat keras untuk
sembuh selama 2 tahun ini. Sekarang bapak/ibu tidak perlu menelan obat lagi,
tetapi masih harus melakukan pemeriksaan dahak setiap 6 bulan selama 2 tahun
mendatang. Kita akan tahuapakah kuman masih ada,mudah-mudahan tidak ada ya
pak/bu”.
Pesan penting yang harus disampaikan:
1. Setiap 6 bulan melakukan pemeriksaan dahak ke rumah sakit
selama 2 tahun ke depan.
2. Segera datang ke rumah sakit bila ada gejala pada
pasien/kontaknya meskipun belum tiba jadual periksa 6 bulanan.

c. Pengobatan gagal
Pasien akan membutuhkan dukungan dan konseling keluarga untuk menghadapi
hasil pengobatan yang gagal.
Contoh:
“Bapak/Ibu telah berusaha dengan baik dan cukup keras selama pengobatan ini.
Sayangnya obat-obatan ini tidak berhasil mematikan kuman dalam tubuh bapak/ibu.
Kuman dalam tubuh bapak/ibu lebih kebal dan obat untuk jenis kuman ini belum
tersedia. Kami dapat membantu memberi pengobatan sesuai dengan keluhan
bapak/ibu. Namun kuman belum bisa disingkirkan”.
Contoh:
“Kuman yang lebih kebal juga dapat menular kepada orang lain di sekitar bapak/ibu
bila batuk dan bersin. Karena itu bapak/ibu harus menutup mulut/hidung pada saat
batuk/bersin, memakai masker sesering mungkin, jemurlah alat tidur dan buka
jendela rumah setiap pagi”.

Pesan penting yang harus disampaikan:


1. Alasan penghentian pengobatan saat ini,
2. Dukungan apa yang dibutuhkan pasien,
3. Rencana Pengendalian Infeksi yang perlu dilakukan oleh pasien

77
78

dalam mencegah penularan.

d. Memastikan Pasien Patuh Melakukan Kunjungan Lanjutan setelah Akhir


Pengobatan
Contoh:
“Untuk memastikan keadaan bapak/ibu baik-baik saja, maka setiap enam bulan
bapak/ibu harus datang untuk dilakukan pemeriksaan dahak di laboratorium untuk
mengetahui apakah kumannya masih ada atau tidak. Kami akan menghubungi
bapak/ibu untuk mengingatkannya”.
e. Mewaspadai Timbulnya Gejala Pada Pasien atau Kontak pada saat Monitoring
Akhir Pengobatan
Contoh:
“Jika bapak/ibu batuk-batuk atau sakit dada atau punggung, demam
berkepanjangan atau turun berat badannya, berkeringat di malam hari segeralah
menghubungi kami, kita akan lakukan pemeriksaan untuk mengetahui apa yang
menjadi masalah. Jika ada orang serumah yang juga mengalami gejala yang sama,
bapak/ibu harus membawa mereka dan petugas kesehatan akan melakukan
pemeriksaan juga.

78
79

Pokok Bahasan 4
D. Pencegahan Tuberkulosis pada Populasi Rentan dan Terapi Pencegahan pada
Orang dengan Infeksi Laten TBC (ILTBC)
Upaya untuk mencegah kesakitan atau sakit yang berat bagi populasi rentan dapat
dilakukan dengan memberikan kekebalan dapat berupa vaksinasi BCG dan pemberian
Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada orang dengan infeksi laten TBC.

1. Vaksinasi BCG bagi bayi


a. Pemberian Kekebalan dengan Vaksinasi BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian
vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes.
Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TBC berat
seperti TBC milier dan TBC meningitis yang sering didapatkan pada usia muda.
Vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.
b. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
 Bayi terlahir dari ibu pasien TBC terkonfirmasi Bakteriologis
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TBC terkonfirmasi bakteriologis pada
trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion
maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TBC terkonfirmasi
bakteriologis selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada
kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dirujuk.
 Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada bayi yang terinfeksi HIV karena
meningkatkan risiko BCG diseminata. Di daerah yang endemis TBC/HIV, bayi yang
terlahir dari ibu dengan HIV positif namun tidak memiliki gejala HIV boleh diberikan
vaksinasi BCG. Bila pemeriksaan HIV dapat dilakukan, maka vaksinasi BCG ditunda
sampai status HIVnya diketahui.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG.
Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis

79
80

supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten
dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
 Limfadenitis BCG
Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi BCG yang paling sering. Definisi
limfadenitis BCG adalah pembengkakan kelenjar getah bening satu sisi setelah
vaksinasi BCG. Limfadenitis BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24 bulan setelah
penyuntikan vaksin BCG (sering timbul 2-4 bulan setelah penyuntikan), terdapat 2
bentuk limfadenitis BCG, yaitu supuratif dan non supuratif. Tipe non supuratif dapat
hilang dalam beberapa minggu. Tipe supuratif ditandai adanya pembekakan disertai
kemerahan, edem kulit di atasnya, dan adanya fluktuasi. Kelenjar getah bening yang
terkena antara lain supraklavikula, servikal, dan aksila, dan biasanya hanya 1-2
kelenjar yang membesar.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening sisi yang sama
dengan tempat penyuntikan vaksin BCG tanpa penyebab lain, tidak ada demam atau
gejala lain yang menunjukkan adenitis piogenik. Limfadinitis tuberkulosis sangat
jarang terjadi hanya di aksila saja. Pemeriksaan sitopatologi dari sediaan aspirasi
BCG limfadenitis tidak berbeda dengan limfadenitis tuberkulosis.
Limfadenitis BCG non-supuratif akan sembuh sendiri dan tidak membutuhkan
pengobatan. Pada limfadenitis BCG supuratif yang dilakukan aspirasi jarum
memberikan kesembuhan lebih tinggi (95% vs 68%) dan lebih cepat (6,7 vs 11,8
minggu) dari kontrol. Eksisi hanya dilakukan bila terapi aspirasi jarum gagal atau
pada limfadenitis BCG multinodular.

2. Terapi Pencegahan Tuberkulosis pada Orang dengan ILTBC


Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTBC) adalah suatu keadaaan dimana sistem imun tubuh
orang yang terinfeksi tidak mampu mengeliminasi kuman Mycobacterium tuberculosis
dari tubuh secara sempurna tetapi mampu mengendalikan kuman TBC sehingga tidak
timbul gejala sakit TBC. Orang dengan ILTBC akan diberikan Terapi Pencegahan
Tuberkulosis (TPT).
a. Penemuan ILTBC
1) Sasaran ILTBC:
 Kontak serumah (anak usia <5 tahun, anak usia 5-14 tahun, remaja dan

80
81

dewasa usia >15 tahun)


 ODHA
 Kelompok risiko tinggi lainnya (penyandang diabetes, imunokompromais,
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan lain-lain)
Penemuan orang dengan infeksi TBC bisa dilakukan dengan IK dan penapisan
infeksi TBC massal, tergantung pada situasinya. Investigasi kontak dilakukan
pada orang di sekitar kasus indeks, yaitu kontak serumah dan kontak erat.
Sedangkan penapisan infeksi TBC pada tempat khusus seperti asrama,
pesantren dan lapas dapat dilakukan pada saat pemeriksaan kesehatan bagi
warga binaan baru; penapisan TBC pada petugas kesehatan bisa dilakukan
secara berkala di fasilitas pelayanan kesehatan seperti medical check-up rutin.
Penemuan aktif di tempat khusus membutuhkan kolaborasi yang erat antara
pemegang kebijakan atau institusi yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan
tempat khusus dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terutama dalam hal
pengorganisasian dan pembiayaan. Sebelum memberikan TPT, petugas
kesehatan harus memastikan dengan tepat kontak serumah tidak sakit TBC atau
dengan kata lain TBC aktif harus dikesampingkan dengan cara penapisan.
Berikut beberapa alur penapisan untuk setiap sasaran TPT.

2) Penapisan ILTBC
 Gambar. 1 Penapisan infeksi TBC pada orang dengan HIV/AIDS

Keterangan:
Kontra indikasi meliputi hepatitis akut atau
kronik, mengkonsumsi alkohol, memaliki gejala neuropati perifer. Riwayat TBC
dan sedang menajalani masa kehmilan bukan kontaindikasi pemberian TPT.

81
82

 Gambar 2. Penapisan infeksi TBC pada anak usia di bawah 5 tahun


yang kontak dengan pasien TBC (Dimodifikasi dari alur kontak investigasi
anak dalam petunjuk teknis dan manajemen tatalaksana TBC anak

82
83

 Gambar 3. Penapisan infeksi TBC pada anak usia di atas 5 tahun,


remaja dan dewasa yang kontak dengan pasien TBC (Dimodifikasi
dari alur kontak investigasi anak dalam petunjuk teknis dan
manajemen tatalaksana TBC anak )

83
84

 Gambar 4. Penapisan infeksi TBC pada kelompok risiko tinggi


lainnya

84
85

 Gambar 5. Penapisan infeksi TBC pada kontak dari pasien TBC


resisten obat
Pertimbangan pemberian TPT untuk kontak dari pasien TBC resisten
obat bersifat lebih individual dibandingkan kontak TBC sensitif obat,
dimana pertimbangan pemberian TPT didasarkan kepada penilaian
risiko individu. TPT dapat diberikan setelah dilakukan penilaian risiko
yang cermat, termasuk didalamnya intensitas pajanan, kondisi kontak,
informasi terkait pola resistensi obat dari kasus indeks dan potensi
efek samping. Berikut algoritma penapisan infeksi TBC pada kontak
dari pasien TBC RO

