Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

ABSES PERITONSIL

OLEH:
Desra Aufar Alwafi, S. Ked
I 4061171010

DOSEN PEMBIMBING:
dr. Muslim M. AminSp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT DR. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
PROGRAM STUDI PROFESI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:


ABSES PERITONSIL SINISTRA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung & Tenggorokan

Telah disetujui,
Singkawang, 17 Oktober 2018

Pembimbing Disusun oleh:

dr. Muslim M. Amin, Sp. THT-KL Desra Aufar Alwafi, S. Ked


NIM. I 4061171010
BAB I
PENDAHULUAN

Abses peritonsil adalah keadaan yang paling umum terjadinya infeksi di


ruang leher dan merupakan komplikasi umum dari tonsilitis dengan gejala sisa
yang berpotensi untuk berulang. Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher
bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan
terbentuknya abses dan biasanya unilateral.
Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan
menunjukkan lokasi infeksi. Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran
organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan areolar yang
longgar disekitar faring yang biasa menyebabkan pembentukan abses, dimana
infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot
konstriktor faring
Abses peritonsil atau peritonsillar abscess (PTA) biasanya terjadi pada
sekitar 30 orang per 100.000 per tahun. Abses peritonsil unilateral adalah yang
paling sering dari komplikasi tonsilitis akut, namun dapat juga ditemukan
sebagian besar kasus abses peritonsil bilateral ditemukan ketika suatu abses
peritonsil kontralateral tak terduga ditemukan pada saat tonsilektomi bilateral.
Studi epidemiologis dari seluruh dunia telah melaporkan kejadian 10 hingga 37
per 100.000 orang. Peritonsillar yang tidak diobati atau tidak diobati dengan benar
dan mengalami infeksi dapat berkembang menjadi abses ruang parapharyngeal,
atau menyebabkan sepsis, obstruksi saluran napas, pseudoaneurisma karotis dan
bahkan kematian. Sebagian besar contoh abses peritonsil disebabkan oleh infeksi
polimikrobial, baik campuran dari bakteri aerobik dan organisme anaerobik.
Bakteri aerob yang paling umum adalah Streptococcus pyogenes dan
Streptococcus viridans, sedangkan Fusobacterium dan Bacteroides termasuk yang
paling umum anaerob.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga
macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak
didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1

Gambar 1. Cincin Waldeyer 2


Tonsil faringeal (adenoid) merupakan masa limfoid yang berlobus
dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada
tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen
terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus
ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun
dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi.1
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1

Gambar 2. Struktur tonsil6


Tonsila palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsilaris. Tiap tonsila
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang
berjalan ke dalam kripta tonsilaris yang berjumlah 6-20 kripte. Pada
bagian atas permukaan medial tonsila terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsila ditutupi selapis jaringan fibrosa yang
disebut capsula tonsila palatina, terletak berdekatan dengan tonsila
lingualis.1,2Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah
arcus palatoglossus di anterior, arcus palatopharyngeus di posterior,
palatum mole di superior, 1/3 posterior lidah di inferior, ruang orofaring di
medial, dan m. konstrictor faringeus superior di lateral.5,6
Tonsil palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil palatina terletak di lateral
orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu
jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).1
Tonsila palatina berada dalam fossa tonsilaris. Fossa tonsilaris
adalah sebuah resessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring
diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus
dibelakang.6 Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada
batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil
yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat dan
biasanya merupakan tempat nanah pecah keluar bila terjadi abses. Fossa
tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring,
dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan kapsul.1
Vaskularisasi

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil6

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina asenden, cabang


tonsillar dari arteri fasialis, arteri faring asendens dan arteri lingualis
dorsal. Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan
bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena
facialis.6
Aliran Kelenjar Getah Bening
Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi limfoid
profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus
mandibula6 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks
dan akhirnya menuju duktus torasikus. 2

