Anda di halaman 1dari 54

Designer

Dalam
Negri
Nusjirwan Tirtaamidjaja
Iwan Tirta (18 April 1935 - 31 Juli 2010) adalah seorang perancang busana batik Indonesia.
Tirta dilatih sebagai pengacara, tetapi menjadi desainer yang dikenal secara internasional. [1]
Ia dikreditkan dengan memulai
kebangkitan awal desain batik selama
tahun 1970-an dan 1980-an. [1] Ia juga
menjadi penasihat budaya Indonesia dan
Jawa, serta konsultan makanan, kemudian
dalam karirnya.

Iwan Tirta lahir Nusjirwan Tirtaamidjaja


pada 18 April 1935, di Blora, Jawa Tengah.
Tirta, anak bungsu di keluarganya,
memiliki tiga kakak perempuan. Ayahnya,
Moh Husein Tirtaatmidjaja, menjabat
sebagai hakim agung di Mahkamah Agung Indonesia dari tahun 1950 hingga 1958. [2]
Ibunya adalah Sumatra Barat.

Tirta awalnya ingin menjadi diplomat sebagai seorang anak, meskipun ayahnya
mendorongnya untuk belajar hukum. Tirta menerima gelar sarjana hukum dari Universitas
Indonesia pada tahun 1958. Ia menjadi profesor hukum internasional setelah lulus. Tirta
kemudian pindah ke Inggris untuk belajar di London School of Economics dan School of
Oriental and African Studies.

Ia dianugerahi Adlai Stevenson Fellowship untuk belajar hukum di Yale Law School di
Connecticut pada tahun 1964. Tirta pindah ke Kota New York setelah menyelesaikan gelar
hukumnya pada tahun 1965,] di mana ia bekerja di markas besar PBB selama beberapa tahun.

Desain batik

Tirta kembali ke Indonesia dari Kota New York pada tahun 1970. [2] [3] Alih-alih
menggunakan gelar hukumnya sebagai profesi, ia memulai karirnya sebagai desainer
menggunakan kain batik tradisional buatan tangan. Batik adalah seni tradisional di pulau asli
Tirta, Jawa. Ia mulai mempelajari desain, motif, dan proses pembuatan batik.
Tirta menulis beberapa buku terkemuka tentang batik. Seorang penganjur batik puluhan tahun
sebelum kain kembali populer, desain Tirta mendapat perhatian baik di Indonesia maupun
internasional. Dia merancang pakaian batik untuk Presiden AS Ronald Reagan dan Ibu
Negara Nancy Reagan selama kunjungan mereka di tahun 1980-an. Karya Tirta meraih
pengakuan dunia pada tahun 1994 ketika ia merancang kemeja batik yang dikenakan oleh
para pemimpin dunia pada KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik di Bogor, Indonesia. Dia
menghitung Nelson Mandela di antara kliennya.

Dia secara luas dikreditkan dengan promosi desain batik dalam industri mode internasional,
termasuk majalah dan fashion show-nya. [3] Namun, terlepas dari popularitasnya yang baru
ditemukan, Tirta adalah seorang pengkritik kebangkitan batik baru-baru ini di awal abad ke-
21. Dia terutama kritis terhadap pelukan yang diproduksi massal, batik cetak di atas kain
tradisional, buatan tangan, "Masalahnya adalah bahwa perusahaan masih tidak tahu
perbedaan antara batik cetak dan yang buatan tangan. Ini kesalahan kita sendiri. Mereka
mengatakan * kreatif ekonomi, dan itu kontradiksi. Ketika kata ekonomi masuk ke
dalamnya ... Anda mengurangi segalanya menjadi uang. Yang kita butuhkan sekarang adalah
pelanggan yang baik dan berpengetahuan. "

Tirta berkembang dari pakaian batik menjadi produk-produk batik lainnya yang terinspirasi
pada tahun-tahun terakhir hidupnya. Dia memperkenalkan saluran berita keramik dan perak
yang dihiasi dengan desain batik tradisional. Tirta juga bekerja sebagai konsultan makanan
untuk restoran Indonesia kelas atas.

Tirta mendirikan PT Iwan Tirta (dengan nama merek dagang Iwan Tirta (IT) Private
Collection / ITPC) pada tahun 2003. ITPC mendirikan galeri pertamanya pada tahun 2006.
ITPC membuka lokasi mal pertamanya di tahun 2008 dan terus berkembang. Sekarang sudah
memiliki 10 galeri di mal dan lokasi terkemuka di Jakarta & Surabaya (Galeria Grand Hyatt -
Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Senayan City, Pacific Place, Pondok Indah Mall 2, Jl Wijaya
XIII, Shangrila Hotel Jakarta, Borobudur Hotel, Tengah - Grand Indonesia dan SOGO
Tunjungan Plaza IV - Surabaya).

Baru-baru ini di tahun 2007, Tirta bermitra dengan Lydia Kusuma Hendra, ketua perusahaan
keramik PT Tri Marga Jaya Hutama, untuk meluncurkan kembali PT Pusaka Iwan Tirta,
jajaran alat makan keramik yang terinspirasi batik. Garis keramik disebut Pusaka Maha
Karya ("Warisan Karya"), dibagi menjadi dua koleksi, Modang dan Hokokai. Koleksi
Hokotai-nya terinspirasi oleh batik Hokokai, suatu bentuk batik yang diciptakan pada awal
1940-an selama pendudukan Jepang di Indonesia oleh para pelukis di Pekalongan, Jawa
Tengah, yang sendiri terinspirasi oleh kimono. Koleksi Modang didasarkan pada batik
tradisional yang dikenakan oleh keluarga kerajaan di Yogyakarta.

Dalam wawancara tahun 2009 dengan Time Magazine, Tirta mendaftarkan beberapa
pengaruhnya yang beragam, termasuk Pakubuwono X dan keluarga kerajaan Jawa lainnya,
novelis Pramoedya Ananta Toer, pelukis Indonesia Raden Saleh dan Srihadi, Yves Saint
Laurent, Halston, Ludwig van Beethoven Johann Sebastian Bach dan Wolfgang Amadeus
Mozart.

Iwan Tirta meninggal pada 31 Juli 2010 di Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta
Pusat, pada usia 75 tahun. Dia menderita diabetes dan

Desain rancangan Nusjirwan Tirtaamidjaja


Harry Darsono
Harry Darsono bukanlah perancang busana
khas Anda. Putri Diana dan Ratu Rania yang
kelahiran Surabaya yang berusia 63 tahun dan sigap
ini tidak hanya menjadi musisi, pelukis, pematung,
arsitek, profesor akademis, konsultan bisnis, pakar
multi-bahasa dan filantropis yang sama-sama
berbakat, juga sulit untuk beri label pada Darsono.

Tetapi jauh sebelum Darsono diakui sebagai jenius


yang terhormat, Harry muda harus mengatasi
kesulitannya. “Saya harus digugurkan karena ibu
saya mengandung saya tepat setelah memiliki saudara
perempuan saya, dan ibu secara fisik lemah,” kata
Darsono, anak kelima dari delapan anak. “Itu tahun
1950, setelah perang. Aborsi gagal, jadi ayahku ikut
campur dan berkata, 'tolong berhenti'. Jadi saya lahir prematur pada tujuh bulan. ”

Sebagai seorang anak, Darsono sering mengalami kejang, tetapi secara fisik sangat aktif.
Karena kadar alkali yang tinggi di tubuhnya, ia tidur dua setengah jam semalam.
Neurotransmiter sensorik yang hipersensitif terus-menerus menyebabkan Darsono mengalami
kelebihan mental yang membuatnya kesulitan berbicara hingga usia tigapuluhan.

Di rumah, ia merusak barang-barang dan menggambar papan cerita dengan alur cerita sadis.
Orang-orang pada waktu itu tidak tahu apa itu ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorder) dan hanya menolak Darsono sebagai anak yang bermasalah dan sesat.

Karena kecenderungan agresif dan destruktifnya, orang tua Darsono mengirimnya untuk
tinggal bersama neneknya di Mojokerto dan menghadiri Sekolah Advent Hari Ketujuh
setempat. Pada usia sembilan tahun, Darsono dikeluarkan dari enam sekolah dan berakhir di
sekolah khusus untuk orang tuli dan bisu.

Pada akhir tahun, paman psikiater, Dr. R.M. Soedjono bertanya apakah dia bisa membawa
Harry muda ke Prancis, tempat dia melakukan penelitian tentang terapi ADHD. Di pinggiran
kota Paris, Soedjono menyewa sebuah rumah yang ia gunakan sebagai laboratorium untuk
homeschooling tujuh anak penderita ADHD.

Di laboratorium rumah ini, Darsono belajar bermain piano, harpa, dan gamelan. Tetapi hanya
satu hal yang dapat menenangkan hiperaktifitas Darsono; menarik rambut lembut, panjang,
pirang terapis Prancis-nya. Suatu hari, terapis memberikan kepompong sutra Darsono sebagai
gantinya.

“Mataku tidak berkedip selama empat menit,” kenang Darsono. “Dia mengajari saya untuk
menarik mereka dan saya kagum bahwa serat-serat lembut itu tidak putus.” Sejak itu,
kepompong sutera yang dipintal menjadi benang menjadi terapi Darsono untuk mendapatkan
fokus.

Benang-benang itu kemudian dicelup ke dalam banyak warna dan dihubungkan ke jarum.
Darsono menyulamnya menjadi gambar tiga dimensi yang besar. Sulaman burung pertama
yang dibuat Harry berusia sembilan tahun sekarang dibingkai di museum, kaya akan warna
dan tekstur, seolah dibuat oleh seniman berpengalaman.

Belakangan, Darsono belajar membuat kain sutra yang dilukis dengan tangan dan haute
couture. Dengan dorongan dari ibunya, yang ingin anak-anaknya menghargai kekayaan dan
belajar "hasil kesulitan", Darsono diam-diam menjual karyanya.

Sebagai seorang dewasa muda, Darsono diterima di École Supérieure des Beaux-Arts di Paris,
tempat ia belajar enam jurusan untuk menyalurkan energi berlebihan: melukis, memahat,
mengukir relief, adibusana, seni tekstil, dan kostum panggung. Darsono lulus pada 1979 dan
pindah ke Jenewa untuk bekerja di World Gold Council.

Dia juga menghabiskan sebagian besar tahun 1970-an dan 1980-an membuat kostum untuk
produksi Shakespeare di Inggris, Prancis, Yunani, dan Uni Soviet, termasuk Hamlet, Julius
Caesar, Othello, A Midsummer Night's Dream, dan versi kabuki kontemporer dari Romeo
dan Juliet.

“Produser teater akan memberi tahu saya, mengapa kostum panggung buatan tangan bagus
jika penonton tidak dapat melihat detail dari rumah? Tapi buatan tangan adalah terapi bagi
saya, ”kata Darsono, yang kostum haute couture-nya kebanyakan dikenakan oleh aktor-aktor
terkemuka untuk jangka waktu 16 hingga 18 tahun.
Darsono bertemu dengan Diana Spencer pada akhir 1970-an sebelum dia menjadi guru taman
kanak-kanak. Ibu baptis Inggris Darsono, Jane Phillipson, adalah saudara ipar Dame Barbara
Cartland, novelis dan nenek tiri calon calon putri. Setelah Diana menikah dengan Keluarga
Kerajaan Inggris, Darsono mulai membuat gaun sutranya yang terinspirasi oleh wayang Jawa.
Sang Putri sejak itu memasang beberapa gaunnya untuk dilelang untuk mendapatkan uang
bagi program amal AIDSnya, yang harus dibeli kembali oleh Darsono "dengan harga mahal."