85
86

Keterangan:
Anak yang berkontak dengan pasien TBC RO sebaiknya dirujuk ke
spesialis anak untuk pemeriksaan lebih lanjut, sebagai berikut:
− Perlu memastikan tidak adanya TBC aktif sebelum pemberian TPT
− Jika kontak bergejala, langkah awal adalah pemeriksaan sputum
atau spesimen lain menggunakan TCM
− Jika terbukti sakit TBC, diberikan pengobatan TBC sesuai hasil
pemeriksaan uji kepekaan obat anak atau hasil uji kepekaan obat
kasus indeks
− Jika terbukti tidak sakit TBC, tindakan selanjutnya ditentukan oleh
dokter spesialis anak, bisa berupa observasi atau pemberian TPT
− TPT untuk anak idealnya berdasarkan resistensi OAT kasus
indeks. Paduan yang dapat diberikan adalah levofloxacin dan
etambutol selama 6 – 9 bulan.
− Durasi pengobatan harus berdasarkan judgement klinis yaitu
6/9/12 bulan
− Anak yang tidak bergejala baik yang mendapatkan maupun yang
tidak mendapatkan TPT harus diobservasi setiap bulan selama 2
tahun.
− Monitoring efek samping dan kepatuhan pengobatan sangat
penting

b. Diagnosis dan Tatalaksana ILTBC


1) INH selama 6 bulan (PP INH)
 Keputusan pemberian PP INH untuk kontak ditentukan oleh dokter
atau dokter spesialis sedangkan pelaksana pemberian PP INH bisa
dilakukan oleh dokter, petugas TBC atau petugas DOTS.
 Kebijakan di Indonesia saat ini PP INH baru diprioritaskan
diberikan pada orang ODHA dan anak balita kontak yang
terbukti tidak sakit TBC.
 PP INH bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik
swasta.
 Dosis yang direkomendasikan menurut pedoman manajemen
programatik ILTBC (WHO):
− Untuk dewasa: 5mg per kg berat badan dengan dosis maksimum
sebesar 300mg dan Untuk anak: 10 mg per kg berat badan per
hari, dengan dosis maksimal 300 mg
− Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang
sama (pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
− Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan = 30 hari
pengobatan), dengan catatan bila keadaan klinis baik. Bila
dalam follow up timbul gejala TBC, lakukan pemeriksaan untuk
penegakan diagnosis TBC. Jika anak terbukti sakit TBC, PP INH
dihentikan dan berikan OAT.
− Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks

86
87

meninggal, pindah atau BTA kasus indeks sudah menjadi


negatif.
− Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.
− Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan
dapat disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.
− Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan Vitamin
B6 10 mg untuk dosis INH ≤200 mg/hari, dan 2x10 mg untuk
dosis INH >200 mg/hari
− Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua
atau anggota keluarga pasien.
− Efek samping utama yaitu hepatotoksisitas, yang meningkat
seiring bertambahnya usia dan dapat diperburuk oleh penyakit
hati yang sudah ada sebelumnya, penggunaan bersama obat
hepatotoksik lainnya serta mengkonsumsi alcohol secara teratur.
INH dapat berinteraksi dengan obat-obatan seperti
asetaminofen, carbamazepine, ketoconazole, fenitoin dan
teofilin.
− PP INH dapat diberikan pada anak dengan HIV/AIDS yang
terbukti tidak sakit TBC jika: a. berkontak dengan pasien
TBC paru dewasa, berapapun usia anak b. tidak diketahui
berkontak dengan pasien TBC, hanya jika anak berusia
>12 bulan

Tabel 1. Tata laksana PP INH


Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
Balita (+)/(-) ILTBC PPINH
Balita (+)/(-) Terpajan PPINH
> 5 th (+) ILTBC PPINH
> 5 th (+) Terpajan PPINH
> 5 th (-) ILTBC PPINH
> 5 th (-) Terpajan Observasi

2) INH dan Rifampisin selama 3 bulan (3HR)


 Paduan 3HR diberikan selama 3 bulan atau 90 dosis setiap hari
(1 bulan = 30 hari).
 INH dapat diberikan sebanyak 5 mg/BB dengan dosis maksimal
300mg sedangkan untuk rifampisin dapat diberikan sebanyak 10
mg/BB dengan dosis maksimal 600mg.
 Efek samping yang timbul karena penggunaan rifampisin yaitu
hepatotoksisitas, kemerahan, reaksi hipersensitivitas dan

87
88

perubahan warna pada cairan tubuh.


3) Terapi Pencegahan Tuberkulosis dengan menggunakan Rifapentine
dan INH selama 3 bulan (3HP), seminggu sekali selama 12 minggu
(12 dosis).
 Paduan ini merupakan paduan jangka pendek yang dapat
digunakan sebagai alternatif pilihan TPT karena tingkat
hepatotoksisitas yang lebih rendah dan memiliki durasi
pengobatan yang lebih pendek serta efektivitas pengobatan
yang tidak kalah dengan TPT lainnya. Beberapa studi
menunjukan bahwa tingkat toksisitas 3HP lebih rendah
dibandingkan dengan PP INH. Meskipun harga obat rifapentin
mahal, paduan ini dianggap lebih cost effective karena memiliki
durasi pengobatan yang lebih singkat dan tingkat penyelesaian
pengobatan yang lebih tinggi. Selain itu 3HP dapat diberikan
kepada pasien HIV yang menjalani pengobatan ARV dengan
efavirenz atau raltegravir termasuk didalamnya dolutegravir
tanpa adanya perubahan dosis.
 Orang yang terbukti tidak sakit TBC dan tidak memiliki kontra-
indikasi seperti sakit hepatitis baik akut maupun kronis,
ALT/AST> 3X ULN, mengkonsumsi alcohol, neuropati perifer,
protease inhibitor akibat ART, wanita usia subur yang tidak
menggunakan kontrasepsi bentuk apapun, wanita hamil dan
menyusui dapat diberikan 3HP. Orang yang berisiko tinggi
terhadap neuropati perifer harus diberikan juga vitamin B6.
 3HP dapat diberikan dosis INH 15 mg/BB untuk usia >12 tahun
dengan dosis maksimal 900 mg dan dosis Rifapentine 900 mg
untuk usia >12 tahun. Berikut ini merupakan dosis rifapentine
dan isoniazid untuk pengobatan infeksi TBC laten (3HP) yang
direkomendasikan oleh WHO.
 Dokter maupun perawat dapat memilih metode directly
observed treatment (DOT) atau Self-administered treatment
(SAT) dalam memberikan 3HP kepada pasien. Pemilihan
metode bisa disesuaikan dengan konteks lokal, preferensi

88
89

pasien dan atau pertimbangan lain seperti risiko berkembang


menjadi sakit TBC yang parah.

Tabel 1 Dosis Rifapentine dan Isoniazid Pengobatan TPT


Jumlah tablet yang diberikan
Sediaan untuk pasien usia >14 tahun (kg)
Paduan Obat Catatan
(mg) 30– 36– 46– 56–
>70
35 45 55 70
Isoniazid 300 3 3 3 3 3
Rifapentine 150 6 6 6 6 6
Isoniazid +
FDC sedang
Rifapentine 300 /300 3 3 3 3 3
dikembangkan
KDT

4) Selain 3HP paduan TPT jangka pendek juga bisa diberikan dengan
rifampisin setiap hari selama 4 bulan (4R)
 Paduan 4R diberikan hingga 90 – 120 dosis selama 3 – 4 bulan.
 Paduan ini memiliki efikasi yang sama dengan paduan
pengobatan pencegahan lainnya.
 4R dapat diberikan sebanyak 10 mg/BB dengan dosis maksimal
600mg.
 Efek samping yang dapat timbul karena penggunaan rifampisin
yaitu hepatotoksisitas, kemerahan, reaksi hipersensitivitas dan
perubahan warna pada cairan tubuh.
 Paduan ini dapat diimplementasikan di wilayah dengan
transmisi rendah [6].

a. Pengobatan Pencegahan (PP INH) bagi ODHA dewasa


Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TBC
aktif pada ODHA, sehingga dapat menurunkan beban TBC pada ODHA. Jika pada
ODHA tidak terbukti TBC Aktif dan tidak ada kontraindikasi, maka diberikan INH
dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari selama 6 bulan (180
dosis).

89
90

VIII. REFERENSI

A. Permenkes TBC No.67, tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC


B. Strategi Nasional Pengendalian TBC, 2019 – 2024
C. Petunjuk Tehnis Tatalaksana Ko-infeksi TBC/HIV, Kemenkes RI, 2012
D. Petunjuk Tehnis Manajemen TBC anak, Kemenkes RI, 2016
E. Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat,
Kemenkes RI, 2013
F. Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia no HK.01.07/Menkes /755/2019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana TBC ( PNPK )

90
91

IX. LAMPIRAN:
Pengobatan Pasien TBC Dengan Keadaan Khusus
Beberapa keadaan khusus tertentu dapat dialami oleh pasien setelah dan selama
mendapatkan pengobatan TBC, sehingga pasien perlu mendapatkan penanganan
yang spesifik sesuai dengan kondisinya dan pengobatan TBC nya tetap dapat
diteruskan sampai selesai. Beberapa kondisi tersebut antara lain adalah :
a. Pengobatan TBC pada ODHA
Tatalaksana pengobatan TBC pada ODHA adalah sama seperti pasien TBC
lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TBC diberikan segera. Penting
diperhatikan dari pengobatan TBC pada ODHA adalah apakah pasien tersebut
sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.
Prioritas utama bagi pasien TBC dengan HIV positif adalah segera
memberikan pengobatan OAT diikuti dengan pemberian Kotrimoksasol dan
ARV. Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 8 minggu
pertama setelah dimulainya pengobatan TBC.
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin) yang perlu dimulai ART
bila tidak ada alternatif lain.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TBC tidak
dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut
ke RS rujukan pengobatan ARV. Kerjasama yang erat dengan Faskes yang
memberikan pelayanan pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya
kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV agar pengobatan dapat
berhasil dengan baik.
1) Pengobatan TBC pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
a) Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu
pertama setelah dimulainya pengobatan TBC dan dapat ditoleransi baik
.
b) Penting diperhatikan dari pengobatan TBC pada ODHA adalah apakah
pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien
sedang dalam pengobatan ARV,sebaiknya pengobatan TBC tidak
dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien
tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
c) Apabila pasien TBC didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke
unit HIV atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya
pengobatan ARV.

