Anda di halaman 1dari 120

Republik Indonesia

BUKU I: LANDASAN ILMIAH


PEDOMAN TEKNIS
PENGHITUNGAN BASELINE
EMISI DAN SERAPAN GAS
RUMAH KACA SEKTOR
BERBASIS LAHAN

Republik Indonesia
2014
Penasehat
Endah Murniningtyas, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas
Prof. Herman Haeruman, Institut Pertanian Bogor

Koordinator
Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas

Editor
Fahmuddin Agus, Iman Santosa, Sonya Dewi,
Prihasto Setyanto, Syamsidar Thamrin, Yuliana Cahya Wulan,
Febyana Suryaningrum

Tim Penulis
Iman Santosa, Ruanda Agung Sugardiman, Ari Wibowo,
Saipul Rachman, Anna Tosiani, I. Wayan Susi Darmawan,
Mega Lugina, Fahmuddin Agus, Ai Dariah, Maswar, Prihasto
Setyanto, Miranti Arianti, Wiharjaka, Anggri Hervani, Ali
Pramono, Yeni Widiawati, Wisri Puastuti, Dwi Yullistiani,
Anny Meilani, Sonya Dewi, Feri Johanna, Degi Harja, Andree
Ekadinata, Febyana Suryaningrum, Yuliana Cahya Wulan

Tim Pendukung Teknis


Medrilzam, Pungki Widiaryanto, Novita Sari, Ira Ratnasari

ISBN: ……….

Sitasi
F. Agus, I. Santosa, S. Dewi, P. Setyanto, S. Thamrin, Y. C.
Wulan, F. Suryaningrum (eds.). 2013. Pedoman Teknis
Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah
Kaca Sektor Berbasis Lahan: Buku I Landasan Ilmiah. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia,
Jakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)


Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Jl. Taman Suropati 2
Jakarta 10310
Telp. (021) 31936207
Website: www.bappenas.go.id
Republik Indonesia
BUKU I: LANDASAN ILMIAH
PEDOMAN TEKNIS
PENGHITUNGAN BASELINE
EMISI DAN SERAPAN GAS
RUMAH KACA SEKTOR
BERBASIS LAHAN
UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh staf di


Kedeputian Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup, Kementerian PPN/Bappenas atas bantuan
fasilitasi teknis dalam penyusunan pedoman ini.

Penyusunan Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan


Emisi Gas Rumah Kaca didukung oleh The Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH
(GIZ) melalui Proyek Policy Advice for Environment and
Climate Change (PAKLIM) dan Green Economy and
Locally Appropriate Mitigation Actions in Indonesia
(GE-LAMA I). Dukungan tersebut sangat dihargai.

Proses penyusunan dokumen ini tidak terlepas dari


dukungan kemitraan dan dedikasi berbagai institusi
berikut:

1. Kementerian Kehutanan
2. Kementerian Pertanian
3. World Agroforestry Cente (ICRAF)
4. Kementerian Lingkungan Hidup
5. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4)
6. Japan International Cooperation Agency (JICA)
7. Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF)

Terima kasih yang setinggi-tingginya juga disampaikan


kepada para pihak yang telah banyak memberikan
masukan dalam penyempurnaan pedoman ini.
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ii


DAFTAR ISI iii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISTILAH x

BAB 1. PENDAHULUAN 1

BAB 2. DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN 5


PENGGUNAAN LAHAN
2.1. Sumber Data Aktivitas 5
2.2. Dasar pemilihan tahun 2006- 2011 sebagai base year 14

BAB 3. EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 17


3.1 Cadangan karbon 17
3.2 Faktor emisi 18
3.3 Perkiraan emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi pada periode yang 24
akan datang (2011-2020)
3.4 Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi gas rumah kaca 43
3.5 Manfaat tambahan dari aksi penurunan emisi gas rumah kaca 46

BAB 4. EMISI DARI TANAH GAMBUT 49


4.1 Emisi karena dekomposisi gambut 49
4.2 Emisi dari kebakaran gambut (below ground) 55
4.3 RAN Penurunan emisi dari oksidasi dan kebakaran gambut 61
4.4 Manfat tambahan dari aksi mitigasi pada lahan gambut 61

BAB 5. EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 63


5.1 Data Aktivitas 64
5.2 Faktor emisi metana dari lahan sawah 65
5.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) 68
5.4 Rencana aksi nasional penurunan emisi GRK 69
5.5 Manfat tambahan dan risiko penurunan GRK terhadap produksi padi 71

iii
BAB 6. EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 73
6.1 Data Aktivitas 74
6.2 Faktor emisi 75
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) 78
6.4 RAN Penurunan emisi N2O 79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi N2O dari pemupukan 80

BAB 7. EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 83


7.1 Emisi CH4 dari proses pencernaan: Data aktivitas dan faktor emisi 83
7.2 Emisi CH4 dari kotoran ternak: Data aktivitas dan faktor emisi 86
7.3 Emisi N2O dari kotoran hewan: Data aktivitas dan faktor emisi 86
7.4 Emisi masa lalu (2006-2011) dan proyeksi emisi 2011-2020 87
7.5 RAN/RAD Penurunan emisi GRK Subsektor Perternakan 90
7.6 Manfat tambahan 93

EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN 95


REFERENSI 98

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas 7
lahan mineral dan lahan gambut (Sumber: diolah dari Ritung et
al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh
Kemenhut).
Tabel 2 Tipe penutupan hutan dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen 8
Planologi Kehutanan.
Tabel 3 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral 11
Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (ribu hektar).
Tabel 4 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan gambut 12
Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar).
Tabel 5 Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia 13
antara tahun 2006 dan 2011 pada areal penggunaan lain (APL)
dalam ribu hektar.
Tabel 6 Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang 19
direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan
penggunaan lahan pada skala nasional
Tabel 7 Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas 27
tumbuhan karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun
2006-2011 di seluruh Indonesia pada lahan gambut dan lahan
mineral.

PEDOMAN TEKNIS
iv PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 8 Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional dari 29
biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan
tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 9 Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional yang 30
berasal dari biomas di atas permukaan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 10 Emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal 31
dari biomas akibat perubahan tutupan lahan mineral dan lahan
gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 11 Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral 38
Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan
ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tabel 12 Matriks proyeksi tutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 39
2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu
hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tabel 13 Matriks proyeksi emisi tahun 2011-2016 skala nasional yang 40
berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 14 Matriks proyeksi emisi tahun 2016-2021 skala nasional yang 41
berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 15 Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan 50
perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai sumber
lainnya.
Tabel 16 Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . 53
tahun)) pada berbagai kelas penutupan (angka pada diagonal)
dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan
gambut.
Tabel 17 Matriks emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional 54
yang berasal dari dekomposisi gambut akibat penggunaan dan
perubahan penggunaan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tabel 18 Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 66
2012
Tabel 19 Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai 66
sistem pengelolaan air
Tabel 20 Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan 67
sawah untuk berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al.
2005).
Tabel 21 Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia dari tahun 2007 74
sampai tahun 2011
Tabel 22 Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung. 76
Tabel 23 Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai 84
jenis ternak

DAFTAR ISI v
Tabel 24 Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 85
(ribu ekor).
Tabel 25 Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020. 85
Tabel 26 Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode 86
pengelolaan (IPCC, 2006).
Tabel 27 Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan 87
di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata.
Tabel 28 Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem 87
pengelolaan

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta sebaran lahan gambut Indonesia (Ritung et al. 2011). 6
Gambar 2 Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan 22
pendekatan stock difference, dan konsep cadangan karbon
rata-rata waktu (time averaged C stock) untuk perubahan
tutupan lahan dari hutan sekunder (Hs) ke dua siklus hutan
tanaman industri (Ht).
Gambar 3 Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) 24
dengan cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun)
dan perubahan hutan sekunder menjadi hutan tanaman
industri (Ht).
Gambar 4 Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor 27
Pertanian.
Gambar 5 Emisi CO2e skala nasional dari biomas di atas permukaan tanah 32
gambut dan tanah mineral dari perubahan tutupan lahan.
Gambar 6 Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap 33
emisi nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan
gambut (g) dan lahan mineral.
Gambar 7 Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan 35
net emisi (RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten)
berdasarkan tahapan dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et
al. 2012).
Gambar 8 Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as 36
usual (BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.
Gambar 9 Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari 37
biomas tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut
berdasarkan pendekatan historis.
Gambar 10 Perkiraan emisi tahunan dan emisi kumulatif pada skenario 42
bussiness as usual (BAU) dari dekomposisi gambut dan biomas
tumbuhan karena perubahan tutupan lahan berdasarkan
pendekatan historis dan forward looking dengan asumsi
bahwa emisi mengalami kenaikan sebanyak 2,5% per tahun
atau 12,5% pada periode 2011-2016 dan 25% pada periode
2016-2021 dibandingkan dengan emisi pada pendekatan
historis periode yang sama.

PEDOMAN TEKNIS
vi PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 11 Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas 44
tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan
beberapa skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU
= Business as usual; S 1 = Penangguhan penggunaan hutan
gambut untuk pertanian dan Ht; S2 = S1 + penangguhan
penggunaan hutan pada lahan mineral untuk pertanian dan
Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk menjaga
trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan
trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan
mineral untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan
Ht sama dengan trend 2006-2011.
Gambar 12 Memperlihatkan bahwa penangguhan penggunaan hutan 44
gambut dan hutan mineral tanpa mengurangi laju perluasan
lahan pertanian dan Ht (Skenario S4) mampu menurunkan
emisi GRK secara signifikan. Skenario ini merubah posisi emisi
dari biomas tumbuhan dari 340 juta ton CO2e/tahun pada
periode 2006-2011 menjadi negatif 8.4 juta ton CO2e/tahun
pada periode 2011-2016 dan negatif 1.1 juta ton CO2e/tahun
pada periode 2016-2021. Emisi dari dekomposisi gambut
tidak mengalami penurunan dengan skenario S4 ini, malahan
meningkat dari 278 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-
2011 menjadi 287 juta ton CO2e/tahun pada periode 2011-
2016 dan 294 juta ton CO2e/tahun pada periode 2016-2021.
Hal ini disebabkan karena luas lahan gambut yang dipengaruhi
drainase tidak berkurang, malahan drainase lahan gambut
semakin dalam dengan konversi belukar gambut menjadi
lahan pertanian dan Ht.
Gambar 13 Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral 46
dan lahan gambut serta dekomposisi tanah gambut pada
berbagai skenario pengendalian deforestasi di kawasan hutan
pada pada periode 2016-2021.
Gambar 14 Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 55
dan 2006 -2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
Gambar 15 Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari 60
kebakaran gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam
juta ton CO2e/tahun; %) (van der Werf et al. 2008).
Gambar 16 Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran 60
gambut Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van
der Werf et al. 2008).
Gambar 17 Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai 68
tahun 2021 dengan model kuadratik.
Gambar 18 Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa 69
usaha mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011
dan proyeksinya sampai tahun 2021.
Gambar 19 Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 70
2011 dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).

DAFTAR ISI vii


Gambar 20 Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai 71
tahun 2011 dan proyeksinya antara tahun 2011 sampai tahun
2021 dengan pengelolaan konvensional (BAU) dan skenario
mitigasi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SLPTT).
Gambar 21 Perkiraan emisi N2O historis tanah yang dikelola dari tahun 78
2007-2011.
Gambar 22 Perkiraan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola tahun 78
2007-2011 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
Gambar 23 Populasi ternak dari tahun 2006 dan proyeksinya sampai tahun 85
2020.
Gambar 24 Emisi CH4 dari proses pencernaan ternak dari tahun 2006 88
sampai 2012 dan proyeksinya dari tahun 2013 sampai tahun
2020.
Gambar 25 Persentase emisi metana (CH4) dari proses pencernaan 88
berbagai jenis hewan ternak Indonesia berdasarkan data
aktivitas populasi ternak tahun 2011.
Gambar 26 Emisi metana (CH4) dari kotoran ternak di Indonesia. 89
Gambar 27 Emisi N2O dari kotoran ternak Indonesia 90
Gambar 28 Emisi CH4 dan N2O dari berbagai sumber Subsektor Peternakan 92
antara tahun 2013 sampai 2012 dan proyeksi antara tahun
2013 sampai 2020.
Gambar 29 Estimasi emisi metana pada skenario BAU historis dan 92
penurunan emisi dari sektor peternakan apabila diterapkan
teknik mitigasi melalui manajemen pemberian pakan.
Gambar 30 Perkiraan emisi BAU dari semua sub-sektor dari bidang berbasis 96
lahan untuk periode base year 2006-2011 dan proyeksi pada
periode 2011-2016 serta 2016-2021.
Gambar 31 Sumbangan emisi tahunan dari berbagai sub-sektor pada 97
sektor berbasis lahan pada periode tahun dasar (base year)
2006-2011.
Gambar 32 Emisi dari semua sektor berbasis lahan pada skenario BAU 97
forward looking dan skenario penurunan emisi 13% dan
20,5% dari BAU pada periode 2011-2016 dan 26% dan 41%
dari BAU pada periode 2016-2021.

PEDOMAN TEKNIS
viii PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
KATA PENGANTAR

Dalam rangka menyusun recana aksi nasional penurunan


emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) seperti diamanatkan
oleh Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, diperlukan
suatu buku panduan teknis yang menguraikan tentang
landasan ilmiah perhitungan emisi gas rumah kaca
pada skenario business as usual (BAU) dan beberapa
skenario penurunan emisi. Buku ini dikemas dalam
uraian yang sederhana dan mudah dipahami oleh para
pihak yang berkepentingan. Buku panduan teknis ini
disusun untuk meningkatkan pemahaman berbagai
pihak di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten
untuk menyusun RAN dan rencana aksi daerah (RAD-
GRK).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


mengucapkan terima kasih kepada Tim Ahli yang
mewakili Kementerian Kehutanan, Kementerian
Pertanian dan World Agroforestry Centre (ICRAF) yang
telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk
penyusunan pedoman ini. Pedoman ini merupakan
living document yang akan diperbaharui sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terkait
dengan faktor emisi dan penetapan data aktivitas,
serta kesepakatan para pihak terkait dengan kebijakan
nasional dan hasil negosiasi di tingkat internasional.

Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan


Hidup
Bappenas
DAFTAR ISTILAH

Bahan organik (Organic matter). Bahan yang berasal dari makhluk hidup
yang dapat terdekomposisi atau merupakan hasil dekomposisi atau bahan
yang terdiri dari senyawa organik.

BAU (business as usual). Angka perkiraan tingkat emisi gas rumah kaca pada
satu atau dua periode yang akan datang (dalam panduan ini periode 2011-
2016 dan 2016-2021) berdasarkan kecenderungan yang berlaku sekarang
(dalam panduan ini 2006-2011).

Berat isi (BI) atau kerapatan lindak tanah (Soil bulk density). Berat kering
tanah per satuan volume (termasuk volume padatan dan pori tanah) dalam
keadaan tidak terganggu.

Biomas (Biomass). Masa (berat) dari organisme yang hidup yang terdiri atas
tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal. Satuannya adalah t/ha.
Untuk panduan ini biomas adalah berat kering tumbuhan dalam satu satuan
luas.

Biomas di atas permukaan tanah (Above ground biomass). Masa


tumbuhan yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri atas pohon,
dahan, ranting dan daun. tumbuhan

Biomas di bawah permukaan tanah (Below ground biomass). Masa


tumbuhan yang terdapat di bawah permukaan tanah yang terdiri atas akar
tumbuhan dan makhluk hidup di dalam tanah. Pada umumnya yang dihitung
untuk panduan ini adalah akar tumbuhan. Satuan dari biomas adalah ton/ha
atau secara umum satuan berat dibagi dengan satuan luas lahan.

Cadangan karbon (Carbon stock). Jumlah berat karbon yang tersimpan


di dalam ekosistem pada waktu tertentu, baik berupa biomas tumbuhan,
tumbuhan yang mati, maupun karbon di dalam tanah.

PEDOMAN TEKNIS
x PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Data aktivitas (Activity data). Luas suatu penutupan lahan dan luas suatu
lahan yang berubah dari suatu kelas penutupan menjadi kelas penutupan
lainnya. Untuk Sektor Peternakan data aktivitas adalah jumlah ternak dan
jumlah kotoran yang dihasilkan ternak pada suatu negara, perovinsi, kabupaten,
kecamatan atau desa. Untuk emisi dari lahan sawah, data aktivitas adalah luas
lahan sawah dengan sistem pengelolaan tertentu, misalnya sawah irigasi dan
sawah tadah hujan yang menanam varietas padi tertentu.

Ekivalen karbon dioksida (Carbon dioxide equivalent). Suatu ukuran yang


digunakan untuk membandingkan daya pemanasan global (global warming
potential, GWP) gas rumah kaca tertentu relatif terhadap daya pemanasan
global gas CO2. Misalnya, GWP metana (CH4) selama rata-rata 100 tahun
adalah 21 dan nitrous oksida (N2O) adalah 298. Ini berarti bahwa emisi 1 juta
ton CH4 dan 1 juta t N2O berturut-turut, menyebabkan pemanasan global
setara dengan 25 juta ton dan 298 juta ton CO2.

Emisi (Emissions). Proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfir, melalui


dekomposisi bahan organik oleh mikroba yang menghasilkan gas CO2 atau
CH4, proses terbakarnya bahan organik menghasilkan CO2 dan proses nitrifikasi
dan denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O.

Fermentasi enteric (enteric fermentation). Fermentasi dalam lambung


hewan yang menghasilkan gas metana (CH4).

Fluks (Flux). Kecepatan mengalirnya gas rumah kaca, misalnya kecepatan


pergerakan CO2 dari dekomposisi bahan organik tanah ke atmosfir dalam
satuan berat gas per luas permukaan tanah per satuan waktu tertentu
(misalnya mg/(m2 . jam).

Kandungan bahan organik tanah (Soil organic matter content, SOM).


Masa bahan organik tanah untuk setiap satuan berat kering tanah. Satuannya
adalah % berat atau g/kg (g bahan organik/kg tanah) atau t/t atau Mg/Mg.
Kandungan bahan organik 98% = 980 g/kg = 0,98 Mg/Mg = 0,98 t/t atau 0,98
ton bahan organik untuk setiap satu ton berat kering tanah.

DAFTAR ISTILAH xi
Kandungan karbon organik tanah (Soil organic carbon content, Corg).
Masa karbon untuk setiap satuan berat tanah. Satuannya adalah % berat
atau g/kg (g Corg/kg tanah) atau t/t atau Mg/Mg. Bila analisis laboratorium
hanya menghasilkan kandungan bahan organik (misalnya dengan metode
pengabuan kering atau loss on ignition, LOI) maka kandungan Corg tanah
diasumsikan 1/1,724 dari kandungan bahan organik tanah. Apabila tanah
gambut mempunyai kandungan bahan organik 98% maka Corg = 98%/1,724
= 57% = 570 g/kg = 0,57 Mg/Mg = 0,57 t/t.

Karbon (Carbon). Unsur kimia bukan logam dengan simbol atom C yang
banyak terdapat di dalam semua bahan organik dan di dalam bahan anorganik
tertentu. Unsur ini mempunyai nomor atom 6 dan berat atom 12 g.

Karbon dioksida (Carbon dioxide). Gas dengan rumus CO2 yang tidak berbau
dan tidak bewarna, terbentuk dari berbagai proses seperti pembakaran bahan
bakar minyak dan gas bumi, pembakaran bahan organik (seperti pembakaran
hutan), dan/atau dekomposisi bahan organik serta letusan gunung berapi.
Dewasa ini konsentrasi CO2 di udara adalah sekitar 0,039% volume atau
388 ppm. Konsentrasi CO2 cenderung meningkat dengan semakin banyaknya
penggunaan bahan bakar minyak dan gas bumi serta emisi dari bahan organik
di permukaan bumi. Gas ini diserap oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis.
Berat molekul CO2 adalah 44 g. Konversi dari berat C ke CO2 adalah 44/12
atau 3,67.

Lahan gambut (Peatland). Lahan yang tanahnya kaya dengan sisa tumbuhan
yang terdekomposisi sebagian, dengan kadar C organik tanah >18% dan
ketebalan >50 cm. Tanah yang berada pada lahan gambut disebut tanah
gambut. Lahan gambut banyak terdapat pada lahan basah (wetland). Tanah
gambut tropis mempunyai kisaran ketebalan 0,5 - >15 m dan yang terbanyak
antara 2-8 m. Pohon-pohonan, belukar, rumput-rumputan, pohon-pohonan
dan lumut dapat berkontribusi dalam pembentukan gambut apabila lahan
berada dalam keadaan tergenang atau jenuh air. Lihat definisi Tanah gambut.

Nekromas atau tumbuhan yang mati (Necromass/dead organic matter).


Berat dari makhluk hidup yang telah mati dalam keadaan kering oven, biasanya
ditampilkan dalam satuan t/ha atau Mg/ha. Nekromas terdiri atas sisa tumbuhan
(pohon, dahan, ranting dan daun dari tumbuhan yang mati) yang terdapat di
atas permukaan tanah, dan sebagiannya bisa saja terkubur di dalam tanah.
Peningkatan jumlah nekromas pada suatu areal bisa terjadi karena matinya
satu pohon atau lebih atau bisa karena matinya pohon dari lokasi tertentu
karena kerusakan skala besar disebabkan kebakaran, serangan hama atau
penyakit dan karena angin.

PEDOMAN TEKNIS
xii PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Neraca karbon (Carbon budget). Neraca dari terjadinya perpindahan karbon
dari satu penyimpan karbon (carbon pool) ke penyimpan lainnya dalam suatu
siklus karbon, misalnya antara atmosfir dengan biosfir dan tanah.

Penggunaan lahan (Land use). Klasifikasi jenis kegiatan dan pekerjaan


manusia di atas permukaan bumi, misalnya hutan, pertanian tanaman semusim,
perkebunan, perkotaan dan areal konservasi.

Penyerapan karbon (Carbon sequestration). Proses penyerapan karbon


dari atmosfir ke penyimpan karbon tertentu seperti tanah dan tumbuhan.
Proses utama penyerapan karbon adalah fotosintesis.

Penyimpan karbon (Carbon pool). Subsistem yang mempunyai kemampuan


menyimpan dan atau membebaskan karbon. Contoh penyimpan karbon
adalah biomas tumbuhan, tumbuhan yang mati, tanah, air laut dan atmosfir.

Proyeksi emisi historis (historical BAU). Perkiraan jumlah emisi untuk


periode yang akan datang berdasarkan kecenderungan pada satu periode
tahun acuan (base year).

Proyeksi emisi forward looking. Perkiraan jumlah emisi untuk periode yang
akan datang berdasarkan kecenderungan pada satu periode tahun acuan (base
year) serta dengan memperhatikan rencana pembangunan dan kebijakan yang
akan datang.

Tanah gambut (Peat soil). Tanah yang terbentuk dari sisa tumbuhan yang
terdekomposisi sebagian, dengan:
a. ≥18% C organik (setara dengan ≥ 30% bahan organik) jika mengandung
fraksi liat ≥ 60% atau lebih, atau
b. ≥12% C organik (setara dengan 20% bahan organik) jika tidak ada
kandungan fraksi liat, atau
c. ≥12% + (liat dengan kelipatan 0,1 kali) C organik, jika mengandung
fraksi liat <60 dan ketebalan >50 cm.

Tingkat emisi referensi (Reference Emission Level, REL): Tingkat emisi


kotor dari suatu area geographis yang diestimasi dalam suatu periode tertentu.

Tingkat referensi (Reference Level, RL): Tingkat emisi netto yang sudah
memperhitungkan pengurangan (removals) dari sekuestrasi atau penyerapan
C.

DAFTAR ISTILAH xiii


PEDOMAN TEKNIS
xiv PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 1
PENDAHULUAN

Peraturan Presiden (Perpres) No. 61/2011 memberikan


mandat kepada Kementerian/Lembaga di tingkat
pusat dan provinsi untuk menyusun Rencana Aksi
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), serta
mengembangkan data acuan perkiraan emisi GRK pada
skenario Business as usual (BAU). Emisi pada skenario
BAU akan menjadi bagian penting dalam menentukan
status emisi GRK saat ini dan projeksinya di masa
datang, yang selanjutnya penting dalam menentukan
perhitungan pengurangan emisi/tingkat absorbsi dan
merumuskan aksi-aksi penurunan emisi GRK serta
pemantauan keberhasilan pelaksanaan aksi-aksi ini.

Proyeksi BAU merupakan perkiraan emisi GRK di masa


depan (dalam hal ini 2011-2021 ) dengan skenario laju
pembangunan yang berlaku sekarang, tanpa intervensi
kebijakan yang khusus ditujukan untuk aksi mitigasi,
atau kebijakan pembangunan yang menyebabkan
terjadi peningkatan emisi secara signifikan. Untuk
dapat diakui secara nasional dan internasional, maka
BAU harus mempertimbangkan aspek teknis (landasan
ilmiah) dengan tetap memperhatikan aspek kebijakan
pembangunan berbasis lahan. Metodologi yang
dipilih juga harus sesuai dengan standar nasional dan
internasional dengan mengacu pada kaedah keilmuan,
kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku. Metode yang
dipakai untuk mengembangkan BAU harus sederhana
dan ringkas, sehingga mudah dimengerti dan diikuti
oleh berbagai lembaga, baik di tingkat nasional maupun
provinsi dan kabupaten.