Mahkota safir yang dibuat Darsono untuk Putri Wales dipajang di museum selama tur.
Menangani mereka dengan hati-hati dengan sarung tangan lateks - persyaratan asuransi - ia
benar-benar membiarkan pengunjung memakainya.

Desain harry darsono


Itang Yunasz

Itang Yunasz adalah tokoh


atau icon perancang mode busana muslim
bergaya modern di republik tercinta ini.
Pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1958
ini adalah putra dari pasangan almarhum
Yunas Sutan Pangeran dan Yuliana, yang
kini tinggal serumah bersama Itang. Sejak
kecil, Itang sudah bercita-cita menjadi
perancang mode di kemudian hari. Ia
memimpikan bisa pergi ke Paris. Iapun
mulai suka menggambar sketsa desain saat berusia 10 tahun.
Itang terinspirasi dari ibundanya yang suka menjahit pakaian, sedangkan almarhum
ayahandanya pernah berkarir di militer. Meskipun seorang militer, Itang menegaskan, “Ayah
adalah seniman tulen karena memang dia bisa membuat patung, melukis, dan bahkan
menggunakan kain perca dari jahitan ibu untuk dijadikan lukisan.” Itang merasa kagum
karena ibundanya bisa membuat baju hanya dengan lembaran-lembaran kain. Memang baju-
baju itu tak dijual oleh sang ibunda, tapi hanya dibuat untuk anak-anaknya sendiri saja.
Saat berada di bangku SMP, Itang sering membaca majalah dan tiap kali melihat gambar atau
foto Menara Eiffel di Paris, ia dalam hati berkata, “Kapan aku bisa ke sana?” Saat itu
perancang mode yang terkenal di Indonesia hanya ada Non Kawilarang, Iwan Tirta dan Peter
Sie.
Tahun 1979, Itang memberanikan diri mengikuti Lomba Perancang Mode yang
diselenggarakan oleh majalah Femina, sayang sekali ia tidak menang, karena yang keluar
sebagai juaranya adalah Samuel Wattimena. Bahkan Itang tidak masuk 10 besar sekalipun.
Pada satu waktu, Itang diberitahu oleh temannya yang berdomisili di Singapura bahwa
perancang mode Renato Balestra dari Italia akan mengadakan show di sana. Itangpun
kemudian terbang ke Singapura dan bersama temannya menyaksikan show tersebut. Ia sangat
antusias melihat dengan mata kepalanya sendiri peragaan busana karya Balestra dan iapun
berkesempatan menemui Balestra usai peragaan busana sambil berujar, “Saya ingin seperti
kamu!” Dari situlah, ia lalu menerima tawaran dari sang desainer Italia tersebut untuk studi
sambil magang ke rumah modenya di Roma dan terwujud pada tahun 1980 selama setahun.
Awalnya kedua orangtuanya mempertanyakan hasrat Itang untuk studi mode di Roma.
Seperti kebanyakan orang tua pada masa itu, ia dipertanyakan apa jadinya di masa depan
dengan menjalani profesi sebagai perancang mode, manakala saat itu masih sangat sedikit
kaum pria yang menekuni bidang yang satu ini. Sebenarnya orang tua Itang tidak melarang
cita-citanya, tapi hanya menasihati bahwa selama ia yakin bahwa ini memang masa depannya,
mereka pasti mendukung sepenuhnya. Itangpun berhasil meyakinkan orang tuanya,
penghasilan pertamanya langsung ia berikan kepada mereka.
Tahun 1980 Itang absen dari ajang Lomba Perancang Mode karena dia berguru pada Balestra.
Selama studi di Roma, Itang banyak berpikir dan berusaha memahami selera orang-orang
Indonesia soal busana. Karena Italia itu terkenal sebagai tempat baju siap pakai, sehingga
Itang terpengaruh dengan hal-hal yang dipelajari dan dilihatnya, untuk kemudian ia memilih
fokus membuat baju-baju ready to wear yang diproduksi dalam jumlah banyak. Sebagai
perbandingan di Paris, mereka fokus untuk couture, hanya satu desain saja dan pasti beda.
Usai menimba ilmu di rumah mode Balestra, Itang kembali ke tanah air dan membuahkan
hasil ketika ia menjadi runner-up pada Lomba Perancang Mode pada tahun 1981. Pada ajang
bergengsi ini, Itang memilih tema ‘Angin Timur Angin Barat’ dengan memberikan sentuhan-
sentuhan dari Srilanka, Thailand, Jepang dan Sumatra yang dikemas dengan gaya
internasional. Itulah awal karir Itang Yunasz dalam berkiprah secara total sebagai perancang
mode.
“Hadiah sebesar Rp 2 juta saya jadikan modal pembukaan usaha, ditambah dengan baju
rancangan saya yang laku Rp 4 juta karena dibeli oleh istri dari dokter ahli jantung Michael
Elias DeBakey dari Houston, Texas,” kenang Itang. Pada awal bisnisnya itu, Itang tidak
mempunyai tukang jahit, sehingga, misalnya saja ia harus pergi sendiri ke daerah Mayestik,
Kebayoran Baru. Namun, kini ia memiliki 50 orang penjahit, 5 diantaranya merupakan
penjahit sejak awal ia menekuni bisnisnya.
Orang mengenal Itang Yunasz tak saja sebagai perancang mode, tapi juga sebagai penyanyi,
bintang iklan dan pemain film. Menyanyi memang hobi masa kecilnya, ibaratnya ia tak bisa
melihat ada microphone nganggur.

Selama menggeluti profesi sebagai penyanyi sambil tetap menjalani profesi sebagai
perancang mode, Itang pernah berada di persimpangan jalan. Ia mempertanyakan dirinya
sendiri, karena merasa profesi sebagai penyanyi bukanlah profesi sesuai dengan panggilan
hatinya. Itang merasa perancang modelah profesi yang cocok bagi dirinya.
Suatu ketika, seorang pengamat mode Cynthia Sujanto (almarhumah) mengatakan padanya
bahwa Itang harus membuat pilihan dari berbagai profesi yang digelutinya secara simultan.
Dalam kesibukannya menjalani multi profesi, Itang selama empat kali berturut-turut pernah
masuk nominasi sebagai perancang mode terbaik di Indonesia tapi tidak pernah sekalipun
menjadi pemenangnya. Ia menyadari bahwa saat itu ia tidak fokus dengan keberadaannya
sebagai perancang mode sehingga ia mengalami pasang surut.
Atas dasar teguran atau wake-up call dari Cynthia itulah, Itang kemudian membuat keputusan
dan akhirnya hanya fokus sebagai perancang mode. Itang yang sedang meraih popularitas
sebagai penyanyi saat itu bahkan sempat dikontrak oleh Pangeran Brunei selama beberapa
tahun dan tentu saja menerima honor yang sangat besar. Berkat penghasilan yang besar dari
Pangeran Brunei, Itang menjelma menjadi globetrotter; ia sering berlibur ke Asia, Eropa dan
Amerika Serikat. Tapi ia tetap senantiasa ingat kepada orang tuanya dengan cara memberikan
penghasilannya untuk dipakai membeli rumah. Dalam keadaan tidak fokuspun, Itang sudah
punya gerai di Pasaraya Blok M dan merupakan perancang mode pertama yang masuk ke
pusat perbelanjaan modern itu. Itang mengutarakan bahwa ia memang punya hubungan yang
baik dengan pengusaha A. Latief saat itu. Sebenarnya pada masa itu ia pernah mempunyai
butik di daerah Kebayoran Baru, tapi kemudian ia tutup karena kondisi dirinya yang tidak
seratus persen di bidang mode. Disamping menyanyi, adakalanya iapun diminta Pangeran
Brunei untuk membuatkan pakaian dengan hasil rancangannya.
Setelah itu Itang benar-benar shifting dan sangat fokus akan profesinya sebagai perancang
mode. Selama 4 tahun berturut-turut sejak 1991, Itang selalu menjadi pemenang perancang
mode terbaik Indonesia. Inilah turning pointItang guna makin memantapkan posisinya
sebagai perancang mode papan atas di Indonesia. Iapun merasa berterima kasih atas ‘sentilan’
sang pengamat mode Cynthia Sujanto.
Menikah dengan Yeni Mulyani, mereka dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Selepas melahirkan anak kedua, Yeni memutuskan untuk berhijab dan sejak itu pula Itang
mendedikasikan dirinya merancang busana muslim.
Menurut pendapat Itang, para pendahulunya dalam busana muslim seperti Ida Royani dan Ida
Leman menghadirkan gaya busana yang berlapis-lapis atau bertumpuk-tumpuk dan terkesan
gedombrongan. Itang sempat ragu dan khawatir untuk mulai fokus ke rancangan busana
muslim, tapi berkat Allah SWT semata, ia diberikan banyak kemudahan dalam
menjalankannya. Itang menegaskan bahwa ide merancang busana muslim ia dapatkan dari
ketekunannya mengikuti tren mode dunia.
‘Tatum’ adalah label pertama yang ia rilis, di mana fokusnya busana muslim untuk para
profesional yang bekerja di lingkungan perkantoran. Ia melahirkan ‘Tatum’ setelah melihat
perkembangan Bank Syariah di Indonesia. Ia melihat ada banyak wanita berhijab, tapi
mereka tak tahu blazer macam apa yang pantas dikenakan, misalnya.
Desain Itang Yunasz
Ghea pangabean
Wanita yang memiliki nama lengkap Ghea
Sukasah Panggabean lahir pada tanggal 1 Maret
1955. Meskipun terdaftar sebagai Waga Negara
Indonesia (WNI), tetapi dia dilahirkan di kota
Rotterdam, Belanda. Ghea Sukasah Panggabean
atau biasa dipanggil Ghea adalah putri dari
pasangan suami istri bernama Sutardi Sukarya dan
Janne Jannie Horneman. Ghea memiliki hobi dan
sangat senang sekali menggambar. Bakat tersebut
terbentuk bahkan semenjak dia masih kecil. Pada
pendidikan tingkat dasar, Ghea bersekolah di
Jerman Barat. Selanjutnya pada pendidikan
tingkat menengah, dia mengenyam pendidikan di
Rotterdam. Setelah lama mengais ilmu di luar
negeri, Ghea akhirnya kembali ke tanah air untuk melanjutkan pendidikan menengahnya. Dia
sempat bersekolah di Tarakanita. Setelah itu, dia melanjutkan ke bangku perkuliahan di
Perguruan Tinggi Trisakti mengambil jurusan seni rupa, namun dia terdaftar sebagai
mahasiswi di sana hanya selama setahun. Setelah menyerap pendidikan dan ilmu di tanah air
sendiri, Ghea melanjutkan pendidikan perkuliahannya di Lucie Clayton College of Dres
smaking Fashion Design pada tahun 1976 hingga 1978). Selanjutnya, Ghea diterima di
sebuah institusi pendidikan yang mengajarkan dunia busana / fashion, Chelsea Academy of
Fashion, London pada tahun 1979. Setelah berkecimpung cukup lama dalam menyerap
pengetahuannya dalam dunia fashion, Ghea mulai merintis kariernya sebagai desainer muda.
Salah satu karya Ghea sebagai desainer muda yang menarik perhatian adalah ketika dia
menggunakan motif jumputan Palembang dan Jawa. Dalam tiap peragaan busana, Ghea
sangat suka menggunakan motif kain tradisional. Ghea menuturkan bahwa ia sangat
mencintai Indonesia dan ia pernah menyelenggarakan peragaan busana sebagai bentuk
dedikasinya selama 30 tahun terhadap Indonesia. Selain mendapatkan sambutan positif dari
masyarakat di tanah air, Ghea juga mendapatkan pujian ketika dia mengemas kain tradisional
di dalam sebuah peragaan busana di kota Milan yang merupakan kiblatnya dunia mode. Salah
satu yang memuji kekreativitasan Ghea adalah General Manager Alta Roma yang merupakan
Asosiasi Mode dan Perancang Busana di Roma, Italia.