91
92

d) Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat


membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama
mendapat pengobatan ARV.
e) Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu
memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS
rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TBC bisa
didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di
dalam unit PDP.
f) Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi
dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka
pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk
meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan oleh unit HIV.
g) Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan
pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan
harus dilakukan penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil
dengan baik.

92
93

2) Pemberian pengobatan pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK)


Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk
mengurangi angkakesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau
tanpa TBC akibat IO. Pengobatanpencegahan dengan kotrimoksasol
relatif aman dan harus diberikan sesuai denganPedoman Nasional PDP
serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP
3) Pemberian Terapi pencegahan TBC (TPT) pada ODHA dengan INH
Berdasarkan hasil penelitian observasional kohort di 4 Rumah sakit
(RSMM, RSHS, RSCM dan RSP), pengobatan pencegahan dengan INH
menurunkan risiko ODHA mengalami TBC sebesar 75%.
Orang yang berhak mendapakan TPT INH adalah:
o Semua ODHA yang tidak sakit TBC
o Tidak ada kontraindikasi seperti:
• Gangguan fungsi hati (SGOT/SGPT >3x batas atas
normal/ikterus),
• Neuropati perifer berat (mengganggu aktivitas),
• Riwayat alergi INH,
• Ketergantungan alkohol,
• Riwayat resisten INH (monoresisten/poliresisten/TBC MDR).

93
94

Pengobatan INH
• Menggunakan Isoniazid dosis 300 mg + Vitamin B6*
• Diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180 dosis).
* Vitamin B6 diberikan untuk mengurangi efek samping INH Dosis 25 mg per
hari atau 50 mg 2 hari sekali

Pemantauan INH
Dilakukan bersama dengan pemantauan paket pengobatan lain pada ODHA
untuk
memastikan agar pasien meminum obat secara teratur dan mengetahui efek
samping
secara dini.
Pemantauan dilakukan setiap kali ODHA berkunjung ke layanan HIV.

Efek samping Pengobatan


Sama seperti obat lainnya, INH dapat memberikan efek samping. Namun Tidak
semua pasien mengalami efek samping

Penanganan Efek Samping pengobatan


Beberapa efek samping yang kadang ditemukan, dapat diatasi sebagai berikut

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan


kemerahan kulit”:
Jika seorang pasien dalam INH mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-
histamin dapat sambil meneruskan INH dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan INH. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.

94
95

4) Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV.


Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif
berkesinambungan, artinya dilakukan secara holistik dan terus menerus
melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara
kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif meliputi
pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti
aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan
penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi,
sosial dan kebutuhan spiritual individu termasuk perawatan paliatif.
Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses
layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari
kelompok sebaya.
b. Pengobatan TBC pada Diabetes Melitus
TBC merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan
Diabetes Mellitus.
Anjuran pengobatan TBC pada pasien dengan Diabetes Melitus:
1. Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT
bagi pasien TBC tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
2. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
3. Hati-hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

95
96

4. Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi


efektifitasobat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
5. Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini
bilaterjadi kekambuhan
6. Pilihan utama untuk pengobatan DM pada pasien TBC adalah insulin.
Oleh karena OAT pada umumnya hepatotoksik yang akan
mempengaruhi metabolisme obat Hipoglikemik Oral (OHO). OAT juga
dapat menghambat penyerapan OHO disaluran pencernaan, sehingga
diperlukan dosis OHO yang lebih tinggi.
7. Untuk kendali gula darah, pasien TBC dengan DM di FKTP, sebaiknya
dirujuk ke FKRTL untuk menginisasi obat anti diabetik.
8. Pada pasien TBC RO, Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping
OAT terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer. Obat Anti Diabetika
(OAD) tidak merupakan kontraindikasi selama masa pengobatan TBC
tetapi biasanya memerlukan dosis OAD yang lebih tinggi sehingga perlu
penanganan khusus. Apabila pasien minum etionamid maka kadar
insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk itu perlu konsultasi dengan ahli
penyakit dalam. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin harus dipantau
setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali
dalam 1 bulan selama tahap awal.
c. Pengobatan Pasien TBC dengan kelainan hati
1) Pasien TBC dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TBC dengan hepatitis akut dan atau
klinis ikterik,ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk
penatalaksanaan spesialistik.
1) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan
OAT yangbiasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
a. Pembawa virus hepatitis
b. Riwayat penyakit hepatitis akut
c. Saat ini masih sebagai pecandu alcohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien
dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
2) Hepatitis Kronis

96
97

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,


pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan.
Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai
pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
1) 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
2) 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
3) Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensinya sangat
lemah).
d. Pengobatan TBC pada ibu hamil, pengguna kontrasepsi dan wanita usia
subur
Kehamilan, Ibu menyusui dan bayinya, pengguna kontrasepsi
2) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TBC pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT
aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti
streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada
bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TBC. Pemberian
Piridoksin 50mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan
pengobatan TBC, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga
dianjurkan apabila Rifampisin digunakan padatrimester 3 kehamilan
menjelang partus.
3) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada ibu menyusui tidak berbeda
denganpengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT Lini 1 aman untuk
ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TBC harus

97
98

mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat


merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TBC kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
4) Pasien TBC pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TBC sebaiknya mengggunakan kontrasepsi
non-hormonal
e. Pengobatan TBC pada perempuan usia subur
1) Jika pasien menggunakan kontrasepsi, Rifampisin berinteraksi dengan
kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat
menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TBC
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal
2) Semua pasien TBC RO usia subur yang akan mendapat pengobatan
dengan OAT RO, harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
3) Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai
kontrasepsi fisik selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.
f. Pengobatan pasien TBC dengan gangguan fungsi ginjal
 Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TBC
khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
 Pemberian OAT TBC pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati–hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol
tidak diberikan karena diekskresi melalui ginjal.
 Perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer.
 Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Penilaian tingkat
kegagalan fungsi ginjal berdasarkan pada pemeriksaan kreatinin.
g. Pasien TBC yang perlu mendapatkan tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TBC dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b. TBC milier dengan atau tanpa meningitis
c. Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial

98
99

d. Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TBC saluran


kencing(untuk mencegah penyempitan ureter), pembesaran kelenjar
getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f. IRIS (Immune Response Inflammatory Syndrome).
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan
ringannya keluhan serta respon klinis.

99
100

ROLEPLAY/BERMAIN PERAN:
Petunjuk RolePlay:
1.Peserta dibagi 5 kelompok masing masing 6 orang
2.Pembagian Peran: sebagai Dokter, Perawat/ Bidan, Orang Tua, Kader .
3.Kasus :
Dalam satu rumah yg dihuni 4 orang terdiri, Seorang Janda umur 57 tahun menderita
Tuberkulosis dalam pengobatan 1,5 bulan di Puskesmas Kranggan (dengan hasil
Laboratorim BTA 3 postif dan mempunyai kartu berobat TBC /01). Janda tersebut
satu rumah dengan anak perempuan nya yang sudah menikah mempunyai anak
perempuan umur 4 tahun tumbuh sehat lincah.
Role Play / BERMAIN PERAN
a. Masing masing kelompok mainkan perannya dalam hal
 Investigasi Kontak TBC
 Pengobatan Pencegahan PPINH utk Anak
b.Bagaiaman a Teknik Komunikasi Motivasi kepada semua keluarga yang mempunyai
Balita dan Anak < 14 tahun agar mau mendapat kan pengobatan pencegahan PPINH?

100
PELATIHAN PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS
TINGKAT FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

MATERI INTI 3
MANAJEMEN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
JAKARTA
2020

1
TIM PENYUSUN
Pelindung:
dr. Anung Sugihantoro, M.Kes (Direktur Jendral P2P)
Pengarah:
1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)
2. dr. Imran Pambudi, MPHM (Kepala Subdit TBC)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. Dr. Sulistya Widada
Editor
Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes
Anggota:
1. dr. Irfan Ediyanto
2. Sarah, SKM
3. dr. Endang Lukitosari, MPH
4. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
5. H.D Djamal, M.Si
6. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
7. Saida N. Debataradja, SKM
8. dr. Setiawan Jati Laksono
9. drg. Siti Nur Anisah, MPH
10. Sulistyo, SKM, M.Epid
11. Suwandi SKM, M. Epid
12. dr. Wihardi Triman, MQIH
13. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
14. Rudi Hutagalung
15. Suhardini, SKM, MKM
16. Novia Rachmayanti M.Biomed
17. Evi Natsir, SKM
18. Roro Antasari , SKM
19. Dela Pramesti, SKM
20. Triana Yuliarsih , SKM
21. Roni Chandra M.Biomed
22. dr Galuh Budhi Leksono Adhi M .Kes
23. Dangan Prasetya,S.IP
24. Mikyal Faralina SKM

2
25. Windy Oktavina SKM M.Kes
26. Sophia Talena Adoe SKM

3
DAFTAR SINGKATAN
AKMS = Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BTA = Basil Tahan Asam
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
CNR = Case Notification Rate
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy

DPM = Dokter Praktek Mandiri


DUP = Daftar Usulan Pyoyek
ED = Expired Date
FDC = Fixed Dose Combination
FEFO = First expired first out
IFK = Instalasi Farmasi Kabupaten
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KIE = Komunikasi, Informasi dan Edukasi
LPLPO = Laporan pemakaian dan laporan permintaan obat
MDR = Multi Drug Resistance
POA = Plan Of Action
RO = Resistan Obat
SO = Sensitif Obat
PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri
PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PS = Puskesmas Satelit
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat
RS = Rumah Sakit
RSP = Rumah Sakit Paru
SMART = Smart, Measurable, Achievable, Realistic, Time Bound
TBC = Tuberkulosis
WHO = World Health Organization

