Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial),
tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid
dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), dan
kontak langsung melalui tangan atau berciuman.Tonsilitis terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakteri
grup A Streptococus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus
dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3 Tonsilitis kronis
merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit THT. Data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronis
sebesar 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Hasil pemeriksaan pada anak-
anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada telinga hidung dan tenggorokan
berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan didapati 38,4% diantaranya merupakan
penderita penyakit tonsilitis kronis
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Tonsilitis kronis merupakan salah satu
penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia
muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis
akut yang tidak adekuat.1

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil
saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.1

Gambar 1. Cincin Waldeyer 2


Tonsil faringeal (adenoid) merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri
dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah
atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.1

2
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1

Gambar 2. Struktur tonsil6


Tonsila palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsilaris. Tiap tonsila ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring.
Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam kripta tonsilaris
yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas permukaan medial tonsila terdapat sebuah
celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsila ditutupi selapis jaringan fibrosa yang
disebut capsula tonsila palatina, terletak berdekatan dengan tonsila lingualis. 1,2Adapun
struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah arcus palatoglossus di anterior,
arcus palatopharyngeus di posterior, palatum mole di superior, 1/3 posterior lidah di
inferior, ruang orofaring di medial, dan m. konstrictor faringeus superior di lateral.5,6

Tonsil palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsilar. Tonsil palatina terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil
terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel
limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).1

3
Tonsila palatina berada dalam fossa tonsilaris. Fossa tonsilaris adalah sebuah
resessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring diantara arcus palatoglossus
di depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang. 6 Batas lateralnya adalah m.konstriktor
faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat dan
biasanya merupakan tempat nanah pecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan kapsul.1

Vaskularisasi

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil6

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina asenden, cabang tonsillar dari arteri
fasialis, arteri faring asendens dan arteri lingualis dorsal. Vena-vena menembus
m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena
pharyngealis, atau vena facialis.6
Aliran Kelenjar Getah Bening
Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi limfoid profundi.
Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak
di bawah dan belakang angulus mandibula6 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan

4
menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior
di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. 2

Gambar 4. Aliran limfatik tonsil 6

Inervasi
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden nervus palatina. 6

5
Gambar 5. Inervasi Tonsil 6
Fungsi Tonsil
Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran
makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan).
Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik, apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.8
Jaringan limfoid pada tonsil mengandung sel limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit
B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel
dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat
sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan

6
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8,9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak
pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu
mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap
bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan
infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen,
selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan
pada usia 3 – 10 tahun. 8,9

2.2 Tonsilitis Kronik


2.2.1. Definisi

Tonsilitis kronik adalah peradangan kronik tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi secara berulang-ulang. Terjadi perubahan histologi
pada tonsil dan terdapat jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses serta dikelilingi
oleh sel-sel radang.4

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tonsil
tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan dapat
mengeluarkan detritus.7

2.2.2. Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptokokus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis
virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. 2,8 Data epidemiologi menunjukkan
bahwa penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10
tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun,
2,3% pada usia 15-44 tahun, dan 0,6 % pada usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian

7
yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronik adalah kelompok
umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita tonsilitis kronik terbanyak sebesar 62 % pada kelompok
usia 5-14 tahun.9
2.2.3. Etiologi

Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri


aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronik, jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat
menjadi patogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.4,1

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan khusus
karena dapat ditangani sendiri oleh daya tahan tubuh. Penyebab paling banyak dari
infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja). Selain
itu infeksi virus juga termasuk infeksi oleh coxackie virus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.10

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi
atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10

2.2.4. Patofisiologi

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi
oleh dendritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa

8
tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
keadaan imun yang menurun.1

2.2.5. Faktor Predisposisi

Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik yaitu:1


1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
2.2.6 Gejala Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorok yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna atau saluran
napas. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah demam, namun tidak mencolok.11,12
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh dendritus. Terasa ada yang
mengganjal dan kering di tenggorokan, serta napas yang berbau. 1 Pada tonsilitis kronik
juga sering disertai pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran
tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta
melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulen. (b) tonsil tetap kecil, biasanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan bagian
tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulen.4

