Disusun Oleh :
i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN
Judul : Otopsi Penyebab Fouling Pada Membran Reverse Osmosis (RO) Untuk
Pengolahan Air Kapas Industri Tekstil
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
NIP. 197505291998021001
ii
RINGKASAN
Proses pemisahan dengan membran reverse osmosis (RO) untuk penggunaan kembali
air limbah adalah proses yang menguntungkan karena biaya yang memugkinkan dan mampu
menghasilkan kualitas tinggi dari produk air. Penggunaan membran RO pada air limbah
dalam aplikasi reuse sering dibatasi oleh fenomena fouling, yaitu akumulasi beberapa jenis
foulant di permukaan membran. Hal ini menyebabkan penurunan pada kinerja membran.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi kasus seyawa penyebab fouling
terhadap fluks membran RO serta karakterisasi membran RO. Air umpan yang digunakan
merupakan larutan A, B, dan C yang digunakan pada air pencuciaan kapas di industri tekstil.
Penelitian ini diawali dengan persiapan alat dan bahan. Tahapan- tahapan yang dilakukan
selanjutnya antara lain pengujian fouling adsortif, pengujian fluks membran, analisa rejeksi,
analisa morfologi permukaan membran dengan SEM, dan analisa gugus fungsi senyawa pada
membran dengan FTIR.
Berdasarkan hasil yang didapat dari pengaruh larutan A, B, dan C terhadap %RFR
(penurunan fluks relatif), profil fluks membran, dan hasil uji rejeksi menunjukkan tingginya
scaling yang terjadi pada permukaan membran yang lebih dominan pada larutan B
dibandingkan dengan larutan A dan larutan C. Tingkat rejeksi untuk larutan B sebesar
82,65%, lalu diikuti larutan A sebesar 64,74%, dan larutan C sebesar 22,39%.
Kata Kunci : Fouling, Membran RO, Otopsi Membran, Limbah Pencucian Kapas Indudtri
Tekstil.
iii
ABSTRACT
The process of separation by reverse osmosis membrane (RO) for waste water reuse is
a profitable process because of the affordable cost and able to produce high quality of product
water. The use of RO membranes in wastewater reuse applications are often limited by fouling
phenomenon, that is the accumulation of several types of foulant on the membrane surface.
This leads to membrane performance decline.
This study is carried to perform case studies of compounds that cause fouling against
RO membrane flux and characterize the RO membrane. The feed water used are the solution
of A, B and C that taken from cotton washing waste of textile industry. This study started with
equipment and samples preparation. The analysis in this study are carried out by fouling
adsorptive and membran flux measuring, rejection analysis, SEM surface analysis, and
functional group analysis by FTIR.
Based on the results obtained from the relation between % RFR (relative flux reduction)
of RO membrane and the solution of A, B and C, membrane flux profile, and rejection
measurement show the high scaling occurrs on the membrane surface which is more dominant
in solution B compared to solution A and solution C. The value of rejection for the solution of
B was 82.65%, followed by the solution of A of 64.74%, and the solution of C of 22.39%.
iv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dengan judul Otopsi Penyebab Fouling pada
Membran Reverse Osmosis (Ro) untuk Pengolahan Air Kapas Industri Tekstil. Dalam
penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak lain.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. rer.nat Heru Susanto, ST., MM., MT. selaku dosen pembimbing.
2. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dan do’a selama penelitian ini.
3. Semua pihak yang telah membantu terselesainya penelitian ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
sempurnanya penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan
para pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Penyusun
v
DAFTAR ISI
SUMMARY ........................................................................................................................ iv
PRAKATA........................................................................................................................ v
DAFTAR ISI..................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
vi
2.7 Pencucian Membran................................................................................................ 13
LAMPIRAN
Lembar Konsultasi
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.2. Profil besar J/Jo pada membran selama waktu filtrasi .................................. 24
Gambar 4.3. Profil absorbansi larutan A pada panjang gelombang 180nm – 500nm ....... 25
Gambar 4.4. Profil absorbansi larutan B pada panjang gelombang 190nm – 500nm ....... 26
Gambar 4.5. Profil absorbansi larutan C pada panjang gelombang 190nm – 500nm ....... 26
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3. Teknik Pengolahan Limbah Kapas Industri Tekstil dengan beberapa metode .. 15
Tabel 2.4. Hasil Analisa Karakterisa Air Limbah Pencucian Kapas Industri Tekstil ......... 16
x
BAB I
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting baik untuk kebutuhan domestik maupun
kebutuhan industri. Kebutuhan akan air tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini
antara lain disebabkan oleh pertambahan populasi penduduk dan juga laju pertumbuhan industri.
Telah banyak penelitian yang mengembangkan cara-cara untuk memperoleh air bersih diantaranya
desalinasi air laut, air payau, hingga daur ulang air limbah (Bixio dkk., 2008). Daur ulang air
limbah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air di sektor pertanian, industri, pariwisata
dan lingkungan.
Berbagai teknik untuk pengolahan dan pengobatan untuk mengurangi kontaminan dari air
limbah telah banyak dilakukan. Namun, metode yang digunakan tersebut masih mempunyai
beberapa kekurangan. Contohnya, proses pengolahan secara biologis seperti system lumpur aktif
(Lotito dkk, 2011) atau pengolahan limbah tekstil anaerobik dengan proses bioremediasi (Turgay
dkk, 2011) yang masih memiliki kekurangan fleksibilitas. Hal ini disebabkan karena kandungan
biologis yang terdapat dalam air limbah yang membuatnya untuk terus beregenerasi dalam limbah
sehingga terjadi variasi pH air limbah, suhu, konsentrasi di air limbah yang terus berubah-ubah.
Selain itu, metode pengobatan biologis ini masih meninggalkan kontaminan pada zat pewarna.
Proses lainnya seperti proses ozonisasi tidak murah secara ekonomis dan juga proses ozonisasi ini
memiliki kekurangan karena mempunyai waktu paruh yang singkat (Ong dkk., 2014)
Sehingga, perlu dicari teknologi alternatif untuk proses pegolahan limbah industri. Saat
ini banyak peneliti yang telah memanfaatkan teknologi membran sebagai wastewater treatement.
