Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

RHINITIS ALERGI

OLEH :

CITRA KRISTI MELASARI

I4061152063

PEMBIMBING :
dr. Muslim M. Amin, Sp. THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


RSUD DR ABDUL AZIZ SINGKAWANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:

“Rhinitis Alergi”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Minor Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan

Singkawang, Oktober 2018

Pembimbing Disusun oleh

dr. Muslim M. Amin, Sp. THT-KL Citra Kristi Melasari

2
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Rinitis diartikan sebagai proses inflamasi yang terjadi pada membrane mukosa
hidung, yang ditandai dengan gejala-gejala hidung seperti rasa panas di rongga
hidung, rinore, dan hidung tersumbat. Secara garis besar, rinitis dibagi kepada 2
bagian yaitu rinitis nonalergik dan alergi. Gejala-gejala hidung yang berlangsung
kronis tanpa penyebab alergi disebut rinitis nonalergik. Sedangkan bila didapati
adanya penyebab alergi (alergen) dikenal dengan rinitis alergik. Karaktieristik
gejala pada rinitis nonalergik sering susah dibedakan dengan rinitis alergik. Oleh
karena itu, hasil negative dari tes sensitivitas yang diperantarai IgE terhadap
aeroallergen yang releven, penting untuk menkonfirmasi diagnosis. Dan perlu
diketahui bahwa tes kulit positif pada aeroallergen yang tidak relevan dapat terjadi
pada rinitis nonalergik.(1)
Rinitis nonalergik sungguh mudah dikenali. Tetapi, walaupun demikian,
insidensi dan terapinya belum diketahui dengan pasti. Penelitian epidemiologi dan
percobaan terapi baru-baru ini meningkatkan pengetahuan kita dalam mencermati
prekuensi terjadinya penyakit ini dan modalitas terapi yang efektif.
Rinitis nonalergi yang dapat juga disebabkan oleh infeksi dibagi atas dua
bagian besar, yaitu rinitis akut dan rinitis kronis. Rinitis akut terdiri dari rinitis
virus, rinitis bakteri, dan rinitis iritan. sedangkan yang termasuk rinitis kronis
adalah rinitis simplek kronis, rinitis hipertrofi, rinitis atrofi (ozaena), rinitis sika,
dan rinitis kaseosa.(2) hampir setengah dari pasien yang datang dengan gejala-
gejala hidung tersebut diatas, menderita rinitis akut.
Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput
lendir (membran mukosa) hidung.

3
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi
sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah
rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,
atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis
medikamentosa.
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis
ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama
anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama.
Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada
usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20
tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan
usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 16,17

Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui


karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rhinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan
survei dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi
rinitis alergi sebesar 18%.18,19

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi,
3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares
anterior).(3),(4)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago
septum.(3),(4)
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.(3),(4),(5)
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.(3)
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.(3)
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit
yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
5
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.(3),(4)
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah
hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kieselbach.(3) Vena-vena membentuk pleksus yang luas di
dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.(4)
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.(3)

Gambar 1: Anatomi External Hidung

6
Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa.(3)
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.(3)
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang tidak bersilia.(3)
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga
hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih
tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.(3)

7
2.2 Rhinitis Alergi
2.2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.(3)
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.(3)
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600
juta penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang
pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan
cukup tinggi (5,8%).(6)
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:(3,7,8)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
8
2.2.4 Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(3,9)
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4),
Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).(3)
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga
9
akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).(3)
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada
fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca,
dan kelembaban udara yang tinggi.(3)

Gambar 3: Patogenesis Rinitis Alergi


2.2.5 Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.(3)

10
2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:(3,9,10)
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan dan alergen ingestan.
Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:(3,11)
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:(3)
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
2.2.7 Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata
(lakrimasi).(3,5,7,9,10)
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin,
mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat.(7,8,12)
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis,
mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi
tuba, efusi telinga bagian tengah.(7,9,13)

11
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:(3)
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin
ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).(3)
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga
perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma,
eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat
tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala.(5,7)
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertofi.(3)
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-
gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergig salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).(3,7,10,13)

12
Gambar 4. Alur Diagnosis Rinitis alergi

c. Pemeriksaan Penunjang (3)


Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food
Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).
Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa ia sering
bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50%
13
diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada rinoskopi anterior sering
didapatkan mukosa berwarna keunguan (livid) atau pucat, edema, dan basah
serta adanya sekret encer, bening yang banyak. Pemeriksaan sitologi hidung
dilakukan dengan mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada
kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil,
limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10%
eosinofil. Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila
ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan
eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi.
Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis alergi perlu
dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi
dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu
dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien dengan eosinofilia yang tidak
menunjukkan nilai positif pada tes kulit dengan allergen yang sering
menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang dimaksud adalah alergen yang
banyak di lingkungan.

Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab
rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang,
jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi
IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut.

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:(14)
1. Rinitis vasomotor
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini
termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.
Rinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
14
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin dan ingus yang encer.

2. Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah
sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sfenoid lebih jarang lagi.Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya
dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus,
disebut sinusitis dentogen

2.2.10 Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebab dan eliminasi.(3,7–9,11–13)
b. Medikamentosa(3,9)
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.

15
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif(3)
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,
inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.
d. Imunoterapi(3,7,9,13)
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
e. Edukasi Pasien(7,11)
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang
merupakan allergen.
f. Dekongestan Oral
Bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat
vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi
pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema
membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja.
Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal
karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang
dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan
kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering
off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan
terjadinya krisis hipertensi.

16
2.2.11 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:(3,7,10,14)
1. Polip hidung.
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Gangguan fungsi tuba eustachius

2.2.12 Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin
dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika
suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat
terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.(15)

17
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,


rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur,
alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan, alergen
injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala
berupa bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga, riwayat
tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi
anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
secret encer yang banyak.
Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan
allergen, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien.
Komplikasi yang sering terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis
media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis paranasal.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown


University School of Medicine. Diunduh dari
http://nypollencount.com/Articles/Non-Allergic%20Rhinitis.pdf
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and
Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. p. 145-8.
3. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
4. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC. 2006; 803-805.
5. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
6. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa
Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010.p. 6-
11.
7. Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape.
com/article/134825. [Accessed 29 Mei 2017].
8. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC
Decker; 2003; 708-731.
9. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In : Disease of Ear, Nose and Throat fourth
edition. Elsevier. 157-159.
10. Mabry, R., Marple, B. Allergic Rhinitis. In:Cumming’s Otolaryngologi Head
Neck Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier. 2005; 982-988.
11. ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.
12. Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England Journal of
Medicine 353;18. 2005; 1934-1943.

19
13. Pasha, R. Allergy and Rhinitis. In: Otolaryngolongy Head and Neck Surgery
Clinical Reference Giude. Singular Thomson Learning; 28-33.
14. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. Rinitis Alergika. Diunduh dari :
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=p
dt&filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm.
15. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.
16. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6

17. Ethical Diggest — Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis


Alergika. Diunduh dari : http://physalin.blogspot.com/2009/10/diagnosis-
rhinitis-alergika.html. 2009.

18. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di


Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis.
Medan : FK USU. 2007.

19. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk
Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In :
Indonesian Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery,
Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2005 : 64-70.

20

Anda mungkin juga menyukai