Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

GAGAL JANTUNG FC IV DENGAN


ATRIAL FIBRILASI RAPID VENTRICULAR RESPONSE

Disusun Oleh:

Desra Aufar Alwafi


I4061171010

Pembimbing:
dr. Arinta Setyasari, Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAN
RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA
CIMAHI
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:


Gagal Jantung FC III dengan Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Februari 2019
Pembimbing Penulis

dr. Arinta Setyasari, Sp.JP, FIHA Desra Aufar Alwafi


BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny.M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 62 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Kesatuan : BPJS Mandiri
Agama : Islam
Alamat : KP Babakan RT 003/010 Cigugur Girang Bandung Barat
Tanggal MRS : 10-02-2019

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, dan dirasakan memberat sejak 6 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus, dirasakan semakin memberat
setelah pasien melakukan aktivitas seperti berjalan dan sesak dirasakan
berkurang saat pasien duduk dan beristirahat. Pasien lebih nyaman tidur
menggunakan 3 bantal atau lebih. Pasien mengaku sering terbangun
tengah malam karena sesak dan batuk.
Pasien juga mengeluhkan dada yang dirasakan berdebar hilang
timbul sejak 1 hari SMR. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak
berwarna putih sejak 2 hari SMRS. Keluhan mual (+), Pasien juga
mengeluhkan kedua kaki bengkak. Keluhan nyeri dada dan demam
sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya pada
tahun 2016, namun keluhan dirasakan tidak seberat keluhan saat ini dan
pasien hanya berobat jalan. Terdapat riwayat hipertensi yang diketahui
sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengatakan bahwa terdapat saudara kandung pasien yaitu
kakak pasien yang memiliki riwayat hipertensi.
Riwayat Sosial:
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Diketahui pasien jarang berolahraga.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Berat Badan : 90 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Gizi : Overweight (BMI 37,5 kg/m2)
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Denyut Nadi : 126 kali/menit, irregular, pulsus defisit
Frekuensi Napas : 30 kali/menit
Temperatur : 37,00 C
Saturasi O2 : 88% →98% dengan nasal kanul O2 3 lpm.
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
diameter 3 mm/3 mm, reflex cahaya langsung dan tak
langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-),mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah
(-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (-), JVP 5+4
cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri statis maupun dinamis,retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri sama, massa (-), nyeri
tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki kasar (+/+) di
basal paru, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba ICS VI linea axila anterior sinistra,
trhill (-)
Perkusi : Batas jantung atas pada ICS III linea parasternalis
sinistra, batas jantung kanan pada ICS V linea mid
clavicula dextra, batas jantung kiri pada ICS VI linea
axillaris anterior
Auskultasi : S1/S2 irregular, murmur (-), S3 gallop (-), S4 (-)
ekstrasistol (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 9 kali per menit
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, pitting oedema (+/+), CRT <2 detik
Kriteria Framingham untuk pasien ini :
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspneu (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi vena leher (-) Batuk malam hari (-)
Ronkhi paru (+) Dispneu d’effort (+)
Kardiomegali (+) Hepatomegali (-)
Edema paru akut (-) Efusi pleura (-)
Gallop S3 (-) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal (-)
Peninggian tekanan vena jugularis (+) Takikardi (>120 x/menit) (+)
Refluks hepatojugular (-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi Rutin (10/02/2019)
Hemoglobin : 11.6 g/dl (Normal: 11.0 – 16.0)
6
Eritrosit : 4.2 x 10 /µl (Normal: 4.0 – 5.5)
3
Leukosit : 9.2 x 10 /µl (Normal: 4.0 – 10.0)
Hematokrit : 33.5 % (Normal: 38.0 – 51.0)
3
Trombosit : 203 x 10 /µl (Normal: 150 – 450)
MCV : 80.0 fL (Normal: 75.0 – 100.0)
MCH : 27.7 Pq (Normal: 25.0 – 32.0)
MCHC : 34.6 g/dl (Normal: 32.0 – 36.0)
RDW : 15.8 % (Normal: 10.0 – 16.0)

Elektrolit (11/02/2019)
Natrium : 139 mmol/L (Normal: 136-145)
Kalium : 4.60 mmol/L (Normal: 3.60-5.20)
Klorida : 101 mmol/L (Normal: 98-106)

Fungsi Ginjal (11/02/2019)


