Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah suatu kondisi yang reversibel akibat induksi


obat anestesi, dengan ciri-ciri perilaku dan fisiologi tertentu seperti tidak
sadarkan diri, amnesia, analgesia, dan akinesia dengan stabilitas dari
sistem pernafasan, kardiovaskular, dan termoregulasi. Anestesi umum
menghasilkan pola tertentu pada EEG yang paling umum adalah
peningkatan progesif dari frekuensi rendah, aktivitas amplitudo tinggi
tergantung pada level anastesi umum (New English Journal, 2010)
Anestesi umum dapat diberikan secara intravena dan inhalasi agar
dapat menghasilkan akses yang adekuat. Anestesi umum merupakan
suatu cara yang aman untuk menjadi keadaan pasien agar tetap tidur dan
bebas nyeri selama prosedur yang dapat mengakibatkan rasa nyeri yang
mendalam, memerlukan waktu yang lama, mempengaruhi kemampuan
untuk bernafas, membuat pasien merasa tidak nyaman dan menyebabkan
kecemasan. (MedlinePlus, 2013)
Keuntungan anestesi umum antara lain menurunkan kesadaran
pasien selama pembedahan, menimbulkan relaksasi otot dalam jangka
waktu yang lama, mempermudah pengontrolan ABC, dapat
diadministrasikan tanpa perlu memindahkan pasien ke posisi supinasi,
prosedurnya mudah, dapat diadministrasikan dengan cepat dan bersifat
reversibel (Medscape, 2015).
Selain itu anestesi umum memiliki kerugian seperti membutuhkan
perhatian lebih dan harga yang lebih mahal, memerlukan persiapan pre-
operasi yang lebih rumit, dapat mempengaruhi fisiologis tubuh yang
memerlukan intervensi aktif, dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
serius seperti mual, muntah, nyeri tenggorokan, sakit kepala, menggigil,
dan kembalinya fungsi mental memerlukan waktu yang lebih lama.
(Medscape, 2015).
Anestesi umum secara umum aman digunakan pada orang yang
sehat. Orang yang memiliki resiko terhadap anestesi umum antara lain

1
penyalahguna alkohol dan obat-obatan, riwayat keluarga alergi terhadap
obat, perokok, dan orang dengan kelainan pada jantung atau paru atau
ginjal. Prognosis dari anestesi umum biasanya aman karena peralatan
dan obat yang modern serta standar keselamatan yang baik. Sebagian
besar pasien mengalami proses pemulihan yang baik dan tanpa
komplikasi. (MedlinePlus, 2013)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anestesi umum (General Anaesthesia/ GA) adalah suatu
keadaan pada pasien yang telah mendapat obat-obatan untuk
amnesia, analgesia, pelumpuh otot, dan sedasi. Anestesi umum
menggunakan agen intravena dan inhalasi agar menimbulkan akses
pembedahan yang adekuat (Medscape, 2015).

2.2 Obat Anestesi Inhalasi


Sifat
Sifat agen anestesi inhalasi yang ideal (Aitkenhead, 1996):
 Bau yang tidak mengganggu, bersifat non iritan terhadap
saluran napas, dan induksi anestesi cepat
 Menyebabkan depresi minimal sistem kardiovaskular dan
respirasi dan tidak berinteraksi dengan obat-obatan lain
yang biasanya digunakan selama anestesi, misal agen
pressor atau katekolamin
 Tidak dimetabolisme di tubuh, tidak toksik, dan tidak
menimbulkan reaksi alergi
 Secara kimiawi stabil dalam penyimpanan dan tidak
berinteraksi dengan materi anestesi atau soda lime
 Tidak mudah terbakar atau meledak
 Mampu menyebabkan kondisi tidak sadar dengan
analgesik dan pelemas otot
 Tidak menggangu penggunaan oksigen inspirasi
konsentrasi tinggi ketika diperlukan
 Inert komplit dan dieliminasi sepenuhnya secara cepat
melalui paru

3
 Kelarutan dalam darah dan udara rendah sehingga
induksi dan pemulihan dari anestesi cepat

2.2.1 Agen yang rutin digunakan


A. Enflurane
Sifat fisik
Enflurane baunya tidak menggangu pernapasan bersifat
jernih, tak berwarna, mudah menguap, tidak mudah terbakar, stabil
dengan soda lime dan metal, dan tidak membutuhkan pengawet
(Aitkenhead, 1996).

Uptake dan distribusi


Kelarutan enflurane dengan koefisien 1,9 dalam darah dan
udara tergolong rendah. Induksi anestesi dan pemulihannya
berlangsung cepat (Aitkenhead, 1996).

Metabolisme
Sekitar 2,5% dari dosis yang terabsorbsi dimetabolisme,
kebanyakan menjadi fluoride. Penggunaan bersama dengan
golongan eter lain (dietil eter dan isoflurane) menguatkan kestabilan
molekul ikatan eter. Defluorinasi enflurane meningkat pada pasien
yang diterapi dengan isoniazid. Konsentrasi serum ion fluoride lebih
besar setelah administrasi pada pasien obesitas (Aitkenhead,
1996).
Farmakologi :
 Sistem respirasi : Tidak mengiritasi sistem
pernapasan dan tidak meningkatkan sekresi saliva
dan bronkus (Aitkenhead, 1996).

 Sistem kardiovaskular : Enflurane dapat


menyebabkan penurunan cardiac output akibat
depresi kontraktilitas myocard. Tidak seperti halotan,

4
enflurane tidak memiliki efek vagal sentral sehingga
hipotensi menyebabkan takikardi. Insiden aritmia lebih
sedikit dibanding pada halotan dan lebih sedikit
sensitisasi myocardium pada katekolamin
(Aitkenhead, 1996).

 Uterus : Enflurane merelaksasi otot uterus tergantung


pada dosis yang diberikan (Aitkenhead, 1996).

