Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi Dan Serapan GRK Sektor Berbasis Lahan1 PDF
Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi Dan Serapan GRK Sektor Berbasis Lahan1 PDF
Republik Indonesia
2014
Penasehat
Endah Murniningtyas, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas
Prof. Herman Haeruman, Institut Pertanian Bogor
Koordinator
Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas
Editor
Fahmuddin Agus, Iman Santosa, Sonya Dewi,
Prihasto Setyanto, Syamsidar Thamrin, Yuliana Cahya Wulan,
Febyana Suryaningrum
Tim Penulis
Iman Santosa, Ruanda Agung Sugardiman, Ari Wibowo,
Saipul Rachman, Anna Tosiani, I. Wayan Susi Darmawan,
Mega Lugina, Fahmuddin Agus, Ai Dariah, Maswar, Prihasto
Setyanto, Miranti Arianti, Wiharjaka, Anggri Hervani, Ali
Pramono, Yeni Widiawati, Wisri Puastuti, Dwi Yullistiani,
Anny Meilani, Sonya Dewi, Feri Johanna, Degi Harja, Andree
Ekadinata, Febyana Suryaningrum, Yuliana Cahya Wulan
ISBN: ……….
Sitasi
F. Agus, I. Santosa, S. Dewi, P. Setyanto, S. Thamrin, Y. C.
Wulan, F. Suryaningrum (eds.). 2013. Pedoman Teknis
Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah
Kaca Sektor Berbasis Lahan: Buku I Landasan Ilmiah. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia,
Jakarta.
1. Kementerian Kehutanan
2. Kementerian Pertanian
3. World Agroforestry Cente (ICRAF)
4. Kementerian Lingkungan Hidup
5. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4)
6. Japan International Cooperation Agency (JICA)
7. Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF)
BAB 1. PENDAHULUAN 1
iii
BAB 6. EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 73
6.1 Data Aktivitas 74
6.2 Faktor emisi 75
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) 78
6.4 RAN Penurunan emisi N2O 79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi N2O dari pemupukan 80
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas 7
lahan mineral dan lahan gambut (Sumber: diolah dari Ritung et
al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh
Kemenhut).
Tabel 2 Tipe penutupan hutan dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen 8
Planologi Kehutanan.
Tabel 3 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral 11
Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (ribu hektar).
Tabel 4 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan gambut 12
Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar).
Tabel 5 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia 13
antara tahun 2006 dan 2011 pada areal penggunaan lain (APL)
dalam ribu hektar.
Tabel 6 Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang 19
direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan
penggunaan lahan pada skala nasional
Tabel 7 Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas 27
tumbuhan karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun
2006-2011 di seluruh Indonesia pada lahan gambut dan lahan
mineral.
PEDOMAN TEKNIS
iv PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 8 Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional dari 29
biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan
tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 9 Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional yang 30
berasal dari biomas di atas permukaan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 10 Emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal 31
dari biomas akibat perubahan tutupan lahan mineral dan lahan
gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 11 Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral 38
Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan
ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tabel 12 Matriks proyeksi tutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 39
2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu
hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tabel 13 Matriks proyeksi emisi tahun 2011-2016 skala nasional yang 40
berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 14 Matriks proyeksi emisi tahun 2016-2021 skala nasional yang 41
berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 15 Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan 50
perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai sumber
lainnya.
Tabel 16 Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . 53
tahun)) pada berbagai kelas penutupan (angka pada diagonal)
dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan
gambut.
Tabel 17 Matriks emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional 54
yang berasal dari dekomposisi gambut akibat penggunaan dan
perubahan penggunaan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 18 Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 66
2012
Tabel 19 Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai 66
sistem pengelolaan air
Tabel 20 Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan 67
sawah untuk berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al.
2005).
Tabel 21 Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia dari tahun 2007 74
sampai tahun 2011
Tabel 22 Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung. 76
Tabel 23 Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai 84
jenis ternak
DAFTAR ISI v
Tabel 24 Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 85
(ribu ekor).
Tabel 25 Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020. 85
Tabel 26 Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode 86
pengelolaan (IPCC, 2006).
Tabel 27 Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan 87
di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata.
Tabel 28 Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem 87
pengelolaan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta sebaran lahan gambut Indonesia (Ritung et al. 2011). 6
Gambar 2 Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan 22
pendekatan stock difference, dan konsep cadangan karbon
rata-rata waktu (time averaged C stock) untuk perubahan
tutupan lahan dari hutan sekunder (Hs) ke dua siklus hutan
tanaman industri (Ht).
Gambar 3 Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) 24
dengan cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun)
dan perubahan hutan sekunder menjadi hutan tanaman
industri (Ht).
Gambar 4 Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor 27
Pertanian.
Gambar 5 Emisi CO2e skala nasional dari biomas di atas permukaan tanah 32
gambut dan tanah mineral dari perubahan tutupan lahan.
Gambar 6 Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap 33
emisi nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan
gambut (g) dan lahan mineral.
Gambar 7 Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan 35
net emisi (RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten)
berdasarkan tahapan dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et
al. 2012).
Gambar 8 Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as 36
usual (BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.
Gambar 9 Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari 37
biomas tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut
berdasarkan pendekatan historis.
Gambar 10 Perkiraan emisi tahunan dan emisi kumulatif pada skenario 42
bussiness as usual (BAU) dari dekomposisi gambut dan biomas
tumbuhan karena perubahan tutupan lahan berdasarkan
pendekatan historis dan forward looking dengan asumsi
bahwa emisi mengalami kenaikan sebanyak 2,5% per tahun
atau 12,5% pada periode 2011-2016 dan 25% pada periode
2016-2021 dibandingkan dengan emisi pada pendekatan
historis periode yang sama.
PEDOMAN TEKNIS
vi PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 11 Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas 44
tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan
beberapa skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU
= Business as usual; S 1 = Penangguhan penggunaan hutan
gambut untuk pertanian dan Ht; S2 = S1 + penangguhan
penggunaan hutan pada lahan mineral untuk pertanian dan
Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk menjaga
trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan
trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan
mineral untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan
Ht sama dengan trend 2006-2011.
Gambar 12 Memperlihatkan bahwa penangguhan penggunaan hutan 44
gambut dan hutan mineral tanpa mengurangi laju perluasan
lahan pertanian dan Ht (Skenario S4) mampu menurunkan
emisi GRK secara signifikan. Skenario ini merubah posisi emisi
dari biomas tumbuhan dari 340 juta ton CO2e/tahun pada
periode 2006-2011 menjadi negatif 8.4 juta ton CO2e/tahun
pada periode 2011-2016 dan negatif 1.1 juta ton CO2e/tahun
pada periode 2016-2021. Emisi dari dekomposisi gambut
tidak mengalami penurunan dengan skenario S4 ini, malahan
meningkat dari 278 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-
2011 menjadi 287 juta ton CO2e/tahun pada periode 2011-
2016 dan 294 juta ton CO2e/tahun pada periode 2016-2021.
Hal ini disebabkan karena luas lahan gambut yang dipengaruhi
drainase tidak berkurang, malahan drainase lahan gambut
semakin dalam dengan konversi belukar gambut menjadi
lahan pertanian dan Ht.
Gambar 13 Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral 46
dan lahan gambut serta dekomposisi tanah gambut pada
berbagai skenario pengendalian deforestasi di kawasan hutan
pada pada periode 2016-2021.
Gambar 14 Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 55
dan 2006 -2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
Gambar 15 Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari 60
kebakaran gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam
juta ton CO2e/tahun; %) (van der Werf et al. 2008).
Gambar 16 Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran 60
gambut Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van
der Werf et al. 2008).
Gambar 17 Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai 68
tahun 2021 dengan model kuadratik.
Gambar 18 Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa 69
usaha mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011
dan proyeksinya sampai tahun 2021.
Gambar 19 Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 70
2011 dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
PEDOMAN TEKNIS
viii PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
KATA PENGANTAR
Bahan organik (Organic matter). Bahan yang berasal dari makhluk hidup
yang dapat terdekomposisi atau merupakan hasil dekomposisi atau bahan
yang terdiri dari senyawa organik.
BAU (business as usual). Angka perkiraan tingkat emisi gas rumah kaca pada
satu atau dua periode yang akan datang (dalam panduan ini periode 2011-
2016 dan 2016-2021) berdasarkan kecenderungan yang berlaku sekarang
(dalam panduan ini 2006-2011).
Berat isi (BI) atau kerapatan lindak tanah (Soil bulk density). Berat kering
tanah per satuan volume (termasuk volume padatan dan pori tanah) dalam
keadaan tidak terganggu.
Biomas (Biomass). Masa (berat) dari organisme yang hidup yang terdiri atas
tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal. Satuannya adalah t/ha.
Untuk panduan ini biomas adalah berat kering tumbuhan dalam satu satuan
luas.
PEDOMAN TEKNIS
x PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Data aktivitas (Activity data). Luas suatu penutupan lahan dan luas suatu
lahan yang berubah dari suatu kelas penutupan menjadi kelas penutupan
lainnya. Untuk Sektor Peternakan data aktivitas adalah jumlah ternak dan
jumlah kotoran yang dihasilkan ternak pada suatu negara, perovinsi, kabupaten,
kecamatan atau desa. Untuk emisi dari lahan sawah, data aktivitas adalah luas
lahan sawah dengan sistem pengelolaan tertentu, misalnya sawah irigasi dan
sawah tadah hujan yang menanam varietas padi tertentu.
DAFTAR ISTILAH xi
Kandungan karbon organik tanah (Soil organic carbon content, Corg).
Masa karbon untuk setiap satuan berat tanah. Satuannya adalah % berat
atau g/kg (g Corg/kg tanah) atau t/t atau Mg/Mg. Bila analisis laboratorium
hanya menghasilkan kandungan bahan organik (misalnya dengan metode
pengabuan kering atau loss on ignition, LOI) maka kandungan Corg tanah
diasumsikan 1/1,724 dari kandungan bahan organik tanah. Apabila tanah
gambut mempunyai kandungan bahan organik 98% maka Corg = 98%/1,724
= 57% = 570 g/kg = 0,57 Mg/Mg = 0,57 t/t.
Karbon (Carbon). Unsur kimia bukan logam dengan simbol atom C yang
banyak terdapat di dalam semua bahan organik dan di dalam bahan anorganik
tertentu. Unsur ini mempunyai nomor atom 6 dan berat atom 12 g.
Karbon dioksida (Carbon dioxide). Gas dengan rumus CO2 yang tidak berbau
dan tidak bewarna, terbentuk dari berbagai proses seperti pembakaran bahan
bakar minyak dan gas bumi, pembakaran bahan organik (seperti pembakaran
hutan), dan/atau dekomposisi bahan organik serta letusan gunung berapi.
Dewasa ini konsentrasi CO2 di udara adalah sekitar 0,039% volume atau
388 ppm. Konsentrasi CO2 cenderung meningkat dengan semakin banyaknya
penggunaan bahan bakar minyak dan gas bumi serta emisi dari bahan organik
di permukaan bumi. Gas ini diserap oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis.
Berat molekul CO2 adalah 44 g. Konversi dari berat C ke CO2 adalah 44/12
atau 3,67.