Gambar 4. Aliran limfatik tonsil 6


Inervasi
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden nervus palatina. 6
Gambar 5. Inervasi Tonsil 6
Fungsi Tonsil
Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang
masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri,
dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau
non spesifik, apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel
fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi
antigen.8
Jaringan limfoid pada tonsil mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada
orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%,
sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik).
Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi
sel limfosit T dengan antigen spesifik.8,9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval
yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan
normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak
seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Lokasi tonsil
sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya
membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 8,9
2.2 Abses Peritonsil
A. Definisi
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang
diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara
m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil.6 Infeksi ini
menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil
merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan
komplikasi dari tonsilitis akut.7 Abses peritonsil merupakan infeksi
pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa.
Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan
berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis.8
B. Epidemiologi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi
pada bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur
10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-
anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang
signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-
kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan
hampir 45.000 kasus setiap tahun. (1)

C. Etiologi
Abses Peritonsillar biasanya mengikuti adanya tonsilitis akut
mungkin timbul tanpa riwayat sakit tenggorokan sebelumnya. Pertama,
salah satu dari kripta tonsillar yang terinfeksi. Ini membentuk abses
intratonsillar yang kemudian menyembur melalui kapsul tonsil untuk
diatur peritonsilitis dan kemudian abses. Nanah yang keluar dari abses
dapat menunjukkan adanya pertumbuhan murni bakteri Streptococcus
pyogenes, S. aureus atau organisme anaerob. Lebih sering pertumbuhan
dicampur, dengan aerobik dan anaerobik organisme.9
Dikutip dari Megalamani pemeriksaan kultur yang telah dilakukan
menumbuhkan populasi bakteri aerob dan anaerob sama banyaknya
dengan campuran flora yang melibatkan mikroorganisme gram negatif
dan gram positif. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri
menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak
infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus
grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah
diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.12 Dilaporkan hasil
pemeriksaan kultur kuman sebanyak 43 % ditemukan bakteri aerob,
31% bakteri anaerob, dan 23 % terdiri gabungan bakteri aerob dan
12
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium,
Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk
kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerobik dan anaerobik.(11) Sedangkan virus yang dapat
menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.
D. Patofisiologi
Abses peritonsil adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir
pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari
tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada
kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil
(umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan
ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil.10 Perluasan
infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Finkelstein10 mengatakan lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di
jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian
akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot
konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring
terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang
supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini
adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang
terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi
infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu
timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal,
akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk
pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.10,11
Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi
ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring
penerima (host) telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme
tersebut masuk menembus jaringan orofaring. Ketika bakteri menembus
jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme
pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit.
Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri,
tetapi bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab
inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui.12,13
E. Manifestasi Klinik
Abses Peritonsillar kebanyakan menyerang orang dewasa dan
jarang pada anak-anak meskipun tonsilitis akut lebih sering terjadi
pada anak-anak. Biasanya unilateral meskipun kadang-kadang
bilateral. Gambaran klinis adalah dibagi menjadi:1
1. Umum. Septikemia menunjukkan adanya infeksi akut, termasuk
demam, menggigil, malaise, nyeri, sakit kepala, mual dan sembelit.
2. Lokal. Nyeri hebat di tenggorokan, odynophagia ditandai bahwa
pasien tidak bisa bahkan menelan air liurnya sendiri, pasien biasanya
mengalami dehidrasi, bau di rongga mulut dan kebersihan yang
kurang. Trismus karena spasme otot pterygoide yang dekat dengan
konstriktor superior.
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke
arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3
sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis
berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan
yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi
dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan
kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi
seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot
potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat
membuka mulut.13
Seperti dikutip dari Finkelstein10, Ferguson mendefinisikan hot
potato voice merupakan suatu penebalan pada suara. Pada
pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua
tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka
yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila
terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan
obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik
penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan
pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di
saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada
daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil
atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri pada umumnya
tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh
mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan
terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses
peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran
pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis
dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak
cemas dan sangat ketakutan. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub
inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub
superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil
dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya
ditandai dengan kemerahan.11,13
F. Diagnosis
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat
dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala
klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada
daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan
diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti
dikutip dari Hanna15, Similarly Snow dkk berpendapat untuk
mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan
dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat
membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan
penatalaksanaan.16 Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar
dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula
terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai
dengan gejala klinisnya.10,14,16
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis,
terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan
tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat
mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat
digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran
sentral hypoechoic. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah
kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi
komputer.11