 Sistem saraf pusat : Enflurane menyebabkan depresi


aktivitas EEG, namun pada dosis sedang sampai
tinggi (lebih dari 3%) menyebabkan aktivitas spike
paroxysmal epileptiform dan supresi burst. Hal ini
diperberat oleh hypocapnia. Enflurane harus dihindari
pada pasien epilepsi (Aitkenhead, 1996).

 Relaksasi otot B : Enflurane menyebabkan relaksasi


otot melalui blok neuromuscular non depolarisasi
(Aitkenhead, 1996).

Keuntungan Kerugian
1. Induksi dan pemulihan 1. Aktivitas kejang pada EEG
cepat
2. Biotransformasi dalam
jumlah sedikit dan resiko
disfungsi hepar lebih kecil
3. Relaksasi otot
4. Rendahnya insiden aritmia,
bahkan pada keadaan
tingginya konsentrasi
katekolamin sirkulasi

5
B. Halotan
Properti fisik
Cairan dengan bau yang tidak mengganggu pernapasan dan
tidak berwarna. Halotan didekomposisi oleh cahaya.
Penambahan thymol 0,01% dan penyimpanan dalam botol
berwarna amber menjaganya tetap stabil. Halotan
terdekomposisi dengan soda lime yang dapat digunakan dengan
aman dengan campuran tersebut. Campuran tersebut bersifat
korosif terhadap metal dan sistem pernapasan. Pada keadaan
lembab, bersifat korosif terhadap aluminium, tin, timbal,
magnesium, dan logam. Penyimpanannya harus dalam kontainer
tertutup jauh dari cahaya dan panas (Aitkenhead, 1996).

Uptake dan distribusi


Kelarutan dalam darah dan udara rendah dengan koefisien
2,5 dan induksi anestesi relatif cepat. Membutuhkan waktu
sedikitnya 30 menit untuk konsentrasi inspirasi alveolar mencapai
50% dari konsentrasi inspirasi. Ini lebih lambat dibanding enflurane
atau isoflurane (Aitkenhead, 1996).

Metabolisme
Metabolisme halotan di hepar sekitar 20%, biasanya melalui
jalur oksidatif yang hasil akhirnya diekskresi lewat urine. Sejumlah
kecil halotan mungkin mengalami reduksi, khususnya pada
keadaan hipoksemia dan ketika enzim mikrosom hepar distimulasi
oleh agen yang menginduksi enzim seperti phenobarbitone.
Metabolisme reduktif menyebabkan pembentukan metabolit reaktif
dan fluoride, namun tidak sampai menyebabkan disfungsi renal
(Aitkenhead, 1996).
Farmakologi :

6
 Sistem respirasi : Tidak mengganggu pernapasan dan
bersifat non iritan selama induksi anestesi. Secara cepat
refleks faring dan laring dapat menghilang dan terjadi
penghambatan sekresi saliva dan bronkus. Pada individu
tanpa premedikasi, halotan terkait dengan peningkatan
tingkat ventilasi dan penurunan volume tidal. PaCO2
meningkat ketika anestesi halotan semakin dalam
(Aitkenhead, 1996).
Dalam beberapa jam halotan menyebabkan penurunan
fungsi mukosiliar setelah anestesi, sehingga menyebabkan
retensi sputum postoperative. Halotan bersifat antagonis
terhadap bronkospasme dan menurunkan resistensi jalan
napas dengan mekanisme inhibisi pusat refleks
bronkokonstriksi dan relaksasi otot polos bronkus
(Aitkenhead, 1996).

 Sistem kardiovaskular : Halotan memiliki potensi


menyebabkan depresi kontraktilitas myocard dan aktivitas
metabolik myocard, yang dapat menyebabkan terhambatnya
uptake glukosa oleh sel-sel myocard. Efek hipotensi dapat
terjadi terkait dengan penurunan denyut jantung. Untuk
mengatasi bradikardi, dapat diberikan atropin untuk
meningkatkan tekanan arteri. Penurunan kontraksi myocard
menyebabkan penurunan permintaan oksigen myocard dan
aliran darah koroner, sehingga dapat menguntungkan bagi
pasien dengan penyakit jantung koroner (Aitkenhead, 1996).
Aritmia sering terjadi pada anestesi menggunakan halotan
dan jauh lebih sering dibanding pada penggunaan enflurane
atau isoflurane

 Sistem pencernaan : Motilitas dihambat. Mual dan muntah


postoperative jarang menjadi parah (Aitkenhead, 1996).

7
 Uterus : Halotan merelaksasi otot uterus dan dapat
menyebabkan perdarahan postpartum (Aitkenhead, 1996).

 Otot skeletal : Dapat menyebabkan relaksasi otot skeletal


dan berpotensi sebagai pelemas otot non depolarisasi.
Menggigil sering terjadi, sehingga terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen dan berujung pada hipoksemia jika
oksigen tidak diadministrasikan (Aitkenhead, 1996).

Halotan terkait disfungsi hepar


Ada 2 tipe disfungsi yang terjadi setelah anestesi halotan :
 Tipe 1 bersifat ringan dan terdapat perubahan pada tes fungsi
liver. Bersifat sementara dan membaik dalam beberapa hari.
Peningkatan konsentrasi glutation transferase dapat terjadi.
 Tipe 2 sangat jarang dan tampak gambaran jaundice yang
parah yang dapat berkembang menjadi nekrosis hepar fulminan.
Mortalitas cukup tinggi antara 30-70% (Aitkenhead, 1996).