9
Gambar 6. Tonsilitis onik4

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak


antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
a. T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).
b. T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior-
uvula).
c. T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula).
d. T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula).
e. T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).4,5,6

Gambar 7. Gambar Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B) T2 (C) T3 (D) T410

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita tonsilitis kronik:
 Mikrobiologi

10
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu
Streptokokus beta hemolitikus diikuti Staphylokokus aureus.11
 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turki terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosis tonsilitis kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu infiltrasi limfosit ringan sampai sedang, adanya Ugra’s abses dan infitrasi
limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut dapat dengan jelas menegakkan
diagnosa Tonsilitis Kronis.5

2.2.8. Diagnosis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang
berupa nyeri tenggorok berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok,
ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, dan obstruksi pada saluran cerna atau
saluran napas yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala lain
yang dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfa submandibular.1,
2.2.9. Diagnosis Banding
1. Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia sekitar 5 tahun. Gejala
klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum, lokal, dan gejala akibat eksotoksin.

11
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membran semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 8. Tonsila Difteri2


2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat
menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut
karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibodi. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.
Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

2.2.10. Penatalaksanaan

12
Penatalaksanaan untuk tonsilitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa
dan operatif.

1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada keadaan higiene mulut dengan cara berkumur atau
obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi
atau oral.1 Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan
mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan
disebabkan mononukleosis).12

2. Operatif
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology–Head
and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan:1,6,8
a) Indikasi Absolut
1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat,gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
b) Indikasi Relatif7,8
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
4. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada
kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Maka sebaiknya menyadari
kenyataan bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor
yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi
yang serius.

Kontraindikasi tonsilektomi

13
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis 14

Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat
alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi
trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek
umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak
berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan
pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka
pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar
posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.13
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya
yaitu immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan
dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks
batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan
asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya
ikatan. 6 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 6

14
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah
infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum
luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah
permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari
fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran
infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi,
karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan
kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat
aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
Komplikasi Lambat (Late complication) pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan
parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak
menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau
abses peritonsil.
Komplikasi tonsilektomi lainnya dapat berupa :
 Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsilar, edema
oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
 Dehidrasi
 Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas
yang obstruksi karena hipertropi adenotonsilar yang lama, mengakibatkan

15
penurunan mendadak tekanan intratorakal, peningkatan volume darah paru, dan
peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam
setelah pembebasan jalan napas.
 Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
 Eustachian Tube Dysfunction
 Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan
darah

2.2.11. Komplikasi
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis,
myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah


sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun
berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsila
a. Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang


peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran
getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring,
sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.


Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe.

16
e. Kista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna
putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium
karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh


a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis.3,8

2.2.12. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala
yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia.6

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Penatalaksanaan tonsilitis kronik mencakup medikamentosa dan operatif.
Tonsilitis memiliki prognosis kesembuhan yang baik.

3.2 Saran
1. Dokter muda perlu terus mengembangkan kemampuan penegakan diagnosis tonsilitis
kronik berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik; hal ini dapat dilakukan dengan
mempelajari teori dan pelatihan keterampilan medis yang baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-
25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. [cited, 2015
December 7]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 [cited, 2015
December 8]. Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-
adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 [cited, 2015
December 7]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
6. Hansen JT. Head and Neck. NETTER’S CLINICAL ANATOMY. 2nd ed. USA:
Saunders, Elsevier 2010.
7. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
8. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
9. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
10. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik
Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
11. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of
Reccurent Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2015 December 7]. Available from:
URL: http://www. Archotolaryngelheadnecksurg.com
12. Cayonu M, Salihoglu M, Altundag A, Tekeli H, Kayabasoglu Gr. Grade 4 tonsillar
hypertrophy associated with decreased retronasal olfactory function: a pilot study.
Eur Arch Otorhinolaryngol. 2014(271):2311-6
13. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
14. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.

19
20

Anda mungkin juga menyukai