Anda di halaman 1dari 12

LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

Nama Narasumber : Kharis Junandharu


Profesi : Musisi
Jabatan: Frontman Silampukau Band
Waktu Wawancara : 13 Mei 2017

DAFTAR PERTANYAAN

a) Boleh diceritakan awal bagaimana awal pembentukan Silampukau?


b) Silampukau berarti burung kepodang. Filosofi apa yang pengen mas Khris
ambil saat memilih nama Silampukau?
c) Mengapa memilih jalur indie, dan genre folk dalam bermusik?
d) Sempat vakum tahun 2010, . Seberapa besar dampak vakum untuk kalian
e) Bisa diceritakan proses pengerjaan album Dosa, Kota, & Kenangan?
f) Tentang Perkampungan Tambak Bayan dijadikan sebagai venue lauching
album, apa ada hubungannya dengan tema album?
g) Kepo soal materi ni om, hehe. Apa materi lagu sudah ada sejak lama?
h) Mengapa Silampukau memilih bercerita Surabaya secara jujur sebagai
latar tempat yang hadir dalam album tersebut?
i) Bagi kamu musik folk adalah narasi soal apa?
j) Lirik lagu Silampukau begitu kuat. Dari mana kalian mendapat referensi
ketika menulis lirik?
k) Apakah kalian mengasosiasikan lirik seperti sajak?

2
l) Lagu ‘Bola Raya’ bercerita tentang sepak bola dan pembangunan yang
tidak berjalan beriringan. Apakah kalian suka sepak bola dan mencintai
Persebaya seperti masyarakat Surabaya lainnya?
m) Tentang Lagu ‘Bianglala’ , uda banyak ‘Bianglala- Bianglala’ lain di
Surabaya, kaya Suroboyo Carnival, Transudio, Food Junction? Taman
Remaja kini menurut anda?
n) Sebenernya ada misi khusus ga nih mas album”Dosa, Kota, Kenangan”,
ini dibawa kemana, atau ditujukan buat siapa?

3
2. Kutipan Wawancara . Narasumber : Kharis Junandharu; 13- Mei-
2017

P :Boleh diceritakan awal bagaimana awal pembentukan Silampukau?


Kharis: Awalnya, Eki punya band folk namanya Stunning Bird dan formatnya juga
dua gitar. Saya main clarinet. Terus sehabis itu, gitaris yang satu lagi keluar,
nasibnya enggak jelas. Jadinya kami teruskan dan berganti nama menjadi
Silampukau.
P :Silampukau berarti burung kepodang. Filosofi apa yang pengen mas Khris ambil
saat memilih nama Silampukau?
Kharis: Burung kepodang itu burung penyanyi. Burung adalah simbol maskulinitas
dan kepodang itu penyanyi. Jadi ya, kami merasa nyaman dengan nama ini.
P : Mengapa memilih jalur indie, dan genre folk dalam bermusik?
Kharis: kami berusaha menjadi folk, kami memilih karena tema yang diolah
eksploratif, lebih fleksibel, kalo folk kan kami bisa pake dua gitar gini, jadi gausah
cari drummer atau personil lagi, lebih hemat kan,hehe
P :Sempat vakum tahun 2010, . Seberapa besar dampak vakum untuk kalian
sekembalinya ke dunia musik?
Kharis: Kalau dari masa vakumnya sih, mungkin enggak ada. Hanya, saat kami
memutuskan untuk menggarap album Dosa, Kota, & Kenangan kami menemukan
semangat baru dan tema yang menurut kami penting untuk dilanjutkan menjadi
album.

P :Bisa diceritakan proses pengerjaan album Dosa, Kota, & Kenangan?