Sejak diluncurkannya Pedoman Penyusunan RAD-GRK


pada awal tahun 2012, BAPPENAS telah membentuk
Tim Koordinasi Perubahan Iklim yang terdiri atas lima
Kelompok Kerja. Sejak bulan Januari sampai dengan
April 2012, Bappenas dan POKJA telah melaksanakan
sosialisasi kebijakan perubahan iklim ini dan juga

1
pedoman penyusunan Rencana Aksi Daerah, baik pada
tingkat nasional maupun daerah. Pada bulan Mei 2012,
Bappenas dan beberapa kementerian telah melaksanakan
kegiatan pelatihan untuk membangun BAU daerah serta
menyusun RAD-GRK Provinsi, yang diikuti oleh lebih dari
200 orang peserta dari 33 Provinsi. Untuk keperluan
sosialisasi dan pelatihan ini POKJA RAN-GRK untuk sektor
berbasis lahan telah merumuskan pedoman singkat
penyusunan BAU dan skenario penurunan emisi. Pedoman
singkat tersebut diuraikan di dalam buku Panduan Teknis
ini guna untuk memberikan penjelasan ringkas tentang
landasan ilmiah dari perhitungan dan cara penyusunan
RAD-GRK.

Buku ini khusus membahas metode perhitungan BAU


untuk sektor berbasis lahan dan lahan gambut, serta
emisi dari Sektor Pertanian (sawah, pemupukan dan
peternakan). Topik utama yang dibahas dalam pedoman
ini adalah data aktivitas, faktor emisi, pendekatan mitigasi
emisi dan prediksi jumlah emisi dari berbagai sektor/
subsektor, serta manfaat tambahan (co-benefit) dari aksi
mitigasi. Bidang utama yang dibahas dalam pedoman ini
adalah:

1. Emisi dari biomas tumbuhan akibat perubahan


penggunaan lahan
2. Emisi dari dekomposisi gambut
3. Emisi dari kebakaran gambut
4. Emisi dari lahan sawah
5. Emisi CH4 dan N2O dari Sub-sektor peternakan, dan
6. Emisi N2O dari pupuk nitrogen, baik yang berasal
dari pupuk buatan, maupun pupuk organik.

Beberapa kegiatan di sektor berbasis lahan yang terkait


dengan bidang dan sub-bidang lainnya dikelompokkan
sebagai berikut:

 Pada lahan mineral, cadangan karbon yang hilang


karena alih guna lahan, misalnya dari hutan menjadi
perkebunan kelapa sawit, diperhitungkan dalam
Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut.
 Pada lahan mineral dan lahan gambut, emisi N2O
yang disebabkan oleh pemupukan, diperhitungkan
sebagai emisi dari Bidang Pertanian.

PEDOMAN TEKNIS
2 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
 Pada lahan gambut, emisi yang terjadi sebagai
dampak pengelolaan dan perubahan penggunaan
lahan serta emisi karena kebakaran gambut,
diperhitungkan dalam bidang Kehutanan dan
Lahan Gambut.
 Emisi yang berasal dari pabrik pengolahan kelapa
sawit dimasukan dalam kelompok/bidang Industri.
 Emisi karena penggunaan biogas yang berasal dari
limbah pertanian atau limbah industri pertanian
dimasukan dalam emisi Sektor Energi.

3
PEDOMAN TEKNIS
4 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 2
DATA AKTIVITAS
PENGGUNAAN
DAN PERUBAHAN
PENGGUNAAN LAHAN

Bab 2 membahas tentang data aktivitas penggunaan


dan perubahan penggunaan lahan, baik untuk lahan
gambut, maupun lahan mineral. Data aktivitas untuk
penghitungan emisi dari perubahan penggunaan lahan
adalah luas suatu penutupan hutan dan lahan yang
dalam periode analisis tidak mengalami perubahan
atau penutupan lahan yang mengalami perubahan dari
suatu kelas menjadi kelas penutupan lainnya. Definisi
Data Aktivitas untuk Sektor Pertanian akan diberikan
secara terpisah pada Bagian 5.1, 6.1 dan 7.1.

2.1. Sumber Data Aktivitas


Data yang digunakan untuk perhitungan data aktivitas
tipe penutupan lahan terdiri atas:

1. Data spasial lahan gambut yang diterbitkan


oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
(Gambar 1; Ritung et al., 2011). Tumpang susun
(overlay) data lahan gambut dengan data wilayah
Indonesia akan memisahkan antara lahan
gambut dengan lahan mineral (non-gambut).
2. Data spasial tutupan hutan dan lahan tahun
2006 dan 2011 yang dihasilkan oleh Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian
Kehutanan. Berdasarkan tumpang susun data

5
tutupan hutan dan lahan tahun 2006 dengan
2011 dihasilkan matriks penutupan dan transisi
penutupan lahan (MPTPL).
3. Data Penunjukan Kawasan sebagai dasar
pembuatan zona pemanfaatan ruang (unit
perencanaan) berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan untuk setiap provinsi, yang diterbitkan
secara bertahap dari tahun 1999-2012. Misalnya,
untuk Provinsi Papua data penunjukan kawasan
diterbitkan berdasarkan SK.782/MENHUT-II/2012.

Data tabular hasil tumpang susun antara zone


pemanfaatan ruang dengan peta lahan gambut disajikan
pada Tabel 1. Dari 186.071.434 ha luas lahan Indonesia,
sekitar 14,9 juta ha (8%) adalah lahan gambut dan
sisanya adalah lahan mineral. Lahan gambut terdiri atas 6
zone dan lahan mineral terdiri atas 14 zone. Zone terluas
(sekitar 54,9 juta ha) pada lahan mineral adalah Areal
Penggunaan Lain (APL), yaitu kawasan di luar kawasan
hutan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan
seperti pertanian, perumahan dan industri. Untuk lahan
gambut, hanya sekitar 2,5 juta ha lahan berada di zone
APL. Luas total zone APL pada lahan gambut dan lahan
mineral adalah sekitar 31% dari total luas lahan Indonesia
dan sisanya seluas 69% adalah kawasan hutan.

Gambar 1. Peta sebaran lahan gambut Indonesia (Ritung et al. 2011).

PEDOMAN TEKNIS
6 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 1. Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas lahan mineral
dan lahan gambut.
Lahan Mineral Lahan Gambut
No. Zone Persen
Luas (ha) Persen (%) Luas (ha) %)
1 Cagar Alam Darat 48.051 0 - -
2 Hutan Lindung 29.596.833 16 974.370 1
3 Hutan Produksi 27.938.342 15 5.043.350 3
4 Hutan Produksi Konversi 17.277.674 9 3.502.558 2
5 Hutan Produksi Terbatas 23.644.143 13 818.735 0
Hutan Suaka Alam dan 17.260.743 9 2.015.264 1
6 Margasatwa
Hutan Suaka Alam dan 5 0,000003 - -
7 Wisata Laut
8 Suaka Margasatwa Darat 24.687 0,0001 - -
9 Taman Buru 60.602 0,03 - -
10 Taman Hutan Raya 1.745 0,0009 - -
11 Taman Nasional Darat 431.356 0,23 - -
12 Taman Nasional Laut 5.975 0,003 - -
13 Taman Wisata Alam 29.132 0,016 - -
14 Areal Penggunaan Lain 54.855.415 29 2.542.454 1
Jumlah 171.174.703 92 14.896.731 8
Jumlah lahan gambut dan
mineral 186.071.434 100
Sumber: diolah dari Ritung et al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh Kemenhut

Masing-masing zone Pemanfaatan Ruang seperti pada


Tabel 1, ditumpang susun lagi dengan peta spasial tutupan
hutan dan lahan tahun 2006 dan 2011 yang terdiri atas
21 kelas (Tabel 2) tanpa tubuh air sehingga menghasilkan
MPTPL tahun 2006-2011. Dengan demikian untuk tingkat
nasional dihasilkan 21 MPTPL sesuai dengan jumlah
kelas tutupan hutan dan lahan, yaitu 14 MPTPL pada
lahan mineral dan 7 MPTPL pada lahan gambut. Untuk
tingkat sub-nasional (provinsi) jumlah MPTPL berjumlah
maksimum 21 matriks. Provinsi yang tidak mempunyai
lahan gambut akan mempunyai MPTPL maksimum 14,
sesuai jumlah maksimum zone pemanfaatan ruang pada
lahan mineral. Masing masing MPTL berdimensi 21 baris
dan 21 kolom.

BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 7
Tabel 2. Tipe penutupan hutan dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen Planologi
Kehutanan.
Tipe penutupan Keterangan
No Kode
lahan
1 Hp Hutan Lahan Kering Hutan alam tanah mineral yang belum memperlihatkan
Primer, tanah mineral tanda penebangan berupa jalur logging.
2 Hs Hutan Lahan Kering Hutan alam tanah mineral yang sudah pernah
Sekunder, tanah ditebang, baik tebang pilih, maupun tebang habis,
mineral ditandai dengan jalur logging
3 Hmp Hutan Mangrove Hutan alam pada kawasan mangrove yang belum
Primer memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging.
4 Hrp Hutan Rawa Primer Hutan alam bertanah gambut yang belum
memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging.
5 Ht Hutan Tanaman Disebut juga dengan hutan tanaman industri, yaitu
lahan yang ditanam dengan tanaman industri hutan
seperti Acacia, Eucaliptus dan seterusnya.
6 B Semak Belukar Lahan yang ditumbuhi semak belukar dengan tinggi
kanopi sampai 5 m.
7 Pk Perkebunan Lahan yang ditumbuhi tumbuhan perkebunan sepeti
kelapa sawit, karet, kopi, teh, kelapa, kakao, dll.
8 Pm Permukiman Areal yang ditutupi oleh perumahan dan pekarangan
9 T Tanah Terbuka Lahan terbuka tanpa vegatasi dan lahan terbuka bekas
kebakaran/land clearing.
10 S Savana/Padang Lahan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis rumputan,
Rumput alang-alang dan paku resam.
11 Hms Hutan Mangrove Hutan mangrove yang sudah pernah ditebang dan
Sekunder tumbuh kembali.
12 Hrs Hutan Rawa Hutan rawa yang sudah pernah ditebang dan tumbuh
Sekunder kembali.
13 Br Belukar Rawa Lahan rawa yang ditumbuhi semak belukar.
14 Pt Pertanian Lahan Lahan yang ditutupi berbagai komoditas pertanian
Kering seperti padi, jagung, nanas dan sayur-sayuran.
15 Pc Pertanian Lahan Lahan yang ditutupi campuran tumbuhan tahunan
Kering Campur (pohon-pohonan) dengan berbagai tumbuhan semusim
(agroforestry).
16 Sw Sawah Lahan yang digunakan untuk sawah.
17 Tm Tambak Lahan yang digunakan untuk tambak.
18 Bdr/ Bandara/Pelabuhan Lahan yang digunakan untuk bangunan dan landasan
Plb bandar udara/Pelabuhan.
19 Tr Transmigrasi Lahan yang digunakan untuk perumahan dan
pekarangan transmigran. Lahan ini biasanya
mempunyai areal pekarangan yang lebih luas (sekitar
0.25 ha untuk masing-masing rumah).
20 Tb Pertambangan Areal yang digunakan untuk pertambangan.
21 Rw Rawa Areal rawa yang digenangi air, kemungkinan bertanah
mineral atau tanah gambut.
22 A Tubuh Air Lahan yang digenangi air, termasuk sungai, danau,
waduk dll.

PEDOMAN TEKNIS
8 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Contoh MPTPL tingkat nasional antara tahun 2006
dan 2011, kumulatif untuk lahan mineral semua zone;
lahan gambut semua zone; dan APL pada lahan mineral
disajikan berturut-turut pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5.
Angka pada diagonal menunjukkan luas suatu penutupan
hutan atau lahan yang tidak berubah antara tahun 2006
dan 2011, sedangkan angka di luar diagonal adalah data
luas lahan yang mengalami perubahan dari satu kelas
penutupan ke penutupan lainnya dalam periode tersebut.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa penggunaan lahan utama


pada lahan mineral pada tahun 2006 adalah hutan
primer (sekitar 40 juta ha), hutan sekunder (39 juta ha),
pertanian campuran atau agroforestry (25 juta ha),
semak belukar (15 juta ha) dan lahan perkebunan (7,2
juta ha). Sebagai pembanding, Gunarso et al. (2013)
memperkirakan luas lahan perkebunan kelapa sawit di
pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua pada tahun 2010
seluas 6,2 juta ha. Pusdatin Kementerian Pertanian (2013)
memperkirakan luas perkebunan kelapa sawit seluruh
Indonesia (total lahan gambut dan lahan mineral) tahun
2011 sekitar 8,9 juta ha. Dalam analisis ini, yang dimaksud
dengan lahan perkebunan adalah lahan perkebunan
besar yang memperlihatkan barisan tumbuhan pohon
yang beraturan. Perkebunan karet rakyat, kopi, kakao
dan teh kemungkinan masuk di dalam kelas tutupan
agroforestry dalam analisi RAN GRK ini. Lahan semak
belukar relatif sulit dibedakan dengan agroforestry dan
perkebunan tradisional dan kerancuan ini menjadi sumber
ketidakpastian (uncertainty) pada analisis tingkat nasional
(RAN GRK), namun ketidak-pastian ini dapat diverifikasi
melalui pengecekan di lapangan, terutama untuk analisi
tingkat provinsi dan kabupaten (RAD GRK).

Dalam jangka waktu lima tahun ini luas hutan primer pada
tanah mineral yang tetap bertahan sebagai hutan primer
adalah sekitar 38,7 juta ha. Sekitar 1,1 juta ha hutan
primer pada lahan bertanah mineral berubah menjadi
hutan sekunder. Luas lahan perkebunan meningkat dari
7,2 juta ha pada tahun 2006 menjadi 8,2 juta ha pada
tahun 2011.

Tabel 4 memperlihatkan sedikit kerancuan antara data


penutupan lahan pada lahan gambut. Misalnya, luas lahan
dengan kelas penutupan hutan primer (Hp), Hs, Hmp
dan Hms seharusnya nol, namun pada Tabel 4 tercatat
penutupan lahan ini berturut-turut seluas 383.000,

BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 9
346.000, 237.000 dan 88.000 ha pada tahun 2006 dan
berturut-turut 374.000, 330.000, 233.000 dan 91.000
pada tahun 2011. Hal ini kemungkinan disebabkan
perbedaan penggunaan peta dasar dalam analisis tipe
tutupan lahan dan analisis luas lahan gambut (apakah
peta gambut versi Wahyunto et al. 2003, 2004 dan 2006
atau Ritung 2011). Akan tetapi kesalahan ini relatif kecil
yaitu 1,1 dari 8,2 juta ha (sekitar 13% dari total luas hutan
gambut). Dalam perhitungan emisi (Bagian 4.1 dan 4.2.)
lahan ini diperlakukan sebagai lahan hutan gambut karena
peta dasar yang adalah peta lahan gambut.

Tabel 5 memperlihatkan MPTPL pada zone APL pada


lahan mineral Indonesia. Hutan primer yang tetap menjadi
hutan primer pada selang waktu ini adalah 732.000
ha. Hutan primer yang luasnya 774.000 ha pada tahun
2006, berkurang menjadi 733.000 ha pada tahun 2011.
Pengurangannya terutama terjadi karena sekitar 36.000
ha hutan primer berubah menjadi hutan sekunder.
Penggunaan lahan APL tanah mineral yang paling luas
adalah lahan pertanian campuran (agroforestry), yaitu
sekitar 16,2 juta ha pada tahun 2006 yang berkurang
menjadi 15,8 juta ha pada tahun 2011. Penggunaan lahan
perkebunan monokultur hanya tercatat sekitar 4,5 juta ha,
jauh di bawah penggunaan lahan agroforestry.

PEDOMAN TEKNIS
10 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 3. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (ribu hektar).
Penutupan Tahun 2011
lahan
Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 38.706 1.123 32 3 12 6 1 39.884
Hs 14 37.343 33 844 195 1 302 1 1 42 326 3 2 24 39.131
Hmp 1.112 43 1 1.157
Hrp 3.245 6 3 141 15 3.411
Ht 9 3.663 77 3 2 86 32 28 14 2 3.917
B 18 75 13.1 330 3 96 10 2 67 1.048 11 42 14.804
Pk 15 22 7.026 4 38 30 35 15 1 7.185
Pm 1 2.422 9 3 12 2 2.448
T 1 69 85 167 1 1.942 66 39 44 17 8 1 9 2.448
S 50 4 11 3.151 10 15 2 1 3.244
Hms 2 1 2 974 18 1 10 1.008
Hrs 2 1 142 65 2.943 216 2 15 1 4 7 3.398
Br 3 5 128 101 36 49 5 3 5.05 8 8 2 10 3 5.41
Pt 8 13 76 12 16 1 1 8.205 105 401 1 3 8.841
Pc 3 15 148 151 30 69 1 1 1.321 23.613 56 1 34 25.444
Sw 1 4 19 3 143 25 6.527 1 6.724
Tm 1 765 768
Bdr 14 15
Tr 1 1 319 321
Tb 393 394

Tahun 2006
Rw 25 1 1 1 1.196 1.224
TOTAL 38.721 38.501 1.112 3.247 3.892 14.501 8.231 2.495 2.681 3.279 1.023 3.087 5.344 9.914 25.243 7.052 792 15 323 519 1.203 171.175
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.

DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN


BAB 2
11
12
Tabel 4. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone
pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar).
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 367 15 0 0 0 0 383

PEDOMAN TEKNIS
Hs 7 314 4 5 8 0 4 1 0 4 0 346
Hmp 233 0 4 0 237
Hrp 2.132 0 7 13 80 12 2.245
Ht 121 8 0 37 0 6 1 173
B 0 8 297 16 5 1 2 4 0 333
Pk 13 3 1.227 6 1 1 1 1.251
Pm 67 67
T 0 66 25 67 315 0 0 42 2 10 0 0 528
S 0 162 162
Hms 0 87 1 88
Hrs 30 0 134 192 4.066 430 5 24 0 0 2 4.883

Tahun 2006
Br 1 92 253 58 89 0 8 2.265 4 19 9 0 0 2.797
Pt 1 0 212 1 0 215
Pc 1 8 0 6 0 0 26 391 0 0 433

PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN


Sw 0 392 392
Tm 9 9
Bdr 0 0
Tr 5 5
Tb 8 8
Rw 12 1 0 1 0 0 330 345
TOTAL 374 330 233 2.132 347 591 1.528 67 667 162 91 4.156 2.758 251 455 402 9 0 5 8 332 14.897
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 5. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 dan 2011 pada areal penggunaan lain
(APL) dalam ribu hektar.
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 732 36 3 3 1 774
Hs 1 4.382 3 220 101 1 105 27 97 2 10 4,948
Hmp 95 4 0 0 99
Hrp 57 1 2 7 0 0 67
Ht 1 1.253 5 1 1 9 10 12 6 1 1,298
B 3 8 4.921 238 2 45 5 38 540 9 23 5,834
Pk 2 6 4.365 3 20 26 33 15 4,471
Pm 1 0 2.168 8 2 12 1 2,193
T 7 20 90 1 646 35 29 26 11 7 3 875
S 12 4 1.112 5 13 1 1 1,150
Hms 0 1 1 266 6 4 279
Hrs 0 77 28 468 46 1 1 1 624
Br 3 44 58 21 1 2 1.781 4 4 1 4 2 1,924
Pt 3 2 62 12 6 6.123 99 375 1 6,683
Pc 1 4 73 130 26 53 844 15.001 54 1 26 16,214
Sw 1 3 19 2 133 24 6.051 6,235
Tm 1 466 468
Bdr 12 12
Tr 1 227 228
Tb 205 206

Tahun 2006
Rw 6 0 266 274
TOTAL 733 4.425 95 57 1.282 5.308 5.143 2.234 938 1.154 271 475 1.864 7.246 15.838 6.534 478 13 228 273 267 54,855
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.

DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN


BAB 2
13
2.2. Dasar pemilihan tahun 2006- 2011
sebagai base year
Sektor berbasis lahan secara historis tercatat sebagai
penyumbang emisi nasional terbesar sehingga penurunan
emisi terbesar (87%) ditargetkan berasal dari penggunaan
dan pengelolaan hutan dan lahan gambut (PERPRES
61/2011). Laju deforestasi sangat fluktuatif dengan angka
tertinggi tercatat pada tahun 1997 dan secara gradual
menurun sejak tahun 2003. Penurunan tersebut seiring
dengan ditetapkannya sejumlah kebijakan, mulai dari soft
landing policy, Gerakan Rehabilitasi Lahan (GERHAN) dan
gerakan lain penanaman pohon, pengembangan hutan
tanaman (Hutan Tanaman Industri, Ht; Hutan Rakyat,
Hr), penerapan beberapa skema pengelolaan hutan
lestari (PHPL) baik yang bersifat mandatory, maupun
voluntary, pemberantasan penebangan kayu ilegal dan
perdagangannya melalui Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK), serta peningkatan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan. Meskipun tidak secara eksplisit disebut
sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, namun sejalan
dengan Article 4 Komitmen Konvensi Perubahan Iklim
UNFCCC, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan policy
and measures dalam mitigasi perubahan iklim. Indonesia
meratifikasi UNFCCC tahun 1995 seperti disebutkan di
dalam Undang-undang No. 6/1995. Dengan demikian
data tutupan hutan tahun 2006-2011 sudah tidak murni
mencerminkan kondisi business as usual (BAU).

Pertimbangan pemilihan tahun 2006-2011 sebagai


tahun dasar (base year) karena pada akhir tahun 2009
Indonesia untuk pertama kalinya mengumumkan secara
internasional komitmen untuk menurukan emisi secara
sukarela sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41%
bila ada dukungan internasional dari BAU pada tahun
2020. Pengumuman tersebut diperkuat dengan keluarnya
PERPRES 61/2011 tentang RAN-GRK dan PERPRES 71/2011
tentang Inventarisasi GRK yang merupakan keputusan
formal pertama di tingkat nasional yang mengamanatkan
penyusunan RAN dan RAD-GRK serta MRV (measuring,
reporting and verification atau pemantauan, evaluasi dan
pelaporan, PEP). Tahun sebelum tahun 2011 adalah tahun
persiapan yang dianggap sebagai tahun awal persiapan
REDD.

PEDOMAN TEKNIS
14 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Walaupun gagasan REDD dicanangkan untuk pertama
kalinya pada tahun 2005, namun gagasan tersebut
merupakan ide dalam perundingan pada tingkat
internasional, bukan pada tingkat nasional. Keikut-sertaan
Indonesia dalam berbagai forum United Nations Framework
Conference on Climate Change (UNFCCC) sebelum tahun
2010 menghasilkan kesepakatan multilateral dan bilateral
(seperti Letter of Intent antara Indonesia dengan Norwegia),
namun bukan merupakan komitment unilateral nasional
yang resmi yang menargetkan penurunan emisi GRK.
Selain itu tahun 2006-2011 lebih menggambarkan laju
perubahan tutupan lahan terkini sebelum langkah-langkah
persiapan dan penerapan penurunan emisi GRK dalam
skema RAN-GRK diterapkan pada tahun selanjutnya.

Pada awal sosialisasi RAN GRK pada tahun 2012 ada


beberapa alternatif yang dikaji oleh Kelompok Kerja
(Pokja) penyusun Panduan Teknis ini, misalnya tahun
2000-2005 seperti pada Second National Communication
menggunakan base year tahun 2000-2005 (MoE, 2010).
Beberapa pertimbangan penggunaan base year tersebut
antara lain pada saat itu belum banyak peraturan yang
terkait dengan perubahan iklim, tersedianya historical
data untuk mendukung penghitungan base year tersebut.
Dalam RAN GRK ada usulan untuk menggunakan
tahun 2000-2010 dengan pertimbangan semakin lama
jangka waktunya semakin baik perkiraan emisi karena
pola perubahan lahan jangka menengah lebih terlihat.
Sesudah melalui beberapa tahapan diskusi, pada tahun
2012 Pokja Nasional dan Daerah sepakat memilih tahun
2006-2011 sebagai base year, baik untuk Sektor berbasis
lahan, maupun sektor lainnya (Sektor Energi, Limbah
dan Transportasi). Ini mengingat tahun 2006-2011
lebih mencerminkan keadaan terkini dari perubahan
penggunaan lahan. Analisis yang dilakukan oleh setiap
provinsi untuk semua bidang sudah menggunakan
tahun 2006-2011 sebagai base year. Namun sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi
terkini, kebijakan di bidang mitigasi perubahan iklim
dan negosiasi di tingkat internasional maka perhitungan
emisi BAU (termasuk base year, faktor emisi dan metode
perhitungan) pun akan dapat dikaji ulang dan diperbarui
secara berkala, misalnya sekali dalam lima tahun atau sekali
dalam empat tahun sesuai dengan frekuensi penyampaian
National Communication.

BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 15
PEDOMAN TEKNIS
16 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS
TUMBUHAN

3.1 Cadangan karbon


Biomas tumbuhan (jaringan tumbuhan yang masih
hidup di atas permukaan tanah dan akar tumbuhan)
adalah salah satu dari penyimpan (pool) karbon (C)
yang terpenting. Selain pada biomas karbon juga
disimpan di dalam jaringan tumbuhan yang sudah mati
yang disebut dengan nekromas dan di dalam tanah
sebagai karbon organik tanah (Hairiah et al. 2011; IPCC
2006; Agus et al. 2011). Di dalam tanah juga tersimpan
karbon anorganik, namun jumlahnya relatif sedikit.
Dari berbagai simpanan tersebut jumlah cadangan
yang terbesar untuk lahan mineral adalah pada biomas
di atas permukaan tanah, terutama untuk hutan dan
perkebunan serta lahan agroforestry. Data karbon
biomas pada akar tumbuhan biasanya diasumsi sekitar
sepertiga dari karbon pada biomas di atas permukaan
tanah, walaupun angka tersebut sangat bervariasi
tergantung jenis tumbuhan, kesuburan tanah dan
iklim setempat (Hairiah et al. 2011).