Creatinin : 0,7 mg/dl (Normal: 0.6-1.1)
Kolesterol (11/02/2019)
Trigliserida : 76 mg/dl (Normal : 60-200)
LDL Kolesterol : 95 mg/dl (Normal : <115)

EKG (11-02 2019)

a. Irama : aritmia
b. Frekuensi: ireguler, HR 140 kali/menit
c. Frontal Axis: Normal
d. Horizontal Axis : Normal
e. Gelombang P tidak ada
f. Interval PR tidak dapat dinilai
g. Kompleks QRS : 0,08s
h. Segmen ST : 0,24s
i. Gelombang T : lebar 0,12s , tinggi 4 mm
Kesimpulan: Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikular Response

Rontgen Thoraks PA (19 Januari 2019)


a. Kesimetrisan : simnetris antara kanan dan kiri
b. Inspirasi : cukup
c. Trakea : Berada ditengah, tidak ada pergeseran
d. Bone & soft tissue : Tidak ada tanda emfisima subkutis maupun
fraktur.
e. Sudut costofrenicus
Kanan : bentuk lancip
Kiri : bentuk lancip
f. Difragma : berbentuk seperti kubah (normal)

g. Hillus : tidak ada kesan penebalan hilus


h. Paru : terdapat peningkatan corakan bronkovaskular
i. Jantung : Letak normal, bentuk : boot shape, ukuran : CTR 75%
j. Aorta : tidak ada tanda pelebaran maupun kalsifikasi di aorta.
Kesan : Kardiomegali

1.5. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis Fungsional : Gagal jantung FC IV dengan Atrial Fibrilasi
Rapid Ventrikular Response

Diagnosis Anatomis : Kardiomegali


Diagnosis Etiologis : Hipertensi

1.6. TATALAKSANA
a. Oksigenasi : O2 2-4 liter via nasal kanul
b. Terapi Nonfarmakologi
- Bed rest
o
- Posis semi fowler / posisi kepala 30
- Diet rendah garam
- Retriksi cairan 1,5-2 liter
a. Terapi Farmakologi
- Digoxin 0,5 mg bolus IV bila HR ≥110 bolus 1/2ampul (0,25) dosis

max 1,5mg/24jam
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Spironolakton 1x25mg
- Ramipril 1x2,5mg
- Simarc 1x2mg

1.7. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

1.8. SARAN PEMERIKSAAN


- Pemeriksaan PT,APTT, INR
- Ekokardiografi Elektif
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny.M datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, dan memberat sejak 6 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus, dirasakan semakin memberat setelah
pasien melakukan aktivitas seperti berjalan dan sesak dirasakan berkurang saat
pasien duduk dan beristirahat. Pasien lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal
atau lebih. Pasien mengaku sering terbangun tengah malam karena sesak dan
batuk.
Pasien juga mengeluhkan dada yang dirasakan berdebar hilang timbul sejak
1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak 2 hari
SMRS. Keluhan mual (+), Pasien juga mengeluhkan kedua kaki bengkak. Keluhan
nyeri dada dan demam sebelumnya disangkal.
Keluhan dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan
merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Penyebab dari sesak nafas
dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe kardiak, tipe pulmoner, tipe campuran
kardiak dan pulmoner serta tipe non kardiak dan non pulmoner. 1 Penyebab utama
sesak pada pasien dalam kasus ini adalah tipe kardiak yaitu disebabkan oleh gagal
jantung. Oleh karena menurunnya perfusi jaringan, tubuh berusaha untuk
mengambil oksigen lebih banyak untuk diedarkan. Peningkatan kebutuhan oksigen
berdampak pada peningkatan frekuensi pernapasan, yang mana frekuensi
pernapasan pada pasien adalah 30x/menit.
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorang pasien harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (nafas pendek
yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/ tidak kelelahan),
tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki dan dapat disertai
dengan adanya bukti objektif dari gangguan struktur fungsi jantung saat
istirahat.2,3
3
Tabel 2.1. Tanda dan Gejala Gagal Jantung