Gambar 2. CT Scan Abses Peritonsil


Gambar 3. Abses Peritonsil pada sisi kiri

Pemeriksaan Fisik
1. Amandel, pilar dan langit-langit lunak di sisi yang terlihat sesak dan
bengkak. Tonsil sendiri mungkin tidak membesar karena tertutup di
pilar edema.
2. Uvula bengkak dan edema dan didorong ke sisi yang berlawanan.
3. Menggembung dari langit-langit lunak dan pilar anterior di atas
amandel.
4. Mucopus dapat terlihat menutupi daerah tonsil.

Gambar 4. Skema Abses Peritonsilar


G. Tatalaksana
Fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan
komplikasi tersering dari tonsilitis akut, penatalaksanaan dari abses
peritonsil masih kontroversial. Penatalaksanaan yang umum dikenal
untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika,
diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian. Dikutip dari
Badran16 menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan
sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi
dengan teknik ini adalah 94-96%. Pada 54% kasus abses peritonsil,
penanganannya menggunakan teknik insisi dan drainase, 32%
digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum
jaman antibiotika dikenal pada akhir 1930-an dan awal 1940- an,
beberapa tipe pembedahan telah digunakan pada sebagian besar
infeksi abses peritonsil.16
Terapi antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis
tinggi disertai obat simptomatik, kumur-kumur dengan cairan hangat
dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan
otot).16,18 Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas,
pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang
lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama
kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam
dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan
kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya
reaksi koagulasi organisme.10,12 Penting untuk dicatat bahwa
memberikan antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil yang
dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan.18
Insisi dan drainase abses peritonsil merupakan suatu indikasi
tindakan yang juga disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan
ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir
secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah
paling berfluktuasi. Teknik insisi Pada penderita yang sadar, tindakan
dapat dilakukan dengan posisi duduk menggunakan anestesi lokal.
Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus
glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas
pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke
dalam fosa tonsil.18
Gambar 5. Teknik Insisi

Gambar 6. Lokasi Insisi


Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan
di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling
fluktuatif. Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang
dibuat antara dasar uvula dengan molar terakhir. Pada pertengahan
garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas pada
pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar
anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula
Pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah
dengan garis horizontal melalui basis uvula Insisi diperdalam dengan
klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat
penghisap. 19
Drainase dengan aspirasi jarum Model terapi abses peritonsil
yang digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang
kedua tonsilektomi.

Gambar 7. Tindakan Aspirasi Abses Peritonsil


Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling
berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak
ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya atau
bagian tengah tonsil.14,16 Tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil
adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada
penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan
pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak
terjadinya kekambuhan.14
Tonsilektomi pada abses peritonsil dapat dilakukan pada fase akut
ataupun fase tenang pasca drainase. Bila dilakukan bersaam dengan
drainase abses maka disebut tonsilektomi “a chaud” Bila dilakukan
tonsilektomi 3-4 hari setelah drainase abses maka dsebut tonsilektomi
“a tiede” Bila dilakkan tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase
abses maka disebut tonsilektomi “a froid”. Terapi antibiotika masih
tetap digunakan terutama untuk mengatasi perluasan yang mungkin
terjadi. Jenis-jenis antibiotika yang umum digunakan adalah penisilin,
metronidazol, sefalosporin dan klindamisin (bakteri penghasil beta
laktamase). Pada dasarnya penanganan abses peritonsil dengan rawat
jalan merupakan penatalaksanaan yang murah dan menyenangkan
pasien. Langkah-langkah konservatif di atas dapat menyembuhkan
peritonsilitis.

H. Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena
masukan makanan yang kurang. Pecahnya abses secara spontan
dengan aspirasi darah atau pus dapat menyebabkan pneumonitis atau
abses paru. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan penyebaran
infeksi ke ruang leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke
mediastinum dan dasar tengkorak. Infeksi abses peritonsil menyebar
ke arah parafaring menyusuri selubung karotis kemudian membentuk
ruang infeksi yang luas. Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat
menyebabkan terjadinya abses parafaring, penjalaran selanjutnya
dapat masuk ke mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.
Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruangruang faringomaksilaris dalam
komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase dari luar
melalui segitiga submandibular. Bila terjadi penjalaran ke daerah
intrakranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,
meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani
dengan baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal.
Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan,
bila tidak dilakukan pengobatan abses peritonsil dengan segera maka
dapat menyebabkan komplikasi antara lain limfadenitis servikal,
infeksi parafaring dan perdarahan, edema laring, abses leher dalam,
dan jarang terjadi seperti fascitis nekrotik servikal, dan mediastinitis.
BAB III
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. B
Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Dusun sutra tmerampai tebas
Tanggal Masuk : 22 September 2018
B. Anamnesis
Pasien datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit dr. Abdul Aziz
Singkawang pada tanggal, 22 September 2018 dengan keluhan nyeri menelan
dan sulit membuka mulut.
1. Keluhan Utama
Nyeri menelan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan dirasakan sudah kurang
lebih 8 hari SMRS nyeri dirasakan semakin kuat saat menelan pasien
merasakan ada sesuatu yang mengganjal ditenggorkannya, pasien juga
mengeluhkan nyeri saat membuka mulutnya dan mencium nafasnya
berbau. 3 hari SMRS pasien mengatakan bahwa badannya terasa demam
dan mengkonsumsi obat penurn panas, batuk (-), pilek (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menderita penyakit hipertensi dan diabetes namun jarang
melakukan pemeriksaan, dan tidak rutin mengkonsumsi obat.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga di dekat pasien yang memiliki keluhan
sama seperti yang dialami pasien. Riwayat asma dan alergi disangkal.
Riwayat penyakit menular pada keluarga disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengatakan sering mengkonsumsi makanan yang pedas,
pasien tidak merokok, namun keluarga pasien yang tinggal serumah
dengan pasien merupakan perokok aktip
C. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Tampak sakit
2) Kesadaran : Compos Mentis
3) Tanda Vital
Nadi : 98x/menit
Respirasi : 20x/menit
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Suhu : 36,9oC
4) Kepala : Normocephali
5) Telinga : Tidak dilakukan
6) Hidung : Tidak dilakukan
7) Tenggorokan:
 Arcus Faring : Simetris
 Uvula : Terdorong ke kanan
 Uk. Tonsil : T1/T3, hiperemis
 Dind. Faring Post.: Hiperemis
 Tonsil Lingual : Normal
8) Thoraks : Tidak Dilakukan
9) Abdomen : Tidak Dilakukan
10) Ekstremitas : Akral Hangat, edema (-)
11) Kelenjar Getah Bening : Tidak didapatkan pembesaran
12) Hasil Laboratorium Darah:
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Hemoglobin 11,3 g/dl 11,7 – 15,5 g/dl Normal
Leukosit 13 3.800/ul – Tinggi
.700/ul 10.600/ul
Trombosit 240.000/ul 150.000 – Normal
440.000/ul
Hematokrit 33,1% 40% - 52% Normal
Eritrosit 3,10x106/ul 4,4 x106/ul – 5,9 Normal
x106/ul

13) Follow Up Pasien:


a. 23 September 2018:
S: Pasien mengeluhkan nyeri menelan, terdapat benjolan dileher,
sulit membuka mulut, nafas berbau.
O: Kesadaran: Compos Mentis
TD : 140/90 mmHG
HR: 81x/menit
RR: 20x/menit
Suhu : 36,80C
Tenggorokan:
Arcus Faring : Simetris
Uvula : Ditengah
Ukuran Tonsil : T1/T3, hiperemis
Dinding Faring Posterior : Hiperemis
Tonsil Lingual : Normal
A: Abses Peritonsil
DM tipe II
P: tatalaksana sebagai berikut:
 IVFD Futrolit 18 tpm
 Injeksi Clanexi 1g/12 jam
 Injeksi Omeprazole 1 vial/8 jam
 Inj Novorapid 8IU/8 jam
 Metformin 500mg/8jam

b. 24 September 2018
S: Pasien mengeluhkan nyeri menelan berkurang, terdapat benjolan
dileher, sulit membuka mulut, nafas masih berbau
O: Kesadaran: Compos Mentis
Tenggorokan:
Arcus Faring : Simetris
Uvula : Ditengah
Ukuan Tonsil : T1/T3, hiperemis
Dinding Faring Posterior : Hiperemis
Tonsil Lingual : Normal
A: Abses Peritonsil
DM tipe II
Hipertensi stage II
P: tatalaksana sebagai berikut:
 IVFD Futrolit 18 tpm
 Injeksi Clanexi 1g/12 jam
 Injeksi Omeprazole 1 vial/8 jam
 Inj Novorapid 8IU/8 jam
 Metformin 500mg/8jam
 Candesartan 1x8mg
 Hidroclorotiazid 1x100mg

c. 25 September 2018 dilakkan tindakan incisi dan drainase


abses+tonsilektomi
d. 26 September 2018
S: Pasien mengeluhkan nyeri menelan berkurang, dapat membuka
mulut secara perlahan
O: Kesadaran: Compos Mentis
Tenggorokan:
Arcus Faring : Simetris
Uvula : Ditengah
Ukuan Tonsil : T1/T0
Dinding Faring Posterior : Normal
Tonsil Lingual : Normal
A: Post OP incisi dan drainase abses peritonsil
DM Tipe 2
Hipertensi stage II
P: tatalaksana sebagai berikut:
 IVFD Futrolit 18 tpm
 Injeksi Clanexi 1g/12 jam
 Injeksi As.Tranexamat 500mg/12jam
 Injeksi Omeprazole 1 vial/8 jam
 Inj Novorapid 8IU/8 jam
 Metformin 500mg/8jam
 Candesartan 1x8mg
 Hidroclorotiazid 1x100mg

e. 27 September 2018 pasien dapat rawat jalan dengan terapi pulang


dari bagian THT
 Clanexi syr 3x1 C
 Ibuprofen syr 3x1 C
 Sanvita B syr 1x1 C
 Hexadol Gargle 3x1
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dibawa oleh keluarga ke IGD RS. Dr. Abdul Aziz
Singkawang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan disertai nyeri saat menelan
dan kesulitan saat membuka mulut. Dalam terjadinya infeksi pada daerah leher hal
yang harus diperhatikan yaitu menjaga jalan napas agar tetap berfungsi dengan
baik kemudian dapat diberikan antibiotik sebagai terapi awal. Pemeriksaan
laboratorium darah, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Setelah dirawat pasien diberikan terapi berupa infus futrolit 18 tpm untuk
mengatasi dan mencegah agar tidak terjadi dehidrasi, pasien juga diberikan
antibiotik injeksi berupa Clanexi 1g/12 jam yang meruakan golongan pensilin dan
drug of choice, adanya pertumbuhan murni bakteri Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus. aureus atau organisme anaerob lainnya dan lebih sering
ditemukan bakteri gram positif dan gram negatif.9
Pasien juga mengeluhkan leher yang terasa nyeri dan sulit menelan hal ini
sesuai dengan gejala dan tanda klinis pada kasus-kasus abses peritonsil, sehingga
pasien diberikan injeksi Deksketoprofen 1 amp/8 jam yang merupakan analgesik
untuk meredahkan nyeri. Pada pemeriksaan fisik tenggorokan terdapat
pembesaran ukuran tonsil T1-T3 pada tonsil, ada pembengkakan unilateral. Pasien
juga memeiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus yang tidak terkontrol dan
menadaptkan terapi dari bidang penyakit dalam berupa insulin short acting
novorapid 8IU/8jam dan obat antihipertensi Hidroclorotiazid 100mg/hari dan
Candesartan 8mg/hari. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan
membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Timbul
pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi
yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di
belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan
11,13
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pasien dilakuka
tindakan incisi dan drainase abses dan sekaligus dilakukan tindakan tonsilektomi
untuk mencegah abses dan infeksi yang berulang, teknik ini dinamakan tonsilek
tomi “a chaud”. Tonsilektomi pada abses peritonsil dapat dilakukan pada fase akut
ataupun fase tenang pasca drainase. Bila dilakukan bersaam dengan drainase abses
maka disebut tonsilektomi “a chaud” Bila dilakukan tonsilektomi 3-4 hari setelah
drainase abses maka dsebut tonsilektomi “a tiede” Bila dilakkan tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drainase abses maka disebut tonsilektomi “a froid”. Terapi
antibiotika masih tetap digunakan terutama untuk mengatasi perluasan yang
mungkin terjadi. Jenis-jenis antibiotika yang umum digunakan adalah penisilin,
metronidazol, sefalosporin dan klindamisin (bakteri penghasil beta laktamase).
BAB V
KESIMPULAN

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring
dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada
kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses peritonsil merupakan infeksi
pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Gejala klinis dapat
berupa nyeri yang terlokalisir, demam, hipersalivasi dan trismus. Komplikasi
abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring,
mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke dan obstruksi jalan nafas.
Drainase melalui pembedahan masih merupakan terapi pilihan. Perawatan
penderita pasca drainase yang dilanjutkan tonsilektomi dengan interval
tonsilektomi juga merupakan tindakan pilihan. Tujuan tindakan drainase adalah
untuk mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir. Drainase
menggunakan teknik aspirasi selain untuk mendiagnosis abses peritonsil juga
dapat mengurangi rasa sakit dan sebagai terapi pilihan dengan bantuan antibiotika.
Tindakan insisi / aspirasi dan drainase dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau
umum. Tonsilektomi pada abses peritonsil dapat dilakukan pada fase akut ataupun
fase tenang pasca drainase. Terapi antibiotika masih tetap digunakan terutama
untuk mengatasi perluasan yang mungkin terjadi. Jenis-jenis antibiotika yang
umum digunakan adalah penisilin, metronidazol, sefalosporin dan klindamisin
(bakteri penghasil beta laktamase).
DAFTAR PUSTAKA

1. Dhingra PL, Shruti D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head & Neck
Surgery. 6th Edition. Elsevier: India Private Limited. 2014.
2. Ellis H, editor. Clinical Anatomy. 11th ed. Australia: 2006.
3. Scott BA, Stiernberg CM. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In:
Bayle BJ. editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed.
Philadelphia: 2001.
4. Weed H.G, Forest LA. Deep Neck Infection. In: Cummings CW. editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia:
Pennsylvania; 2005.
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In:
Bayle BJ , Johnson JT. editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology.
4th ed. Philadelphia: Lippincott Company 2006.
6. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern
District of Israel. Int Journal of Ped Otol 2009;73:1148-50.
7. Sterreyu. Peritonsillar Abscess. http://sterreyu.wordpress.com last up date
09/17/2010.
8. Jeffrey PS, Barton FB, David LM .Bilateral peritonsillar abscesses: case
report and literature review. American Journal of Otolaryngology–Head
and Neck Medicine and Surgery 27 (2006) 443– 445.
9. Sowerby LJ, Hussain Z, Husein M. The epidemiology, antibiotic
resistance and post-discharge course of peritonsillar abscesses in London,
Ontario. Journal of Otolaryngology - Head and Neck Surgery 2013, 42:5.
10. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar Abscess as a Cause of Transient
Velopharyngeal Insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal, July
1993;30:421-28.
11. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your
Usual Sore Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005;29.
12. Megalamani SB, Suria G. Changing Trends In Bacteriology of
Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008.
13. Repanos C, Mukherjee P. Role of Microbiological Studies in Management
of Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008.
14. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe
Trismus. Journal of Laryngol & Otol 2006.
15. Beriault M, Green J. Innovative Airway Management for Peritonsillar
Abscess. Cardiothoracic J Anesth 2006.
16. Su WY, Hsu WC. Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated
With Non Surgical Approach In Four Cases. Tsu Chi Med J 2006.
17. Kieff, Bhattacharyya. Selection of Antibiotic After Incision and Drainage
of Peritonsillar Abscesses. Otolaryngol Head Neck Surg.1999.
18. Braude DA, Shalit M. A Novel Approach to Enchance Visualization
During Drainage of Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency
Medicine 2007.

Anda mungkin juga menyukai