4
I. DISKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Penularan melalui udara, sumber penularan adalah
pasien TBC yang dahaknya mengandung kuman TBC.
Sejak tahun 1995, program penanggulangan TBC nasional mengadopsi strategi
DOTS atau Directly Observed Treatment Shortcourse, yang direkomendasi oleh
WHO.Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang
paling cost effective.
Materi Program Penanggulangan TBC berisi target dan strategi nasional
penanggulangan TBC terutama elimanasi TBC tahun 2030 dan Indonesia bebas TBC
tahun 2050, sehingga diperlukan penguatan kepemimpinan program TBC;
peningkatan akses pelayanan TBC yang bermutu terintegrasi dengan PISPK
;pengendalian faktor risiko TBC; peningkatan kemitraan; peningkatan kemandirian
masyarakat dalam pengendalian TBC; dan penguatan manajemen program TBC.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


a. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU):
Setelah menyelesaikan materi ini, peserta latih mampu melakukan manajemen
penanggulangan TBC di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
b. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK):
Setelah menyelesaikan materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan pemetaan wilayah;
2. Melakukan Perencanaan program penanggulangan TBC
3. Melakukan Penggerakan program penanggulangan TBC

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


A. Pemetaan wilayah
1. Peta wilayah
2. Data demografi
3. Kasus TBC
4. Jumlah kader TBC
5. Jarak tempuh dari fasyankes ke wilayah berisiko TBC

B. Perencanaan Program Penanggulangan TBC


1. Strategi Penemuan Kasus
2. Target
3. Logistik
4. Sarana dan Prasarana
5. Sumber Daya Manusia (SDM)
6. Rencana Kerja (POA)

C. Penggerakan Program Penanggulangan TBC


1. Jejaring Penyedia Layanan
2. Jejaring Layanan

5
IV. METODE PEMBELAJARAN
1. Curah pendapat,
2. CTJ,
3. Diskusi kelompok,
4. Studi kasus

V. ALAT BANTU/ MEDIA


1. Komputer, 6. Pedoman Studi Kasus,
2. LCD, 7. Bahan tayang,
3. Flipchart, 8. Meta plan,
4. Whiteboard, 9. Modul MI.3
5. Spidol,

VI. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1 : Penyiapan Proses pembelajaran
1. Kegiatan Pelatih
a. Pelatih memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana dikelas
b. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas mulailah dengan
memperkenalkan diri, Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama
lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.
d. Menggali pendapat peserta (apersepsi) tentang apa yang dimaksud
dengan Manajemen Penanggulangan TBC.
e. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran tentang
Manajemen Penanggulangan TBC.
f. Memfasilitasi pemilihan ketua.
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan Pelatih
c. Setiap peserta memperkenalkan diri
d. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
e. Mengajukan pertanyaan kepada Pelatih bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
B. Langkah 2 : Pokok bahasan dan sub pokok bahasan
1. Kegiatan Pelatih
a. Menyampaikan Pokok Bahasan dan sub pokok bahasan A sampai
dengan F secara garis besar dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal
yang kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting

6
b. Mengajukan pertanyaan kepada Pelatih sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Pelatih.
C. Langkah 3 : Pendalaman pokok bahasan dan Sub pokok bahasan
1. Kegiatan Pelatih
a. Menugaskan kelompok untuk membaca materi inti 1 secara bergantian
b. Mengamati peserta dan memberikan bimbingan pada proses
penyelesaian latihan, menyimpulkan hasil diskusi.
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan bertanya pada hal-hal yang kurang jelas pada
pelatih.
b. Melakukan proses membaca materi secara bergantian.
c. Mengikuti diskusi dalam kelompok.
D. Langkah 4 : Rangkuman dan evaluasi hasil belajar
1. Kegiatan Pelatih
a. Menugaskan peserta latih menjawab pertanyaan yang sudah disiapkan
termasuk evaluasi akhir materi dalam lampiran.
b. Memperjelas jawaban peserta terhadap masing – masing pertanyaan
c. Bersama peserta diskusi dan merangkum butir-butir penting dari hasil
proses pembelajaran.
d. Membuat kesimpulan.
2. Kegiatan Peserta
a. Menjawab pertanyaan yang ditugaskanPelatih.
b. Bersama Pelatih merangkum hasil proses pembelajaran koordinasi lintas
program dan lintas sektor.

VII. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan 1
A. Pemetaan Wilayah
1. Peta wilayah
Yang dimaksud dengan peta wilayah adalah menggambarkan situasi
epidemiologi TBC di suatu area tertentu dapat berupa wilayah kerja
puskesmas atau wilayah kerja kabupaten/kota.
Peta wilayah secara umum dapat dilakukan oleh fasyankes tingkat pertama
(Puskesmas) sedangkan klinik pratama dan fasyankes tingkat lanjut tidak
mempunyai wilayah kerja sehingga tidak mempunyai kewajiban untuk
membuat peta wilayah.
2. Data Demografi
Data demografi adalah informasi yang bersifat dinamis tentang konfigurasi
kependudukan di dalam suatu wilayah kerja yang memuat karakteristik
jumlah penduduk, jenis kelamin, usia penduduk, pendidikan, dan pekerjaan.
3. Kasus TBC
Jumlah kasus TBC dewasa dan anak dapat diperoleh dari hasil kegiatan
selama satu tahun sebelumnya yang memuat jumlah terduga TBC, jumlah
pasien TBC yang terkonfirmasi bakteriologis, jumlah pasien TBC yang
terdiagnosis secara klinis, jumlah kasus TBC yang diketahui status HIV,
jumlah kasus TBC dengan HIV positif dalam pengobatan ART, jumlah kasus

7
TBC dengan komorbid DM/penyandang DM, jumlah kasus TBC melalui
pendekatan PAL (Practical Approach to Lung Health), dan jumlah pasien TBC
ekstra paru.
4. Jumlah Kader TBC
Yang dimaksud kader TBC adalah komunitas yang berasal dari masyarakat
dalam wilayah kerja tertentu yang telah mendapatkan pelatihan dan masih
aktif, baik yang dilakukan oleh Puskemas, UKBM, LSM (Aisyiyah, PPTI,
LKNU, dan lain-lain)
5. Akses Pelayanan Kesehatan dari FKTP di Wilayahnya
Jarak tempuh adalah suatu jarak yang akan ditempuh dan dapat dilakukan
dalam kegiatan penemuan secara aktif masif/PISPK dari FKTP ke sasaran
tiap desa/kelurahaan.

Pokok Bahasan 2
B. Perencanaan Program Penanggulangan TBC
1. Strategi Penemuan Kasus
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no.67 tahun 2016 terdapat tiga
Akselerasi program TBC, yaitu:
a. Melakukan penemuan pasif intensif dan aktif masif:
 Penguatan jejaring layanan pemerintah dan swasta berbasis
kabupaten/kota dan memberikan layanan standar serta wajib melaporkan
setiap pasien TBC yang dilayani kepada dinas kesehatan setempat.
 Melakukan pendekatan terpadu dengan layanan lain : HIV, DM, Gizi,
Penyakit paru lainnya, KIA, penanggulangan rokok, kesehatan lingkungan,
promosi dan penyuluhan kesehatan.
 Melakukan investigasi kontak pasien TBC ke rumah dan lingkungannya
dengan melakukan skrining gejala TBC.
 Penemuan aktif dan massal di daerah berisiko, seperti perumah padat dan
kumuh, rutan, lapas, pabrik, prsantren, sekolah, tambang, dll.
 Pemantauan minum obat sampai tuntas dan melakukan pacakan kasus
TBC yang mangkir / drop out.
b. Kerjasama secara multisektoral dengan membuat rencana aksi daerah
dalam bentuk perda/perkada untuk kesinambungan dan sinergitas program
TBC.
c. Penguatan monitoring dan evaluasi secara berjenjang ke pusat dengan
indikator :
 angka penemuan kasus TBC lebih dari 90% dan angka keberhasilan
pengobatan lebih dari 90%.
 Minimal 90% pasien TBC dilakukan investigasi kontak.
 Setiap kab/kota telah membentuk jejaring layanan kolaborasi pemerintah-
swasta dan berfungsi secara baik.
 Setiap kab/kota memiliki rencana aksi daerah dalam bentuk
perda/perkada

2. Target
Keberhasilan program penanggulangan TBC ditandai dengan tercapainya
sasaran yang telah direncanakan berdasarkan evidence based data (data

8
epidemiologi). Dalam menentukan beban TBC saat ini menggunakan metode
modeling dan selanjutnya ditentukan target penemuan kasus TBC yang
secara nasional telah diturunkan sampai ke kabupaten/kota. Sedangkan
target untuk fasyankes yang mempunyai wilayah kerja (puskesmas) akan
diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat secara
proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

3. Logistik
Logistik sebagai bahan pendukung dalam tatalaksana pasien TBC di
fasyankes sangat diperlukan ketersediaannya untuk menjamin ketersediaan
logistik mulai dari kegiatan penemuan, pengobatan, dan pemantauan setelah
selesai pengobatan.
Logistik yang diperlukan dalam pelaksanaan penanggulangan TBC di
fasyankes adalah:
a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
b. Logistik non OAT antara lain reagen Ziehl Nielsen (ZN), kaca sediaan,
mikroskop, pot dahak, minyak imersi, ether alkohol, tisu, ose/aplikator
bambu, lampu spiritus/bunsen, rak pengering, lysol, kertas lensa, dan lain-
lain.
c. Obat untuk pencegahan TBC dan IPT TBC HIV.
d. Larutan tuberkulin untuk tuberkulin tes.
e. Sarana dan bahan-bahan Laboratorium.
f. Formulir, kartu, dan buku register.