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan dengan kriteria


Framingham, yaitu jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen
thoraks. Pada pasien ditemukan 4 kriteria mayor, yaitu paroxysmal nocturnal
dyspnea (sesak pada malam hari), ronkhi paru, kardiomegali dan peningkatan
tekanan vena jugularis. Serta terdapat 3 kriteria minor, yaitu edema pada
ekstremitas, dispneu d’effort (sesak saat aktivitas), dan takikardi (>120x/menit).
Sehingga pada pasien memenuhi kriteria pada gagal jantung kongestif.
Tabel 2.2. Kriteria Framingham pada Pasien
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspneu (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi vena leher (-) Batuk malam hari (-)
Ronkhi paru (+) Dispneu d’effort (+)
Kardiomegali (+) Hepatomegali (-)
Edema paru akut (-) Efusi pleura (-)
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
Gallop S3 (-) norma (-)
Peninggian tekanan vena
jugularis (+) Takikardi (>120 x/menit) (+)
Refluks hepatojugular (-)

Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan kelainan struktural


jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional
NYHA. Pada pasien terdapat keterbatasan dalam melakukan aktifitas karena
gejala yang timbul berupa sesak, dada berdebar serta mudah kelelahan dirasakan
memberat saat aktifitas, pasien hanya merasa nyaman ketika posisi duduk ataupun
setengah duduk, sehingga pasien dapat diklasifikasikan dalam NYHA IV.
2
Tabel 2.3. Klasifikasi Gagal Jantung

Pada anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat hipertensi yang


diketahui selama 3 tahun. Hipertensi lama dapat menyebabkan kerusakan organ
target, yang mana organ target utama pada hipertensi kronis adalah jantung, sistem
serebrovaskular, aorta dan sistem pembuluh darah perifer, ginjal, dan retina.
Kerusakan organ jantung dapat dikaitkan dengan (1) peningkatan beban kerja
jantung dan (2) kerusakan arteri akibat efek gabungan dari tekanan yang tinggi
(dinding pembuluh yang melemah) dan percepatan aterosklerosis.1
Kelainan vaskular yang dihasilkan dari tekanan darah tinggi termasuk
hipertrofi otot polos, disfungsi sel endotel, dan kelelahan serat elastis. Arteri yang
dilapisi oleh plak aterosklerotik dapat berfungsi sebagai sumber emboli kolesterol
yang menutupi pembuluh distal, menyebabkan infark organ seperti oklusi
serebrovaskular, mengakibatkan stroke. Selain itu, aterosklerosis pada arteri besar
menghalangi elastisitasnya, yang mengakibatkan lonjakan tekanan sistolik yang
dapat menyebabkan trauma lebih lanjut pada endotelium atau memprovokasi
peristiwa seperti ruptur aneurisma.1
Patogenesis terjadinya hipertensi dipengaruhi oleh afterload. Tekanan
arterial yang tinggi (afterload yang tinggi) meningkatkan tegangan dinding
ventrikel kiri, yang dikompensasi dengan hipertrofi. Hipertrofi konsentrik (tanpa
dilatasi) adalah pola kompensasi normal, meskipun kondisi yang meningkatkan
tekanan darah berdasarkan peningkatan volume sirkulasi (misalnya aldosteron
primer) dapat menyebabkan hipertropi eksentrik dengan dilatasi ruang. Hipertrofi
ventrikel kiri (LVH) menghasilkan peningkatan kekakuan ventrikel kiri dengan
disfungsi diastolik, yang dimanifestasikan oleh peningkatan tekanan pengisian LV
yang dapat menyebabkan kongesti paru.1 LVH adalah salah satu prediktor terkuat
morbiditas jantung pada pasien hipertensi. Tingkat hipertrofi berkorelasi dengan
perkembangan gagal jantung kongestif, angina, aritmia, infark miokard, dan
kematian jantung mendadak.1
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan terdapat irama ireguler pada
denyut jantung maupun denyut nadi, dan didapatkan pulsus defisit,dimana terjadi
perbedaan denyut nadi dan detak jantung, hal ini disebabkan adanya kontraksi
ventrikel yang bersifat ireguler dan intensitasnya bervariasi sehingga sebagian
kontraksi ventrikel hanya menimbulkan arteri yang lemah dan tidak cukup untuk
dapat teraba diarteri perifer.
Berdasarkan hasil rontgen thoraks pasien didapatkan adanya gambaran
kardiomegali dengan perbesaran pada ventrikel kiri. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa pada hipertensi lama menyebabkan tekanan arterial yang
tinggi yang akan meningkatkan tegangan dinding ventrikel kiri, yang
dikompensasi dengan hipertrofi. Selain adanya kardiomegali pada gambaran
rontge didapatkan pula gambaran berupa serupa dengan efusi pleura minimal pada
paru kanan dan kiri, hal ini ditunjang dengan pemeriksaan fisik paru yakni
didapatkan adanya suara ronki pada daerah basal paru pasien dengan posisi pasien
duduk.
Berdasarkan pemeriksaan EKG pada pasien didapatkan gambaran berupa
irama aritmia, dan ditemukan abnormalitas berupa tidak adanya gelombang p
disertai interval RR yang ireguler, sehingga dapat disimpulkan hasil EKG pada
pasien adalah atrial fibrilasi dengan laju 140kali/menit, berdasarkan kecepatan
laju respon (interval R-R) ventrikel maka atrial fibrilasi dapat dibedakan menjadi
(1) FA dengan respon ventrikel cepat (laju ventrikel > 100x/menit), (2) FA dengan
respon ventrikel normal (laju ventrikel 60-100x/menit) dan (3) FA dengan respon
ventrikel lambat (laju ventrikel <60x/menit).5
Sehingga dapat dikatakan atrial fibrilasi rapid ventrikel response. Secara
klinis fibrilasi atrium pada pasien termasuk dalam fibrilasi atrium yang pertama
kali terdiagnosis, karena pasien belum terdapat riwayat fibrilasi atrium
sebelumnya. Terdapat lima jenis fibrilasi atrium menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu :5
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya
dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis
ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang
dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten FA
FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang memerlukan
kardioversi dengan obat atau listrik.
d. FA persisten lama (long standing persistent)
FA yang bertahan hingga ≥ 1 tahun dan strategi kendali irama masih akan
diterapkan.
e. FA Permanen
FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh okter (dan pasien) sehingga
strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali
irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Atrial fibrilasi merupakan takiaritmia supraventricular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Yang pada gambaran EKG digambarkan dengan tidakadanya
konsistensi gelombang p, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitude, bentuk dan durasinya. Yang mana pada fungsi NAV yang
normal, atrial fibrilasi biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga iregguler
dan seringkali cepat. Pasien dengan fibrilasi atrium memiliki resiko stroke 5 kali