Keuntungan dari penggunaan teknologi membran pada aplikasi pengolahan air limbah adalah
penggunaan energi dan biaya yang rendah. Untuk dapat mengubah air limbah menjadi air bersih
maka effluent perlu diolah lebih lanjut dengan instalasi tambahan yang disebut WTP (Water
Treatment Plant) (Pandey dkk., 2012). Unit WTP yang biasa digunakan sebelumnya dengan
menggunakan membran ultrafiltrasi, akan tetapi unit WTP yang saat ini banyak digunakan adalah
sistem reverse osmosis (RO) karena membran RO memiliki poros yang lebih kecil sehingga hasil
pengolahan lebih spesifik. Selain itu, unit RO dapat merijeksikan TDS (Total Dissolved Solid)
berkisar 95-98%. Keberhasilan penggunaan sistem RO pada pengolahan limbah air tekstil telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Srisukphun dkk., 2006).
1
Akan tetapi, penelitian untuk otopsi membran RO pada pengolahan air kapas limbah tekstil
ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan mengidentifikasi senyawa kimia yang
menyebabkan fouling membran RO pada aplikasi daur ulang air limbah tekstil pencucian kapas,
studi kasus senyawa penyebab fouling terhadap fluks membran RO dan karakterisasi membran
RO. Sehingga dapat dilakukan pengendalian foulan-foulan yang mengkontaminasi membran RO.
Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai sarana studi filtrasi larutan senyawa pencucian
kapas industri tekstil terhadap fluks membran RO, studi kasus senyawa penyebab fouling
terhadap fluks membran RO dan karakterisasi membran RO menggunakan SEM dan FTIR.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Membran
Membran adalah penghalang tipis yang dapat digunakan untuk memisahkan spesies yang
berbeda berdasarkan permeabilitas yang berbeda melalui membran. Pemanfaatan perbedaan
permeabilitas telah mengakibatkan penggunaan membran dalam berbagai aplikasi di industri
kimia. (Baker, 2004). Meskipun tidak ada definisi yang tepat dari membran pada tingkat
mikroskopis, uraian di atas cukup mendefinisikan struktur fisik dan fungsi makroskopik dari
membran, yang umum dikenal sebagai penghalang semi-permeabel selektif antara dua fase (Aptel
dan Buckley, 1996; Mulder, 1996)
Membran dapat diklasifikasi berdasarkan mekanisme operasi yang berbeda, morfologi
fisik dan bahan (Aptel dan Buckley 1996). Dalam air dan pengolahan air limbah , membran
polimer organik adalah jenis yang paling umum dari membran yang digunakan. Di antara bahan
organik, dua bahan yang paling penting adalah selulosa asetat (CA) dan poliamida (PA) (AWWA,
1999; Byrne, 1995). Membran CA memiliki biaya rendah, memiliki ketahanan yang baik terhadap
klorin dan memiliki permukaan yang sangat halus. Membran CA dianggap sebagai membran yang
tidak bermuatan dan cenderung untuk menarik foulants ke permukaan membran. Lapisan kulit
halus dari membran CA juga membantu menolak fouling dari membran CA. Membran CA hanya
dapat beroperasi dalam kisaran pH yang kecil (4 ≤ pH ≤ 7) karena mereka dapat dihidrolisis
dengan mudah. Membran CA memiliki batas atas suhu operasional yang rendah dan tidak
memiliki sifat penolakan bahan organic yang baik.
Membran PA memiliki fluks air lebih tinggi dengan penolakan garam yang sedikit lebih
baik dan kisaran suhu operasi yang lebih tinggi dan dapat menolak bahan organic dengan baik dan
menolak pemadatan membran. Karena itu, membran PA banyak digunakan dalam proses RO.
Membran PA yang digunakan dalam pemurnian air industri memiliki karakteristik muatan negatif
yang meningkatkan tingkat fouling dari membran PA. Kelemahan lain dari membran PA adalah
kepekaan terhadap klorin. Akan tetapi, struktur film tipis membran PA dalam spiral wound
modules memiliki struktur kimia yang berikatan silang, yang memberikan toleransi terhadap
serangan agen oksidasi.
Sekarang ini, kemajuan material membran dan Teknologi modifikasi permukaan telah
menghasilkan membran RO baru seperti ESPA dan LFC membran yang dihasilkan oleh
3
Hydranautics dan membutuhkan energi yang lebih rendah dan lebih tahan terhadap fouling
(Gerard, dkk., 1998).
4
perpindahan air melalui membran semipermeabel dalam proses reverse osmosis dapat dinyatakan
dengan hubungan berikut:
Jair = (W – π ) (1)
dalam hubungan ini, Jair adalah fluks air melalui membran RO, W adalah permeabilitas membran
RO, P adalah tekanan hidrostatik, dan π adalah tekanan osmosis. Besarnya tekanan osmosis, π,
berbanding lurus dengan konsentrasi garamnya. Sementara itu, laju perpindahan zat terlarut
(garam) berbanding lurus dengan gradien konsentrasi melintasi membran (yaitu perbedaan
konsentrasi antara sisi umpan dan sisi permeat):
Jsolut= K(Cf – Cp) (2)
dalam hubungan ini, Jsolut adalah fluks zat terlarut (garam) melalui membran RO, K adalah
konstanta yang ditentukan oleh material dan ketebalan membran. Persamaan (1) dan (2)
menunjukkan bahwa laju perpindahan air merupakan fungsi tekanan operasi, sedangkan laju
perpindahan garam tidak. Oleh karena itu, penurunan konsentrasi garam pada konsentrat dan
peningkatan tekanan operasi akan meningkatkan kemurnian permeat (Ariyanti, 2011).
Membran semipermeabel pada aplikasi reverse osmosis terdiri dari lapisan tipis polimer
pada penyangga berpori (fabric support). Membran untuk kebutuhan komersial harus memiliki
sifat permeabilitas yang tinggi terhadap air. Selain itu, membran juga harus memiliki derajat
semipermeabilitas yang tinggi dalam arti laju transportasi air melewati membran harus jauh lebih
tinggi dibandingkan laju transportasi ion-ion yang terlarut dalam umpan. Membran juga harus
memiliki ketahanan (stabil) terhadap variasi pH dan suhu. Kestabilan dari sifat sifat tersebut dalam
periode waktu dan kondisi tertentu dapat didefinisikan sebagai umur membran yang biasanya
berkisar antara 3-5 tahun. Terdapat dua jenis polimer yang dapat digunakan sebagai membran
reverse osmosis: selulosa asetat (CAB) dan komposit poliamida (CPA). Kedua jenis material
membran ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan pada proses pembuatannya, kondisi
operasi dan kinerjanya seperti yang terlihat pada Tabel 2.1.