Dalam inventarisasi GRK dan perhitungan neraca


karbon, data yang paling umum digunakan oleh
berbagai pihak (misalnya US-EPA 2012, Agus et al.
2013), adalah cadangan karbon pada biomas tumbuhan
di atas permukaan tanah. Hal ini disebabkan data ini
relatif lebih banyak tersedia dan perubahan cadangan
karbon dari pool ini relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan pool lainnya pada tanah mineral. Monitoring
karbon di dalam nekromas dan karbon organik tanah
mineral memakan waktu dan biaya yang cukup
banyak, namun perubahan cadangan karbon pada
pool ini relatif rendah sehingga biaya transaksi untuk
melakukan inventarisasi cadangan karbon dan emisi
pada kedua pool ini relatif mahal.

17
3.2 Faktor emisi
Faktor emisi untuk perubahan penutupan lahan adalah
perbedaan jumlah cadangan karbon apabila lahan dengan
suatu kelas tutupan berubah menjadi tutupan lain. Untuk
mendapatkan faktor emisi tersebut diperlukan data acuan
(default) cadangan karbon dari semua tipe tutupan lahan
yang terdapat dalam MPTPL. Untuk setiap tipe tutupan
lahan tersebut dibangun angka acuan yang mewakili
(representative) yang berasal dari hasil penelitian atau
inventarisasi nasional di berbagai lokasi yang kemudian
dirata-ratakan. Tergantung ketersediaan data, untuk
tutupan lahan di tingkat nasional data cadangan karbon
acuan berasal dari berbagai lokasi yang mewakili daerah
beriklim kering dan beriklim basah dan dari lahan yang
subur serta kurang subur. Sejalan dengan itu, jika data
tersedia untuk tingkat provinsi digunakan data yang
mewakili dari berbagai lokasi di dalam wilayah provinsi
tersebut.

3.2.1 Cadangan karbon berbagai tutupan


lahan
Untuk tutupan lahan hutan (termasuk hutan terdegradasi)
digunakan data cadangan karbon rata-rata hutan. Untuk
tutupan lahan perkebunan dan pertanian dengan siklus
penanaman dan panen secara beraturan digunakan data
cadangan karbon rata-rata waktu (time averaged C stock)
(Hairiah et al. 2011; Agus et al., 2013; US-EPA 2012).
Tabel 6 memperlihatkan data acuan cadangan karbon
pada biomas di atas permukaan tanah yang digunakan di
dalam RAN-GRK. Untuk tingkat sub-nasional (provinsi dan
kabupaten) didorong untuk mengembangkan faktor emisi
lokal dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, serta
lebih mencerminkan keadaan di provinsi atau kabupaten
yang bersangkutan. Penggunaan Tier yang lebih tinggi
juga sangat diperlukan dalam perdagangan karbon yang
berbasis hasil penurunan emisi (result-based payment).

PEDOMAN TEKNIS
18 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 6. Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang
direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan penggunaan
lahan pada skala nasional
Cadangan C
No Tutupan lahan Referensi
(t/ha)
1 Hutan Lahan Kering 195 World Agroforestry Centre (2011); Prasetyo et
Primer al. (2000); Laumonier et al. (2010); IPCC (2006)
for Tropical rainforest; Harja et al. (2011) dengan
nilai cadangan karbon berturut-turut 300, 252,
180, 150, 121 dan 93 t/ha
2 Hutan Lahan Kering 169 World Agroforestry Centre (2011) untuk hutan
Sekunder sekunder berkerapatan tinggi; Rahayu et al.
(2005); IPCC (2006) for tropical Asia; Saatchi
et al. (2011); World Agroforestry Centre (2011)
untuk hutan berkerapatan rendah, Harja et al.
(2011) dengan nilai berturut-turut 250, 203,
180, 158, 150 dan 74 t/ha
3 Hutan Mangrove 170 Komiyama et al. (2008)
Primer
4 Hutan Rawa Primer 196 MoF (2008), IFCA
5 Hutan tanaman 64 World Agroforestry Centre ( 2011) tanah mineral
70 t/ha, tanah gambut 60 t/ha
6 Semak Belukar 30 IPCC (2006); Istomo et al. (2006); Jepsen (2006);
World Agroforestry Centre (2011) berturut-turut
35, 30, 20 dan 27 t/ha.
7 Perkebunan 63 Palm et al. (1999) perkebunan karet (89 t/
ha); Rogi (2002 ) kelapa sawit (60t/ha); van
Noordwijk (2010) kelapa sawit (40 t/ha)
8 Permukiman 4 World Agroforestry Centre (2011)
9 Tanah Terbuka 2.5 Asumsi
10 Padang rumput 4 Rahayu et al. (2005)
11 Hutan Mangrove 120 Komiyama et al. (2008)
Sekunder
12 Hutan Rawa 155 MoF (2008)
Sekunder
13 Belukar Rawa 30 Diasumsi sama dengan belukar di lahan kering
14 Pertanian Lahan 10 Hashimotio et al. (2000), Murdiyarso and Wasrin
Kering (1996); World Agroforestry Centre (2011)
berturut-turut 12,5; 10 dan 8 t/ha
15 Pertanian Lahan 30 Rahayu et al. (2005) (agroforestry)
Kering Campur
16 Sawah 2 Palm et al. (1999)
17 Tambak 0 Asumsi
18 Bandara/Pelabuhan 0 Asumsi
19 Transmigrasi 10 BAPPENAS (2010), diasumsi bahwa sepertiga
areal dialokasikan untuk pertanian campuran
20 Pertambangan 0 Asumsi
21 Rawa 0 Asumsi

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 19
3.2.2 Pendekatan perhitungan emisi dari
perubahan tutupan lahan
Terdapat dua pendekatan untuk perhitungan emisi
gas rumah kaca, yaitu (i) perubahan cadangan karbon
(stock difference) dan (ii) perhitungan peningkatan dan
penurunan cadangan karbon (gain and loss). Dalam
pedoman RAN-GRK ini digunakan metode stock difference.

(i) Metode perhitungan perubahan cadangan


karbon (stock difference)

Metode perubahan cadangan karbon (stock difference)


adalah metode dengan cara memperkirakan perbedaan
cadangan karbon pada suatu selang waktu, misalnya satu
siklus tumbuhan perkebunan (Pk) atau hutan tanaman
(Ht). Metode ini digunakan juga oleh US-EPA (2012), van
Noordwijk et al. (2010) dan Agus et al. (2013). Lahan
yang penggunaannya tidak berubah dalam periode waktu
tertentu, diasumsi tidak mengemisi (emisi nol) dan lahan
yang mengalami perubahan tutupan mengemisikan
karbon sejumlah karbon yang dikandung oleh tutupan
lahan awal dikurangi dengan cadangan karbon tutupan
lahan berikutnya. Untuk sistem dengan suatu siklus
pertumbuhan teratur, cadangan karbon yang digunakan
adalah cadangan karbon rata-rata waktu (time average
carbon stock) yang secara konseptual diperlihatkan pada
Gambar 2. Apabila suatu Hutan tanaman (Ht) mempunyai
siklus (daur masak tebang) delapan tahun maka cadangan
karbon pada awal tahun siklus dianggap (mendekati) nol
dan cadangan karbon pada puncak pertumbuhan adalah
2 * 64 = 128 ton/ha. Cadangan karbon rata-rata untuk
setiap siklus adalah 64 ton/ha (Tabel 6). Dengan asumsi
bahwa kurva pertumbuhan merupakan kurva linear,
maka setiap tahun akan terjadi penyerapan sekitar 16
ton C/ha atau ekivalen dengan 59 ton CO2/ha. Sesudah
mencapai puncak pertumbuhan pada tahun ke delapan,

PEDOMAN TEKNIS
20 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Ht tersebut akan ditebang dan karbon yang tersimpan di
dalam jaringan tumbuhan hasil tebangan (sejumlah 128
t/ha) akan teremisi dalam waktu relatif pendek melalui
berbagai proses. Berdasarkan pedoman dari IPCC (2006)
pada Tingkat Ketelitian 1 (Tier 1) diasumsi 128 ton C/
ha tersebut langsung teremisi. Bila tersedia data hasil
penelitian tentang jumlah karbon yang dapat disimpan
dari hasil penebangan serta tahun paroh (half year) karbon
di dalam hasil panen kayu (misalnya yang tersimpan dalam
kertas atau perabot), maka data tersebut dapat digunakan
pada perhitungan emisi Tier 2 atau Tier 3.

Karena adanya siklus serapan (gain) selama pertumbuhan


dan emisi (loss) sewaktu tumbuhan sudah ditebang, maka
cadangan karbon rata-rata waktu untuk Ht adalah 64 t/
ha. Dengan demikian, jika hutan sekunder (Hs) dengan
cadangan karbon 169.7 t/ha beralih guna menjadi Ht
dengan cadangan karbon rata-rata 64 t/ha, maka
perubahan tutupan lahan tersebut mengemisikan karbon
sebanyak (169.7-64) t/ha = 105,7 ton C/ha atau 389 ton
CO2e/ha.

Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa antara siklus


pertama dan kedua dari sistem Ht terjadi pengulangan
pertumbuhan dengan laju serapan karbon yang relatif
sama. Pada akhir masa pertumbuhan pada tahun ke
delapan juga terjadi penebangan. Karena siklus pertama
mempunyai cadangan karbon rata-rata 64 t/ha dan siklus
kedua juga 64 t/ha maka menurut sistem perhitungan
stock difference, net emisi dari biomas tumbuhan antara
siklus pertama Ht dan siklus kedua Ht adalah nol.

Jika tutupan lahan awal adalah semak belukar (B) dengan


cadangan karbon 30 t/ha dirubah menjadi Ht maka
dengan metode perhitungan yang sama akan terjadi net
emisi sebanyak (30-64) ton C/ha = -34 ton C/ha (-125 ton
CO2e/ha). Angka negatif emisi menunjukkan terjadinya
net serapan (sequestration) karbon.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 21
Gambar 2. Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan pendekatan
stock difference, dan konsep cadangan karbon rata-rata waktu (time
averaged C stock) untuk perubahan tutupan lahan dari hutan sekunder
(Hs) ke dua siklus hutan tanaman industri (Ht).
180
160 Penyerapan 16 t C/hatahun
Emisi 106 ton C/ha Time averaged = 64 t C/ha
140
Cadangan C (t/ha)

120
100
80
60
40
20
0
Ht 0
Ht 1
Ht 2
Ht 3
Ht 4
Ht 5
Ht 6
Ht 7
Ht 8
Ht 0
Ht 1
Ht 2

Ht 4
Ht 5
Ht 6
Ht 7
Ht 8
Hs

Ht 3
(ii) perhitungan peningkatan dan penurunan
cadangan karbon (gain and loss)

Metode perhitungan penyerapan dan kehilangan (gain


and loss) karbon dilakukan dengan cara menghitung
perubahan tahunan cadangan C pada berbagai carbon
pools (biomas, nekromas, C tanah). Tambahan (gains)
dan kehilangan (losses) dari cadangan C diinventarisasi
dan diperhitungkan setiap tahun sehingga didapatkan
riap tahunan (mean annual increment/MAI) dikurangi
kehilangan C dari berbagai aktifitas seperti penebangan,
penjarangan, pengambilan kayu bakar, kebakaran hutan
dan lain-lain (IPCC 2006).

Konsep gain (riap) untuk hutan sekunder dengan laju


2,23 t /ha/tahun dicontohkan pada Gambar 3. Bila nilai
riap adalah 2,3 ton C/ha/tahun, maka hanya dalam 9
tahun cadangan C hutan sekunder sudah menyamai
hutan primer. Dalam keadaan yang sebenarnya cadangan
C hutan primer sulit disamai oleh hutan sekunder. Apabila
konsep gain and loss digunakan, maka sewaktu lahan
berubah menjadi Hutan Tanaman (Ht), angka perkiraan
emisi dari perubahan Hs menjadi Ht akan semakin tinggi,

PEDOMAN TEKNIS
22 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
yaitu (195,4-64) ton C/ha = 131,4 ton C/ha, sedangkan
jika angka riap tidak diperhitungkan, maka jumlah emisi
adalah (169,7-64) ton C/ha = 105,7 ton C/ha.

Berbagai kendala dalam penerapan metode gain and loss:

 Sulit mendapatkan data riap C berbagai jenis tutupan


lahan
 Tidak ada informasi sampai berapa tahun angka riap
dapat dipertahankan. Jika digunakan untuk puluhan
tahun maka angka cadangan C suatu tutupan lahan
tertentu menjadi tidak realistis.
 Sulit mendapatkan angka kehilangan cadangan
karbon akibat kebakaran karena angka ini sangat
bervariasi tergantung musim dan iklim setempat.
 Untuk satu atau dua jenis tutupan lahan tertentu,
misalnya beberapa unit perkebunan, sistem ini
dapat diterapkan, namun untuk skala nasional dan
provinsi dengan MPTPL berdimensi 21 x 21 seperti
yang digunakan dalam RAN/RAD GRK, sistem gain
and loss sangat sulit untuk diterapkan.

Berdasarkan uraian pada Bagian 3.2.2 ini maka dalam


penetapan BAU untuk RAN GRK serta untuk berbagai
skenario mitigasi digunakan sistem stock difference pada
tingkat keakuratan Tier 2. Sebagai bagian dari pelaksanaan
Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) dari kegiatan
RAD/RAN-GRK dapat dikumpulkan data pertumbuhan in
situ pada areal dimana kegiatan mitigasi dilakukan. Data
ini nantinya akan bisa mendukung penghitungan Tier
3 dan juga bisa dipakai sebagai bahan untuk mereview
kembali apakah data yang tersedia sudah mungkin
digunakan untuk mengganti metode stock difference
dengan metode gain loss.

Perlu diingat bahwa bukan hanya data pertumbuhan


(gain) yang harus dikumpulkan akan tetapi juga data
pemanenan dan kehilangan lainnya (losses) seperti
kebakaran, penjarangan dan penebangan. Juga masih
harus dipertanyakan apakah data aktivitas yang didapatkan
dari data satelit dengan tingkat resolusi sedang (medium
resolution imageries) bisa mengimbangi data faktor emisi
untuk mengakomodir metode gain loss.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 23
Gambar 3. Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) dengan
cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun) dan perubahan
hutan sekunder menjadi hutan tanaman industri (Ht).
Riap = 2,23 t/ha/tahun Cadangan C hutan
primer = 195 t/ha
200
180
160 Cadangan C hutan
140 primer = 169 t/ha
Cadangan C (ton/ha)

120
100
80
60
40
20
0
HS Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Ht 0Ht 1Ht 2Ht 3Ht 4Ht 5Ht 6Ht 7Ht 8

3.3 Perkiraan emisi masa lalu (2006-


2011) dan emisi pada periode yang
akan datang (2011-2020)

3.3.1 Prinsip dan metode perhitungan


Langkah pertama dalam memperkirakan emisi dari
kehutanan dan alih guna lahan adalah menghitung tingkat
emisi masa lalu (tahun 2006-2011). Dalam memperkirakan
tingkat emisi masa lalu, maka metode yang digunakan
mengacu pada Pedoman IPCC 2006 mengenai AFOLU
(Agriculture, Forestry and other Land Uses/Pertanian,
Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya). Metode
ini merupakan pendekatan yang sistematik untuk
memperkirakan perubahan cadangan karbon (yang terkait
dengan emisi dan sekuestrasi CO2 dari biomas, nekromas
dan tanah serta emisi dari kebakaran.

Tahap selanjutnya adalah memperkirakan emisi masa


datang (tahun 2011-2016 dan 2016-2021). Beberapa
metode telah dikembangkan untuk memperkirakan
tingkat emisi di masa datang, di antaranya: (1) Pendekatan
historis (projeksi linear berdasarkan tren di masa lalu); (2)
Pendekatan Spasial dan (3) Pendekatan Ekonometrik.

Dalam Panduan Teknis ini yang digunakan adalah


metode dengan prinsip spasial yang memperkirakan
kemungkinan perubahan lahan di masa datang dengan

PEDOMAN TEKNIS
24 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
memperhitungkan aktifitas di masa lalu dan juga
mempertimbangkan kemungkinan rencana perubahan/
penggunaan lahan di masa depan. Model yang
digunakan adalah “Marcov Chain Transition Matrix” yang
menghitung distribusi perubahan lahan pada dua titik
waktu yang berbeda. Untuk mempermudah perhitungan,
maka digunakan alat yang sudah dikembangkan oleh
ICRAF, yaitu LUWES (Land Use Planning for Low Emission
Development Strategy). Walaupun pada prinsipnya
spreadsheet excel dapat juga digunakan untuk membantu
perhitungan, namun penggunaannya akan sangat rumit
untuk MPTPL dengan dimensi besar (21 x 21) dan jumlah
matriks (zone pemanfaatan ruang) yang banyak seperti
yang digunakan pada RAN/RAD GRK (Tabel 1).

Langkah-langkah penerapan metodologi dalam


memperkirakan emisi historis dan emisi baseline RAD GRK
adalah sebagai berikut (Dewi et al. 2013):

1. Membangun unit perencanaan/zona pemanfaatan


ruang dengan mengintegrasikan rencana tata
ruang wilayah, rencana pembangunan dan rencana
strategis lainnya
2. Mengenali pola perubahan tutupan lahan pada
periode tahun acuan (2006-2011) dan menghitung
emisi dari perubahan tutupan lahan dari masa lalu
(emisi historis)
3. Memproyeksikan perubahan lahan di masa depan
(2011-2016 dan 2016-2021) berdasarkan pola
perubahan lahan di masa lalu dan memperkirakan
emisi baseline di masa depan yang selanjutnya emisi
baseline (Business as usual, BAU)
4. Membangun skenario alokasi tutupan lahan rendah
emisi atau skenario mitigasi untuk periode yang akan
datang
5. Melakukan analisis trade-off atas skenario alokasi
tutupan lahan rendah emisi dengan melibatkan
pemangku kepentingan dari berbagai sektor
6. Menerjemahkan strategi menjadi aksi-aksi mitigasi
dan menghitung perkiraan penurunan emisi
Untuk membantu menganalis pola perubahan lahan dan
menghitung emisi dalam spread sheet, LUWES dilengkapi
dengan perangkat lunak REDD Abacus SP (Harja et al.
2011). Abacus mempunyai kemampuan untuk :

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 25
 Melakukan estimasi emisi dari perubahan tutupan
lahan dengan memperhatikan keragaman jenis
tanah, elevasi, iklim dan karakteristik biofisik lansekap
lainnya tergantung ketersediaan data aktivitas dan
faktor emisi.
 Melakukan analisis trade-off antara emisi dan
keuntungan ekonomi (opportunity cost analysis),
membuat kurva abatement cost, memprediksi emisi
dan keuntungan ekonomi di masa yang akan datang
(Reference Emission Level (REL) projection).
 Melakukan simulasi skenario kegiatan mitigasi dan
kebijakan pada unit perencanaan tertentu untuk
pengurangan emisi dan melakukan analisis potensi
opportunity cost-nya.

REDD Abacus SP dirancang untuk menghitung:

 Jumlah emisi dari perubahan tutupan lahan


 Proyeksi MPTPL beberapa periode yang akan datang
 Menghitung emisi dari sumber lain, misalnya dari
pengelolaan lahan dan emisi dari dekomposisi
gambut
 Menghitung biaya penurunan emisi (opportunity
cost)

Jika emisi historis dihitung berdasarkan data aktivitas tahun


2006-2011, proyeksi MPTPL bisa dihitung oleh Abacus
untuk periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan seterusnya.
Namun disarankan proyeksi ke depan tidak lebih dari dua
periode karena semakin jauh periode prediksi dari base
year, maka hasil proyeksi akan menjadi kurang realistis.

Secara sederhana emisi dihitung dengan persamaan


seperti pada Gambar 4 (IPCC, 2006). Untuk lahan yang
mengalami perubahan tutupan dalam periode waktu
tahun acuan (base year) emisi dari perubahan cadangan
karbon di dalam biomas tumbuhan dihitung berdasarkan
perbedaan cadangan karbon antara tutupan lahan awal
dengan tutupan lahan berikutnya, seperti diterangkan
pada Bagian 3.2.2. Untuk lahan yang penggunaannya
tidak berubah dalam suatu periode, maka emisi dari
biomas tumbuhan pada periode tersebut dianggap
nol. Emisi dari dekomposisi gambut pada lahan gambut
yang didrainase tetap berlangsung walaupun lahan tidak
mengalami perubahan kelas tutupan (Bab IV).

PEDOMAN TEKNIS
26 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 4. Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor Pertanian.

Data Faktor
Emisi = Aktivitas X emisi

Emisi: Jumlah gas rumah Data Aktivitas: Luas lahan, Faktor Emisi: Jumlah GRK
kaca yang lepas ke atmosfir jumlah ternak atau jumlah yang dikeluarkan oleh satu
dari suatu landscape (ton pupuk N yang menjadi unit luas lahan, satu ekor
GRKe/tahun) sumber emisi GRK ternak atau satu satuan berat
pupuk N per satuan waktu

3.3.2 Besaran Emisi masa lalu


Ringkasan hasil perhitungan emisi skala nasional dari
biomas permukaan tanah akibat perubahan tutupan lahan
periode 2006-2011 adalah seperti pada Tabel 7. Lebih
dominannya perubahan penutupan lahan dari lahan
dengan cadangan C tinggi (seperti hutan) menjadi lahan
dengan cadangan C relatif rendah (seperti semak belukar,
lahan pertanian semusim) menyebabkan sekuestrasi hanya
sekitar 14,5% dari emisi total.

Tabel 7. Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas tumbuhan
karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 di seluruh
Indonesia pada lahan gambut dan lahan mineral.
No Sumber Satuan Jumlah
1 Emisi per ha ton CO2e/(ha.tahun) 2,14
2 Sekuestrasi per-ha Luasan ton CO2e/(ha.tahun) 0,31
3 Net Emisi per ha ton CO2e/(ha.tahun) 1,83
4 Total Emisi ton CO2e/(tahun) 397.670.631
5 Total Sekuestrasi ton CO2e/(tahun) 57.689.432
6 Net Emisi ton CO2e/(tahun) 339.981.199
Catatan: Data aktivitas untuk perhitungan ini adalah hasil penjumlahan Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor
emisi adalah Tabel 6.

Tabel 8 memperlihatkan matriks emisi skala nasional dari


biomas permukaan tanah akibat perubahan tutupan lahan
pada lahan bertanah mineral dan Tabel 9 memperlihatkan
emisi dari sumber yang sama pada lahan gambut. Tabel 10
memperlihatkan total emisi dari biomas tumbuhan pada
lahan mineral dan lahan gambut.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 27
Dari Tabel 10 terlihat bahwa net emisi dari biomas
tumbuhan, baik dari lahan gambut, maupun lahan
mineral berjumlah sekitar 340 juta ton CO2e/tahun. Lahan
mineral menyumbang sekitar 264 juta ton, sedangkan
lahan gambut sekitar 75 juta ton CO2e/tahun. Lahan
gambut yang luasnya hanya sekitar 8% dari luas total
lahan Indonesia menyumbang sekitar 22% emisi dari
biomas tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa intensitas
perubahan tutupan lahan dari yang bercadangan C tinggi
ke lahan bercadangan C rendah jauh lebih tinggi pada
lahan gambut dibandingkan dengan lahan mineral dalam
periode 2006-2011 ini.

Dari Tabel 10 dan Gambar 5 juga terlihat bahwa


perubahan tutupan lahan hutan sekunder merupakan
penyumbang utama emisi dari biomas tumbuhan dengan
jumlah sekitar 185 juta ton. Penyumbang utama lainnya
adalah hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering
primer karena beralih fungsi menjadi belukar, lahan
kosong, perkebunan dan berbagai penggunaan lahan
pertanian. Ini menunjukkan bahwa penurunan emisi
secara signifikan dapat ditempuh dengan mengendalikan
perubahan tutupan ketiga jenis hutan ini. Sumber utama
emisi pada hutan sekunder adalah konversinya menjadi
semak belukar yang menyumbangkan sekitar 87 juta ton
CO2e, hutan sekunder menjadi lahan pertanian campuran
(sebagiannya kemungkinan perkebunan) menyumbang
sekitar 33 juta ton CO2e/tahun, hutan sekunder menjadi
lahan terbuka sekitar 37,4 juta ton CO2e/tahun. Sumber
utama emisi hutan rawa sekunder (baik yang bertanah
mineral maupun bertanah gambut) adalah perubahan
menjadi belukar rawa dengan emisi sekitar 59 juta ton
CO2e/tahun, tanah terbuka sebesar 28 juta ton CO2e/
tahun dan perkebunan sekitar 18 juta ton CO2e/tahun.
Berubahnya hutan primer menjadi hutan sekunder
mengemisi sekitar 21 juta ton CO2e/tahun dan hutan
primer menjadi semak belukar sekitar 3,8 juta ton CO2e/
tahun.