Keuntungan Kerugian

1. Induksi cepat 1. Analgesik yg buruk


2. Stimulasi minimal sekresi 2. Aritmia
saliva dan bronkial; 3. Menggigil postoperasi
administrasi awal atropin 4. Kemungkinan toksisitas
tidak diperlukan hepar, khususnya
3. Bronkodilatasi dengan administrasi
4. Relaksasi otot berulang
5. Pemulihan relatif cepat

8
C. Isoflurane
Sifat fisik
Tidak berwarna, mudah menguap dengan bau yang sedikit
tajam, stabil, tidak bereaksi dengan metal atau substansi lain, tidak
membutuhkan bahan pengawet, dan tidak mudah terbakar pada
konsentrasi klinis (Aitkenhead, 1996).

Uptake dan distribusi


Tekanan parsial alveolar (atau arteri) isoflurane meningkat
hingga 50% dari tekanan parsial inspirasi dalam 4-8 menit dan
hingga 60% dalam 15 menit. Insiden batuk dan tahan napas pada
induksi lebih besar dibanding halotan (Aitkenhead, 1996).

Metabolisme
Sekitar 0,17% dosis yang terabsorbsi dimetabolisme.
Kebanyakan metabolsme yang terjadi adalah oksidasi
menghasilkan diflurometanol dan asam trifluroasetat (Aitkenhead,
1996).
Farmakologi :
 Sistem respirasi : Seperti halotan dan enflurane, isoflurane
menyebabkan depresi ventilasi, penurunan volume tidal,
akan tetapi terjadi peningkatan ventilasi pada keadaan tidak
adanya obat opioid (Aitkenhead, 1996).

 Sistem kardiovaskular : Pada penggunaan klinis, isoflurane


menyebabkan depresi cardiac output namun lebih sedikit
efeknya dibanding halotan atau enflurane. Hipotensi sistemik
terjadi sebagai hasil penurunan resistensi vaskular sistemik.
Aritmia jarang terjadi. Vasodilatasi koroner sebagai akibat
dari dilatasi arteriol sistemik, sehingga ada kemungkinan
coronary steal syndrome dapat terjadi. Iskemia myocard
dapat terjadi dikarenakan vasodilatasi koroner, takikardi,

9
hipotensi, peningkatan tekanan diastolik akhir pada ventrikel
kiri, dan penurunan pengisian ventrikel (Aitkenhead, 1996).

 Uterus : Merelaksasi otot uterus (Aitkenhead, 1996).

 Sistem saraf pusat : Konsentrasi rendah tidak


menyebabkan perubahan pada aliran darah otak pada
keadaan normocapnia. Konsentrasi inspirasi yang tinggi
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
otak (Aitkenhead, 1996).

 Relaksasi otot : Isoflurane menyebabkan penurunan


transmisi neuromuscular melalui blok neuromuscular non
depolarisasi (Aitkenhead, 1996).

Keuntungan Kerugian
1. Induksi dan pemulihan 1. Bau yang agak tajam
cepat menyebabkan induksi
2. Biotransformasi minimal melalui inhalasi kurang
dengan resiko rendah menyenangkan,
toksisitas hepar atau renal khususnya pada anak-
3. Stabilitas kardiovaskular anak sehingga
4. Relaksasi otot menghambat tingkat
induksi anestesi.
2. Vasodilatasi koroner
dengan kemungkinan
coronary steal syndrome
pada konsentrasi inspirasi
tinggi

10
D. Perbandingan dari halotan, enfluran dan isofluran

Farmakokinetik

Rata-rata keseimbangan alveolar pada saat inspirasi


konsetrasinya berkaitan dengan darah dan kelarutan gas. Rata-rata
kelarutan isofluran lebih cepat daripada enfluran ,dan sangat cepat
dibandingkan halotan, Meskipun jauh lebih lambat dibandingkan
nitrous oxide. Bagaimanapun tingkat induksi anestesi dengan
isofluran akan tereduksi karena bau yang tajam dibandingkan bau
yang nyaman pada halotan dan enfluran (Aitkenhead, 1996).

Pada saat pemulihan dari anestesi tingkat eliminasi dari


isofluran lebih cepat dibandingkan halotan atau enfluran
(Aitkenhead, 1996).

Sistem Respirasi

Enfluran menyebabkan depresi ventilasi lebih besar


dibanding halotan dan isofluran (Aitkenhead, 1996).

System kardiovaskular
Enfluran menyebabkan penurunan cadiac output paling
besar, sedangkan isofluran hanya menyebabkan sedikit penurunan
cardiac output. Pada keadaan normocapnea, isofluran
menyebabkan vasodilatasi perifer terbesar. Sesuai urutanya dalam
menyebabkan hipotensi adalah enfluran>isofluran>halotan
(Aitkenhead, 1996).

Aritmia
Aritmia biasa terjadi pada pemberian halotan dan tidak pada
enfuran maupun isofluran. Setelah pemberian eksogen adrenalin,
kestabilan irama jantung pada pasien dengan anestesi isofluran

11
lebih baik, sedikit kurang baik dengan enfluran dan kurang baik
pada halotan (Aitkenhead, 1996).

Neuromuscular junction

Ketiganya sama-sama menyebabkan relaksasi otot non


depolarisasi,namun isofluran dan enfluran berpotensi lebih besar
menyebabkan relaksasi disbanding halotan (Aitkenhead, 1996).

E. Sevofluran

Sifat fisik
Sevofluran memiliki bau yang tidak mengganggu
pernapasan dan tidak mudah terbakar, dengan koefisien parsial
darah/ udara sebesar 0.6, koefisien dalam minyak 55 dan nilai MAC
sekitar 2%. Disimpan dalam botol berwarna amber dan bersifat
stabil. Pada keadaan dimana terdapat air, sevofluran mengalami
hidrolisis dan reaksi ini juga terjadi dengan soda lime, sehingga ada
pendapat mengatakan bahwa sevofluran tidak boleh digunakan
dalam sirkuit tertutup atau system aliran lambat mengandung soda
lime (Aitkenhead, 1996).

Uptake dan distribusi


Sevofluran memiliki koefisien parsial darah yang rendah,
sehingga tingkat tercapainya keseimbangan antara konsentrasi
alveolar dan inspirasi lebih cepat dibandingkan halotan atau
enfluran. Tidak mengiritasi saluran napas dan induksi anestesi lebih
cepat disbanding agen anestesi lain, tingkat pemulihan lebih lama
(Aitkenhead, 1996).

Metabolisme
Sekitar 3% dari dosis yang terabsorbsi dimetabolisme
melalui defluorinisasi di liver. Konsentrasi puncak rata- rata ion

12
fluoride setelah 60 menit pada 1 MAC adalah 22 mmol/L, dimana
lebih tinggi disbanding isofluran (Aitkenhead, 1996).

Farmakologi :
 Sistem Respirasi : Tidak mengiritasi saluran napas bagian
atas dan tetap dapat menyebabkan depresi napas
(Aitkenhead, 1996).

 Sistem kardiovaskular : Sevofluran hampir sama dengan


isofluran yang hanya memiliki sedikit efek pada jantung
(Aitkenhead, 1996).

 CNS : Sama halnya dengan halotan dan isofluran yang


mana tidak ada yang menandakan adanya penyebab
eksitasi pada EEG (Aitkenhead, 1996).

F. Desfluran

Obat ini pertama kali digunakan pada 1988 dan tersedia


untuk dokter umum pada United Kingdom, strukturnya berbeda
dengan isofluran (Aitkenhead, 1996).

Metabolisme
Terdapat sangat sedikit defluorinasi pada desfluran setelah
setelah prolonged anestesi, yang mana terdapat sedikit
peningkatan serum dan urin trifluorocetic acid level (Aitkenhead,
1996).

Farmakologi :
 Sistem Respirasi : Desfluran menyebabkan depresi
respirasi yang derajatnya hampir sama dengan isofluran,

13
dan dapat mengiritasi saluran napas, maka dari itu tidak
disarankan untuk induksi gas anestesi (Aitkenhead, 1996).
 CVS : Obat ini tidak menimbulkan efek pada jantung sama
halnya dengan isofluran (Aitkenhead, 1996).

2.3 Obat Anestesi Intravena


Anestesi intravena selain untuk induksi dapat juga digunakan
untuk rumatan anestesia, tambahan pada anestesia regional atau
untuk membantu prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamin,
dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya
menggunakan propofol (Latief, 2010).

2.3.1 Sifat
Sifat ideal agen anestesi intravena adalah:
1. Onset cepat. Hal ini dicapai oleh agen yang utamanya
tidak terionisasi pada pH darah dan yang sangat larut
dalam lemak; sifat ini menyebabkan penetrasi ke blood
brain barrier.
2. Pemulihan cepat. Pulih sadar yang lebih awal biasanya
ditimbulkan oleh redistribusi cepat obat dari otak ke
jaringan lain yang memiliki perfusi baik, terutama otot.
Konsentrasi plasma obat menurun, dan obat dapat
berdifusi ke luar dari otak sepanjang gradien konsentrasi.
Kualitas lamanya pemulihan lebih berhubungan dengan
kecepatan metabolisme obat; obat-obat dengan
metabolisme lambat diasosiasikan dengan “prolonged
hangover” dan akan terakumulasi bila digunakan dalam
dosis berulang atau infus untuk rumatan anestesi.
3. Analgesia pada konsentrasi subanestesi
4. Depresi kardiovaskular dan respirasi yang minimal
5. Tidak memiliki efek emetik

14
6. Tidak memiliki efek eksitatorik (batuk, cegukan, gerakan
involunter) saat induksi
7. Tidak memiliki emergence phenomena (mimpi buruk)
8. Tidak berinteraksi dengan neuromuscular blocking drugs
9. Tidak nyeri saat diinjeksi
10. Tidak menimbulkan venous sequelae

Namun, tak satupun agen yang tersedia memenuhi semua kriteria


ini (Aitkenhead, 1996).

Tabel 2.2: Sifat Khusus Anestesia Intravena


Thiopentone Methotexitone Propofol Ketamine Etomidate
Sifat Fisik
Larut air + + - + +
Stabil dalam
- - + + +
larutan
Long shelf-
- - + + +
life
Nyeri saat
- + ++ - ++
injeksi iv
Non-irritan
pada injeksi - ± + +
s.c
Nyeri pada
+ + -
injeksi arteri
Tidak ada
sequel
- ± +
akibat injeksi
intrarteri
Insiden DVT
+ + - + -
rendah
Efek pada tubuh
Onset cepat + + + - +
Pemulihan disebabkan:
Redistribusi + + + +
Detoksifikasi + +
Kumulasi ++ - - - -
Induksi:
Efek
- ++ + + +++
eksitatori
Komplikasi
- + + - -
respiratori
CVS:
+ + ++ - +
hipotensi
Analgesic - - - ++ -
Antalgesic + + - - ?

15
Interaksi
dengan - - - - -
relaksan
Muntah
- - - ++ +
post-operasi
Delirium
- - - ++ -
berat
Aman dari
kejadian - - + + -
porfiria
Sumber: Aitkenhead, 1996, p. 140

2.3.2 Macam
A. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) merupakan derivat fenol
yang sangat larut lemak namun hampir tidak larut dalam air.
Dahulu, propofol diformulasikan dalam Chremophor EL.
Namun, sejumlah obat lain yang diformulasikan dengan zat
pelarut ini berhubungan dengan pelepasan histamin dan
tingginya angka kejadian reaksi anafilaktoid, dan reaksi
yang sama terjadi pada formula propofol. Sehingga,
propofol diformulasikan ulang dalam emulsi lemak
berwarna putih susu putih yang mengandung minyak
kedelai (soya bean oil) dan fosfatid telur yang dimurnikan
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg)
(Latief, 2010).
Propofol dimetabolisme hepar dan metabolitnya
dieksresikan melalui ginjal (terutama glukoronida); 0,3%
propofol dieksresikan tanpa mengalami perubahan. Waktu
paruh propofol sekitar 3-4,8 jam (Aitkenhead, 1996).