5
Tabel 2.1. Jenis membran RO (Mustafa, 2007)
Lapisan tipis membran
Batasan Membran Selulosa asetat
komposit
pH 4-8 2-11
Temperature 5oC-30oC 5oC-50oC
Ketahanan terhadap
Lemah Sangat Kuat
serangan bakteri
Ketahanan terhadap klorin 0–1 ppm 0–0,1 ppm
Rejeksi terhadap garam saat
85-92 % 94-98%
60 psi
Rejeksi terhadap nitrat saat
30-50 % 70-90%
60 psi
Cost relative Rendah Tinggi
Pada aplikasi reverse osmosis, konfigurasi modul membran yang digunakan yaitu spiral
wound. Konfigurasi yang lain yaitu hollow fiber, tubular dan plate and frame tidak terlalu banyak
digunakan pada aplikasi reverse osmosis, hanya diaplikasikan pada industri makanan serta sistem
khusus.
Pada konfigurasi spiral wound (Gambar.2) dua buah lembaran membran dipisahkan oleh
saluran kolektor permeat dan membentuk daun (leaf). Perakitannya adalah dengan dilem pada tiga
sisi dan sisi yang keempat (dekat pipa berlubang) dibiarkan terbuka sebagai saluran permeat
keluar. Kemudian material yang digunakan sebagai feed/brine spacer disatukan dengan leaf.
Beberapa lembaran leaf kemudian digulung mengelilingi tabung permeat plastik. Tabung ini
6
merupakan tabung berlubang yang berfungsi untuk mengumpulkan permeat dari leaf. Elemen
membran spiral wound yang digunakan dalam industri memiliki panjang ± 100-150 cm (40-60
in) dan diameter ± 10-20 cm (4-8 in). Sementara itu, RO untuk rumah tangga memiliki panjang
25-100 cm dengan diameter 5-10 cm. Air umpan/ brine mengalir pada elemen secara aksial masuk
melalui feed spacer lalu keluar melalui keluaran brine secara parallel menuju permukaan
membran (Wenten, 2015). Sebuah solusi adalah untuk memisahkan sepanjang jalur membran
menjadi elemen-elemen yang terbatas dan kemudian menerapkan teori film untuk setiap elemen.
Perhitungan numerik elemen terbatas dapat menyajikan variasi fluks permeat aksial dan akumulasi
konsentrasi dalam sistem skala penuh (Bhattacharyya dkk, 1990;. Hoek dkk, 2008;. Lyster dan
Cohen, 2007)
Fouling dipengaruhi oleh parameter fisik dan kimiawi seperti konsentrasi, temperatur, pH
kekuatan ionik, dan interaksi spesifik/ ikatan hidrogen atau interaksi dipol-dipol (Mulder, 1996).
Pada fase akhir dari operasi, lapisan cake akan mengontrol fluks permeat.
Penurunan terus menerus dari fluks permeat yang sering dapat diamati di proses RO.
Penurunan fluks dimanifestasikan oleh empat faktor utama: pemadatan fisik di bawah tekanan
hidrolik tinggi, deformasi struktur membran oleh bahan kimia tertentu, polarisasi konsentrasi, dan
membran fouling (Mulder, 1996; Hoek dkk., 2008). Umumnya, fouling membran mengacu pada
keterikatan, akumulasi, atau adsorpsi foulants ke permukaan membran dan / atau dalam membran,
sehingga tambahan resistensi terhadap fluks dan penurunan fluks permeat (Zhu dan Elimelekh,
1995). Fouling pada membran umumnya disebabkan oleh kurang efektifnya prosespre-treatment
7
pada air umpan (Lee dkk., 2006). Peristiwa fouling ini mengakibatkan penurunan rejeksi,
penurunan life time membran, hingga penggantian membran (Tang dkk., 2007). Pentingnya
pengendalian fouling dengan cara pencucian kimia perlu diperhatikan untuk menghilangkan
foulan-foulan yang menempel pada permukaan membran.
Fouling dapat dibagi menjadi fouling reversibel dan irreversibel, tergantung pada kekuatan
partikel yang menempel pada permukaan membran. Fouling reversibel dapat dihilangkan dengan
melakukan backwash. Fouling irreversibel disebabkan oleh kuatnya partikel yang menempel pada
permukaan membran dan dapat dihilangkan dengan pencucian fisika (Beyer dkk., 2010).
Pembentukan matriks yang kuat pada lapisan fouling dengan zat terlarut selama proses filtrasi
berlangsung dapat menyebabkan fouling reversibel berubah menjadi fouling irreversibel. Fouling
membran pada proses RO umumnya ditandai dan diukur dari penurunan fluks pada kondisi operasi
konstan. Fouling pada membran disebabkan oleh partikel atau koloid yang terdapat pada air
umpan dan terdeposisi pada permukaan membran. Bahan organik, presipitat garam anorganik
yang telah lama terdeposit pada membran, dan pertumbuhan mikroorganisme merupakan
penyebab terjadinya fouling (Porcelli dan Jud, 2010). Mekanisme utama fouling pada membran
reverse osmosis adalah fouling pada permukaan. Fouling permukaan dapat berasal dari macam-
macam kontaminan, termasuk partikulat anorganik, bahan organik terlarut, padatan terlarut, dan
bahan biogenik (Beyer dkk., 2010).
Dalam proses RO, jenis umum dari fouling adalah koloid (Vrijenhoek dkk., 2001),organik
(Lee dkk, 2006.), biologi (Tasaka dkk, 1994;.. Vrouwenvelder dkk, 2009)dan scaling (Le Gouellec
dan Elimelekh, 2002). Seringkali, fouling membranmelibatkan kombinasi dari jenis fouling yang
berbeda tergantung pada konstituen pada air umpan (Lee dkk, 2005;.. Schneider dkk, 2005).