Lahan gambut (Peatland). Lahan yang tanahnya kaya dengan sisa tumbuhan
yang terdekomposisi sebagian, dengan kadar C organik tanah >18% dan
ketebalan >50 cm. Tanah yang berada pada lahan gambut disebut tanah
gambut. Lahan gambut banyak terdapat pada lahan basah (wetland). Tanah
gambut tropis mempunyai kisaran ketebalan 0,5 - >15 m dan yang terbanyak
antara 2-8 m. Pohon-pohonan, belukar, rumput-rumputan, pohon-pohonan
dan lumut dapat berkontribusi dalam pembentukan gambut apabila lahan
berada dalam keadaan tergenang atau jenuh air. Lihat definisi Tanah gambut.
PEDOMAN TEKNIS
xii PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Neraca karbon (Carbon budget). Neraca dari terjadinya perpindahan karbon
dari satu penyimpan karbon (carbon pool) ke penyimpan lainnya dalam suatu
siklus karbon, misalnya antara atmosfir dengan biosfir dan tanah.
Proyeksi emisi forward looking. Perkiraan jumlah emisi untuk periode yang
akan datang berdasarkan kecenderungan pada satu periode tahun acuan (base
year) serta dengan memperhatikan rencana pembangunan dan kebijakan yang
akan datang.
Tanah gambut (Peat soil). Tanah yang terbentuk dari sisa tumbuhan yang
terdekomposisi sebagian, dengan:
a. ≥18% C organik (setara dengan ≥ 30% bahan organik) jika mengandung
fraksi liat ≥ 60% atau lebih, atau
b. ≥12% C organik (setara dengan 20% bahan organik) jika tidak ada
kandungan fraksi liat, atau
c. ≥12% + (liat dengan kelipatan 0,1 kali) C organik, jika mengandung
fraksi liat <60 dan ketebalan >50 cm.
Tingkat referensi (Reference Level, RL): Tingkat emisi netto yang sudah
memperhitungkan pengurangan (removals) dari sekuestrasi atau penyerapan
C.
1
pedoman penyusunan Rencana Aksi Daerah, baik pada
tingkat nasional maupun daerah. Pada bulan Mei 2012,
Bappenas dan beberapa kementerian telah melaksanakan
kegiatan pelatihan untuk membangun BAU daerah serta
menyusun RAD-GRK Provinsi, yang diikuti oleh lebih dari
200 orang peserta dari 33 Provinsi. Untuk keperluan
sosialisasi dan pelatihan ini POKJA RAN-GRK untuk sektor
berbasis lahan telah merumuskan pedoman singkat
penyusunan BAU dan skenario penurunan emisi. Pedoman
singkat tersebut diuraikan di dalam buku Panduan Teknis
ini guna untuk memberikan penjelasan ringkas tentang
landasan ilmiah dari perhitungan dan cara penyusunan
RAD-GRK.
PEDOMAN TEKNIS
2 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Pada lahan gambut, emisi yang terjadi sebagai
dampak pengelolaan dan perubahan penggunaan
lahan serta emisi karena kebakaran gambut,
diperhitungkan dalam bidang Kehutanan dan
Lahan Gambut.
Emisi yang berasal dari pabrik pengolahan kelapa
sawit dimasukan dalam kelompok/bidang Industri.
Emisi karena penggunaan biogas yang berasal dari
limbah pertanian atau limbah industri pertanian
dimasukan dalam emisi Sektor Energi.
3
PEDOMAN TEKNIS
4 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 2
DATA AKTIVITAS
PENGGUNAAN
DAN PERUBAHAN
PENGGUNAAN LAHAN
5
tutupan hutan dan lahan tahun 2006 dengan
2011 dihasilkan matriks penutupan dan transisi
penutupan lahan (MPTPL).
3. Data Penunjukan Kawasan sebagai dasar
pembuatan zona pemanfaatan ruang (unit
perencanaan) berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan untuk setiap provinsi, yang diterbitkan
secara bertahap dari tahun 1999-2012. Misalnya,
untuk Provinsi Papua data penunjukan kawasan
diterbitkan berdasarkan SK.782/MENHUT-II/2012.
PEDOMAN TEKNIS
6 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 1. Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas lahan mineral
dan lahan gambut.
Lahan Mineral Lahan Gambut
No. Zone Persen
Luas (ha) Persen (%) Luas (ha) %)
1 Cagar Alam Darat 48.051 0 - -
2 Hutan Lindung 29.596.833 16 974.370 1
3 Hutan Produksi 27.938.342 15 5.043.350 3
4 Hutan Produksi Konversi 17.277.674 9 3.502.558 2
5 Hutan Produksi Terbatas 23.644.143 13 818.735 0
Hutan Suaka Alam dan 17.260.743 9 2.015.264 1
6 Margasatwa
Hutan Suaka Alam dan 5 0,000003 - -
7 Wisata Laut
8 Suaka Margasatwa Darat 24.687 0,0001 - -
9 Taman Buru 60.602 0,03 - -
10 Taman Hutan Raya 1.745 0,0009 - -
11 Taman Nasional Darat 431.356 0,23 - -
12 Taman Nasional Laut 5.975 0,003 - -
13 Taman Wisata Alam 29.132 0,016 - -
14 Areal Penggunaan Lain 54.855.415 29 2.542.454 1
Jumlah 171.174.703 92 14.896.731 8
Jumlah lahan gambut dan
mineral 186.071.434 100
Sumber: diolah dari Ritung et al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh Kemenhut
BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 7
Tabel 2. Tipe penutupan hutan dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen Planologi
Kehutanan.
Tipe penutupan Keterangan
No Kode
lahan
1 Hp Hutan Lahan Kering Hutan alam tanah mineral yang belum memperlihatkan
Primer, tanah mineral tanda penebangan berupa jalur logging.
2 Hs Hutan Lahan Kering Hutan alam tanah mineral yang sudah pernah
Sekunder, tanah ditebang, baik tebang pilih, maupun tebang habis,
mineral ditandai dengan jalur logging
3 Hmp Hutan Mangrove Hutan alam pada kawasan mangrove yang belum
Primer memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging.
4 Hrp Hutan Rawa Primer Hutan alam bertanah gambut yang belum
memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging.
5 Ht Hutan Tanaman Disebut juga dengan hutan tanaman industri, yaitu
lahan yang ditanam dengan tanaman industri hutan
seperti Acacia, Eucaliptus dan seterusnya.
6 B Semak Belukar Lahan yang ditumbuhi semak belukar dengan tinggi
kanopi sampai 5 m.
7 Pk Perkebunan Lahan yang ditumbuhi tumbuhan perkebunan sepeti
kelapa sawit, karet, kopi, teh, kelapa, kakao, dll.
8 Pm Permukiman Areal yang ditutupi oleh perumahan dan pekarangan
9 T Tanah Terbuka Lahan terbuka tanpa vegatasi dan lahan terbuka bekas
kebakaran/land clearing.
10 S Savana/Padang Lahan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis rumputan,
Rumput alang-alang dan paku resam.
11 Hms Hutan Mangrove Hutan mangrove yang sudah pernah ditebang dan
Sekunder tumbuh kembali.
12 Hrs Hutan Rawa Hutan rawa yang sudah pernah ditebang dan tumbuh
Sekunder kembali.
13 Br Belukar Rawa Lahan rawa yang ditumbuhi semak belukar.
14 Pt Pertanian Lahan Lahan yang ditutupi berbagai komoditas pertanian
Kering seperti padi, jagung, nanas dan sayur-sayuran.
15 Pc Pertanian Lahan Lahan yang ditutupi campuran tumbuhan tahunan
Kering Campur (pohon-pohonan) dengan berbagai tumbuhan semusim
(agroforestry).
16 Sw Sawah Lahan yang digunakan untuk sawah.
17 Tm Tambak Lahan yang digunakan untuk tambak.
18 Bdr/ Bandara/Pelabuhan Lahan yang digunakan untuk bangunan dan landasan
Plb bandar udara/Pelabuhan.
19 Tr Transmigrasi Lahan yang digunakan untuk perumahan dan
pekarangan transmigran. Lahan ini biasanya
mempunyai areal pekarangan yang lebih luas (sekitar
0.25 ha untuk masing-masing rumah).
20 Tb Pertambangan Areal yang digunakan untuk pertambangan.
21 Rw Rawa Areal rawa yang digenangi air, kemungkinan bertanah
mineral atau tanah gambut.
22 A Tubuh Air Lahan yang digenangi air, termasuk sungai, danau,
waduk dll.
PEDOMAN TEKNIS
8 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Contoh MPTPL tingkat nasional antara tahun 2006
dan 2011, kumulatif untuk lahan mineral semua zone;
lahan gambut semua zone; dan APL pada lahan mineral
disajikan berturut-turut pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5.
Angka pada diagonal menunjukkan luas suatu penutupan
hutan atau lahan yang tidak berubah antara tahun 2006
dan 2011, sedangkan angka di luar diagonal adalah data
luas lahan yang mengalami perubahan dari satu kelas
penutupan ke penutupan lainnya dalam periode tersebut.
Dalam jangka waktu lima tahun ini luas hutan primer pada
tanah mineral yang tetap bertahan sebagai hutan primer
adalah sekitar 38,7 juta ha. Sekitar 1,1 juta ha hutan
primer pada lahan bertanah mineral berubah menjadi
hutan sekunder. Luas lahan perkebunan meningkat dari
7,2 juta ha pada tahun 2006 menjadi 8,2 juta ha pada
tahun 2011.
BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 9
346.000, 237.000 dan 88.000 ha pada tahun 2006 dan
berturut-turut 374.000, 330.000, 233.000 dan 91.000
pada tahun 2011. Hal ini kemungkinan disebabkan
perbedaan penggunaan peta dasar dalam analisis tipe
tutupan lahan dan analisis luas lahan gambut (apakah
peta gambut versi Wahyunto et al. 2003, 2004 dan 2006
atau Ritung 2011). Akan tetapi kesalahan ini relatif kecil
yaitu 1,1 dari 8,2 juta ha (sekitar 13% dari total luas hutan
gambut). Dalam perhitungan emisi (Bagian 4.1 dan 4.2.)
lahan ini diperlakukan sebagai lahan hutan gambut karena
peta dasar yang adalah peta lahan gambut.
PEDOMAN TEKNIS
10 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 3. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (ribu hektar).