Kharis: Ini album yang sangat DIY (do it by yourself), jadi kami cuma pakai satu
mik dan itupun mik pinjaman. Terus home recording di kamar saya…
Kharis: Jadi, soundcard, laptop, mic, dll. kami pinjam semua. Kami juga pakai
peredam suara bikinan sendiri, hasil googling.
P :Tentang Perkampungan Tambak Bayan dijadikan sebagai venue lauching album,
apa ada hubungannya dengan tema album?
Kharis : Iya kurang lebih seperti itu, Tambak Bayan adalah satu gambaran yang ada
di dalam album terbaru mereka. Bercerita tentang permasalahan sosial di Surabaya,

4
Kharis menganggap Tambak Bayan adalah simbol yang tepat untuk mewakilinya.
''Kami ingin merekam Kampung Tambak Bayan di dalam ingatan sebagai bagian
dari Surabaya lewat pertunjukan musik,
P :Kepo soal materi ni om, hehe. Apa materi lagu sudah ada sejak lama?
Kharis: Beberapa lagu iya, seperti “Sang Juragan” dan “Bola Raya” sebetulnya
materi lama.
P :Mengapa Silampukau memilih bercerita Surabaya secara jujur sebagai latar
tempat yang hadir dalam album tersebut?
Kharis: Saya kira itu alamiah, kami orang Surabaya. Saya lahir, besar, dididik, dan
mencari nafkah di Surabaya, jadi ya kalau kami ingin bercerita tentang kota sudah
sewajarnya kami bercerita tentang Surabaya. Selain itu, repertoar tentang kota di
lagu-lagu Indonesia agak jarang. Kita masih mengolah tentang tema-tema romantis.
Jadi kami ingin menawarkan sesuatu yang tampaknya dilupakan.
P :Bagi kamu musik folk adalah narasi soal apa?
K: Soal kehidupan pastinya ya. Soal sehari-hari. Enggak ya? Haha
P : Lirik lagu Silampukau begitu kuat. Dari mana kalian mendapat referensi ketika
menulis lirik?
Kharis: Sebetulnya agak bingung, karena tidak ada satu tokoh spesifik yang kami
jadikan rujukan. Mungkin kami membaca terlalu banyak, haha… Untuk beberapa
lagu, kami mungkin terpengaruh oleh sajak W.S. Rendra khususnya pada Potret
Pembangunan dalam Puisi. Terus beberapa karya Sapardi Djoko Darmono juga.
P : Apakah kalian mengasosiasikan lirik seperti sajak?
Kharis: Ya memang sajak, tapi apa yang kami kerjakan proyeksinya untuk
dinyanyikan. Kalau puisi kan harusnya punya kedalaman yang lebih jauh, karena
tidak ditujukan untuk dinyanyikan tapi langsung menyentuh kepada pembacanya
lewat kata-kata.
P : Lagu ‘Bola Raya’ bercerita tentang sepak bola dan pembangunan yang tidak
berjalan beriringan. Apakah kalian suka sepak bola dan mencintai Persebaya seperti
masyarakat
Surabaya lainnya?
Kharis: Enggak, serius enggak.

5
Kharis: Sepak bola jalanan itu entah bagaimana justru merupakan sepak bola yang
paling bersih toh di Indonesia? Enggak ada politik dan lainnya.
P : Tentang Lagu ‘Bianglala’ , uda banyak ‘Bianglala- Bianglala’ lain di Surabaya,
kaya Suroboyo Carnival, Transudio, Food Junction? Taman Remaja kini menurut
anda?
Kharis: Ya namanya orang-orang kan selalu pengen inovasi, pengen coba yang
baru, itu alamiah manusia kan, ya gitu deh. Ketika yang baru-baru, kaya Surabaya
Carnival, Food Junction, dan tempat-tempat kekinian lain muncul ya banyak yang
nimbrung disanalah ya

P: Sebenernya ada misi khusus ga nih mas album”Dosa, Kota, Kenangan”, ini
dibawa kemana, atau ditujukan buat siapa?
Kharis: “ Pesan ga ada sih, kami sekedar menceritakan apa yang kami lihat, narasi-
narasi kecil, dan bukan isu sosial secara Iwan Fals gitu ya , kami bukannya tidak
punya sikap, tapi sikap kami adalah apolitis, tapi apolitis iku yo juga politis se”
terang Kharis. eh uda dulu ya git, ni mau sound check, segitu dulu aja gimana?
P :Oke makasi mas Kharis buat waktunya, makasi juga bisa ngobrol banyak tentang
albumnya
Kharis : Oke sama-sama git, makasi uda respect sama karya kita, cheersss!!!

6
3. Kutipan FGD Tujuh Belas Menit di Warkop: Wawancara Bersama
Silampukau diakses dari soundsfromthecorner.com pada 07 April 2017

Bagi para pelacur, sesama musisi, penjual miras, anak-anak yang bermain bola di
lapangan pada jam 9 malam, Kharis dan Eki adalah sahabat. Sebut kerabat juga
bisa. Intelektual? Mungkin. Pencerita? Tentu saja.

