Anda di halaman 1dari 4

Mengenal Musik, Bali dari Prespektif Bodoh Kupit Nosstress dan Sandrayati Fay

Perkembangan musik folk di indonesia beberapa tahun terakhir memang bisa dibilang
progresif. Minat orang – orang dalam mendengarkan musik yang identik ringan, easy
listening, menjamurnya festival dan skena musik folk bisa jadi sebuah alasan. Tapi yang
belum banyak diketahui dalam sejarahnya musik folk adalah musik yang identik dengan
perlawanan dan perjuangan. Ada suatu daerah yang menurut saya penghasil talenta – talenta
bagus dalam bermusik salah satunya musik jenis ini, yaitu Bali.

Orang yang sedang duduk setikar dengan saya ini bernama Gunawarma Kupit dan Sandrayati
Fay. Kami bertemu di acara pameran karya dan puisi untuk mengenang Afi dan Made
(Navicula) yang diselenggarakan di tempat tepi sawah di kota Salatiga. Mungkin ada yang
belum kenal dengan mereka, mari kita berkenalan.

Gunawarma atau biasa dipanggil Kupit adalah seorang sarjana lulusan ilmu komputer yang
sekarang menjadi musisi dan aktif dengan kelompok musik Nosstress. Band milik kupit
tersebut sudah mengeluarkan 3 album yang sangat digemari orang – orang dengan acuan saya
pada banyak play dalam aplikasi streaming musik. Nosstress juga dikenal dengan sebuah
gerakan yang pro terhadap lingkungan, salah satunya Bali Tolak Reklamasi.
Sandrayati Fay adalah seorang gadis yang berasal dari Amerika tetapi besar di Bali. Seorang
solois yang fasih dalam berbahasa Indonesia ini baru mengeluarkan EP yang berjudul Bahasa
Hati. Kecintaanya terhadap Bali membuat dia aktif di dalam komunitas – komunitas lokal.

Mereka sama – sama besar di Bali dan saya juga baru tahu kalau mereka adalah sejoli,
dengan malu – malu saya mencoba mewawancarai mereka perihal musik hingga wilayah
yang dikenal dengan pulau dewata itu.

Ket :

N : Nabiel (saya)

K : Kupit Nosstress

S : Sandrayati Fay

N : Boleh tanya inspirasi bermusik dari mas kupit ngga?

K : Ya ya? Langsung aja gitu?

N : Iya langsung aja mas hehe

K : Baru mulai jelasin musik haha. Apa aja sih kalau aku, karena aku ngga pinter ngarang –
ngarang sesuatu gitu. Jadi lebih banyak nulis tentang kejadian di sekitar aku aja kayak
keseharian,kondisi sosial,lingkungan Cuma nulis apa yang saya lihat aja sih. Jadi ngga
terpikiran cari – cari inspirasi yang spesifik.
N : Aku kan ikutin album prespektif bodoh I,prespektif bodoh II dan sekarang yang terakhir
itu ini bukan nosstress. album pertama dan kedua kalo aku denger banyak bercerita tentang
alam. Transisinya dari prespektif bodoh ke ini bukan nosstress itu kayak gimana?

K : memang album pertama dan kedua hampir mirip temanya, itu nosstress kita bertiga.
Album ketiga ini memang seperti spesial project gitu jadi temanya lebih personal jadi liriknya
lebih ke sendiri - sendiri, juga garap lagunya sendiri – sendiri. Jadi satu sama lain ngga ada
masukan, lebih bebas gitu.

N : Jadi kalau live juga sendiri – sendiri?

K : Iya sendiri – sendiri.

N : Kalau mba Sandrayati?

S : Inspirasi bermusik? Kalau saya, keluargaku banyak yang bermusik. Bapak dan ibu selalu
nanyi saat aku masih kecil, sejak di rahim juga selalu nyanyi. Inspirasinya seperti mereka
selalu mendukung aku untuk bermain musik seperti disemangatin “ Kamu pinter nyanyi
sandra, ayo ayo ayo semangat nyanyi!”.

N : Jadi dari keluarga ya mba?

S : Iya, tapi kalau musicallity-nya aku dapat banyak inspirasi dari temen – temenku yang di
komunitas musik ada banyak yang keren – keren. Kalau menurut aku, lihat dan dengerin
musik yang live itu langsung dapet inspirasi. Musik bukan cuma suara tapi juga suasana dari
masyarakat, alam, dan cerita orang lain.

N : Aku lihat musik di Bali itu yang kelihatan kayak genre punk,rockabilly. Perkembangan
musik folk di Bali itu kayak gimana sih?

K : Ngga sih, kalo sekarang campur – campur di Bali. Ngga ada aku rasa yang dominan. Dulu
iya, tahun 2000-an kayak punk,rockabilly,dan lainnya. Sekarang ada macem – macem yang
keluar, udah mulai ngga ada satu yang dominan gitu. Bagus sih perkembangannya sekarang,
dan semua udah bikin karya sendiri. Kalo dulu masih kebawa sama untuk bawa karya orang
lain karena lebih untuk turis gitu. Sebenarnya aku rasa sih, turis ke Bali pengen lihat yang
beneran karya kita, dan anak muda di Bali sekarang udah pelan – pelan pikirannya mulai
membentuk karya dia sendiri.