14
lebih tinggi dan resiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi disbanding pasien tanpa
atrial fibrilasi. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung melalui
mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung,
disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.5
Patofisiologi terjadinya atrial fibrilasi dipercaya bersifat multifactorial,
dengan konsep yang banyak dianut adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan
2) faktor-faktor yang melanggengkan. Proses remodelling atrium karena penyakit
jantung struktural dapat menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan
serabut konduksi di atrium, serta menjadi factor pemicu sekaligus faktor yang
melanggengkan terjadinya FA. Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di
dalam jantung juga memiliki peran yang penting dalam patofsiologi FA, yaitu
melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan
periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal). Stimulasi
pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA melalui vena pulmoner
(VP), sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
target ablasi.1
Terdapat 2 mekanisme utama dalam terjadinya fibrilasi atrium yaitu
adanya mekanisme fokal dan mekanisme reentri mikro (multiple wavelet
hypothesis). Mekanisme fokal merupakan mekanisme fibrilasi atrium pada daerah
tertentu yakni daerah terbesar adalah pada vena pulmonal (72%). Mekanisme
seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan
reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan
melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang
lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit. Sedangkan
dalam mekanisme reentri mikro, fibrilasi atrium dilanggengkan oleh adanya
konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui
otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan
oleh Moe yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet
yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian
padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang
atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang,
sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang siklus yang

15
bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk
5
melanggengkan FA.

Gambar 2.1. Patofisiologi Fibrilasi Atrium5


Faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah : Diabetes Melitus,
Hipertensi, Penyakit Jantung Koroner, obesitas, Penyakit Katup Mitral, Penyakit
Tiroid, Penyakit Paru-Paru Kronik, Post. Operasi jantung, Usia ≥ 60 tahun, Life
Style. Pada kasus ini faktor risiko berupa obesitas dan hipertensi.
Hilangnya fungsi koordinasi mekanikal atrium secara akut pada saat
terjadinya FA dapat mengurangi curah jantung sampai dengan 5-30%. Laju
ventrikel yang cepat mengurangi pengisian ventrikel karena pendeknya interval
diastolik. Laju ventrikel yang cepat (>120–130 kali per menit) dapat
5
mengakibatkan terjadinya takikardiomiopati ventrikel bila berlangsung lama.
Gambar 2.2. Patofisiologi Fibrilasi Atrium4