PEDOMAN TEKNIS
28 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 8. Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional dari biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan
tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp - 21,17 - (0,00) 0,01 3,83 0,32 0,03 1,68 - - - - 0,03 0,67 - - - - 0,17 - 27,91
Hs (0,27) - - (0,00) 2,58 86,49 15,22 0,16 36,98 0,08 0,00 - 0,06 4,88 33,41 0,32 - - 0,27 3,04 - 183,22
Hmp - - - - - - 0,00 - 0,00 - 1,59 - 0,13 0,01 0,00 - 0,03 - - 0,00 - 1,76
Hrp - - - - 0,58 - 0,29 - 0,01 - - 4,24 1,80 0,00 0,02 - - - - 0,00 0,05 6,98
Ht - (0,74) - - - 1,92 0,00 0,10 3,89 - - - 0,01 1,26 0,71 0,63 0,00 - - 0,11 0,00 7,88
B - (1,88) - - (1,87) - (7,99) 0,05 1,94 0,18 (0,01) (0,01) - 0,98 - 0,23 0,01 - 0,01 0,93 - (7,42)
Pk - (0,00) - - (0,01) 0,54 - 0,15 1,70 - - (0,01) 0,00 1,16 0,84 0,66 0,01 - - 0,05 - 5,08
Pm - (0,00) - - (0,00) (0,01) (0,01) - 0,00 - (0,01) - - (0,03) (0,05) 0,03 0,00 0,00 - 0,01 0,00 (0,09)
T - (0,07) - - (3,10) (1,70) (7,42) (0,00) - (0,10) (0,00) (0,05) (0,78) (0,24) (0,34) 0,00 0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (13,79)
S - - - - - (0,93) (0,19) - 0,02 - (0,00) - - (0,04) (0,27) 0,00 0,00 - (0,00) 0,00 - (1,41)
Hms - - - - 0,07 - 0,03 0,01 0,21 - - (0,00) 1,17 0,01 0,04 0,01 0,89 0,00 - 0,01 - 2,46
Hrs (0,00) (0,00) - (0,05) 0,03 0,09 9,56 0,00 7,25 - 0,01 - 19,82 0,24 1,34 0,02 0,16 - - 0,46 0,75 39,67

Tahun 2006
Br - (0,32) - - (0,12) - (2,43) 0,01 0,72 0,91 (0,31) (0,24) - 0,12 - 0,05 0,21 - 0,00 0,06 0,00 (1,34)
Pt - (0,03) (0,00) - (0,33) (0,18) (2,94) 0,04 0,09 0,01 (0,00) - (0,01) - (1,53) 2,35 0,00 0,00 - 0,02 - (2,52)
Pc - (0,28) - - (0,37) - (3,66) 0,55 1,39 0,02 (0,00) - - 19,37 - 1,16 0,02 0,01 0,00 0,75 0,00 18,96
Sw - (0,02) - - (0,01) (0,03) (0,16) (0,04) (0,00) - (0,00) - - (0,84) (0,52) - 0,00 0,00 (0,00) 0,00 - (1,62)
Tm - - - - - (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) - (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) - - - - - (0,06)
Bdr - - - - - - - (0,00) - - - - - (0,00) - - - - - - - (0,00)
Tr - - - - - (0,01) - - 0,01 0,00 - - - - - - - - - - - 0,00
Tb - - - - - (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) - - - (0,00) - - - - - - - - (0,01)
Rw - - - - - - (1,17) (0,00) (0,00) (0,00) - - (0,00) (0,01) - (0,00) - - - - - (1,19)
TOTAL (0,27) 17,83 (0,00) (0,05) (2,56) 89,99 (0,57) 1,06 55,89 1,10 1,24 3,93 22,18 26,91 34,32 5,45 1,34 0,01 0,27 5,64 0,80 264,49

Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.

EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN


BAB 3
29
30
Tabel 9. Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional yang berasal dari biomas di atas permukaan lahan gambut akibat
perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 0,29 (0,00) 0,03 0,33

PEDOMAN TEKNIS
Hs (0,13) 0,28 0,55 0,60 0,44 0,06 0,03 0,41 2,25
Hmp 0,14 0,03 0,18
Hrp 0,73 1,85 2,40 1,49 6,48
Ht 0,20 1,66 (0,02) 0,15 0,02 2,01
B (0,00) (0,21) (0,39) 0,09 (0,48)
Pk (0,01) 0,07 0,27 (0,04) 0,01 0,03 0,32
Pm
T (0,00) (2,95) (0,51) (2,99) (0,00) (0,01) (0,86) (0,01) (0,20) (7,52)
S
Hms 0,05 0,05
Hrs 2,01 9,06 21,45 39,39 0,50 0,01 0,18 74,84

Tahun 2006
Br (0,09) (2,30) (1,40) 1,79 (0,00) (0,78) 0,06 0,17 (2,55)
Pt (0,06) (0,05)
Pc (0,02) (0,20) 0,01 0,12 (0,02) 0,38 0,26

PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN


Sw (0,01) (0,01)
Tm
Bdr
Tr
Tb
Rw (0,56) (0,05) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,63)
TOTAL (0,13) 0,19 0,00 (0,00) (3,76) 0,33 5,30 0,01 27,68 0,00 0,14 1,53 40,32 0,98 2,51 0,18 0,00 0,00 0,00 0,02 0,18 75,49
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 10. Emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari biomas akibat perubahan tutupan lahan mineral dan lahan
gambut (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2011
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 21,45 (0,00) 0,01 3,83 0,32 0,03 1,68 0,03 0,70 0,17 28,23
Hs (0,40) (0,00) 2,86 87,04 15,82 0,16 37,42 0,08 0,12 4,92 33,83 0,32 0,27 3,04 185,48
Hmp 1,73 0,16 0,01 0,03 1,94
Hrp 0,58 1,02 1,86 6,64 3,29 0,02 0,05 13,46
Ht (0,74) 2,11 0,00 0,10 5,55 (0,02) 0,15 1,26 0,73 0,63 0,11 9,89
B (1,88) (2,09) (8,38) 0,05 2,03 0,18 (0,01) (0,01) 1,01 0,23 0,01 0,01 0,93 (7,90)
Pk (0,00) (0,02) 0,60 0,15 1,96 (0,05) 0,01 1,16 0,87 0,66 0,01 0,05 5,41
Pm (0,00) (0,00) (0,01) (0,01) (0,01) (0,03) (0,05) 0,03 0,01 (0,09)
T (0,07) (6,06) (2,21) (10,40) (0,00) (0,10) (0,00) (0,06) (1,63) (0,25) (0,54) (0,00) 0,02 (21,31)
S (0,93) (0,19) 0,02 (0,00) (0,04) (0,27) (0,00) (1,41)
Hms 0,07 0,03 0,01 0,21 (0,00) 1,22 0,01 0,04 0,01 0,89 0,01 2,51
Hrs (0,00) (0,00) (0,05) 2,04 0,09 18,62 28,70 0,01 59,21 0,74 1,34 0,02 0,16 0,47 0,93 114,51

Tahun 2006
Br (0,41) (2,42) (3,84) 0,01 2,51 0,91 (0,31) (1,02) 0,18 0,22 0,21 0,06 (3,89)
Pt (0,03) (0,00) (0,33) (0,18) (2,99) 0,04 0,09 0,01 (0,00) (0,01) (1,53) 2,35 0,02 (2,57)
Pc (0,28) (0,39) (3,86) 0,56 1,51 0,02 (0,00) (0,02) 19,75 1,16 0,02 0,01 0,75 19,23
Sw (0,02) (0,01) (0,03) (0,16) (0,04) (0,00) (0,00) (0,84) (0,52) (0,00) (1,63)
Tm (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) (0,06)
Bdr (0,00) (0,00) (0,00)
Tr (0,01) 0,01 0,00
Tb (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01)
Rw (0,56) (1,23) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (1,81)
TOTAL (0,40) 18,02 (0,00) (0,05) (6,32) 90,32 4,73 1,06 83,57 1,10 1,37 5,46 62,50 27,89 36,83 5,63 1,35 0,01 0,27 5,65 0,98 339,98
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Angka emisi pada Tabel 10 ini merupakan hasil penjumlahan dari matriks
pada Tabel 8 dan Tabel 9. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.

EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN


BAB 3
31
Gambar 5. Emisi CO2e skala nasional dari biomas di atas permukaan tanah gambut
dan tanah mineral dari perubahan tutupan lahan.
250

200
Emisi (juta t CO 2 -e/tahun

150

100

50

0
H u H u H u H u H u P e H u H u Tr Ba A i Pe Ta Pe Sa Ru Ra Pe Pe Be Se Ta
t a t a t a t a t a rk e t a t a a n s n d r r t a m b r m w a m p w a r t a r t a l u k m a n a
n n n n n b n n m ar m ak uk h u n ia n ia a r k h T
-50 La Ra La Ra Ta u n M M i g a/
h a w h a w n a a n a n a n ra P e
ba im t n n Ra Be l er b
ng an L a La w uk u
n aS n aP m gr gr si lab an ha ha a ar ka
Ke e k Ke r i a n ov ov u n n
r in u n r in e m eS eP h a Ke Ke
g de g r e r i n r in r in
Se r Pr k u m
ku im nd r e g g
nd er er Ca
er m
pu
r

Seperti pada Tabel 10, Gambar 5 juga memperlihatkan


bahwa beberapa jenis tutupan lahan seperti semak
belukar, belukar rawa dan lahan terbuka pada tahun 2006
dapat menyerap karbon (emisi negatif) karena berubahnya
tutupan menjadi lahan dengan cadangan karbon yang
lebih tinggi seperti perkebunan dan hutan tanaman. Ini
menunjukkan bahwa jika pengembangan perkebunan dan
Hutan tanaman difokuskan pada lahan dengan cadangan
C rendah tersebut maka akan terjadi penurunan jumlah
emisi dan peningkatan serapan CO2 secara nyata.

Gambar 6 menunjukan kontribusi emisi dari zona


pemanfaatan ruang pada lahan mineral dan lahan gambut.
Berdasarkan 21 zona pemanfaatan ruang yang ada (14
zona pada lahan mineral dan 7 zona pada lahan gambut),
terlihat variasi kontribusi emisi historis (2006-2011) dari
masing-masing zona. Grafik tersebut menunjukkan
tingginya emisi yang terjadi pada zona Hutan Produksi,
Area Penggunaan Lain (APL), dan Hutan Produksi Terbatas
(HPT).

PEDOMAN TEKNIS
32 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 6. Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap emisi
nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan gambut (g) dan
lahan mineral.
120
Emisi Historis 2006-2011 (juta ton CO2-e/tahun)

100

80

60

40

20

0
a Hu si Te ind (g)

la l D a

n ut
a uta Pr na od )

an m ng )
M si ba )

t
Su Tam n W na (g)
Pr Hu gas nve s
uk n wa i
Hu en ta ve in

m an am Da t

a an H isat aut
am N l L am

tw aya
si aa (g)

Ca Na rga (g)

n t
am p u L si

am n ba g

Al an ona Al u
od ta at rs
ak H tan gu Pr i (g

u (g
n uk Ter (g

ra
r A na tw
Ta m T m ara
ar Ko ta

an W a ra
Al ta r un

a r
Al n od an uk

ar uta La
l P Hu on n la

ak Ta Nas isat Bu

Da
Ta da ind as
da od ksi ain

da asio aut
ll
ga sio sa
uk un si

R
g n rs

a
od gg uk

L t

a
L
Pr en d

-20
0
n P ro

sa
K
ta eal n P

ga
i
m n
Hu Ar uta

M
H

T a

ak
n
ea

a
ta
Ar

ak
Hu

Su
Su

n
n
Su

ta
ta

Hu
Hu
n
ta
Hu

Zona Pemanfaatan Ruang

3.3.3 Proyeksi emisi ke depan


Dengan menggunakan data tahun acuan (base year) emisi
pada satu atau dua periode ke depan dapat diperkirakan
dengan menggunakan paket kalkulator emisi seperti
Abacus (Harja et al. 2011). Secara konseptual emisi ke
depan dapat dihitung berdasarkan proyeksi emisi historis
(historical projection) yaitu perhitungan emisi berdasarkan
kecenderungan pada satu periode sebelumnya atau
dengan pendekatan forward looking yang memperhatikan
kebijakan pembangunan pada provinsi tertentu (Gambar
7).

Pendekatan penyusunan skenario BAU bisa berbasis pada


teori transisi penutupan hutan dan lahan (forest transition)
yang mempertimbangkan tahap pembangunan suatu
provinsi, emisi masa lampau dan cadangan karbon dalam

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 33
bentuk biomasa yang ada saat ini. Untuk operasionalisasinya
daerah di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi empat
kelas berdasarkan posisi daerah tersebut pada kurva
gradient penutupan lahan (forest transition) (Gambar 7).
Penetapan pendekatan baseline ditentukan berdasarkan
kelas tahapan ‘forest transition’ sebagai berikut:

1. Daerah yang termasuk dalam kategori ‘Forest_Core’


atau dominan ditutupi hutan, yaitu daerah dengan
pembangunan pada tahap dini seperti Papua dan
Papua Barat, , dengan emisi masa lampau yang
relatif rendah dan cadangan karbon yang masih
tinggi, menerapkan metode forward looking.
2. Daerah yang termasuk kategori ‘Forest_Frontier’,
yaitu daerah dengan laju alihguna hutan yang
sudah stabil, membuat skenario baseline dengan
pendekatan historical.
3. Daerah yang termasuk dalam kategori ‘Forest_
Mosaics’, dimana laju alihguna hutan sudah
menurun, emisi masa lampau tinggi dan cadangan
karbon rendah, skenario baseline untuk alihguna
lahan memakai laju yang terdiskonto dari laju di
masa lalu, maksudnya laju deforestasi akan semakin
rendah dari laju base year.
4. Daerah peri-urban dan urban, dimana net emisi dari
perubahan penutupan lahan hampir nol ataupun
negatif, atau tahap pemulihan tutupan pohon sudah
dicapai. Skenario baseline untuk memproyeksikan RL
sesuai dengan laju peningkatan tutupan pohon di
masa lampau.

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten


(RTRWP/K) dapat dijadikan acuan utama untuk
memproyeksikan MPTPL dengan pendekatan forward
looking. Pada umumnya BAU berdasarkan forward
looking didapatkan secara bottom-up, yaitu berdasarkan
usulan dari provinsi/kabupaten. Secara konseptual emisi
BAU, proyeksi emisi dengan aksi mitigasi dan proyeksi
penurunan emisi diperlihatkan pada Gambar 8.

PEDOMAN TEKNIS
34 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Proyeksi emisi dapat disajikan dalam bentuk kumulatif
(contoh pada Gambar 9) atau emisi rata-rata tahunan
tergantung pada satuan mana yang akan dipilih dalam
menentukan target penurunan emisi. Dalam perdagangan
karbon, perlu dihitung jumlah kumulatif emisi pada
periode tertentu. Target penurunan emisi 26% dan 41%
pada tahun 2020 menurut Perpres 61/2011, berpatokan
pada emisi rata-rata tahunan. Dengan demikian dalam
pedoman ini lebih difokuskan pada proyeksi emisi rata-
rata tahunan.

Untuk penyusunan skenario baseline beberapa hal di


bawah ini perlu dipertimbangkan (Dewi et al. 2012):

 Provinsi dan kabupaten menyusun skenario secara


bottom-up mengacu panduan teknis yang disusun di
tingkat nasional
 pedoman penyusunan dibuat untuk memberi acuan
pendekatan baseline apa yang bisa diambil oleh
suatu daerah tertentu, dengan mengetengahkan
dan mempertimbangkan kondisi daerah tersebut,
cadangan karbon yang tersedia, emisi di masa
lampau dan pemicu alih guna lahan
 tersedianya peluang untuk bernegosiasi antara
daerah dan nasional dalam penentuan skenario
baseline

Gambar 7. Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan net emisi
(RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten) berdasarkan tahapan
dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et al. 2012).

Forest Core-
Forwad Looking REL

Forest Frontier-
Historical REL

Forest Mosaics-
Discounted Historical REL
EL Peri-Urban-
Historical RL
Historical RL

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 35
Gambar 8. Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as usual
(BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.

BAU

Proyeksi Penurunan
Juta ton

Proyeksi emisi aksi mitigasi


Emisi
Historis

2005 2010 2020

Dengan menggunakan kalkulator Abacus dengan input


MPTPL tahun 2006-2011 dapat dihasilkan proyeksi matriks
tutupan lahan tahun 2011-2016 dan 2016-2021. Contoh
matriks proyeksi perubahan tutupan lahan tahun 2016-
2021 disajikan pada Tabel 11 untuk lahan mineral dan
Tabel 12 untuk lahan gambut. Matriks perkiraan jumlah
emisi dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut
untuk periode 2011-2016 dan 2016-2021 disajikan
berturut-turut pada Tabel 13 dan Tabel 14. Seperti pada
Tabel 8 dan Tabel 9, Tabel 13 juga memperlihatkan
bahwa alih guna hutan sekunder menjadi semak belukar,
tanah terbuka dan pertanian lahan kering campuran,
merupakan sumber utama emisi. Selanjutnya, semak
belukar, belukar rawa dan lahan terbuka berpotensi
menyerap karbon apabila direhabilitasi menjadi tutupan
lahan dengan cadangan karbon yang lebih tinggi seperti
perkebunan dan hutan tanaman. Ini menunjukkan bahwa
jika pengembangan perkebunan dan Ht difokuskan pada
lahan dengan cadangan C rendah maka akan terjadi
penurunan jumlah emisi dan peningkatan serapan CO2
secara nyata.

PEDOMAN TEKNIS
36 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 9. Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari biomas
tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut berdasarkan
pendekatan historis.
6000
Lahan gambut
5000 Lahan mineral
Emisi (juta ton CO2-e)

967
4000

3000 696

2000 3840
377 2601
1000
1322
0
2006-2011 2006-2016 2006-2021

Periode

Gambar 9 memperlihatkan bahwa emisi kumulatif BAU


dari biomas di permukaan tanah gambut adalah sebesar
377 juta, 696 juta dan 967 juta ton CO2-e dan untuk tanah
mineral adalah sebesar 1,32; 2,60 dan 3,84 Gigaton ton
CO2-e berturut-turut untuk periode tahun 2006-2011,
2006-2016 dan 2006-2021 (1 Gigaton = 1.000.000.000
ton). Pada Gambar 10 terlihat bahwa untuk periode yang
sama emisi kumulatif dari dekomposisi gambut (akan
diuraikan lebih lanjut pada Bagian 4.1.) berturut turut
adalah 1,27; 2,59 dan 3,96 Gigaton. Emisi tahunan dari
dekomposisi gambut adalah sebesar 254, 264 dan 274
juta ton CO2-e berturut-turut untuk periode 2006-2011,
2011-2016 dan 2016-2021 berdasarkan perhitungan
historis. Perhitungan forward looking memerlukan
modifikasi pada proyeksi MPTPL tahun 2011-2016 dan
2016-2021, misalnya dengan menurunkan konversi
hutan dan meningkatkan konversi lahan semak belukar
perkebunan dan Ht.

Pada Gambar 10 emisi business as usual (BAU) forward


looking dari kehilangan biomas dan dekomposisi gambut
diasumsi mengalami peningkatan sebanyak 2,5 % setiap
tahunnya. Ini berarti bahwa untuk periode 2011-2016
emisi forward looking adalah 12,5% lebih tinggi dari
emisi historis dan untuk periode 2016-2021, 25% lebih
tinggi dari emisi historis periode masing-masing.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 37
38
Tabel 11. Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan
ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Penutupan Tahun 2021
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 36.483 1.059 0 0 30 3 0 11 0 5 1 37.592

PEDOMAN TEKNIS
Hs 14 36.136 0 32 817 188 1 292 1 0 1 40 316 3 2 24 37.867
Hmp 1.027 0 0 40 1 0 0 0 0 1.068
Hrp 2.942 5 3 0 128 13 0 0 0 0 3.091
Ht 9 3.623 76 3 2 85 0 31 28 14 0 2 0 3.875
B 18 72 12.59 317 3 92 9 0 0 2 64 1.007 11 0 0 41 14.228
Pk 0 19 29 9.047 5 49 0 0 38 45 19 0 1 9.252
Pm 0 0 1 0 2.518 0 0 9 3 12 0 0 2 0 2.545
T 1 80 99 195 1 2.268 77 0 1 45 51 20 9 1 0 0 10 0 2.858
S 51 5 11 3.223 0 10 15 3 1 0 0 3.319
Hms 2 1 0 3 1.001 0 18 0 1 0 10 0 0 1.036
Hrs 0 0 1 0 1 117 0 54 0 2.434 179 2 12 0 1 3 5 2.811

Tahun 2016
Br 3 5 124 98 0 35 47 5 3 4.916 8 7 2 9 0 3 0 5.266
Pt 0 0 10 16 93 15 20 2 0 1 10.128 129 495 0 0 1 3 10.913
Pc 3 14 146 149 30 68 1 0 1 1.3 23.246 55 1 0 0 34 0 25.049
Sw 0 0 2 4 21 3 0 158 28 7.203 1 0 0 0 7.421

PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN


Tm 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 814 0 0 817
Bdr 0 0 15 15
Tr 0 1 1 322 324
Tb 0 0 0 0 0 643 644
Rw 25 0 1 0 0 1 1 0 0 1.155 1.183
TOTAL 36.497 37.229 1.027 2.943 3.865 13.981 10.248 2.597 2.993 3.361 1.046 2.565 5.179 11.843 24.862 7.826 841 16 326 768 1.162 171.175
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 12. Matriks proyeksi tutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu
hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Penutupan Tahun 2021
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 350 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 365
Hs 6 287 0 0 3 5 7 0 3 0 0 0 1 0 4 0 0 0 0 0 0 316
Hmp 0 0 225 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 229
Hrp 0 0 0 1.923 0 0 7 0 12 0 0 72 11 0 0 0 0 0 0 0 0 2.025
Ht 0 0 0 0 342 22 0 0 104 0 0 1 17 0 3 0 0 0 0 0 0 489
B 0 0 0 0 21 745 40 0 11 0 0 0 2 4 10 0 0 0 0 0 0 834
Pk 0 0 0 0 19 4 1.774 0 9 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 1.81
Pm 0 0 0 0 0 0 0 67 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 67
T 0 0 0 0 95 37 97 0 455 0 0 0 61 2 14 0 0 0 0 0 0 761
S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 161 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 161
Hms 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 93 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 94
Hrs 0 0 0 0 22 0 98 0 139 0 0 2.954 312 3 18 0 0 0 0 0 1 3.547

Tahun 2016
Br 0 1 0 0 88 242 56 0 85 0 0 8 2.17 4 18 8 0 0 0 0 0 2.68
Pt 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 285 0 1 0 0 0 0 0 289
Pc 0 0 0 0 1 0 9 0 7 0 0 0 0 28 431 0 0 0 0 0 0 477
Sw 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 411 0 0 0 0 0 411
Tm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 9
Bdr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5
Tb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9
Rw 0 0 0 0 11 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 306 320
TOTAL 356 302 225 1.923 603 1.055 2.091 68 826 161 97 3.036 2.576 328 499 421 9 0 5 9 308 14.897
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.

EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN


BAB 3
39
40
Tabel 13. Matriks proyeksi emisi tahun 2011-2016 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut
akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2016
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 20,83 (0,00) 0,00 3,72 0,31 0,03 1,63 0,04 0,68 0,16 27,41

PEDOMAN TEKNIS
Hs (0,39) (0,00) 2,81 85,63 15,55 0,16 36,80 0,08 0,00 0,11 4,84 33,27 0,31 0,26 3,00 182,43
Hmp 0,00 0,01 1,66 0,16 0,01 0,00 0,03 0,00 1,86
Hrp 0,56 0,97 1,77 6,31 3,13 0,00 0,02 0,00 0,04 12,80
Ht (0,73) 2,30 0,00 0,10 7,20 (0,04) 0,30 1,25 0,75 0,63 0,00 0,11 0,00 11,87
B (1,84) (2,21) (8,51) 0,05 2,06 0,18 (0,01) (0,01) 1,01 0,22 0,01 0,01 0,92 (8,12)
Pk (0,00) (0,02) 0,70 0,17 2,27 (0,06) 0,02 1,33 0,99 0,75 0,01 0,06 6,22
Pm (0,00) (0,00) (0,02) (0,01) 0,00 (0,01) (0,03) (0,05) 0,03 0,00 0,00 0,01 0,00 (0,09)
T (0,08) (7,13) (2,51) (11,90) (0,00) (0,11) (0,00) (0,06) (1,93) (0,28) (0,63) 0,00 0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (24,60)
S (0,94) (0,19) 0,02 (0,00) (0,04) (0,28) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,43)
Hms 0,07 0,04 0,01 0,22 (0,00) 1,24 0,01 0,04 0,01 0,91 0,00 0,01 2,55
Hrs (0,00) (0,00) (0,04) 1,74 0,10 16,39 0,00 24,84 0,01 51,53 0,64 3,10 0,02 0,15 0,42 0,83 99,73

Tahun 2011
Br (0,40) (2,39) (3,79) 0,01 2,48 0,90 (0,30) (1,01) 0,18 0,22 0,21 0,00 0,06 0,00 (3,84)
Pt (0,04) (0,00) (0,37) (0,21) (3,36) 0,05 0,10 0,01 (0,00) (0,01) (1,72) 2,64 0,00 0,00 0,02 (2,88)
Pc (0,28) (0,39) (3,84) 0,56 1,51 0,02 (0,00) (0,02) 19,61 1,15 0,02 0,01 0,00 0,75 0,00 19,09
Sw (0,02) (0,01) (0,03) (0,17) (0,04) (0,00) (0,00) (0,88) (0,54) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,71)

PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN


Tm (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) (0,06)
Bdr (0,00) (0,00) (0,00)
Tr (0,01) 0,01 0,00 0,00
Tb (0,01) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,02)
Rw (0,54) (1,21) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (1,77)
TOTAL (0,39) 17,44 (0,00) (0,04) (7,89) 88,73 0,25 1,08 80,92 1,08 1,31 5,11 54,52 27,67 35,65 5,99 1,34 0,01 0,27 5,54 0,88 319,46
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 14. Matriks proyeksi emisi tahun 2016-2021 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut
akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Penutupan Tahun 2021
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL
Hp 20,23 (0,00) 0,00 3,61 0,30 0,03 1,58 0,03 0,66 0,16 26,62
Hs (0,38) (0,00) 2,76 84,20 15,28 0,15 36,19 0,08 0,00 0,11 4,75 32,71 0,31 0,26 2,95 179,36
Hmp 0,00 0,01 1,60 0,15 0,01 0,00 0,02 0,00 1,80
Hrp 0,53 0,92 1,68 6,01 2,98 0,00 0,02 0,00 0,04 12,17
Ht (0,73) 2,45 0,00 0,10 8,55 (0,06) 0,42 1,24 0,77 0,62 0,00 0,11 0,00 13,49
B (1,81) (2,33) (8,65) 0,05 2,09 0,18 (0,01) (0,01) 1,01 0,22 0,01 0,01 0,90 (8,33)
Pk (0,00) (0,03) 0,79 0,19 2,57 (0,07) 0,02 1,49 1,12 0,85 0,01 0,07 7,01
Pm (0,00) (0,00) (0,02) (0,01) 0,00 (0,01) (0,03) (0,05) 0,03 0,00 0,00 0,01 0,00 (0,09)
T (0,08) (7,88) (2,73) (12,97) (0,00) (0,11) (0,00) (0,07) (2,14) (0,30) (0,69) 0,00 0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (26,95)
S (0,95) (0,20) 0,02 (0,00) (0,04) (0,28) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,44)
Hms 0,07 0,04 0,01 0,22 (0,00) 1,25 0,01 0,04 0,01 0,92 0,00 0,01 2,58
Hrs (0,00) (0,00) (0,04) 1,48 0,09 14,48 0,00 21,58 0,01 45,01 0,56 2,72 0,02 0,13 0,39 0,75 87,18

Tahun 2016
Br (0,40) (2,33) (3,72) 0,01 2,42 0,88 (0,30) (0,98) 0,18 0,21 0,21 0,00 0,06 0,00 (3,75)
Pt (0,04) (0,00) (0,41) (0,23) (3,70) 0,05 0,11 0,01 (0,00) (0,01) (1,89) 2,91 0,00 0,00 0,02 (3,17)
Pc (0,28) (0,39) (3,83) 0,55 1,50 0,02 (0,00) (0,02) 19,49 1,14 0,02 0,01 0,00 0,74 0,00 18,96
Sw (0,03) (0,01) (0,03) (0,18) (0,05) (0,00) (0,00) (0,93) (0,57) 0,00 0,00 (0,00) 0,00 (1,80)
Tm (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) (0,02) (0,00) (0,00) (0,00) (0,07)
Bdr (0,00) (0,00) (0,00)
Tr (0,01) 0,01 0,00 0,00
Tb (0,01) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,02)
Rw (0,52) (1,18) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (1,73)
TOTAL (0,38) 16,87 (0,00) (0,04) (9,05) 87,18 (3,43) 1,09 78,53 1,05 1,25 4,79 47,76 27,47 34,56 6,32 1,34 0,01 0,26 5,44 0,80 301,82
Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.

EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN


BAB 3
41
Gambar 10. Perkiraan emisi tahunan dan emisi kumulatif pada skenario bussiness
as usual (BAU) dari dekomposisi gambut dan biomas tumbuhan
karena perubahan tutupan lahan berdasarkan pendekatan historis
dan forward looking dengan asumsi bahwa emisi mengalami kenaikan
sebanyak 2,5% per tahun atau 12,5% pada periode 2011-2016 dan 25%
pada periode 2016-2021 dibandingkan dengan emisi pada pendekatan
historis periode yang sama.
Forward Looking Biomas Tumbuhan
800 Dekomposisi Gambut
Emisi (juta ton CO2e/tahun)

700
600
500
400
300
200
100
-
2006-2011 2011-2016 2016-2021

12000
Emisi kumulatif (juta ton CO2e)

10000

8000

6000

4000

2000

0
2006-2011 2006-2016 2006-2021

PEDOMAN TEKNIS
42 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
3.4 Rencana Aksi Nasional Penurunan
emisi gas rumah kaca
Berdasarkan besaran emisi seperti tercantum pada Tabel
10 dan Tabel 13 maka emisi dari biomas tumbuhan
akibat perubahan tutupan lahan dapat diturunkan melalui
penerapan berbagai skenario sebagai berikut. Senario
pada contoh ini menggunakan pendekatan BAU historis:

1. Business as usual (BAU) historis: Perubahan tutupan


lahan pada periode 2011-2016 dan 2016-2021
berjalan mengikuti trend yang ada pada tahun
2006-2011, dan diasumsi tidak ada perubahan arah
kebijaksanaan tentang perubahan tutupan lahan
dalam dua periode yang akan datang.
2. Skenario S1: Penangguhan (moratorium) deforestasi
hutan primer dan sekunder gambut untuk pertanian
dan Hutan tanaman sampai pada dua periode yang
akan datang (hingga tahun 2021).
3. S2 = S1 + Penangguhan deforestasi hutan primer dan
sekunder pada lahan mineral untuk pengembangan
pertanian dan Ht.
4. S3 = S2 + Pemanfaatan belukar gambut untuk
menjaga agar laju perluasan perkebunan dan Ht
pada lahan gambut mengikuti trend seperti pada
periode 2006-2011.
5. S4 = S3 + Pemanfaatan belukar pada lahan mineral
untuk menjaga agar laju perluasan perkebunan dan
Ht pada lahan mineral mengikuti trend seperti pada
periode 2006-2011.

Perkiraan jumlah emisi pada berbagai skenario tersebut


diperlihatkan pada Gambar 11. Berbagai skenario lainnya
dapat dikembangkan untuk mencapai target penurunan
emisi GRK. Apabila keempat skenario yang bersifat additive
ini sukses diterapkan dengan sempurna, maka diperkirakan
akan mampu menurunkan emisi GRK sebanyak 52% dari
total net emisi perubahan penggunaan lahan dan lahan
gambut pada skenario BAU. Skenario 4 lebih logis karena
dengan memanfaatkan belukar, pembangunan pertanian
dan Ht tetap dapat dijalankan. Dengan penerapan S4
emisi tidak signifikan meningkat dibandingkan dengan
skenario S2 dan S3.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 43
Gambar 11. Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas
tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan beberapa
skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU = Business as usual;
S 1 = Penangguhan penggunaan hutan gambut untuk pertanian dan
Ht; S2 = S1 + penangguhan penggunaan hutan pada lahan mineral
untuk pertanian dan Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk
menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan
trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan mineral
untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht sama dengan
trend 2006-2011.
700 S1 S2 S3 S4

600
Emisi (juta tCo2e/tahun)

500

52%
400

300

200

100

-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Periode

Gambar 12. Memperlihatkan bahwa penangguhan penggunaan hutan gambut


dan hutan mineral tanpa mengurangi laju perluasan lahan pertanian
dan Ht (Skenario S4) mampu menurunkan emisi GRK secara signifikan.
Skenario ini merubah posisi emisi dari biomas tumbuhan dari 340 juta
ton CO2e/tahun pada periode 2006-2011 menjadi negatif 8.4 juta ton
CO2e/tahun pada periode 2011-2016 dan negatif 1.1 juta ton CO2e/
tahun pada periode 2016-2021. Emisi dari dekomposisi gambut tidak
mengalami penurunan dengan skenario S4 ini, malahan meningkat
dari 278 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-2011 menjadi 287 juta
ton CO2e/tahun pada periode 2011-2016 dan 294 juta ton CO2e/tahun
pada periode 2016-2021. Hal ini disebabkan karena luas lahan gambut
yang dipengaruhi drainase tidak berkurang, malahan drainase lahan
gambut semakin dalam dengan konversi belukar gambut menjadi
lahan pertanian dan Ht.
700
600 Biomas
Emisi (juta tCo2e/tahun)

Dekomposisi Gambut
500
400
300
200
100
-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
(100)
Periode

PEDOMAN TEKNIS
44 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 12. Emisi pada tahun acuan (2006-2011) dan
proyeksi pada periode 2011-2016 serta 2016-2021 pada
skenario S4 (Gambar 11) yaitu penangguhan penggunaan
hutan gambut dan hutan lahan mineral tanpa mengurangi
laju perkembangan lahan pertanian dan hutan tanaman
industri melalui pemanfaatan semak belukar, baik pada
lahan mineral maupun lahan gambut.

Skenario mitigasi yang lebih detil, dengan mengendalikan


deforestasi pada kawasan hutan, adalah sebagai berikut,

1. BAU: Business as usual, tanpa intervensi mitigasi.


Penggunaan/tutupan lahan pada periode 2011-2016
dan 2016-2021 mengikuti kecenderungan seperti
pada periode 2006-2011
2. S1: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan
Hutan Lindung Gambut (HLG).
3. S2: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan
HLG dan Hutan Produksi Gambut (HPG)
4. S3: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan
HLG, HPG dan Hutan Produksi Konversi pada lahan
gambut Gambut (HPKG)
5. S4: Pengendalian deforestasi pada HLG+HPG+HPKG
dan Hutan Suaka Alam Gambut (HSAG)
6. S5: S4 + pengendalian deforestasi pada Hutan
Lindung (HL) di lahan mineral.
7. S6: S5 + pengendalian deforestasi pada Hutan
Produksi (HP) di lahan mineral.
8. S7: S6 + pengendalian deforestasi pada Hutan
Produksi Konservasi (HPK) di lahan mineral.
Perkiraan dampak dari penerapan S1 sampai S7 terhadap
penurunan emisi CO2 diperlihatkan pada Gambar 13.
Untuk semua skenario, penurunan emisi pada umumnya
berasal dari pengurangan emisi dari biomas, bukan dari
dekomposisi gambut. Penurunan emisi dari dekomposisi
gambut mungkin bisa dicapai bila dilakukan usaha
penggenangan kembali (rewetting) lahan gambut (IPCC
2013) namun pendekatan ini relatif sulit diterapkan karena
pada umumnya keuntungan ekonomi gambut yang
didrainase jauh lebih tinggi dari gambut dalam keadaan
tergenang. Dari Gambar 13 terlihat bahwa apabila 7
skenario ini dipenuhi secara sempurna, maka diperkirakan
akan terjadi penurunan emisi setinggi 30% dibandingkan
BAU.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 45
Gambar 13. Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral dan lahan
gambut serta dekomposisi tanah gambut pada berbagai skenario
pengendalian deforestasi di kawasan hutan pada pada periode 2016-
2021.

600 Dekomposisi Gambut Biomas Tumbuhan


Emisi (juta ton CO2e/tahun)

30%
500

284

280

256

246

242
400

218

147

116
300

200
274

274

274

272

272

272

272

272
100

-
BAUS 1S 2S 3S 4S 5S 6S 7
Skenario

3.5 Manfaat tambahan dari aksi


penurunan emisi gas rumah kaca
Pada umumnya aksi mitigasi emisi GRK tidak hanya
bermanfaat untuk menurunkan emisi GRK, tetapi juga
memberikan berbagai manfaat tambahan (co-benefits).
Apabila hutan dipertahankan sebagai hutan, selain dapat
menurunkan emisi juga akan mengurangi risiko kebakaran
(terutama untuk hutan primer), mempertahankan
keanekaragaman hayati serta menjaga kestabilan tata
air suatu daerah aliran sungai (DAS) atau suatu lansekap.
Deforestasi menjadi perkebunan dan Ht pada umumnya
akan meningkatkan emisi GRK dan menurunkan
keanekaragaman hayati dan kestabilan tata air, namun
perkebunan dan pertanian memberikan manfaat ekonomi
pada tingkat sedang sampai tinggi.

Pembalakan hutan dan penelantarannya menjadi semak


belukar yang tidak produktif, selain meningkatkan emisi
GRK juga akan meningkatkan risiko kebakaran lahan,
menurunkan keanekaragaman hayati dan menurunkan
kestabilan tata air DAS. Manfaat ekonomi dan sosial
dari lahan semak-belukar sangat rendah, bahkan bisa
negatif karena tingginya ancaman bahaya kebakaran.
Dengan demikian aksi rehabilitasi lahan semak belukar

PEDOMAN TEKNIS
46 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
menjadi lahan perkebunan merupakan langkah
mitigasi yang disarankan dalam RAN GRK karena selain
memberikan manfaat lingkungan juga akan memberikan
manfaat ekonomi. Selain itu, sebisa mungkin lahan
hutan dipertahankan sebagai hutan dan pembangunan
diprioritaskan pada lahan dengan cadangan karbon
rendah.

BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN 47
PEDOMAN TEKNIS
48 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 4
EMISI DARI TANAH
GAMBUT

Selain emisi dari biomas tumbuhan di atas permukaan


tanah yang sudah dibahas pada Bab III, lahan gambut
yang didrainase merupakan sumber emisi CO2 karena
proses dekomposisi gambut oleh mikroba tanah dan
kebakaran gambut (IPCC 2013; Agus et al. 2011).

4.1 Emisi karena dekomposisi


gambut
Dalam keadaan berhutan, lahan gambut merupakan
penyimpan karbon terpenting, namun apabila lahan
gambut didrainase, maka karbon yang tersimpan
di dalamnya akan mudah dirombak oleh mikro
organisme dan teremisi dalam bentuk CO2 (Agus dan
Subiksa, 2008; Agus et al. 2011). Emisi CO2 dari lahan
gambut meningkat dengan semakin dalamnya saluran
drainase (Hooijer et al. 2010; Kalsum et al. 2013;
Mezbahuddin et al. 2013). Akan tetapi IPCC (2013) dan
Hergoalc’h dan Verchot (2013) tidak secara langsung
menghubungkan antara laju emisi dengan kedalaman
muka air tanah, melainkan dengan sistem penggunaan
lahan. Pada Panduan Teknis ini digunakan pendekatan
yang menghubungkan emisi dengan kedalaman muka
air tanah rata-rata (kolom 3, Tabel 15). Tabel 15 juga
memperlihatkan beberapa data acuan emisi gambut
dari beberapa literatur sebagai pembanding.

Terlihat perbedaan data acuan faktor emisi yang cukup


besar antara satu sumber dengan yang lainnya. Faktor
emisi yang digunakan untuk RAN-GRK (kolom 4,
Tabel 15) setara dengan angka acuan IPCC (2013)
untuk sistem semak belukar, perkebunan, hutan rawa
sekunder dan belukar rawa, tetapi jauh lebih rendah
dari angka acuan IPCC (2013) untuk penggunaan lahan

49
Ht, tanah terbuka, pertanian lahan kering, pertanian campuran
serta sawah. Semak belukar, hutan rawa sekunder dan perkebunan
merupakan sistem penggunaan lahan yang dominan pada lahan
gambut dan angka yang digunakan oleh RAN-GRK untuk lahan ini
setara dengan angka acuan IPCC (2013). Akan tetapi IPCC (2013)
tidak memberikan faktor emisi untuk seluruh kelas tutupan lahan
gambut yang digunakan dalam pedoman ini (21 kelas penutupan
lahan) sehingga persamaan Hooijer et al. (2006 dan 2010) yang
dimodifikasi dianggap lebih akomodatif untuk tujuan RAN-
GRK. Untuk perkembangan selanjutnya dari RAN GRK referensi
pembanding ini (IPCC 2013; Hergoalc’h dan Verchot 2013 dan
hasil penelitian lain) dapat dipertimbangkan.

Tabel 15. Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan
perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai
sumber lainnya.

Asumsi
Kelas
kedalaman
No Penutupan Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
drainase
lahan
(cm)
Hergoalc’h
RAN- Agus et al. IPCC
& Verchot
GRK1) (2013)2) (2013)
(2013)
1 2 3 4 5 6 7
Hutan Lahan
1 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Kering Primer
Hutan Lahan
2 30 n.a. n.a. n.a. n.a.
Kering Sekunder
Hutan Mangrove
3 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Primer
Hutan Rawa
4 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Primer
5 Hutan Tanaman 50 32 37 71,8±12,7 73
6 Semak Belukar 30 19 22 41,0±6,7 19
3)
7 Perkebunan 60 38 43 29,9±10,6 403)
8 Permukiman 70 45 50 n.a. n.a.
9 Tanah Terbuka 30 19 22 n.a. 51
Savana/Padang
10 9 19 22 41,0±6,7 35
Rumput

Hutan Mangrove
11 30 n.a. n.a. n.a. n.a.
Sekunder

Hutan Rawa
12 30 19 22 19,4±9,4 19
Sekunder
13 Belukar Rawa 30 19 22 41,0±6,7 19

PEDOMAN TEKNIS
50 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Asumsi
Kelas
kedalaman
No Penutupan Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
drainase
lahan
(cm)
Pertanian Lahan
14 30 19 22 41,0±6,7 51
Kering
Pertanian Lahan
15 Kering Campur 50 32 37 41,0±6,7 51
(Agroforest)
16 Sawah 9 6 7 25,6±11,5 34
17 Tambak 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Bandara/
18 0 n.a. n.a. n.a. n.a.
Pelabuhan
19 Transmigrasi 71 45 50 n.a. n.a.
20 Pertambangan 100 64 72 n.a. n.a.
21 Rawa 0 0 0 n.a. n.a.
1)
Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.7 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Faktor 0.7
digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 30% (Agus et al. 2010).
2)
Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.81 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Angka 0.81
digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 19% berdasarkan Jauhiainen et al. (2012)
untuk perkebunan Acacia.
3)
Perkebunan kelapa sawit. Emisi dari perkebunan sagu sekitar 8.6±5.3 ton CO2 ha/tahun menurut
Hergoalc’h and Verchot (2013) dan sekitar 5.5 ton CO2 /ha/tahun menurut IPCC (2013).
n.a. = tidak berlaku atau tidak tersedia.

4.1.1. Data Aktivitas


Data aktivitas yang digunakan dalam perhitungan emisi dari
dekomposisi gambut sama dengan data aktivitas yang digunakan
dalam pengukuran emisi dari biomas di atas permukaan tanah
(misalnya Tabel 4 dan Tabel 12).

4.1.2. Faktor emisi dari dekomposisi gambut


Faktor emisi pada Tabel 15, dimodifikasi dalam bentuk matriks
seperti pada Tabel 16 sehingga matriks data aktivitas mempunyai
dimensi yang sama dengan matriks faktor emisi yaitu 21 kolom
x 21 baris. Angka pada diagonal Tabel 16 adalah faktor emisi
untuk lahan yang tidak berubah penggunaannya selama periode
perhitungan. Misalnya, faktor emisi lahan perkebunan yang tetap
sebagai lahan perkebunan adalah 38 ton CO2e/(ha.tahun). Faktor
emisi di luar diagonal adalah faktor emisi dari lahan dengan kelas
tutupan tertentu yang berubah ke kelas tutupan lainnya pada suatu
periode analisis. Dengan asumsi bahwa luas lahan yang mengalami

BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 51
perubahan terbagi secara merata dalam periode analisis, maka
faktor emisi lahan tersebut adalah rata-rata dari faktor emisi
penutupan lahan awal dan penutupan lahan berikutnya. Sebagai
contoh, faktor emisi lahan semak belukar rawa yang berubah
menjadi lahan perkebunan, maka faktor emisinya adalah 28.5
ton CO2e/(ha.tahun). Angka ini berasal dari rata-rata faktor emisi
belukar rawa setinggi 19 ton CO2e/(ha.tahun) dan perkebunan
setinggi 38 ton CO2e/(ha.tahun).

4.1.3. Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke


depan (2011-2020)
Emisi historis dekomposisi gambut Indonesia tahun 2006-2011
(Tabel 17) berjumlah sekitar 254 juta ton CO2e/tahun. Hasil tersebut
didapatkan dari perkalian setiap angka pada “cell” dengan posisi
yang sama antara data aktivitas perubahan penggunaan lahan
(Tabel 4) dengan faktor emisi gambut (Tabel 16).

PEDOMAN TEKNIS
52 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 16. Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . tahun)) pada berbagai kelas penutupan (angka pada diagonal)
dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan gambut.
Penutupan
Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw
lahan
Hp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Hs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Hmp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Hrp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Ht 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 16 38,5 48 16
B 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pk 19 28,5 19 19 35 28,5 38 41,5 28,5 22 28,5 28,5 28,5 28,5 35 22 19 19 41,5 51 19
Pm 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 22,5 45 54,5 22,5
T 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
S 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 3 25,5 35 3
Hms 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Hrs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Br 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pt 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 9,5 32 41,5 9,5
Pc 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 16 38,5 48 16
Sw 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 3 25,5 35 3
Tm 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Bdr 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Tr 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 22,5 45 54,5 22,5
Tb 32 41,5 32 32 48 41,5 51 54,5 41,5 35 41,5 41,5 41,5 41,5 48 35 32 32 54,5 64 32
Rw 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Catatan: Penggunaan lahan Hutan Primer (Hp), Hutan Sekunder (Hs), Hutan Mangrove Primer (Hmp) dan Hutan Mangrove Sekunder (Hms) yang merupakan lahan
mineral diberikan faktor emisi gambut yang sama dengan Hutan Rawa Primer (Hrp) dan Hutan Rawa Sekunder (Hrs) untuk menantisipasi kesalahan penghitungan emisi
jika terjadi kesalahan dalam interpretasi citra tutupan lahan gambut. Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.

EMISI DARI TANAH GAMBUT


BAB 4
53
54
Tabel 17. Matriks emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari dekomposisi gambut akibat penggunaan dan
perubahan penggunaan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2011
Penutupan
lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL

PEDOMAN TEKNIS
Hp 0,15 0,15
Hs 0,06 5,97 0,09 0,10 0,22 0,07 0,01 0,01 0,10 6,63
Hmp 0,04 0,04
Hrp 0,14 0,12 0,76 0,12 1,14
Ht 3,86 0,20 0,94 0,01 0,15 0,03 5,20
B 0,22 5,64 0,45 0,09 0,02 0,03 0,10 0,01 6,55
Pk 0,47 0,08 46,61 0,17 0,02 0,01 0,04 47,40
Pm 3,00 3,00
T 1,67 0,48 1,92 5,99 0,81 0,03 0,25 11,16
S 0,97 0,97
Hms 1,65 0,01 1,67
Hrs 0,77 3,83 3,64 77,26 8,16 0,09 0,62 0,02 94,39

Tahun 2006
Br 0,02 2,35 4,80 1,65 1,69 0,16 43,03 0,07 0,47 0,11 54,36
Pt 0,04 0,01 4,03 0,00 0,01 4,09

PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN


Pc 0,03 0,29 0,01 0,15 0,01 0,66 12,53 0,01 13,68
Sw 0,00 2,35 2,35
Tm 0,00
Bdr 0,00
Tr 0,22 0,22
Tb 0,48 0,48
Rw 0,19 0,02 0,01 0,22
TOTAL 0,06 6,13 0,00 0,00 9,65 11,31 55,18 3,02 12,88 0,97 1,69 78,21 52,33 4,92 14,15 2,47 0,00 0,00 0,22 0,50 0,02 253,72

Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2. Emisi dari masing-masing kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan adalah
perkalian dari masing masing cell dengan kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan pada Tabel 4 dengan faktor emisi pada
kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan yang sama yang terdapat dan Tabel 16.
Perkiraan emisi kumulatif dari dekomposisi gambut
selama rentang waktu 2006-2011, 2006-2016 dan 2006-
2021 berturut-turut adalah sebesar 1.269, 2.588 dan
3.955 juta ton CO2e (Gambar 14). Emisi kumulatif dan
penurunan emisi kumulatif digunakan dalam perdagangan
karbon, untuk menaksir berapa jumlah penurunan emisi
yang layak dihargai atau diperdagangkan. Data emisi
rata-rata tahunan digunakan untuk melihat fluktuasi
dan kecenderungan jumlah emisi, apakah mengalami
peningkatan atau penurunan.

Gambar 14. Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 dan 2006
-2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
4500
4000
Emisi (juta ton CO2-e)

3500
3000
2500

3955
2000
2588

1500
1000
1269

500
0
2006-2011 2006-2016 2006-2021

Periode

4.2 Emisi dari kebakaran gambut


(below ground)
Kebakaran gambut didefinisikan sebagai peristiwa
kebakaran yang menghanguskan lapisan tanah gambut,
bukan hanya biomas dan nekromas di atas permukaan
tanah gambut. Tingkat ketidakyakinan (uncertainty)
perkiraan emisi dari kebakaran gambut sangat tinggi. Hal
ini disebabkan karena sulitnya membangun data aktivitas
serta penetapan faktor emisi.