Penutupan Tahun 2011
lahan
Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 38.706 1.123 32 3 12 6 1 39.884
Hs 14 37.343 33 844 195 1 302 1 1 42 326 3 2 24 39.131
Hmp 1.112 43 1 1.157
Hrp 3.245 6 3 141 15 3.411
Ht 9 3.663 77 3 2 86 32 28 14 2 3.917
B 18 75 13.1 330 3 96 10 2 67 1.048 11 42 14.804
Pk 15 22 7.026 4 38 30 35 15 1 7.185
Pm 1 2.422 9 3 12 2 2.448
T 1 69 85 167 1 1.942 66 39 44 17 8 1 9 2.448
S 50 4 11 3.151 10 15 2 1 3.244
Hms 2 1 2 974 18 1 10 1.008
Hrs 2 1 142 65 2.943 216 2 15 1 4 7 3.398
Br 3 5 128 101 36 49 5 3 5.05 8 8 2 10 3 5.41
Pt 8 13 76 12 16 1 1 8.205 105 401 1 3 8.841
Pc 3 15 148 151 30 69 1 1 1.321 23.613 56 1 34 25.444
Sw 1 4 19 3 143 25 6.527 1 6.724
Tm 1 765 768
Bdr 14 15
Tr 1 1 319 321
Tb 393 394
Tahun 2006
Rw 25 1 1 1 1.196 1.224
TOTAL 38.721 38.501 1.112 3.247 3.892 14.501 8.231 2.495 2.681 3.279 1.023 3.087 5.344 9.914 25.243 7.052 792 15 323 519 1.203 171.175
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
PEDOMAN TEKNIS
Hs 7 314 4 5 8 0 4 1 0 4 0 346
Hmp 233 0 4 0 237
Hrp 2.132 0 7 13 80 12 2.245
Ht 121 8 0 37 0 6 1 173
B 0 8 297 16 5 1 2 4 0 333
Pk 13 3 1.227 6 1 1 1 1.251
Pm 67 67
T 0 66 25 67 315 0 0 42 2 10 0 0 528
S 0 162 162
Hms 0 87 1 88
Hrs 30 0 134 192 4.066 430 5 24 0 0 2 4.883
Tahun 2006
Br 1 92 253 58 89 0 8 2.265 4 19 9 0 0 2.797
Pt 1 0 212 1 0 215
Pc 1 8 0 6 0 0 26 391 0 0 433
Tahun 2006
Rw 6 0 266 274
TOTAL 733 4.425 95 57 1.282 5.308 5.143 2.234 938 1.154 271 475 1.864 7.246 15.838 6.534 478 13 228 273 267 54,855
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
PEDOMAN TEKNIS
14 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Walaupun gagasan REDD dicanangkan untuk pertama
kalinya pada tahun 2005, namun gagasan tersebut
merupakan ide dalam perundingan pada tingkat
internasional, bukan pada tingkat nasional. Keikut-sertaan
Indonesia dalam berbagai forum United Nations Framework
Conference on Climate Change (UNFCCC) sebelum tahun
2010 menghasilkan kesepakatan multilateral dan bilateral
(seperti Letter of Intent antara Indonesia dengan Norwegia),
namun bukan merupakan komitment unilateral nasional
yang resmi yang menargetkan penurunan emisi GRK.
Selain itu tahun 2006-2011 lebih menggambarkan laju
perubahan tutupan lahan terkini sebelum langkah-langkah
persiapan dan penerapan penurunan emisi GRK dalam
skema RAN-GRK diterapkan pada tahun selanjutnya.
BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 15
PEDOMAN TEKNIS
16 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS
TUMBUHAN
17
3.2 Faktor emisi
Faktor emisi untuk perubahan penutupan lahan adalah
perbedaan jumlah cadangan karbon apabila lahan dengan
suatu kelas tutupan berubah menjadi tutupan lain. Untuk
mendapatkan faktor emisi tersebut diperlukan data acuan
(default) cadangan karbon dari semua tipe tutupan lahan
yang terdapat dalam MPTPL. Untuk setiap tipe tutupan
lahan tersebut dibangun angka acuan yang mewakili
(representative) yang berasal dari hasil penelitian atau
inventarisasi nasional di berbagai lokasi yang kemudian
dirata-ratakan. Tergantung ketersediaan data, untuk
tutupan lahan di tingkat nasional data cadangan karbon
acuan berasal dari berbagai lokasi yang mewakili daerah
beriklim kering dan beriklim basah dan dari lahan yang
subur serta kurang subur. Sejalan dengan itu, jika data
tersedia untuk tingkat provinsi digunakan data yang
mewakili dari berbagai lokasi di dalam wilayah provinsi
tersebut.
PEDOMAN TEKNIS
18 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 6. Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang
direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan penggunaan
lahan pada skala nasional
Cadangan C
No Tutupan lahan Referensi
(t/ha)
1 Hutan Lahan Kering 195 World Agroforestry Centre (2011); Prasetyo et
Primer al. (2000); Laumonier et al. (2010); IPCC (2006)
for Tropical rainforest; Harja et al. (2011) dengan
nilai cadangan karbon berturut-turut 300, 252,
180, 150, 121 dan 93 t/ha
2 Hutan Lahan Kering 169 World Agroforestry Centre (2011) untuk hutan
Sekunder sekunder berkerapatan tinggi; Rahayu et al.
(2005); IPCC (2006) for tropical Asia; Saatchi
et al. (2011); World Agroforestry Centre (2011)
untuk hutan berkerapatan rendah, Harja et al.
(2011) dengan nilai berturut-turut 250, 203,
180, 158, 150 dan 74 t/ha
3 Hutan Mangrove 170 Komiyama et al. (2008)
Primer
4 Hutan Rawa Primer 196 MoF (2008), IFCA
5 Hutan tanaman 64 World Agroforestry Centre ( 2011) tanah mineral
70 t/ha, tanah gambut 60 t/ha
6 Semak Belukar 30 IPCC (2006); Istomo et al. (2006); Jepsen (2006);
World Agroforestry Centre (2011) berturut-turut
35, 30, 20 dan 27 t/ha.
7 Perkebunan 63 Palm et al. (1999) perkebunan karet (89 t/
ha); Rogi (2002 ) kelapa sawit (60t/ha); van
Noordwijk (2010) kelapa sawit (40 t/ha)
8 Permukiman 4 World Agroforestry Centre (2011)
9 Tanah Terbuka 2.5 Asumsi
10 Padang rumput 4 Rahayu et al. (2005)
11 Hutan Mangrove 120 Komiyama et al. (2008)
Sekunder
12 Hutan Rawa 155 MoF (2008)
Sekunder
13 Belukar Rawa 30 Diasumsi sama dengan belukar di lahan kering
14 Pertanian Lahan 10 Hashimotio et al. (2000), Murdiyarso and Wasrin
Kering (1996); World Agroforestry Centre (2011)
berturut-turut 12,5; 10 dan 8 t/ha
15 Pertanian Lahan 30 Rahayu et al. (2005) (agroforestry)
Kering Campur
16 Sawah 2 Palm et al. (1999)
17 Tambak 0 Asumsi
18 Bandara/Pelabuhan 0 Asumsi
19 Transmigrasi 10 BAPPENAS (2010), diasumsi bahwa sepertiga
areal dialokasikan untuk pertanian campuran
20 Pertambangan 0 Asumsi
21 Rawa 0 Asumsi
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 19
3.2.2 Pendekatan perhitungan emisi dari
perubahan tutupan lahan
Terdapat dua pendekatan untuk perhitungan emisi
gas rumah kaca, yaitu (i) perubahan cadangan karbon
(stock difference) dan (ii) perhitungan peningkatan dan
penurunan cadangan karbon (gain and loss). Dalam
pedoman RAN-GRK ini digunakan metode stock difference.
PEDOMAN TEKNIS
20 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Ht tersebut akan ditebang dan karbon yang tersimpan di
dalam jaringan tumbuhan hasil tebangan (sejumlah 128
t/ha) akan teremisi dalam waktu relatif pendek melalui
berbagai proses. Berdasarkan pedoman dari IPCC (2006)
pada Tingkat Ketelitian 1 (Tier 1) diasumsi 128 ton C/
ha tersebut langsung teremisi. Bila tersedia data hasil
penelitian tentang jumlah karbon yang dapat disimpan
dari hasil penebangan serta tahun paroh (half year) karbon
di dalam hasil panen kayu (misalnya yang tersimpan dalam
kertas atau perabot), maka data tersebut dapat digunakan
pada perhitungan emisi Tier 2 atau Tier 3.
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 21
Gambar 2. Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan pendekatan
stock difference, dan konsep cadangan karbon rata-rata waktu (time
averaged C stock) untuk perubahan tutupan lahan dari hutan sekunder
(Hs) ke dua siklus hutan tanaman industri (Ht).
180
160 Penyerapan 16 t C/hatahun
Emisi 106 ton C/ha Time averaged = 64 t C/ha
140
Cadangan C (t/ha)
120
100
80
60
40
20
0
Ht 0
Ht 1
Ht 2
Ht 3
Ht 4
Ht 5
Ht 6
Ht 7
Ht 8
Ht 0
Ht 1
Ht 2
Ht 4
Ht 5
Ht 6
Ht 7
Ht 8
Hs
Ht 3
(ii) perhitungan peningkatan dan penurunan
cadangan karbon (gain and loss)
PEDOMAN TEKNIS
22 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
yaitu (195,4-64) ton C/ha = 131,4 ton C/ha, sedangkan
jika angka riap tidak diperhitungkan, maka jumlah emisi
adalah (169,7-64) ton C/ha = 105,7 ton C/ha.
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 23
Gambar 3. Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) dengan
cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun) dan perubahan
hutan sekunder menjadi hutan tanaman industri (Ht).
Riap = 2,23 t/ha/tahun Cadangan C hutan
primer = 195 t/ha
200
180
160 Cadangan C hutan
140 primer = 169 t/ha
Cadangan C (ton/ha)
120
100
80
60
40
20
0
HS Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Ht 0Ht 1Ht 2Ht 3Ht 4Ht 5Ht 6Ht 7Ht 8
PEDOMAN TEKNIS
24 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
memperhitungkan aktifitas di masa lalu dan juga
mempertimbangkan kemungkinan rencana perubahan/
penggunaan lahan di masa depan. Model yang
digunakan adalah “Marcov Chain Transition Matrix” yang
menghitung distribusi perubahan lahan pada dua titik
waktu yang berbeda. Untuk mempermudah perhitungan,
maka digunakan alat yang sudah dikembangkan oleh
ICRAF, yaitu LUWES (Land Use Planning for Low Emission
Development Strategy). Walaupun pada prinsipnya
spreadsheet excel dapat juga digunakan untuk membantu
perhitungan, namun penggunaannya akan sangat rumit
untuk MPTPL dengan dimensi besar (21 x 21) dan jumlah
matriks (zone pemanfaatan ruang) yang banyak seperti
yang digunakan pada RAN/RAD GRK (Tabel 1).
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 25
Melakukan estimasi emisi dari perubahan tutupan
lahan dengan memperhatikan keragaman jenis
tanah, elevasi, iklim dan karakteristik biofisik lansekap
lainnya tergantung ketersediaan data aktivitas dan
faktor emisi.
Melakukan analisis trade-off antara emisi dan
keuntungan ekonomi (opportunity cost analysis),
membuat kurva abatement cost, memprediksi emisi
dan keuntungan ekonomi di masa yang akan datang
(Reference Emission Level (REL) projection).
Melakukan simulasi skenario kegiatan mitigasi dan
kebijakan pada unit perencanaan tertentu untuk
pengurangan emisi dan melakukan analisis potensi
opportunity cost-nya.
PEDOMAN TEKNIS
26 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 4. Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor Pertanian.
Data Faktor
Emisi = Aktivitas X emisi
Emisi: Jumlah gas rumah Data Aktivitas: Luas lahan, Faktor Emisi: Jumlah GRK
kaca yang lepas ke atmosfir jumlah ternak atau jumlah yang dikeluarkan oleh satu
dari suatu landscape (ton pupuk N yang menjadi unit luas lahan, satu ekor
GRKe/tahun) sumber emisi GRK ternak atau satu satuan berat
pupuk N per satuan waktu
Tabel 7. Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas tumbuhan
karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 di seluruh
Indonesia pada lahan gambut dan lahan mineral.