Design Ghea Pangabean


Samuel Wattimena
Samuel Wattimena lahir di Jakarta 25 November 1960.
Ia adalah satu dari perancang busana ternama di
Indonesia. Sammy, begitu ia akrab disapa, pernah
menggelar fashion show pada tahun 2011. Ia senang
sekali mengangkat kain-kain tradisional Indonesia
karena menurutnya Indonesia mempunyai berbagai
macam kain yang bisa dibanggakan di kancah fashion
Internasional. Hanya saja, masyarakat Indonesia tidak
menyadari itu.
KARIR
Namanya muncul setelah mengikuti ajang pencarian
Perancang Mode yang digelar oleh Majalah Femina pada
tahun 1979. Dari ajang tersebut, muncul juga nama seperti Itang Yunasz, Chossy latu,
Edward Hutabarat, juga perancang busana lainnya.
Karena menyadari Indonesia memiliki kekayaan kain yang sangat beragam, ia pun
mempunyai mimpi untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode busana etnik yang bisa
diperhitungkan di mata Internasional.
Pada tahun 2010, ia pernah menjadi konseptor Hari Pattimura yang diselenggarakan di
Surabaya setiap 15 Mei. Ia juga pernah menjadi art designer untuk film Naga Bonar 2 yang
dibintangi oleh Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Darrius Sinatria dan Mike.
Tahun 2011 lalu, baru saja ia menggelar Pagelaran Tenun Unggan Sumatera Barat Kabupaten
Sijunjung di KOI Cafe & Gallery, Kemang, Jakarta Selatan.
Desain Samuel Wattimena
Susan Budihardjo
Tiga dekade mendidik ranah mode Indonesia.
Nyatanya, fashion bukanlah cita-cita
pertamanya. Susan Budihardjo termasuk
wanita cerdas yang gemar belajar. Ia kuliah
saat usianya 16 tahun. Ia kuliah studi Arsitektur
di Universitas Tarumanegara, Jakarta. Susan
punya hobi menggambar. Bisa jadi dipengaruhi
sang ibu yang juga suka menggambar.
Mimpinya selalu berubah-ubah. Ingin menjadi
penari balet, pianis, bahkan sempat bercita-cita
menjadi atlet renang atau basket. “Pada era itu,
kebanyakan orang bercita-cita menjadi dokter
atau arsitek. Saat itu tidak ada orang Indonesia
bermimpi ingin menjadi fashion designer,
termasuk saya,” kisahnya. Satu semester kuliah Arsitektur, ia merasa jenuh. “Saya berpikir,
rasanya bukan di sini tempat seharusnya saya berada,”
Dunia mode sesungguhnya bukan impian Susan sejak kecil. Sewaktu kuliah, ia mengenal
pesta yang kemudian mengharuskan Susan berpikir keras setiap hendak berpakaian. “Saya
ingin berpenampilan beda. Tidak sama dengan kebanyakan orang. Keinginan itu menorong
saya untuk mendesain sendiri baju-baju pesta.” Memiliki ibu yang gemar menjahit dan
pandai memadupadankan busana, Susan kian bersemangat mendesain baju sendiri. Dan baju
karyanya kerap kali mencuri perhatian di tengah pesta. Hasilnya, teman-teman meminta
Susan membuatkan baju. Susan lantas menemukan kenyamanan yang ia cari selama ini.
Hal tersebut meyakinkan Susan untuk masuk sekolah mode di Indonesia. Saat itu hanya ada
sekolah mode ASRIDE yang kini bernama ISWI. Susan belajar di sana selama satu tahun,
pada tahun 1972. “Saya harus menyerap banyak ilmu. Maka saya melanjutkan studi ke Berlin,
Jerman, lalu sekolah di London, Inggris. Lima tahun sekolah, saya kemudian pulang ke
Indonesia,” cerita Susan. Keinginan mendirikan sekolah mode hanya dilatarbelakangi oleh
kesulitan yang ia hadapi saat dulu mencari tempat belajar mode di Indonesia. Tidak ada
pemikiran saat itu bahwa mendirikan sekolah fashion dalam rangka membesarkan
dunia fashion Indonesia. “Saya ingin orang-orang di Indonesia tidak lagi susah mencari
sekolah mode atau pergi jauh ke luar negeri untuk belajar mode,” kisahnya. Tahun 1980
sekolah Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo berdiri dan menjadi
sekolah mode pertama di Indonesia (lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum). Kini
telah memiliki cabang di Semarang, Surabaya, dan Bali.
Kini Susan Budihardjo sudah tidak lagi mengajar atau menggelar show tunggal. Kerinduan
mendesain baju ia tuangkan melalui karya desain busana yang dipesan teman-teman dekatnya
atau untuk digunakan dirinya sendiri. “Saya lebih senang disebut sebagai pendidik dibanding
sebagai desainer mode. Meski demikian, saya tidak pernah berharap ada ‘Susan Budihardjo
kecil’ sebagai penerus saya.” Susan yakin, setiap orang punya karakter masing-masing yang
tidak pernah sama persis. Desainer yang berkualitas, menurutnya, adalah mereka yang
mendesain dengan statement baru. “Fashion bisa berubah, tapi ada DNA sebagai karakter
yang membentuk identitas.”
“Kuncinya adalah kreativitas. Kepekaan yang terus-menerus diasah. Kita juga mesti sering-
sering bertanya, apa yang dibutuhkan orang dalam berbusana? Apa yang bisa diterima
masyarakat? Banyak orang ingin go international, tetapi pada saat bersamaan tidak
memerhatikan kualitas,” ungkap Susan. Baginya, seorang desainer harus mampu
menggabungkan dua hal, karya-karya yang mencerminkan karakter desainer dan sekaligus
bisa diterima masyarakat luas. Susan mencontohkan dirinya, yang meski kini berubah gaya
tetapi punya satu garis yang selalu bertahan. “Dulu saya bergaya sangat elegan. Pakai jas, rok,
dan aksesori kalung. Saya sekarang tidak lagi seperti itu. Namun dari dulu, gaya berbusana
saya selalu ‘clean’. Seperti apa pun gaya mode yang saya kenakan, saya tetap tidak memakai
yang ribet dan terlalu banyak ornamen,” aku Susan.
Sebagai desainer mode sekaligus pendidik, Susan paham betapa sulitnya mencari bahan
dengan kualitas bertaraf internasional di Indonesia. “Industri tekstil di sini sebenarnya bisa
membuat kain dengan kualitas prima, namun itu semua orderan pihak luar negeri.” Maka itu
Susan mulai mendidik murid-muridnya agar peka melihat ke pasar industri ready-to-
wear yang pasarnya lebih besar.
Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo merupakan sekolah mode tertua di
Indonesia. Dari sekolah mode ini, telah lahir banyak nama besar fashion designer Indonesia.
Beberapa desainer bertalenta yang lahir dari LPTB Susan Budihardjo, di antaranya
yaitu Sebastian Gunawan, Eddy Betty, Adrian Gan, Irsan, Didi Budiarjo, Denny
Wirawan, dan Sofie. “Saya bangga dengan semua murid lulusan sekolah ini. Mereka melesat,
kuat, dan telah memiliki tempatnya masing-masing,” ujar Susan. Tidak semua murid lulusan
sekolah mode Susan Budihardjo dikenal publik melalui sorot media. Beberapa lulusannya
sukses menapaki ranah mode Tanah Air meski tak dikenal banyak orang (tidak semua murid
Susan memilih berkarier sebagai desainer mode, banyak yang akhirnya memilih memiliki
usaha tekstil atau pabrikan). Namun, sebagai pendidik, Susan memiliki kebanggaan yang
sama terhadap semua muridnya. “Mereka yang berhasil di industri mode tapi tak terkenal,
dan mereka yang berhasil sebagai desainer, misalnya Adrian Gan yang memiliki lini
adibusana, keduanya sama-sama bikin saya bangga sekali.”
Kali pertama Susan Budihardjo mendirikan sekolah, banyak teman-teman yang
meragukannya. “Mereka bilang, ‘Kamu sekolah lima tahun lalu pulang ke Indonesia bagi-
bagi ilmu. Memangnya tidak rugi?’ Saya berbagi ilmu, tetapi mode itu bergerak dan
berkembang. Saya selalu memegang prinsip ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.
Sebagai pendidik, kita tidak sepatutnya punya perasaan takut kalah pintar atau kalah terkenal
dibanding murid-murid sebagai generasi penerus,” ungkap Susan.
Susan mengungkapkan dirinya menemukan kepuasan dan kebanggaan ketika anak muridnya
sukses. “Ketika lulus dari sekolah ini, mereka siap terbang dengan percaya diri. Saya ikut
senang dan haru. Bahkan ketika orangtua murid mengucap terima kasih kepada saya.
Rasanya sulit diungkap dengan kata-kata.”

Desain susan budiharjo


Peter Sie
Peter Sie (lahir dengan nama Sie Tiam Ie; lahir
di Bekasi, Jawa Barat, 28 Desember 1929 – meninggal
di Jakarta, 1 April 2011 pada umur 81 tahun) adalah
seorang perancang busana terkemuka Indonesia.

Saat kecil ia sudah tertarik dengan dunia jahit-menjahit. Ia


mempelajari dunia jahit di Belanda pada tahun 1947–1953.
Kembali ke Indonesia, ia segera merintis kariernya sebagai
penjahit. Saat itu langganannya adalah nyonya-
nyonya Tionghoa di sekitar rumahnya di Mangga
Besar, Jakarta. Empat tahun kemudian ia mulai membuat
sketsa-sketsa dan pada tahun berikutnya Sie berpameran di
Hotel Des Indes (kini pertokoan Duta Merlin). Tahun 1974 ia sempat mengalami krisis saat
tidak seorangpun langganan yang muncul. Atas saran salah seorang anggota stafnya, iapun
mulai membuat beberapa buah baju untuk setiap rancangan. Sie bangkit untuk menjadi
sukses dan karyanya yang dihargai tinggi digemari pelanggannya. Oleh sejumlah kalangan,
Sie kini dianggap sebagai perintis mode Indonesia. Ia absen dari dunia mode sejak akhir
tahun 1980-an namun pada tahun 2001mengadakan pameran yang menampilkan sejumlah
rancangan-rancangan lamanya serta meluncurkan otobiografinya.

Peter Sie merupakan perancang busana senior di Indonesia. Ia sempat mengenyam


pendidikan di Vakschool Voor Kleermaker & Coupeuse, Den Haag, Negeri Belanda (1947-
1953).

Ia memulai debutnya pada 1954 sebagai penjahit yang tidak dikenal. Langganannya adalah
nyonya-nyonya keturunan China di seputar rumahnya (waktu itu), di bilangan Mangga Besar,
Jakarta. Pada 1958 ia mulai membuat sketsa-sketsa. Tahun berikutnya berpameran di Hotel
Des Indes (kini pertokoan Duta Merlin).