IPCC (2013) memberikan rumus penghitungan emisi


CO2-C dan non-CO2 dari kebakaran gambut sebagai
berikut:

BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 55
Ekg = A * Mb * Cf * Gef * 10-3 [1]

Ekg = jumlah emisi CO2 atau non-CO2 dari


kebakaran, ton
A = total areal yang terbakar per tahun, ha
M = massa bahan yang mudah terbakar
B
(ton/ha) (angka acuan untuk Tier 1 diberikan
pada Tabel 2.6, IPCC 2013)
Cf = Faktor combustion, yaitu massa gambut
yang terbakar dibagi massa bahan yang
mudah terbakar, diasumsi sama dengan
1.0 (Yokelson et al., 1997).
Gef = Faktor emisi gas (g/kg bahan gambut
kering (angka acuan untuk Tier 1 diberikan
pada Tabel 2.7, IPCC 2013)

4.2.1 Data Aktivitas


Mengacu pada Persaman [1] penetapan Mb cukup
sulit dan data ini bisa didekati dengan data perkiraan
kedalaman gambut yang terbakar serta berat isi (BD, bulk
density) gambut. Dengan demikian peubah utama data
aktivitas kebakaran gambut adalah luas dan kedalaman
lahan gambut yang terbakar sedangkan BD dapat ditaksir
sekitar 0,126 ton/m3 (Agus et al. 2011).

Untuk mengestimasi luasan area gambut yang terbakar,


salah satu opsi data yang bisa dipakai adalah dataset titik
api (hotspot) MODIS yang disediakan untuk publik oleh
Earth Observation System (https://earthdata.nasa.gov/
data/near-real-time-data/faq/firms). Data MODIS tersedia
setiap hari dengan resolusi 250, 500 dan 1000 m. Untuk
akses publik data tersedia sekali dalam delapan hari. Data
ini perlu dikombinasikan dengan pengecekan lapangan
apakah di daerah hotspot benar terjadi kebakaran atau
tidak. Sebaiknya analisis data dilakukan secara konservatif
(kriteria adanya kebakaran harus sangat tinggi untuk
bisa dilabelkan sebagai kejadian kebakaran), sehingga
kecenderungan terjadinya under estimate lebih besar
daripada over estimate. Sebaran titik-titik api dalam
selang waktu yang cukup sempit sangat berguna dalam
mengestimasi data aktivitas untuk kebakaran gambut.
Diperlukan pula analisis spatial yang intensif, antara lain
berupa tumpang-susun data titik api dengan data lain,
misalnya kawasan hutan, area konsesi dan kepadatan
penduduk. Selain itu diperlukan pemodelan untuk mencari
hubungan antara titik api dengan kejadian kebakaran.

PEDOMAN TEKNIS
56 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Pengecekan lapangan sangat krusial untuk dilakukan,
akan tetapi karena biaya yang mahal serta tingkat kesulitan
dan resiko yang tinggi, data pengecekan lapangan sangat
jarang tersedia.

Perkiraan kedalaman gambut yang terbakar juga


merupakan tantangan yang berat. Data kedalaman gambut
terbakar didominasi oleh sejumlah studi di Kalimantan
Tengah pada tahun-tahun El Niño, yang keadaannya
sangat berbeda dengan tahun normal dan tahun basah.
Berbagai studi memperlihatkan data perkiraan yang
sangat bervariasi. Perkiraan kedalaman gambut yang
terbakar di Kalimantan Tengah berkisar antara 50 cm
pada tahun 1997 (Page et al. 2002), 39 cm pada tahun
2002 (Usup et al. 2004) dan 33 cm pada tahun 2006
(Balhorn et al. 2009). Perkiraan ini harus dimaknai dengan
hati-hati, karena berlaku sangat spesifik untuk lokasi dan
waktu monitoringnya, sehingga sulit dijadikan acuan
untuk kedalaman kebakaran pada tahun dan tempat yang
lain. Kelembaban gambut dan kedalaman muka air tanah
sangat menentukan kedalaman gambut yang terbakar.

Dari uraian pada Bagian 4.2.1 ini terlihat bahwa


data luas dan kedalaman gambut yang terbakar
sulit tersedia sehingga analisis tingkat nasional dan
sub-nasional lebih banyak berupa asumsi. Estimasi
data aktivitas kebakaran gambut akan menjadi lebih
baik bila di kemudian hari tersedia teknologi citra
satelit dengan resolusi spatial penentuan elevasi
permukaan gambut yang lebih tinggi (yang dapat
menaksir kedalaman gambut yang terbakar) dan
dengan resolusi temporal sebaik MODIS.

4.2.2 Faktor emisi dari kebakaran gambut


Christian et al. (2003) memperkirakan masa gambut yang
terbakar dari deforestasi rata-rata 154.2±60.4 t/ha dan
kebakaran gambut sejumlah tersebut mengemisikan
sebanyak 262.6±117.1 ton CO2e/ha. IPCC (2013)
memperkirakan perkiraan masa gambut kering kering
yang terbakar sebanyak 353 dan 155 ton/ha berturut-turut
untuk kebakaran liar (wild fire) dan kebakaran terkendali
(controlled fire) dan faktor emisi 464 g CO2-C/kg masa
gambut kering. Dengan demikian emisi dari kedua bentuk
kebakaran ini berturut-turut adalah sekitar 601 dan 264
t CO2e/ha untuk kebakaran liar dan kebakaran terkendali.

BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 57
Di lapangan sulit membedakan antara kebakaran liar
dan kebakaran terkendali, namun berbagai peristiwa
kebakaran sering terjadi pada lahan yang mengalami
perubahan penggunaan, seperti untuk persiapan
perkebunan. Dengan demikinan kebanyakan kebakaran
adalah merupakan bagian dari pengelolaan (managed
atau controlled fire). Untuk itu bila tidak diketahui secara
pasti apakah kebakaran merupakan kebakaran liar atau
kebakaran terkendali disarankan untuk menggunakan
angka 264 faktor emisi ton CO2e/ha. Angka ini serupa
dengan angka perkiraan dari Christian et al. (2003)
sebanyak 262,6 ton CO2e/ha.

4.2.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan


emisi ke depan (2011-2020)
Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menaksir
jumlah emisi dari kebakaran gambut. Perkiraan emisi
kebakaran gambut yang digunakan di dalam Second
National Communication (MoE, 2012) mengacu kepada
van der Werf et al. (2008) yang mengolah data citra satelit
hot spot tahun 2000 sampai 2006. Rata-rata emisi dari
kebakaran gambut pada enam tahun peristiwa kebakaran
lahan gambut adalah 128 juta ton C atau ekivalen
dengan 470 juta ton CO2/tahun. Kalimantan menjadi
penyumbang terbesar emisi seperti terlihat pada Gambar
15. Van der Werf (2008) tidak membedakan antara
emisi dari biomas tumbuhan dan emisi dari dekomposisi
gambut. Angka perkiraan didapatkan dari interpretasi
citra satelit tentang hotspot di lahan gambut dan emisi
ditaksir berdasarkan kenaikan konsentrasi gas CO yang
seterusnya direinterpretasi ke konsentrasi CO2e. Dengan
demikian angka yang ditampilkan oleh van der Werf et
al. (2008) merupakan campuran dari emisi kebakaran
biomas dan emisi kebakalan lapisan gambut sehingga bisa
menyebabkan perhitungan ganda (double counting) pada
emisi biomas.

Analisis van der Werf et al. (2008) juga memperlihatkan


kecenderungan bahwa jumlah emisi dari kebakaran
lahan gambut meningkat dari tahun ke tahun (Gambar

PEDOMAN TEKNIS
58 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
16). Musim kemarau panjang menjadi faktor penentu
utama kebakatan lahan, namun luas lahan yang dibuka,
dan pengelolaan pembersihan lahan yang sebagiannya
diikuti oleh pembakaran, menentukan jumlah emisi dari
kebakaran gambut. Secara historis api telah digunakan
sebagai alat manajemen dalam mempersiapkan lahan
untuk perkebunan, terlepas dari adanya peraturan yang
melarang penggunaannya (Someshwar et al. 2011).

Agus et al. (2012; 2013) menyarankan untuk menggunakan


angka yang relatif konservatif untuk memperkirakan
kedalaman gambut yang terbakar, yaitu 15 cm untuk
hutan rawa yang terbakar dan 5 cm untuk kebakaran
semak belukar di lahan rawa. Angka ini berdasarkan
asumsi bahwa kebakaran hutan gambut lebih banyak
bahan bakarnya (fuel) dan menyebabkan kebakaran
yang lebih dalam dibandingkan dengan kebakaran semak
belukar yang sedikit bahan bakarnya. Agus et al. (2011;
2013) juga mengasumsikan bahwa tidak ada pembakaran
dan kebakaran gambut selama lahan dibudidayakan,
walaupun sebenarnya lahan perkebunan atau lahan
pertanian masih bisa terbakar. Perhitungan faktor emisi
untuk kebakaran gambut didasarkan pada asumsi
kerapatan karbon rata-rata 0,06 ton/m (Agus et al. 2011;
Page et al. 2002) sehingga faktor emisi menjadi 330 dan
110 ton CO2e/ha berturut-turut untuk kebakaran hutan
gambut dan belukar gambut.

Analisis yang dilakukan oleh Indonesian Forest Carbon


Assembly (IFCA Report; MoF, 2008) dengan menggunakan
data hotspot dan asumsi kedalaman kebakaran gambut
sekitar 40 cm pada areal yang terbakar, memperkirakan
emisi kebakaran gambut seluruh Indonesia sekitar 6.4 juta
ton CO2/tahun. Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan
lainnya (misalnya van der Werf et al. 2008; Hooijer et al.
2002).

Untuk pedoman versi yang sekarang ini, analisis hotspot


tahun 2006-2011 untuk RAN GRK tidak tersedia, sehingga
emisi dari kabakaran gambut tidak dimasukkan dalam
perhitungan.

BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 59
Gambar 15. Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari kebakaran
gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam juta ton CO2e/tahun;
%) (van der Werf et al. 2008).
Lainnya
(Papua);
18.35;
4%

Sumatera;
179.83;
38%
Kalimantan;
271.58;
58%

Gambar 16. Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran gambut
Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van der Werf et al. 2008).
1200

1000 y = 110,36x- 220587


Emisi (juta ton CO2-e)

R² = 0,5107
800

600

400

200

0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun

PEDOMAN TEKNIS
60 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
4.3 RAN Penurunan emisi dari oksidasi
dan kebakaran gambut
Emisi karena dekomposisi dan kebakaran gambut dapat
dikurangi dengan:

a. Mengendalikan penggunaan hutan gambut untuk


berbagai kepentingan ekonomi. Sebisa mungkin
lahan yang digunakan adalah lahan mineral,
terutama lahan yang ditutupi oleh semak belukar.
b. Intensifikasi sistem pertanian dan Ht yang ada
sehingga laju deforestasi dapat dikurangi.
c. Untuk lahan yang sudah digunakan untuk pertanian
existing perlu diusahakan agar kedalaman muka air
tanah sedangkal mungkin sehingga emisi menjadi
kecil, tanpa mengurangi produktivitas tanaman.
d. Berbagai perangkat hukum melarang keras praktek
pembakaran hutan, walaupun praktek tersebut
tetap ada. Penegakan hukum diharapkan akan
menurunkan emisi dari kebakaran terkendali
(controlled fire).
e. Gerakan fire watch juga akan dapat mengendalikan
kebakaran liar.
f. Dampak kebakaran terkendali dan kebakaran liar
juga dapat dikurangi dengan mempertahankan muka
air tanah agar tidak terlalu dalam. Risiko kebakaran
gambut akan meningkat apabila kedalaman muka
air tanah >30 cm.

4.4 Manfat tambahan dari aksi mitigasi


pada lahan gambut
Mitigasi emisi gambut baik karena dekomposisi maupun
kebakaran sangat penting karena akan meningkatkan
masa penggunaan lahan gambut. Lahan gambut
yang tinggi laju emisinya akan mengalami penyusutan
(subsidence) secara cepat sehingga akan mudah tergenang
dan kebanjiran. Pengendalian kebakaran juga sangat
penting untuk menghindari efek negatif dari asap, baik
terhadap kesehatan, maupun terhadap lalu lintas darat,
laut dan udara.

BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT 61
PEDOMAN TEKNIS
62 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 5
EMISI METANA DARI
LAHAN SAWAH

Sawah berperan penting dalam penyediaan beras


sebagai bahan pangan pokok. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk, pemanfaatan
lahan sawah untuk pertumbuhan padi dan palawija
meningkat untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Budidaya tanaman padi intensif di lahan sawah
dengan teknologi Revolusi Hijau dituduh kurang ramah
lingkungan karena penggunaan pupuk dengan takaran
tinggi dan penggunaan pestisida yang berlebihan.
Selain itu, pertanaman padi sawah dipandang sebagai
salah satu sumber emisi GRK, terutama metana (CH4),
yang berpotensi menyebabkan pemanasan bumi secara
global (Neue dan Sass, 1994).

Lahan sawah di Indonesia umumnya dikelola dalam


keadaan tergenang air. Petani menginginkan air
menggenangi tanaman padi karena dapat mengurangi
pertumbuhan gulma yang kerap menguras biaya dan
tenaga petani dalam mengelola sawah. Metana adalah
salah satu GRK yang dihasilkan melalui dekomposisi
anaerobik bahan organik. Untuk mengurai bahan
organik menjadi CH4 dibutuhkan kondisi redoks
potential dibawah -100 mV dan pH berkisar antara
6-7. Lahan sawah tergenang adalah kondisi ideal untuk
proses ini. Selain dekomposisi bahan organik, sumber
pelepasan CH4 lainnya adalah fermentasi enterik dari
pencernaan hewan ternak, proses pembakaran bahan
organik yang tidak sempurna (incomplete combustion),
serta akibat proses eksplorasi pertambangan minyak
dan gas.

Berbeda dengan CO2, rosot CH4 yang selama ini dikenal


hanyalah melalui dua proses yaitu dikonsumsi oleh
bakteri metanotrof dan reaksi dengan ion radikal di
atmosfir bumi. CH4 dapat bertahan selama 12 tahun
di atmosfir sedangkan nilai GWP-nya adalah 21 kali

63
lebih besar dari CO2. Konsentrasinya di atmosfir saat ini
mencapai 1852 ppbv (part per billion volume).

Laju produksi dan emisi CH4 akibat proses dekomposisi


bahan organik di lahan sawah dapat diukur dengan
peralatan gas kromatografi dan boks penangkap gas
(closed chamber) yang beroperasi secara otomatik.
Selama periode 1998-2004, Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian (saat itu adalah Loka Penelitian Pencemaran
Lingkungan Pertanian) di Jakenan menginventarisasi
emisi CH4 di sentra-sentra produksi padi di Jawa Tengah
dan menemukan bahwa emisi CH4 di beberapa daerah
bervariasi, tertinggi 798 kg CH4/(ha . musim) dan terendah
107 kg CH4/(ha . musim). Variasi emisi CH4 tersebut tidak
hanya dipengaruhi secara signifikan oleh jenis tanah,
tetapi juga oleh cara pengelolaan tanah dan tanaman.
Penelitian di Jakenan, Pati dengan jenis tanah Planosol
menurut World Reference Base for Soils atau Alfisols atau
Inceptisols menurut US Soil Taxonomy (Morand, 2010)
menunjukkan bahwa laju emisi CH4 dapat ditekan dengan
penanaman varietas padi, penggunaan pupuk anorganik,
pengaturan air irigasi dan pemakaian herbisida. Laju
emisi metan dari tanah sawah ditentukan oleh kombinasi
berbagai faktor alami seperti redoks potensial tanah (Eh),
tingkat keasaman (pH) tanah, kondisi iklim, suhu udara
(Watanabe et al., 2005; Huang et al., 2005), sumber
karbon, karakteristik tanah, serta sistem pengelolaan
air dan budidaya tanaman padi sawah yang diterapkan
(Susilokarti, 2007). Gas metana mempunyai daya pemanas
global (GWP) sekitar 21 kali gas CO2, maksudnya satu ton
CH4 mempunyai efek pemanasan global setara dengan 23
ton CO2. Untuk itu, dalam perhitungan emisi metana perlu
dikonversi ke CO2 ekivalen (CO2e) dengan menggunakan
faktor pengali 23.

5.1 Data Aktivitas


Data aktivitas yang terpenting dalam menentukan emisi
CH4 dari lahan sawah adalah luas lahan sawah atau
luas panen lahan sawah. Pembedaan data luas sawah
beririgasi teknis dan non teknis serta sawah tadah hujan

PEDOMAN TEKNIS
64 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
akan dapat memberikan perkiraan jumlah musim tanam
dan lama penggenangan lahan sawah dalam satu tahun.
Selanjutnya sistem pengelolaan air, misalnya irigasi kontinu
dan irigasi terputus (intermitten) juga mempengaruhi
lama penggenangan.

Setyanto et al. (2002) dan Wiharjaka et al. (1999)


berpendapat bahwa berbagai varietas padi
mempengaruhi jumlah CH4 yang diemisikan.
Dengan demikian penggunaan data aktivitas yang
membedakan luas lahan sawah yang ditanami
dengan berbagai varietas tersebut akan dapat
meningkatkan ketepatan perhitungan. Data luas
panen lahan padi sawah nasional dan proyeksinya
sampai tahun 2021 disajikan pada Tabel 18 dan
Gambar 17. Jika data aktivitias yang tersedia adalah
luas panen, maka dalam perhitungan emisi di lahan
sawah, tidak perlu mengalikannya dengan jumlah
musim tanam dalam satu tahun. Akan tetapi jika data
aktivitas yang tersedia adalah luas baku lahan sawah,
maka perhitungan harus dikalikan dengan jumlah
musim tanam dalam satu tahun, karena faktor emisi
yang tersedia adalah emisi dalam 1 musim tanam.

5.2 Faktor emisi metana dari lahan


sawah
Angka acuan (default) emisi lahan sawah yang diberikan
IPCC (2006) adalah 475 kg CH4/ha/tahun atau sekitar =
0.475 ton CH4 * 21 CO2-e/CH4 = 10 ton CO2-e/ha/tahun
dengan asumsi dua musim tanam dalam satu tahun.
Untuk Indonesia diperkirakan emisi 160 kg CH4/ha/musim
atau sekitar = 6.72 ton CO2-e/(ha . musim) (KLH, 2012).
Berbagai sistem pengelolaan air, varietas padi dan jenis
tanah mempunyai efek yang berbeda terhadap emisi
dari lahan sawah. Untuk itu, jika tersedia data sebaran
lahan sawah dengan berbagai sistem pengelolaan air
dan berbagai varietas padi, maka faktor koreksi seperti
pada Tabel 19 dan Tabel 20 dapat digunakan dalam
perhitungan emisi.

BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 65
Tabel 18. Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2012
Tahun Luas panen padi sawah (ha)
2000 11.793.475
2001 11.041.225
2002 11.257.753
2003 11.797.078
2004 12.118.779
2005 12.168.796
2006 12.281.206
2007 12.147.637
2008 12.327.425
2009 12.883.576
2010 13.253.450
2011 13.203.643
2012 13.445.524
Sumber: Badan Pusat Statistik, http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, (diunduh Okt. 2013).

Tabel 19. Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai sistem
pengelolaan air
Faktor Faktor koreksi
koreksi (Prihasto, et
Kategori Pengelolaan air
(IPCC, al. 2000, 2002,
1996) 2011)

Padi ladang Tidak ada 0


Padi sawah Irigasi Tergenang terus menerus (default,
1,0 1,00
acuan)
Pengairan Single Aeration
berselang (pengeringan satu 0,5 (0,2-
kali) 0,7)

Multiple Aeration 0,46 (0,38-0,53)


(pengeringan
0,2 (0,1-
beberapa kali)
0,3)

Rawan banjir
0,8 (0,5-
Tadah 1,0) 0,49 (0,19-0,75)
hujan
Rawan kekeringan 0.4 (0-0.5)

PEDOMAN TEKNIS
66 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 20. Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan sawah untuk
berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al. 2005).
Rata-rata emisi (kg CH4/ Faktor koreksi terhadap
No Varietas
ha/musim) Varietas IR64
1 Gilirang 496,9 2,46
2 Fatmawati 365,9 1,81
3 Aromatic 273,6 1,35
4 Tukad Unda 244,2 1,21
5 IR 72 223,2 1,10
6 Cisadane 204,6 1,01
7 IR 641) 202,3 1,00
8 Margasari 187,2 0,93
9 Cisantana 186,7 0,92
10 Tukad Petanu 157,8 0,78
11 Batang Anai 153,5 0,76
12 IR 36 147,5 0,73
13 Memberamo 146,2 0,72
14 Dodokan 145,6 0,72
15 Way Apoburu 145,5 0,72
16 Muncul 127,0 0,63
17 Tukad Balian 115,6 0,57
18 Cisanggarung 115,2 0,57
19 Ciherang 114,8 0,57
20 Limboto 99,2 0,49
21 Wayrarem 91,6 0,45
22 Maros 73,9 0,37
23 Mendawak 255 1,26
24 Mekongga 234 1,16
25 Memberamo 286 1,41
26 IR42 269 1,33
27 Fatmawati 245 1,21
28 BP360 215 1,06
29 BP205 196 0,97
30 Hipa4 197 0,98
31 Hipa6 219 1,08
32 Rokan 308 1,52
33 Hipa 5 Ceva 323 1,60
34 Hipa 6 Jete 301 1,49
35 Inpari 1 271 1,34
36 Inpari 6 Jete 272 1,34
37 Inpari 9 Elo 359 1,77
1)
IR64 dijadikan sebagai varietas patokan.

BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 67
5.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan
emisi ke depan (2011-2020)
Emisi BAU dihitung berdasarkan luasan riil luas panen
lahan sawah dari tahun 2006-2011 yang kemudian
diproyeksikan sampai tahun 2021 ) berdasarkan
kecenderungan luas panen tahun acuan (Gambar 17).
Asumsi yang digunakan adalah bahwa luasan lahan
sawah di Indonesia masih menerapkan sistem pengairan
tergenang selama musim tanam padi, aplikasi bahan
organik segar 2 t/ha dan belum menggunakan varietas
padi yang rendah emisi. Proyeksi emisi berdasarkan data
luas panen tahun 2006-2011 dan perkiraan sampai tahun
2021 disajikan pada Gambar 18.

Gambar 17. Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai tahun
2021 dengan model kuadratik.
20
18
16
( uta ha)

14
Luas panen (j

12
10 y = 24.209x 2 - 96.973.743x + 97.123.091.681
8 R² = 0,97

6
4
2
-
2006 2011 2016 2021

PEDOMAN TEKNIS
68 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 18. Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa usaha
mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya
sampai tahun 2021.
80
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun) y = 90.035x2 - 360.655.051x + 361.210.490.272
70 R² = 0,97
60
50
40
30
20
10
0
2006 2011 2016 2021
Tahun

Proyeksi dengan model kuadratik ini dipilih dengan


pertimbangan:

a. Adanya komitmen pemerintah untuk melakukan


perluasan areal persawahan untuk mempertahankan
swasembada pangan terutama di luar Pulau Jawa

b. Komitmen pemerintah untuk terus mempertahankan


lahan pertanian potensial, yang tercermin dalam UU
No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan
c. Komitmen pemerintah mengupayakan perbaikan
infrastruktur pertanian dan memperluas jaringan
irigasi, sehingga kesempatan petani untuk menanam
akan menjadi lebih besar dan areal panen akan terus
bertambah.

5.4 Rencana aksi nasional penurunan


emisi GRK
Lahan sawah adalah lahan penghasil beras, sehingga
keberadaan sawah dan produktivitas sawah yang tetap
tinggi secara berkelanjutan sangat penting untuk menjaga
ketahanan, keamanan dan kedaulatan pangan nasional.
Walaupun sawah merupakan salah satu sumber emisi
GRK, terutama metana (CH4), aksi adaptasi jauh lebih
diprioritaskan dan aksi mitigasi emisi GRK hanya dilakukan
selama tidak mengurangi produksi lahan sawah. Dengan

BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 69
demikian pemilihan aksi mitigasi emisi lahan sawah perlu
dilakukan secara berhati-hati.

Sekolah Lapang - Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT)


adalah salah satu pendekatan inovatif dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani
melalui perbaikan paket teknologi yang sinergis antar
komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh
petani serta bersifat spesifik lokasi. SLPTT merupakan
inovasi baru untuk memecahkan berbagai permasalahan
dalam peningkatan produktivitas padi. Teknologi
intensifikasi padi bersifat spesifik lokasi, bergantung pada
masalah yang akan diatasi (demand driven technology).
Komponen teknologi PTT ditentukan bersama-sama
petani melalui analisis kebutuhan teknologi (need
assessment). Komponen teknologi PTT dasar/compulsory
adalah teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan di
semua lokasi. Komponen teknologi PTT pilihan adalah
teknologi pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan,
dan kemampuan petani. Komponen teknologi PTT pilihan
dapat menjadi compulsory apabila hasil KKP (Kajian
Kebutuhan dan Peluang) memprioritaskan komponen
teknologi yang dimaksud menjadi keharusan untuk
pemecahan masalah utama suatu wilayah, demikian pula
sebaliknya bagi komponen teknologi dasar (pedum SLPTT,
2013). Hasil perhitungan penurunan emisi CH4 dari lahan
sawah dengan penerapan teknologi SLPTT, adalah seperti
pada Gambar 19 dan Gambar 20.