Saat Sounds from the Corner dipastikan akan merekam pertunjukan Silampukau di
Kedai Tjikini pada Senin (8/6), hanya ada satu kata yang langsung terlintas di
pikiran saya: Surabaya. Sebagai kota metropolitan yang sedang mengecap
rimbunnya modernisasi, tentu seorang sahabatlah yang diperlukan. Untuk
itulah Dosa, Kota, dan Kenangan, album pertama dari Silampukau, direkam.
Sebuah lagu bisa menjadikan yang biasa terkesan wah, terutama karena audiens
yang hendak dicapainya, tapi entah kenapa Silampukau menjaga narasi nya
sederhana. Cabut lagu-lagunya dari instrumen dan vokal, dan album ini akan tetap
terasa hangat.

Di Dosa, Kota, dan Kenangan, ada banyak sekali karakter yang dtulis. Dan
semua narasi mengenai mereka terasa seperti datang langsung dari mulut
mereka. Apakah kalian sengaja turun lapangan untuk mendengar cerita
mereka secara langusng?

Kharis: Tidak dalam arti seresmi itu, cuman karena beberapa memang
bersinggungan dengan kami. Jadinya kami tahu cerita-cerita itu. Jadi di Surabaya
tuh kotanya…mungkin kamu udah tau, Stanley, kalo orang-orang di Surabaya itu
cukup egaliter. Jadi kamu bahkan bisa cangkruk (cangkruk tuh nongkrong ya),
nongkong di warung kopi random, bukan warung yang kayak gini [Kedai Tjikini]
tentu saja, tapi warung yang di pinggiran itu, seseorang yang gak kamu kenal tiba-
tiba akan cerita tentang seluruh sejarah masa lalunya ke kamu.

Kalau ada yang cerita itu, rasanya normal-normal saja?

7
Kharis: Mereka merasa itu…mungkin kayak gini: Kalo kamu misalkan ngasih satu
rahasia ke orang, orang itu akan ngelempar rahasia yang sama. Dari situ mungkin
mencairkan pembicaraan, karena merasa saling mengenal.

Kenapa kalian berdua tertarik menuliskan mereka sebagai karakter di lagu-


lagu? Apa yang sangat menarik dari pribadi-pribadi mereka sehingga kalian
merasa kalau cerita mereka layak diperdengarkan?

Kharis: Mereka adalah narasi kecil tentang Surabaya, Ki, yah….

Eki: Dan cukup menarik untuk diceritakan. Karena jarang diceritakan. Seperti kalau
misalnya Dolly; yang banyak diceritakan dari sisi politisnya, tapi kalau kita dari sisi
si pelanggannya.

Kharis: Isu tentang Dolly kan selalu tentang komoditasnya, pelacurnya,


dagangannya. Padahal kamu tahu sendiri kalau pasar tuh supply and demand, ya
kan?

Sama seperti narkoba.

Kharis: Ya benar [tertawa]

Lirik di lagu “Sang Juragan” kebanyakan menggunakan kata aku, padahal


kalian bukanlah penjual miras, apalagi kesusahan menjadi penjual miras.
Mengapa sering menggunakan penanda ‘aku’ dalam lagu Silampukau?

Kharis: Hampir semua lagu di album ini adalah fiktif. Tentu saja, meskipun kami
berangkat dari cerita seseorang atau cerita orang-orang komunal; kolektif. Jadi
‘aku’ di sini tuh ‘aku’ kolektif, kami berusaha untuk kayak gitu. Jadi bukan ‘aku’
yang personal, walaupun nanti tapi pasti juga ditarik dari ‘aku’ yang personal—
karena yang bercerita secara musikal adalah satu narator; satu penyanyi.

Jadi kalian berdua merasakan bagaimana rasanya jadi mereka?

8
Kharis: Itu kan kenapa kita nulis ‘fiksi.’ Kamu bisa jadi apapun.

Eki: Kita berperan jadi mereka.