Pasien dengan fibrilasi atrium memiliki resiko terjadinya tromboemboli


yang dapat menyebabkan stroke, karena dipengaruhi abnormalitas aliran darah,
abnormalitas endokard dan unsur darah. Abnormalitas aliran darah ditandai
dengan stasis aliran darah di atrium kiri akan menyebabkan penurunan kecepatan
aliran pada aurikel atrium kiri (AAK) yang dapat terlihat sebagai spontaneous
echo-contrast pada ekokardiograf. Pada FA non-valvular, AAK merupakan
sumber emboli yang utama (>90%). Abnormalitas endokard terdiri dari dilatasi
atrium yang progresif, denudasi endokard, dan infltrasi fibroelastik dari matriks
ekstraseluler. Sedangkan, abnormalitas unsur darah berupa aktivasi hemostatik
dan trombosit, peradangan dan kelainan factor pertumbuhan dapat ditemukan
pada FA.5,3
Resiko tromboemboli tersebut dapat menyebabkan terjadinyaa stroke dan
resiko perdarahan, maka dapat dipertimbangkan penggunan antikoagulan pada
pasien dengan fibrilasi atrium menggunakan skor CHA2DS2-VASc dan melihat
resiko perdarahan dari skor HAS BLED. Antikoagulan oral sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien dengan skor ≥ 2 pada pria dan ≥ 3 pada wanita.
Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko
perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat
fatal atau menimbulkan disabilitas.skor HAS-BLED telah divalidasi pada banyak
studi kohort berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko
perdarahan pada setiap pasien AF harus dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥ 3
maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi
faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor CHA2DS2-VASc pada pasien adalah
3 (congestive heart failure, hipertensi, dan wanita). Sedangkan skor HAS-BLED
pada pasien adalah 1 (hipertensi).
Tabel 2.4. skor CHA2DS2-VASc

Faktor resiko Skor Skor pada kasus


Congestive heart failure/LV 1 1
dysfunction
Hipertensi 1 1
Age ≥ 75 2 -
Diabetes mellitus 1 -
Stroke/TIA/thrombo-embolism 2 -
Vascular disease 1 -
Age 65-74 1 -
Sex category (female) 1 1
Total nilai 3

Tabel 2.5 Penilaian HAS-BLED pada kasus

Faktor resiko Skor Skor pada kasus


Hipertensi 1 1
Abnormal renal/liver function 1 atau 2 -
Stroke 1 -
Prior bleeding 1 -
Labile INR 1 -
Elderly 1 -
Drugs or alcohol 1 atau 2 -
Total nilai 1