Untuk mengurangi penumpukan materi pada permukaan membran, ada dua cara yang
dapat diambil, yaitu (Milisic,1996): (a). Menjaga partikel mengenai membran, atau (b)
membersihkan membran tersebut. Untuk menjaga partikel mengenai membran, ada beberapa
teknik yang digunakan seperti proses filtrasi, proses koagulasi dimana upaya-upaya tersebut lazim
disebut sebagai pretreatment.
Fouling organik banyak ditemukan pada air umpan yang mengandung natural organic
matter (NOM) yang relative tinggi. NOM yang terdapat di dalam air mengandung senyawa-
senyawa organik yang mempunyai sifat hidrofobik dan hidrofilik dengan kisaran berat molekul
8
yang luas. Selain NOM, efluen limbah domestik juga mengandung effluent organic matter
(EfOM). Berdasarkan ukurannya, EfOM diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu (1)
particulate organic carbon (POC) dengan ukuran molekul diatas 0.45 μm dan (2) dissolved
organic carbon (DOC) yang berukuran molekul lebih kecil. POC terdiri dari zooplankton, alga,
bakteri, dan bahan-bahan organik dari tanah dan tanaman. POC dapat dihilangkan melalui proses
pemisahan padat-cair sedangkan DOC dapat menyebabkan fouling pada membran (Pandey dkk.,
2012; Lee dan Elimelech, 2007). Adanya EfOM dapat mengakibatkan peningkatan proses pre-
treatment dan fenomena fouling, khususnya fouling organik dan fouling mikroba (biofouling).
EfOM merupakan foulan utama pada membran RO dan terakumulasi pada permukaan
membran sebagai lapisan yang melekat dan memerangkap partikulat (Schneider dkk., 2005) .
Disamping itu, EfOM juga berperan sebagai sisi nukleasi bagi garam-garam yang tidak larut
sempurna sehingga menyebabkan fouling irreversibel. Fouling organik yang disebabkan oleh
EfOM meningkat pesat dengan peningkatan recovery permeat (Zhao dkk., 2010). Perlunya kontrol
fouling organik pada membran juga dikemukakan dalam penelitian tersebut.) EfOM mengandung
polisakarida, protein, gula amino, asam nukleat, asam humat dan asam fulvat, asam organik, dan
komponen-komponen sel (Madaeni dan Samieirad, 2011)
Fouling organik pada membran RO yang disebabkan oleh EfOM dapat meluas karena
ukuran EfOM yang kecil yang memungkinkan dapat melewati pori membran MF dan UF pada
pre-treatment. Adanya ion Ca2+ pada air umpan dapat membentuk kompleks dengan EfOM dan
memperparah fouling membran. mengemukakan bahwa EfOM sebagian besar mengandung
polisakarida yang terbentuk selama proses treatment limbah secara biologis. Selain itu,
polisakarida juga merupakan bagian dari mikroba yang mudah larut (Lee dkk., 2006).
9
matriks struktur membran sehingga tidak mampu dihilangkan dengan pencucian secara hidraulik
(Reardon dkk., 2005).
Biofouling disebabkan oleh bakteri, jamur, dan mikroorganisme sel tunggal lain yang aktif
secara biologi (Cornelissen dkk., 2007). Biofouling merupakan proses dinamis akibat kolonisasi
dan pertumbuhan mikroba, yang pada akhirnya membentuk biofilm. Apabila kolonisasi mikroba
terjadi pada membran selulosa asetat dapat menyebabkan kerusakan yang irreversibel, sebaliknya
apabila terjadi pada membran poliamida dapat menyebabkan fouling (López-Ramírez dkk., 2006).
Hal ini merupakan masalah yang paling besar dalam filtrasi membran. Meskipun proses filtrasi
dengan membran mampu menghilangkan sebanyak 99.9% mikroorganisme (Pandey dkk., 2012),
akan tetapi masih terdapat sel-sel mikroba yang tinggal dan membentuk biofilm yang
menyebabkan penurunan fluks dan fouling irreversibel.
Pembentukan biofilm oleh mikroba di dalam permukaan membran diawali dengan
pelekatan bakteri pada permukaan membran dan produksi extracellular polymeric substances
(EPS) yang berbentuk gel dan berlendir (Matin dkk., 2011). EPS terdiri dari hetero polisakarida
dan bermuatan negatif. Struktur gel ini melindungi sel-sel bakteri dari tekanan hidraulik dan
serangan kimia pada biosida, seperti klorin. Biofilm berperan dalam teknologi pengolahan air
limbah untuk menguraikan kontaminan organik secara biologi dan mengkonversi kontaminan-
kontaminan anorganik menjadi bahan yang tidak berbahaya. Pertumbuhan biofilm yang tidak
terkendali dapat menyebabkan biofouling yang dapat menyumbat membran, menginaktivasi
permukaan, dan merusak sistem. Biofouling juga dapat menyebabkan peningkatan pressure drop
(Creber dkk., 2010).
Perlunya kontrol biofouling tidak hanya dilakukan pada saat sistem berjalan, tetapi juga
pada saat sistem tidak beroperasi karena sedang modifikasi dan perbaikan sistem. Bahkan kontrol
10
biofouling juga harus dilakukan pada saat pengemasan modul membran baru dan akan disimpan
pada waktu yang lama sebelum instalasi (Matin dkk., 2011).
11
merusak pada fluks permeat dalam proses RO. Ada faktor lain juga yang berperan dalam
penurunan fluks. Faktor-faktor utama yang berperan dalam fouling dan penurunan fluks dalam
proses membran dapat secara luas disajikan sebagai:
i) Sifat fisikokimia zat terlarut umpan dan larutan, misalnya, kandungan koloid, pH,
lewat jenuh, nukleasi, tekanan osmotik dll (Yiantsios dan Karabelas, 1998)
ii) Interaksi fisikokimia seperti van der Waals, elektrostatik, sterik dll (Yiantsios dan
Karabelas, 1998).
iii) Sifat fisikokimia membran mis muatan permukaan, morfologi permukaan dll
(Cohen dan Probstein, 1986)
iv) Parameter Operasi mis TMP, suhu, fluks permeat dan system hidrodinamika dll
Sebagian besar faktor-faktor ini dianggap dalam desain eksperimental dan studi.