Sebagai perancang, Peter dikenal karena ketelitian dan kehalusan pengerjaan busana
buatannya. Pelanggannya adalah para perempuan kalangan elite, termasuk keluarga Presiden
Soekarno.

Dini Ronggo (60), staf Peter Sie, mengingat bagaimana Peter Sie juga pernah diundang
membuat peragaan busana di istana semasa pemerintahan Presiden Soekarno. Krisis
dialaminya pada 1974, ketika tidak seorang pun langganan muncul selama beberapa bulan.
Seorang stafnya menyarankan, "Bikin saja baju jadi beberapa buah." Ini menyelamatkan
keadaan. Pada saat posisinya makin kukuh sebagai pelopor perancang busana, sebagian orang
menyebutnya sebagai satu-satunya perancang houte couture Indonesia. "Saya paling benci
dibilang begitu. Untuk menjadi penjahit houte couture itu tidak sembarangan," kata Peter kala
itu.

Peter anak bungsu dari tujuh bersaudara Sie Tjeng Hay, pemilik toko makanan di Bogor. Ia
masih kanak-kanak ketika mulai tertarik pada jahit-menjahit, lantas dibimbing oleh Mak
Wek—penjahit keluarganya yang datang setiap dua minggu. Pada usia 15 tahun, Peter
berketetapan hati menjadi penjahit. Sekolah formalnya berantakan.

Dua tahun kemudian, oleh kakak iparnya, Kho Han Gao, ia diajak ke Negeri Belanda. Di
sana, Peter masuk Vaschool voor Kleermaker & Coupeuse, Den Haag. Pulang ke Tanah Air,
1954, ia langsung merintis karier sebagai penjahit.

Koleksi :
Prayudi
Prayudi merupakan salah satu pelopor dinuia mode di
Indonesia .Prayudi merupakan desainer ternama angkatan
Biyan dan Iwan Tirta yang mampu masuk Istana dengan
menjadi penata gaya Soeharto. Dia juga dipercaya ibu
negara, mending Tien Soeharto, untuk menata busana
hingga riasan wajahnya. Sosok Prayudi mungkin tidak
dikenal banyak orang. Pasalnya, dia hanya bermain di
balik layar

Mendiang Prayudi memang sudah tak diragukan lagi


karyanya di Tanah Air. Dia pernah meraih piagam
penghargaan Upakarti dari pemerintahan Soeharto berkat
jasanya dalam mengangkat kebudayaan Indonesia lewat
busana.

Selain kariernya melejit di Indonesia, Prayudi juga dikenal akrab oleh beberapa petinggi
negara di dunia, seperti istri Presiden Filipina, Imelda Marcos. Prayudi mampu membuat
kliennya merasa nyaman saat bekerja sama dengannya. Tidak hanya itu, Prayudi dikenal tipe
yang detil dengan berbagai hal kecil saat merancang busana. Dia tidak mau kliennya kecewa
lantaran kesalahan kecil yang tampak di busananya.

Prajudi, yang merupakan lulusan sekolah mode Jerman, melihat ada kekurangan di dunia
mode Indonesia. Kekurangan yang dimaksud adalah akses. Mode hanya bisa diakses
segelintir masyarakat. Mereka yang berduit. Pejabat pemerintahan, selebriti dan bangsawan
adalah para konsumen mode. Sisanya, mengenakan busana ala kadarnya.Melihat hal itu,
Prajudi pun melakukan diversifikasi bisnis. Selain mengembangkan tenun ikat, dia mulai
memproduksi busana massal bagi kaum pekerja, kelas menengah - atas. Busana yang dia
produksi massal, pada waktu itu, masihlah busana formal untuk pekerja kantoran. Namun,
DNA busana ready-to-wear alias siap pakai, mulai terbentuk.

Di era ini pula gaya busana ala Barat mulai kencang berembus. Kendati Peter Sie dan Non
Kawilarang melakukan hal serupa, minat mode ala Barat baru tumbuh di tahun 80an.
Batik dan tenun ikat yang tadinya hanya kain, kini menjelma jadi busana eksklusif. Kain
‘mbok-mbok pasar’ pun naik kelas, sehingga pemerintah di masa itu, menetapkan kemeja
batik sebagai busana resmi untuk pria. Bahkan, Prajudi memberikan gebrakan baru. Dalam
catatan Mendiang Muara Bagdja, jurnalis dan pemerhati mode, Prajudi memberikan napas
baru pada kata ‘siap pakai’. Bukan hanya kain yang dia buat jadi praktis, melainkan juga
kebayaDi tangan Prajudi, kebaya yang tadinya merupakan busana sehari-hari, menjadi begitu
mewah.
Biyan
Biyan Wanaatmadja mengaku pada
masa kecilnya dia tidak memiliki cita-
cita layaknya anak kecil pada
umumnya. Setelah lulus dari bangku
SMA, Biyan memutuskan untuk
melanjutkan studinya di Jerman
karena kebetulan beliau memiliki
saudara di sana. Sekolah desain dan
mode Mueller & Sohn
Pricatmodeschule di Duessedrof, Jerman. Karena suatu alasan dan adanya ketidakcocokan,
beliau akhirnya pindah ke London College at Fashion di London Inggris setelah dua tahun
menuntut ilmu di Jerman.

Pada tahun 1983, setelah menyelesaikan studinya, beliau langsung magang di sebuah rumah
desain Erico Coverey di Florence, Italia. Di sana beliau sempat beberapa kali mengadakan
fashion show.

Setelah sebelas tahun berkelana di Eropa, akhirnya beliau kembali ke kampung halamannya
di Surabaya atas permintaan sang bunda. Beberapa minggu setelah kepulangannya beliau
mulai merintis karirnya dengan membuat beberapa desain untuk koleksinya, beberapa
koleksinya pun sempat disorot awak media hingga pada akhirnya beliau memiliki tujuan yang
pasti yakni memilih karir sebagai desainer. Pada tahun 1984 beliau meluncurkan hasil
koleksinya dengan judul 'Biyan'.

Namun, pemilik label Biyan Wanaatmadja, Studio 133, dan (X)S.M.L itu mengaku masih
belum mau melangkahkan kakinya ke dunia internasional. Kendati telah memiliki butik di
Singapura, dan Hong Kong, namun Biyan memilih untuk tetap eksis di Tanah Air
dibandingkan harus mendunia."Ekspansi ke luar is everybody dreams. Saya punya tanggung
jawab di Indonesia, saya merasa memiliki Indonesia," kata beliau.

Sebagai salah satu orang yang berpengaruh dalam dunia fashion Indonesia, beliau
berpendapat bahwa saat ii dunia fashion Indonesia tidak lagi dimiliki oleh beberapa orang
tertentu namun sudah menjadi hal yang biasa karena banyak hal bisa diakses dengan mudah
pada masa kini, berbeda dengan masa sepuluh tahun yang lalu saat segala informasi masih
sangat terbatas. Bagi beliau, terus berkarya dan menjadikan wanita tampak lebih cantik
adalah hasrat tersendiri yang terus memacu beliau untuk terus melahirkan karya-karya baru.
Ramli
Perancang yang bernama lengkap Ramli
Sarwi Gozali Kartowdijojo yang kelahiran 1
November 1954 ini dikenal sebagai
perancang yang memiliki perhatian khusus
terhadap kain lokal Indonesia.
Di tahun pertama kemunculannnya 1975
dengan dimentori legenda perancang senior
masa itu, Non Kawilarang, Ramli menaruh
minat terhadap bordir. “Saya pernah
ditantang Ibunya Mbak Rima apa yang
kamu bisa? Saya jawab bordir, ibunya Rima
menyuruh saya serius menekuni bordir,” demikian penuturan Ramli di awal meretas
karir tahun 70-an.

Di tangan Ramli, bordir yang awalnya sangat dipandang lokal atau kampung sekali
menjadi sebuah karya yang kemudian dipakai dan dinikmati masyarakat gedongan yang
notabene memang pelanggan karya Ramli. Selain menghadirkan kebaya encim Betawi
yang penuh bordir, Ramli piawai menghadirkan bordir naik kelas.

Pada bordir dan kebaya Encim Betawi, Ramli menghadirkan blus atau atasan berkatun
putih dan berbordir. Gayanya kasual, kemudian dalaman dan rok yang bisa dikenakan
untuk ke kantor berwarna putih, krem, merah jambu, dan cokelat. Karya Ramli banyak
menggunakan bordir dan sulaman, yang merupakan kekuatan desainnya.

Awal tahun 80an, Ramli mulai menggebrak karyanya dengan batik yang dirancang
menjadi jaket batik beritsleting, bolero batik dan gaun pesta. Padahal kain-kain
tersebut awalnya hanya sebatas kain untuk kebaya. Namun Ramli memiliki keberanian
menghadirkan batik dalam sentuhan moderen dan global. Karya Ramli selain baju pesta
dan kebaya, juga hadir aneka busana kasual, busana kantor, resort dress, gaun malam,
kebaya, tunik, abaya, hingga gamis. Untuk pria, ada baju koko, kemeja, jaket batik
beritsleting, dan jas ala Nehru.
Ramli juga pernah memakai batik Sampang Madura yang bermotif flora fauna dengan
aneka warna ngejreng yang memikat hati. Di tangannya lembaran kain dari Pulau
Garam itu menjadi busana-busana eksklusif blus panjang, celana panjang, kebaya
hingga jaket lelaki.

Gaya modern itu dikemas dalam warna merah menyala, hitam putih dan cokelat. Oleh
Ramli komposisi batik ini dikombinasi atau dibuat komposisi baru. Ada yang disusun
menjadi seperti lereng, ada yang dijadikan penghias tepi rok dalam pola ceplok
berukuran besar dengan paduan motif liris, atau motif pucuk rebung sebagai tumpal
sarung dan motif karapan sapi. Perpaduan gaya dan motif ini menghasilkan busana
yang elegan, mewah, dan mahal. Ramli menyajikan gaun batik, rok batik panjang kerut
dipadu atasan renda berpotongan sederhana dengan lengan balon, atasan panjang
berbentuk tubular, atau korset yang dipadu jaket organdi panjang.

Kemudian adalah kain tenun dari Kepulauan Riau yang dilakukan pengembangan motif
tikar dan ukiran . Ramli menciptakan motif baru bernama motif batik Tikar Serasan.
Kain tenun Kepulauan Riau bermula dari kain cual, yang bila merunut sejarah kain
tenun khas kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, meruapakn sebuah proses
petualangan dan perjalanan budaya eksotik khas Nusantara di pertengahan era 1800an.

Yang pertama kali menenun kain cual adalah Halimah ditahun 1863 yang awalnya
hanya tenunan sederhana dari seorang wanita dari pedalaman kampung Teluk Encau
(sekarang bagian dari kecamatan Siantan Timur, Kepulauan Riau). Kepiawaian Ramli
mengubah menjadi karya moderen beruapa kebaya klasik, yang dikombinasikan dengan
potongan kerah cheongsam tanpa menghilangkan kesan etnik.