N : Sekarang aku mau nanya nih. Kalau memandang Bali dari prespektif bodohnya kalian tuh
gimana sih? Kasus di Bali sekarang lagi sering - seringnya menangkat tentang alam dan
lingkungan.

K : Kalo aku sih lihatnya karena mungkin banyak belajar dari banyak komunitas dan temen –
temen di Bali, lihat kalau Bali seperti ngga tentang pariwisata atau segala macamnya, ada sisi
lainnya gitu. Sebenarnya ada banyak masalah disana, kalau temen – temen di luar sana lihat
Bali lebih dipromosiin tentang indah – indahnya aja. Ya ada yang indah, tapi kenyataanya
masih banyak hal di Bali harusnya kita jaga seperti budayanya, lingkungannya. Jangan
sampai atas nama industri yang paling besar dan mayoritas di Bali sekarangkan industri
pariwisata, untuk kepentingan itu kita jadi lupa jaga yang seharusnya inti dari pariwisata itu
datang dari mana? Ya budaya itu, orang mau lihat budaya. Alamnya, orang mau lihat alam di
Bali. Jangan sampai itu dijadiin nomer dua, saya lihat itu jadi gelisah. Ya apa yang bisa saya
bikin ya nyanyi dengan musik, sama buat lagu.

N : Sekarang mba sandra ni, kalau lihat Bali sekarang gimana?

S : Kalau aku sih sama kayak si kupit ni. Dari satu kumpulan dan teman – teman yang sama.
Kalo aku agak aneh juga sih. Aku berada di komunitas expand juga bisa lihat presepsi dari
yang pendatang di Bali hingga yang tinggal disana, kan aku juga bukan orang Bali. Mungkin
presepsinya tentang Bali sama kayak Kupit, tapi pengalamannya beda. Memang aneh
tempatnya sekarang sih, menurutku terlalu banyak komunitas yang sangat berpisah atau
segregasi banget. Ada yang bukan orang Bali tapi masuk kedalam komunitas – komunitas
orang asli Bali, belum ada terlalu banyak jembatan yang serius antar komunitas yang
memang tinggal di Bali karena sekarang Bali jadi tempat nongkrong untuk orang – orang dari
seluruh dunia, kayak ada bagian yang mengawang – awang aja dan kita ngga tau bakal
dibawa kemana.

N : Bisa jelasin gerakan Bali Tolak Reklamasi?

K : Bali Tolak Reklamasi udah 5 tahunan, dari 2013. Semua baru belajar juga, aku waktu
mulai itu pas awal – awal banget masih 20 mungkin yang mulai. Bener – bener baru mulai
ketemu temen – temen yang punya pikiran sama gitu. Sebenarnya banyak proyek di Bali
yang kita tau ngga bagus, tapi kita ngga bisa stop karena memang proyek besar dan didukung
sama pemerintah pas jaman orde baru itu, kalo mau bicara bisa langsung di sikat. Kalo
setelah itu kan udah mulai berani untuk bicara tapi masih juga belum sampai tahap bisa
didengar apalagi sampai bisa proyek itu ngga bisa jalan. Tapi 5 tahun ini kita lagi usaha bikin
proyek itu ngga bisa jalan karena banyak banget sekarang yang ikut. Aku rasa mereka ngga
bakal bisa mulai kalopun mereka punya izin – izin semuanya secara hukum, analisis dampak
lingkungan, dll yang mereka bisa bayar gitu. Sosial di masyarakatnya ngga bisa itu, kalopun
mereka mulai bakal beneran jadi chaos dan marah semuanya, terakhir udah 46 desa adat.
Itukan udah lingkup yang besar kalo dihitung bisa satu juta orang yang ikut dalam gerakan
ini.

N : Terakhir nih, project ke depan? Ada kepikiran buat project bareng ngga sih kalian?

K : Kita senang nyanyi bareng – bareng

S : Ada beberapa lagu yang kita rekam bareng, tapi kita ngga terima kalo ada yang mau
booking kita bareng sebagai duo hahaha..

K : Spesifik project juga belum ada, paling selalu bisa bikin karya baru lagi.

Mungkin wawancara saya dengan Kupit dan Sandra bisa membuat kita kembali ke sejarah
bahwasannya fungsi musik bukan hanya untuk entertain saja, tapi disitu juga ada perlawanan
dan perjuangan. Saya sangat terkesan dengan pemikiran dan idelisme mereka dalam
memandang sesuatu.
Setelah wawancara saya melihat penampilan mereka. Dan ya, mereka adalah sejoli yang
sangat serasi di atas maupun di luar panggung.

Anda mungkin juga menyukai