Berdasarkan perhitungan CHA2DS2-VASc, diketahui bahwa pasien pada


kasus ini memiliki skor 3 dan perhitungan HAS-BLED memiliki skor 1 sehingga
berdasarkan penilaian tersebut, pasien diindikasikan untuk diberikan terapi
antikoagulan. Dalam hal pencegahan stroke, maka tatalaksana yang diberikan
adalah dengan menggunakan antitrombotik yang ditentukan berdasarkan asesmen
jenis FA dan penilaian resiko stroke (CHA2DS2-VASc) dan resiko perdarahan
(HAS-BLED).
Prinsip penatalaksanaan pasien dengan fibrilasi atrium adalah dengan
mengendalikan laju ventrikel dan irama pada pasien, serta pemberian
antikoagulan untuk mengendalikan resiko terjadinya tromboembolisme. Pada
pasien diberikan terapi digoxin intravena 0,5 mg. Pemberian digoxin bertujuan
untuk pengendalian laju ventrikel pada fibrilasi atrium, yang mana pada pasien
terjadi fibrilasi atrium dengan heart rate 140 kali/menit (Rapid ventrikel
response). Pemberian intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon laju ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan
untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau
adanya hipotensi.3Pada pasien karena memiliki keluhan saat istirahat maka pada
pasien diberikan digoxin intravena untuk mengendalikan laju jantung hingga
mencapai target 60-100bpm.
Dilakukan evaluasi klinis dan EKG pada pasien setelah bolus digoxin
0,5mg, hal ini bertujuan untuk melihat respon terhadap terapi. Evaluasi dilakukan
pada 4 jam post bolus karena efek puncak digoxin intravena adalah 1-4 jam.
Mekanisme kerja dari digoxin dihubungkan dengan saraf parasimpatik,
adanya perubahan pada tekanan darah rata-rata dapat dikenali oleh baroreseptor
yang akan meneruskaninformasi itu ke pusat kardiovaskuler di batang otak yang
mengendalikan keluaran sistim saraf otonom simpatik (SANS) dan parasimpatik
(PANS). Suatu peningkatan pada tekanan darah rata-rata menimbulkan
perangsangan baroreseptor, menghasilkan peningkatan aktifitas PANS,
(menstimulasi vagal central ) memicu bradikardi dan mengurangi aktifitas SANS,
yang pada gilirannya menurunkan heart rate, daya kontraksi dan vasokontriksi.
Penghambatan saraf simpatik dapat memainkan peran penting dalam efek digitalis
dalam CHF. Digitalis menghambat pengeluaran saraf simpatik, suatu efek yang
terjadi sebelum perubahan hemodinamik yang diamati. Bagian dari gejala toksik
digitalis dapat dijelaskan oleh efek parasimpatomimetik, seperti mual, muntah,
10
dan anoreksia.
Gambar 2.3 Tatalaksana Kendali Laju Fase Akut FA5
Penggunaan antitrrombolitik atau antikoagulan diperlukan pada pasien FA
terutama yang disertau dengan HF, hal ini berkaitan dengan resiko terjadinya
tromboembolisme yang dapat menyebabkan stroke dan resiko perdarahan, yang
dapat divaluasi menggunakan skor CHA2DS2-VASc dan HAS-BLED. Skor
CHA2DS2-VASc pada pasien adalah 4 (congestive heart failure, hipertensi,
diabetes melitus dan wanita). Sedangkan skor HAS-BLED pada pasien adalah 1
(Hipertensi). Kedua skor tersebut menunjukkan bahwa pasien diindikasikan kuat
menggunakan antikoagulan oral tanpa disertai dengan risiko perdarahan
intracranial.

Gambar 2.4 Algoritma Pemilihan Terapi Antikoagulan5

Berdasarkan algoritma tersebut, pasien direkomendasikan mendapatkan


obat antikoagulan baru (AKB) dan dengan alternative terapi menggunakan
antagonis vitamin K. Menurut ESC guidline mengenai gagal jantung 2016, NOACs
/ AKB lebih disukai untuk pasien dengan HF dengan non-valvular AF
dibandingkan dengan antagonis vitamin K karena tampaknya lebih efektif dan
lebih aman (kurang intracranial haemorrhage) di pasien dengan HF dibandingkan
pada subyek tanpa HF. Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK
di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran
bekerja dengan cara menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan
apixaban keduanya bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.3,5
Pada pasien diberikan golongan antagonis vitamin k (AVK) berupa
warfarin. Warfarin (Coumarin, Coumadin, Panwarfin) adalah antikoagulan oral
yang paling umum digunakan. Warfarin juga memiliki sedikit efek samping,
kecuali untuk komplikasi utama yang terkait dengan over-antikoagulan, yaitu
pendarahan termasuk risiko perdarahan intrakranial yang serius. Secara umum,
ketika membandingkan warfarin dengan aspirin, warfarin berintensitas tinggi
(internasional rasio normalisasi [INR] 3-4) lebih efektif daripada aspirin, tetapi
terkait dengan lebih banyak perdarahan yang mungkin terjadi tidak dapat diterima.
Warfarin intensitas sedang (INR 2-3) masih memiliki risiko pendarahan tetapi
melindungi lebih baik daripada aspirin dari pencegahan stroke di AF. Telaah lima
penelitian acak yang membandingkan AVK dengan plasebo mendapatkan
penurunan insiden stroke iskemik dari 4,5% jadi 1,4% per tahun (relative risk
reduction [RRR] 68%; 95% CI, 50% s/d 79%; P<0.001). Pencegahan stroke oleh
AVK hanya efektif bila time in therapeutic range (TTR) baik yaitu >70%. TTR
adalah proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai dibandingkan keseluruhan lama
waktu mengkonsumsi AVK. Oleh karena itu, upaya pengaturan dosis yang terus-
menerus harus dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3. Namun dalam
situasi yang dikelola dengan hati-hati seperti di Finlandia, risiko perdarahan
intrakranial dengan warfarin menurun. 3,5
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien FA. Strategi pengendalian ritme (termasuk kardioversi
farmakologis atau listrik) belum terbukti lebih unggul dari strategi pengendalian
laju dalam mengurangi mortalitas atau morbiditas. Kardioversi yang mendesak
diindikasikan hanya jika AF mengancam nyawa. Penggunaan kelas I antiaritmia
agen dan dronedarone meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan HF dan AF dan harus dihindari.Sehingga pada pasien ini tidak dilakukan
kardioversi.3
Pada asesmen hipertensi, pasien telah mendapatkan terapi ACEi ramipril,
spironolakton dan furosemide. Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan
gagal jantung yang disertai tanda dan gejala kongesti. Diuretik memperbaiki
kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan gejala kongesi vena
sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
.
Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Pada pasien diberikan terapi furosemide sebagai diutretik dengan tujuan untuk
mengurangi cairan yang terdapat pada pasien yaitu ditandai dengan pitting
oedema pada kedua tungkai dan didaptkan adanya efusi pleura serta diharapkan
dengan pemberian furosemide ini dapat mengurangi beban preload pada ventrikel
kiri. Furosemide bekerja menghambat transporter Na+ / K+ / 2Cl-cotranser
dengan pengangkutan klorida melintasi lapisan sel dari atas lengkung Henle. Situs
ini dari tindakan tercapai secara intraluminal, setelah obat diekskresikan oleh
tubulus proksimal. Efek dari penghambatan cotransport adalah ion klorida,
natrium, kalium, dan hidrogen semuanya tetap intraluminal dan hilang dalam urin
dengan kemungkinan efek samping hiponatremia, hipokloremia, hipokalemia, dan
alkalosis. Namun, dibandingkan dengan tiazid, volume urin relatif lebih besar dan
natrium relatif berkurang. Venodilasi mengurangi preload pada gagal ventrikel kiri
akut (LV) dalam 5-15 menit; mekanisme belum dipahami dengan baik.
6
Sebaliknya, mungkin berhubungan dengan vasokonstriksi. Diuretik hemat
kalium, spironolakton dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas
pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.3
Gambar 2.5 Rekomendasi Terapi CHF2