No Sumber Satuan Jumlah
1 Emisi per ha ton CO2e/(ha.tahun) 2,14
2 Sekuestrasi per-ha Luasan ton CO2e/(ha.tahun) 0,31
3 Net Emisi per ha ton CO2e/(ha.tahun) 1,83
4 Total Emisi ton CO2e/(tahun) 397.670.631
5 Total Sekuestrasi ton CO2e/(tahun) 57.689.432
6 Net Emisi ton CO2e/(tahun) 339.981.199
Catatan: Data aktivitas untuk perhitungan ini adalah hasil penjumlahan Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor
emisi adalah Tabel 6.
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 27
Dari Tabel 10 terlihat bahwa net emisi dari biomas
tumbuhan, baik dari lahan gambut, maupun lahan
mineral berjumlah sekitar 340 juta ton CO2e/tahun. Lahan
mineral menyumbang sekitar 264 juta ton, sedangkan
lahan gambut sekitar 75 juta ton CO2e/tahun. Lahan
gambut yang luasnya hanya sekitar 8% dari luas total
lahan Indonesia menyumbang sekitar 22% emisi dari
biomas tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa intensitas
perubahan tutupan lahan dari yang bercadangan C tinggi
ke lahan bercadangan C rendah jauh lebih tinggi pada
lahan gambut dibandingkan dengan lahan mineral dalam
periode 2006-2011 ini.
PEDOMAN TEKNIS
28 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 8. Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional dari biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan
tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp - 21,17 - (0,00) 0,01 3,83 0,32 0,03 1,68 - - - - 0,03 0,67 - - - - 0,17 - 27,91
Hs (0,27) - - (0,00) 2,58 86,49 15,22 0,16 36,98 0,08 0,00 - 0,06 4,88 33,41 0,32 - - 0,27 3,04 - 183,22
Hmp - - - - - - 0,00 - 0,00 - 1,59 - 0,13 0,01 0,00 - 0,03 - - 0,00 - 1,76
Hrp - - - - 0,58 - 0,29 - 0,01 - - 4,24 1,80 0,00 0,02 - - - - 0,00 0,05 6,98
Ht - (0,74) - - - 1,92 0,00 0,10 3,89 - - - 0,01 1,26 0,71 0,63 0,00 - - 0,11 0,00 7,88
B - (1,88) - - (1,87) - (7,99) 0,05 1,94 0,18 (0,01) (0,01) - 0,98 - 0,23 0,01 - 0,01 0,93 - (7,42)
Pk - (0,00) - - (0,01) 0,54 - 0,15 1,70 - - (0,01) 0,00 1,16 0,84 0,66 0,01 - - 0,05 - 5,08
Pm - (0,00) - - (0,00) (0,01) (0,01) - 0,00 - (0,01) - - (0,03) (0,05) 0,03 0,00 0,00 - 0,01 0,00 (0,09)
T - (0,07) - - (3,10) (1,70) (7,42) (0,00) - (0,10) (0,00) (0,05) (0,78) (0,24) (0,34) 0,00 0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (13,79)
S - - - - - (0,93) (0,19) - 0,02 - (0,00) - - (0,04) (0,27) 0,00 0,00 - (0,00) 0,00 - (1,41)
Hms - - - - 0,07 - 0,03 0,01 0,21 - - (0,00) 1,17 0,01 0,04 0,01 0,89 0,00 - 0,01 - 2,46
Hrs (0,00) (0,00) - (0,05) 0,03 0,09 9,56 0,00 7,25 - 0,01 - 19,82 0,24 1,34 0,02 0,16 - - 0,46 0,75 39,67
Tahun 2006
Br - (0,32) - - (0,12) - (2,43) 0,01 0,72 0,91 (0,31) (0,24) - 0,12 - 0,05 0,21 - 0,00 0,06 0,00 (1,34)
Pt - (0,03) (0,00) - (0,33) (0,18) (2,94) 0,04 0,09 0,01 (0,00) - (0,01) - (1,53) 2,35 0,00 0,00 - 0,02 - (2,52)
Pc - (0,28) - - (0,37) - (3,66) 0,55 1,39 0,02 (0,00) - - 19,37 - 1,16 0,02 0,01 0,00 0,75 0,00 18,96
Sw - (0,02) - - (0,01) (0,03) (0,16) (0,04) (0,00) - (0,00) - - (0,84) (0,52) - 0,00 0,00 (0,00) 0,00 - (1,62)
Tm - - - - - (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) - (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) - - - - - (0,06)
Bdr - - - - - - - (0,00) - - - - - (0,00) - - - - - - - (0,00)
Tr - - - - - (0,01) - - 0,01 0,00 - - - - - - - - - - - 0,00
Tb - - - - - (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) - - - (0,00) - - - - - - - - (0,01)
Rw - - - - - - (1,17) (0,00) (0,00) (0,00) - - (0,00) (0,01) - (0,00) - - - - - (1,19)
TOTAL (0,27) 17,83 (0,00) (0,05) (2,56) 89,99 (0,57) 1,06 55,89 1,10 1,24 3,93 22,18 26,91 34,32 5,45 1,34 0,01 0,27 5,64 0,80 264,49
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
PEDOMAN TEKNIS
Hs (0,13) 0,28 0,55 0,60 0,44 0,06 0,03 0,41 2,25
Hmp 0,14 0,03 0,18
Hrp 0,73 1,85 2,40 1,49 6,48
Ht 0,20 1,66 (0,02) 0,15 0,02 2,01
B (0,00) (0,21) (0,39) 0,09 (0,48)
Pk (0,01) 0,07 0,27 (0,04) 0,01 0,03 0,32
Pm
T (0,00) (2,95) (0,51) (2,99) (0,00) (0,01) (0,86) (0,01) (0,20) (7,52)
S
Hms 0,05 0,05
Hrs 2,01 9,06 21,45 39,39 0,50 0,01 0,18 74,84
Tahun 2006
Br (0,09) (2,30) (1,40) 1,79 (0,00) (0,78) 0,06 0,17 (2,55)
Pt (0,06) (0,05)
Pc (0,02) (0,20) 0,01 0,12 (0,02) 0,38 0,26
Tahun 2006
Br (0,41) (2,42) (3,84) 0,01 2,51 0,91 (0,31) (1,02) 0,18 0,22 0,21 0,06 (3,89)
Pt (0,03) (0,00) (0,33) (0,18) (2,99) 0,04 0,09 0,01 (0,00) (0,01) (1,53) 2,35 0,02 (2,57)
Pc (0,28) (0,39) (3,86) 0,56 1,51 0,02 (0,00) (0,02) 19,75 1,16 0,02 0,01 0,75 19,23
Sw (0,02) (0,01) (0,03) (0,16) (0,04) (0,00) (0,00) (0,84) (0,52) (0,00) (1,63)
Tm (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) (0,06)
Bdr (0,00) (0,00) (0,00)
Tr (0,01) 0,01 0,00
Tb (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01)
Rw (0,56) (1,23) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (1,81)
TOTAL (0,40) 18,02 (0,00) (0,05) (6,32) 90,32 4,73 1,06 83,57 1,10 1,37 5,46 62,50 27,89 36,83 5,63 1,35 0,01 0,27 5,65 0,98 339,98
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Angka emisi pada Tabel 10 ini merupakan hasil penjumlahan dari matriks
pada Tabel 8 dan Tabel 9. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
200
Emisi (juta t CO 2 -e/tahun
150
100
50
0
H u H u H u H u H u P e H u H u Tr Ba A i Pe Ta Pe Sa Ru Ra Pe Pe Be Se Ta
t a t a t a t a t a rk e t a t a a n s n d r r t a m b r m w a m p w a r t a r t a l u k m a n a
n n n n n b n n m ar m ak uk h u n ia n ia a r k h T
-50 La Ra La Ra Ta u n M M i g a/
h a w h a w n a a n a n a n ra P e
ba im t n n Ra Be l er b
ng an L a La w uk u
n aS n aP m gr gr si lab an ha ha a ar ka
Ke e k Ke r i a n ov ov u n n
r in u n r in e m eS eP h a Ke Ke
g de g r e r i n r in r in
Se r Pr k u m
ku im nd r e g g
nd er er Ca
er m
pu
r
PEDOMAN TEKNIS
32 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 6. Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap emisi
nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan gambut (g) dan
lahan mineral.
120
Emisi Historis 2006-2011 (juta ton CO2-e/tahun)
100
80
60
40
20
0
a Hu si Te ind (g)
la l D a
n ut
a uta Pr na od )
an m ng )
M si ba )
t
Su Tam n W na (g)
Pr Hu gas nve s
uk n wa i
Hu en ta ve in
m an am Da t
a an H isat aut
am N l L am
tw aya
si aa (g)
Ca Na rga (g)
n t
am p u L si
am n ba g
Al an ona Al u
od ta at rs
ak H tan gu Pr i (g
u (g
n uk Ter (g
ra
r A na tw
Ta m T m ara
ar Ko ta
an W a ra
Al ta r un
a r
Al n od an uk
ar uta La
l P Hu on n la
ak Ta Nas isat Bu
Da
Ta da ind as
da od ksi ain
da asio aut
ll
ga sio sa
uk un si
R
g n rs
a
od gg uk
L t
a
L
Pr en d
-20
0
n P ro
sa
K
ta eal n P
ga
i
m n
Hu Ar uta
M
H
T a
ak
n
ea
a
ta
Ar
ak
Hu
Su
Su
n
n
Su
ta
ta
Hu
Hu
n
ta
Hu
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 33
bentuk biomasa yang ada saat ini. Untuk operasionalisasinya
daerah di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi empat
kelas berdasarkan posisi daerah tersebut pada kurva
gradient penutupan lahan (forest transition) (Gambar 7).
Penetapan pendekatan baseline ditentukan berdasarkan
kelas tahapan ‘forest transition’ sebagai berikut:
PEDOMAN TEKNIS
34 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Proyeksi emisi dapat disajikan dalam bentuk kumulatif
(contoh pada Gambar 9) atau emisi rata-rata tahunan
tergantung pada satuan mana yang akan dipilih dalam
menentukan target penurunan emisi. Dalam perdagangan
karbon, perlu dihitung jumlah kumulatif emisi pada
periode tertentu. Target penurunan emisi 26% dan 41%
pada tahun 2020 menurut Perpres 61/2011, berpatokan
pada emisi rata-rata tahunan. Dengan demikian dalam
pedoman ini lebih difokuskan pada proyeksi emisi rata-
rata tahunan.
Gambar 7. Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan net emisi
(RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten) berdasarkan tahapan
dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et al. 2012).
Forest Core-
Forwad Looking REL
Forest Frontier-
Historical REL
Forest Mosaics-
Discounted Historical REL
EL Peri-Urban-
Historical RL
Historical RL
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 35
Gambar 8. Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as usual
(BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.
BAU
Proyeksi Penurunan
Juta ton
PEDOMAN TEKNIS
36 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 9. Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari biomas
tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut berdasarkan
pendekatan historis.
6000
Lahan gambut
5000 Lahan mineral
Emisi (juta ton CO2-e)
967
4000
3000 696
2000 3840
377 2601
1000
1322
0
2006-2011 2006-2016 2006-2021
Periode
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 37
38
Tabel 11. Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan
ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Penutupan Tahun 2021
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 36.483 1.059 0 0 30 3 0 11 0 5 1 37.592
PEDOMAN TEKNIS
Hs 14 36.136 0 32 817 188 1 292 1 0 1 40 316 3 2 24 37.867
Hmp 1.027 0 0 40 1 0 0 0 0 1.068
Hrp 2.942 5 3 0 128 13 0 0 0 0 3.091
Ht 9 3.623 76 3 2 85 0 31 28 14 0 2 0 3.875
B 18 72 12.59 317 3 92 9 0 0 2 64 1.007 11 0 0 41 14.228
Pk 0 19 29 9.047 5 49 0 0 38 45 19 0 1 9.252
Pm 0 0 1 0 2.518 0 0 9 3 12 0 0 2 0 2.545
T 1 80 99 195 1 2.268 77 0 1 45 51 20 9 1 0 0 10 0 2.858
S 51 5 11 3.223 0 10 15 3 1 0 0 3.319
Hms 2 1 0 3 1.001 0 18 0 1 0 10 0 0 1.036
Hrs 0 0 1 0 1 117 0 54 0 2.434 179 2 12 0 1 3 5 2.811
Tahun 2016
Br 3 5 124 98 0 35 47 5 3 4.916 8 7 2 9 0 3 0 5.266
Pt 0 0 10 16 93 15 20 2 0 1 10.128 129 495 0 0 1 3 10.913
Pc 3 14 146 149 30 68 1 0 1 1.3 23.246 55 1 0 0 34 0 25.049
Sw 0 0 2 4 21 3 0 158 28 7.203 1 0 0 0 7.421
Tahun 2016
Br 0 1 0 0 88 242 56 0 85 0 0 8 2.17 4 18 8 0 0 0 0 0 2.68
Pt 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 285 0 1 0 0 0 0 0 289
Pc 0 0 0 0 1 0 9 0 7 0 0 0 0 28 431 0 0 0 0 0 0 477
Sw 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 411 0 0 0 0 0 411
Tm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 9
Bdr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5
Tb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9
Rw 0 0 0 0 11 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 306 320
TOTAL 356 302 225 1.923 603 1.055 2.091 68 826 161 97 3.036 2.576 328 499 421 9 0 5 9 308 14.897
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
PEDOMAN TEKNIS
Hs (0,39) (0,00) 2,81 85,63 15,55 0,16 36,80 0,08 0,00 0,11 4,84 33,27 0,31 0,26 3,00 182,43
Hmp 0,00 0,01 1,66 0,16 0,01 0,00 0,03 0,00 1,86
Hrp 0,56 0,97 1,77 6,31 3,13 0,00 0,02 0,00 0,04 12,80
Ht (0,73) 2,30 0,00 0,10 7,20 (0,04) 0,30 1,25 0,75 0,63 0,00 0,11 0,00 11,87
B (1,84) (2,21) (8,51) 0,05 2,06 0,18 (0,01) (0,01) 1,01 0,22 0,01 0,01 0,92 (8,12)
Pk (0,00) (0,02) 0,70 0,17 2,27 (0,06) 0,02 1,33 0,99 0,75 0,01 0,06 6,22
Pm (0,00) (0,00) (0,02) (0,01) 0,00 (0,01) (0,03) (0,05) 0,03 0,00 0,00 0,01 0,00 (0,09)
T (0,08) (7,13) (2,51) (11,90) (0,00) (0,11) (0,00) (0,06) (1,93) (0,28) (0,63) 0,00 0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (24,60)
S (0,94) (0,19) 0,02 (0,00) (0,04) (0,28) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,43)
Hms 0,07 0,04 0,01 0,22 (0,00) 1,24 0,01 0,04 0,01 0,91 0,00 0,01 2,55
Hrs (0,00) (0,00) (0,04) 1,74 0,10 16,39 0,00 24,84 0,01 51,53 0,64 3,10 0,02 0,15 0,42 0,83 99,73
Tahun 2011
Br (0,40) (2,39) (3,79) 0,01 2,48 0,90 (0,30) (1,01) 0,18 0,22 0,21 0,00 0,06 0,00 (3,84)
Pt (0,04) (0,00) (0,37) (0,21) (3,36) 0,05 0,10 0,01 (0,00) (0,01) (1,72) 2,64 0,00 0,00 0,02 (2,88)
Pc (0,28) (0,39) (3,84) 0,56 1,51 0,02 (0,00) (0,02) 19,61 1,15 0,02 0,01 0,00 0,75 0,00 19,09
Sw (0,02) (0,01) (0,03) (0,17) (0,04) (0,00) (0,00) (0,88) (0,54) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,71)
Tahun 2016
Br (0,40) (2,33) (3,72) 0,01 2,42 0,88 (0,30) (0,98) 0,18 0,21 0,21 0,00 0,06 0,00 (3,75)
Pt (0,04) (0,00) (0,41) (0,23) (3,70) 0,05 0,11 0,01 (0,00) (0,01) (1,89) 2,91 0,00 0,00 0,02 (3,17)
Pc (0,28) (0,39) (3,83) 0,55 1,50 0,02 (0,00) (0,02) 19,49 1,14 0,02 0,01 0,00 0,74 0,00 18,96
Sw (0,03) (0,01) (0,03) (0,18) (0,05) (0,00) (0,00) (0,93) (0,57) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,80)
Tm (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) (0,07)
Bdr (0,00) (0,00) (0,00)
Tr (0,01) 0,01 0,00 0,00
Tb (0,01) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,02)
Rw (0,52) (1,18) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (1,73)
TOTAL (0,38) 16,87 (0,00) (0,04) (9,05) 87,18 (3,43) 1,09 78,53 1,05 1,25 4,79 47,76 27,47 34,56 6,32 1,34 0,01 0,26 5,44 0,80 301,82
Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.
700
600
500
400
300
200
100
-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
12000
Emisi kumulatif (juta ton CO2e)
10000
8000
6000
4000
2000
0
2006-2011 2006-2016 2006-2021
PEDOMAN TEKNIS
42 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
3.4 Rencana Aksi Nasional Penurunan
emisi gas rumah kaca
Berdasarkan besaran emisi seperti tercantum pada Tabel
10 dan Tabel 13 maka emisi dari biomas tumbuhan
akibat perubahan tutupan lahan dapat diturunkan melalui
penerapan berbagai skenario sebagai berikut. Senario
pada contoh ini menggunakan pendekatan BAU historis:
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 43
Gambar 11. Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas
tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan beberapa
skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU = Business as usual;
S 1 = Penangguhan penggunaan hutan gambut untuk pertanian dan
Ht; S2 = S1 + penangguhan penggunaan hutan pada lahan mineral
untuk pertanian dan Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk
menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan
trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan mineral
untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht sama dengan
trend 2006-2011.
700 S1 S2 S3 S4
600
Emisi (juta tCo2e/tahun)
500
52%
400
300
200
100
-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Periode
Dekomposisi Gambut
500
400
300
200
100
-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
(100)
Periode
PEDOMAN TEKNIS
44 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 12. Emisi pada tahun acuan (2006-2011) dan
proyeksi pada periode 2011-2016 serta 2016-2021 pada
skenario S4 (Gambar 11) yaitu penangguhan penggunaan
hutan gambut dan hutan lahan mineral tanpa mengurangi
laju perkembangan lahan pertanian dan hutan tanaman
industri melalui pemanfaatan semak belukar, baik pada
lahan mineral maupun lahan gambut.
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 45
Gambar 13. Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral dan lahan
gambut serta dekomposisi tanah gambut pada berbagai skenario
pengendalian deforestasi di kawasan hutan pada pada periode 2016-
2021.
30%
500
284
280
256
246
242
400
218
147
116
300
200
274
274
274
272
272
272
272
272
100
-
BAUS 1S 2S 3S 4S 5S 6S 7
Skenario
PEDOMAN TEKNIS
46 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
menjadi lahan perkebunan merupakan langkah
mitigasi yang disarankan dalam RAN GRK karena selain
memberikan manfaat lingkungan juga akan memberikan
manfaat ekonomi. Selain itu, sebisa mungkin lahan
hutan dipertahankan sebagai hutan dan pembangunan
diprioritaskan pada lahan dengan cadangan karbon
rendah.
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 47
PEDOMAN TEKNIS
48 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 4
EMISI DARI TANAH
GAMBUT
49
Ht, tanah terbuka, pertanian lahan kering, pertanian campuran
serta sawah. Semak belukar, hutan rawa sekunder dan perkebunan
merupakan sistem penggunaan lahan yang dominan pada lahan
gambut dan angka yang digunakan oleh RAN-GRK untuk lahan ini
setara dengan angka acuan IPCC (2013). Akan tetapi IPCC (2013)
tidak memberikan faktor emisi untuk seluruh kelas tutupan lahan
gambut yang digunakan dalam pedoman ini (21 kelas penutupan
lahan) sehingga persamaan Hooijer et al. (2006 dan 2010) yang
dimodifikasi dianggap lebih akomodatif untuk tujuan RAN-
GRK. Untuk perkembangan selanjutnya dari RAN GRK referensi
pembanding ini (IPCC 2013; Hergoalc’h dan Verchot 2013 dan
hasil penelitian lain) dapat dipertimbangkan.
Tabel 15. Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan
perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai
sumber lainnya.
Asumsi
Kelas
kedalaman
No Penutupan Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
drainase
lahan
(cm)
Hergoalc’h
RAN- Agus et al. IPCC
& Verchot
GRK1) (2013)2) (2013)
(2013)
1 2 3 4 5 6 7
Hutan Lahan
1 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Kering Primer
Hutan Lahan
2 30 n.a. n.a. n.a. n.a.
Kering Sekunder
Hutan Mangrove
3 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Primer
Hutan Rawa
4 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Primer
5 Hutan Tanaman 50 32 37 71,8±12,7 73
6 Semak Belukar 30 19 22 41,0±6,7 19
3)
7 Perkebunan 60 38 43 29,9±10,6 403)
8 Permukiman 70 45 50 n.a. n.a.
9 Tanah Terbuka 30 19 22 n.a. 51
Savana/Padang
10 9 19 22 41,0±6,7 35
Rumput
Hutan Mangrove
11 30 n.a. n.a. n.a. n.a.
Sekunder
Hutan Rawa
12 30 19 22 19,4±9,4 19
Sekunder
13 Belukar Rawa 30 19 22 41,0±6,7 19
PEDOMAN TEKNIS
50 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Asumsi
Kelas
kedalaman
No Penutupan Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
drainase
lahan
(cm)
Pertanian Lahan
14 30 19 22 41,0±6,7 51
Kering
Pertanian Lahan
15 Kering Campur 50 32 37 41,0±6,7 51
(Agroforest)
16 Sawah 9 6 7 25,6±11,5 34
17 Tambak 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Bandara/
18 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Pelabuhan
19 Transmigrasi 71 45 50 n.a. n.a.
20 Pertambangan 100 64 72 n.a. n.a.
21 Rawa 0 0 0 n.a. n.a.
1)
Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.7 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Faktor 0.7
digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 30% (Agus et al. 2010).
2)
Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.81 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Angka 0.81
digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 19% berdasarkan Jauhiainen et al. (2012)
untuk perkebunan Acacia.
3)
Perkebunan kelapa sawit. Emisi dari perkebunan sagu sekitar 8.6±5.3 ton CO2 ha/tahun menurut
Hergoalc’h and Verchot (2013) dan sekitar 5.5 ton CO2 /ha/tahun menurut IPCC (2013).
n.a. = tidak berlaku atau tidak tersedia.