Gambar 19. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011
dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
70
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)

60
50
40
y = 44.604x 2 - 178.377.936x + 178.380.481.662
30 R² = 0.99
20
10
0
2006 2011 2016 2021
Tahun

PEDOMAN TEKNIS
70 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 20. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan
proyeksinya antara tahun 2011 sampai tahun 2021 dengan pengelolaan
konvensional (BAU) dan skenario mitigasi melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
70
10%
BAU
60
SLPTT
50

40

30
2006 2011 2016 2021
Tahun

5.5 Manfat tambahan dan risiko


penurunan GRK terhadap produksi padi
Selain menurunkan emisi, beberapa teknologi
pengelolaan tanaman ini juga berpotensi meningkatkan
produksi. Melalui penerapan SLPTT, petani akan mampu
mengelola sumberdaya yang tersedia secara terpadu
di lahan usahataninya sesuai dengan keadaan tanah
dan lingkungan. Petani dilatih untuk menjadi lebih
terampil serta mampu mengembangkan usahataninya
dalam rangka peningkatan produksi padi. Peningkatan
produktivitas dilakukan melalui pemakaian benih varietas
unggul bermutu berproduktivitas tinggi termasuk benih
padi hibrida dan jagung hibrida, sistem jarak tanam
jajar legowo, pemupukan berimbang, pemakaian pupuk
organik, pupuk hayati, pengelolaan pengairan dan
perbaikan budidaya disertai pengawalan, pendampingan,
pemantauan dan koordinasi. Strategi ini terutama
dilaksanakan di wilayah dimana perluasan areal sudah
sulit dilakukan, sehingga dengan penerapan teknologi
spesifik lokasi diharapkan masih dapat ditingkatkan
produktivitasnya.

BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH 71
PEDOMAN TEKNIS
72 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6
EMISI N2O DARI
PEMUPUKAN

Pertanian menyumbangkan sekitar 10-12 % dari total


emisi gas rumah kaca (GRK) global, dimana 60%
nya adalah gas nitrous oxide (N2O) dan 40% nya
adalah metana (CH4). Sumber utama emisi N2O dari
lahan pertanian adalah dari penggunaan pupuk N.
Sejak tahun 1950, konsumsi pupuk N sintetis secara
global telah meningkat dari sekitar 10 menjadi 100
juta ton N di tahun 2008 (Robertson and Vitousek,
2009), dengan input N global pada sistem pertanian
yang berasal dari pupuk buatan meningkat lebih dari
40 kali lipat sejak 1930 (Mosier et al, 1999). Asia
mengkonsumsi 58,6% dari total konsumsi pupuk dunia
(FAO, 2010). Kebutuhan pangan dan energi meningkat
seiring dengan peningkatan populasi manusia, hal ini
menyebabkan peningkatan kebutuhan pupuk N buatan
(untuk meningkatkan hasil panen), yang pada akhirnya
menyebabkan peningkatan emisi nitrous oxide (N2O).
Emisi N2O akibat kegiatan manusia (baik dari pertanian,
maupun di luar pertanian) mengalami peningkatan
sebesar 150 juta ton N/tahun (Mosier, 2001), dengan
konsentrasi N2O global di atmosfer sebesar 320 ppbv,
sementara pada masa pra industrialisasi hanya sebesar
270 ppbv (Forster et al. 2007).

Emisi N2O terdiri dari emisi langsung dan emisi tidak


langsung. Emisi langsung N2O di dalam tanah
terjadi karena proses nitrifikasi dan denitrifikasi
serta denitrifikasi secara kimia yang tidak melibatkan
mikroba. Nitrifikasi adalah proses oksidasi amonium
(NH4+) oleh mikroba secara aerobik menjadi nitrit
dengan hasil antara berupa NH2OH, dan kemudian
berubah menjadi nitrat:

73
NH4+ → NH2OH → NO2- → NO3-

Bila jumlah oksigen terbatas (kadar air tanah mendekati


jenuh), oksidator ammonium dapat memanfaatkan NO2-
sebagai electron acceptor dan selanjutnya menghasilkan
N2O. N2O juga terbentuk dalam proses denitrifikasi,
yaitu proses reduksi nitrat oleh mikroba dalam keadaan
anaerobik yang menghasilkan gas NO, N2O dan N2:

NO3- → NO2- → NO → N2O → N2

Pada umumnya, peningkatan konsentrasi N di dalam


tanah akan meningkatkan nitrifikasi dan denitrifikasi yang
kemudian meningkatkan produksi N2O. Peningkatan N
tersedia dapat terjadi karena pemupukan N, perubahan
penggunaan lahan dan pengelolaan bahan organik yang
menyebabkan terjadinya mineralise N organik tanah.

6.1 Data Aktivitas


Data aktifitas yang paling sederhana untuk menghitung
emisi N2O adalah jumlah pupuk N yang digunakan untuk
lahan pertanian, baik yang berasal dari pupuk buatan,
maupun pupuk organik. Estimasi jumlah penggunaan
pupuk organik dan kandungan N-nya jauh lebih rumit
dibandingkan dengan penggunaan pupuk buatan. Karena
itu data aktivitas adalah jumlah penggunaan masing-
masing pupuk dikalikan dengan kandungan N-nya.
Untuk tingkat provinsi data penggunaan pupuk N dapat
diperoleh dari dinas pertanian provinsi dan kabupaten serta
dari BPS. Secara nasional, data konsumsi pupuk diperoleh
dari Assosiasi Produsen Pupuk Indonesia dan ditampilkan
pada Tabel 21 (http://www.appi.or.id/?statistic, diunduh
Oktober 2013).

Tabel 21. Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia dari tahun 2007 sampai
tahun 2011
Jenis Jumlah penggunaan (ton/tahun) pada tahun
Pupuk 2007 2008 2009 2010 2011
Urea 5.028.818 5.133.220 5.411.462 5.131.287 5.225.137
ZA 746.062 773.668 935.828 731.044 956.596
NPK 732.599 1.175.027 1.666.517 1.804.413 2.124.474

PEDOMAN TEKNIS
74 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6.2 Faktor emisi
Sumber emisi N2O langsung adalah:

• Penggunaan pupuk N buatan


• N organik dari pupuk kandang, kompos, limbah
lumpur dan sampah
• N yang terkandung di dalam urin dan kotoran hewan
• N dalam sisa tanaman
• N yang terbentuk dari proses mineralisasi yang
berhubungan dengan hilangnya bahan organik
tanah
Dari sumber-sumber tersebut hanya emisi N2O dari
pemberian pupuk buatan yang relatif mudah didapatkan
data aktivitasnya sehingga hanya komponen ini yang
dimasukkan dalam Panduan Teknis RAN-GRK ini.
Sumber emisi N2O tidak langsung adalah:

• Volatilisasi N ke dalam bentuk NH3 dan oksida


N ( NOx ) dan deposisi gas-gas tersebut di atas
permukaan tanah atau danau dalam bentuk NH4+
dan NO3. Sebagian NO3- ini selanjutnya mengalami
denitrifikasi membentuk N2O
• Pencucian (leaching) dan limpasan permukaan
(runoff) dari tanah yang mengandung N yang
sebagiannya mengalami proses nitrifikasi dan
denitrifikasi.
Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung diberikan
pada Tabel 22 (bersumber dari IPCC, 2006). Menurut
IPCC (2006) faktor emisi langsung dari pupuk N adalah
sekitar 1% atau 0,01 (Tabel 22), maksudnya, dari pupuk
N yang diberikan sekitar 1% N akan teremisi menjadi N2O.
Untuk emisi N2O tidak langsung, menggunakan data
aktivitas yang sama dengan emisi N2O langsung, hanya
saja berbeda pada nilai faktor emisi.

Dalam perhitungan emisi N2O langsung secara nasional,


digunakan pendekatan yang dimodifikasi dengan
menggunakan faktor emisi N2O dari lahan sawah
berdasarkan hasil-hasil penelitian di Indonesia (Bab 6.3).
Pendekatan ini juga sudah diadopsi dalam perhitungan
inventarisasi GRK Kementerian Lingkungan Hidup untuk
digunakan dalam Laporan Komunikasi Indonesia yang

BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 75
ketiga (TNC). Faktor emisi N2O yang digunakan adalah
0,0027 kg N2O/ha/hari (Balingtan 2007, 2008,2009,2010).
Pendekatan dan asumsi yang digunakan adalah sebagai
berikut :

N2Osawah = EF * CF * t * A * 10-6 [2]

N2Osawah = emisi N2O dari tanah budidaya padi sawah,


Gg N2O per tahun (1 Giga gram = 1000 ton).
EF = faktor emisi untuk N2O; kg N2O per hari
CF = faktor koreksi emisi N2O
t = lama budidaya padi sawah; hari
A = luas panen padi sawah ; ha per tahun

Tabel 22. Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung.


Faktor emisi (FE) Angka acuan Kisaran
Emisi langsung
FE untuk penambahan N dari pupuk buatan, 0,01 0,003 – 0,03
bahan organik sisa tanaman dan mineralisasi
karbon tanah [kg N2O–N/(kg N)]
FE NO2 lahan sawah tergenang [kg N2O–N/ 0,003 0,000 – 0,006
(kg N)]
FE untuk pertanian organik di daerah tropis 16 5 – 48
dan padang rumput [kg N2O–N/ha]
Faktor emisi langsung dari pupuk buatan untuk 0,0027
lahan sawah [kg N2)/(ha . hari)] (Balingtan
2007, 2008,2009,2010) untuk penggunaan
Indonesia
Emisi tidak langsung
FE N yang tervolatilisasi dan redeposisi 0,010 0,002 – 0,05
[kg N2O–N/ (kg NH3–N + NOX–N yang
tervolatilisasi)]
FE pencucian (leaching) dan limpasan 0,0075 0,0005 -0,025
permukaan (runoff) (kg N2O–N /(kg N
leaching/runoff)
Fraksi volatilisasi dari pupuk buatan [(kg 0,10 0,03 – 0,3
NH3–N + NOx–N)/ (kg N
Pemberian)]
Fraksi volatilisasi dari semua N pupuk organik 0,20 0,05 – 0,5
termasuk urin dan kotoran hewan [(kg NH3–N
+ NOx–N)/(kg N yang diberikan)]
Fraksi leaching [kg N/(kg N yang diberikan 0,30 0,1 – 0,8
dalam bentuk pupuk atau dari kotoral ternak
gembala)]
Faktor emisi tidak langsung dari pupuk buatan (0,01*0,10)+
(0,0075 *0,30)= 0,00325
Catatan: Faktor emisi (FE) dengan huruf tebal adalah yang faktor emisi yang digunakan di dalam RAN
GRK ini.

PEDOMAN TEKNIS
76 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Asumsi yang digunakan adalah :

• Umur tanaman: 110 hari


• Faktor emisi N2O = 0,0027 kg N2O/(ha . hari)
• Faktor koreksi N2O = 1

Perhitungan ini hanya untuk emisi N2O langsung yang berasal


dari lahan sawah, sedangkan untuk emisi N2O langsung dari
lahan kering, masih menggunakan pendekatan yang sama
dengan IPCC 2006 yaitu menghitung besarnya jumlah N
yang diberikan pada lahan kering dan dikalikan dengan
faktor emisi defaultnya, kemudian hasilnya dijumlahkan
dengan emisi N2O dari lahan sawah.

Contoh perhitungan:

Apabila pada suatu provinsi digunakan 100.000 ton urea


dan 200.000 ton ZA (Amonium Sulfat, (NH4)2SO4) maka
emisi N2O langsung dan tidak langsung dapat dihitung
dengan cara sebagai berikut:
• N di dalam Urea = 46%
N di dalam ZA = 22%
• Global warming potential (daya memanas,
GWP) N2O = 298
N2O/N = 44/28
• Emisi N2O langsung dari 100.000 ton Urea = 0,46*
100,000*0,01*44/28*298 = 215.411 ton CO2-e
• Emisi N2O tidak langsung =0,46*
100,000*0,00325*44/28*298 = 63.007 ton CO2-e
• Jumlah emisi N2O langsung dan tidak langsung dari
urea = 278.448 ton CO2e
• Emisi N2O langsung dari 200.000 ton ZA =
0,22*200.000*0.01*44/28*298 = 206.045 ton CO2e
• Emisi N2O tidak langsung dari dari 200.000 ton ZA
= 0,22*200.000*0,00325*44/28*298
= 66.965 ton CO2e
• Jumlah emisi N2O langsung dan tidak langsung dari
penggunaan 200.000 ton pupuk ZA = = 273,010 ton
CO2e
• Dengan demikian jumlah emisi N2O dari penggunaan
100.000 ton urea dan 200.000 ton pupuk ZA adalah
278.448 ton CO2e + 273.010 ton CO2e
= 551.458 ton CO2e

BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 77
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan
emisi ke depan (2011-2020)
Gambar 21 memperlihatkan emisi N2O tahun 2006-
2011 yang berasal dari penggunaan pupuk N di
lahan pertanian (lahan sawah dan lahan kering) yang
merupakan emisi total secara langsung maupun tidak
langsung. Perkiraan emisi menjelang tahun 2020
disajikan pada Gambar 22.

Gambar 21. Perkiraan emisi N2O historis tanah yang dikelola dari tahun 2007-2011.
25
Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)

20

15

10

-
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun

Gambar 22. Perkiraan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola tahun 2007-2011
dan proyeksinya sampai tahun 2020.
25
Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)

20

15

10

-
2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Tahun

PEDOMAN TEKNIS
78 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6.4 RAN Penurunan emisi N2O
Penurunan emisi dari pupuk N ditempuh dengan cara
meningkatkan efisiensi pupuk N, misalnya dengan
penggunaan bagan warna daun (BWD), pembenaman
pupuk N (deep placement), penggunaan pupuk N slow
release dan penggunaan bahan penghambat nitrifikasi.
Sejauh ini faktor emisi yang tersedia berhubungan
dengan efisiensi (penghematan) penggunaan pupuk
N, sedangkan faktor emisi untuk pengaruh deep
placement dan penggunaan zat penghambat nitrifikasi
belum tersedia.

Peningkatan efisiensi pupuk N dilakukan dengan


menggunakan bagan warna daun (BWD) atau leaf
color chart (LCC) yang merupakan salah satu paket dari
Perangkat uji tanah sawah (PUTS, yang dikeluarkan oleh
Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian). BWD
merupakan alat sederhana yang mudah digunakan
untuk menentukan status hara N tanaman padi.
Perbandingan antara warna daun tanaman padi dan
salah satu dari empat warna pada BWD menunjukkan
apakah tanaman padi kekurangan unsur N atau tidak.
Pembacaan BWD dimulai sekitar 25 hari sesudah tanam
(HST) dan frekuensi pembacaan yang dianjurkan adalah
sekali dalam 7-10 hari sampai 50 HST, atau sampai 10%
pembungaan pada padi hibrida dan padi tipe baru (PTB).
Nilai warna kritis untuk pemupukan N adalah warna
4. Bila pembacaan BWD kecil dari 4 perlu diberikan
pupuk N pada tanaman padi. Jumlah N yang diberikan
bagi varietas padi indica yang semi pendek (semidwarf)
tergantung pada besarnya hasil yang diharapkan. Pada
tingkat hasil harapan sebesar 5 t/ha diberikan 50 kg
Urea/ha, dan bila hasil harapan tanaman lebih tinggi
maka pupuk N yang diberikan juga harus lebih tinggi;
yaitu 25 kg Urea/ha untuk setiap ton peningkatan hasil
harapan di atas 5 t/ha. Data aktivitas yang diperlukan
dalam MRV adalah jumlah penggunaan pupuk N
pada dosis konvensional dan dosis dengan penerapan
efisiensi N.

BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi
N2O dari pemupukan
Manfaat mitigasi emisi N2O melalui usaha
peningkatan efisiensi penggunaan N atau pembatasan
penggunaan pupuk N secara berlebihan antara lain
adalah berkurangnya pencemaran badan air dan
berkurangnya ancaman penyakit pada bayi disebabkan
pencemaran nitrat pada air tanah yang digunakan
sebagai air minum. Kelebihan nitrat pada badan air
juga akan menyebabkan eutrifikasi yang menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan tumbuhan semak air
seperti enceng gondok. Peningkatan efisiensi N juga
akan menurunkan biaya usaha tani, meningkatkan
produksi dan mengurangi risiko serangan hama dan
penyakit tanaman.

PEDOMAN TEKNIS
80 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN 81
PEDOMAN TEKNIS
82 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 7
EMISI DARI
SUBSEKTOR
PETERNAKAN
Gas rumah kaca terpenting yang dihasilkan oleh hewan
ternak adalah gas metana (CH4) yang dikeluarkan
dari proses pencernaan (enteric fermentation). CH4
juga dihasilkan dari proses oksidasi anaerob kotoran
hewan, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan emisi dari proses pencernaan. Dari total gas
metana yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, sekitar
94 % berasal dari fermentasi pencernaan dalam rumen
dan 6 % dari kotoran yang baru dieksresikan. Selain itu
kotoran hewan juga menghasilkan gas nitrous oksida
(N2O).

7.1 Emisi CH4 dari proses


pencernaan: Data aktivitas dan faktor
emisi
Data aktivitas yang dapat digunakan untuk
menghitung emisi dari sektor peternakan adalah
dengan menggunakan metoda dari IPCC tahun 1996
yang telah direvisi dan IPCC tahun 2006. Pada tahun
2008 telah dilakukan kegiatan untuk memverifikasi laju
emisi gas rumah kaca (GRK) pada peternakan Indonesia.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk a) validasi hasil
perhitungan emisi GRK pada komoditas peternakan; b)
inventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi emisi
GRK pada komoditas peternakan; c) inventarisasi
teknologi dan manajemen mitigasi emisi GRK pada
budidaya peternakan. Penghitungan mengikuti
petunjuk dari IPCC (2006) (Thalib et al., 2008).
Selanjutnya pada tahun 2011 dilakukan pula estimasi
emisi CH4 dan N2O dari fermentasi enterik dan dari
pengelolaan kotoran ternak (manure management)
dengan mengacu kepada Worksheet dari IPCC 2006
(Widiawati, 2013). Faktor emisi yang digunakan
mengacu kepada panduan IPCC untuk wilayah Asia

83
(Tabel 23) dan data aktivitas yang digunakan adalah
populasi ternak seluruh Indonesia tahun 2006-2012
(Tabel 24) serta proyeksi linearnya pada tahun 2013-
2020 (Tabel 25; Gambar 23).

Populasi ternak meningkat dari tahun ke tahun dengan


laju pertumbuhan yang bervariasi secara temporal
dan antar jenis ternak (Dirjen Peternakan, 2012). Laju
pertumbuhan rata-rata ternak ruminansia ditargetkan
7%/tahun dan unggas 12,5%/tahun. Mulai dari
tahun 2012, diproyeksikan akan terjadi percepatan
peningkatan populasi ternak, khususnya untuk sapi
potong, domba dan kambing. Hal ini akan terjadi
sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam
upaya swasembada daging nasional.

Untuk tingkat provinsi faktor emisi tingkat nasional


dapat digunakan menjelang tersedia faktor emisi spesifik
lokasi. Data aktivitas disesuaikan dengan populasi
ternak masing-masing provinsi. Penghitungan dengan
hanya menggunakan populasi ternak, merupakan
metode yang termudah dan dapat diterapkan di semua
wilayah. Data populasi sebagai data aktivitas telah
dimiliki oleh setiap Dinas Peternakan provinsi dan data
populasi ternak nasional tersedia di Direktorat Jenderal
Peternakan, Kementerian Pertanian.

Tabel 23. Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis ternak
Emisi
Jenis ternak
(kg CH4/(ekor . tahun)
Sapi potong 47
Sapi perah 61
Kerbau 55
Kambing 5
Domba 5
Babi 1
Kuda 18
Ayam buras t.t.
Ayam ras petelur t.t.
Ayam ras pedaging t.t.
Itik t.t.
Sumber: IPCC (2006)
t.t. = data tidak tersedia

PEDOMAN TEKNIS
84 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 24. Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor).
Tahun
Jenis ternak
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sapi Potong 10.875 11.515 12.257 12.760 13.582 14.824 16.034
Sapi Perah 369 374 458 475 488 597 622
Domba 8.980 9.514 9.606 10.199 10.725 11.791 12.768
Kambing 13.790 14.470 15.147 15.815 16.62 16.946 17.862
Kerbau 2.167 2.086 1.931 1.933 2.000 1.305 1.378
Kuda 401 393 399 419 424 430
Unggas (juta) 1.221 1.311 1.293 1.428 1.394 1.575 1.730
Babi 6.218 6.711 6.838 6.975 7.477 7.525 7.831
Sumber: Ditjen Peternakan (2012).

Tabel 25. Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020.
Jenis Tahun
ternak 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Sapi
17.108 18.277 19.538 20.977 22.553 24.187 25.903 27.757
Potong
Sapi
681 754 821 901 1000 1.089 1.196 1.314
Perah
Domba 13.544 14.371 15.370 16.460 17.679 18.914 20.195 21.585
Kambing 18.650 19.457 20.288 21.149 22.017 22.998 23.988 25.016
Kerbau 1.294 1.209 1.132 1.048 951 903 842 784
Kuda 436 442 451 461 468 476 484 492
Unggas
1.941 2.194 2.533 2.945 3.515 3.748 4.266 4.867
(juta)
Babi 8.141 8.409 8.705 9.034 9.324 9.664 10.008 10.359
Sumber: Proyeksi dari data populasi ternak tahun 2006-2012 yang tercantum pada Tabel 24.

Gambar 23. Populasi ternak dari tahun 2006 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
30

25
Populasi (juta ekor)

Sapi Potong
20 Sapi Perah

15 Domba
Kambing
10
Kerbau
5 Kuda
0 Babi
06

08

10

12

14

16

18

20
20

20

20

20

20

20

20

20

Tahun

BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 85
7.2 Emisi CH4 dari kotoran ternak: Data
aktivitas dan faktor emisi
Data aktivitas untuk emisi dari kotoran ternak adalah
populasi ternak dan perkiraan jumlah kotorang hewan
(Tabel 24, Tabel 25, dan Gambar 23). Faktor emisi CH4 dari
kotoran ternak disajikan padaTabel 26.

Tabel 26. Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode pengelolaan
(IPCC, 2006).
Faktor emisi (kg
Ternak Cara pengelolaan kotoran
CH4/ekor/tahun)
Sapi perah Sekitar setengah dari kotoran sapi 31
digunakan untuk biogas dan sisanya
Sapi lainnya dikelola dalam keadaan kering. 1
Sekitar 40% kotoran dikelola dalam
Babi 7
keadaan basah
Kotoran dikelola dalam keadaan
Kerbau 2
kering dan disebar di padang rumput
Domba 0,15
Kambing 0,17
Kuda 1,64
Ayam Pedaging 0,02
Ayam Petelur 0,03
Itik/ Bebek 0,03

7.3 Emisi N2O dari kotoran hewan: Data


aktivitas dan faktor emisi
Jumlah N yang dieksresi (dikeluarkan melalui kotoran)
hewan ditentukan oleh populasi ternak dan berat badan
rata-rata ternak (Tabel 27), sedangkan jumlah N yang
teremisi menjadi N2O ditentukan oleh sistem pengelolaan
kotoran ternak. Semakin lama dan semakin banyak
kotoran ditumpuk akan menyebabkan jumlah oksigen di
dalam tumpukan makin terbatas dan akan membentuk
N2O. Bila kotoran tidak ditumpuk dan langsung disebar ke
lahan, maka hampir seluruh N tersebut berubah menjadi
NO3- (nitrat) yang merupakan zat hara tanaman. Faktor
emisi (rasio pembentukan N2O) dari N yang tekandung di
dalam kotoran hewan pada berbagai sistem pengelolaan
kotoran disajikan pada Tabel 28.

PEDOMAN TEKNIS
86 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 27. Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan
perkiraan berat badan rata-rata.
Asumsi rata-tara berat
Eksresi N (kg N/(1000 kg
Jenis hewan 1) badan ternak (kg/
berat badan . hari)) .
ekor)2)
Sapi perah 0,47 300
Sapi lainnya 0,34 250
Babi 0,50 100
Ayam umur ≥ 1 tahun 0,82 2
Ayam muda 0,60 1.5
Ayam lainnya 0,82 2
Broiler 1,10 2
Kalkun 0,74 5
Bebek 0,83 2
Domba 1,17 45
Kambing 1,37 40
Kuda 0,46 550
Kerbau 0,32 300
1) 2)
Disarikan dari Tabel 10.19, IPCC 2006; Dari Thalib et al. (2008) untuk peternakan Indonesia.

Tabel 28. Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem pengelolaan
Faktor emisi: Rasio N
Sistem pengelolaan
yang berubah menjadi Perhitungan jumlah N2O teremisi
kotoran ternak
N2O
(0,02 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat
Ditumpuk (dry lot) 0,020
badan)*365*44/28
Ditumpuk beberapa
(0,005 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat
bulan dalam keadaan 0,005
badan)*365*44/28
padat (Solid storage)
Disebar ke lahan setiap
0 0
hari (Daily spread)
Catatan: Nilai eksresi N dan Berat badan tercantum pada Tabel 27.

7.4 Emisi masa lalu (2006-2011) dan


proyeksi emisi 2011-2020
7.4.1 Emisi metana dari pencernaan ternak
Emisi CH4 dari pencernaan ternak dihitung dengan rumus:
Emisi CH4 (kg/tahun) = Populasi ternak (ekor) x Faktor
emisi (kg CH4 /(ekor . tahun)

Berdasarkan data populasi ternak pada Tabel 24, Tabel 25


dan 23, serta faktor emisi pada Tabel 26, dapat dihitung

BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 87
besarnya emisi gas metana yang berasal dari proses
pencernaan seluruh ternak. Data penghitungan emisi
gas metana dari proses pencernaan tahun 2006 sampai
tahun 2012 dan proyeksi untuk tahun 2013 sampai 2020
ditampilkan pada Gambar 24.