Program Penanggulangan TBC menyediakan Logistik OAT dan non-OAT


yang digunakan untuk TBC sensitif obat dan TBC resistan obat.
 OAT untuk TBC sensitif obat disediakan dalam bentuk paket
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan obat lepasan (kombipak).
 OAT untuk TBC resistan obat disediakan dalam bentuk obat lepas.

1) Perhitungan Kebutuhan OAT untuk TBC Sensitif Obat


Penghitungan perencanaan kebutuhan obat pasien TBC dihitung dengan
rumus sebagai berikut:

Jumlah OAT yang dibutuhkan = (Kb x Pp) + Bs – (Ss + Sp) + Bs

Keterangan:
Kb = Perkiraan kebutuhan OAT perbulan (dalam satuan paket)
Menghitung Kb adalah rata rata konsumsi perbulan tahun lalu
atau target yang akan dicapai pada tahun perencanaan.
Pp = Periode perencanaan (dalam satuan bulan), mulai saat
perencanaan sampai OAT diterima
Bs = Buffer stok (dalam satuan paket) = ...% x (Kb x Pp)
Ss = Stok sekarang (dalam satuan paket)
Sp = Stok dalam pesanan yang sudah pasti (dalam satuan paket)

2) Perhitungan Kebutuhan OAT untuk TBC Resistan Obat

9
Perhitungan kebutuhan obat pasien TBC Resistan Obat dihitung oleh
kabupaten/kota.

3) Perhitungan Kebutuhan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT)


Dalam proses perencanaan TPT, dilakukan penghitungan kebutuhan
TPT dari setiap level dengan penghitungan sebagai berikut:

Penghitungan paduan 6H
Tabel 1 Perhitungan Paduan 6H

Kelompok Cara Penghitungan Rumus


Anak < 5 1. Perkiraan jumlah kontak 1. Estimasi insiden TBC x 54%
tahun serumah x (4-1) orang
den- gan * Proporsi kasus TBC
asumsi terkonfirma- si bakteriologis
berat 10 – (54%), rata-rata ukuran
14 kg rumah tangga (4 orang),
perkiraan sakit TBC 1
orang
2. Perkiraan jumlah anak 2. Jumlah kontak serumah x 9%
usia dibawah 5 tahun yang *Proporsi populasi anak usia
layak mendapatkan TPT dibawah 5 tahun, 9%
6H/eligible (BPS)
3. Perkiraan jumlah INH 3. Perkiraan jumlah anak <5
100 mg yang dibutuhkan tahun yang eligible x 180 hari x
1 tablet
*180 hari = Durasi minum obat,
6 bulan (1 bulan = 30 hari)
Anak usia 5- 1. Perkiraan jumlah kontak 1. Estimasi insiden TBC x 54%
14 tahun serumah x (4-1) orang
dengan 2. Perkiraan jumlah 2. [Jumlah kontak serumah x
asumsi berat anak usia 5 - 14 9%] x 2
25 - 32 kg tahun yang layak *Rasio proporsi populasi anak
mendapatkan TPT 6H 5-14 dan <5 tahun = 2:1 (BPS)
3. Perkiraan jumlah INH 3. Perkiraan jumlah anak usia 5
100 mg yang dibutuhkan - 14 tahun eligible x 180 hari x 3
tablet
4. Perkiraan jumlah INH 4. Perkiraan jumlah anak usia 5
300 mg yang dibutuhkan - 14 tahun eligible x 180 hari x 1
tablet
Remaja dan 1. Perkiraan jumlah kontak 1.Estimasi insiden TBC x 54% x
de- wasa usia serumah (4-1) orang
diatas 15 2. Perkiraan jumlah 2.Jumlah kontak serumah –
tahun den- remaja dan dewasa usia jumlah anak usia dibawah 5
gan asumsi diatas 15 tahun yang tahun yang eligible – jumlah
berat >50 kg layak mendapatkan TPT anak usia 5-14 tahun yang
6H eligible
3. Perkiraan jumlah INH 3.Perkiraan jumlah remaja dan
100 mg yang dibutuhkan dewasa usia diatas 15 tahun

10
yang eligible x 180 hari x 3
tablet
4. Perkiraan jumlah INH 4. Perkiraan jumlah remaja dan
300 mg yang dibutuhkan dewasa usia diatas 15 tahun
yang eligible x 180 hari x 1
tablet
ODHIV 1. Perkiraan jumlah Jumlah ODHIV anak usia < 2
ODHIV anak usia < 2 tahun x proporsi ODHIV anak
tahun yang layak usia < 2 tahun x 100% target
mendapatkan capaian TPT ODHIV anak usia
TPT 6H < 2 pada tahun perencanaan
2. Perkiraan jumlah INH Perkiraan jumlah ODHIV anak
100 mg yang dibutuhkan usia
< 2 tahun yang eligible x 180
hari x 1 tablet

Penghitungan paduan 3(HR)

Tabel 2 Penghitungan Paduan 3(HR)

Kelompok Cara Penghitungan Rumus


Anak < 5 1. Perkiraan jumlah 1) Estimasi insiden TBC x 54% x
tahun kontak serumah (4-1) orang
dengan
asumsi
berat 10 –
14 kg
2. Perkiraan jumlah 2) Jumlah kontak serumah x 9%
anak usia < 5 *Proporsi populasi anak usia
tahun yang layak dibawah 5 tahun, 9% (BPS)
mendapatkan
TPT 3(HR)
(50mg/75mg)/eligib
le
3. Perkiraan jumlah 3) Perkiraan jumlah anak <5
3(HR) tahun yang eligible x 84 hari x 2
(50mg/75mg) yang tablet
dibu- tuhkan *84 hari = Durasi minum obat,3
bulan (1 bulan = 28 hari)
ODHIV < 2 1. Perkiraan jumlah 1) Jumlah ODHIV anak usia < 2
tahun ODHIV anak usia <2 tahun x pro- porsi ODHIV anak
tahun yang layak usia < 2 tahun x 100% target
mendapatkan TPT capaian TPT ODHIV anak usia
3(HR) (50mg/75mg) < 2 pada tahun perencanaan
2. Perkiraan jumlah 2) Perkiraan jumlah ODHIV anak
3(HR) usia < 2 tahun yang eligible x
(50mg/75mg) yang 84 hari x 2 tablet
dibu- tuhkan

11
Penghitungan paduan 3HP
Tabel 3 Penghitungan Paduan 3HP

Kelompok Cara Perhitungan Rumus


Anak usia 1. Perkiraan jumlah 1) Estimasi insiden TBC x 54% x
2-4 tahun kontak serumah (4-1) orang
dengan 2. Perkiraan jumlah 2) Jumlah kontak serumah x 9% x
asumsi anak 2-4 tahun yang 3/5
berat layak mendapatkan *Proporsi populasi anak usia
badan 10- TPT 3HP/ eligible dibawah 5 tahun, 9% (BPS);
14 kg rasio proporsi anak 2-4 tahun
dan anak 5 tahun = 3:5
3. Perkiraan jumlah INH 3) Perkiraan jumlah anak 2-4
300mg yang tahun yang eligible x 12 minggu
dibutuhkan x 1 tablet
*12 minggu = Durasi minum
obat,3 bulan (1 bulan = 4 minggu)
4. Perkiraan jumlah P 4) Perkiraan jumlah anak 2-4
150mg yang tahun yang eligible x 12 minggu
dibutuhkan x 2 tablet
Anak usia 1. Perkiraan jumlah 1) Estimasi insiden TBC x 54% x
5-14 kontak serumah (4-1) orang
deng
an asumsi
bera
t badan
25-32 kg
2. Perkiraan jumlah anak 2) Perkiraan jumlah anak <5
5-14 tahun yang layak tahun yang eligible x 2
mendapatkan TPT *Rasio proporsi populasi anak
3HP/ usia 5-14 tahun dan <5 tahun =
eligible 2:1
3. Perkiraan jumlah INH 3) Perkiraan jumlah anak 2-4
100mg yang tahun yang eligible x 12 minggu
dibutuhkan x 6 tablet
4. Perkiraan jumlah INH 4) Perkiraan jumlah anak 2-4
300mg tahun yang eligible x 12 minggu
x 2 tablet
5. Perkiraan jumlah P 5) Perkiraan jumlah anak 2-4
150mg yang tahun yang eligible x 12 minggu
dibutuhkan x 4 tablet
Remaja 1. Perkiraan jumlah 1) Estimasi insiden TBC x 54% x
dan kontak serumah (4-1) orang
dewasa
usia ≥15
tahun
dengan
asumsi
berat
badan

12
>50 kg

2) Perkiraan total kontak serumah


– perkiraan jumlah anak usia
15 tahun yang layak dibawah 5 tahun yang eligible
mendapatkan – perkiraan jumlah anak usia
TPT 3HP 5-14 tahun yang eligible
3. Perkiraan jumlah INH 3) Perkiraan jumlah remaja dan
300 mg yang dibutuhkan dewasa usia ≥ 15
tahun yang eligible x 12 minggu x
3 tablet
4. Perkiraan jumlah P 4) Perkiraan jumlah remaja dan
150mg yang dibutuhkan dewasa usia ≥15
tahun yang eligible x 12 minggu x
6 tablet
ODHIV 1. Perkiraan jumlah INH 1) Perkiraan jumlah ODHIV usia ≥
300mg yang dibutuhkan 2 tahun yang layak
mendapatkan TPT 3HP sesuai
target perkiraan ODHIV on
ART yg memenuhi syarat utk
terapi pencegahan
TPT (ODHIV diperiksa TBC
hasilnya BTA nya negatif) x 12
minggu x 3 tablet
2. Perkiraan jumlah P 2) Perkiraan jumlah ODHIV usia
150mg yang dibutuhkan ≥2 tahun yang layak
= mendapatkan TPT 3HP sesuai
target perkiraan ODHIV on ART
yg memenuhi syarat utk terapi
pencegahan TPT (ODHIV
diperiksa TBC hasilnya BTA
nya negatif) x 12 minggu x 6
tablet