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 51
perubahan terbagi secara merata dalam periode analisis, maka
faktor emisi lahan tersebut adalah rata-rata dari faktor emisi
penutupan lahan awal dan penutupan lahan berikutnya. Sebagai
contoh, faktor emisi lahan semak belukar rawa yang berubah
menjadi lahan perkebunan, maka faktor emisinya adalah 28.5
ton CO2e/(ha.tahun). Angka ini berasal dari rata-rata faktor emisi
belukar rawa setinggi 19 ton CO2e/(ha.tahun) dan perkebunan
setinggi 38 ton CO2e/(ha.tahun).
PEDOMAN TEKNIS
52 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 16. Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . tahun)) pada berbagai kelas penutupan (angka pada diagonal)
dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan gambut.
Penutupan
Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw
lahan
Hp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Hs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Hmp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Hrp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Ht 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 16 38,5 48 16
B 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pk 19 28,5 19 19 35 28,5 38 41,5 28,5 22 28,5 28,5 28,5 28,5 35 22 19 19 41,5 51 19
Pm 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 22,5 45 54,5 22,5
T 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
S 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 3 25,5 35 3
Hms 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Hrs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Br 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pt 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pc 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 16 38,5 48 16
Sw 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 3 25,5 35 3
Tm 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Bdr 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Tr 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 22,5 45 54,5 22,5
Tb 32 41,5 32 32 48 41,5 51 54,5 41,5 35 41,5 41,5 41,5 41,5 48 35 32 32 54,5 64 32
Rw 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Catatan: Penggunaan lahan Hutan Primer (Hp), Hutan Sekunder (Hs), Hutan Mangrove Primer (Hmp) dan Hutan Mangrove Sekunder (Hms) yang merupakan lahan
mineral diberikan faktor emisi gambut yang sama dengan Hutan Rawa Primer (Hrp) dan Hutan Rawa Sekunder (Hrs) untuk menantisipasi kesalahan penghitungan emisi
jika terjadi kesalahan dalam interpretasi citra tutupan lahan gambut. Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.
PEDOMAN TEKNIS
Hp 0,15 0,15
Hs 0,06 5,97 0,09 0,10 0,22 0,07 0,01 0,01 0,10 6,63
Hmp 0,04 0,04
Hrp 0,14 0,12 0,76 0,12 1,14
Ht 3,86 0,20 0,94 0,01 0,15 0,03 5,20
B 0,22 5,64 0,45 0,09 0,02 0,03 0,10 0,01 6,55
Pk 0,47 0,08 46,61 0,17 0,02 0,01 0,04 47,40
Pm 3,00 3,00
T 1,67 0,48 1,92 5,99 0,81 0,03 0,25 11,16
S 0,97 0,97
Hms 1,65 0,01 1,67
Hrs 0,77 3,83 3,64 77,26 8,16 0,09 0,62 0,02 94,39
Tahun 2006
Br 0,02 2,35 4,80 1,65 1,69 0,16 43,03 0,07 0,47 0,11 54,36
Pt 0,04 0,01 4,03 0,00 0,01 4,09
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2. Emisi dari masing-masing kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan adalah
perkalian dari masing masing cell dengan kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan pada Tabel 4 dengan faktor emisi pada
kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan yang sama yang terdapat dan Tabel 16.
Perkiraan emisi kumulatif dari dekomposisi gambut
selama rentang waktu 2006-2011, 2006-2016 dan 2006-
2021 berturut-turut adalah sebesar 1.269, 2.588 dan
3.955 juta ton CO2e (Gambar 14). Emisi kumulatif dan
penurunan emisi kumulatif digunakan dalam perdagangan
karbon, untuk menaksir berapa jumlah penurunan emisi
yang layak dihargai atau diperdagangkan. Data emisi
rata-rata tahunan digunakan untuk melihat fluktuasi
dan kecenderungan jumlah emisi, apakah mengalami
peningkatan atau penurunan.
Gambar 14. Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 dan 2006
-2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
4500
4000
Emisi (juta ton CO2-e)
3500
3000
2500
3955
2000
2588
1500
1000
1269
500
0
2006-2011 2006-2016 2006-2021
Periode
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 55
Ekg = A * Mb * Cf * Gef * 10-3 [1]
PEDOMAN TEKNIS
56 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Pengecekan lapangan sangat krusial untuk dilakukan,
akan tetapi karena biaya yang mahal serta tingkat kesulitan
dan resiko yang tinggi, data pengecekan lapangan sangat
jarang tersedia.
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 57
Di lapangan sulit membedakan antara kebakaran liar
dan kebakaran terkendali, namun berbagai peristiwa
kebakaran sering terjadi pada lahan yang mengalami
perubahan penggunaan, seperti untuk persiapan
perkebunan. Dengan demikinan kebanyakan kebakaran
adalah merupakan bagian dari pengelolaan (managed
atau controlled fire). Untuk itu bila tidak diketahui secara
pasti apakah kebakaran merupakan kebakaran liar atau
kebakaran terkendali disarankan untuk menggunakan
angka 264 faktor emisi ton CO2e/ha. Angka ini serupa
dengan angka perkiraan dari Christian et al. (2003)
sebanyak 262,6 ton CO2e/ha.
PEDOMAN TEKNIS
58 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
16). Musim kemarau panjang menjadi faktor penentu
utama kebakatan lahan, namun luas lahan yang dibuka,
dan pengelolaan pembersihan lahan yang sebagiannya
diikuti oleh pembakaran, menentukan jumlah emisi dari
kebakaran gambut. Secara historis api telah digunakan
sebagai alat manajemen dalam mempersiapkan lahan
untuk perkebunan, terlepas dari adanya peraturan yang
melarang penggunaannya (Someshwar et al. 2011).
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 59
Gambar 15. Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari kebakaran
gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam juta ton CO2e/tahun;
%) (van der Werf et al. 2008).
Lainnya
(Papua);
18.35;
4%
Sumatera;
179.83;
38%
Kalimantan;
271.58;
58%
Gambar 16. Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran gambut
Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van der Werf et al. 2008).
1200
R² = 0,5107
800
600
400
200
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
PEDOMAN TEKNIS
60 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
4.3 RAN Penurunan emisi dari oksidasi
dan kebakaran gambut
Emisi karena dekomposisi dan kebakaran gambut dapat
dikurangi dengan:
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 61
PEDOMAN TEKNIS
62 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 5
EMISI METANA DARI
LAHAN SAWAH
63
lebih besar dari CO2. Konsentrasinya di atmosfir saat ini
mencapai 1852 ppbv (part per billion volume).
PEDOMAN TEKNIS
64 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
akan dapat memberikan perkiraan jumlah musim tanam
dan lama penggenangan lahan sawah dalam satu tahun.
Selanjutnya sistem pengelolaan air, misalnya irigasi kontinu
dan irigasi terputus (intermitten) juga mempengaruhi
lama penggenangan.
BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 65
Tabel 18. Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2012
Tahun Luas panen padi sawah (ha)
2000 11.793.475
2001 11.041.225
2002 11.257.753
2003 11.797.078
2004 12.118.779
2005 12.168.796
2006 12.281.206
2007 12.147.637
2008 12.327.425
2009 12.883.576
2010 13.253.450
2011 13.203.643
2012 13.445.524
Sumber: Badan Pusat Statistik, http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, (diunduh Okt. 2013).
Tabel 19. Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai sistem
pengelolaan air
Faktor Faktor koreksi
koreksi (Prihasto, et
Kategori Pengelolaan air
(IPCC, al. 2000, 2002,
1996) 2011)
Rawan banjir
0,8 (0,5-
Tadah 1,0) 0,49 (0,19-0,75)
hujan
Rawan kekeringan 0.4 (0-0.5)
PEDOMAN TEKNIS
66 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 20. Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan sawah untuk
berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al. 2005).
Rata-rata emisi (kg CH4/ Faktor koreksi terhadap
No Varietas
ha/musim) Varietas IR64
1 Gilirang 496,9 2,46
2 Fatmawati 365,9 1,81
3 Aromatic 273,6 1,35
4 Tukad Unda 244,2 1,21
5 IR 72 223,2 1,10
6 Cisadane 204,6 1,01
7 IR 641) 202,3 1,00
8 Margasari 187,2 0,93
9 Cisantana 186,7 0,92
10 Tukad Petanu 157,8 0,78
11 Batang Anai 153,5 0,76
12 IR 36 147,5 0,73
13 Memberamo 146,2 0,72
14 Dodokan 145,6 0,72
15 Way Apoburu 145,5 0,72
16 Muncul 127,0 0,63
17 Tukad Balian 115,6 0,57
18 Cisanggarung 115,2 0,57
19 Ciherang 114,8 0,57
20 Limboto 99,2 0,49
21 Wayrarem 91,6 0,45
22 Maros 73,9 0,37
23 Mendawak 255 1,26
24 Mekongga 234 1,16
25 Memberamo 286 1,41
26 IR42 269 1,33
27 Fatmawati 245 1,21
28 BP360 215 1,06
29 BP205 196 0,97
30 Hipa4 197 0,98
31 Hipa6 219 1,08
32 Rokan 308 1,52
33 Hipa 5 Ceva 323 1,60
34 Hipa 6 Jete 301 1,49
35 Inpari 1 271 1,34
36 Inpari 6 Jete 272 1,34
37 Inpari 9 Elo 359 1,77
1)
IR64 dijadikan sebagai varietas patokan.
BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 67
5.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan
emisi ke depan (2011-2020)
Emisi BAU dihitung berdasarkan luasan riil luas panen
lahan sawah dari tahun 2006-2011 yang kemudian
diproyeksikan sampai tahun 2021 ) berdasarkan
kecenderungan luas panen tahun acuan (Gambar 17).
Asumsi yang digunakan adalah bahwa luasan lahan
sawah di Indonesia masih menerapkan sistem pengairan
tergenang selama musim tanam padi, aplikasi bahan
organik segar 2 t/ha dan belum menggunakan varietas
padi yang rendah emisi. Proyeksi emisi berdasarkan data
luas panen tahun 2006-2011 dan perkiraan sampai tahun
2021 disajikan pada Gambar 18.
Gambar 17. Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai tahun
2021 dengan model kuadratik.
20
18
16
( uta ha)
14
Luas panen (j
12
10 y = 24.209x 2 - 96.973.743x + 97.123.091.681
8 R² = 0,97
6
4
2
-
2006 2011 2016 2021
PEDOMAN TEKNIS
68 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 18. Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa usaha
mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya
sampai tahun 2021.
80
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun) y = 90.035x2 - 360.655.051x + 361.210.490.272
70 R² = 0,97
60
50
40
30
20
10
0
2006 2011 2016 2021
Tahun
BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 69
demikian pemilihan aksi mitigasi emisi lahan sawah perlu
dilakukan secara berhati-hati.
Gambar 19. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011
dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
70
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
60
50
40
y = 44.604x 2 - 178.377.936x + 178.380.481.662
30 R² = 0.99
20
10
0
2006 2011 2016 2021
Tahun
PEDOMAN TEKNIS
70 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 20. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan
proyeksinya antara tahun 2011 sampai tahun 2021 dengan pengelolaan
konvensional (BAU) dan skenario mitigasi melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
70
10%
BAU
60
SLPTT
50
40
30
2006 2011 2016 2021
Tahun
BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 71
PEDOMAN TEKNIS
72 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6
EMISI N2O DARI
PEMUPUKAN
73
NH4+ → NH2OH → NO2- → NO3-
Tabel 21. Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia dari tahun 2007 sampai
tahun 2011
Jenis Jumlah penggunaan (ton/tahun) pada tahun
Pupuk 2007 2008 2009 2010 2011
Urea 5.028.818 5.133.220 5.411.462 5.131.287 5.225.137
ZA 746.062 773.668 935.828 731.044 956.596
NPK 732.599 1.175.027 1.666.517 1.804.413 2.124.474
PEDOMAN TEKNIS
74 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6.2 Faktor emisi
Sumber emisi N2O langsung adalah:
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 75
ketiga (TNC). Faktor emisi N2O yang digunakan adalah
0,0027 kg N2O/ha/hari (Balingtan 2007, 2008,2009,2010).
Pendekatan dan asumsi yang digunakan adalah sebagai
berikut :
PEDOMAN TEKNIS
76 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Asumsi yang digunakan adalah :
Contoh perhitungan:
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 77
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan
emisi ke depan (2011-2020)
Gambar 21 memperlihatkan emisi N2O tahun 2006-
2011 yang berasal dari penggunaan pupuk N di
lahan pertanian (lahan sawah dan lahan kering) yang
merupakan emisi total secara langsung maupun tidak
langsung. Perkiraan emisi menjelang tahun 2020
disajikan pada Gambar 22.
Gambar 21. Perkiraan emisi N2O historis tanah yang dikelola dari tahun 2007-2011.
25
Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)
20
15
10
-
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 22. Perkiraan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola tahun 2007-2011
dan proyeksinya sampai tahun 2020.
25
Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)
20
15
10
-
2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Tahun
PEDOMAN TEKNIS
78 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6.4 RAN Penurunan emisi N2O
Penurunan emisi dari pupuk N ditempuh dengan cara
meningkatkan efisiensi pupuk N, misalnya dengan
penggunaan bagan warna daun (BWD), pembenaman
pupuk N (deep placement), penggunaan pupuk N slow
release dan penggunaan bahan penghambat nitrifikasi.
Sejauh ini faktor emisi yang tersedia berhubungan
dengan efisiensi (penghematan) penggunaan pupuk
N, sedangkan faktor emisi untuk pengaruh deep
placement dan penggunaan zat penghambat nitrifikasi
belum tersedia.
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi
N2O dari pemupukan
Manfaat mitigasi emisi N2O melalui usaha
peningkatan efisiensi penggunaan N atau pembatasan
penggunaan pupuk N secara berlebihan antara lain
adalah berkurangnya pencemaran badan air dan
berkurangnya ancaman penyakit pada bayi disebabkan
pencemaran nitrat pada air tanah yang digunakan
sebagai air minum. Kelebihan nitrat pada badan air
juga akan menyebabkan eutrifikasi yang menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan tumbuhan semak air
seperti enceng gondok. Peningkatan efisiensi N juga
akan menurunkan biaya usaha tani, meningkatkan
produksi dan mengurangi risiko serangan hama dan
penyakit tanaman.
PEDOMAN TEKNIS
80 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 81
PEDOMAN TEKNIS
82 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 7
EMISI DARI
SUBSEKTOR
PETERNAKAN
Gas rumah kaca terpenting yang dihasilkan oleh hewan
ternak adalah gas metana (CH4) yang dikeluarkan
dari proses pencernaan (enteric fermentation). CH4
juga dihasilkan dari proses oksidasi anaerob kotoran
hewan, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan emisi dari proses pencernaan. Dari total gas
metana yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, sekitar
94 % berasal dari fermentasi pencernaan dalam rumen
dan 6 % dari kotoran yang baru dieksresikan. Selain itu
kotoran hewan juga menghasilkan gas nitrous oksida
(N2O).
83
(Tabel 23) dan data aktivitas yang digunakan adalah
populasi ternak seluruh Indonesia tahun 2006-2012
(Tabel 24) serta proyeksi linearnya pada tahun 2013-
2020 (Tabel 25; Gambar 23).
Tabel 23. Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis ternak
Emisi
Jenis ternak
(kg CH4/(ekor . tahun)
Sapi potong 47
Sapi perah 61
Kerbau 55
Kambing 5
Domba 5
Babi 1
Kuda 18
Ayam buras t.t.
Ayam ras petelur t.t.
Ayam ras pedaging t.t.
Itik t.t.
Sumber: IPCC (2006)
t.t. = data tidak tersedia
PEDOMAN TEKNIS
84 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 24. Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor).
Tahun
Jenis ternak
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sapi Potong 10.875 11.515 12.257 12.760 13.582 14.824 16.034
Sapi Perah 369 374 458 475 488 597 622
Domba 8.980 9.514 9.606 10.199 10.725 11.791 12.768
Kambing 13.790 14.470 15.147 15.815 16.62 16.946 17.862
Kerbau 2.167 2.086 1.931 1.933 2.000 1.305 1.378
Kuda 401 393 399 419 424 430
Unggas (juta) 1.221 1.311 1.293 1.428 1.394 1.575 1.730
Babi 6.218 6.711 6.838 6.975 7.477 7.525 7.831
Sumber: Ditjen Peternakan (2012).
Tabel 25. Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020.
Jenis Tahun
ternak 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Sapi
17.108 18.277 19.538 20.977 22.553 24.187 25.903 27.757
Potong
Sapi
681 754 821 901 1000 1.089 1.196 1.314
Perah
Domba 13.544 14.371 15.370 16.460 17.679 18.914 20.195 21.585
Kambing 18.650 19.457 20.288 21.149 22.017 22.998 23.988 25.016
Kerbau 1.294 1.209 1.132 1.048 951 903 842 784
Kuda 436 442 451 461 468 476 484 492
Unggas
1.941 2.194 2.533 2.945 3.515 3.748 4.266 4.867
(juta)
Babi 8.141 8.409 8.705 9.034 9.324 9.664 10.008 10.359
Sumber: Proyeksi dari data populasi ternak tahun 2006-2012 yang tercantum pada Tabel 24.
Gambar 23. Populasi ternak dari tahun 2006 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
30
25
Populasi (juta ekor)
Sapi Potong
20 Sapi Perah
15 Domba
Kambing
10
Kerbau
5 Kuda
0 Babi
06
08
10
12
14
16
18
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 85
7.2 Emisi CH4 dari kotoran ternak: Data
aktivitas dan faktor emisi
Data aktivitas untuk emisi dari kotoran ternak adalah
populasi ternak dan perkiraan jumlah kotorang hewan
(Tabel 24, Tabel 25, dan Gambar 23). Faktor emisi CH4 dari
kotoran ternak disajikan padaTabel 26.
Tabel 26. Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode pengelolaan
(IPCC, 2006).
Faktor emisi (kg
Ternak Cara pengelolaan kotoran
CH4/ekor/tahun)
Sapi perah Sekitar setengah dari kotoran sapi 31
digunakan untuk biogas dan sisanya
Sapi lainnya dikelola dalam keadaan kering. 1
Sekitar 40% kotoran dikelola dalam
Babi 7
keadaan basah
Kotoran dikelola dalam keadaan
Kerbau 2
kering dan disebar di padang rumput
Domba 0,15
Kambing 0,17
Kuda 1,64
Ayam Pedaging 0,02
Ayam Petelur 0,03
Itik/ Bebek 0,03
PEDOMAN TEKNIS
86 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 27. Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan
perkiraan berat badan rata-rata.
Asumsi rata-tara berat
Eksresi N (kg N/(1000 kg
Jenis hewan 1) badan ternak (kg/
berat badan . hari)) .
ekor)2)
Sapi perah 0,47 300
Sapi lainnya 0,34 250
Babi 0,50 100
Ayam umur ≥ 1 tahun 0,82 2
Ayam muda 0,60 1.5
Ayam lainnya 0,82 2
Broiler 1,10 2
Kalkun 0,74 5
Bebek 0,83 2
Domba 1,17 45
Kambing 1,37 40
Kuda 0,46 550
Kerbau 0,32 300
1) 2)
Disarikan dari Tabel 10.19, IPCC 2006; Dari Thalib et al. (2008) untuk peternakan Indonesia.
Tabel 28. Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem pengelolaan
Faktor emisi: Rasio N
Sistem pengelolaan
yang berubah menjadi Perhitungan jumlah N2O teremisi
kotoran ternak
N2O
(0,02 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat
Ditumpuk (dry lot) 0,020
badan)*365*44/28
Ditumpuk beberapa
(0,005 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat
bulan dalam keadaan 0,005
badan)*365*44/28
padat (Solid storage)
Disebar ke lahan setiap
0 0
hari (Daily spread)
Catatan: Nilai eksresi N dan Berat badan tercantum pada Tabel 27.
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 87
besarnya emisi gas metana yang berasal dari proses
pencernaan seluruh ternak. Data penghitungan emisi
gas metana dari proses pencernaan tahun 2006 sampai
tahun 2012 dan proyeksi untuk tahun 2013 sampai 2020
ditampilkan pada Gambar 24.
Gambar 24. Emisi CH4 dari proses pencernaan ternak dari tahun 2006 sampai 2012
dan proyeksinya dari tahun 2013 sampai tahun 2020.
40
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
35
30 Babi
25 Kuda
20 Kerbau
15 Kambing
10 Domba
5 Sapi Perah
0 Sapi Potong
06
08
10
12
14
16
18
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
Gambar 25. Persentase emisi metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis
hewan ternak Indonesia berdasarkan data aktivitas populasi ternak
tahun 2011.
0%1%
1%
7%
Sapi Potong
9% Sapi Perah
Domba
6% Kambing
4% Kerbau
Kuda
72% Babi
PEDOMAN TEKNIS
88 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
7.4.2 Emisi metana dari kotoran ternak
Emisi metana dari kotoran ternak dihitung dengan rumus:
Emisi CH4 (ton CO2-e) = Jumlah ternak * Faktor emisi
6
5 Babi
Unggas
4 Kuda
3 Kerbau
Kambing
2
Domba
1 Sapi Perah
Sapi Potong
0
2014
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Tahun
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 89
Gambar 27. Emisi N2O dari kotoran ternak Indonesia
14
08
10
12
14
16
18
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
PEDOMAN TEKNIS
90 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
dan gliricidia serta daun singkong dapat digunakan
sebagai pakan suplemen. Teknik suplementasi dapat
meningkatkan daya cerna dan efisiensi penggunaan
pakan, serta berdampak pada pengurangan produksi
gas metana di dalam rumen (Gambar 29). Pemberian
tanaman leguminosa lain seperti daun akasia pada sapi,
domba dan kambing juga merupakan salah satu teknik
mitigasi karena bahan aktif tannin yang terkandung
dalam daun akasia.
• Penyusunan ransum komplit yang terdiri dari limbah
pertanian dan perkebunan sebagai sumber serat
dengan konsentrat yang berasal dari biji-bijian maupun
limbah industri pertanian/perkebunan merupakan
salah satu bentuk mitigasi untuk menurunkan emisi
gas metana dari sektor peternakan. Peningkatan nilai
nutrisi ransum komplit menyebabkan peningkatan
kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan yang
selanjutnya menurunkan produksi gas metana dalam
rumen.