Gambar 24. Emisi CH4 dari proses pencernaan ternak dari tahun 2006 sampai 2012
dan proyeksinya dari tahun 2013 sampai tahun 2020.
40
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)

35
30 Babi
25 Kuda
20 Kerbau
15 Kambing
10 Domba
5 Sapi Perah
0 Sapi Potong
06

08

10

12

14

16

18

20
20

20

20

20

20

20

20

20

Tahun

Di antara berbagai jenis ternak, kontributor emisi dari


fermentasi pencernaan yang terbesar (sekitar 72%)
adalah dari sapi potong (Gambar 25). Dengan demikian
aksi mitigasi sebaiknya diprioritaskan untuk ternak sapi
potong.

Gambar 25. Persentase emisi metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis
hewan ternak Indonesia berdasarkan data aktivitas populasi ternak
tahun 2011.
0%1%
1%

7%
Sapi Potong
9% Sapi Perah
Domba
6% Kambing
4% Kerbau
Kuda
72% Babi

PEDOMAN TEKNIS
88 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
7.4.2 Emisi metana dari kotoran ternak
Emisi metana dari kotoran ternak dihitung dengan rumus:
Emisi CH4 (ton CO2-e) = Jumlah ternak * Faktor emisi

Data populasi ternak terdapat pada Tabel 24 dan Tabel 25


dan data faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan
pada Tabel 26. Hasil perhitungan emisi metana dari
kotoran ternak disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26. Emisi metana (CH4) dari kotoran ternak di Indonesia.


7
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)

6
5 Babi
Unggas
4 Kuda
3 Kerbau
Kambing
2
Domba
1 Sapi Perah
Sapi Potong
0
2014
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2015
2016
2017
2018
2019
2020

Tahun

Ternak unggas merupakan kontributor emisi gas metana


dari kotoran yang tertinggi, sedangkan kontributor kedua
tertinggi adalah ternak babi.

7.4.3 Emisi N2O dari kotoran ternak


Emisi N2O dari kotoran ternak dihitung dengan mengalikan
data aktivitas (Tabel 24 dan Tabel 25) dan faktor emisi
pada Tabel 28 dan ditampilkan pada Gambar 27.

BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 89
Gambar 27. Emisi N2O dari kotoran ternak Indonesia
14

Emisi N2O (juta ton CO2-e/tahun)


Babi
12 Unggas
10 Kuda
8 Kerbau
6 Kambing
4 Domba
2 Sapi Perah
- Sapi Potong
06

08

10

12

14

16

18

20
20

20

20

20

20

20

20

20
Tahun

Kontributor terbesar dari emisi N2O adalah unggas,


kemudian sapi potong. Data yang ditampilkan pada Gambar
27 didasarkan atas asumsi metode pengelolaan kotoran
ternak secara konvensional yaitu cara menumpuk kotoran
beberapa bulan dalam keadaan padat (solid storage).

7.5 RAN/RAD Penurunan emisi GRK


Subsektor Perternakan
Dari beberapa sumber emisi GRK Subsektor Peternakan
Gambar 28 emisi CH4 dari proses pencernaan paling banyak
jumlahnya, diikuti oleh emisi N2O dari kotoran ternak. Emisi
CH4 dari kotoran ternak relatif sedikit. Dengan demikian
usaha mitigasi difokuskan pada pengelolaan pakan ternak
untuk menurunkan emisi CH4 dari proses pencernaan.
Beberapa pendekatan yang dapat ditempuh untuk
menurunkan emisi dari Subsektor Peternakan adalah:

• Penerapan teknologi pengolahan bahan pakan berserat


kasar tinggi seperti jerami padi, limbah pertanian dan
perkebunan melalui fermentasi dan ammoniasi. Selain
dapat menurunkan emisi gas metana dari ternak, proses
pengolahan juga bermanfaat untuk mengawetkan
bahan pakan yang dapat digunakan sebagai cadangan
makanan di musim kemarau. Selain itu, proses
pengolahan pakan juga dapat meningkatkan kualitas
pakan yang mengandung serat kasar tinggi.
• Penerapan teknik suplementasi bahan pakan
berkualitas tinggi terhadap bahan pakan berkualitas
rendah. Tanaman leguminosa seperti kaliandra, lamtoro

PEDOMAN TEKNIS
90 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
dan gliricidia serta daun singkong dapat digunakan
sebagai pakan suplemen. Teknik suplementasi dapat
meningkatkan daya cerna dan efisiensi penggunaan
pakan, serta berdampak pada pengurangan produksi
gas metana di dalam rumen (Gambar 29). Pemberian
tanaman leguminosa lain seperti daun akasia pada sapi,
domba dan kambing juga merupakan salah satu teknik
mitigasi karena bahan aktif tannin yang terkandung
dalam daun akasia.
• Penyusunan ransum komplit yang terdiri dari limbah
pertanian dan perkebunan sebagai sumber serat
dengan konsentrat yang berasal dari biji-bijian maupun
limbah industri pertanian/perkebunan merupakan
salah satu bentuk mitigasi untuk menurunkan emisi
gas metana dari sektor peternakan. Peningkatan nilai
nutrisi ransum komplit menyebabkan peningkatan
kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan yang
selanjutnya menurunkan produksi gas metana dalam
rumen.
• Sistem integrasi tanaman-ternak di wilayah perkebunan
kelapa sawit (sawit-sapi), perkebunan kakao (kakao-
kambing), pertanian/padi (padi-sapi) merupakan
bentuk upaya mitigasi gas metana dan memperbaiki
siklus karbon dari sub-sektor peternakan. Integrasi
yang dimaksud dapat diartikan bahwa ternak berada
langsung di dalam areal perkebunan atau pertanian
secara umum. Arti lainnya adalah bahwa ternak dan
tanaman berada pada areal yang berbeda, tetapi
pakan yang diberikan merupakan produk dari tanaman
tersebut.
• Pemanfaatan kotoran ternak untuk menghasilkan energi
melalui proses biogas. Pembangunan unit biogas skala
kecil untuk peternakan rakyat dengan kepemilikan 4-5
ekor per kepala keluarga (KK) dapat dilakukan dengan
sistem penggunaan bersama beberapa KK. Energi yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penerangan
maupun memasak.
• Proses pembuatan kompos sederhana dari kotoran
ternak dengan sistem tertutup dapat dilakukan
untuk mengurangi emisi gas metana selama proses
pengomposan. Penambahan starter/ mikroba untuk
mempercepat proses pengomposan juga merupakan
upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi
gas metana dari kotoran ternak.

BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 91
Gambar 28. Emisi CH4 dan N2O dari berbagai sumber Subsektor Peternakan antara
tahun 2013 sampai 2012 dan proyeksi antara tahun 2013 sampai 2020.
60
Emisi N2O dari kotoran ternak
Emisi (juta ton CO2-e) 50 Emisi CH4 dari kotoran ternak

40 Emisi CH4 proses pencernaan

30

20

10

-
06

20 7
08
09
10

11
12
13
14
15
16

20 7
18
19

20
0

1
20
20

20
20

20
20
20
20
20
20

20

20

20
Tahun

Aplikasi teknologi mitigasi pada sektor peternakan, khusunya


dari manajemen pemberian pakan dengan menggunakan
bahan baku lokal dapat menurunkan emisi gas metana
khususnya dari proses pencernaan. Diperoleh penurunan
yang bervariasi, mulai dari 8 % sampai 20 %, tergantung
kepada teknik mitigasi yang digunakan (Purnomoadi et al.,
2005; Thalib dan Widiawati,2006; Wina, 2012). Penerapan
sistem biogas dalam pengelolaan kotoran dan memanfaatkan
energi yang dihasilkan untuk memasak atau penerangan
dapat menurunkan tingksat emisi dari kotoran ternak.

Gambar 29. Estimasi emisi metana pada skenario BAU historis dan penurunan
emisi dari sektor peternakan apabila diterapkan teknik mitigasi melalui
manajemen pemberian pakan.
40 Kondisi BAU
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)

35
15 %
30
25
20
Setelah mitigasi
15
10
5
0
20 6
20 7
08
09
10
11
12
13
14
15
16

20 7
18
19
20
0
0

1
20

20
20
20
20
20
20
20
20
20

20
20

Tahun

PEDOMAN TEKNIS
92 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
7.6 Manfat tambahan
Penerapan teknologi mitigasi gas metana di sektor
peternakan akan berdampak positif terhadap
lingkungan dan ternak. Terhadap lingkungan,
penerapan teknologi mitigasi dapat menurunkan
emisi gas metana yang di sumbang dari peternakan.
Disamping itu, penurunan gas metana yang dihasilkan
dari ternak memberikan nilai positif bagi ternak,
karena gas metan yang dihasilkan merupakan energi
pakan yang terbuang dari ternak. Dengan demikian
penurunan produksi gas metana dari setiap ternak
mengandung arti penyelamatan energi yang terbuang
untuk kemudian digunakan sebagai tambahan energi
untuk produksi ternak sehingga dapat terjadinya
peningkatan produktivitas ternak.

BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN 93
PEDOMAN TEKNIS
94 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
EMISI BAU DAN MITIGASI
SEMUA SUB-SEKTOR
BERBASIS LAHAN

Emisi BAU untuk semua sub-sektor pada Sektor


berbasis lahan berdasarkan pendekatan forward
looking berkisar antara 682 juta pada periode 2006-
2011, 764 juta pada periode 2011-2016 dan 852 juta
ton CO2-e pada periode 2016-2021 (Gambar 30).
Pendekatan forward looking diberlakukan dengan
asumsi kenaikan emisi untuk perubahan penggunaan
lahan dan lahan gambut adalah sekitar 2,5% per
tahun. Perkiraan kenaikan ini mengingat perluasan
areal pertanian berbasis sumberdaya hutan dan lahan
cenderung meningkat di beberapa provinsi di Papua
dan Kalimantan. Di Sumatera emisi dari biomas
diperkirakan akan menurun (Gunarso et al. 2013;
Agus et al. 2013). Untuk Sub-sektor Pertanian emisi
pendekatan forward looking dihitung berdasarkan
trend linear dan kuadratik, tergantung kecenderungan
perkembangan pada tahun acuan (base year).

Pada pelaksanaanya penyusunan RAN GRK dengan


pendekatan forward looking memerlukan data proyeksi
penggunaan lahan yang disesuaikan dengan rencana
tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten (RTRWP/K).
Pendekatan bottom-up perlu ditempuh, sehingga
rencana forward looking lebih mencerminkan rencana
pembangunan yang sebenarnya.

Dengan skenario penurunan emisi 26% (penurunan


emisi unilateral menurut Perpres 61/2011), maka emisi
pada periode 2016-2021 harus turun menjadi 631
juta atau penurunan sebanyak 222 juta ton CO2-e.
Untuk menurunkan emisi 41%, maka emisi pada
periode 2016-2021 harus turun menjadi 503 juta atau
penurunan sebanyak 350 juta ton CO2-e (Gambar 31).
Berbeda dengan hasil penghitungan pada RAN GRK
ini, di dalam Perpres 61/2011, indikasi penurunan emisi
26% dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut adalah

95
sebanyak 672 juta ton CO2e/tahun. Perbedaan target penurunan
emisi menurut Perpres 61/2011 dengan hasil penghitungan RAN
GRK ini disebabkan oleh 2 faktor:

1. Perpres 61/2011 dan Second National Communication (MoE,


2010, SNC) memasukkan emisi dari kebakaran gambut sebagai
salah satu sumber emisi. SNC menggunakan angka perkiraan
kebakaran gambut dari van der Werf et al. (2008) yang
besarannya cukup tinggi, yaitu 470 juta ton CO2e/tahun pada
tahun 2000-2006. Angka ini setara dengan 69% emisi 2006-
2011 untuk semua sektor berbasis lahan menurut RAN GRK.
Panduan Teknis ini tidak memasukkan kebakaran gambut dalam
penghitungannya. Hal ini disebakan karena sangat tingginya
tingkat ketidak-yakinannya (uncertainty) emisi kebakaran
gambut, baik dari aspek data aktivitas, maupun faktor emisi.

2. Di dalam Perpres 61/2011 Sektor Kehutanan (dan lahan gambut)


dianggap mampu mengkompensasi penurunan emisi dari Sektor
lain. Di dalam Panduan Teknis ini perkiraan penurunan emisi
dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut tidak mengasumsikan
pembebanan penurunan emisi dari sektor lain ke sektor
kehutanan dan lahan gambut.

Angka perkiraan penurunan emisi yang akan diajukan oleh provinsi


pada RAD GRK akan menampilkan kemampuan masing-masing
sektor dalam menurunkan emisi. Angka tersebut akan bervariasi
tergantung kemampuan provinsi. Tidak semua provinsi akan mampu
menurunkan emisi sebanyak 26% dari bidang kehutanan dan lahan
gambut.

Gambar 30. Perkiraan emisi BAU dari semua sub-sektor dari bidang berbasis lahan
untuk periode base year 2006-2011 dan proyeksi pada periode 2011-
2016 serta 2016-2021.
900
800
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)

700 Peternakan
600 Pemupukan
500 CH4 Sawah
400
Dekomposisi gambut
300
200 Biomas lahan gambut

100 Biomas lahan mineral


-
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Periode

PEDOMAN TEKNIS
96 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Dari berbagai subsektor terlihat bahwa penyumbang utama emisi
sektor berbasis lahan adalah emisi dari dekomposisi lahan gambut,
diikuti oleh emisi dari biomas tumbuhan lahan mineral, emisi dari
biomas tumbuhan pada lahan gambut dan emisi dari lahan sawah.
Sumbangan emisi dari pemupukan dan peternakan berturut-
turut hanya sekitar 3% dan 4% (Gambar 32). Dengan demikian
usaha mitigasi perlu diprioritaskan pada sub-sektor yang menjadi
sumber emisi terbesar, dalam hal ini perubahan penggunaan lahan.
Pengurangan penggunaan lahan hutan dan memprioritaskan
penggunaan lahan semak belukar untuk pengembangan perkebunan
dan pertanian, berpotensi menurunkan emisi secara signifikan.

Gambar 31. Sumbangan emisi tahunan dari berbagai sub-sektor pada sektor
berbasis lahan pada periode tahun dasar (base year) 2006-2011.
Pemupukan Peternakan
CH4 Sawah 3% 4%
6%

Biomas lahan
mineral
Dekomposisi 39%
gambut
37%

Biomas lahan
Jumlah = 682 juta ton CO2-e gambut 11%

Gambar 32. Emisi dari semua sektor berbasis lahan pada skenario BAU forward
looking dan skenario penurunan emisi 13% dan 20,5% dari BAU pada
periode 2011-2016 dan 26% dan 41% dari BAU pada periode 2016-2021.
900 BAU Penurunan 26% Penurunan 41%
800
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)

700
600
500
400
300
200
100
0
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Periode

EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN 97


REFERENSI

Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris,M. van Noordwijk, danT.J. Killeen.
2013. Historical CO2 emissions from land use and land cover change from the
oil palm industry in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Roundtable on
Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia.

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti dan W. Supriatna, W.


2012. Emission reduction options for peat soil in Kubu Raya and Pontianak districts,
West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378-1387.

Agus, F., dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre, Bogor.
Agus, F. K. Hairiah dan A, Mulyani. 2011. Measuring carbon stock in peat soils:
practical guidelines. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional
Program dan Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and
Development, Bogor. 60p.

Badan Litbang Pertanian. 2008-2009. Laporan Konsorsium Perubahan Iklim:


Identifikasi dan Pengujian Varietas Padi Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2007. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2008. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2009. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2010. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta

Christian T.J., B. Kleiss, R.J. Yokelson, R. Holzinger, P.J. Crutzen, W.M. Hao, B.H.
Saharjo, D.E. Ward. 2003. Comprehensive laboratory measurements of biomass-
burning emissions: 1. Emissions from Indonesian, African, and other fuels. J Geophys
Res 108. doi:10.1029/2003JD003704

Dewi, S., F. Johana,P. Agung, M.T. Zulkarnain, D. Harja, G. Galudra, S. Suyanto, A.


Ekadinata. 2013. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pembangunan

PEDOMAN TEKNIS
98 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Rendah Emisi; LUWES - Land Use Planning for Low Emission Development STrategies,
World Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 135p.

Dewi, S., M. van Noordwijk, dan P. Minang. 2012. Reference Emission Levels (REL)
in the context of REDD and land-based NAMAs: forest transition stages can inform
nested negotiations. Submission to SBBSTA UNFCCC, February 28, 2012.

Dirjen Peternakan 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat


Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2010. The State of Food Insecurity in The
World : Addressing in food insecurity in protracted crisis. FAO Publishing Branch,
Rome, Italy, 62 p.

Forster, P., V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D.W. Fahey, J. Haywood, J.


Lean D.C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R. Prinn, G. Raga, M. Schulz, R. Van Dorland.
2007. Changes in atmospheric constituents and in radiative forcing. Climate change
2007: the physical science basis. Contribution of working group I to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental panel on climate change. Solomon
S, Qin D, Manning M, Chen Z, Marquis M, Averyt KB, Tignor M, Miller HL (eds)
Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA,
Intergovernmental Panel on Climate Change.

Gunarso, P., M.E. Hartoyo, F. Agus, T.J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change
in Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Roundtable on Sustainable Palm Oil.
Kuala Lumpur, Malaysia.

Hairiah, K., S. Dewi, F. Agus, S. Velarde, A. Ekadinata, S. Rahayu and M. van


Noordwijk. 2011. Measuring Carbon Stocks Across Land Use Systems: A Manual.
World Agroforestry Centre (ICRAF), SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 154
halaman.

Harja D., S. Dewi, M. van Noordwijk, A. Ekadinata and A. Rahmanulloh A. 2011.


REDD Abacus SP - User Manual and Software. World Agroforestry Centre - ICRAF,
SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 89 p.

Hergoualc’h, K. and L. V. Verchot. 2013. Greenhouse gas emission factors for land
use and land-use change in Southeast Asian peatlands. Mitig Adapt Strateg Glob
Change. DOI 10.1007/s11027-013-9511-x.

Huang, Y., H. Wang, H. Huang, Z.W. Feng, Z.H, Yang, dan Y.C. Luo. 2005.
Characteristics of Methane Emission from Wetland Rice–Duck Complex Ecosystem.
Agriculture, Ecosystems and Environment 105:181–193
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines for
National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas
Inventories Programme, In Eggleston H.S., Buendia, L., Miwa, K., Ngara, T. & Tanabe,
K. (Eds.). IPCC National Greenhouse Gas Inventory Programme, Published by IGES

REFERENSI 99
Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Japan.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2013. Drained inland organic


soils, Chapter 2 in Wetland Supplement of IPCC Good Practice Guidelines. IPCC,
IGES Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Japan (in Press).

Kalsum, L., N. Ngudiantoro, M. Faizal and A. Halim Pks. 2013. Controlling CO2 and
CH4 emission in a degraded peat swamp forest related to water table and peat
characteristics. Applied Mechanics and Materials, 391:202-206.

Mezbahuddin, M., R. F. Grant and T. Hirano. 2013. Modelling effects of seasonal


variation inwater table depth on net ecosystem CO2 exchange of a tropical peatland.
Biogeosciences Discuss., 10, 13353–13398, 2013, doi:10.5194/bgd-10-13353-
2013.

MoF (Ministry of Forestry). 2008. IFCA 2007 Consolidation Report: Reducing


Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia, Published by
FORDA, MoF, Jakarta.

MoE (Ministry of Environment). 2010. Second National Communication. MoE,


Jakarta.

Morand, D.T. 2010, The World Reference Base for Soils (WRB) and Soil Taxonomy:
an initial appraisal of their application to the soils of the Northern Rivers of New
South Wales. Proceedings 19th World Congress of Soil Science, 1 – 6 August 2010,
Brisbane, Australia, Hal. 28-31.

Mulyadi, A. Pramono, Poniman dan A. Wihardjaka. 2004. Pengaruh pupuk kandang


terhadap hasil padi gogo rancah dan emisi gas CH4 di lahan sawah tadah hujan.
Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. 479-485.

Mosier A., C. Kroeze, C. Nevison, O. Oenema, S. Seitzinger S, O. van Cleemput.


1999. An overview of the revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse gas
inventory methodology for nitrous oxide from agriculture. Env Sci & Pol 2(3):325–
333.

Mosier, A.R., M.A. Bleken, C. Pornipol, E.C. Ellis, J.R. Freney, R.B. Howarth, P.A.
Matson, K. Minami, R. Naylor, K.N. Weeks, Z. Zhu. 2001. Policy implications of
human-accelerated nitrogen cycling. Biogeochemistry 52:281–320

Neue, H.U., dan R.L. Sass. 1994. Trace gas emission from rice fields. Environ. Sci.
Research 48 : 119 – 147.

Purnomoadi, A., E. Rianto, K. Higuchi and M. Kurihara. 2005. Beer cake could reduce
methane production from buffalo fed basal diet containing rice straw and commercial
concentrate. Proc The 2nd Greenhouse Gases and Animal Agriculture. Zurich.
Pusdatin (Pusat Data dan informasi Pertanian). 2013. Informasi Ringkas Komoditas

PEDOMAN TEKNIS
100 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Perkebunan, No. 01/01/I, 7 Januari 2013. Pusdatin, Jakarta.

Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, C. Tafakresnanto.


2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at
the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research
and Development, Bogor, Indonesia.

Robertson, G.P., P.M. Vitousek. 2009. Nitrogen in agriculture: balancing an


essential resource. Annu Rev Energy Environ 34:97–125. doi:10.1146/annurev.
environ.032108.105046

Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop
management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central
Java. N.C.E. 58 : 85-93

Setyanto et al. 2002. Influence of soil properties on CH4 emission from rice field,
Indonesian J Ag. Sci.

Setyanto, P., A. Suharsih, A. Wihardjaka, A.K. Makarim. 1999. Pengaruh pemberian


pupuk anorganik terhadap emisi gas metan pada lahan sawah. Risalah Seminar
Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca Dan Peningkatan Produktifitas Padi di Lahan
Sawah. 36-43.

Setyanto, P. 2001. Methane emission from three soil types planted with flooded rice.
M.S. Thesis, Universiti Putra Malaysia. Serdang, Malaysia.

Setyanto, P. 2004. Methane emission from rice field under different crop establisments
and rice cultivars. Ph. D Disertation. Universiti Putra Malaysia. Serdang, MaSetyanto, P.
A.B Rosenani, R. Boer, C.I. Fauziah and M.J. Khanif. 2005. The Effect of Rice Cultivars
on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian Journal of Agricultural
Sciences. IAARRD. MoA Indonesia.

Setyanto, P., H. Burhan, S. Y. Jatmiko. 2008. Effectiveness of water regime and soil
management on methane emission reduction from rice field. Prosiding seminar
Nasional pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS) secara terpadu. 219-233

Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop
management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central
Java. N.C.E. 58 : 85-124

Suharsih, P. Setyanto, A.K. Makarim. 2004. Emisi gas metan pada lahan sawah irigasi
inceptisol akibat pemupukan nitrogen pada tanaman padi. PP Tanaman Pangan 22
(2) : 43-47

Thalib, A., Suryahadi dan Unadi, A. 2008. Verifikasi Laju Emisivitas GRK Pada
Peternakan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan

REFERENSI 101
Iklim pada Sektor Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .

Thalib, A. dan Y. Widiawati. 2008. Peningkatan produksi dan kualitas susu dengan
emisi gas metan yang rendah melalui pemberian RMK sebagai imbuhan pada
ransum sapi perah. Pros. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020. Puslitbangnak dan STEKPI, pp. 82-87. Jakarta, 21 April 2008

US-EPA (United States Environmental Protection Agency). 2012. Notice of Data


Availability concerning Renewable Fuels Produced From Palm Oil Under the RFS
Program; Extension of Comment Period. Federal Register / Vol. 77, No. 30 / Tuesday,
February 14, 2012.
Van der Werf, G.R., J. Dempewolf, S.N. Trigg, J.T. Randerson, P.S. Kasibhatla, L.
Giglio, D. Murdiyarso, W. Peters, D.C. Morton, G.J. Collatz, A.J. Dolman and R.S.
DeFries. 2008. Climate regulation of fire emissions and deforestation in equatorial
Asia. PNAS 105(51): 20350–20355.

Van Noordwijk, M., S. Dewi, N. Khasanah, A. Ekadinata, S. Rahayu, J.P. Caliman, M.


Sharma dan R. Suharto. 2010. Estimating the Carbon Foot print of Biofuel Production
from Oil Palm: Methodology and Results from Two Sites in Indonesia. International
Conference on Oil Palm and Environment, 23-25 Feb. 2010, Bali, Indonesia.

Watanabe, A., H. Yamada, dan M. Kimura. 2005. Analysis of Temperature Effects


on Seasonal and Interannual Variation in CH4 Emission from Rice-Planted Pots.
Agriculture, Ecosystems and Environment 105 : 439–443

Widiawati, Y. 2013. Current and Future Mitigation Activities on Methane Emission


from Ruminant in Indonesia. Paper in International Workshop on Inventory Data and
Mitigation of Carbon and Nitrogen Cycling From Livestock in Indonesia. Jakarta, 24th
April 2013.

Wina, E. 2012. Saponins: Effects on Rumen microbial ecosystem and metabolism


in the rumen. In: Dietary phytochemicals and microbes. Patra, A.K. (ed).Springer.
London. Pp. 311-350.

Yokelson, R.J., R. Susott, D.E. Ward, J. Reardon and D.W.T. Griffith. 1997. Emissions
from smoldering combustion of biomass measured by open-path Fourier transform
infrared spectroscopy. Journal of Geophysical Research 102: 18865–18877.

PEDOMAN TEKNIS
102 PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Didukung oleh

Anda mungkin juga menyukai