12
Tabel 2.2. Jenis-jenis Larutan Kimia Pencuci (Fritzmann, 2007)
Jenis foulant Larutan Kimia Pencuci
Larutan NaOH, chelating agent, dan
Koloid
surfaktan
Larutan NaOH, , chelating agent, dan
Organic
surfaktan
Oksida logam Asam sitrat (pH rendah )
Silica NaOH (pH tinggi)
Scale Karbonat (CaCO3) Asam sitrat atau HCl (pH rendah)
Larutan HCl atau chelating agent
Scale Sulfat (CaSO4, BaSO4)
(EDTA)
Larutan NaOH, chelating agent,
Biofilm
surfaktan dan disinfektan
Kondisi operasi yang harus diperhatikan ketika pencucian membran antara lain jenis
larutan pencuci, pH larutan pencuci, dosis larutan, waktu pencucian, crossflow velocity, dan suhu
larutan pencuci (Ang dkk., 2006; Ang dkk., 2011). Tahap pencucian membran seharusnya
disesuaikan dengan sistem membran-foulan dan umumnya dilakukan metode trial and error.
Tahap pencucian membran secara umum meliputi penghilangan foulan, pembilasan menggunakan
air de-ion, pencucian satu tahap atau dua tahap, dan pembilasan menggunakan air (Ang dkk.,
2006). Prosedur pencucian adalah:
1. Sirkulasi larutan pencuci sebelum dipanaskan dengan laju lair yang rendah
2. Melakukan recycle larutan pencuci hingga tercapai suhu yang stabil. Dapat juga dilakukan
pencapaian pH pada tahap ini jika diperlukan
3. Rendam membran RO dengan larutan pencuci selama 1-15 jam, tergantung jenis dan
tingkatan foulan.
4. Pengoperasian sistem pada tekanan tinggi untuk membuang foulan dan larutan pencuci
dari system.
(Fritzmann, 2007)
13
serangkaian proses. Serat kapas dibersihkan sebelum disatukan menjadi benang. Pemintalan
mengubah serat menjadi benang. Sebelum proses penenunan atau perajutan, benang buatan
maupun kapas dikanji agar serat menjadi kuat dan kaku. Zat kanji yang lazim digunakan adalah
pati, perekat gelatin, getah, polivinil alkohol (PVA) dan karboksimetil selulosa (CMC).
Penenunan, perajutan, pengikatan dan laminasi merupakan proses kering.
Sesudah penenunan serat dihilangkan kanjinya dengan asam (untuk pati) atau hanya air
(untuk PVA atau CMC). Penghilangan kanji pada kapas dapat memakai enzim. Seiring pada waktu
yang sama dengan pengkanjian, digunakan pengikisan (pemasakan) dengan larutan alkali panas
untuk menghilangkan kotoran dari kain kapas. Kapas juga dapat dimerserisasi dengan perendaman
dalam natrium hidroksida, dilanjutkan pembilasan dengan air atau asam untuk meningkatkan
kekuatannya. Pengelantangan dengan natrium hipoklorit, peroksida atau asam perasetat dan asam
borat akan memutihkan kain yang dipersiapkan untuk pewarnaan. Kapas memerlukan
pengelantangan yang lebih ekstensif daripada kain buatan (seperti pendidihan dengan soda abu
dan peroksida). Pewarnaan serat, benang dan kain dapat dilakukan dalam tong atau dengan
memakai proses kontinyu, tetapi kebanyakan pewarnaan tekstil sesudah ditenun.
Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan
bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang dikandung air limbah,
kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan). Kekeruhan dalam air limbah
dapat dihilangkan melalui penambahan/pembubuhan sejenis bahan kimia yang disebut flokulan.
Pada umumnya bahan seperti aluminium sulfat (tawas), fero sulfat, poli amonium khlorida atau
poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai flokulan. Untuk menentukan dosis yang optimal,
flokulan yang sesuai dan pH yang akan digunakan dalam proses pengolahan air limbah, secara
sederhana dapat dilakukan dalam laboratorium dengan menggunakan test yang merupakan model
sederhana dari proses koagulasi.
Dalam pengolahan limbah cara ini, hal yang penting harus diketahui adalah jenis dan
jumlah polutan yang dihasilkan dari proses produksi. Umumnya zat pencemarnya terdiri dari tiga
jenis yaitu padatan terlarut, padatan koloidal, dan padatan tersuspensi. Terdapat 3 (tiga) tahapan
penting yang diperlukan dalam proses pengolahan limbah ini yaitu tahap pembentukan inti
endapan, tahap flokulasi dan tahap pemisahan flok dengan cairan menggunakan membran.
Beberapa pengolahan limbah kapas industri tekstil dengan beberapa metode dapat dilihat
pada tabel 2.3.
14
Tabel 2.3. Teknik Pengolahan Limbah Kapas Industri Tekstil dengan beberapa metode.