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan


untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran
propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula

16
dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita
hamil tidak dianjurkan (Latief, 2010).
Farmakologi:
1. CNS: anestesia diinduksi dalam 20-40 detik
setelah administrasi i.v. transfer dari darah ke otak
lebih lambat dibandingkan dengan tiopenton, reflex
bulu mata yang terlambat, yang normalnya
digunakan sebagai tanda penurunan kesadaran
setelah pemberian agen anestesi barbiturate.
Overdosis propofol ditandai dengan hilangnya
kontak verbal. Frekuensi EEG menurun dan
amplitude meningkat. Propofol dilaporkan dapat
menimbulkan kejang sehingga pemberiannya perlu
diawasi pada pasien epilepsi. Biasanya, kecepatan
metabolisme otak, CBF, dan TIK menurun.
Pemulihan kesadaran cepat dan menimbulkan
efek “hangover” yang minimal setelah periode post
anestesi (Aitkenhead, 1996).
2. CVS: tekanan arterial menurun disebabkan oleh
vasodilatasi (Aitkenhead, 1996).
3. Respirasi: setelah induksi, apnea terjadi lebih
sering, dan pada durasi yang lebih lama daripada
tiopenton. Selama pemberian infuse propofol,
volume tidal lebih rendah dan RR lebih cepat
dibandingkan pada saat sadar. Terdapat
penurunan respon ventilasi terhadap
karbondioksida (Aitkenhead, 1996).
4. Otot skelet: penurunan tonus (Aitkenhead, 1996).
5. GIT: tidak ada efek (Aitkenhead, 1996).
6. Uterus & plasenta: efek terhadap tonus maupun
transfer plasenta tidak begitu diketahui
(Aitkenhead, 1996).

17
7. Hepatorenal: penurunan fungsi ginjal sementara,
Aliran darah hepar menurun karena penurunan
tekanan arteri dan cardiac output (Aitkenhead,
1996).
8. Endokrin: konsentrasi kortisol plasma menurun
setelah administrasi propofol (Aitkenhead, 1996).

Efek samping:
1. Depresi CVS: hipotensi pada pasien dengan
hipovolemik, atau hipertensi, atau pasien dengan
penyakit jantung yang terjadi akibat pemberian
propofol secara lambat atau infus (Aitkenhead,
1996).
2. Depresi pernapasan: apnea (Aitkenhead, 1996).
3. Excitatory phenomena (Aitkenhead, 1996).
4. Nyeri pada tempat suntikan (Latief, 2010).
5. Reaksi alergi: ruam kulit, reaksi anafilkasis (tidak
lebih sering dibanding tiopenton) (Aitkenhead,
1996).

B. Tiopental
Thiopental merupakan tiobarbiturat, misalnya
barbiturate yang mengandung sulfur (WHO, 1988) dikemas
dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau
belerang atau seperti bawang putih, memiliki rasa yang
pahit, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg (Latief,
2010; Aitkenhead, 1996). Sebelum digunakan dilarutkan
dalam aquades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25
mg) (Latief, 2010). Seperti barbiturate pada umumnya,
thiopental memiliki efek depresi otak, sehingga
menyebabkan kesadaran menurun disertai dengan depresi
pusat pernafasan dan pusat vasomotor (WHO, 1988).

18
Thiopental hanya boleh digunakan dalam intravena
dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis
dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan
menimbulkan nyeri hebat apalagi bila masuk ke dalam
arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis
jaringan sekitar. Bila hal ini terjadi dianjurkan memberikan
suntikan infiltrasi lidokain (Latief, 2010). Pemulihan terjadi
akibat obat keluar dari otak dan akan disebarkan ke
jaringan lain. Barbiturate di detoksifikasi di hepar dalam
waktu beberapa jam. Bila diberikan dosis thiopental
ulangan maka pada suatu saat cadangan dalam tubuh
akan menjadi jenuh dan pasien baru sadar setelah berjam-
jam atau bahkan berhari-hari. Oleh karena itu, pemberian
thiopental ulangan tidak diberikan untuk memperpanjang
anestesi. Untuk tindakan yang memerlukan waktu singkat
(1-2 menit) dapat digunakan dosis tunggal thiopental, tetapi
hati-hati karena dapat menyebabkan spasme laring akibat
kesakitan atau stimulasi vagal (misal: dilatasi nasal) (WHO,
1988).
Thiopental dalam darah 70% diikat oleh albumin,
sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga dosis
thiopental pada pasien dengan kadar albumin rendah harus
dikurangi. Thiopental dapat diberikan secara kontinyu pada
kasus tertentu di ICU, tetapi jarang digunakan untuk
anestesi intravena total (Latief, 2010).

C. Ketamine
Ketamin (ketalar) merupakan derivat phencyclidine
merupakan obat yang unik karena ketamin berbeda dalam
berbagai hal dibandingkan dengan obat anestesi lainnya
serta menyebabkan anestesi disosiatif dibandingkan

19
dengan depresi general CNS (Aitkenhead 1996; WHO,
1988).
Pada dosis anestesi menimbulkan keadaan seperti
orang kesurupan, sehingga disebut anestesi disosiatif,
dimana didapatkan efek analgesia yang dalam dan reflex
faring dan laring yang ringan. Juga terdapat peningkatan
aktivitas simpatis, dengan peningkatan stimulasi
kardiovaskuler ringan dan sedikit peningkatan tekanan
arteri, TIK, dan intraokuler. Ketamin memiliki efek
bronkodilator dan bila diberikan dalam dosis tinggi
intramuskular menimbulkan peningkatan produksi saliva
(WHO, 1988). Ketamine kurang digemari untuk induksi
anestesia karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk (Latief, 2010).
Sebaiknya sebelum pemberian ketamin, diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium)
dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salivasi diberikan sulfas atropine 0,01 mg/kg (Latief, 2010).
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg
dan untuk intramuskular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50
mg) dan 10% (1 ml = 100 mg) (Latief, 2010).
Farmakologi (Aitkenhead, 1996):
1. CNS: ketamin sangat larut lemak. Setelah injeksi
i.v ketamin menginduksi anestesi dalam waktu 30-
60 detik. Amnesia terjadi lebih dari 1 jam setelah
pasien sadar. Dapat menimbulkan delirium, tidur
tidak nyenyak, disorientasi, agitasi. Mimpi buruk
dan halusinasi terjadi selama pemulihan
kesadaran dan lebih dari 24 jam. Mimpi buruk

20
jarang terjadi pada anak dan lansia. Angka
kejadian delirium dan halusinasi dapat diturunkan
dengan pemberian stimulasi taktil dan verbal
selama recovery period, atau dengan pemberian
opioid secara bersamaan, butirofenon,
benzodizepin, atau physostigmine; bagaimanapun
mimpi buruk tetap terjadi.
Terjadi perubahan EEG hilangnya alpha rhytm dan
theta activity. Kecepatan metabolisme otak
meningkat pada beberapa daerah otak, dan CBF,
CBV, TIK meningkat.
2. CVS: tekanan arteri meningkat 25% dan denyut
jantung meningkat 20%. Cardiac output meningkat,
konsumsi oksigen myokard; efek inotropik
disebabkan oleh peningkatan influks kalsium oleh
cAMP. Stimulasi simpatis perifer menurun,
menyebabkan vasodilatasi pada jaringan yang
diinervasi oleh reseptor α-adrenergic, dan
vasokonstriksi pada reseptor β.
3. Respirasi: apnea sementara terjadi selama injeksi
i.v. dilatasi otot bronkus
4. Otot skelet: tonus otot meningkat
5. GIT: hipersalivasi
6. Uterus & plasenta: menembus plasenta.
Konsentrasi fetal sama dengan konsentrasi
maternal.
7. Mata: peningkatan tekanan intraocular yang
bersifat sementara. Gerakan bola mata tetap
terjadi selama anestesi pembedahan.

Ketamin memiliki efek oksitosik sehingga tidak boleh


diberikan selama kehamilan, kecuali pada persalinan

21
dengan menggunakan forsep atau seksio sesaria. Tidak
mempunyai efek relaksasi otot, kadang-kadang ekstremitas
menjadi kaku dalam posisi yang abnormal karena terjadi
perubahan tonus otot (WHO, 1988). Ketamin relatif mahal,
sehingga penggunaannya terbatas. Ketamin menimbulkan
delirium, mimpi buruk dan halusinasi (Aitkenhead, 1996).
Halusinasi yang terjadi pada pemberian ketamin sebagai
obat tunggal dapat dikurangi dengan pemberian
premedikasi sedative dengan benzodiazepin atau
butirofenom (WHO, 1988). Ketamin menimbulkan hipertensi
dan takikardi (berbahaya bila diberikan pada pasien
hipertensi dan iskemia jantung), prolonged recovery,
salvasi, peningkatan TIK, reaksi alergi (ruam kulit)
(Aitkenhead, 1996).

D. Metoksital (Methoksiton)
Merupakan anestesi kuat, berupa bubuk yang
dilarutkan untuk membuat larutan 1% dengan dosis tidur
rata-rata 1 mg/kgBB. Digunakan sebagai alternatif
thiopental . Setelah pemberian dosis tunggal, pasien sadar
lebih cepat dibandingkan thiopental, tapi masih
berpengaruh dalam 24 jam sehingga pasien dilarang
megendarai mobil, mengoperasikan mesin, atau minum
alkohol selama 24 jam kemudian (WHO, 1988).

E. Etanolone
Etanolone (3α-hydroxy-5β-pregnan-20-one; juga
dikenal sebagai 5β-pregnanolone) sama halnya dengan
propofol sangat tidak larut dalam air dan diformulasikan
dalam emulsi 10% Intralipid. Merupakan larutan isotonik pH
7,5. Bila dibandingkan dengan propofol, etanolone lebih

22
jarang menimbulkan nyeri pada tempat injeksi dan depresi
napas.
Induksi lebih lambat dibanding propofol. Eliminasi 1-2
jam, klirens 1-3 L/kg/jam. Metabolisme di hepar dan
sebagian obat dieksresikan melalui empedu tanpa
mengalami perubahan (Aitkenhead, 1996).
Administrasi etanolone berhubungan dengan
peningkatan denyut jantung namun sedikit atau tidak
menyebabkan penurunan tekanan arteri. Etanolone
menurunkan cardiac output jauh lebih besar dibandingkan
propofol, sehingga menyebabkan sedikit perubahan
afterload (Aitkenhead, 1996).
Dosis etanolone yang menimbulkan anestesi (0,5-1
mg/kg) (Aitkenhead, 1996).

F. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sulfentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu
kardiovaskular sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia digunakan
opioid digunakan fentanil dosis induksi 0,1 mikrogram/kgBB
(Latief, 2010).

2.4 Obat Anestesi Pelumpuh Otot


Relaksan otot bekerja neuromuscular junction, yaitu dengan
menghambat transmisi impuls saraf dan menyebabkan relaksasi otot
dan paralisis. Tetapi tidak mempunyai efek terhadap kesadaran dan
perasaan, sehingga jangan diberikan pada pasien yang sadar atau
semua pasien lain, kecuali bila anda yakin dapat melakukan ventilasi
paru dengan masker wajah dan tersedia pipa endotrakea. Relaksasi
otot selama anestesi dibutuhkan untuk laringoskopi dan intubasi

23
selama anestesi ringan dan membantu ahli bedah untuk mengatasi
organ dan jaringan tertentu.

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan


anestesia umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional dan
memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anestesia berisiko depresi
napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya
(Latief, 2010).

Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot


lurik dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut
sambungan saraf otot. Pelumpuh otot disebut juga obat blokade
neuro-muskular (Latief, 2010).

Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf.


Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmiter
saraf. Asetilkolin saraf akan menyebrang dan melekat pada reseptor
nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka
akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka, ion natrium dan
kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot.
Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase
khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga tertutup
kembali terjadilah repolarisasi (Latief, 2010). Jika saraf motorik
dirangsang, maka gelombang listrik depolarisasi akan dialirkan
sepanjang saraf sampai ujung saraf pada otot (motor end plate).
Pada tempat ini aliran listrik akan mencetuskan pelepasan
asetilkolin, yang menyebarkan menyebrang celah sinaptik dan
berinteraksi dengan reseptor otot, menghasilkan depolarisasi listrik
yang mengakibatkan terjadinya kontraksi mekanis pada otot.
Asetilkolin ini kemudian dipecah oleh enzim asetilkolinesterase, atau
diserap kembali oleh ujung saraf.

24
Relaksan otot mempunyai sifat yang mirip dengan asetilkolin
dan akan berikatan dengan reseptor asetilkolin, tetapi efeknya
setelah berikatan berbeda dari asetilkolin (WHO, 1998).

2.4.1 Pelumpuh Otot Depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare)


bekerjanya seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak
dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di
celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh
fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan
pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin)
dan dekametonium (Latief, 2010).

Suksinilikolin atau suksametonium mengandung dua


molekul asetilkolin yang bersatu. Suksinilikolin menyebabkan
depolarisasi serat otot, yang tampak sebagai fasikulasi setelah
pemberian intravena dengan dosis 1 mg/kgbb, kemudian diikuti
oleh relaksasi dalam, biasanya 45 detik setelah penyuntikan.
Bila dosis diulang, suksinilikolin dapat menyebabkan
bradikardia dan dibutuhkan atropin untuk mencegah terjadinya
hal ini. Pada pasien yang mengalami kerusakan jaringan berat,
misalnya crush injury atau luka bakar berat, maka suksinilikolin
akan mengakibatkan kehilangan ion kalsium masif dari sel ke
dalam sirkulasi hingga merupakan kontraindikasi (WHO, 1998).

Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-


esterase-plasma, pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-
monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja
pseudokolinesteras (Latief, 2010).

25
Efek samping suksinil ialah:

1. Nyeri otot pasca pemberian.


2. Peningkatan tekanan intraokular
3. Peningkatan tekanan intrakranial
4. Peningkatan tekanan intragastrik
5. Peningkatan kadar kalium plasma
6. Aritmia jantung
7. Salivasi
8. Alergi, anafilaksis (Latief, 2010).

2.4.2 Pelumpuh Otot Nondepolarisasi

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif,


takikurare) berkaitan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat
bekerja (Latief, 2010).

Relaksan non depolarisasi bersifat memblok reseptor


asetilkolin pada otot, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi
pada membran otot. Lama kerjanya sekitar 30 menit (lebih
lama dari suksinilikolin) dan mula kerjanya agak lambat –
membutuhkan waktu 3 menit untuk mencapai efek total.
Setelah dosis permulaan, kemudian ditambahkan dosis kecil
bila diperlukan relaksasi selama operasi (WHO, 1998).

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot


nondepolarisasi digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium,


doksakurium, mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium.

26
3. Eter-fenolik: galiamin
4. Nortoksiferin : alkuronium (Latief, 2010).

Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi


dibagi menjadi kerja panjang, sedang dan pendek. Gallamin
ada yang memasukkan sebagai kerja panjang yang lainnya
kerja sedang (Latief, 2010).

Tabel 2.3: Macam Obat Anestesi Pelumpuh Otot

Dosis Dosis
Durasi
awal rumatan Efek samping
Menit
(mg/kg) (mg/kg)
Nondepol long-acting
0.40-
d-tubokurarin (tubarin) 0.10 30-60 Histamin +, hipotensi
0.60
0.08- 0.015- Vagolitik, takikardi,
Pankuronium 30-60
0.12 0.020 tensi >
0.20-
Metakurin 0.05 40-60 Histamin +, hipotensi
0.40
0.05- 0.01-
Pipekuronium 40-60 Kardiovaskular stabil
0.12 0.015
0.02- 0.005-
Doksakurium 45-60 Kardiovaskular stabil
0.08 0.010
0.15-
Alkurium (alloferin) 0.05 40-60 Vagolitik, takikardia
0.30
Nondepol intermediate acting
Gallamin (flaxedil) 4-6 0.5 30-60 Histamin ±, hipotensi
Aman untuk hepar,
Atrakurium (tracrium) 0.5-0.6 0.1 20-45
ginjal
0.015-
Vekuronium (norcuron) 0.1-0.2 25-45
0.02
Rokuronium (esmeron) 0.6-1.0 0.10-0.15 30-60
0.15-
Cistacuronium 0.02 30-45 Isomer atrakurium
0.20
Nondepol short-acting
0.20-
Mivakurium (mivacron) 0.05 10-15 Histamin +, hipotensi
0.25
Ropacuronium 1.5-2.0 0.3-0.5 15-30
Depol short-acting
Suksinilkolin (scolin) 0.1 3-10
Dekametonium

27
Pilihan pelumpuh otot

1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium


2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miestenia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallamin (Latief,
2010).
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru (Latief, 2010).

2.4.3 Penawar Pelumpuh Otot

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja


pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase
bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase
yang paling sering digunakan ialah neostigmin (prostigmin),
piridostigmin dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya
untuk penggunaan per-oral (Latief, 2010).

Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4


mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03
mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin
dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg
sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa (Latief, 2010).

28
Neostigmin digunakan sebagai antagonis terhadap efek
residu pada relaksasi dan depolarisasi pada akhir operasi.
Merupakan inhibitor asetilkolinesterase dan karena itu
meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada ujung saraf.
Asetilkolinesterase Menghambat efek relaksan otot dengan
cara berkompetisi dengan obat relaksan untuk menduduki
reseptor. Jika digunakan sebagai obat tunggal, neostigmin
menimbulkan bradikardia berat (bahkan sampai henti jantung)
dan menyebabkan peningkatan sekresi akibat stimulasi
kolinergik ujung nervus vagus. Sehingga harus diberikan
hanya dengan atau segera setelah pemberian atropin
intravena. Dosis normal untuk atropin adalah 0,02 mg/kgbb
dan neostigmin 0,04 mg/kgbb. Efek relaksan non-depolarisasi
dapat hilang sempurna sekurang-kurangnya 15 menit setelah
pemberian yang terakhir (WHO, 1988).

2.5 Stadium Anestesi

Tahap dan tanda anestesia

A. Tahap 1 (stadium 1, tahap analgesi)

Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya kesadaran. Pada


tahap ini penderita masih sadar, karena itu tidak ada pola tertentu
dari pernapasan, gerak bola mata maupun lebar pupil.

B. Tahap II (stadium II, tahap eksitasi)

Mulai hilangnya kesadaran sampai permulaan tahap bedah.


Tahap I tahap II bersama – sama disebut tahap induksi. Pada tahap
ini penderita tidak sadar.

Napas : tidak teratur iramanya maupun amplitudonya napas


kadang cepat, pelan atau berenti sebentar amplitudo
sesaat besar dan sesaat lagi kecil. Perlu dibedakan
antara napas yang berhenti sebentar karena tahap

29
napas (breath holding) pada tahap II dan arrest napas
(respiratory arrest) karena kelumpuhan medulla tahap
IV. Tahan napas dapat diketahui karena adanya
tanda- tanda yang misalnya penderita bergerak-gerak
disamping itu anestesi baru sebentar dimulai.

Bola mata : masih bergerak

Pupil : lebar

Reflek-reflek : Reflek- reflek jalan napas meninggi

Penderita dapat batuk-batuk atau mengalami spasme laring.


Terjadi juga hipersalivasi. Muntah terjadi pada akhir tahap II pada
waktu induksi juga pada waktu siuman (emergence).Bahaya dari
muntah adalah terjadinya aspirasi.

C. Tahap III (stadium III, tahap pembedahan )

Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas spontan


(arrest).

Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang. Ciri umum dari tahap III ini
adalah :

Napas jadi teratur (dapat dilihat dari gerakan napas dan suara
napas) seperti orang tidur nyenyak. Reflek bulu mata negatif, otot-
otot jadi lemas, sehingga kepala mudah digerakkan.

Bidang I ( plane I)

Napas : teratur, dalam (amplitudo besar), gerak dada perut


serentak. Amplitudo gerak dada perut sama atau hampir sama
pernapasan dada sangat nyata.
Bola mata : bergerak
Pupil : kecil

30
Bidang 2 (plane 2)
Napas : sama seperti bidang 1 hanya besarnya (amplitudo)
berkurang
Bola mata : tidak bergerak
Pupil : kecil

Bidang 3 (plane 3)
Napas : napas perut mulai lebih besar dari napas dada. Gerak
dada tertinggal
Bola mata : tidak bergerak.

Pupil : mulai melebar ( lebar sedang), reflek cahaya positif.

Bidang 4 (plane 4)

Napas : otot-otot intercostalis telah lumpuh, napas hanya napas


perut. Ciri lain inspirasi sangat cepat seperti orang terisak, dan
ekspirasi yang lama akhirnya napas berhenti waktu penderita
masuk tahap IV .

Bola mata : tidak bergerak

Pupil : melebar hampir maximum, reflek cahaya negative.

Tanda peringatan sebelum penderita masuk tahap IV

1. Napas hanya terlihat diperut dan sebelum arrest biasanya


penderita megap-megap
2. Pupil melebar maximum, reflek cahaya negatif
3. Nadi kecil tensi rendah
4. Kulit pucat dingin berkeringat

D. Tahap IV (stadium IV , tahap kelumpuhan medulla)

Mulai arrest napas sampai gagalnya sirkulasi.

31
BAB III

KESIMPULAN

Anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan intravena,


Agen anestesi inhalasi antara lain Halotane, Enflurane, Desflurane,
Isoflurane, dan Sevoflurane. Setiap obat anestesi inhalasi memiliki
kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Agen anestesi
intravena terdapat beberapa macam yaitu thiopental, metoksital,
etomidate, etanolone, opiod, ketamin, dan propofol. Untuk anestesia
intravena total biasanya menggunakan propofol. Sedangkan obat
anestesi pelumpuh otot, ada 2 macam yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil-
kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase,
sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, pelumpuh otot
nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berkaitan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya (Latief, 2010)

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Said A., dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:


Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. WHO, 1988. Anaesthesia at the District Hospital. Geneva
3. Aitkenhead, 1996. Textbook of Anaesteshia. United States: Churcill
Livingstone Elsevier
4. http://emedicine.medscape.com/article/1271543-
overview#aw2aab6b2 <viewed 14th February 2015>

33

Anda mungkin juga menyukai