Penghitungan Paduan Pengobatan Pencegahan TBC RO (Lfx+E)

Tabel 4 Penghitungan Paduan Lfx+E

Obat yang diberikan Dosis Durasi Pengobatan


- Levofloxacin (Lfx) + - Lfx 15-20 mg/kg/ hari
1 obat sesuai - E 15-25 mg/kg/hari
dengan
DST kasus indeks 6 bulan
- Lfx + Etambutol (bila
kasus indeks tidak
resistan Etambutol)

13
- Lfx saja

4. Sarana dan Prasarana


Dalam memberikan tatalaksana TBC yang baik diperlukan:
a. Ruangan yang sesuai standar PPI
b. Sistem pembuangan limbah/K3
c. Tempat mendahak (sputum booth)
d. Sistem ventilasi
e. Hands rub (cuci tangan dengan antiseptik)

5. Sumber Daya Manusia (SDM)


Setiap FKTP yang melakukan tatalaksana TBC harus mempunyai tenaga
terlatih TBC sebagai berikut:
 Dokter
 Paramedis (perawat/bidan)
 Petugas laboratorium
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan tatalaksana TBC perlu dilakukan
peningkatan kompetensi melalui pelatihan, on the job training (OJT),
workshop, studi banding, dan lain-lain.
Di dalam menentukan petugas yang perlu untuk ditingkatkan
kompetensinya maka FKTP harus membuat perencanaan peningkatan
kualitas SDM di bawah koordinasi dinas kesehatan kabupaten/kota.

6. Rencana Kerja (Plan of Action)


1) Jenis dan jadwal kegiatan:
1) Luar gedung dengan melakukan active massive case finding
dengan sasaran sebagai berikut:
 Kontak dengan pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis
 Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV)
 Penyandang DM
 Gizi buruk
 Daerah kumuh
 Populasi padat (pengungsi, imigran, lapas)
 Daerah perbatasan
2) Dalam gedung dengan melakukan passive intensive case finding
dilakukan dengan promotif aktif dan kolaborasi rutin program TBC
yang terintegrasi dengan HIV, PTM, PAL, dan MTBCS.
3) Menyusun jadwal kegiatan:
 Di dalam gedung
 Di luar gedung

14
4). Penanggung jawab
5). Sumber dana
6). Evaluasi dengan menggunakan indikator program
7).. Rencana Tindak Lanjut sesuai table sebagai berikut :

Tabel 1. Rencana Kerja FKTP ………… bulan……. tahun ……

Jenis/sub Sumber Penanggung


No. Lokasi Waktu Keterangan
Kegiatan dana jawab

*
dibuat per bulan

Pokok Bahasan 3:
C. Penggerakan Program Penanggulangan TBC
Penggerakan program penanggulangan TBC dilakukan bekerjasama dengan lintas
program dan lintas sektor. Lintas sektor yang dimaksud antara lain: tokoh agama,
tokoh masyarakat, Camat, Lurah/Kepala Desa, RW, RT, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), kader TBC, dokter praktek swasta, klinik swasta, laboratorium,
apotek, dll. Penggerakan program penanggulangan TBC di wilayah Puskesmas
menjadi tanggung jawab Camat berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas.
Kegiatan jejaring penanggulangan TBC di tingkat FKTP
adalah:
1) melakukan manajemen uji silang sediaan.
2) melakukan penemuan kasus;
3) melakukan pengobatan TBC;
4) melakukan pengendalian faktor risiko;
5) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam bentuk usulan SDM
yang akan mengikuti pelatihan, melatih kader bersama LSM;
6) melakukan KIE;
7) mengintegrasikan penanggulangan TBC;
8) melakukan rujukan.
Berdasarkan lingkup pelaksanaan, jejaring layanan tuberkulosis terdiri dari 2
jenis, yaitu jejaring internal dan jejaring eksternal termasuk pencatatan dan
pelaporan didalamnya.
1. Jejaring internal TBC adalah jejaring layanan TBC di dalam fasyankes yang
melibatkan semua poli/unit layanan yang diharapkan dapat menerapkan sistem
skrining TBC, penemuan terduga dan pasien TBC, rujukan penegakan diagnosis
terduga TBC, rujukan pengobatan pasien TBC antar poli/unit, pemberian terapi
pencegahan TBC, serta mekanisme pencatatan dan pelaporan TBC di fasilitas
kesehatan yang diawasi oleh manajeman fasyankes dan dikoordinasikan oleh tim
TBC di fasyankes.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi layanan TBC dengan unit
kesehatan lain di suatu fasyankes, mengurangi terjadinya keterlambatan
diagnosis TBC, mengurangi keterlambatan pelaporan TBC serta memastikan
seluruh terduga dan pasien TBC dilaporkan ke sistem informasi nasional TBC.
2. Jejaring eksternal TBC adalah jejaring layanan TBC di antara semua fasyankes
di suatu kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan

15
Kabupaten/Kota yang diharapkan dapat mengawasi terselenggaranya akses
diagnosis TBC, rujukan pengobatan TBC antar fasyankes, sistem penemuan
terduga dan pelacakan pasien TBC mangkir (Lost to Follow Up/LTFU),
investigasi kontak dan akses logistik OAT dan non-OAT TBC untuk semua
fasilitas kesehatan di suatu kabupaten/kota.
Jejaring ini bertujuan untuk memastikan seluruh fasyankes memiliki akses untuk
memberikan layanan TBC yang sesuai standar agar semua pasien TBC
ternotifikasi, diobati dan terlaporkan ke sistem informasi TBC

1. Jejaring Internal Layanan Tuberkulosis di FKTP


a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di tingkat
kabupaten/kota terdiri atas puskesmas, DPM, dan klinik. Jejaring
internal di FKTP adalah jejaring internal TBC di puskesmas dan
fasyankes tingkat pertama lainnya. Jejaring internal TBC di FKTP
bertujuan untuk:
 Meningkatkan kegiatan kolaborasi layanan antar unit layanan,
misalnya antara unit pelayanan umum, gigi, MTBCS, KIA, HIV
dan unit lainnya di dalam puskesmas;
 Mengurangi terjadinya keterlambatan diagnosis TBC (delayed-
diagnosis) dan kasus TBC yang tidak terlaporkan (under-
reporting);
 Meningkatkan peran petugas TBCd dalam penemuan,
pencatatan dan pelaporan kasus TBC;
 Memastikan kasus TBC dilaporkan secara berkala melalui
sistem informasi program tuberkulosis
Mekanisme jejaring internal TBC di FKTP adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Alur jejaring Internal penanganan pasien TBC di FKTP:


a. Pasien dapat datang ke unit Pelayanan Umum, Pelayanan Gigi, Pelayanan
MTBCS, KIA atau langsung ke unit DOTS melalui loket pendaftaran.
b. Pada loket pendaftaran, petugas loket melakukan skrining TBC
berdasarkan gejala dengan menerapkan Strategi Temukan pasien
secepatnya, Pisahkan secara aman, dan Obati secara tepat (TemPO)
c. Jika ditemukan terduga TBC dari unit pelayanan, terduga TBC dikirim ke
unit pelayanan DOTS kemudian petugas DOTS mengisikan form TBC.06
dan menginputkan data terduga TBC kedalam SITB

16
d. Selanjutnya terduga TBC dikirim langsung atau diminta berdahak untuk
dikirim spesimen dahaknya ke laboratorium TCM dengan mengunakan
TBC.05. Petugas TBC melakukan input permohonan laboratorium pada
SITB sebelum melakukan pemeriksaan dahak.
e. Hasil pemeriksaan dahak dicatat di form TBC.04 kemudian dikirim ke dokter
yang bersangkutan. Petugas laboratorium menginput hasil pemeriksaan
dahak pada SITB
f. Penegakan diagnosis dan penentuan klasifikasi TBC dilakukan oleh dokter
di unit DOTS sesuai dengan alur diagnosis TBC terkini.
g. Bila diagnosis sudah ditegakkan, pasien TBC segera di registrasi dengan
menggunakan form TBC.01 dan TBC.02 kemudian dimasukkan ke TBC.03.
Unit DOTS memberikan penyuluhan dan tata cara pengambilan obat, serta
menentukan PMO.
h. Dalam kunjungan selanjutnya, pasien TBC yang telah terdaftar di loket
pendaftaran dapat langsung ke unit DOTS.
i. Setelah memulai pengobatan, petugas Puskesmas melakukan skrining
pemeriksaan HIV dan DM kepada masing-masing pasien TBC. Hasil
skrining dicatat dalam form TBC.01 dan TBC.03 serta menginputkannya
kedalam SITB
j. Puskesmas perlu memastikan mekanisme agar pasien-pasien TBC yang
berobat di puskesmas dapat berobat tepat waktu dan tidak mangkir. Salah
satu upaya tersebut adalah dengan cara memeriksa status pengobatan di
modul kasus SITB dan kartu TBC.01 serta jumlah obat di masing-masing
kotak OAT.
k. Unit pelayanan yang memerlukan logistik baik OAT maupun non-OAT,
seperti pot dahak, formulir pencatatan TBC, reagen, modul TCM dan
sebagainya, dapat diperoleh dari bagian logistik puskesmas.