No. Metode Kelemahan
1. Bioremediasi Tidak maksimal dalam membawa kontamian pada zat
pewarna (Turgay dkk., 2011)
2. Adsorpsi Adsorben terbatas dan tidak bisa di regenerasi kembali
(Robinson dkk., 2001)
3. Ozonasi Tidak murah secara ekonomi dan waktu paruh yang
singkat (Ong dkk., 2014)
4. Koagulasai dan klorinasi Tingginya biaya pengolahan dan menghasilkan residu
dalam jumlah besar (Hasan, 2016)
Karakterisasi air limbah pencucian kapas pada industri tekstil telah dilakukan oleh Uwidia
dkk. pada tahun 2013. Hasil dari analisa yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Hasil Analisa Karakterisasi Air Limbah Pencucian Kapas Industri Tekstil
Sampling Temp. pH SS (mg/l) TS (mg/l) PV (mg/l) BODs (mg/l) COD
Code Mean ± SD Mean ± Mean ± SD Mean ± SD (mg/l)
SD Mean ±
SD
1. 36,10 10,2 455.60 ± 5144.30 ± 535.30 ± 628.50 ± 2123.55 ±
0.14 0.24 0.16 0.10 0.05
2. 36,90 10,8 457.20 ± 5099.20 ± 506.30 ± 602.30 ± 2025.36 ±
0.07 0.53 0.11 0.35 0.18
3. 37,30 9,8 456.80 ± 5056.30 ± 469.60 ± 584.30 ± 2012.13 ±
1.08 0.06 0.28 0.21 0.63
4. 35,60 10,65 574.20 ± 6349.20 ± 5 621.40 ± 740.00 ± 2512.00 ±
0.77 0.6 0.09 1.06 0.79
5. 33,00 11,6 499.50 5831.80 ± 613.80 ± 725.00 ± 2650.00 ±
±29.52 0.59 0.76 2.90 1.29
6. 41,80 9,22 525.40 ± 5450.40 ± 584.70 ± 665.20 ± 2265.00 ±
0.27 0.27 0.23 0.10 0.33
7. 38,40 10,12 573.45 ± 5726.50 ± 604.90 ± 751.00 ± 2620.00 ±
0.33 0.16 0.23 0.72 0.58
15
8. 40,70 11,15 624.30 ± 6884.40 ± 657.30 ± 789.10 ± 2645.00 ±
0.25 0.32 0.11 0.09 1.12
9. 37,30 10,12 587.30 ± 6236.40 ± 652.40 ± 835.30 ± 2950.12 ±
4.72 0.22 0.06 0.23 0.19
10. 31,40 9,82 658.10 ± 7624.10 ± 734.50 ± 860.00 ± 2892.00 ±
16.4 1.04 0.15 1.22 0.67
11. 39,40 9,79 665.30 ± 6530.30 ± 729.80 ± 843.40 2865.09 ±
0.39 0.51 0.41 ±12.79 0.38
12. 36,30 10,4 684.90 ± 6970.50 ± 746.40 ± 885.00 ± 2960.00 ±
0.96 0.22 0.36 1.07 0.84
(Uwidia dkk., 2013)
Keterangan :
TS = Total Solids
SS = Suspenden solids
PV = permanganate value
16
BAB III
METODE PENELITIAN
17
3.2.2. Variabel Berubah
Pengenceran Umpan : 10x, 100x dan 1000x
18
3.4. Gambar Rangkaian Alat
Rangkaian alat utama yang digunakan dalam penelitian ini secara lengkap ditampilkan
dalam Gambar 3.2 dan Gambar 3.3
19
3.5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
20
3.5.2. Pengujian Fluks Larutan A,B dan C
21
3.5.4. Karakterisasi Membran
A. Analisa SEM
B. Analisa FTIR
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
80
70
60
50
%RFR
larutan A
40
larutan B
30 larutan C
20
10
0
10x 100x 1000x
Pengenceran
Berdasarkan pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada membran larutan A, B dan C
pengenceran 10x masing-masing memiliki % RFR 64,1%, 80,52% dan 38,55%. Dari ketiga
larutan, yang memiliki % RFR tertinggi pada larutan B.
23
4.2 Studi Filtrasi Membran
Pada penelitian ini, akan dianalisa pengaruh larutan A, B dan C terhadap performa filtrasi
membran. Pengujian ini dilakukan dalam air pencucian kapas industri tekstil terhadap kinerja
membran yang terlihat dari profil fluks untuk masing-masing parameter uji. Pengujian ini
dilakukan dengan menggunkan alat filtrasi sistem cross-flow. Digunakan aliran cross-flow agar
fouling yang terjadi menjadi minimum, dimana pada aliran ini umpan dialirkkan dengan arah
aksial (sejajar) dengan permukaan membran.
0.8
J/Jo
0.6 Larutan A
Larutan B
0.4
Larutan C
0.2
0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135
Menit
Gambar 4.2. Profil besar J/Jo pada membran selama waktu filtrasi pada pengenceran 1000x
Profil fluks permeat terhadap waktu dapat mengindikasikan terjadinya fouling pada
membran. Semakin curam penurunan fluks yang terjadi dapat diakibatkan oleh semakin
banyaknya komponen-komponen yang menghalangi transfer masa melalui membran. Dari gambar
4.2 di atas menunjukkan bahwa profil fluks dari parameter larutan A, B dan C. Larutan B
mempunyai fluks yang turun paling signifikan. Hal tersebut berbanding lurus dengan hasil uji RFR
dimana larutan B mempunyai nilai RFR paling tinggi, diikuti oleh larutan A dan C.
Nilai % RFR yang semakin tinggi disebabkan karena semakin banyak molekul-molekul
yang tertahan serta terjadi polarisasi konsentrasi dan adanya efek sinergis yang timbul pada
permukaan membran yang menyebabkan fouling tinggi dan fluks menjadi menurun yang ditandai
RFR yang tinggi. (Hua dkk., 2007).
24
4.3 Hasil Uji Rejeksi
Pada penelitian ini, akan dianalisa tingkat rejeksi untuk larutan A, B dan C.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometri UV-VIS untuk mengetahui
konsentrasi fluks dan menggunakan data hasil filtrasi membran.
Metode analisa konsentrasi menggunakan spektrofotometri UV-VIS ini merupakan
salah satu analisis multi komponen yang dapat dilakukan apabila hasil preparasi sampel tidak
memungkinkan mendapatkan senyawa tunggal (Hayun,2006). Dimana panjang gelombang
suatu larutan zat uji memiliki serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum
dapat ditentukan dengan cara membuat spektrum penyerapan dari larutan zat uji. Dari spektrum
penyerapan yang diperoleh, panjang gelombang serapan maksimum larutan zat uji
dibandingkan dengan panjang gelombang serapan maksimum larutan baku pembanding
(Hazim, 2011). Sehingga dengan metode ini bisa didapatkan konsentrasi larutan sebelum dan
sesudah filtrasi untuk masing-masing variabel.
2.5
Larutan A
2
Larutan B
1.5
1 Larutan C
0.5
0
180 210 240 270 300 330 360 390 420 450 480 510
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 4.3. Profil absorbansi larutan A, B dan C pada panjang gelombang 180nm – 500nm
Pada Gambar 4.3 menunjukkan hasil scanning pada tiap larutan pada panjang gelombang
180 nm – 500 nm. Dilakukan scanning pada range 180 nm - 500 nm agar daerah λ yang diperlukan
dapat terliputi dengan pembanding blanko aquades (Vogel, 1995). Dari hasil scanning larutan A,
B dan C pada panjang gelombang 180 nm – 500 nm menggunakan spektrofotometri UV-VIS,
didapatkan panjang gelombang maksimum larutan A 190 nm dengan absorbansi 1,486, larutan B
225 nm dengan absorbansi 4,069 dan larutan C 198 nm dengan absorbansi 2,723.
25
Kurva Standar Larutan A
4
y = 0.6018x - 0.0507
3.5 R² = 0.9063
3
2.5
Absorbansi
1.5
0.5
0
Konsentrasi (v/v)
6
5
4
3
2
1
0
Konsentrasi (v/v)
26
Kurva Standar Larutan C
7
6 y = 0.9647x - 0.037
R² = 0.9149
5
Absorbansi
0
Konsentrasi (v/v)
Pada gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 menunjukkan profil kurva standar dari larutan A, B dan C.
Dari kurva standar, didapatkan persamaan y = ax ± b. Dimana y absorbansi dan x konsentrasi.
Setelah itu, konsentrasi larutan sebelum dan setelah filtrasi digunakan untuk menghitung tingkat
(%) rejeksi pada setiap larutan. Panjang gelombang maksimal tiap variabel digunakan untuk
menghitung absorbansi sebelum dan setelah filtrasi masing-masing larutan.
Tabel 4.1 Absorbansi dan konsentrasi sebelum filtrasi tiap variabel pada pengenceran 1000x
Tabel 4.2 Absorbansi dan konsentrasi setelah filtrasi tiap variabel pada pengenceran 1000x
Pada Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan nilai konsentrasi sebelum dan sesudah filtrasi pada
masing-masing larutan. Nilai konsentrasi didapat dari persamaan pada kurva standar, dimana y
absorbansi dan x konsentrasi, sedangkan nilai absorbansi didapat dengan melakukan uji
absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang puncak tiap
variabel.
27
Tingkat Rejeksi
90
80
70
60
% Rejeksi
50
40
30
20
10
0
Larutan A Larutan B Larutan C
Gambar 4.8 di atas menunjukan profil rejeksi dari larutan A, B dan C. Dimana dalam grafik
di atas dapat dilihat tingkat rejeksi larutan B paling tinggi yaitu sebesar 82,65% , lalu diikuti
larutan A sebesar 64,74%, dan larutan C sebesar 22,39%.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Xu dkk.,2010), tingginya tingkat rejeksi suatu
membran dapat mengindikasikan tingginya scaling yang terjadi pada permukaan membran.
Sehingga pada analisa tingkat rejeksi dapat diambil kesimpulan bahwa fouling pada membran
didominasi oleh material yang terdapat pada larutan B. Hal ini juga ditunjang dengan uji SEM,
dimana pada membran larutan B terdapat pengotor yang menyebar menutupi membran
membentuk scaling. Dari hasil FTIR juga didapat gugus yang mengotori membran larutan B yaitu
gugus alkuna.
Tingkat fouling organik maupun anorganik pada membran RO untuk wastewater treatment
dapat diminimalisasi dengan meningkatkan kualitas air umpan, yaitu dengan cara menghilangkan
komponen seperti BOD, TOC dan ammonia (Arora, 1983).
28
4.4 Karakterisasi Fouling pada Permukaan Membran RO
a b c
Gambar 4.9 Hasil analisa SEM pada pembesaran 25000x (a) Membran setelah filtrasi larutan A
pada pengenceran 1000x, (b) Membran setelah filtrasi larutan B pada pengenceran
1000x, (c) Membran setelah filtrasi larutan C pada pengenceran 1000x, (d) Virgin
Membrane
Pada Gambar 4.9 (d) terlihat struktur membran RO yang baru atau belum digunakan
memiliki struktur morfologi permukaan membran yang lebih halus. Hal ini disebabkan karena
membran masih bersih dan tidak ada pengotor pada permukaan membran. Setelah dilakukan
filtrasi menggunakan larutan A (a), larutan B (b), larutan C (c) terdapat pengotor yang menyebar
menutupi permukaan membran membentuk scaling. Terbentuknya scaling mengindikasikan
terjadinya fouling pada membran. Pada membran reverse osmosis, jenis fouling yang terjadi pada
permukaan membran yaitu jenis cake layer formation dikarenakan membran reverse osmosis
29
dapat dikatakan merupakan membran non-porous (Zhu dan Elimelech, 1997). Mekanisme ini
disebabkan oleh interaksi antara membran dengan larutan umpan.
Karakterisasi fouling membran dapat dilihat dengan menggunakan metode FTIR untuk
mengetahui gugus fungsi yang ada pada permukaan membran. Hasil FTIR membran RO dengan
umpan larutan A, B, dan C dapat dilihat pada gambar 4.10
3.5
2.5
2
%T
1.5
Membran baru
1
3.5
2.5
2
%T
1.5
Membran baru
1
30
3.5
2.5
2
%T
1.5
1 Membran baru
Gambar 4.10 Spektra FTIR Virgin Membran vs Membran Filtrasi (a) Larutan A, (b) Larutan B,
(c) Larutan C pada pengenceran 1000x
Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdeteksi di membran
maupun larutan sampel. Berdasarkan gambar 4.10 terlihat perbandingan antara membran baru
dengan membran hasil filtrasi larutan A (a), larutan B (b), dan larutan C(c). Analisa dilakukan
untuk mengetahui kemungkinan gugus fungsi yang terdeteksi. Pada gambar tidak terlihat banyak
perbedaan pada membran baru dan membran hasil filtrasi. Peak yang terbentuk pada membran
hasil filtrasi larutan A, B dan C dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Gugus fungsi hasil FTIR pada membran hasil filtrasi larutan A, B dan C pada
pengenceran 1000x
Membran Hasil Filtrasi Panjang Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
Larutan A 972 gugus alkena
2102,3 gugus alkuna
Larutan B 632,29 gugus alkil halida –Cl
1097 gugus ether
2109,43 gugus alkuna
3338,64 gugus amina
Larutan C 693,54 gugus sulfon
1096,5 gugus ether
2105,67 gugus alkuna
2907,91 gugus metilena
3431,25 gugus alkohol
(S.Y. Lyn, 1993)
31
4.4.2.2 Analisa FTIR antara Larutan A, larutan B, dan Larutan C
20
18
16
14
12
%T
10 Larutan C
8 Larutan A
6 Larutan B
4
2
0
0 1000 2000 3000 4000 5000
Waveumber (cm-1)
Gambar 4.11 Spektra FTIR Larutan A, Larutan B, dan Larutan C sebelum filtrasi pada
pengenceran 10x
Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdeteksi di membran
maupun larutan sampel. Pada gambar 4.11 terlihat perbandingan antara spektra FTIR larutan
umpan, yaitu larutan A, larutan B, dan larutan C.
Peak yang mengidentifikasi larutan A, B dan C dapat dilihat pada Tabel 4.3.
32
1096.27 gugus C-F
1634.42 gugus amida rangkap dua
2067.07 gugus alkuna
2917.8 gugus alkane
3426.5 gugus alcohol
(S.Y. Lyn, 1993)
33
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan penelitian ini antara lain :
1. Pada tiap membran larutan A, B dan C pengenceran 10x masing-masing memiliki % RFR
64,1%, 80,52% dan 38,55%. Dari ketiga larutan, yang memiliki % RFR tertinggi pada
larutan B.
2. Berdasarkan profil fluks membran, larutan B mempunyai penurunan yang paling
signifikan, diikuti oleh larutan A dan C.
3. Tingkat rejeksi larutan B paling tinggi yaitu sebesar 82,65% , lalu diikuti larutan A sebesar
64,74%, dan larutan C sebesar 22,39%.
4. Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab fouling
pada pengolahan limbah pencucian kapas pada industri tekstil yang mendominasi adalah
larutan B.
5.2 Saran
Penelitian ini membahas tentang otopsi membran RO untuk pengolahan air limbah
pencucian kapas di industri tekstil. Akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut dengan
parameter lain untuk menguji penyebab fouling pada membran dan memverifikasi hasil
yang telah didapat. Selain itu, diperlukan juga penelitian lebih lanjut untuk
mengembangkan peningkatan kinerja membran RO dengan memahami fenomena fouling.
34
DAFTAR PUSTAKA
Ang W.S., A.Tiraferri, K. Loon, M. Elimelech. (2011). Fouling and Cleaning of RO Membranes
Fouled by Mixtures of Organic Foulants Simulating Wastewater Effluent
Ariyanti, D., & Widiasa, I. N. (2011). Aplikasi Teknologi Reverse Osmosis Untuk Pemurnian Air
Skala Rumah Tangga, 32(3), 193–198.
Asatekin A., A. Menniti, Seoktae K., M. Elimelech, E. Morgenroth, Anne M. Mayes. (2007).
Antifouling Nanofiltration Membranes for Membrane Bioreactors from Self-
Assembling Graft Copolymers.
Bixio, D., V. Miska, M. Muston, H. Cikurel, B. De Heyder, A. Aharoni, A.M. Ravazzini, D. Savic
and C. Thoeye. (2008). Municipal Wastewater Reclamation.
Chon, K., Kim, S. J., Moon, J., & Cho, J. (2012). Combined coagulation-disk filtration process as
a pretreatment of ultrafiltration and reverse osmosis membrane for wastewater
reclamation: An autopsy study of a pilot plant. Water Research, 46(6), 1803–1816.
Dwi, R., & Widiasa, I. N. (2016). Fouling dan Cleaning Membran Reverse Osmosis Tekanan
Rendah untuk Aplikasi Daur Ulang Air Limbah Domestik, 1–9.
Elizabeth, L., Farias, Kerry J. Howe, M. Thomson. (2013). Effect of Membrane Bioreactor Solids
Retention Time on Reverse Osmosis Membrane Fouling for Wastewater Reuse.
35
Lee G., Xue L., T. Cai, S. Chung. (2006). Cleaning Strategies and Membrane Flux Recovery on
Anti-Fouling Membranes for Pressure Retarded Osmosis.
Lopez-Ramirez J.A., Kangmin C., Sarper S., S. Lee, Jong-Hoon L., J. Cho. (2006). Evaluation of
Membrane Bioreactor and Nanofiltration for Municipal Wastewater Reclamation:
Trace Contaminant Control and Fouling Mitigation.
Lorain O., Alain Z., S. Schetrite, J. Jáuregui-Haza, C. Albasi. (2007). Optimization of Wastewater
Filtration Process in Submerged Membrane Bioreactors: Applicability of a Dynamic
Model to Scale Up.
Malaeb L., G. Ayoub. (2011). A Review on the Use of Membrane Technology and Fouling Control
for Olive Mill Wastewater Treatment
Mokhtar, N. M., Lau, W. J., Ismail, A. F., Kartohardjono, S., Lai, S. O., & Teoh, H. C. (2016).
Chemical Engineering Research and Design The potential of direct contact membrane
distillation for industrial textile wastewater treatment using PVDF-Cloisite 15A
nanocomposite. Chemical Engineering Research and Design, 111, 284–293.
https://doi.org/10.1016/j.cherd.2016.05.018
Mustafa, G. M. (2007). The Study of Pretreatment Options for Composite Fouling of Reverse
Osmosis Membranes Used in Water Treatment and Production, (February), 253.
Pandey R. Pavi, G. Shukla, K. Shahi. (2012). Journal of Membran Science: Temperature resistant
phosphorylated graphene oxide-sulphonated polyimide composite cation exchange
membrane for water desalination with improved performance.
Paper, C. (2015). Teknologi Membran dalam Pengolahan Air dan Limbah Industri. Studi Kasus :
Pemanfaatan Ultrafiltrasi untuk Pengolahan Air Tambak, (October).
Tang, F., Hu, H. Y., Sun, L. J., Wu, Q. Y., Jiang, Y. M., Guan, Y. T., & Huang, J. J. (2014).
Fouling of reverse osmosis membrane for municipal wastewater reclamation: Autopsy
results from a full-scale plant. Desalination, 349, 73–79.
Wenten, Gede. (2015). Teknologi Membran dalam Pengolahan Air dan Limbah.
36
LEMBAR KONSULTASI
Laporan Penelitian
Judul Penelitian : Otopsi Penyebab Fouling pada Membran Reverse Osmosis untuk
Paraf
No. Tanggal Konsultasi Ket
Mhs Dosen
2. 03-11-2016 BAB I
BAB II
3. 20-12-2016 BAB I
BAB II
BAB III
4. 23-12-2016 BAB I
BAB II
BAB III
5. 23-12-2016 BAB I
BAB II
BAB III
37
6. 27-12-2016 BAB III
8. 30-04-2018 BAB IV
BAB V
9. 02-05-2018 Ringkasan
Dinyatakan selesai
Dosen Pembimbing
NIP. 197505291998021001
38