• Sistem integrasi tanaman-ternak di wilayah perkebunan
kelapa sawit (sawit-sapi), perkebunan kakao (kakao-
kambing), pertanian/padi (padi-sapi) merupakan
bentuk upaya mitigasi gas metana dan memperbaiki
siklus karbon dari sub-sektor peternakan. Integrasi
yang dimaksud dapat diartikan bahwa ternak berada
langsung di dalam areal perkebunan atau pertanian
secara umum. Arti lainnya adalah bahwa ternak dan
tanaman berada pada areal yang berbeda, tetapi
pakan yang diberikan merupakan produk dari tanaman
tersebut.
• Pemanfaatan kotoran ternak untuk menghasilkan energi
melalui proses biogas. Pembangunan unit biogas skala
kecil untuk peternakan rakyat dengan kepemilikan 4-5
ekor per kepala keluarga (KK) dapat dilakukan dengan
sistem penggunaan bersama beberapa KK. Energi yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penerangan
maupun memasak.
• Proses pembuatan kompos sederhana dari kotoran
ternak dengan sistem tertutup dapat dilakukan
untuk mengurangi emisi gas metana selama proses
pengomposan. Penambahan starter/ mikroba untuk
mempercepat proses pengomposan juga merupakan
upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi
gas metana dari kotoran ternak.
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 91
Gambar 28. Emisi CH4 dan N2O dari berbagai sumber Subsektor Peternakan antara
tahun 2013 sampai 2012 dan proyeksi antara tahun 2013 sampai 2020.
60
Emisi N2O dari kotoran ternak
Emisi (juta ton CO2-e) 50 Emisi CH4 dari kotoran ternak
30
20
10
-
06
20 7
08
09
10
11
12
13
14
15
16
20 7
18
19
20
0
1
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
Gambar 29. Estimasi emisi metana pada skenario BAU historis dan penurunan
emisi dari sektor peternakan apabila diterapkan teknik mitigasi melalui
manajemen pemberian pakan.
40 Kondisi BAU
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
35
15 %
30
25
20
Setelah mitigasi
15
10
5
0
20 6
20 7
08
09
10
11
12
13
14
15
16
20 7
18
19
20
0
0
1
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
PEDOMAN TEKNIS
92 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
7.6 Manfat tambahan
Penerapan teknologi mitigasi gas metana di sektor
peternakan akan berdampak positif terhadap
lingkungan dan ternak. Terhadap lingkungan,
penerapan teknologi mitigasi dapat menurunkan
emisi gas metana yang di sumbang dari peternakan.
Disamping itu, penurunan gas metana yang dihasilkan
dari ternak memberikan nilai positif bagi ternak,
karena gas metan yang dihasilkan merupakan energi
pakan yang terbuang dari ternak. Dengan demikian
penurunan produksi gas metana dari setiap ternak
mengandung arti penyelamatan energi yang terbuang
untuk kemudian digunakan sebagai tambahan energi
untuk produksi ternak sehingga dapat terjadinya
peningkatan produktivitas ternak.
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 93
PEDOMAN TEKNIS
94 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
EMISI BAU DAN MITIGASI
SEMUA SUB-SEKTOR
BERBASIS LAHAN
95
sebanyak 672 juta ton CO2e/tahun. Perbedaan target penurunan
emisi menurut Perpres 61/2011 dengan hasil penghitungan RAN
GRK ini disebabkan oleh 2 faktor:
Gambar 30. Perkiraan emisi BAU dari semua sub-sektor dari bidang berbasis lahan
untuk periode base year 2006-2011 dan proyeksi pada periode 2011-
2016 serta 2016-2021.
900
800
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)
700 Peternakan
600 Pemupukan
500 CH4 Sawah
400
Dekomposisi gambut
300
200 Biomas lahan gambut
PEDOMAN TEKNIS
96 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Dari berbagai subsektor terlihat bahwa penyumbang utama emisi
sektor berbasis lahan adalah emisi dari dekomposisi lahan gambut,
diikuti oleh emisi dari biomas tumbuhan lahan mineral, emisi dari
biomas tumbuhan pada lahan gambut dan emisi dari lahan sawah.
Sumbangan emisi dari pemupukan dan peternakan berturut-
turut hanya sekitar 3% dan 4% (Gambar 32). Dengan demikian
usaha mitigasi perlu diprioritaskan pada sub-sektor yang menjadi
sumber emisi terbesar, dalam hal ini perubahan penggunaan lahan.
Pengurangan penggunaan lahan hutan dan memprioritaskan
penggunaan lahan semak belukar untuk pengembangan perkebunan
dan pertanian, berpotensi menurunkan emisi secara signifikan.
Gambar 31. Sumbangan emisi tahunan dari berbagai sub-sektor pada sektor
berbasis lahan pada periode tahun dasar (base year) 2006-2011.
Pemupukan Peternakan
CH4 Sawah 3% 4%
6%
Biomas lahan
mineral
Dekomposisi 39%
gambut
37%
Biomas lahan
Jumlah = 682 juta ton CO2-e gambut 11%
Gambar 32. Emisi dari semua sektor berbasis lahan pada skenario BAU forward
looking dan skenario penurunan emisi 13% dan 20,5% dari BAU pada
periode 2011-2016 dan 26% dan 41% dari BAU pada periode 2016-2021.
900 BAU Penurunan 26% Penurunan 41%
800
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)
700
600
500
400
300
200
100
0
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Periode
Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris,M. van Noordwijk, danT.J. Killeen.
2013. Historical CO2 emissions from land use and land cover change from the
oil palm industry in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Roundtable on
Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia.
Agus, F., dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre, Bogor.
Agus, F. K. Hairiah dan A, Mulyani. 2011. Measuring carbon stock in peat soils:
practical guidelines. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional
Program dan Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and
Development, Bogor. 60p.
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2007. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2008. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2009. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2010. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Christian T.J., B. Kleiss, R.J. Yokelson, R. Holzinger, P.J. Crutzen, W.M. Hao, B.H.
Saharjo, D.E. Ward. 2003. Comprehensive laboratory measurements of biomass-
burning emissions: 1. Emissions from Indonesian, African, and other fuels. J Geophys
Res 108. doi:10.1029/2003JD003704
PEDOMAN TEKNIS
98 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Rendah Emisi; LUWES - Land Use Planning for Low Emission Development STrategies,
World Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 135p.
Dewi, S., M. van Noordwijk, dan P. Minang. 2012. Reference Emission Levels (REL)
in the context of REDD and land-based NAMAs: forest transition stages can inform
nested negotiations. Submission to SBBSTA UNFCCC, February 28, 2012.
FAO (Food and Agriculture Organization). 2010. The State of Food Insecurity in The
World : Addressing in food insecurity in protracted crisis. FAO Publishing Branch,
Rome, Italy, 62 p.
Gunarso, P., M.E. Hartoyo, F. Agus, T.J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change
in Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Roundtable on Sustainable Palm Oil.
Kuala Lumpur, Malaysia.
Hergoualc’h, K. and L. V. Verchot. 2013. Greenhouse gas emission factors for land
use and land-use change in Southeast Asian peatlands. Mitig Adapt Strateg Glob
Change. DOI 10.1007/s11027-013-9511-x.
Huang, Y., H. Wang, H. Huang, Z.W. Feng, Z.H, Yang, dan Y.C. Luo. 2005.
Characteristics of Methane Emission from Wetland Rice–Duck Complex Ecosystem.
Agriculture, Ecosystems and Environment 105:181–193
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines for
National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas
Inventories Programme, In Eggleston H.S., Buendia, L., Miwa, K., Ngara, T. & Tanabe,
K. (Eds.). IPCC National Greenhouse Gas Inventory Programme, Published by IGES
REFERENSI 99
Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Japan.
Kalsum, L., N. Ngudiantoro, M. Faizal and A. Halim Pks. 2013. Controlling CO2 and
CH4 emission in a degraded peat swamp forest related to water table and peat
characteristics. Applied Mechanics and Materials, 391:202-206.
Morand, D.T. 2010, The World Reference Base for Soils (WRB) and Soil Taxonomy:
an initial appraisal of their application to the soils of the Northern Rivers of New
South Wales. Proceedings 19th World Congress of Soil Science, 1 – 6 August 2010,
Brisbane, Australia, Hal. 28-31.
Mosier, A.R., M.A. Bleken, C. Pornipol, E.C. Ellis, J.R. Freney, R.B. Howarth, P.A.
Matson, K. Minami, R. Naylor, K.N. Weeks, Z. Zhu. 2001. Policy implications of
human-accelerated nitrogen cycling. Biogeochemistry 52:281–320
Neue, H.U., dan R.L. Sass. 1994. Trace gas emission from rice fields. Environ. Sci.
Research 48 : 119 – 147.
Purnomoadi, A., E. Rianto, K. Higuchi and M. Kurihara. 2005. Beer cake could reduce
methane production from buffalo fed basal diet containing rice straw and commercial
concentrate. Proc The 2nd Greenhouse Gases and Animal Agriculture. Zurich.
Pusdatin (Pusat Data dan informasi Pertanian). 2013. Informasi Ringkas Komoditas
PEDOMAN TEKNIS
100 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Perkebunan, No. 01/01/I, 7 Januari 2013. Pusdatin, Jakarta.
Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop
management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central
Java. N.C.E. 58 : 85-93
Setyanto et al. 2002. Influence of soil properties on CH4 emission from rice field,
Indonesian J Ag. Sci.
Setyanto, P. 2001. Methane emission from three soil types planted with flooded rice.
M.S. Thesis, Universiti Putra Malaysia. Serdang, Malaysia.
Setyanto, P. 2004. Methane emission from rice field under different crop establisments
and rice cultivars. Ph. D Disertation. Universiti Putra Malaysia. Serdang, MaSetyanto, P.
A.B Rosenani, R. Boer, C.I. Fauziah and M.J. Khanif. 2005. The Effect of Rice Cultivars
on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian Journal of Agricultural
Sciences. IAARRD. MoA Indonesia.
Setyanto, P., H. Burhan, S. Y. Jatmiko. 2008. Effectiveness of water regime and soil
management on methane emission reduction from rice field. Prosiding seminar
Nasional pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS) secara terpadu. 219-233
Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop
management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central
Java. N.C.E. 58 : 85-124
Suharsih, P. Setyanto, A.K. Makarim. 2004. Emisi gas metan pada lahan sawah irigasi
inceptisol akibat pemupukan nitrogen pada tanaman padi. PP Tanaman Pangan 22
(2) : 43-47
Thalib, A., Suryahadi dan Unadi, A. 2008. Verifikasi Laju Emisivitas GRK Pada
Peternakan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan
REFERENSI 101
Iklim pada Sektor Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .
Thalib, A. dan Y. Widiawati. 2008. Peningkatan produksi dan kualitas susu dengan
emisi gas metan yang rendah melalui pemberian RMK sebagai imbuhan pada
ransum sapi perah. Pros. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020. Puslitbangnak dan STEKPI, pp. 82-87. Jakarta, 21 April 2008
Yokelson, R.J., R. Susott, D.E. Ward, J. Reardon and D.W.T. Griffith. 1997. Emissions
from smoldering combustion of biomass measured by open-path Fourier transform
infrared spectroscopy. Journal of Geophysical Research 102: 18865–18877.
PEDOMAN TEKNIS
102 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Didukung oleh