Kharis: Mungkin harus ketat dengan data…atau ngga juga gapapa: fantastis juga
gapapa. Ditulis dengan sedikit dekat dengan realisme, jadinya ya…ya…terlalu
banyak metafora ya hari-hari ini. Tapi ini kayak zaman 90an di Indonesia, sangat-
sangat gelap; sangat-sangat metaforis karya-karyanya, entah itu puisi, entah itu
lagu.

Waktu saya dengar album ini pertama kali, saya penasaran apakah lagu-lagu
ini sengaja ditulis untuk mereka.

Kharis: Kami membayangkan menjadi mereka. Kami tidak menulis untuk mereka.
Jadi kalau misalkan itu nanti mereka merasa juga…nah, abstrak toh? Kalau
misalkan “Sang Juragan” kan gak hanya satu penjual minuman.

Lagu yang paling otobiografikal, menurut saya, adalah “Doa 1”. Karena
kalian tidak berbicara sebagai karakter-karakter seperti pelacur atau pemain
bola, karena di lagu itu kalian berbicara sebagai musisi. Benar “Doa 1” lagu
kalian yang paling otobiografikal di album ini?

Kharis: Sebetulnya kalo otobiografi ndak. Kalo boleh, yang paling otobiografi tuh
ya si “Balada Harian”. Pernah ngerasa kalo bangun pagi dengan alarm itu sangat,
sangat menyiksa? Kalo “Doa 1” justru ke curhatan temen-temen, ya, Ki, ya. Gak
curhatan sih.

Eki: Untuk rekaman mereka harus kerja dulu, untuk ngambil kuliah, kaya gitu-gitu.
Dan akhirnya kuliahnya gak kelar. Banyak banget ceritanya kayak gitu.

Kharis: Dan gak cuman di Surabaya kan?

Surabaya sedang melalui banyak transformasi sejak di bawah kepemimpinan


Ibu Risma. Walaupun masih banyak yang tersisa, tapi setidaknya menurut

9
sudut pandang orang Jakarta seperti saya, Surabaya sudah berubah.
Surabaya mana yang kalian tulis di Dosa, Kota dan Kenangan? Dulu atau
sekarang?

Kharis: Bu Risma tuh politikus, kami musisi. Lain lingkupnya. Kami bahkan ndak
berkomentar tentang politik, kami berkomentar tentang orang-orang. Jadi kalo
boleh agak-agak sok-sokan presentasi, ini human-interest yang ada di album ini.
Dan kami secara sengaja menghindari keberpihakan politik.

Jadi Surabaya di album ini itu Surabaya di semua periode. Bukan hanya yang
sekarang?

Kharis: Iya.

Skenario yang kalian gambarkan di Dosa, Kota, dan Kenangan kebanyakan


jauh dari kekayaan. Tanah lapang yang diganti gedung, misalnya. Bahkan di
profil Twtiter “lagu-lagu sederhana untuk orang sederhana.” Sederhana, kata
kuncinya. Mengapa karakter-karakter yang sederhana demikian yang perlu
diperhatikan?

Kharis: Kekayaan mungkin harus didefinisikan dulu. Definisi kekayaan tuh


gimana?

Mereka yang tidak senang, mungkin? Bukan sekedar di bawah garis


kemiskinan, maksudnya.

Kharis: Kira-kira secara statistik—saya gak mungkin tahu datanya, ya kan—kalo


misalkan di kota, lebih banyak orang berbahagia atau yang tidak berbahagia? Ini
Indonesia. Bukan Swiss, yang tingkat kebahagiannya tinggi! Jadi kira-kira gimana?

Eki: Mungkin karena kita sering nongkrong di warkop. Jadi kita juga dengerin
ceritanya seputar itu-itu aja.

Kharis: Andaikan kami biasanya di mall, mungkin kami akan cerita tentang…

10
Eki: Di Starbucks, mungkin ceritanya beda lagi.

Kharis: Tapi kayaknya permasalahannya sama kali ya, Ki.

Eki: Iya.

Kharis: Tagihan awal bulan. Kayaknya semua orang ditanya sama PLN.

Jadi orang kaya tidak akan dapat posisi di lagu Silampukau?

Kharis: Loh, dapat.

Sebagai antagonis?

Eki dan Kharis [bersamaan]: Ngga.

Kharis: Kami gak judgmental. Kami berusaha untuk tidak judgmental. Kalo dilihat
dari “Bola Raya” dan sebagainya, itu sebetulnya bukan secara politis ngomongin
antara gedung dan persepak—orang-orang; gedung vs. orang-orang. Cuman,
peristiwa itu terjadi lho! Jadi kalo jam 11 malam gitu—mungkin kalian yang di
Jakarta gak bisa membayangkan, ya—di beberapa jalan gitu, tiba-tiba anak-anak
SD/SMP main bola. Kalo ada mobil, ya mereka minggir.

Kenapa mereka tidak main siang-siang saja?

Kharis: See? Banyak pertanyaan, kan? Berarti menarik, kan? Kira-kira gitu. Kamu
juga pasti kalo ngeliat peristiwa kayak gitu, pasti bertanya-tanya kan: “Kenapa nih
kira-kira kayak gini?”

Kalian merasakan hal ini sewaktu kecil?

Kharis: Ngga. Itu tadi, di album ini, ini bukan album yang personal. Bukan berarti
kami harus mengalami seluruh kejadian.

11
Kayaknya bagi kota yang “kelewat kejam” dengan “pekerjaan yang menyita
harapan,” Surabaya masih jauh dari sempurna.

Kharis: Ada ya kota yang sempurna? Gak ada kan? Kota yang sempurna tuh utopis
kan? Atau ada dimana, Ki, kota yang sempurna, Ki?

Eki: Ada di janji-janji para calon walikota!

Kharis: Cuman itu aja, kan? Di realitas, gak ada kota yang sempurna. Tapi bukan
berarti kami menjelek-jelekkan kota kami sendiri, ya. Jadi—aku gak tau
rumahmu—tapi rumahmu sedikit bocor dan sebagainya; wastafel agak mampet.
Kamu langsung tiba-tiba membenci rumahmu, ndak juga kan? Kamu akan lambat
laun terbiasa. Atau sekedar menceritakan itu. Surabaya di sini [Dosa, Kota, dan
Kenangan] tuh disebut berulang-ulang karena sekedar menjadi kota kelahiran kami.
Bukan berarti cerita ini hanya terjadi di Surabaya. Cerita ini bisa terjadi dimanapun.
Katakanlah Surabaya diganti dengan Timbuktu, misalnya. Realitas kami sehari-hari
itu rumah kami.

Kan ada banyak kota-kota di dunia ini yang lebih bahagia daripada Surabaya.

Kharis: Banyak! Tapi kan banyakan yang tidak.

Dosa, Kota, dan Kenangan dibungkus dengan alunan musik yang, bagi saya
setidaknya, mudah untuk didengar. Musik dari album ini memudahkan saya
untuk mendengarkan kisah-kisah yang kalian ingin tulis. Itu tujuan kalian?
Mana yang kalian kedepankan, narasi atau musik?

Kharis: Jadi gini, secara sadar kami memberi porsi yang sama. Antara musik dan
lirik. Karena narasi disini tidak hanya dibangun lewat lirik, tapi juga lewat gitar dan
sebagainya. Jadi kalo misalkan didengarkan bener-bener atau ditelaah, kami
memainkan dinamika—itu juga kadang-kadang dinamika dalam musik. Kami
sengaja untuk memperkuat naras—bukan memperkuat, tapi itu juga bagian dari

12
narasi. Secara sadar, kami memperlakukan sama. Tapi kalo misalkan ternyata
preferensi orang-orang lebih ke lirik, ya, gitu deh.

Dosa, Kota, dan Kenangan diakhiri oleh lagu “Aku Duduk Menanti”. Apa
yang kalian nantikan?

Kharis: Itu sebetulnya lagu tentang ajal. Waktu kamu tua, kamu bergantung pada
belas kasihan keluargamu. Kamu duduk di kursi roda, apa yang kamu nantikan?

Ajal.

Kharis: Yah!

Eki: Iya, cuma duduk menanti.

Kharis: Iya, cuman duduk menanti, kan? Orang gak mungkin punya keberanian
kayak Albert Camus. Waktu yang dia tulis di Sisyphus [The Myth of Sisyphus],
harus bunuh diri atau tidak. Karena kan gak semua orang punya keberanian untuk
mengakhiri hidupnya sendiri. Cuman bisanya apa? Duduk menanti, ya kan?

13

Anda mungkin juga menyukai