2. Jejaring Eksternal Layanan Tuberkulosis


Jejaring eksternal TBC dilakukan oleh semua fasyankes, baik FKTP
ataupun FKRTL, di suatu kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Jejaring ekternal bertujuan untuk memastikan
seluruh fasyankes memiliki akses untuk memberikan layanan TBC yang sesuai
standar agar semua pasien TBC ternotifikasi, diobati dan terlaporkan ke sistem
informasi TBC.
Pada tingkat layanan primer, puskesmas merupakan penanggung jawab
di wilayah kerjanya, di mana wewenangnya untuk mengkoordinasikan dan
melaksanakan pembinaan FKTP. Jejaring layanan di tingkat layanan dasar yaitu
Puskesmas dengan DPM, Klinik Pratama, dan masyarakat (organisasi
kemasyarakatan).
.
Jejaring eksternal layanan TBC terdiri dari:
a. Jejaring Rujukan Diagnostik TBC
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis TBC terdiri dari pemeriksaan
bakteriologis dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan bakteriologis
terdiri dari pemeriksaan mikroskopis, Tes Cepat Molekuler (TCM) dan
pemeriksaan biakan, sedangkan pemeriksaan penunjang lain terdiri dari
pemeriksaan foto toraks dan histopatologi. Berdasarkan Surat Edaran
Nomor HK.02.02/III.1/936/2021 tentang Perubahan Alur Diagnosis dan
Pengobatan Tuberkulosis di Indonesia, alat diagnosis utama untuk
penegakan diagnosis tuberkulosis adalah menggunakan TCM.

17
Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan laboratorium dapat
merujuk pasien atau spesimen ke fasyankes lain untuk diagnosis maupun
follow up pasien TBC dan TBC Resistan Obat.
Fasyankes yang dapat melakukan pemeriksaan diagnosis TBC adalah
fasyankes yang memiliki TCM. Fasyankes yang dapat melakukan
pemeriksaan mikroskopis TBC adalah Puskesmas Rujukan Mikroskopis
(PRM), Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) dan RS DOTS. Beberapa
Puskesmas saat ini memiliki status sebagai Puskesmas Satelit (PS) yang
melakukan pemeriksaan mikroskopis sampai dengan fiksasi, kemudian
merujuk sediaan yang telah di fiksasi ke PRM sesuai pengaturan oleh
Dinas Kesehatan setempat. Fasyankes yang dapat melakukan
pemeriksaan biakan adalah laboratorium yang terpantau mutunya oleh
Laboratorium Rujukan Nasional TBC BBLK Surabaya.
Fasyankes yang dapat melakukan pemeriksaan TCM adalah RS,
Puskesmas maupun laboratorium. Pengaturan rujukan pasien/spesimen
ke fasyankes TCM dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
sesuai beban kerja masing-masing laboratorium TCM. Jika kapasitas
laboratorium TCM masih rendah, Dinas Kesehatan dapat mengatur agar
fasyankes di sekitar laboratorium TCM merujuk spesimen dari terduga
TBC ke laboratorium TCM terdekat. Fasyankes tersebut merupakan
jejaring TCM dan hanya melakukan pemeriksaan mikroskopis untuk follow
up. Jumlah dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2
(dua) dahak, yaitu Sewaktu - Sewaktu, Sewaktu - Pagi maupun Pagi –
Sewaktu dengan jarak 1 jam dari pengambilan dahak pertama ke
pengambilan dahak kedua. Standar kualitas dahak yang digunakan adalah
dahak dengan volume 3-5 ml dan mukopurulen.
Alur jejaring diagnosis laboratorium, pengobatan dan pencatatan
pelaporan TBC disesuaikan dengan jenis fasyankes dan ketersediaan alat
TCM.
b. Jejaring Rujukan Pengobatan Pasien
Pasien TBC dalam proses diagnosis dan pengobatan dapat
berpindah antar fasyankes, baik rujukan pasien pindah vertikal (FKTP-
FKRTL) maupun horizontal (FKTP-FKTP atau FKRTL-FKRTL). Pasien
TBC yang berpindah fasyankes harus dapat terinformasi dengan baik
antar fasyankes, sehingga pasien TBC mendapatkan pengobatan TBC
sesuai standar dan hingga tuntas. Secara umum, alur koordiasi pasien
pindah adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Alur Rujukan/Pindah Pasien TBC

i. Rujukan Terduga Pindah Sebelum Mulai Pengobatan

18
Bila terduga TBC sudah dilakukan pemeriksaan diagnostic TBC dan
pasien berpindah fasyankes sebelum pengobatan, maka:
a. Fasyankes perujuk menginformasikan kepada fasyankes yang dituju
serta Dinas Kesehatan dengan menyertakan hasil pemeriksaan
bakteriologis TBC pada TBC 05 dan TBC 09 serta menginput data
pasien di sistem informasi TBC nasional.
b. Fasyankes perujuk memindahkan status pasien pada sistem informasi
TBCnya untuk “Dirujuk ke Fasyankes” tujuan dan/atau mengirimkan
TBC.09 bagian bawah. Status pasien TBC akan berubah menjadi
“Belum lapor”
c. Fasyankes penerima rujukan melakukan konfirmasi menerima pasien
pada sistem informasi TBCnya. Dengan fasyankes penerima rujukan
melakukan konfirmasi, status pasien TBC fasyankes perujuk akan
berubah menjadi “Sudah lapor”
d. Fasyankes penerima rujukan melanjutkan inisiasi pengobatan terduga
TBC yang sudah terkonfirmasi bakteriologis TBC. Bila terduga belum
memiliki hasil pemeriksaan bakteriologis, maka fasyankes penerima
melakukan pemeriksaan diagnosis TBC bagi terduga.
e. Jika pasien berpindah pengobatan keluar kabupaten/kota asal dapat
menggunakan komunikasi lintas batas wilayah (antar Dinas
Kesehatan Kab/Kota atau antar Dinas Kesehatan Provinsi)

ii. Rujukan Pasien Pindah Setelah Mulai Pengobatan


a. Jika Pasien yang sudah memulai pengobatan pindah berobat antar
fasyankes, fasyankes tersebut menginformasikan kepada fasyankes yang
dituju dan Dinas Kesehatan dengan menginput pasien pindah di SITB dan
menyertakan OAT sisa, fotoKOPI TB 01 serta TBC 09;
b. Fasyankes yang menerima pasien pindah mengkonfirmasi ke fasyankes
pengirim melalui SITB dan/atau mengirimkan TBC.09 bagian bawah;
c. Bila pengobatan pasien pindah sudah selesai, fasyankes yang menerima
pasien pindah menginput hasil pengobatan pasien di sistem informasi
TBC serta menginformasikan dan mengirimkan TBC.10 ke fasyankes
pengirim;
d. Jika pasien pindah pengobatan keluar kabupaten/kota asal dapat
digunakan komunikasi lintas batas wilayah (antar Dinas Kesehatan
Kab/Kota atau antar Dinas Kesehatan Provinsi);
e. Rujuk balik dari layanan sekunder ke layanan primer. Unit TBC DOTS RS
dapat berkomunikasi secara aktif dengan poli DOTS Puskesmas.
c. Jejaring Pelacakan Pasien Mangkir
Pasien mangkir ataupun putus obat dapat menghambat penyelesaian
pengobatan. Untuk menjamin pasien TBC menyelesaikan pengobatannya
sampai tuntas, dibutuhkan jejaring eksternal di bawah koordinasi Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Mekanisme jejaring untuk pasien mangkir adalah sebagai berikut:

19
Gambar 4. Alur Pelacakan Pasien TBC Mangkir dari Fasyankes

a. Sebelum memulai pengobatan pada pasien TBC sebaiknya


ditentukan pengawas menelan obat (PMO), alamat dan nomor
kontak pasien TBC untuk dapat menindaklanjuti jika pasien TBC
mangkir dari pengobatan;
b. Pasien mangkir/putus obat milik DPM, Klinik maupun RS dapat
dikomunikasikan dengan Puskesmas sebagai Pembina layanan
primer/penanggung jawab wilayah dan menginformasikan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota;
c. Puskesmas dapat berkoordinasi dengan kader
kesehatan/organisasi kemasyarakatan untuk melacak pasien
mangkir/putus obat dan menginformasikan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

d. Jejaring Investigasi Kontak dan Pemberian Terapi Pencegahan TBC


Investigasi kontak dilakukan terhadap seluruh kontak dari semua
pasien TBC baru/kambuh yang terkonfirmasi bakteriologis (TBC Sensitif
Obat maupun TBC Resisten Obat) dan TBC anak di lingkungan rumah
tangga atau tempat-tempat lain (tempat kerja, asrama, sekolah, tempat
penitipan anak, lapas/rutan, panti, dsb). Sumber data kasus indeks
berasal dari data Puskesmas, rumah sakit, dan fasyankes lainnya baik
pemerintah maupun swasta. Hasil investigasi kontak dari pasien TBC
yang tidak memiliki penyakit TBC harus memulai pemberian terapi
pencegahan tuberkulosis (TPT).
Pemberian TPT merupakan kegiatan yang terintegrasi secara
komprehensif di layanan TBC dan sistem kesehatan. Pasien baru yang
terdiagnosis TBC, maka kontak serumah terutama anak dianggap sebagai
satu kesatuan penerima manfaat layanan TBC. Pemberian TPT bertujuan
untuk mencegah orang dengan infeksi laten tuberkulosis (ILTB) yang
berisiko untuk berkembang menjadi sakit TBC.
Fasyankes selain Puskesmas (Rumah Sakit/RS/DPM/Klinik) dapat
melaporkan dan mengirimkan kasus indeks kepada Puskesmas (sesuai
wilayah tempat tinggal) melalui menu investigasi kontak di SITB.
Puskesmas berkewajiban menerima rujukan indeks kasus, dalam proses
rujukan tersebut, dilakukan juga koordinasi dengan dinas Kesehatan
kabupaten/kota (wasor) sesuai dalam alur koordinasi data kasus indeks.
Puskesmas rujukan IK menerima indeks kasus dari Fasyankes non
Puskesmas dan petugas puskesmas melakukan IK kepada indeks kasus
yang dikirimkan oleh fasyankes tersebut bersama kader kesehatan
komunitas yang ada di wilayah kerja tersebut.

20
Kader diwajibkan untuk melaporkan hasil data IK kepada petugas
puskesmas, dan seluruh pencatatan dan pelaporan terkait kegiatan IK dan
pemberian TPT dicatat di sistem informasi TBC. Berikut adalah alur
jejaring investigasi kontak yang melibatkan seluruh fasyankes :

Gambar 5. Alur Jejaring Investigasi Kontak

e. Jejaring Pengelolaan Logistik


Pengelolaan logistik dilakukan diseluruh tingkat pelaksana program
penanggulangan TBC, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota
sampai dengan Fasyankes. Pengelolaan logistik dimulai dari tahap
perencanaan, pengadaan, permintaan, pendistribusian, penyimpanan,
monitoring dan evaluasi. Perencanaan secara nasional menggunakan
pendekatan bottom up planning yaitu usulan perhitungan kebutuhan
logistik dimulai dari tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Provinsi dan ditingkat Pusat. Puskesmas mengajukan
permintaan OAT maupun non-OAT ke Dinas kesehatan Kabupaten/Kota
sesuai kebutuhan. Puskesmas mendistribusikan OAT ataupun non OAT
ke Dokter Praktik Mandiri, Klinik Pratama, Poliklinik Lapas/Rutan, Poliklinik
di tempat kerja, Pos kesehatan pesantren (poskestren) atau lainnya
sesuai dengan Piagam Kerja Sama yang disepakati.

21
Gambar 6. Pengelolaan Logistik
Penyimpanan logistik baik obat maupun non obat harus
memperhatikan tata cara penyimpanan yang baik, sesuai dengan
spesifikasi barang logistik. Peyimpanan barang logistik harus
tersedia kartu stok yang berisi informasi jumlah barang, tanggal
kadaluarsa, tanggal penerimaan dan pengeluaran barang logistik.
f. Jejaring Pencatatan dan Pelaporan TBC
Informasi TBC yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk yang
mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan
pengetahuan dalam mendukung program P2TBC. Informasi kesehatan untuk
program P2TBC adalah informasi dan pengetahuan yang memandu dalam
melakukan penentuan strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi program P2TBC.
Setiap fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan TBC wajib
mencatat dan melaporkan kasus TBC yang ditemukan dan/atau diobati
sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang ditentukan.
Pelanggaran atas kewajiban ini bisa mengakibatkan sanksi administratif
sampai pencabutan izin operasional fasilitas kesehatan yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem notifikasi wajib dapat dilakukan melalui sistem elektronik sesuai
dengan tata cara dan sistem yang ditentukan oleh program penanggulangan
TBC. Seluruh fasyankes wajib mencatat dan melaporkan seluruh
penanganan kasus Tuberkulosis ke sistem informasi tuberkulosis melalui :
a. SITB
SITB merupakan sistem pencatatan dan pelaporan tuberkulosis
yang utama dan diperuntukkan untuk seluruh fasyankes (termasuk
DPM dan klinik) yang memiliki kapasitas untuk melakukan
pencatatan dan pelaporan TBC menggunakan SITB.

b. WIFI TB

22
WIFI TB merupakan alternatif sistem informasi pencatatan dari
DPM/Klinik, bagi DPM/Klinik yang tidak memiliki kapasitas dan
keterbatasan untuk melaporkan dengan SITB. DPM/Klinik dapat
melaporkan terduga dan kasus tuberkulosis menggunakan WIFI
TB yang sudah terintegrasi dengan SITB, kemudian secara
bertahap faskes dapat didorong untuk dapat menggunakan SITB.

g. Jejaring Pembinaan
Puskesmas melakukan jejaring pembinaan secara formal dan informal ke
lintas sektor seperti ke pemerintah daerah (camat, lurah, Dinas Pendidikan,
PLKB, Koramil, Babinsa, Polsek). Puskesmas juga melakukan pembinaan
ke lintas program penyedia pelayanan di wilayah kerjanya (RS, DPM, klinik
swasta, apotek, laboratorium, posyandu, posbindu, puskesmas pembantu,
polindes, pos obat desa, dll).

Pokok Bahasan 6:
D. Pemantapan Mutu Laboratorium Mikroskopis
Pemantapan mutu laboratorium adalah suatu sistem yang dirancang
untuk meningkatkan dan menjamin mutu serta efisiensi pemeriksaan
laboratorium secara berkesinambungan sehingga hasilnya dapat
dipercaya. Tujuan/manfaat pemantapan mutu laboratorium
mikroskopis TBC adalah:
1. Menjamin bahwa hasil pemeriksaan laboratorium mikroskopis yang
dilaporkan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, karena hasil
pemeriksaan mikroskopis berperan sebagai penentu diagnosis
(untuk wilayah tertentu yang memiliki kesulitan untuk mengakses
TCM) dan pemantauan pengobatan pasien TBC.
2. Mengidentifikasi berbagai tindakan yang berpotensi menimbulkan
kesalahan.
3. Menjamin bahwa tindakan-tindakan perbaikan yang tepat telah
dilakukan.

Komponen Pemantapan Mutu Laboratorium Tuberkulosis:


a. Pemantapan Mutu Internal (PMI) atau Internal Qualitty Control
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) atau External Quality
Assurance (EQA)
c. Peningkatan Mutu atau Quality Improvement (QI)

Alur uji silang mikroskopis TBC sesuai gambar berikut:

23
Penjelasan:
(1) Sediaan uji silang dan file eTBC12 fasyankes mikroskopis TBC dikirimkan
dari masing masing fasyankes ke Lab Rujukan Intermediet atau Provinsi
(LRI/LRP).
(2) LRI/LRP mengirimkan umpan balik uji silang ke masing-masing fasyankes
baik secara langsung maupun melalui dinas kesehatan.
(3) LRI/LRP mengirimkan eTBC12 rekap kab/kota ke LRP dengan tembusan ke
dinas kesehatan kabupaten/kota.
(4) LRP mengirimkan eTBC12 rekap Provinsi ke LRN Mikroskopis dengan
tembusan dinas kesehatan provinsi.
(5) LRN Mikroskopis mengirimkan laporan rekap Provinsi ke ke Substansi TBC
tembusan ke Unit Pembina Laboratorium.

Peran petugas TBC di faskes dalam kegiatan uji silang mikroskopis TBC adalah
sebagai berikut:
a) Pengambilan dan pemilihan sediaan untuk uji silang
Pengambilan dan pemilihan sediaan untuk uji silang dilakukan dengan
metode LQAS.
b) Mengisi formulir TBC 12 dan atau perangkat e TBC 12 sebagai berikut:
1) Pengisian formulir TBC 12
 Lembar 1: tanpa mengisi hasil pemeriksaan laboratorium TBC faskes
pada kolom no. 4, diserahkan kepada petugas pelaksana mikroskopis
uji silang di laboratorium intermediate/rujukan uji silang

24
 Lembar 2: mengisi hasil pemeriksaan fasyankes pada kolom no. 4,
diserahkan kepada penanggung jawab laboratorium uji silang/Ketua
tim uji silang/koordinator uji silang
2) Pengisian perangkat eTBC 12
Prinsip pengisian perangkat e TBC 12 sama denganpengisian formulir
TBC 12. Dengan menggunakan kata sandi, maka petugas laboratorium
intermediate tidak dapat melihat hasil pembacaan laboratorium
mikroskopis TBC di faskes sehingga blinded dapat terjaga.
c) Pengiriman sediaan uji silang ke laboratorium intermediate bersama dengan
formulir TBC 12 atau perangkat eTBC 12

VIII. REFERENSI
A. PP No. 2/2018 tentang SPM
B. Permenkes TBC nomor 67, tahun 2017
C. Juknis TBC Anak 2016
D. Juknis Logistik 2017
E. Strategi Nasional Penanggulangan TBC, tahun 2016-2019
F. Permenkes No. 75 tentang Puskesmas
IX. LAMPIRAN

LATIHAN KASUS
Petunjuk latihan kasus:
1.Latihan ini dikerjakan oleh dikerjakan oleh masing masing peserta menggunakan
data masing-masing dibantu Fasilitator/Pelatih.
Data yang dibawa sebagai berikut :
1. Target penemuan kasus TBC di wilayah tahun 2018
2. Data jumlah penduduk di wilayah (Kecamatan dan Kelurahan/Desa) tahun 2018
3. Peta buta per Kelurahan/Desa se-Kecamatan tahun 2018
4. Rekap TBC.01 dan/atau TBC.03 UPK tahun 2018 (data dipisahkan per
Kelurahan/Desa):
a. Kasus TBC paru baru terkonfirmasi bakteriologis
b. Kasus TBC paru baru terdiagnosis klinis
c. Kasus TBC baru ekstraparu
d. Kasus TBC baru anak
e. Kasus TBC baru kasus kambuh
f. Kasus TBC baru kasus default/loss to follow-up
g. Kasus TBC baru kasus gagal pengobatan
h. Kasus TBC baru kasus lain-lain
5. Hasil pengobatan tahun 2017
a. Total kasus TBC yang diobati dan dilaporkan tahun 2017
b. Kasus sembuh
c. Kasus pengobatan lengkap
d. Meninggal
e. Gagal pengobatan
f. Default/loss to follow-up

Tugas:
1. Buatlah mapping kasus TBC per desa tahun 2018

25
2. Hitunglah beban TBC per desa tahun 2018 berdasarkan proporsi penduduk!
3. Hitunglah capaian kecamatan dan per kelurahan untuk ketiga indikator!
4. Buatlah analisis dan Tindak Lanjut dari hasil penghitungan indikator!
5. Hitunglah kebutuhan OATdan non OAT TBC sensitif obat serta PP INH untuk tahun
berikutnya!

26

Anda mungkin juga menyukai