Gambar 2.6 Rekomendasi Terapi CHF4


Pada pasien juga diberikan Ramipril yang merupakan obat golongan ACEi
yang berfungsi mengendalikan tekanan darah pasien, dimana penggunaan ACEi
sangat diekomendasikan untuk pasien dengan gagal jantung. Penggunaan ACEi
menunjukan efek terapi yang mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada
masalah gagal jantng. Pemberian ACEi perlu diawasi bila pasien intoleran, seperti
pada kasus pasien dengan gangguan ginjal dan elektrolit, direkomendasikan untuk
mengganti obat golongan lain salah satunya adalah golongan ARB.3
BAB III
KESIMPULAN

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit, dan dirasakan memberat sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasakan terus menerus, dirasakan semakin memberat setelah pasien
melakukan aktivitas seperti berjalan dan sesak dirasakan berkurang saat pasien
duduk dan beristirahat. Pasien lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal atau
lebih. Pasien mengaku sering terbangun tengah malam karena sesak dan batuk.
Pasien juga mengeluhkan dada yang dirasakan berdebar hilang timbul sejak
1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak 2 hari
SMRS. Keluhan mual (+), Pasien juga mengeluhkan kedua kaki bengkak. Keluhan
nyeri dada dan demam sebelumnya disangkal.
Pada pemeriksaan foto rotngen thorak didapatkan kesan kardiomegali pada
jantung. Pada pemeriksaan EKG didapatkan atrial fibrilasi rapid ventricular
response, dengan HR 140x/menit. Pasien ini diterapi dengan terapi oksigenasi
nasal kanul 2-4 liter per menit dengan pemberian digoxin 0,5mg bolus IV untuk
mengendalikan laju ventrikel pasien, Inj. furosemid 3x1 ampul IV, ramipril
1x2,5mg dan warfarin sodium (Simarc) 1x2 mg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly LS. Acute Coronary Syndrome. Rhe JW, Sabatine MS and Lilly LS
editor in: Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project Of
Medical Students And Faculty. 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2011
2. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi
Pertama. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015.
3. ESC Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Acute And Chronic
Heart Failure. European Heart Journal. 2016.
4. ESC Guidelines For The Management of Atrial Fibrilation Devloped in
Collaboration with EACTS. European Heart Journal. 2016.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata
Laksana Fibrilasi Atrium. PERKI; 2014.
6. Opie, L.H. dan Gersh, B.J., 2017, Drugs For The Heart. Elsevier Inc.,
Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai