ABSES PERITONSIL
OLEH:
Desra Aufar Alwafi, S. Ked
I 4061171010
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Muslim M. AminSp. THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT DR. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
PROGRAM STUDI PROFESI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2018
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah disetujui,
Singkawang, 17 Oktober 2018
C. Etiologi
Abses Peritonsillar biasanya mengikuti adanya tonsilitis akut
mungkin timbul tanpa riwayat sakit tenggorokan sebelumnya. Pertama,
salah satu dari kripta tonsillar yang terinfeksi. Ini membentuk abses
intratonsillar yang kemudian menyembur melalui kapsul tonsil untuk
diatur peritonsilitis dan kemudian abses. Nanah yang keluar dari abses
dapat menunjukkan adanya pertumbuhan murni bakteri Streptococcus
pyogenes, S. aureus atau organisme anaerob. Lebih sering pertumbuhan
dicampur, dengan aerobik dan anaerobik organisme.9
Dikutip dari Megalamani pemeriksaan kultur yang telah dilakukan
menumbuhkan populasi bakteri aerob dan anaerob sama banyaknya
dengan campuran flora yang melibatkan mikroorganisme gram negatif
dan gram positif. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri
menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak
infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus
grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah
diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.12 Dilaporkan hasil
pemeriksaan kultur kuman sebanyak 43 % ditemukan bakteri aerob,
31% bakteri anaerob, dan 23 % terdiri gabungan bakteri aerob dan
12
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium,
Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk
kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerobik dan anaerobik.(11) Sedangkan virus yang dapat
menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.
D. Patofisiologi
Abses peritonsil adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir
pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari
tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada
kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil
(umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan
ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil.10 Perluasan
infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Finkelstein10 mengatakan lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di
jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian
akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot
konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring
terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang
supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini
adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang
terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi
infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu
timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal,
akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk
pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.10,11
Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi
ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring
penerima (host) telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme
tersebut masuk menembus jaringan orofaring. Ketika bakteri menembus
jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme
pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit.
Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri,
tetapi bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab
inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui.12,13
E. Manifestasi Klinik
Abses Peritonsillar kebanyakan menyerang orang dewasa dan
jarang pada anak-anak meskipun tonsilitis akut lebih sering terjadi
pada anak-anak. Biasanya unilateral meskipun kadang-kadang
bilateral. Gambaran klinis adalah dibagi menjadi:1
1. Umum. Septikemia menunjukkan adanya infeksi akut, termasuk
demam, menggigil, malaise, nyeri, sakit kepala, mual dan sembelit.
2. Lokal. Nyeri hebat di tenggorokan, odynophagia ditandai bahwa
pasien tidak bisa bahkan menelan air liurnya sendiri, pasien biasanya
mengalami dehidrasi, bau di rongga mulut dan kebersihan yang
kurang. Trismus karena spasme otot pterygoide yang dekat dengan
konstriktor superior.
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke
arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3
sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis
berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan
yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi
dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan
kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi
seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot
potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat
membuka mulut.13
Seperti dikutip dari Finkelstein10, Ferguson mendefinisikan hot
potato voice merupakan suatu penebalan pada suara. Pada
pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua
tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka
yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila
terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan
obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik
penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan
pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di
saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada
daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil
atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri pada umumnya
tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh
mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan
terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses
peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran
pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis
dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak
cemas dan sangat ketakutan. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub
inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub
superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil
dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya
ditandai dengan kemerahan.11,13
F. Diagnosis
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat
dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala
klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada
daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan
diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti
dikutip dari Hanna15, Similarly Snow dkk berpendapat untuk
mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan
dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat
membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan
penatalaksanaan.16 Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar
dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula
terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai
dengan gejala klinisnya.10,14,16
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis,
terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan
tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat
mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat
digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran
sentral hypoechoic. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah
kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi
komputer.11
Pemeriksaan Fisik
1. Amandel, pilar dan langit-langit lunak di sisi yang terlihat sesak dan
bengkak. Tonsil sendiri mungkin tidak membesar karena tertutup di
pilar edema.
2. Uvula bengkak dan edema dan didorong ke sisi yang berlawanan.
3. Menggembung dari langit-langit lunak dan pilar anterior di atas
amandel.
4. Mucopus dapat terlihat menutupi daerah tonsil.
H. Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena
masukan makanan yang kurang. Pecahnya abses secara spontan
dengan aspirasi darah atau pus dapat menyebabkan pneumonitis atau
abses paru. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan penyebaran
infeksi ke ruang leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke
mediastinum dan dasar tengkorak. Infeksi abses peritonsil menyebar
ke arah parafaring menyusuri selubung karotis kemudian membentuk
ruang infeksi yang luas. Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat
menyebabkan terjadinya abses parafaring, penjalaran selanjutnya
dapat masuk ke mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.
Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruangruang faringomaksilaris dalam
komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase dari luar
melalui segitiga submandibular. Bila terjadi penjalaran ke daerah
intrakranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,
meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani
dengan baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal.
Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan,
bila tidak dilakukan pengobatan abses peritonsil dengan segera maka
dapat menyebabkan komplikasi antara lain limfadenitis servikal,
infeksi parafaring dan perdarahan, edema laring, abses leher dalam,
dan jarang terjadi seperti fascitis nekrotik servikal, dan mediastinitis.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. B
Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Dusun sutra tmerampai tebas
Tanggal Masuk : 22 September 2018
B. Anamnesis
Pasien datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit dr. Abdul Aziz
Singkawang pada tanggal, 22 September 2018 dengan keluhan nyeri menelan
dan sulit membuka mulut.
1. Keluhan Utama
Nyeri menelan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan dirasakan sudah kurang
lebih 8 hari SMRS nyeri dirasakan semakin kuat saat menelan pasien
merasakan ada sesuatu yang mengganjal ditenggorkannya, pasien juga
mengeluhkan nyeri saat membuka mulutnya dan mencium nafasnya
berbau. 3 hari SMRS pasien mengatakan bahwa badannya terasa demam
dan mengkonsumsi obat penurn panas, batuk (-), pilek (-).
b. 24 September 2018
S: Pasien mengeluhkan nyeri menelan berkurang, terdapat benjolan
dileher, sulit membuka mulut, nafas masih berbau
O: Kesadaran: Compos Mentis
Tenggorokan:
Arcus Faring : Simetris
Uvula : Ditengah
Ukuan Tonsil : T1/T3, hiperemis
Dinding Faring Posterior : Hiperemis
Tonsil Lingual : Normal
A: Abses Peritonsil
DM tipe II
Hipertensi stage II
P: tatalaksana sebagai berikut:
IVFD Futrolit 18 tpm
Injeksi Clanexi 1g/12 jam
Injeksi Omeprazole 1 vial/8 jam
Inj Novorapid 8IU/8 jam
Metformin 500mg/8jam
Candesartan 1x8mg
Hidroclorotiazid 1x100mg
Pasien datang dibawa oleh keluarga ke IGD RS. Dr. Abdul Aziz
Singkawang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan disertai nyeri saat menelan
dan kesulitan saat membuka mulut. Dalam terjadinya infeksi pada daerah leher hal
yang harus diperhatikan yaitu menjaga jalan napas agar tetap berfungsi dengan
baik kemudian dapat diberikan antibiotik sebagai terapi awal. Pemeriksaan
laboratorium darah, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Setelah dirawat pasien diberikan terapi berupa infus futrolit 18 tpm untuk
mengatasi dan mencegah agar tidak terjadi dehidrasi, pasien juga diberikan
antibiotik injeksi berupa Clanexi 1g/12 jam yang meruakan golongan pensilin dan
drug of choice, adanya pertumbuhan murni bakteri Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus. aureus atau organisme anaerob lainnya dan lebih sering
ditemukan bakteri gram positif dan gram negatif.9
Pasien juga mengeluhkan leher yang terasa nyeri dan sulit menelan hal ini
sesuai dengan gejala dan tanda klinis pada kasus-kasus abses peritonsil, sehingga
pasien diberikan injeksi Deksketoprofen 1 amp/8 jam yang merupakan analgesik
untuk meredahkan nyeri. Pada pemeriksaan fisik tenggorokan terdapat
pembesaran ukuran tonsil T1-T3 pada tonsil, ada pembengkakan unilateral. Pasien
juga memeiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus yang tidak terkontrol dan
menadaptkan terapi dari bidang penyakit dalam berupa insulin short acting
novorapid 8IU/8jam dan obat antihipertensi Hidroclorotiazid 100mg/hari dan
Candesartan 8mg/hari. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan
membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Timbul
pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi
yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di
belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan
11,13
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pasien dilakuka
tindakan incisi dan drainase abses dan sekaligus dilakukan tindakan tonsilektomi
untuk mencegah abses dan infeksi yang berulang, teknik ini dinamakan tonsilek
tomi “a chaud”. Tonsilektomi pada abses peritonsil dapat dilakukan pada fase akut
ataupun fase tenang pasca drainase. Bila dilakukan bersaam dengan drainase abses
maka disebut tonsilektomi “a chaud” Bila dilakukan tonsilektomi 3-4 hari setelah
drainase abses maka dsebut tonsilektomi “a tiede” Bila dilakkan tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drainase abses maka disebut tonsilektomi “a froid”. Terapi
antibiotika masih tetap digunakan terutama untuk mengatasi perluasan yang
mungkin terjadi. Jenis-jenis antibiotika yang umum digunakan adalah penisilin,
metronidazol, sefalosporin dan klindamisin (bakteri penghasil beta laktamase).
BAB V
KESIMPULAN
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring
dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada
kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses peritonsil merupakan infeksi
pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Gejala klinis dapat
berupa nyeri yang terlokalisir, demam, hipersalivasi dan trismus. Komplikasi
abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring,
mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke dan obstruksi jalan nafas.
Drainase melalui pembedahan masih merupakan terapi pilihan. Perawatan
penderita pasca drainase yang dilanjutkan tonsilektomi dengan interval
tonsilektomi juga merupakan tindakan pilihan. Tujuan tindakan drainase adalah
untuk mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir. Drainase
menggunakan teknik aspirasi selain untuk mendiagnosis abses peritonsil juga
dapat mengurangi rasa sakit dan sebagai terapi pilihan dengan bantuan antibiotika.
Tindakan insisi / aspirasi dan drainase dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau
umum. Tonsilektomi pada abses peritonsil dapat dilakukan pada fase akut ataupun
fase tenang pasca drainase. Terapi antibiotika masih tetap digunakan terutama
untuk mengatasi perluasan yang mungkin terjadi. Jenis-jenis antibiotika yang
umum digunakan adalah penisilin, metronidazol, sefalosporin dan klindamisin
(bakteri penghasil beta laktamase).
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra PL, Shruti D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head & Neck
Surgery. 6th Edition. Elsevier: India Private Limited. 2014.
2. Ellis H, editor. Clinical Anatomy. 11th ed. Australia: 2006.
3. Scott BA, Stiernberg CM. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In:
Bayle BJ. editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed.
Philadelphia: 2001.
4. Weed H.G, Forest LA. Deep Neck Infection. In: Cummings CW. editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia:
Pennsylvania; 2005.
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In:
Bayle BJ , Johnson JT. editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology.
4th ed. Philadelphia: Lippincott Company 2006.
6. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern
District of Israel. Int Journal of Ped Otol 2009;73:1148-50.
7. Sterreyu. Peritonsillar Abscess. http://sterreyu.wordpress.com last up date
09/17/2010.
8. Jeffrey PS, Barton FB, David LM .Bilateral peritonsillar abscesses: case
report and literature review. American Journal of Otolaryngology–Head
and Neck Medicine and Surgery 27 (2006) 443– 445.
9. Sowerby LJ, Hussain Z, Husein M. The epidemiology, antibiotic
resistance and post-discharge course of peritonsillar abscesses in London,
Ontario. Journal of Otolaryngology - Head and Neck Surgery 2013, 42:5.
10. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar Abscess as a Cause of Transient
Velopharyngeal Insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal, July
1993;30:421-28.
11. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your
Usual Sore Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005;29.
12. Megalamani SB, Suria G. Changing Trends In Bacteriology of
Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008.
13. Repanos C, Mukherjee P. Role of Microbiological Studies in Management
of Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008.
14. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe
Trismus. Journal of Laryngol & Otol 2006.
15. Beriault M, Green J. Innovative Airway Management for Peritonsillar
Abscess. Cardiothoracic J Anesth 2006.
16. Su WY, Hsu WC. Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated
With Non Surgical Approach In Four Cases. Tsu Chi Med J 2006.
17. Kieff, Bhattacharyya. Selection of Antibiotic After Incision and Drainage
of Peritonsillar Abscesses. Otolaryngol Head Neck Surg.1999.
18. Braude DA, Shalit M. A Novel Approach to Enchance Visualization
During Drainage of Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency
Medicine 2007.