Selanjutnya, Ramli pun memakain sulaman Lampung menjadi kebaya panjang, baju
kurung bahkan baju pesta dan busana kantor. Sebelum era busana muslim kaftan
menjamur seperti sekarang, pada tahun 80 dan 90-an, Ramli sudah melakukan
terobosan dengan menghadirkan abaya berbahan batik sutera dan baju koko
berpotongan Nehru. Di masa itu selama ramadan dan idhul fitri, koleksi busana Ramli
sangat ditunggu dan dinanti masyarakat dan pelanggan setianya.
Pada 2010 ketika Ramli divonis menderita kanker stadium IV tidak menyurutkan
semangatnya berkarya. Berbekal menjalin kerja sama dengan beberapa pemerintah
daerah di Indonesia, dalam sakit Ramli diberikan kesempatan untuk tetap eksis
berkarya demi mengembangkan potensi kain lokal menjadi karya global.
Edward Hutabarat
Edward Hutabarat (akrab dipanggil
Edo; lahir di Tarutung, Sumatera
Utara, 31 Agustus 1958; umur 59
tahun) adalah salah satu perancang
busana terkemuka di Indonesia. Edo
juga dikenal sebagai kurator seni
dan budaya. Bagi Edward Hutabarat,
batik bukanlah sembarang kain
bermotif kebanggaan bangsa Indonesia. Baginya, batik adalah warisan bangsa, sisa peradaban
yang penuh dengan nilai sejarah tersendiri.
Menurut laki-laki yang akrab disapa Edo itu, batik lahir dengan karakter. Motif yang terukir
di atas kain pasti memiliki arti dan filosofi yang dalam. Membuatnya pun tak mudah. Proses
membatik yang dilakukan secara manual sejak dulu membuktikan bahwa batik bukanlah
barang sembarangan.

“Batik itu kain peradaban, bukan kain tradisional karena zaman dulu bukan untuk
dijualbelikan. Batik ada sebagai prestise, bagaimana seorang ibu membuat kain truntum
untuk pernikahan putrinya,” kata Edward dalam jumpa pers di Hotel Dharmawangsa, Jakarta,
sebelum memulai fashion shownya, beberapa waktu lalu.

Menyadari begitu berharganya sisa peradaban bangsa itu, di tahun ke-35 Edo berkarya, ia
mempersembahkan sebuah perjalanan dirinya bersama batik-batik nusantara. Mengusung
tema Batik Journey, Edo ingin menunjukkan kisahnya menemukan batik-batik yang indah
selama masa ia berkarya sebagai desainer.

Tak hanya itu, Edo juga ingin menunjukkan kepada masyarakat luas kalau batik juga punya
perjalanannya sendiri sebelum membalut tubuh manusia dalam bentuk pakaian.

Edo tak mau mengemas perjalanan berharganya yang ia tempuh bukan dalam tempo yang
sebentar itu secara sembarangan. Ia telah mempersiapkan sebuah pertunjukkan karya yang
menarik yang bisa menyampaikan kepada khalayak betapa berharganya kain batik bagi
bangsa ini.
Tidak seperti kebanyakan desainer yang langsung menggelar fashion show dengan
menampilkan baju-baju berdesain fantastis, Edo mengawali rangkaian pertunjukannya
dengan menggelar pameran. Di sebuah ruangan megah nan mewah di Hotel Dharmawangsa,
Edo memamerkan kain-kain batik yang ia gunakan dalam pertunjukan busananya Kamis
malam. Edo dan tim menyiapkan instalasi pameran yang indah tapi tetap terlihat sederhana.

Kain-kain batik dari Cirebon, Solo, atau dari Madura ia biarkan menjuntai di tiang-tiang
bambu yang telah dibuat sedemikian rupa. Dengan didukung pencahayaan tambahan Edo
ingin orang-orang bisa melihat keindahan, kemegahan, sampai membayangkan kesulitan para
pengrajin batik ketika membuat batik-batik kebanggannya itu. Dengan nada penuh dengan
rasa puas, Edo bercerita kalau batik yang dipajangnya dan akan menjadi bahan utama
pertunjukan fesyennya itu, adalah batik tulis kualitas terbaik.

Menurut Edo cerita tentang batik itu cerita mata rantai. Kalau menyantingnya bagus,
mewarnainya salah juga jadinya tidak bagus. Batik yang indah itu mata rantai itu harus
bernilai sembilan

Mulai dari merebus, melukis, isen, nembok, mewarnai, nyelorot, menjemur, mempolanya,
menjahitnya, semua harus sembilan.

Usai memamerkan kain-kain batik kebanggaannya, Edo melanjutkan Batik Journey-nya


dalam bentuk busana-busana. Ada yang berbentuk gaun panjang, gaun pendek, jumpsuit, juga
ada yang berupa kimono.

Meski menggunakan kain tradisional, Edo mengemas pergelaran busananya dengan begitu
modern. Batik garis dibuatnya berwarna-warni. Ia juga memainkan motif garis-garisnya
sehingga tidak terlihat monoton dan datar.

Ia juga memadankan beberapa busana dengan motif yang berbeda di setiap sisinya. Misalnya
saja ia memadukan motif batik mega mendung dengan batik garis. Ada juga sebuah blazer
bergaya kimono dengan motif floral, sementara bagian dalamnya memiliki motif garis.

Pada tampilan busana lainnya, Edo memadukan batiknya dengan bahan-bahan lain seperti
bahan yang transparan.

Edo menyebut dia telah menaikkan ‘kelas’ batik dalam pertunjukkan busananya kali ini.
Selain membuat model busana yang modern, Edo mengeksekusi batik-batik kebanggaannya
itu dengan sangat hati-hati.
Melalui suguhan perjalanannya kali ini, Edo ingin mengungkapkan bahwa dibalik indahnya
batik-batik yang dikenakan oleh banyak orang, ada usaha para pengrajin batik yang sudah
seharusnya diberikan apresiasi.
Designer
Luar
Negri
Jeanne Lanvin
jeanne-Marie Lanvin (Prancis: ; 1 Januari 1867 - 6 Juli
1946) adalah perancang busana haute couture Prancis. Dia
mendirikan rumah mode Lanvin dan perusahaan
kecantikan dan parfum Lanvin Parfums.

Jeanne Lanvin lahir di Paris pada 1 Januari 1867, anak


tertua dari 11 bersaudara dari Konstantin Lanvin dan
Sophie Deshayes. Dia menjadi pembuat topi magang di
Madame Félix di Paris pada usia 16 tahun dan berlatih
bersama Suzanne Talbot sebelum menjadi pembuat topi di
rue du Faubourg Saint-Honoré pada tahun 1889.

Pada tahun 1909, Lanvin bergabung dengan Syndicat de la Couture, yang menandai status
resminya sebagai couturière. Pakaian yang dibuat Lanvin untuk putrinya mulai menarik
perhatian sejumlah orang kaya yang meminta salinan untuk anak-anak mereka sendiri. Segera,
Lanvin membuat gaun untuk ibu mereka, dan beberapa nama paling terkenal di Eropa
dimasukkan dalam pelanggan butik barunya di rue du Faubourg Saint-Honoré, Paris.

Dari 1923, kerajaan Lanvin termasuk pabrik pewarna di Nanterre. Pada 1920-an, Lanvin
membuka toko-toko yang didedikasikan untuk dekorasi rumah, pakaian pria, bulu dan
pakaian dalam.

Namun, ekspansi yang paling signifikan adalah penciptaan Lanvin Parfums SA pada tahun
1924 dan pengenalan aroma khasnya, Arpège, pada tahun 1927, terinspirasi oleh suara
putrinya Marguerite yang berlatih timbangan pada piano. (Arpège adalah bahasa Prancis
untuk arpeggio.)

Pada tahun 1922, Lanvin berkolaborasi dengan desainer terkenal Armand-Albert Rateau
dalam mendesain ulang apartemennya, rumah dan bisnisnya. [2] (Ruang tamu, kamar kerja,
dan kamar mandi apartemen disusun kembali pada tahun 1985 di Musée des Arts Décoratifs,
Paris.) Untuk tempat tinggal ini, Rateau merancang beberapa perabot 1920-19 yang luar biasa
dari perunggu.]Pasangan ini mengembangkan persahabatan, dan Rateau datang ke kerajaan
Lanvin sebagai manajer Lanvin-Sport, juga merancang flas parfum flanel La Boule berbentuk
bola untuk Arpège (awalnya diproduksi oleh Manufacture Nationale de Sèvres). Sampai hari
ini, wadah parfum Arpège dicetak dengan gambar emas Paul Iribe (diterjemahkan pada tahun
1907) dari Lanvin dan putrinya Marguerite. Rateau juga mengelola Lanvin-Décoration
(sebuah departemen desain interior, didirikan tahun 1920) di toko utama di rue du Faubourg
Saint-Honoré.

Pada tahun 1895, Lanvin menikah dengan Pangeran Emilio di Pietro, seorang bangsawan
Italia, dan dua tahun kemudian melahirkan seorang anak perempuan, Marguerite (juga
dikenal sebagai Marie-Blanche) (1897–1958). Satu-satunya anak pasangan itu, Marguerite di
Pietro menjadi penyanyi opera, menikahi Pangeran Jean de Polignac (1888–1943), dan
menjadi, setelah kematian ibunya, direktur rumah mode Lanvin. Lanvin dan di Pietro bercerai
pada tahun 1903. Suami kedua Lanvin, yang dinikahinya pada tahun 1907, adalah Xavier
Melet, seorang jurnalis di surat kabar Les Temps dan kemudian konsul Prancis di Manchester,
Inggris.

Lanvin meninggal pada tanggal 6 Juli 1946. Kantor aslinya disimpan di kantor perusahaan
Lanvin di 16 Rue Boissy d'Anglas di Paris.
Christobal Balenciaga
Cristóbal Balenciaga Eizaguirre (; 21 Januari 1895 - 23
Maret 1972) adalah seorang perancang busana Basque
Spanyol dan pendiri rumah mode Balenciaga. Dia
memiliki reputasi sebagai couturier standar tanpa
kompromi dan disebut sebagai "tuan kita semua" oleh
Christian Dior dan sebagai "satu-satunya couturier
dalam arti sebenarnya dari kata" oleh Coco Chanel,
yang melanjutkan, "Yang lain adalah hanya perancang
busana ". Dia terus dihormati sebagai dewa tertinggi di
salon-salon Eropa. Pada hari kematiannya, pada tahun
1972, Women's Wear Daily memuat tajuk "Raja sudah
mati" (tidak ada seorang pun di dunia mode yang ragu dengan siapa yang dimaksud).

Sejak 2011 tujuan yang dibangun Museo Balenciaga telah memamerkan contoh karyanya di
kota kelahirannya Getaria. Banyak dari 1.200 barang dalam koleksi dipasok oleh muridnya
Hubert de Givenchy dan klien seperti Grace Kelly.

Balenciaga lahir di Getaria, sebuah kota nelayan di provinsi Basque, Gipuzkoa, (Spanyol)
pada 21 Januari 1895. [3] Ibunya adalah seorang penjahit, dan sebagai seorang anak
Balenciaga sering menghabiskan waktu bersamanya saat ia bekerja.] Pada usia dua belas
tahun, ia mulai bekerja sebagai magang seorang penjahit. Ketika ia masih remaja,
Marchioness de Casa Torres, wanita bangsawan terkemuka di kotanya, menjadi pelanggan
dan pelindungnya. Dia mengirimnya ke Madrid, di mana ia secara resmi dilatih menjahit.
(Balenciaga terkenal sebagai salah satu dari beberapa couturier dalam sejarah mode yang
dapat menggunakan tangannya sendiri untuk merancang, memotong, dan menjahit model
yang melambangkan ketinggian seninya

Balenciaga adalah gay, meskipun ia menjaga seksualitasnya pribadi sepanjang hidupnya.


Cinta dalam hidupnya dan pasangannya yang lama adalah pembuat kapal Franco-Rusia
Vladzio Jaworowski d'Attainville, yang telah membantu mendanai pengaturannya. Ketika
d'Attainville meninggal pada tahun 1948, Balenciaga sangat hancur sehingga dia
mempertimbangkan untuk menutup bisnis ini.
Balenciaga sukses selama awal karirnya sebagai desainer di Spanyol. Ia membuka sebuah
butik di San Sebastián pada tahun 1919,] yang diperluas hingga mencakup cabang di Madrid
dan Barcelona. [3] Keluarga kerajaan Spanyol dan aristokrasi mengenakan desainnya, tetapi
ketika Perang Saudara Spanyol memaksanya untuk menutup tokonya, Balenciaga pindah ke
Paris. Ia membuka rumah couture Paris-nya di Avenue George V pada Agustus 1937.

Namun, tidak sampai tahun-tahun pasca perang bahwa skala penuh dari penemuan desainer
yang sangat asli ini menjadi jelas. Pada tahun 1951, dia benar-benar mengubah siluet,
memperluas pundak dan melepaskan pinggang. Pada tahun 1955, ia merancang gaun tunik,
yang kemudian berkembang menjadi gaun kamisol tahun 1957. Pada tahun 1959, karyanya
memuncak di garis Kekaisaran, dengan gaun berpinggang tinggi dan mantel yang dipotong
seperti kimono.

Pada tahun 1960 ia membuat gaun pengantin untuk Fabiola de Mora y Aragón ketika ia
menikah dengan Raja Baudouin I dari Belgia. Sang Ratu kemudian menyumbangkan gaun
pengantinnya ke Yayasan Cristobal Balenciaga.

Ia mengajar kelas-kelas desain mode, menginspirasi desainer lain termasuk Oscar de la Renta,
André Courrèges, Emanuel Ungaro, Mila Schön dan Hubert de Givenchy.

Karya-karyanya yang sering luang dan pahatan dianggap sebagai karya besar haute couture
pada 1950-an dan 1960-an.

Balenciaga menutup rumahnya pada tahun 1968 pada usia 74 setelah bekerja di Paris selama
30 tahun. Dia memutuskan untuk pensiun dan menutup rumah mode di Paris, Barcelona dan
Madrid, satu demi satu. Balenciaga meninggal pada 23 Maret 1972 di Xabia, Spanyol. [11]

Sekarang rumah mode Balenciaga berlanjut di bawah arahan Demna Gvasalia dan di bawah
kepemilikan Grup Kering.

Selama tahun 1950-an desainer seperti Christian Dior, Pierre Balmain, dan Coco Chanel,
muncul, menciptakan karya yang sangat representatif untuk rumah mode mereka dan gaya
mereka sendiri. Protagonis penting untuk periode ini adalah Cristobal Balenciaga. Perancang
busana Spanyol ini dikenal sebagai "The King of Fashion" dan merupakan salah satu dalang
besar masa itu. Balenciaga lahir dan dibesarkan di Spanyol, di mana ia bekerja untuk royalti
Spanyol, tetapi karena Perang Saudara Spanyol ia pindah ke Paris di mana ia menjadi "Raja
Fashion" ini.
Perancang paling menarik dari periode ini adalah Balenciaga karena desain strukturalnya,
yang belum pernah terlihat di dunia mode. Dia adalah seorang ahli menjahit, dan dia mampu
menerjemahkan ilustrasinya dari kertas ke kehidupan nyata. Keterampilan menjahitnya yang
canggih memberinya keunggulan dibandingkan desainer di seluruh dunia, menjadikannya
target utama bagi pelanggan. ] "Dia membentuk kembali siluet perempuan pada tahun 1950-
an, sehingga pakaian yang kita anggap khas dekade itu sebagian besar merupakan
pengenceran dari karyanya" (Irvine, 2013).
Hubert De Givenchy
Pangeran Hubert James Marcel Taffin de
Givenchy](20 Februari 1927 - 10 Maret 2018)
adalah seorang perancang busana Prancis yang
mendirikan rumah Givenchy pada tahun 1952. Ia
terkenal karena telah mendesain banyak dari
pakaian pribadi dan profesional Audrey Hepburn
dan pakaian untuk Jacqueline Bouvier Kennedy.
Ia ditunjuk sebagai Hall of Fame dengan Daftar Pakaian Berpakaian Internasional Terbaik di
tahun 1970. Rekannya adalah Philippe Venet

Hubert James Taffin de Givenchy lahir pada 20 Februari 1927 di Beauvais, Oise dalam
keluarga Protestan. [2] Dia adalah putra bungsu Lucien Taffin de Givenchy, Marquis of
Givenchy (1888–1930), dan istrinya, mantan Béatrice ("Sissi") Badin (1888–1976). Keluarga
Taffin de Givenchy, yang menelusuri akarnya hingga Venesia, Italia (nama aslinya adalah
Taffini), dinobatkan pada tahun 1713, di mana pada saat itu kepala keluarga menjadi Marquis
of Givenchy. Dia memiliki kakak laki-laki, Jean-Claude de Givenchy (1925–2009), yang
mewarisi pernikahan keluarga dan akhirnya menjadi presiden Parfums Givenchy.

Setelah kematian ayahnya karena influenza pada tahun 1930, ia dibesarkan oleh ibu dan
neneknya dari pihak ibu,Marguerite Dieterle Badin (1853–1940), janda Jules Badin (1843–
1919), seorang seniman yang merupakan pemilik dan sutradara dari pabrik permadani
Gobelins dan Beauvais yang bersejarah. Profesi seni berlari dalam keluarga besar Badin.
Kakek buyut ibu Givenchy, Jules Dieterle, adalah seorang desainer yang juga menciptakan
desain untuk pabrik Beauvais, termasuk satu set 13 desain untuk Elysee Palace. Salah satu
dari kakek buyutnya juga merancang set untuk Opera Paris.

Ia pindah ke Paris pada usia tujuh belas tahun, di mana ia belajar di École des Beaux-Arts.

Desain pertama Givenchy dilakukan untuk Jacques Fath pada tahun 1945. Kemudian ia
membuat desain untuk Robert Piguet dan Lucien Lelong (1946) - bekerja bersama Pierre
Balmain dan Christian Dior yang masih belum diketahui. Dari tahun 1947 hingga 1951 ia
bekerja untuk desainer avantgarde Elsa Schiaparelli. Topi untuk Audrey Hepburn di
Breakfast at Tiffany dirancang oleh Givenchy.
Pada tahun 1952, ia membuka rumah desainnya sendiri di Plaine Monceau di Paris.
Kemudian, ia menamai koleksi pertamanya "Bettina Graziani" untuk model top Paris saat itu.
Gayanya ditandai oleh inovasi, bertentangan dengan desain yang lebih konservatif oleh Dior.
Pada usia 25, ia adalah desainer termuda di dunia mode Paris progresif. Koleksi pertamanya
ditandai dengan penggunaan kain yang agak murah karena alasan keuangan, tetapi mereka
selalu membangkitkan keingintahuan melalui desain mereka.

Audrey Hepburn, kemudian pendukung paling terkenal dari mode Givenchy, dan Givenchy
pertama kali bertemu pada tahun 1953 selama pemotretan Sabrina. Dia kemudian merancang
gaun hitam yang dikenakannya di Breakfast at Tiffany's.

Ia juga mengembangkan koleksi parfum pertamanya untuknya (L'Interdit dan Le de


Givenchy). [[8] Audrey Hepburn adalah wajah wewangian itu. Ini adalah pertama kalinya
seorang bintang menjadi wajah kampanye iklan wewangian, dan mungkin yang terakhir
kalinya dilakukan secara gratis, hanya dengan persahabatan.

Pada saat itu, Givenchy juga bertemu dengan idolanya, Cristóbal Balenciaga. Meskipun
seorang desainer terkenal, Givenchy tidak hanya mencari inspirasi dari pengaturan haute
couture yang tinggi, tetapi juga dalam lingkungan modern seperti Limbo, toko di East Village
Manhattan.

Klien terkenal Hubert de Givenchy termasuk Donna Marella Agnelli, Lauren Bacall, Ingrid
Bergman, Countess Mona von Bismarck, Countess Cristiana Brandolini d'Adda, Sunny von
Bülow, Renata Tebaldi, Maria Callas, Capucine, Marlene Dietrich, Daisy Rekan, Greta
Garbo, Gloria Guinness, Dolores Guinness, Aimee de Heeren, Audrey Hepburn, ] Jane
Holzer, Grace Kelly,Puteri Salimah Aga Khan, Rahel Lambert Mellon, Jeanne Moreau,
Jacqueline Kennedy Onassis, Permaisuri Farah Pahlavi, Babe Paley, Lee Radziwill, Comtesse
Jacqueline de Ribes, Nona Hendryx, Baroness Pauline de Rothschild, Frederica von Stade,
Baroness Gaby Van Zuylen van Nijevelt, Diana Vreeland, Betsey Cushing Roosevelt
Whitney, Baroness Sylvia de Wolfner of Windsor , dan Jayne Wrightsman.Pada tahun 1954,
koleksi prêt-à-porter Givenchy memulai debutnya.

Givenchy menciptakan 'Balon mantel' ikonik dan gaun 'Baby Doll' pada tahun 1958. Pada
tahun 1969, ] garis pria juga dibuat. Dari tahun 1976 hingga 1983, Ford Motor Company
menawarkan Edisi Givenchy dari seri mobil mewah Continental Mark-nya yang dimulai pada
tahun 1976 dengan coupe Continental Mark IV dan berakhir dengan coupe dan sedan
Continental Mark VI 1983. Pada tahun 1988, ia mengorganisir retrospektif dari karyanya di
Beverly Wilshire Hotel di Beverly Hills, California.

The House of Givenchy terpecah pada 1981, dengan garis parfum menuju Veuve Clicquot,
sedangkan cabang modeThe House of Givenchy terpecah pada 1981, dengan garis parfum
menuju Veuve Clicquot, sementara cabang mode dibeli oleh LVMH pada 1989. [22] Pada
hari ini, LVMH juga memiliki Parfums Givenchy.

Givenchy pensiun dari desain mode pada 1995. Penggantinya untuk mengepalai label
Givenchy adalah John Galliano. Setelah masa tugas singkat oleh Galliano, masa tinggal lima
tahun dari Alexander McQueen dan masa dari 2001 hingga 2004 oleh Julien Macdonald,
couture wanita ready-to-wear dan haute ciptaan wanita kemudian dikepalai oleh Riccardo
Tisci dari 2005 hingga 2017. Clare Waight Keller sekarang adalah direktur kreatif rumah
mode.

Dia tinggal di Château du Jonchet, sebuah puri bersejarah yang terdaftar di Romilly-sur-
Aigre, Eure-et-Loir, dekat Paris. ] Dalam masa pensiunnya, ia fokus pada pengumpulan
patung perunggu dan marmer abad ke-17 dan ke-18. Pada Juli 2010, ia berbicara di Oxford
Union. Dari 8 hingga 14 September 2014, selama Biennale des Antiquaires, ia mengorganisir
pameran penjualan pribadi di Christie's di Paris yang menampilkan karya seni oleh Jean-
Baptiste-Claude Odiot, Industri nasional de Sèvres, Jacques-Louis David, dan Anne-Louis
Girodet de Roussy-Trioson, dan sebagainya.

Pada Januari 2007, Kantor Pos Prancis mengeluarkan prangko untuk Hari Valentine yang
dirancang oleh Givenchy. Pada Oktober 2014, sebuah pameran retrospektif yang
menampilkan sembilan puluh lima karya rancangannya berlangsung di Museum Thyssen-
Bornemisza di Madrid, Spanyol. Mitra lamanya adalah perancang busana Philippe Venet.

Hubert de Givenchy meninggal dalam tidurnya di chateau Renaissance dekat Paris pada
Sabtu 10 Maret 2018. Dia dimakamkan di Passy Cemetery di Paris.
Pierre Balmain
Pierre Alexandre Claudius Balmain (pengucapan bahasa
Prancis: [pjɛʁ balmɛ]̃ , b. Saint-Jean-de-Maurienne, Savoie,
18 Mei 1914 - Paris, Prancis, 29 Juni 1982) adalah seorang
perancang busana Prancis dan pendiri fesyen pasca-perang
terkemuka rumah Balmain. Dikenal karena kecanggihan dan
keanggunannya, ia menggambarkan seni menjahit sebagai
"arsitektur gerakan".

Ayah Balmain, yang meninggal ketika desainer masa depan


adalah tujuh tahun, adalah pemilik bisnis garmen grosir.
Ibunya, Françoise, mengelola butik fesyen bernama Galeries
Parisiennes bersama saudara perempuannya. ] Dia pergi ke sekolah di Chambéry dan, selama
akhir pekan bersama pamannya di kota spa Aix-les-Bains, minatnya pada busana couture
terinspirasi oleh wanita masyarakat yang dia temui.

Balmain mulai belajar arsitektur di École des Beaux-Arts pada tahun 1933, juga melakukan
pekerjaan menggambar lepas untuk perancang Robert Piguet. Setelah mengunjungi studio
Edward Molyneux pada tahun 1934, ia ditawari pekerjaan, meninggalkan studinya dan
bekerja untuk desainer selama lima tahun berikutnya.] Ia bergabung dengan Lucien Lelong
selama Perang

Pierre Balmain meninggal pada usia 68 tahun karena kanker hati di Rumah Sakit Amerika
Paris, karena ia baru saja menyelesaikan sketsa untuk koleksi musim gugurnya.

Temannya adalah perancang Denmark Erik Mortensen, yang bekerja sebagai perancang di
Balmain dari tahun 1948 hingga 1991. Margit Brandt bekerja sebagai perancang muda
bersama Pierre Balmain pada awal 1960-an. Balmain juga melihat bakat Karl Lagerfeld,
mempekerjakannya pada tahun 1954 setelah menilai kompetisi mode yang dimenangkan oleh
perancang muda Jerman tersebut.

Rumah mode Balmain dibuka pada tahun 1945. Awalnya itu memamerkan rok panjang
berbentuk lonceng dengan pinggang kecil - gaya pasca-perang yang dipopulerkan pada tahun
1947 sebagai Tampilan Baru Dior.] Koleksi pertama dipamerkan di Vogue pada edisi
November dan reaksi pengulas adalah bahwa Balmain mengirim: "pakaian indah yang benar-
benar ingin Anda pakai". Sebuah tulisan positif di majalah dari teman Balmain, Gertrude
Stein membantu menyegel kesuksesan desainer - penggemar selebriti awal termasuk Duchess
of Windsor yang memesan dari koleksi.

Balmain aktif dalam mempromosikan dirinya secara internasional sejak awal - berkeliling
Australia pada tahun 1947 dan merancang jalur yang akan diproduksi di negara tersebut. Ia
memperluas operasi ke Amerika Serikat pada tahun 1951, menjual pakaian siap pakai yang
membuatnya mendapatkan Penghargaan Mode Neiman Marcus yang bergengsi pada tahun
1955. Dia, pada tahap ini, merancang pakaian yang dikenakan oleh Vojislav Stanimirovic dan
bintang-bintang, seperti Marlene Dietrich dan Katharine Hepburn.

Begitulah reputasi Balmain sehingga ia dipilih untuk merancang pakaian Ratu Sirikit dari
Thailand selama turnya di Amerika Serikat tahun 1960. [Pada tahun 1968, ia menciptakan
pakaian untuk Olimpiade Musim Dingin 1968 di Grenoble dan ia juga merancang pakaian
untuk awak kabin TWA dan Malaysia-Singapore Airlines (kemudian Singapore Airlines)
pada 1960-an dan 70-an. Pilot wanita pertama Air France pada tahun 1975 mengenakan
seragam oleh Balmain

Erik Mortensen, seorang siswa desainer Denmark Holger Blum, mulai sebagai asisten desain
di Balmain pada tahun 1948. Dia dan Balmain bekerja dengan baik bersama, dan Mortensen
dengan cepat beralih dari asisten menjadi kolaborator. Dia dan Balmain bekerja bersama
selama sisa hidup Balmain. Margit Brandt bekerja sebagai desainer muda dengan Pierre
Balmain di awal 1960-an. Balmain juga melihat bakat Karl Lagerfeld, mempekerjakannya
pada tahun 1954 setelah menilai kompetisi mode yang dimenangkan oleh perancang muda
Jerman tersebut.

Balmain dinominasikan untuk Tony Award untuk Desain Kostum Terbaik dan memenangkan
Drama Desk Award untuk Desain Kostum Luar Biasa untuk Selamat Tahun Baru (1980).
Tambahan kredit teater Broadway termasuk kostum untuk Sophia Loren dalam The
Millionairess (1960) dan Josephine Baker untuk eponymous 1964-nya. Dia juga adalah
perancang kostum untuk 16 film, termasuk kendaraan Brigitte Bardot And God Created
Woman dan La Parisienne, dan merancang lemari pakaian untuk aktris Vivien Leigh dan Mae
West. Dia membuat banyak gaun untuk Dalida. [Rujukan?]
Balmain juga menciptakan parfum, termasuk Vent Vert (1947), aroma sukses pertamanya
dan salah satu parfum terlaris di akhir 1940-an dan awal 1950-an. Aroma lainnya termasuk
Jolie Madame (1953), Ivoire (1979), dan Eau d'Amazonie (2006).
André Courrèges
André Courrèges (Perancis: [andʁe kuʁɛʒ]; 9 Maret 1923
- 7 Januari 2016) adalah seorang perancang busana
Prancis. Dia sangat dikenal karena desainnya yang
ramping tahun 1960-an yang dipengaruhi oleh
modernisme dan futurisme, mengeksploitasi teknologi
modern dan kain baru. Courrèges mendefinisikan boot
go-go dan bersama dengan Mary Quant, adalah salah
satu desainer yang dikreditkan karena menciptakan rok
mini.

Courrèges lahir di kota Pau di wilayah Basque di Pyrenees. [1] Dia ingin mengejar desain di
sekolah seni tetapi ayahnya, seorang kepala pelayan menolak hasratnya karena dia ingin dia
menjadi seorang insinyur. Courrèges menghadiri École Nationale des Ponts-et-Chaussées
(École des ponts ParisTech). Selama Perang Dunia II, ia menjadi pilot untuk Angkatan Udara
Prancis. Pada usia 25, setelah belajar untuk menjadi insinyur sipil, Courrèges pergi ke Paris
untuk bekerja di rumah mode Jeanne Lafaurie. [3] Beberapa bulan kemudian, ia pergi bekerja
untuk Cristóbal Balenciaga.

Courrèges bekerja untuk Balenciaga selama 10 tahun untuk menguasai pemotongan dan
konstruksi pakaian. Pada tahun 1961, Courrèges meluncurkan rumah busananya sendiri. Ia
menjadi terkenal karena desain yang sangat sederhana, geometris, modern, termasuk "gaun
putih kecil" dan celana untuk wanita. Mereka sering dipasangkan dengan sepatu bot putih
bertumit rendah, sebuah gaya yang kemudian dikenal sebagai boot Courrèges, dan
berkembang menjadi boot go-go yang populer. ] Pelanggannya adalah wanita dewasa dan
konservatif dengan pendapatan tinggi. Gaya desainnya dibentuk oleh Balenciaga dengan
pakaian yang diukir dengan baik untuk wanita.

Koleksi musim gugur 1964 milik Courrège mengembangkan industri mode dengan desain
modern dan futuristik yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Koleksinya meliputi tunik
dan celana panjang khusus yang dipasangkan dengan versinya dari rok mini. "Dia
memasangkan rok pendeknya dengan kulit putih atau berwarna, sepatu bot setinggi betis
yang menambahkan bakat percaya diri pada ansambel. Tampilan ini menjadi salah satu
perkembangan mode paling penting dalam dekade ini dan disalin secara luas."
Kontroversi tentang siapa yang menciptakan ide untuk rok mini berputar di sekitar Courrèges
dan Mary Quant. Dia secara eksplisit mengklaim telah menemukan, menuduh saingannya di
London untuk klaim, Mary Quant hanya "mengkomersilkan" itu. Courrèges menampilkan rok
pendek (empat inci di atas lutut) pada Januari 1965 untuk koleksi Musim Semi / Musim
Panas tahun itu. Dia telah menyajikan rok "di atas lutut" pada tahun sebelumnya, dengan
presentasi adibusana haute Agustus 1964 yang diproklamirkan sebagai "pertunjukan terbaik
sejauh ini" untuk musim itu oleh The New York Times. Valerie Steele telah menyatakan
bahwa Courrèges sedang merancang rok pendek pada awal 1961, meskipun dia
memperjuangkan klaim Quant untuk menciptakan rok mini terlebih dahulu karena lebih
meyakinkan didukung oleh bukti. Yang lainnya, seperti Jess Cartner-Morley dari The
Guardian secara eksplisit memuji Courrèges karena telah menciptakan rok mini. The
Independent juga menyatakan bahwa "Courreges adalah penemu rok mini: setidaknya di
matanya dan orang-orang dari persaudaraan mode Prancis ... Argumen turun ke mode tinggi
vs mode jalan dan ke Prancis versus Inggris - tidak ada bukti konklusif baik cara. "Selain rok
pendek, Courrèges terkenal dengan setelan celana panjangnya, bagian belakang dan pinggang
yang pendek, semuanya dirancang untuk tipe baru wanita muda atletik aktif yang aktif. Steele
menggambarkan karya Courrèges sebagai "versi busana couture yang brilian untuk busana
kaum muda." Salah satu penampilan paling menonjol dari Courrèges, sebuah bodi rajutan
dengan rok mini gabardine yang digantung di pinggul, secara luas disalin dan dijiplak,
banyak karena kecewa, dan itu akan menjadi tahun 1967 sebelum dia kembali mengadakan
pertunjukan pers untuk karyanya.

Bahan favorit Courrèges termasuk plastik seperti vinil dan kain stretch seperti Lycra. [4]
Meskipun ia lebih suka warna putih dan perak, ia sering menggunakan kilasan warna jeruk,
[14] dan desain dominan putih dalam pertunjukannya Agustus 1964 diwarnai dengan
sentuhan tanda tangannya yang berwarna pink jernih, warna hijau "cerah", berbagai warna
cokelat dari gelap ke pucat, dan poppy red. Pada tahun 1967 Courrèges menikahi Coqueline
Barrière, asisten desainnya. Mereka bertemu saat bekerja bersama di Balenciaga, dan bekerja
bersama sebagai tim suami dan istri selama sisa hidupnya.

Pada tahun 1968 Courrèges menjual saham perusahaannya ke L'Oréal untuk membiayai
ekspansi, yang, pada tahun 1972, termasuk 125 butik di seluruh dunia. Tahun itu, Courrèges
ditugaskan untuk merancang seragam staf untuk Olimpiade Munich tahun itu. Ia mulai
menawarkan pakaian pria pada tahun 1973.
Yves Saint Laurent
Yves Henri Donat Mathieu-Saint-Laurent (Bahasa
Perancis]; 1 Agustus 1936 - 1 Juni 2008), [secara
profesional dikenal sebagai Yves Saint-Laurent, adalah
seorang perancang busana Prancis yang, pada tahun 1961,
mendirikan eponymous-nya. label mode. Ia dianggap
sebagai salah satu perancang busana terkemuka di abad
kedua puluh. Pada tahun 1985, Caroline Rennolds
Milbank menulis, "Desainer yang paling terkenal dan
berpengaruh selama dua puluh lima tahun terakhir, Yves
Saint Laurent dapat dikreditkan dengan baik memacu
kenaikan couture dari abu tahun 1960-an dan dengan akhirnya menjadikan pakaian siap pakai
yang memiliki reputasi baik. . "Ia mampu menyesuaikan gayanya untuk mengakomodasi
perubahan mode selama periode itu. Dia mendekati mode dalam perspektif yang berbeda
dengan menginginkan wanita terlihat nyaman namun elegan pada saat yang sama. Ia juga
dipuji karena telah memperkenalkan jas tuksedo untuk wanita dan dikenal karena
penggunaan referensi budaya non-Eropa, dan model non-putih.

Saint Laurent lahir pada 1 Agustus 1936 di Oran, Aljazair Prancis, dari Charles dan Lucienne
Andrée Mathieu-Saint-Laurent. [Ia dibesarkan di sebuah vila di Mediterania dengan dua adik
perempuannya, Michèle dan Brigitte. Saint Laurent suka membuat boneka kertas yang rumit,
dan pada masa remajanya dia merancang gaun untuk ibu dan saudara perempuannya. Pada
usia 17, Saint Laurent pindah ke Paris dan mendaftar di Chambre Syndicale de la Haute
Couture, di mana desainnya dengan cepat mendapat perhatian. Michel De Brunhoff, editor
French Vogue, memperkenalkan Saint Laurent kepada desainer Christian Dior, seorang
raksasa di dunia mode. "Dior membuatku kagum," kenang Saint Laurent. "Aku tidak bisa
berbicara di depannya. Dia mengajariku dasar seniku. Apa pun yang akan terjadi selanjutnya,
aku tidak pernah lupa tahun-tahun yang kuhabiskan di sisinya." Di bawah pengawasan Dior,
gaya Saint Laurent terus menjadi dewasa dan semakin diperhatikan.

Pada tahun 1953, Saint Laurent menyerahkan tiga sketsa ke sebuah kontes untuk perancang
busana muda yang diselenggarakan oleh Sekretariat Wool Internasional. Saint Laurent
memenangkan tempat pertama. Selanjutnya, ia diundang untuk menghadiri upacara
penghargaan yang diadakan di Paris pada bulan Desember tahun yang sama.] Selama tinggal
di Paris, Saint Laurent bertemu dengan Michel de Brunhoff (yang saat itu menjabat sebagai
pemimpin redaksi edisi Perancis untuk Majalah mode dan koneksi ayahnya). De Brunhoff,
yang dikenal oleh beberapa orang sebagai orang yang penuh perhatian yang mendorong bakat
baru, terkesan dengan sketsa yang dibawa oleh Saint Laurent dan menyarankan dia menjadi
perancang busana. Saint Laurent akhirnya akan mempertimbangkan program studi di
Chambre Syndicale de la Haute Couture, dewan yang mengatur industri haute couture dan
memberikan pelatihan kepada karyawannya. Saint Laurent mengikuti sarannya dan,
meninggalkan Oran ke Paris setelah lulus, memulai studinya di sana dan akhirnya lulus
sebagai murid bintang. Belakangan pada tahun yang sama, ia memasuki kompetisi Sekretariat
Wool Internasional lagi dan menang, mengalahkan temannya Fernando Sánchez dan siswa
muda Jerman Karl Lagerfeld. Tak lama setelah kemenangannya, ia membawa sejumlah
sketsa kepada de Brunhoff yang mengenali kemiripan yang mirip dengan sketsa yang telah
ditunjukkan kepadanya pagi itu oleh Christian Dior. Mengetahui bahwa Dior telah membuat
sketsa pagi itu dan bahwa pemuda itu tidak mungkin melihatnya, de Brunhoff mengirimnya
ke Dior, yang mempekerjakannya di tempat.

Meskipun Dior langsung mengenali bakatnya, Saint Laurent menghabiskan tahun pertamanya
di House of Dior untuk tugas-tugas biasa, seperti mendekorasi studio dan mendesain aksesori.
Namun, akhirnya, ia diizinkan untuk menyerahkan sketsa untuk koleksi couture; dengan
setiap musim yang berlalu, sketsa-sketsanya diterima oleh Dior. Pada Agustus 1957, Dior
bertemu dengan ibu Saint Laurent untuk memberi tahu dia bahwa dia telah memilih Saint
Laurent untuk menggantikannya sebagai desainer. Ibunya kemudian berkata bahwa dia
bingung dengan pernyataan itu, karena Dior baru berusia 52 tahun pada waktu itu. Dia dan
putranya terkejut ketika pada bulan Oktober tahun itu Dior meninggal di spa kesehatan di
Italia utara karena serangan jantung besar-besaran.

Pada tahun 1957, Saint Laurent menemukan dirinya pada usia 21 perancang kepala House of
Dior. Koleksi musim semi 1958-nya hampir pasti menyelamatkan perusahaan dari
kehancuran finansial; garis lurus ciptaannya, versi yang lebih lembut dari Dior's New Look,
melontarkannya ke posisi internasional dengan apa yang kemudian dikenal sebagai "gaun
trapeze." Lainnya yang termasuk dalam koleksi adalah gaun dengan bahu sempit dan melebar
lembut di bagian bawah. Pada saat ini, ia mempersingkat nama keluarga menjadi Saint
Laurent karena pers internasional menemukan hyph-nya
Mary Quant
Dame Barbara Mary Quant, Ny. Plunket Greene,
DBE, FCSD, RDI (lahir 11 Februari 1934) adalah
seorang perancang busana dan ikon mode Inggris,
yang merupakan warisan Welsh.

Ia menjadi tokoh instrumental dalam gerakan mode


dan pemuda mode yang berbasis di London tahun
1960-an. Dia adalah salah satu desainer yang
mengambil kredit untuk rok mini dan hotpants, dan
dengan mempromosikan ini dan mode menyenangkan lainnya, dia mendorong kaum muda
untuk berpakaian untuk menyenangkan diri mereka sendiri dan untuk memperlakukan mode
sebagai permainan. Ernestine Carter, seorang jurnalis fesyen yang berpengaruh dan
berpengaruh pada 1950-an dan 1960-an, menulis: "Ini diberikan kepada beberapa orang yang
beruntung untuk dilahirkan pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan talenta yang
tepat. Dalam mode terkini ada tiga: Chanel, Dior, dan Mary Quant. "

Quant lahir pada 11 Februari 1934 di Blackheath, London, putri dari guru-guru Welsh. [9]
Orang tuanya, Jack dan Mildred Quant (John H Quant menikah dengan Mildred G Jones,
1925), keduanya berasal dari keluarga pertambangan; namun, mereka telah diberikan
beasiswa untuk sekolah tata bahasa dan keduanya telah meraih gelar kelas satu di Universitas
Cardiff sebelum mereka pindah ke London untuk bekerja sebagai guru sekolah.

Dia pergi ke Blackheath High School, lalu belajar ilustrasi di Goldsmiths College. Setelah
mendapatkan Diploma Pendidikan Seni dari Goldsmiths, Quant memulai magang di Erik,
seorang pembuat topi Mayfair kelas atas di Brook Street di sebelah hotel Claridge.

Adik laki-lakinya, John Antony 'Tony' Quant menjadi Petugas Gigi tingkat tinggi di
Angkatan Udara Kerajaan.

Ia bertemu calon suaminya dan mitra bisnisnya, Alexander Plunket Greene pada tahun 1953.
[13] Mereka menikah dari tahun 1957 hingga kematiannya pada tahun 1990, dan memiliki
seorang putra, Orlando (lahir 1970).

Pada November 1955, Quant dan Plunket Greene bekerja sama dengan seorang fotografer
dan mantan pengacara, Archie McNair, untuk membuka toko pertama Quant di sudut
Markham Square dan King's Road di Chelsea, London bernama Bazaar, di atas "Alexander's",
sebuah restoran bawah tanah yang dikelola restoran oleh Plunket Green. Pada tahun 1957,
mereka membuka cabang kedua Bazaar, yang dirancang oleh Terence Conran.

Desain yang sukses dari periode awal ini termasuk kerah plastik putih kecil untuk
mencerahkan sweater dan gaun, stocking warna cerah yang cocok dengan rajutannya,
cardigan pria yang dibuat cukup panjang untuk dipakai sebagai gaun, dan sepasang piyama
santai "gila" yang dibuat oleh Quant dirinya yang ditampilkan di Harper's Bazaar dan dibeli
oleh pabrikan Amerika untuk disalin. Setelah ini, Quant memutuskan untuk merancang dan
membuat lebih banyak pakaian yang ditebar, alih-alih membeli saham Awalnya bekerja solo,
ia segera mempekerjakan beberapa ahli mesin, dan pada 1966 ia bekerja dengan delapan
belas produsen secara bersamaan.

Untuk sementara di akhir 1950-an dan awal 1960-an, Quant adalah salah satu dari hanya dua
desainer kelas atas yang berbasis di London yang secara konsisten menawarkan pakaian
muda untuk kaum muda. Yang lainnya adalah Kiki Byrne, yang membuka butiknya di King's
Road dalam persaingan langsung dengan Quant.

Rok mini, yang digambarkan sebagai salah satu mode penentu tahun 1960-an adalah salah
satu pakaian yang paling banyak dikaitkan dengan Quant. Sementara dia sering disebut-sebut
sebagai penemu gaya, klaim ini telah ditentang oleh orang lain. Marit Allen, seorang jurnalis
mode kontemporer dan editor halaman "Young Ideas" yang berpengaruh untuk UK Vogue,
dengan tegas menyatakan bahwa perancang busana Inggris lainnya, John Bates, daripada
Quant atau André Courrèges, adalah pencipta asli rok mini. [20] Lainnya memuji Courrèges
dengan penemuan gaya tersebut. Namun, rok semakin pendek sejak tahun 1950-an — sebuah
perkembangan yang dianggap praktis dan membebaskan, yang memungkinkan perempuan
untuk berlari dengan bus.

Quant kemudian berkata, "Gadis-gadis di King's Road [selama adegan" Swinging London "]
yang menciptakan mini. Saya membuat pakaian yang mudah, awet muda, sederhana, di mana
Anda bisa bergerak, di mana Anda bisa berlari dan melompat dan kami akan membuatnya
sepanjang yang diinginkan pelanggan. Saya mengenakannya dengan sangat pendek dan
pelanggan akan berkata, 'Lebih pendek, lebih pendek.' "Dia memberi rok mini itu namanya,
setelah mobil favoritnya, Mini, dan mengatakan tentang pemakainya, "mereka anehnya
feminin, tetapi femininitas mereka lebih terletak pada sikap mereka daripada penampilan
mereka ... Dia senang diperhatikan, tetapi cerdik. Dia bersemangat - positif - berpendapat."
Tinjauan Mode

Ovi Aprianti

3160350033

Dosen : Sonny Muchlison dan Novi Yuniarti

Anda mungkin juga menyukai